Kebulatan adalah keseragaman jarak antara titik pusat dengan titik terluar
(jari – jari). Pengukuran kebulatan merupakan pengukuran yang ditujukan untuk
memeriksa kebulatan suatu benda. Sedangkan kesilindrisan adalah keseragaman
jarak antara titik pusat dengan titik terluar (jari-jari) yang berlaku secara simultan
keseluruh permukaan atau sepanjan benda kerja. Untuk melakukan pengukuran
menganai kebulatan maka digunakan satu titik. Namun, jika mengukur
kesilindrisan suatu benda maka digunakan beberapa titik pada permukaan suatu
benda ukur.
Pada praktikum ini digunakan 3 metode pengukuran kebulatan dan
kesilindrisan. Yaitu pengukuran dengan metode blok V, senter meja, dan batang
sinus. DITAMBAHIN KATA BIAR JADI 1 PARAGRAF.
Data yang diperoleh dari percobaan menggunakan blok V, didapatkan
bahwa toleransi maksimum pada Pengamat 2 sama dengan dari Pengamat 1 ,
namun terdapat lebih banyak penyimpangan pada pengamatan oleh pengamat 1
sehingga dapat dikatakan bahwa Pengamat 2 lebih teliti dalam melakukan
pengukuran dari pada Pengamat 1. Pada pengukuran dengan menggunakan
metode senter meja 2 didapatkan bahwa toleransi maksimum pada pengamat 2
lebih kecil dari pengamat 1 sehingga dapat dikatakan bahwa pengamat 2 lebih
teliti dalam melakukan pengukuran dari pada pengamat 1. Hasil perhitungan
penyimpangan kesilindrisan pada 3 titik didapatkan penyimpangan untuk titik I
adalah 20 µm, penyimpangan pada titik II sebesar 25 µm dan penyimpangan
pada titik III adalah 40 µm.
i
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi
BAB I ...................................................................................................................... 7
PENDAHULUAN .................................................................................................. 7
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 7
BAB II ..................................................................................................................... 4
DASAR TEORI ...................................................................................................... 4
2.1 Kesilindrisan dan Kebulatan ......................................................................... 4
ii
3.2 Langkah-langkah percobaan ....................................................................... 14
iii
BAB V................................................................................................................... 38
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 38
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 38
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pengukuran Kebulatan ...................................................................4
Gambar 2.2 Pengukuran Kesilindrisan ..............................................................5
Gambar 2.3 Ekspektasi penyimpangan ...............................................................5
Gambar 2.4 V-Block ...........................................................................................6
Gambar 2.5 Metode Blok V ................................................................................7
Gambar 2.6 Metode Senter Meja ........................................................................7
Gambar 2.7 Blok Ukur .......................................................................................10
Gambar 2.8 Susunan Blok Ukur .........................................................................11
Gambar 2.9 Batang Sinus ....................................................................................12
Gambar 2.10 Metode Batng Sinus ......................................................................12
Gambar 3.1 Set Alat Metode Blok V .................................................................15
Gambar 3.2 Set Alat Metode Senter Meja .........................................................15
Gambar 3.3 Set Alat Metode Batang Sinus .......................................................17
Gambar 3.4 Flow Chart pengukuran kebulatan metode V- Block .......................18
Gambar 3.5 Flow Chart pengukuran kebulatan metode Senter Meja .................19
Gambar 3.6 Flow Chart pengukuran kesilindrisan metode Senter Meja ............20
Gambar 3.7 Flow Chart pengukuran sudut batang sinus ....................................21
Gambar 4.1 Diagram Radar kebulatan V-Block...................................................29
Gambar 4.2 Diagram Radar kebulatan Senter Meja ...........................................30
Gambar 4.3 Diagram Radar Kebulatan V-Blok ................................................35
Gambar 4.4 Diagram Radar Kebulatan senter meja ..........................................37
Gambar 4.5 Diagram Radar Kesilindrisan Senter Meja........ ...........................38
v
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Kebulatan metode V-blok ................................................................ 29
Tabel 4.2 Kebulatan metode senter meja ......................................................... 30
Tabel 4.3 Penyusunan Blok Ukur sebesar h..................................................... 31
Tabel 4.4 Penyusunan Blok Ukur dari h .......................................................... 31
Tabel 4.5 Penyusunan Blok Ukur sebesar h..................................................... 33
Tabel 4.6 Penyusunan Blok Ukur sebesar h..................................................... 33
vi
BAB I
PENDAHULUAN
vii
2. Bagaimana cara melakukan pengukuran kebulatan dengan menggunakan
metode senter meja?
