Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“SYARAT SAH DAN YANG MEMBATALKAN SHALAT”


Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah “fiqih ibadah”
Dosen Pengampu : Drs.Sabar Podu, M.HI

Oleh :
Hasan Basri Buano (019151037)
Annisa Aulia (019151005)
Annisa Oktavia Eka .A. (019151006)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)


PRODI PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
FATTAHUL MULUK
PAPUA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani
dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-
Nya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa
ajaran agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi


tugas pendidikan dengan judul “Syarat Sah Dan Membatalkan Shalat”.
Disamping itu, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini.

Akhir kata, penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki
karya-karya kami di waktu-waktu mendatang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jayapura,17 oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan masalah...................................................................................... 1
C. Tujuan penulisan ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2
A. Syarat-syarat shalat ................................................................................... 2
1. Syarat-syarat shalat ............................................................................. 2
2. Syarat-syarat sahnya shalat ................................................................. 4
3. Hal-hal yang membatalkan shalat ....................................................... 9
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 10
A. Kesimpulan ............................................................................................... 10
B. Saran .......................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syarat-syarat Shalat
Syarat secara etimologis adalah tanda.1 Adapun secara
terminologis, syarat adalah apa-apa yang jika tidak ada mengharuskan
ketidakadaan dan keberadaannya tidak mengharuskan keberadaan atau
ketiadaannya sendiri. Syarat shalat adalah sesuatu yang yang jika mampu
dilaksanakan tergantung kepadanya keabsahan shalat2.
Shalat memiliki syarat-syarat yang tidak akan menjadi sah, kecuali
dengan syarat-syarat tersebut. Seseorang yang melakukan shalat tanpa
memenuhi syarat-syaratnya shalat, maka shalatnya tidak diterima3. Jika
tidak ada atau tidak ada sebagiannya, maka shalatnya tidak sah4.
1. Syarat-syarat wajibnya shalat
a. Muslim5. Jadi, shalat tidak diwajibkan kepada orang kafir, karena
di dahulukannya dua kalimat syahadat adalah syarat dalam
perintah shalat, berdasarkan dalil-dalil berikut: hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

1 Ibid,
2 Saleh al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet. ke-1, hal. 65.
3 Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis Ahkam (Riwayat Asy-Syafi’i: Thaharah dan
Shalat), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. ke-1, hal. 152.
4 Syekh Syamsuddin Abu Abdillah, Terjemahan Fathur Qarib (Pengantar Fiqih Imam
Syafi’i, (Surabaya : Mutiara Ilmu, 2010), cet. ke-1, hal.67.
5 Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim (Minhajul Muslim), (Jakarta : PT. Darul
Falah, 2000), cet. ke-1, hal. 301-302.
Artinya :“Abdullah putra Umar ibnu Khaththab r.a. berkata,
“bahwa Rasulullah SAW bersabda: aku diperintahkan untuk
memerangi manusia sehingga mereka bersyahadat bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah,
dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka
telah melakukan itu, maka berarti mereka telah memelihara jiwa
dan harta mereka dariku, selain dikarenakan hak Islam, sedang
hisab mereka terserah kepada Allah”. (HR. Bukhari dan
Muslim).6
b. Berakal. Jadi, shalat tidak diwajibkan kepada orang gila karena
Rasulullah SAW bersabda,
‫ثَلثة ع ْن ْالقل ُم ُرفِع‬: ‫يسْت ْي ِقظ حتَّى النَّائِ ِم ع ِن‬، ‫صبِي ِ وع ِن‬
َّ ‫مِِيحْ تل حتَّى ال‬،
‫ي ْع ِقل حتَّى ْالمجْ نُ ْو ِن وع ِن‬
Artinya: “Pena diangkat dari tiga orang: dari orang tidur hingga
ia bangun, dari anak kecil hingga ia bermimpi, dan dari orang
gila hingga ia berakal.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan al Hakim
yang men-shahih-kannya)7.
c. Baligh. Jadi, shalat tidak di wajibkan kepada anak kecil hingga ia
baligh,8 karena Rasulullah SAW sebagaimana sabdanya:

