OLEH
BUDIDAYA PERTANIAN
AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2012
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
a. Hidrotopografi lahan
Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan
dengan ketinggian muka air di saluran. Lahan tipe A selalu terluapi oleh air pasang,
baik pasang besar (terjadi pada musim hujan) maupun pasang kecil (terjadi pada
musim kemarau), sedangkan lahan tipe B hanya terluapi oleh air pasang besar saja.
Lahan tipe C tidak terluapi oleh air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil,
tetapi muka air tanah di petak lahan masih dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang.
Pada lahan tipe D, selain tidak terluapi air pasang, muka air tanah juga tidak
terpengaruh oleh fluktuasi air pasang. ( Susanto,2000)
Tanpa irigasi, surnber air utama pada lahan rawa pasang surut berasal dari air
hujan dan air pasang di saluran. Pemasukan air ke petak lahan dengan memanfaatkan
potensi air pasang dapat dilakukan pada lahan tipe A dan B, sedangkan pemasukan
air pada lahan tipe C dan D sulit dilakukan karena permukaan lahan relatif lebih
tinggi dibandingkan muka air pasang di saluran. Kedalaman muka air tanah pada
lahan tipe C dan D dapat dipertahankan dengan teknik retensi air.
Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi
muka air yang berfungsi sebagai elevasi muka air referensi.
Karenanya berdasarkan pengertian di atas, maka untuk :
Lahan rawa pasang surut, pengertian hidrotopografi diterjemahkan sebagai berikut :
Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi muka
air pasang surut di saluran terdekat (saluran tertier dan bukan sungai / saluran primer
/ saluran sekunder) yang berfungsi sebagai elevasi muka air referensi.
Lahan rawa non pasang surut, pengertian hidrotopografi diterjemahkan sebagai
berikut :
Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi
muka air tertinggi rawa non pasang surut (Muka Air Tertinggi = M.A.T.) yang
berfungsi sebagai elevasi muka air referensi.
• Manfaat hidrotopografi
Hidrotopografi berguna untuk informasi / petunjuk apakah suatu lahan dapat
diairi atau tidak.
• Perubahan klasifikasi hidrotopografi sesuatu lahan
Akibat terjadinya penurunan muka tanah, maka elevasi lahan dapat berubah,
sehingga klasifikasi hidrotopografinya juga berubah.
Begitu juga perubahan dapat terjadi akibat perubahan elevasi muka air yang menjadi
elevasi referensi.
Faktor-faktor yang menentukan keadaan hidrotopografi di lapangan berbeda
antara rawa pasang surut dan rawa non pasang surut. Perbedaannya sebagai berikut :
a) Untuk rawa pasang surut
1. keadaan elevasi muka air pasang surut
2. peredaman fluktuasi pasang di saluran berdasarkan :a). dimensi penampang
saluran, b). kondisi pemeliharaan saluran, c). panjang saluran, d). adanya peluapan
pasang yang menyimpang dari biasanya.
3. terdapatnya bangunan pengendali yang ukurannya lebih kecil dari saluran.
4. curah hujan setempat (jika tanggul dan tanahnya sudah basah, maka air pasang
lebih mudah mengalir dan menembus lahan yang kering).
5. elevasi muka tanah di lapangan yang sewaktu-waktu dapat berubah karena:
Penurunan muka tanah akibat oksidasi tanah organik dan Perataan permukaan tanah
pada lahan dan pembuatan surjan, kolam ikan dan lain sebagainya.
b) Untuk rawa non pasang surut
1. keadaan elevasi muka air tertinggi (MAT).
2. keadaan elevasi muka tanah di lapangan yang sewaktu-waktu dapat berubah
karena : a).Penurunan muka tanah akibat oksidasi tanah organik, b).Penataan
permukaan tanah pada lahan dan pembuatan surjan , kolam ikan dan lain sebagainya.
b. Monitoring hidrologi
Monitoring Hidrologi adalah suatu pemantauan untuk mengetahui status
kadar air. Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang
menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan
sosial-ekonomi dan budaya masyarakat kompleks. Proses-proses biofisik hidrologis
DAS merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi atau yang dikenal
sebagai siklus air. Sedang kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat merupakan
bentuk intervensi manusia terhadap sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan
kawasan budidaya. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas
sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan meningkatnya jumlah
penduduk yang membawa akibat pada perubahan kondisi tata air DAS.
