Anda di halaman 1dari 7

Nama : Abda Deo Buana Advent

NIM : 1841041007

PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL PESERTA DIDIK


A. Deskripsi perkembangan social dan moral
Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial atau
proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi.
Meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Tuntutan
sosial pada perilaku sosial anak tergantung dari perbedaan harapan dan tuntutan budaya dalam
masyarakat tempat anak tumbuh-kembang, serta usia dan tugas perkembangannya. Setiap
masyarakat memiliki harapan sosial sesuai budaya masyarakat tersebut. Pada masyarakat
pedesaan, anak usia 4-5 tahun tidak mesti masuk Taman Kanak-Kanak. Tetapi, budaya masyarakat
kota menuntut anak usia tersebut bersekolah di TK.
Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat
istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang
mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral
merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas
merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan
sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya
kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral
adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui desertasinya yang sangat monumental yang
berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and Choice in the Years 10 to
16.Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlberg (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a. penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
b. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus
diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan
moralnya.
c. Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah
mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Bagi seorang anak perkembangan moral itu akan di kembangkan melalui pemenuhan
kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu fisiologi) untuk selanjutnya dipolakan melalui pengalaman
dalam lingkungan keluarga, sesuai dengan nilai-nilai yang di berlakukannya. Maka disinilah
sebenarnya letak peranan utama bagi orang-orang yang paling dekat atau akrab dengan anak
(terutama ibu) dalam memberikan dasar-dasar pola perkembangan moral anak berikutnya.
Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama di
tentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan disisi lain, lingkungan sosial
merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif anak secra aktif.