3. Bagaimana cara melakukan pengukuran kesilindrisan dengan menggunakan
metode senter meja?
4. Bagaimana cara mengukur sudut dengan menggunakan batang sinus?
1.3 Tujuan Percobaan
1. Mengetahui cara melakukan pengukuran kebulatan dengan menggunakan
metode V-block
2. Mengetahui cara melakukan pengukuran kebulatan dengan menggunakan
metode senter meja
3. Mengetahui cara melakukan pengukuran kesilindrisan dengan
menggunakan metode senter meja
5. Mengetahui cara mengukur sudut dengan menggunakan batang sinus
1.4 BatasanMasalah
Batasan Masalah dari praktikum ini adalah :
1. Alat ukur dianggap telah dikalibrasi dengan baik.
2. Kondisi lingkungan tempat dilaksanakan praktikum tidak berubah
maksudnya sudah dijaga kondisinya tanpa ada debu atau kotoran,
temperatur yang dijaga pada 200 sesuai standar pengukuran.
3. Meja ukur yang digunakan dianggap rata.
2
Berisikan teori yang menunjang praktikum yang meliputi kesilindrisan dan
kebulatan, V-block dan senter meja, blok ukur serta pengukuran sudut
dengan batang sinus.
o Bab III Metodologi Percobaan
Berisi tentang cara-cara pengukuran sudut, kesilindrisan, dan kebulatan
dengan menggunakan metode V-block, senter meja dan batang sinus.
3
BAB II
DASAR TEORI
Kebulatan adalah keseragaman jarak antara titik pusat dengan titik terluar
(jari – jari). Pengukuran kebulatan merupakan pengukuran yang ditujukan untuk
memeriksa kebulatan suatu benda, atau dengan kata lain untuk mengetahui apakah
suatu benda benar-benar bulat atau tidak jika dilihat secara teliti dengan
menggunakan alat ukur. Pengukuran kebulatan merupakan salah satu dari tipe
pengukuran yang tidak berfungsi menurut garis. Kebulatan dan diameter adalah dua
karakter geometris yang berbeda, meskipun demikian keduanya saling berkaitan.
Ketidakbulatan akan mempengaruhi hasil pengukuran diameter, sebaliknya
pengukuran diameter tidak selalu akan menunjukkan ketidakbulatan. Di bawah ini
ditunjukkan gambar pengukuran kebulatan. Gambar dari pengukuran kebulatan
dapat dilihat pada pada gambar 2.1 dibawah ini
4
Gambar 2.2 Pengukuran kesilindrisan [3]
Selain itu dibawah ini ditunjukkan hasil pengukuran kebulatan dan kesilindrisan
berupa nilai penyimpangan pengukuran. Pada gambar 2.3 ditunjukkan gambar
ekspektasi penyimpangan
Exencricity axis
Graph of reference
surface
Second graph
N
Exencricity axis
Graph of reference
surface
M
Second graph
N
5
2.2 V - Block dan Senter Meja
2.2.1 V - Block
Komponen dengan kebulatan ideal sangat sulit untuk dibuat.
Dengan demikian harus ada toleransi dalam batas – batas tertentu sesuai
dengan fungsi komponen. Salah satu alat untuk pengukuran kebulatan
adalah dengan memakai blok V dan jam ukur yang diletakkan diatas benda
kerja. Metode ini merupakan cara klasik untuk mengethui kebulatan akan
tetapi hasilnya dapat digunakan untuk menggambarkan kebulatan dalam arti
yang sesungguhnya. Pada gambar 2.4 ditunjukkan gambar V block
6
Gambar 2.5 Metode blok V [3]
2.2.2 Senter Meja
Senter meja merupakan salah satu alat untuk pengukuran kebulatan.