Pemantauan pada hulu sungai adalah langkah awal untuk mengetaui gejala
datangnya banjir sehingga antisipasi dini bisa diambil untuk memperkecil angka
kerugian maupun korban jiwa. Pada tugas akhir ini akan dirancang sebuah sistem
monitoring hidrologi menggunakan wireless data logger yang berbasis sensor
network untuk memperbaiki sistem yang ada sekarang berdasarkan analisa yang
telah dilakukan. Hasil pengolahan data dari monitoring tersebut akan dijadikan
referensi untuk buka tutup pintu air. Metodologi yang digunakan adalah sensor curah
hujan (rain gauge) dan pendeteksi level air atau disebut automatic water level record
(AWLR) dipasang pada beberapa catchment area (area pantau) yang telah
ditentukan. Hasil pembacaan sensor tersebut akan disimpan pada sistem data logger
dan ditransmisikan melalui gelombang radio ke komputer data kolektor. Dari
komputer data kolektor di masingmasing area pantau akan dikirim ulang melalui
jaringan komputer ke sistem data pusat. Pengolahan data dari semua area pantau
dilakukan ketika semua sudah terkumpul di sistem data pusat. Hasil dari pengolahan
ini digunakan untuk memprediksi peningkatan volume air yang akan datang sehingga
bisa dijadikan acuan untuk buka tutup pintu. Dengan demikian kuantitas air bisa
diatur lebih ini dan potensi banjir bisa diminimalisasi. (Nugroho K. 2004.)
Teknik yang digunakan yaitu mengolah parameter-parameter yang bisa
mempengaruhi peningkatan debit air sungai yaitu ketinggian air dan curah hujan di
hulu sungai. Data yang diperoleh disimpan ke sistem data logger, kemudian dikirim
lagi secara wireless dengan menggunakan gelombang radio ke komputer data
kolektor sehingga didapatkan hasil monitoring berupa kondisi terkini pada catchment
area (daerah pantau) tertentu. Setelah itu dari komputer data kolektor, data dikirim ke
komputer data server yang kemudian diolah bersama data dari daerah pantau lainnya.
Jika hasil monitoring menunjukkan kondisi yang memungkinkan terjadinya
banjir maka ada sebuah sistem alert berupa sirine dan respon kontrol untuk buka-
tutup pada pintu-pintu air.Dengan sistem seperti ini diharapkan langkah antisipasi
dini terhadap banjir bisa dilakukan dengan secepat mungkin.
Pada transmitter pengujian dilakukan selama satu jam, penyimpanan
dilakukan tiap satu menit serta pengiriman dilakukan setiap 2 menit didapatkan hasil
eror pengiriman sebesar 6,67% hal ini terjadi karena gangguan pada frekuensi
wireless. dengan menggunakan media wireless yang lebih baik eror ini bisa di
reduksi. Sedangkan pada sensor curah hujan didapatkan eror sebesar 5,4% ,
disebabkan karena faktor mekanik. Pada sensor ketinggian terjadi eror sebesar
1,87%, pada sensor ini didapatkan hasil yang lebih baik , walaupun masih ada
kesalahan.
Alat yang digunakan pada pengamatan ini, antara lain : 1. Meteran, 2. Papan
pielscall, 3. Pipa wells, 4. Tali. Sedangkan bahan yang digunakan adalah bentangan
luasan lahan pertanian yang dilengkapi dengan saluran sekunder dan tersier di Desa
Mulya Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin.
C. Cara Kerja
a. Dimensi Saluran
1. Pengamatan saluran-saluran yang ada dilahan pertanian, mulai dari saluran
sekunder sampai tersier.
2. Mengamati sistem kerja pada pintu air yang ada pada saluran sekunder.
3. Melakukan uji coba pembukaan pintu air pada saluran sekunder.
4. Melakukan pengukuran lebar atas saluran, lebar bawah saluran dan kedalaman
saluran sekunder dan saluran tersier, pada beberapa titik saluran.
5. Dokumentasikan kegiatan.
A. Hasil
Pada pertanian lahan rawa pasang surut, tanaman akan tumbuh dan
berkembang dengan baik apabila kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuai
dengan zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak teroksidasi.
Penanaman muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit
akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa sulfat.
Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan kandungan oksigen yang tersedia
di dalam tanah, yaitu dengan mengatur kedalaman muka air tanah.
Adapun laporan data yang kami temukan dalam kunjungan lapangan ini
yaitu:
1) Dimensi saluran
Dari kegiatan pengukuran dimensi saluran sekunder didapatkan data yaitu pada
saluran sekunder, lebar permukaan atas adalah 11,6 meter, lebar permukaan bawah
adalah 8,63 meter, tinggi muka air pada saluran sekunder adalah 2 meter, dan untuk
luas dimensi saluran 20,23 m2. Sedangkan untuk saluran tersier, lebar permukaan
atas adalah 4,1 meter, lebar permukaan bawah adalah 1,8 meter, tinggi muka air pada
saluran tersier adalah 0,8 meter, serta luas dimensi saluran adalah 4 m2.