6 M. Nashiruddin al AlBani, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,


2005), cet. ke-3, hal. 5.
7 Muhammad Nashiruddin al Albani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), cet. ke-1, hal. 20.
8 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2012), cet. ke-27, hal. 65.
Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia
berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “perintahkanlah
anak-anak kalian mengerjakan shalat jika mereka mencapai usia
9
tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mengerjakannya
pada usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka..”
(Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud)10.
d. Bersih dari darah haid dan darah nifas11. Jadi, shalat tidak
diwajibkan kepada wanita yang sedang menjalani masa haid dan
wanita yang menjalani masa nifas, hingga kedua bersih dari kedua
darah tersebut.
2. Syarat-syarat Sahnya Shalat.12
a. Waktunya telah tiba. Jadi, shalat tidak di wajibkan sebelum
waktunya tiba, karena dalil-dalil berikut: firman Allah SWT
dalam surat an-Nisa’ayat 103 yang berbunyi:
‫اط َمأْنَ ْنت ُ ْم فَأَقِي ُموا‬
ْ ‫علَ ٰى ُجنُوبِ ُك ْم ۚ فَإِذَا‬ َّ ‫ص ََلة َ فَا ْذ ُك ُروا‬
َ ‫َّللاَ قِ َيا ًما َوقُعُودًا َو‬ َّ ‫ض ْيت ُ ُم ال‬
َ َ‫فَإِذَا ق‬
‫علَى ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِكت َابًا َم ْوقُوتًا‬ ْ ‫ص ََلة َ َكان‬
َ ‫َت‬ َّ ‫ص ََلة َ ۚ ِإ َّن ال‬
َّ ‫ال‬
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu
9 Syarat pertama: beragama Islam, maka bagi kafir tidak wajib shalat. Yang demikian
ini logis, karena inti shalat adalah memuliakan (mengagungkan) Allah sepenuh raga dan
jiwa, penuh khitmad, tawadhu’, taat dan menyerah kepada-Nya tanpa mengharap imbalan,
padahal orang kafir itu jiwanya menentang (ingkar) Allah, mana mungkin jiwa penentang
sanggup melakukan shalat? Jadi logis apabila syarat shalat khusus untuk yang beragama
Islam sepenuhnya.
10 Muhammad Nashiruddin al Albani, op.cit., hal. 22.
11 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, op.cit., hal. 303.
12 Ibid,
berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu
adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”. (an-Nisa’: 103).13
Penetapan waktu adalah pembatasan. Allah SWT telah
menentukan waktu-waktu shalat. Artinya, Allah SWT menentukan
waktu-waktu shalat di sepanjang rentang waktu. Kaum Muslimin telah
berijma’ bahwa shalat lima waktu itu memiliki waktu-waktunya yang
khusus dan terbatas, shalat tidak diterima jika dilakukan sebelum
waktunya.
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a berkata, “shalat
memiliki waktu-waktu yang telah dipersyaratkan oleh Allah. Maka
shalat tidak sah, melainkan dengan syarat itu. Maka, shalat wajib
dilakukan dengan tibanya waktu. Allah SWT berfirman dalam surah
al-Isra’ ayat 78 yang berbunyi:

‫ق الل َّ يْ ِل َو ق ُ ْر آ َن الْ ف َ ْج ِر ۖ إ ِ َّن ق ُ ْر آ َن ال ْ ف َ ْج ِر‬ ِ ‫أ ََ ق ِ ِم ال صَّ ََل ة َ لِ د ُل ُ و‬


ِ َ‫ك ال ش َّ ْم ِس إ ِ ل َ ٰى غَ س‬
‫كَ ا َن َم شْ هُ و د ًا‬
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai
gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat
subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (al-Isra’: 78).14
b. Suci dari hadas besar dan hadas kecil. Yang dimaksud dengan hadas
besar ialah keadaan diri seseorang tidak bersih dan baru dinyatakan
bersih apabila ia telah mandi, yaitu perempuan yang baru selesai haid
dan nifas, laki-laki atau perempuan selesai bersetubuh, keluar mani
dan baru masuk Islam.15 Sedangkan hadas kecil ialah keadaan diri
seseorang dalam sifat tidak bersih dan baru menjadi bersih bila ia
telah berwudhu’ ketika: bangun dari tidur, keluar sesuatu dari badan

13 Departemen Agama R.I, op.cit., hal. 95.


14 Departemen Agama R.I, op.cit., hal. 290.
15 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), cet. ke-1, hal. 24.
melalui dua jalan (keluar angin, kencing atau buang air besar), dan
lain-lain.16
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah r.a,