Biasanya dalam penggunaannya senter meja digunakan bersama dengan
dial indicator yang diletakkan diatas benda kerja. Metode ini merupakan
metode yang lebih modern jika dibandingkan dengan metode blok V. Pada
metode senter meja benda kerja dapat berputar dengan baik karena
menggunakan motor penggerak. Pergeseran sumbu benda kerja dapat
diminimalkan karena menggunakan pencekam pada tiap ujung sumbu
benda kerja. Sehingga senter meja memiliki ketelitian pengukuran yang
lebih baik jika dibandingkan dengan blok V. Pada gambar 2.6 ditunjukkan
gambar pengukuran kebulatan dengan senter meja
7
2.3 Alat Ukur Standar Blok Ukur
Blok ukur merupakan salah satu alat ukur linear tak langsung. Pengukuran
dikatakan tidak langsung bila pembandingnya adalah suatu yang telah
dikalibrasikan terhadap besaran standar. Blok ukur merupakan alat ukur standar,
dimana mempunyai dua permukaan (muka ukur) yang dibuat sangat halus, rata,
sejajar, dan mempunyai ukuran tertentu. Blok ukur mempunyai bentuk persegi
panjang bulat, sudut atau persegi empat, mempunyai dua sisi sejajar dengan ukuran
tepat. Karena kehalusan dan kerataan muka ukurnya maka dua atau lebih blok ukur
dapat disusun sedemikian rupa sehingga dapat bersatu dengan kuat. Sifat saling
lekat (wringability) ini memungkinkan kita untuk memperoleh dimensi atau jarak
tertentu dengan menyunsun blok ukur dari berbagai ukuran. Selanjutnya ukuran
yang diperoleh tersebut dapat dipakai sebagai ukuran standar untuk proses kalibrasi
ataupun untuk proses pengukuran tak langsung.
Blok ukur biasanya dibuat dari baja karbon tinggi, baja paduan atau karbida
logam yang setelah mengalami laku panas (heat treatment) akan mempunyai sifat –
sifat penting yang harus dipunyai oleh suatu alat ukur standar, yaitu :
- Tahan aus karena kekerasan tinggi (65 RC)
- Tahan korosi
- Koefisien muai yang baik
- Kestabilan dimensi yang baik.
Untuk mendapatkan permukaan yang halus dan rata maka proses terakhir
dari pembuatan blok ukur adalah proses gosok – halus (lapping). Oleh karena itu
sangat wajar jika harga blok ukur sangat mahal.Contoh ukuran dari blok ukur
karbida yang terdiri dari 88 blok :
1) 3 blok : 0,5; 1,0; 1,0005 mm
2) 9 blok dengan imbuhan sebesar 0,001 mm mulai dari 1,001
hingga 1,009
3) 49 blok dengan imbuhan sebesar 0,01 mm mulai dari 1,01 hingga
1,49 mm
4) 17 blok dengan imbuhan sebesar 0,5 mm mulai dari 1,5 hingga
9,5 mm
8
5) 10 blok dengan imbuhan sebesar 10 mm mulai dari 10 hingga 100
mm.
Contoh 1 set blok ukur 112 buah dengan tebal dasar 1mm :
Tabel2.1 Set Blok ukur 112 buah
9
Blok yang
Langkah – Langkah
digunakan
Dimensi yang dikehendaki = 91,658 mm 1,008 mm
Dimensi blok ukur 1,008 mm–
Sisa 90,65 mm
Dimensi sisa = 90,65 mm 1,15 mm
Dimensi blok ukur 1,15mm–
Sisa 89,50 mm
Dimensi sisa = 89,5 mm 9,5 mm
Dimensi blok ukur 9,5mm–
Sisa 80mm
Dimensi sisa = 80 mm 80 mm
Dimensi blok ukur 80 mm–
0
Dimana susunan blok ukur disusun dari blok dengan ukuran terkecil ke
ukuran terbesar seperti ditunjukkan gambar dibawah ini. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah pemindahan blok ukur ke lokasi pengukuran. Pada gambar
2.8 ditunjukkan gambar susunan blok ukur
1,008 mm
1,15 mm
9,5 mm
80 mm
10
2.4 Pengukuran Sudut dengan Batang Sinus
2.4.1 Alat Ukur Sinus
Batang sinus berupa suatu batang baja dengan dua buah rol yang diletakkan
pada kedua ujungnya pada sisi bawah. Batang dan rol tersebut dikeraskan dan diasah
halus pada permukaannnya yang penting pada kedua silinder atau rol mempunyai
kesamaan diameter dan kesilindrisan dengan toleransi yang cukup sempit (0,003
mm). Mereka dipasang dengan jarak antara senter tertentu (100, 200, 250, atau 300
mm) dengan toleransi posisi dan kesejajaran yang tinggi (0,005 mm). Kesejajaran
kedua rol tersebut terhadap permukaan batang sebelah atas atau kesamaan jarak dari
sumbu mereka terhadap permukaan batang sebelah atas dibuat dengan toleransi
sempit (0,003 mm). Tidak semua batang sinus dibuat dengan toleransi diatas (0,003
mm) ada pula yang dibuat dengan toleransi dibawah (0,003 mm). Toleransi yang
sempit tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketelitian dari sudut yang diukur.