Dimensi saluran dan bentuk saluran perlu diperhatikan agar didapatkan saluran
stabil yaitu tidak mengganggu masalah erosi maupun sedimentasi. Persoalan pada
saluran yang perlu mendapat yaitu penentuan kecepatan terpakai, agar tidak timbul
erosi, sedimentasi, maupun longsoran - longsoran. Dimensi saluran sekunder
ditentukan berdasarkan kebutuhan air dari seluruh petak tersier yang dilayani dengan
memperhitungkan kehilangan air banyak di petak sawah maupun pada saluran
sekunder. saluran sekunder merupakan batas dari petak tersier, sehingga penentuan
dari petak tersier diusahakan berbentuk persegi panjang (memanjang arah aliran)
dengan luas disesuaikan dengan keadaan topografi daerah.
2) Tinggi muka air pada saluran
a. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan dengan menggunakan papan
duga (pielscall). Pipa papan daya (Pieschal) digunakan untuk permukaan saluran air,
panjangnya mengikuti bentuk saluran.
b. Banyaknya titik pengamatan adalah 4 titik di saluran tersier 4, 1 titik di saluran
drainase utama (SDU), dan 1 titik di saluran pengairan desa (SPD)
c. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan setiap hari antara pukul 06.00-
08.00 WIB.
Agar kondisi muka air tanah dapat mendukung sistem usahatani, maka perlu
dibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran tersier sesuai dengan sistem
usahatani yang diterapkan. Penelitian lanjutan tentang sistem telemetri dan rekayasa
sistem kontrol (bangunan pengendalian air) di saluran tersier dapat melengkapi
model dan teknik pengendalian muka air tanah yang telah dibangun.
Untuk pengukuran muka air tanah, kami menggunakan pipa wells sebanyak
empat buah dan diletakkan pada empat titik yang berbeda. Pipa wells dibuat dari pipa
paralon dengan panjang 3 meter dan diameter 2,5 inchi. Pipa tersebut dilubangi pada
bagian sisi – sisinya kemudian dilapisi dengan ijuk dan ditanam dengan kedalaman ±
2,5 meter dari permukaan tanah. Pengukuran muka air tanah dengan pipa wells ini
setiap titiknya kami letakkan pada bagian tepi lahan, dikarenakan lahan tersebut
lahan yang basah. Serta pengamatan ini seharusnya didiamkan dulu ± 24 jam baru
lah diukur muka air tanahnya. Namun, fieldtrip ini hanya dilakukan satu hari maka
hanya kami diamkan selama ± 5 menit. Jika pengamatan dilakukan ± 24 jam, maka
seharusnya pipa wells ini ditutup supaya tidak tercampur serasah atau kotoran dari
luar.
Data yang didapat dari pengukuran muka air tanah, pada titik pertama adalah –
4 cm, pada titik kedua adalah – 10 cm, pada titik ketiga adalah – 74 cm, dan pada
titik keempat adalah – 34 cm. setiap titik yang kami amati didapatkan setiap titik
bernilai minus yang berarti bahwa muka air tanahnya berada dibawah permukaan
tanah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dalam kunjungan ini yaitu :
1. Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan
dengan ketinggian muka air di saluran
2. Pipa papan daya (Pieschal) digunakan untuk permukaan saluran air,
panjangnya mengikuti bentuk saluran.
3. Pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran tersier serta pembangunan
dan pengaturan saluran kuarter dan saluran lain yang lebih kecil.
4. Sebagian besar petani di lahan rawa lebak dan pasang surut pada saat
penanaman menggunakan sistem TABELA ( Tebar benih langsung).
5. Pipa wells digunakan untuk mengamati muka air tanah, pengamatan biasanya
dilakukan pada jam 06.00 pagi.
B. Saran
Keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian lahan rawa pasang
surut harus didukung dengan infrastruktur pengendali air yang memadai, operasi dan
pemeliharaan jaringan dengan penguatan kelembagaan P3A (perkumpulan petani
pemakai air), serta pengenalan dan implementasi sistem usaha tani. Peningkatan
kemampuan dan pemberdayaan, serta partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara
berkesinambungan melalui berbagai sosialisasi dan pelatihan, baik dari aspek teknis
maupun non teknis.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho K. 2004. Aspek Hidrologi dalam Klasifikasi Tipe Luapan Pasang Surut,
Studi Kasus Daerah Telang Sumatera Selatan [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rafieq, Achmad. 2004. Sosial Budaya dan Teknologi Kearifan Lokal Masyarakat
dalam Pengembangan Pertanian Lahan Lebak di Kalimantan Selatan.
Banjarbaru: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Susanto RH. 2000. Manajemen air daerah reklamasi rawa dalam kompleksitas
sistem usaha tani. Workshop Teknologi Pengembangan Lahan Rawa;
Integrated Swamps Development Project Loan. Palembang 29 Agustus-1
September 2000.
Suwarni et al, 1994. Pengelolaan tata air makro dan mikro. Kansius : Yogyakarta
http://lowland-archiebald.blogspot.com/2009/04/pengelolaan-tata-air-pertanian-di-
lahan.html
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10397-Paper.pdf
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10397-Chapter1.pdf
http://worldagroforestrycentre.net/sea/Publications/files/journal/JA0015-04.pdf