Anda di halaman 1dari 2

Mia Anisyah Puspita Arum (8016210034)

Alam Sebagai Jiwa Raga Suku Mollo / Pilar Kehidupan Suku Mollo
‘Perempuan berperan untuk membentuk keluarga…’
Itulah sepenggal kalimat biasa, namun dalam artinya. Kalimat itu seakan dipegang
teguh oleh Aleta Ba’un. Lahir di Sau dari orang tua suku Mollo. Ia adalah Ibu dari tiga anak
yang memimpin ratusan wanita Mollo untuk mempertahankan dan melindungi tanah mereka
dari ancaman perusahaan tambang marmer sampai perusahaan tersebut memutuskan untuk
menutup operasi penambangannya. Pada program public talk baru baru ini yaitu Wallacea
Week 2018 yang diselenggarakan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jalan
Merdeka Selatan No. 11 Jakarta Pusat yang berlangsung selama tujuh hari dari tanggal 11 – 17
Oktober 2018 Aleta Ba’un atau yang biasa disebut Mama Aleta ini menceritakan bagaimana
tradisi membentuk peran jender pada Suku Mollo. Ia menjabarkan bahwa perempuan dan laki-
laki sama-sama memiliki kepentingan dalam suatu kehidupan. Mereka harus berjuang bersama
bagi keluarganya.
Mereka memiliki porsi yang sama untuk membangun sebuah keluarga. Laki-laki
membuat rumah dan perempuan membuat tenun. Sebelum menikah laki-laki Mollo harus
membuat rumah guna mempersiapkan untuk memulai kehidupan setelah menikah. Bagi Suku
Mollo, rumah dianggap sebagai roh. Rumah sebagai awal dari kehidupan. Marga dan
pendidikan didapatkan dari rumah mereka. Di dalam rumah mereka terdapat empat tiang yang
mewakili ibu, ayah, anak laki-laki dan anak perempuan. Jika terdapat empat anak dalam satu
rumah dan semua sudah menikah, salah satunya harus tinggal di rumah tersebut. Dengan tujuan
mereka tidak melupakan arti penting rumah tersebut. Bentuk rumah yang bulat dengan hanya
ada satu pintu diartikan bahwa segala keputusan keluar dari satu pintu.
Berbeda dengan laki-laki, menenun adalah kewajiban bagi perempuan Mollo. Tenun
yang dibuat menceritakan kisah perjalanan hubungannya dengan si laki-laki. Oleh karena itu,
tenun perempuan Mollo memiliki corak dan warna masing-masing untuk tenunnya. Tenun
merupakan simbol perkawinan. Jika rumah dianggap sebagai roh, maka tenun dianggap sebagai
suatu elemen yang membungkus raga dan bumi. Selain itu, tenun digunakan sebagai alat
kampanye bagi perempuan. Corak dan warna yang mereka buat sendiri menjadi identitas
keluarga mereka. Benang tenun dibedakan menjadi dua yakni, benang atas & bawah diartikan
sebagai pemimpin dan benang tengah sebagai penyatu. Oleh karena itu, perempuan harus bisa
menjaga identitas dan menjaga hubungan harmonis keluarga. Ada pula arti dari warna dasar
tenun yaitu putih yang berarti warna cahaya atau matahari dan hitam berarti tanah atau bumi.
Warna yang dihasilkan juga berasal dari alam seperti kesambi, manga, pohon nilam dan
mengkudu.
Layaknya Tri Hita Karana di Bali, Suku Mollo juga setuju bahwa manusia dan alam
sangat berhubungan. Jika manusia dan alam tenteram maka Tuhan pun akan baik pada mereka.
Bagi Mama Aleta dan banyak masyarakat adat lainnya, alam adalah seperti tubuh manusia.
Tanah adalah daging, air adalah arteri-darah, batu adalah tulang, hutan adalah kulit dan rambut.
Merusak alam berarti menghancurkan tubuh manusia.
‘Jawara Tanjung Puting keluar hutan…’
Itulah sebutan kami untuk tiga pembicara di Ecotourism Talk #3 yakni Ahmad Yani, Fajar
Dewanto dan Yomie Kamale. Ketiga jawara ini merupakan para pelaku wisata Tanjung Puting
mulai dari tour operator, Orangutan Foundation International dan tour guide. Ecotourism
Talk #3 ini merupakan diskusi santai yang sudah kali ke-tiga diadakan oleh Indonesia
Ecotourism Network. Pembahasan dalam diskusi ini mengenai perkembangan dan informasi
menarik seputar ekowisata di Indonesia. Dan pada kesempatan kali ini, topik yang diangkat
adalah Taman Nasional Tanjung Puting. Acara yang diadakan pada hari Kamis 24 Oktober
2019 sore tersebut menjadi sarana diskusi mengenai harmonsasi alam dan pariwisata serta
konservasi satwa liar di Tanjung Puting. Selain topik yang diangkat menarik, para peserta juga
dapat mengikuti diskusi sambil menikmati kopi yang tersedia di Carani Coffee & Tea, tempat
diskusi diadakan.
Ecotourism Talk #3 ini bersifat santai dan terbuka. Untuk mengikuti diskusi ini, peserta cukup
melakukan konfirmasi dan datang langsung ke tempat berlangsungnya acara. Dengan konsep
‘ngopi bareng’ diskusi pun menjadi lebih menyenangkan…

Anda mungkin juga menyukai