Pada gambar 2.9 ditunjukkan gambar batang sinus
11
menggunakan jarum ukur (dial indicator). Pada gambar 2.10 ditunjukkan gambar
pengukuran kesejajaran dengan metode batang sinus
12
Selisih = 0,00028
Harga detik yang harus ditambahkan pada sudut 20o25 adalah :
(0,00024/0,00028) x 60 = 51”
13
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
14
Gambar 3.1 Set alat metode blok V
2. Posisi jarum ukur terletak pada posisi yang tepat dan jarum pada titik
tertentu diatur.
3. Putar benda uji 180º pada setiap posisi yang berbeda 30º (12 posisi), harga
yang ditunjukkan oleh jarum (dial indicator) dicatat.
4. Pengukuran dilakukan 1 kali dengan 2 pengamat.
3.2.1.2 Metode Senter Meja
Langkah-langkah pada percobaan pengukuran percobaan kebulatan dan
keselindrisan yang menggunakan metode senter meja yaitu :
1. Peralatan disusun seperti pada gambar 3.2
15
2. Posisi jarum ukur pada posisi yang tepat dan jarum pada titik tertentu diatur.
3. Benda uji 180º diputar pada setiap posisi yang berbeda 30º (12 posisi), catat
harga yang ditunjukkan oleh jarum (dial indicator).
4. Pengukuran dilakukan 1 kali dengan 2 pengamat.
(1)
7. Blok ukur disusun kembali menjadi :
ℎ′ = ℎ ± 𝑦 (2)
8. Kesejajaran permukaan benda ukur diperiksa kembali.
9. Harga α’ dihitung :
(3)
16
Gambar 3.3 Set alat metode batang sinus
Keterangan :
1. Meja rata
2. Batang sinus
3. Dial indicator
4. Blok ukur
5. Dudukan pemindah
17
3.3 Flow Chart Pengukuran
3.3.1 Kebulatan metode V Blok
–
START
- MEJA RATA
- BENDA UKUR
- BLOK V
- JAM UKUR
N=0
N’ = N + 30
N ≤ 360
END
18
3.3.2 Kebulatan metode Senter Meja
START
- MEJA RATA
- BENDA UKUR
- SENTER MEJA
- JAM UKUR
N=0
N’ = N + 30
N ≤ 360
END
19
3.3.3 Kesilindrisan metode Senter Meja
START
- MEJA RATA
- BENDA UKUR
- SENTER MEJA
- JAM UKUR
N=0
N’ = N + 30
N ≤ 360
END
20
3.3.4 Pengukuran Sudut batang sinus
21
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kebulatan
4.1.1 Tabel Kebulatan Metode V-Block
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Pengamat 0 +3 +3 +6 +3 0 +8 +10 +14 +15 +12 +15 +18
1
Pengamat 0 0 -1 -4 -6 - -4 -2 -1 -2 0 -1 -3
2 6
Tabel 4.1 tabel kebulatan metodev-block
1
0
13 2
-1
12 -2 3
-3
-4
11 4
-5
10 5
9 6
8 7
22
4.1.3 Tabel Kebulatan Metode Senter Meja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Pengamat 0 - - - - - - - - - - - -
1 9 11 19 31 33 33 38 38 38 34 31 31
Pengamat 0 0 -8 0 -5 -8 -8 -9 -8 -7 -4 0 0
2
10 5
9 6
8 7
23
= 0 µm – (-9)µm
= 9 µm = 0,009 mm
2. Menghitung sin α
Menentukan harga y ;
𝑑.𝐿 0.042𝑚𝑚.200𝑚𝑚
𝑦= = = 0.168𝑚𝑚
𝐿′ 50𝑚𝑚
Sisa 73,110 mm
Dimensi sisa = 73,11 mm 1,11 mm
Sisa 72 mm
Dimensi sisa = 72 mm 50 mm
24
Sisa 22 mm
Dimensi sisa = 22 mm 22 mm
Sisa 0 mm
Sisa 73 mm
Dimensi sisa = 73 mm 23 mm
Sisa 50 mm
Dimensi sisa = 50 mm 50 mm
Dimensi blok ukur 50 mm
Sisa 0 mm
25
ℎ′′ = ℎ′ + 𝑦′ = 74,28 + 0,068 = 74,348 𝑚𝑚
Sisa 73,110 mm
Dimensi sisa = 73,34 mm 1,34 mm
Sisa 72 mm
Dimensi sisa = 72 mm 50 mm
Sisa 22 mm
Dimensi sisa = 22 mm 22 mm
Sisa 0 mm
26
Sisa 73,24 mm
Sisa 72 mm
Dimensi sisa = 72 mm 50 mm
Sisa 22 mm
Dimensi sisa = 22 mm 22 mm
Sisa 0 mm
Menghitung
ℎ′′′′ 74,208
𝑎′ = sin−1 ( ) = sin−1 ( ) = 21.78
𝐿 200
27
4.4 Pembahasan
4.4.1 Pembahasan Kebulatan Metode V-Block
1
0
13 2
-1
12 -2 3
-3
-4
11 4
-5
10 5
9 6
8 7
28
dapat dikatakan bahwa Pengamat 2 lebih teliti dalam melakukan pengukuran dari
pada Pengamat 1 dikarenakan benda dikatakan bulat adalah simpangannya
mendekati 0 dari semua titik ukur dan hasil yang paling mendekati 0 adalah
Pengamat 2.
Kesalahan pada pengukuran kebulatan dengan metode v-block dapat
disebabkan pada saat pengambilan data. Kesalahan pada benda ukur posisinya
sedikit miring, pemutaran benda ukur yang terlalu cepat sehingga titik pengukuran
tidak tepat. Selain itu dapat juga disebabkan oleh sifat-sifat alat ukur yang timbul
seperti histerisis, floating, keausan, kalibrasi dan sensitivity.
4.4.2 Pembahasan Kebulatan Metode Senter Meja
10 5
9 6
8 7
29
pengukuran ke-3 sampai pengukuran ke-5 mengalami penurunan. Pada pengukuran
ke-6 konstan sampai pada pengukuran ke-8. Pada pengukuran ke-9 mengalami
kenaikan sampai pengukurn ke-11, lalu pada pengamatan ke 12 dan ke 13
mengalami nilai konstan. Hasil perhitungan toleransi kebulatan dengan metode
senter meja didapatakan penyimpangan pengukuran kebulatan oleh pengamat 1
sebesar 23 μm dan penyimpangan pengukuran kebulatan oleh pengamat 2 sebesar
20 μm.
Berdasarkan toleransi maksimum antara pengamat 1 dan 2 didapatkan bahwa
toleransi maksimum pada pengamat 2 lebih kecil dari pengamat 1 sehingga dapat
dikatakan bahwa pengamat 2 lebih teliti dalam melakukan pengukuran dari pada
pengamat 1 dikarenakan benda dikatakan bulat adalah simpangannya mendekati 0
dan hasil yang paling mendekati 0 adalah pengamat 2.
10 5
9 6
8 7
30
penurunan nilai dari titik pertama sampai pada titik keenam, kemudian dari titik ke
enam sampai ke delapan nilainya konstan , lalu untuk posisi sembilan sampai dua
belas mengalami kenaikan dan pada posisi dua belas sampai tiga belas mengalami
nilai konstan. Untuk posisi kedua, pada titik pertama sampai keenam terjadi
penurunan, kemudian dari titik keenam sampai titik ke tujuh nilainya konstan , lalu
terjadi penurunan kembali sampai pada titik ke sebelas dan dari titik sebelas sampai
tiga belas mengalami nilai konstan . Untuk posisi ketiga , pada posisi titik pertama
sampai titik kelima mengalami penurunan , kemudaian dari titik enam sampai 12
mengalami kenaikan dan pada titik 12 sampai 13 mengalami nilai konstan. Terlihat
bahwa garis lingkaran pengamatan posisi ketiga bentuknya lebih kecil
dibandingkan dengan grafik lingkaran pengamatan posisi kedua dan grafik
lingkaran pada pengamatan pertama. Dari 3 grafik lingkaran, pengamatan kedua
dan ketiga tidak berbentuk lingkaran sempurna. Tetapi dari grafik diatas terlihat
bahwa grafik yang paling hampir membentuk lingkaran sempurna adalah grafik
lingkaran pada pengamatan pertama.