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata, “Rasulullah SAW


telah bersabda, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara
kalian, apabila ia berhadats (tidak mempunyai wudhu) sampai dia
berwudhu”. (HR. Abu Daud).17
c. Suci badan, pakaian dan tempat dari najis. Orang yang shalat harus
bersih badannya, pakaiannya dan tempat shalatnya dari najis. Yang
disebut najis itu adalah setiap kotoran seperti urine dan tinja dan
segala sesuatu yang dilarang untuk konsumsi seperti: darah, khamar
dan lainnya. Kotoran yang melekat di badan atau pakaian atau tempat
shalat harus dibersihkan dengan air.18
Sebagaimana dalam firman Allah SWT,
َ َ‫َوثِيَابَكَ ف‬
‫ط ِهر‬
Artinya: “Dan bersihkanlah pakaianmu.” (Al-Muddassir : 4).19 Najis
yang sedikit atau yang sukar memeliharanya (menjaganya), seperti:
nanah bisul, darah khitan dan darah berpantik yang ada di tempatnya
diberi keringan untuk dibawa shalat. Kaidah: “kesukaran itu
membawa kemudahan”.

16 Ibid,
17 Muhammad Nashiruddin al Albani, op.cit., hal. 23.
18 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, op.cit., hal. 26.
19 Departemen Agama R.I, op.cit., hal. 575.
d. Menutup aurat. Aurat ditutup dengan sesuatu yang dapat menghalangi
terlihatnya warna kulit. Aurat laki-laki antara pusat sampai lutut,
sedangkan aurat perempuan seluruh badannya kecuali muka dan dua
tapak tangan.20
Firman Allah SWT:
ۚ ‫۞ يَا بَنِي آدَ َم ُخذُوا ِزينَت َ ُك ْم ِع ْندَ ُك ِل َمس ِْج ٍد َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َو ََل تُس ِْرفُوا‬
َ‫إِنَّهُ ََل ي ُِحبُّ ْال ُمس ِْرفِين‬
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang
berlebih-lebihan.”. (Al-A’raf: 31).21
Yang dimaksud dengan “pakaian” dalam ayat ini ialah pakaian
untuk shalat. Jadi, tidak sah shalatnya orang yang terbuka auratnya,
sebab hiasan dalam pakaian ialah pakaian yang menutupi aurat.
Rasulullah SAW pernah ditanya tentang shalatnya wanita dengan
menggunakan baju besi dan kerudung tanpa kain luar, maka beliau
bersabda, “jika baju besi menutupi bagian luar kedua telapak kakinya,
maka boleh”.
e. Menghadap kiblat (ka’bah), sebab shalat tidak sah tanpa menghadap
kiblat.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah
ayat 144.
ْ ‫ضاهَا ۚ فَ َو ِل َوجْ َهكَ ش‬
‫َط َر‬ َ ‫اء ۖ فَلَنُ َو ِليَنَّكَ قِ ْبلَةً ت َْر‬
ِ ‫س َم‬
َّ ‫ب َوجْ ِهكَ فِي ال‬ َ ُّ‫قَ ْد ن ََر ٰى تَقَل‬
َ ‫َط َرهُ ۗ َوإِ َّن الَّذِينَ أ ُوتُوا ْال ِكت‬
‫َاب‬ ْ ‫ْث َما ُك ْنت ُ ْم فَ َولُّوا ُو ُجو َه ُك ْم ش‬ ُ ‫ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام ۚ َو َحي‬
َ‫ع َّما يَ ْع َملُون‬ َّ ‫لَيَ ْعلَ ُمونَ أَنَّهُ ْال َح ُّق ِم ْن َربِ ِه ْم ۗ َو َما‬
َ ‫َّللاُ بِغَافِ ٍل‬
Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan

20 Sulaiman Rasjid, op.cit., hal. 69.


21 Departemen Agama R.I, op.cit., hal. 154.
dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al Kitab
(Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. al-Baqaarah: 144).22

3. Hal-hal yang membatalkan sholat


Hal-hal yang membatakan shalat ada 14, yaitu:
a. Sengaja berbincang atau ngomong-ngomong layaknya dengan
manusia, baik berbicara dalam rangka pembenahan shalat atau bukan
b. Banyak bertingkah, yang berkesinambngan, misalnya 3x melangkah,
disengaja atau tidak.
c. Berhadas ( kecil maupun besar)
d. Meninggalkan salah satu rukun sholat atau sengaja memutuska rukun
sebelum sempurna, misalya melakukan i’tidal sebelum sempurna ruku’
e. Sengaja membuka auratnya bukan karena ditiup angin sedangkan bagi
yang terbuka auratnya akibat angin, lalu segera menutupnya kembali
maka tidak batal shalanya
f. Terkena najis (baik badan, pakaian atau tempat shalat) yang bukan
najis ma’fu. Lain halnya kalau najis itu kering dan menimpa atau
mengenai pakaian, lalu dengan segera najis itu dikibaskan dari
pakaiannya, maka tidak batal shalatnya
g. Makan atau minum baik sedikit ataupun banyak keduanya
membatalkan shalat
h. Membelakangi kiblat
i. Gelak tawa ketika shalat, itu dapat membatalkan shalat
j. Mendahului imam dalam shalat jama’ah
k. Murtad ( keluar dari islam ), mati, gila atau hilang akal
l. Berubah niat, seseorang yang sedang shalat lalu iba-tiba terbetik niat
untuk tidak shalat di dalam hatinya, saat itu juga shalatnya telah batal.

22
Dapartemen Agama R. I, op.cit., hal. 22
Sebab, niatnya telah merusak meskipun dia belum melakukan hal-hal
yang membatalkan shalat
m. Terdapat air bagi orang yang shalatnya dengan tayammum Seseorang
yang bertayammum sebelum shalat, lalu saat shalat tiba-tiba terdapat
air yang bisa dijangkaunya dan cukup untuk digunakan berwudhu
maka shalatnya batal, dia harus berwudhu saat itu dan mengulangi lagi
shalatnya
n. Mengucapkan salam secara sengaja Bila seseorang mengucapkan
salam secara sengaja dan sadar, shalatnya menjadi batal. Dasarnya
aalah hadist Nabi saw. yang menyatakan bahwa salam adalah hal yang
mengakhiri shalat. Kecuali lafal salam dalam bacaan shalat, seperti
dalam bacaan tahiya
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Shalat adalah rukun islam yang kedua dan ia merupakan rukun yang
sangat ditekankan . shalat merupakan pokok semua macam-macam ibadah
badaniah. Shalat memiliki syatat-syarat yang tidak akan menjadi sah, kecuali
dengan syarat-syarat tersebut. Seseorang yang melakukan shalat tanpa
memenuhi syarat-syaratnya shalat, maka shalatnya tidak sah.
a. Syarat-syarat wajib shalat
1) Muslim. Jadi, shalat tidak diwajibkan kepada yang kafir, karena di
dahulukannya dua kalimat syahadat adalah syarat dalam perintah
shalat.
2) Berakal. Sholat juga tidak diwajibkan kepada orang gila
3) Baligh. Jadi, shalat tidak akan diwajibkan kepada anak kecil hingga ia
baligh.
b. Syarat-syarat sah shalat
1) Waktunya telah tiba.
2) Suci dari hadas besar dan hadas kecil.
3) Suci badan, pakaian dan tempat dan najis.
4) Menutup aurat.
5) Menghadap kiblat.
2. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Karena itu kritik dan saran yang membangun dari dosen maupun
teman-teman yang membaca makalah ini sangat diharapkan oleh penulis untuk
pebaikan judul makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat berguna bagi
pembaca maupun penulis sendiri.
Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat salah kata yang
menyinggung di hati pembaca, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA

As-sawwaf, Muhammad mahmud, panduan lengkap shalat khusuk,


yogyakarta: gala ilmu semesta, 2011.

Ash-shilawy, ibnu rif’ah, panduan lengkap ibadah shalat, yogyakarta: citra


risalah, 2009.

Ash-shiddieqy, t. M. Hasbi, pedoman shalat, jakarta: bulan bintang, 1990.

Azzam, abdul aziz muhammad dan abdul wahhab sayyed hawwas, fiqih
ibadah, terj. Kamran as’at irsyady, dkk., jakarta: amzah, 2010.

Basri, muh. Mu’inudinillah, panduan shalat lengkap, solo: indiva media kreasi,
2008.

Hasbiyallah, fiqih dan ushul fiqih, bandung: pt remaja rosdakarya, 2013.

Rasjid, sulaiman, fiqih islam, bandung: sinar baru algensindo, 1994.


Sabiq, sayyid, fiqih sunnah 1, terj. Mahyudin syaf, bandung: pt
alma’arif, 1973

Anda mungkin juga menyukai