B. Alternatif Upaya Pengembangan Sosial dan Moral


1. Pengembangan Sosial
a. Cara Peningkatan Potensi Sosial
Para ahli pendidikan menegaskan, ada dua cara untuk menanamkan nilai-nilai sosial
dalam pendidikan. Pertama, melalui proses belajar sosial (social learning) atau sosialisasi. Kedua
melalui kesetiaan sosial yaitu dengan memainkan peran sosial sesuai dengan nilai yang dianut di
masyarakat.
1) Belajar Sosial
Belajar sosial berarti belajar memahami dan mengerti tentang perilaku dan
tindakan masyarakat. Peserta didik diajarkan mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola nilai
dan tingkah laku dengan standar tingkah laku dimana ia hidup. Selanjutnya, semua sifat dan
kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu, menjadi bagian integratif peserta didik
dengan masyarakat. Proses seperti inilah yang dapat menumbuhkan kecakapan sosial peserta
didik.
2) Pembentukan Kesetiaan Sosial
Melalui proses pembentukan kesetiaan sosial (formation of social loyalities).
perkembangan kesetiaan sosial ini muncul berkat kesadaran peserta didik terhadap kehidupan
ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat merupakan sumber kesetiaan bagi anggotanya. Sebab-
sebab munculnya kesetiaan sosial diantaranya adalah partisipasi sosial, komunikasi dan
kerjasama individu dalam kehidupan kelompok. Peserta didik yang hadir di tengah-tengah
kehidupan masyarakat secara spontan diterima sebagai anggota baru. Sebagai anggota baru,
peserta didik belum mengetahui pola dan system perilaku orang yang ada di sekelilingmya.
Contoh sederhananya adalah seperti pada kasus anak yang baru bisa berjalan, setiap anggota
masyarakat menyapa, menggandeng dan ikut membantu berjalan anak. Respon anak adalah
kemesraan dan afeksi (kepuasan) sehingga berjumpa lagi dengan orang tersebut si anak
langsung tersenyum dan bergerak mendekatinya.
Bentuk kesetiaan sosial berkembang menjadi semakin komplek kepada kelompok yang
makin besar. Kesetiaan sosial dimulai dari keluarga, teman sebaya dan sekolah. Biasanya
kelompok ini disebut dengan kelompok primer, dimana setiap anggota kelompok dapat
berinteraksi secara langsung dan face to face. Kemudian kesetiaan sosial berkembang seiring
dengan perkembangan kedewasaan peserta didik, semakin dewasa peserta didik semakin
berkembang kesetiaan sosialnya kepada kelompok pekerjaan, kelompok agama, perkumpulan
(organisasi), baik kemasyarakatan maupun bangsa. Perkembangan yang lebih luas dan besar ini
disebut lingkungan sekunder, dimana seluruh anggota kelompok mencerminkan seorang individu
yang komplek.
b. Pengembangan Kecerdasan Sosial
Dalam mengembangkan kecerdasan sosial ada beberapa teknik yang sering dipakai
diantanya adalah sebagai berikut:
a) Teknik Sosialisasi
Pada dasarnya, sosialisasi memberikan dua kontribusi fundamental bagi kehidupan kita.
Pertama, memberikan dasar atau fondasi kepada individu bagi terciptanya partisipasi yang efektif
dalam masyarakat, dan kedua memungkinkan lestarinya suatu masyarakat–karena tanpa
sosialisasi akan hanya ada satu generasi saja sehingga kelestarian masyarakat akan sangat
terganggu. Contohnya, masyarakat Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. akan lenyap manakala
satu generasi tertentu tidak mensosialisasikan nilai-nilai kesundaan, kejawaan, kebatakan kepada
generasi berikutnya. Agar dua hal tersebut dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang
harus ada agar proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua adalah
adanya warisan sosial (Sudjana, 1993).
Sosialisasi juga menuntut adanya lingkungan yang baik yang menunjang proses tersebut,
di mana termasuk di dalamnya interaksi sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh
tentang pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977) menaruh minat
pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan sosialnya. Pada tahun 1970 di California ada
seorang anak berusia tigabelas tahun bernama Ginie yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil
oleh orang tuanya. Dia jarang sekali diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Kejadian
ini diketahui oleh pekerja sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan
orang tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan dengan sengaja. Pada saat
akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri.
Sosialisasi melibatkan proses pembelajaran. Pembelajaran tidak sekedar di sekolah
formal, melainkan berjalan di setiap saat dan di mana saja. Belajar atau pembelajaran adalah
modifikasi perilaku seseorang yang relatif permanen yang diperoleh dari pengalamannya di
dalam lingkungan sosial/fisik. Seseorang selalu mengucapkan salam pada saat bertemu orang
lain yang dikenalnya; perilaku tersebut merupakan hasil belajar yang diperoleh dari lingkungan
dimana dia dibesarkan.
Berdasarkan teori pembelajaran sosial, pembelajaran terjadi melalui dua cara. (1)
dikondisikan, dan (2) meniru perilaku orang lain. Tokoh utama pendekatan pertama adalah B.F.
Skinner (1953), yang terkenal dengan konsep operant conditioning – Berdasarkan berbagai
percobaan melalui tikus dan merpati, Skinner memperkenalkan konsepnya tersebut. Perilaku
yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau negatif dari perilaku yang
sama sebelumnya. Seorang anak rajin belajar karena memperoleh hadiah dari orang tuanya.
Seorang murid yang mempeoleh nilai baik, dipuji-puji didepan orang banyak. Memuji, memberi
imbalan, merupakan cara untuk memunculkan bentuk perilaku tertentu. Memarahi, memberi
hukuman, merupakan cara untuk menghilangkan perilaku tertentu. Dengan demikian jika
generasi awal ingin melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada generasi sesudahnya, maka
kepada setiap perilaku yang dianggap perlu dilestarikan harus diberikan imbalan. Seorang anak
diminta berdoa sebelum makan, dan setelah selesai berdoa, orang tuanya memujinya.
b) Teknik SPACE
Albrecht dalam bukunya The New Science of Success menyebutkan lima elemen kunci
yang bisa mengasah kecerdasan sosial kita, yang ia singkat menjadi kata SPACE. Elemen
pertama adalah kata S yang merujuk pada kata situational awareness (kesadaran situasional).
Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan
kebutuhan serta hak orang lain. Orang yang tanpa rasa dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh
sesak itu pastilah bukan tipe orang yang paham akan makna kesadaran situasional. Demikian
juga orang yang merokok di ruang ber AC atau yang merokok di ruang terbuka dan
menghembuskan asap secara serampangan pada semua orang disekitarnya.
Elemen yang kedua adalah presense (atau kemampuan membawa diri). Meliputi etika
penampilan seseorang, tutur kata dan sapa yang seseorang bentangkan, gerak tubuh ketika bicara
dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti
akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya.
Seseorang tentu bisa mengingat siapa rekan atau atasan yang memiliki kualitas presense yang
baik dan mana yang buruk.
Elemen yang ketiga adalah authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku kita yang
akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur,
terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya
dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia nan bermartabat.
Elemen yang keempat adalah clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana
seseorang dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide secara renyah dan
persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Seringkali seseorang
memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara cantik sehingga atasan
atau rekan kerja kita tidak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif hanya akan bisa
dibangun manakala seseorang mampu mengartikulasikan segenap pemikiran dengan penuh
kejernihan.
Elemen yang terakhir adalah empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh
mana kita bisa berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita
memiliki ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain.
Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan meaningful kalau saja
kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang kuat terhadap sesama rekan kita.
2. Pengembangan Moral
Tahap-tahap perkembangan moral menurut Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih
ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa
sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan.
Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
1. Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa
menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari
hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
2. Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat
untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.
Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-
rugi.
b. Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:
1. Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi “Anak Manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu
orang lain serta yang disetujui oleh mereka.
2. Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata
tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati
otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang
sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
c. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip
Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral
dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan
dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip
tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.
Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
1. Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan
yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah
diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang
jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut.
Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang
telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat
pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada
kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat
sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat
kewajiban .
2. Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang
dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi
logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret.
Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi
manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.

SUMBER

Hasanah ika. 2014. Jurnal Perkembangan Sosial dan Moral Peserta Didik.

Anda mungkin juga menyukai