Terlihat bahwa pada dari setiap posisi terjadi penyimpangan yang berbeda.
Dan mengalami perubahan yang agak signifikan. Penyimpangan pada tiga posisi
pengukuran masing-masing sebesar 20 µm, 25 µm dan 40 µm. Pada pengamatan
posisi pertama bentuknya cenderung hampir berbentuk grafik lingkaran sempurna,
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pada posisi pertama benda uji berbentuk
bulat. Sedangkan pada pengamatan di titik 2, bentuk grafik cenderung tidak bulat
terlihat pada titik 1 yang kurang membentuk lingkaran. Pada pengamatan titik 3
terdapat penyimpangan terbesar yang melebihi toleransi kesilindrisan yang
diizinkan sebesar 10 µm. Artinya silinder pejal tersebut memiliki kerataan yang
berbeda di setiap titik pengukuran dan bisa disimpulkan bahwa benda ukur sudah
tidak silindris lagi.
31
diperoleh nilai α = 21,75o. Kemudian menghitung harga nilai awal h dengan
persamaan dibawah ini :
h = L. sin α h = 200 mm . sin 21,75o h = 74,112mm
Jadi didapatkan nilai awal h yang terukur adalah sebesar 74,112 mm. Setelah
mendapatkan nilai awal h, selanjutnya menyusun blok ukur setinggi harga h.
Adapun susunan blok ukur yang dipakai adalah 50 mm, 22 mm, 1,11 mm dan 1,002
mm. Blok ukur tersebut disusun dari ukuran yang paling besar berada di bawah
hingga yang paling kecil. Setelah didapatkan susunan blok ukur maka menyusun
alat – alat ukur tersebut menjadi satu rangkaian. Kemudian dilakukan pemeriksaan
kesejajaran antara benda ukur dan meja ukur dengan menggunakan jam ukur (dial
indicator) dimana jarak pergeseran jam ukur sepanjang L’ = 50 mm. Selama proses
pemeriksaan jam ukur menunjukkan penyimpangan (d) kearah ccw sebesar d =
0,042 mm. Selanjutnya menentukan harga y dengan persamaan berikut ini :
𝑑.𝐿 0,042 𝑥 200
𝑦= = = +0,168 mm
𝐿′ 50
untuk nilai y (-) jarum ukur bergerak cw dan nilai y (+) jarum ukur bergerak ccw.
Kemudian mencari nilai h’ yang merupakan tinggi blok ukur setelah diukur ulang.
Adapun persamaan sebagai berikut :
dari nilai h’ diatas maka dilakukan penyusunan blok ukur kembali dengan tinggi
blok ukur sebesar h’ = 74,28 mm. Adapun susunan blok ukur yang dipakai adalah
50 mm, 23 mm, dan 1,28 mm. Setelah didapatkan susunan blok ukur maka
menyusun alat – alat ukur tersebut menjadi satu rangkaian. Kemudian dilakukan
pemeriksaan kesejajaran antara benda ukur dan meja ukur dengan menggunakan
jam ukur (dial indicator) dimana jarak pergeseran jam ukur sepanjang L’ = 50 mm.
Selama proses pemeriksaan jam ukur menunjukkan penyimpangan (d) kearah ccw
sebesar d = 0,017 mm. Selanjutnya menentukan harga y dengan persamaan berikut
ini :
𝑑.𝐿 0,017 𝑥 200
𝑦= = = +0,068 mm
𝐿′ 50
untuk nilai y (-) jarum ukur bergerak cw dan nilai y (+) jarum ukur bergerak ccw.
32
Kemudian mencari nilai h’ yang merupakan tinggi blok ukur setelah diukur ulang.
Adapun persamaan sebagai berikut :
untuk nilai y (-) jarum ukur bergerak cw dan nilai y (+) jarum ukur bergerak ccw.
Kemudian mencari nilai h’ yang merupakan tinggi blok ukur setelah diukur ulang.
Adapun persamaan sebagai berikut :
dari nilai h’ diatas maka dilakukan penyusunan blok ukur kembali dengan tinggi
blok ukur sebesar h’ = 74,28 mm. Adapun susunan blok ukur yang dipakai adalah
50 mm, 22 mm, 1,24 mm dan 1,008. Kemudian diukur lagi kerataaan benda ukur
dan kesejajaran benda ukur dengan menggunakan jam ukur ( Dial Indicator ) .
Selama proses pemerikasaan jam ukur menunjukkan penyimpangan ( d ) sebesar d’
= −10 𝑥 10−3 ( Sudah memenuhi syarat ). Dari situ kita anggap benda ukur sudah
mempunyai kerataan yang sama sejauh pergerakan jam ukur . Kemudian mencari
α dengan persamaan dibawah ini :
Dari hasil pengukuran sudut pada benda ukur didapatkan dengan bevel protactor
sebesar 21,75° dan batang sinus sebesar 21,81°.Ada perbedaan nilai antara hasil
pengukuran bevel protactor dan dengan batang sinus tapi masih dalam batas
toleransi yang dianjurkan ± 10 µm. Pada dasarnya pengukuran dengan dial
indicator mempunyai hasil lebih teliti dibandingkan dengan bevel protactor hal ini
disebabkan pada proses pengukuran dengan batang sinus pada blok ukurnya, serta
kecermatan dari blok ukur yang mencapai satuan detik, sedangkan bevel protractor
kecermatannya hanya mencapai satuan menit.
33
4.5 Kesalahan Pengukuran
4.5.1 Pengukuran Kebulatan Metode V-block
Pada pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan V-Block dan
dilakukan oleh 2 pengamat dengan 2 kali perhitungan secara begantian semisal
praktikan A melihat Dial Indikator sedangankan praktikan B menulis data
selanjutya begitu pula namun berganti posisi . Tren Grafik dari pengamat pertama
cenderung mengalami penurunan diawal kemudian konstan dan menurun kembali
. Tren Grafik Pengamat kedua cenderung mengalami penurunan yang lebih kecil
dari pengamat pertama dan tidak ada penurunan yang signifikan.
Grafik hasil pengukuran oleh pengamat pertama berbentuk lingkaran yang
tidak sempurna dengan bentuk tidak beraturan .Hal ini bisa terjadi dikarenakan
posisi dial indikator yang tidak tegak lurus terhadap benda ukur sehingga
pembacaan ukuran akan tidak valid dan kesalahan yang kedua adalah pemutaran
benda ukur yang manual menyebabkan adanya kemungkinan pemutaran yang tidak
konsisten dan presisi.
34
4.5.3 Pengukuran Sudut dengan Batang Sinus
Pada percobaan pengukuran dengan batang sinus, sudut awal dihitung
dengan menggunakan bevel potactor dan didapat nilai α sebesar 21,75° . Setelah
mendapat nilai sudutnya, dicari nilai sinus dari sudut tersebut kemudian dihitung
ketinggian blok ukur yang akan dipasang dengan menggunakan rumus :
h = L × sin α
Sehingga didapatkan,
h = 200 mm × sin 21,75°
h = 200 mm × 0,3705
h = 74,1112 mm
Setelah mendapatkan nilai awal h sebesar 74,1115 mm, langkah selanjutnya adalah
menyusun blok ukur setinggi nilai h. Susunan blok ukur yang dipakai adalah 1,0005
mm,1,001 mm, 1,11 mm ; 21 mm ; 50 mm. Setelah didapatkan susunan blok ukur maka
menyusun alat-alat ukur tersebut menjadi satu rangkaian, namun pada praktikum di
laboratorium Metrologi Industri, rangkaian alat sudah terpasang semua, sehingga
praktikan tidak perlu memasang kembali alatnya. Setelah itu, susunan blok ukur
diletakkan di bawah batang sinus, dengan ketentuan batang sinus yang lebih besar
berada di bawah. Kemudian dilakukan pemeriksaan kesejajaran benda ukur dengan
menggunakan jam ukur (dial indikator) dimana jarak pergeseran jam ukur sebesar 50
mm. Dalam proses pemeriksaan jam ukur menunjukkan penyimpangan (d) kearah ccw
sebesar d = 84 μm = 0,084 mm. Kemudian adalah menentukan harga y dengan
persamaan berikut ini :
𝑙
y = d 𝑙′
untuk nilai y (-) jarum ukur bergerak cw, nilai y (+) jarum ukur bergerak ccw. Hal
tersebut berarti jika jarum dial indikator berputar searah jarum jam maka
permukaan benda cenderung semakin tinggi yang artinya susunan blok ukur terlalu
tinggi juga. Jika jarum dial indikator bergerak berlawanan arah jarum jam maka
permukaan benda yang diukur cenderung semakin rendah yang artinya susunan
blok ukur terlalu rendah. Dalam percobaan ini susunan blok ukur terlalu rendah
sehingga,
35
𝑙 200 𝑚𝑚
y=d. = 0,042 mm . = 0,332 mm
𝑙′ 50 𝑚𝑚
h’ = h + y
h’ = ( 74,1112 + 0,168 ) mm
h’ = 74,28 mm
Kemudian mencari nilai h’’ dari y2 yang sudah dicari dengan menggunakan rumus
:
h’’ = h ± y
Karena jarum indicator bergerak ccw sehingga rumus yang digunakan adalah :
h’’ = h + y
h’’ = ( 74,28 + 0,068 ) mm
h’’ = 74,348 mm
Kemudian mencari nilai sudut yang sebenarnya :
ℎ′
Sin α’ = 𝑙
ℎ′
α' = arc sin 𝑙
74,447 𝑚𝑚
= arc sin 200 𝑚𝑚
36
Dari pengukuran sudut yang dilakukan dengan bevel protactor dan dengan
perhitungan susut dengan batag sinus, didapatkan nilai sudut sebesar 21,75° untuk
pengukuran dengan bevel protactor dan dengan batang sinus sebesar 21,85°. Dari
hasil yang didapatkan dapat dianalisis bahwa pengukuran dengan batang sinus lebih
akurat dan teliti dari bevel protractor. Hal ini disebabkan oleh pada pengukuran
dengan bevel protactor, kecermatan alat ukur hanya sampai pada satuan menit,
sedangkan pada batang sinus, mengguakan blok ukur yang memiliki kecermatan
yang sangat tinggi dibandingkan dengan bevel protactor. Adanya penyimpangan
pengukuran sudut pada bevel protractor dikarenakan oleh posisi pengukuran dari
pengamat yang tidak tepat dan penglihatan pengamat pada saat mengukur yang
tidak tepat serta telalu cepat nya melakukan pergeseran dial indikator sehingga
penyimpangan yang terjadi besar.
37
BAB V
5.1 Kesimpulan
1. Dari hasil pengukuran kebulatan dengan metode V-Block, penyimpangan
terbesar pengamat 1 adalah dan pengamat 2 adalah 1 µm. Dan dari data-data
pengukuran 13 titik yang didapat, nilai rata-rata penyimpangan pertitik yang
dilakukan oleh pengamat 1 lebih besar dari pada nilai yang didapat dari
pengamat 2 sehingga dapat disimpulkan bahwa pengukuran yang dilakukan oleh
pengamat 2 lebih bulat dari pada pengamat 1.
2. Dari hasil pengukuran kebulatan dengan menggunakan metode senter meja,
penyimpangan terbesar pengamat 1 adalah 23 µm dan pengamat 2 adalah 20
µm. Dan dari data-data pengukuran 13 titik yang didapat, nilai rata-rata
penyimpangan pertitik yang dilakukan oleh pengamat 1 lebih kecil daripada nilai
yang didapat dari pengamat 2 sehingga dapat disimpulkan bahwa pengukuran
yang dilakukan oleh pengamat 1 lebih bulat daripada pengamat 2.
3. Dari hasil pengukuran kesilindrisan yang dilakukan sebanyak 3 kali dengan 13 titik
pengukuran, didapatkan bahwa hasil pengukuran menunjukkan adanya
penyimpangan yang berbeda dari setiap titik. Benda tidak silindris karena adanya
nilai penyimpangan yang berbeda-beda dari 3 kali percobaan besar.
4. Dari hasil pengukuran sudut menggunakan bevel protactor didapat α = 21,78°,
dan setelah dilakukan perhitungan sudut menggunakan batang sinus didapat
sudut koreksi α = 21,81°.
5.2 Saran
1. Kalibrasi dial indicator. Karena gerakan jarum dari dial tersebut tidak stabil.
2. Tata cara mounting benda ukur ke blok v dan senter meja hendaknya
disampaikan kepada praktikan, guna menghindari kemiringan saat memasang
benda ukur, terutama pada senter meja.
38
DAFTAR PUSTAKA
39