A. Deskripsi perkembangan social dan moral Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial atau proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi. Meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Tuntutan sosial pada perilaku sosial anak tergantung dari perbedaan harapan dan tuntutan budaya dalam masyarakat tempat anak tumbuh-kembang, serta usia dan tugas perkembangannya. Setiap masyarakat memiliki harapan sosial sesuai budaya masyarakat tersebut. Pada masyarakat pedesaan, anak usia 4-5 tahun tidak mesti masuk Taman Kanak-Kanak. Tetapi, budaya masyarakat kota menuntut anak usia tersebut bersekolah di TK. Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan. Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui desertasinya yang sangat monumental yang berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and Choice in the Years 10 to 16.Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlberg (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut: a. penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. b. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya. c. Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral. Bagi seorang anak perkembangan moral itu akan di kembangkan melalui pemenuhan kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu fisiologi) untuk selanjutnya dipolakan melalui pengalaman dalam lingkungan keluarga, sesuai dengan nilai-nilai yang di berlakukannya. Maka disinilah sebenarnya letak peranan utama bagi orang-orang yang paling dekat atau akrab dengan anak (terutama ibu) dalam memberikan dasar-dasar pola perkembangan moral anak berikutnya. Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama di tentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan disisi lain, lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif anak secra aktif.
B. Alternatif Upaya Pengembangan Sosial dan Moral
1. Pengembangan Sosial a. Cara Peningkatan Potensi Sosial Para ahli pendidikan menegaskan, ada dua cara untuk menanamkan nilai-nilai sosial dalam pendidikan. Pertama, melalui proses belajar sosial (social learning) atau sosialisasi. Kedua melalui kesetiaan sosial yaitu dengan memainkan peran sosial sesuai dengan nilai yang dianut di masyarakat. 1) Belajar Sosial Belajar sosial berarti belajar memahami dan mengerti tentang perilaku dan tindakan masyarakat. Peserta didik diajarkan mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola nilai dan tingkah laku dengan standar tingkah laku dimana ia hidup. Selanjutnya, semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu, menjadi bagian integratif peserta didik dengan masyarakat. Proses seperti inilah yang dapat menumbuhkan kecakapan sosial peserta didik. 2) Pembentukan Kesetiaan Sosial Melalui proses pembentukan kesetiaan sosial (formation of social loyalities). perkembangan kesetiaan sosial ini muncul berkat kesadaran peserta didik terhadap kehidupan ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat merupakan sumber kesetiaan bagi anggotanya. Sebab- sebab munculnya kesetiaan sosial diantaranya adalah partisipasi sosial, komunikasi dan kerjasama individu dalam kehidupan kelompok. Peserta didik yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara spontan diterima sebagai anggota baru. Sebagai anggota baru, peserta didik belum mengetahui pola dan system perilaku orang yang ada di sekelilingmya. Contoh sederhananya adalah seperti pada kasus anak yang baru bisa berjalan, setiap anggota masyarakat menyapa, menggandeng dan ikut membantu berjalan anak. Respon anak adalah kemesraan dan afeksi (kepuasan) sehingga berjumpa lagi dengan orang tersebut si anak langsung tersenyum dan bergerak mendekatinya. Bentuk kesetiaan sosial berkembang menjadi semakin komplek kepada kelompok yang makin besar. Kesetiaan sosial dimulai dari keluarga, teman sebaya dan sekolah. Biasanya kelompok ini disebut dengan kelompok primer, dimana setiap anggota kelompok dapat berinteraksi secara langsung dan face to face. Kemudian kesetiaan sosial berkembang seiring dengan perkembangan kedewasaan peserta didik, semakin dewasa peserta didik semakin berkembang kesetiaan sosialnya kepada kelompok pekerjaan, kelompok agama, perkumpulan (organisasi), baik kemasyarakatan maupun bangsa. Perkembangan yang lebih luas dan besar ini disebut lingkungan sekunder, dimana seluruh anggota kelompok mencerminkan seorang individu yang komplek. b. Pengembangan Kecerdasan Sosial Dalam mengembangkan kecerdasan sosial ada beberapa teknik yang sering dipakai diantanya adalah sebagai berikut: a) Teknik Sosialisasi Pada dasarnya, sosialisasi memberikan dua kontribusi fundamental bagi kehidupan kita. Pertama, memberikan dasar atau fondasi kepada individu bagi terciptanya partisipasi yang efektif dalam masyarakat, dan kedua memungkinkan lestarinya suatu masyarakat–karena tanpa sosialisasi akan hanya ada satu generasi saja sehingga kelestarian masyarakat akan sangat terganggu. Contohnya, masyarakat Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. akan lenyap manakala satu generasi tertentu tidak mensosialisasikan nilai-nilai kesundaan, kejawaan, kebatakan kepada generasi berikutnya. Agar dua hal tersebut dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang harus ada agar proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua adalah adanya warisan sosial (Sudjana, 1993). Sosialisasi juga menuntut adanya lingkungan yang baik yang menunjang proses tersebut, di mana termasuk di dalamnya interaksi sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh tentang pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977) menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan sosialnya. Pada tahun 1970 di California ada seorang anak berusia tigabelas tahun bernama Ginie yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil oleh orang tuanya. Dia jarang sekali diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Kejadian ini diketahui oleh pekerja sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan orang tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan dengan sengaja. Pada saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri. Sosialisasi melibatkan proses pembelajaran. Pembelajaran tidak sekedar di sekolah formal, melainkan berjalan di setiap saat dan di mana saja. Belajar atau pembelajaran adalah modifikasi perilaku seseorang yang relatif permanen yang diperoleh dari pengalamannya di dalam lingkungan sosial/fisik. Seseorang selalu mengucapkan salam pada saat bertemu orang lain yang dikenalnya; perilaku tersebut merupakan hasil belajar yang diperoleh dari lingkungan dimana dia dibesarkan. Berdasarkan teori pembelajaran sosial, pembelajaran terjadi melalui dua cara. (1) dikondisikan, dan (2) meniru perilaku orang lain. Tokoh utama pendekatan pertama adalah B.F. Skinner (1953), yang terkenal dengan konsep operant conditioning – Berdasarkan berbagai percobaan melalui tikus dan merpati, Skinner memperkenalkan konsepnya tersebut. Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seorang anak rajin belajar karena memperoleh hadiah dari orang tuanya. Seorang murid yang mempeoleh nilai baik, dipuji-puji didepan orang banyak. Memuji, memberi imbalan, merupakan cara untuk memunculkan bentuk perilaku tertentu. Memarahi, memberi hukuman, merupakan cara untuk menghilangkan perilaku tertentu. Dengan demikian jika generasi awal ingin melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada generasi sesudahnya, maka kepada setiap perilaku yang dianggap perlu dilestarikan harus diberikan imbalan. Seorang anak diminta berdoa sebelum makan, dan setelah selesai berdoa, orang tuanya memujinya. b) Teknik SPACE Albrecht dalam bukunya The New Science of Success menyebutkan lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial kita, yang ia singkat menjadi kata SPACE. Elemen pertama adalah kata S yang merujuk pada kata situational awareness (kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Orang yang tanpa rasa dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh sesak itu pastilah bukan tipe orang yang paham akan makna kesadaran situasional. Demikian juga orang yang merokok di ruang ber AC atau yang merokok di ruang terbuka dan menghembuskan asap secara serampangan pada semua orang disekitarnya. Elemen yang kedua adalah presense (atau kemampuan membawa diri). Meliputi etika penampilan seseorang, tutur kata dan sapa yang seseorang bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya. Seseorang tentu bisa mengingat siapa rekan atau atasan yang memiliki kualitas presense yang baik dan mana yang buruk. Elemen yang ketiga adalah authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia nan bermartabat. Elemen yang keempat adalah clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana seseorang dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide secara renyah dan persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Seringkali seseorang memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara cantik sehingga atasan atau rekan kerja kita tidak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif hanya akan bisa dibangun manakala seseorang mampu mengartikulasikan segenap pemikiran dengan penuh kejernihan. Elemen yang terakhir adalah empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan meaningful kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang kuat terhadap sesama rekan kita. 2. Pengembangan Moral Tahap-tahap perkembangan moral menurut Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut: a. Tingkat Prakonvensional Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu: 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. 2. Orientasi relativis-instrumental Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung- rugi. b. Tingkat Konvensional Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan- ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat. Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu: 1. Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi “Anak Manis” Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. 2. Orientasi hukum dan ketertiban Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya. c. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu: 1. Orientasi kontrak sosial legalitas Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban . 2. Orientasi prinsip dan etika universal Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.
SUMBER
Hasanah ika. 2014. Jurnal Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik.