Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Leukimia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan primer
sumsum tulang yang berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh
komponen darah abnormal (blastosit) disertai penyebaran ke organ-organ
lain. Blastosit abnormal gagal berdiferensiasi menjadi bentuk komponen
hemopoitik normal sehingga terjadi kegagalan fungsi sumsum tulang.
Selain itu, sel-sel abnormal melalui peredaran darah melakukan infilarasi
ke organ-organ (Susilaningrum, 2013).
ALL (Acute Limphoblastic Leukimia) merupakan bentuk kanker
yang paling umum pada anak. 85% kasus ALL terjadi pada anak antara
usia 2 dan 10 tahun. Lebih umum pada anak kulit putih dari pada ras
lainnya. ALL di klasifikasikan berdasarkan jenis sel yang terlibat sel T,
sel B, pra-sel B dini, atau pra-sel B. Sebagian anak akan mencapai remisi
awal jika terapi yang tepat diberikan. Keseluruhan agka penyembuhan
ALL mencapai lebih dari 70% (Kyle & Carman, 2016).
Leukimia limfoblastik akut merupakan leukimia yang paling sering
dijumpai pada ank-anak. Hampir semua leukimia dijumpai pada anak-
anak di bawah umur 4 tahun dan separuh leukimia pada remaja adalah
leukimia jenis ini. Leukimia limfoblastik akut jarang dijumpai pada
penderita berumur di atas 30 tahun. Pada fase akhir penyakit ini dapat
dijumpai meningitis leukemik (Kiswari, 2014).
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan jenis penyakit
keganasan yang paling sering dijumpai pada anak lebih sering dijumpai
pada anak usia 3-5 tahun, dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada perempuan (Bararah & Jauhar, 2013). Data di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu tahun 2000 - 2009, terdapat 1.124 orang penderita
penyakit keganasan baru dan 456 (41%) orang di antaranya didiagnosis

1
sebagai LLA (Ali et al., 2010). Di samping itu, berdasarkan data di RSUP
Dr. Sardjito, juga didapatkan adanya kenaikan angka kejadian LLA, dari
1,9 pada tahun 1998 menjadi 5,5 dalam 100.000 orang penduduk di
wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian
selatan pada tahun 2009 (Supriyadi et al., 2011).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan ini
untuk mengetahui masalah Keperawatan Anak dengan Leukimia
Limfoblastik Akut Di Ruang Kartika 1A RSUP DR. Sardjito
Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu untuk melakukan pengkajian pada anak dengan
Leukimia Limfoblastik Akut.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada anak dengan
Leukimia Limfoblastik Akut.
c. Mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada anak
dengan Leukimia Limfoblastik Akut.
d. Mampu melakukan implementasi anak dengan Leukimia
Limfoblastik Akut sesuai dengan intervensi yang telah disusun
sebelumnya.

2
BAB II
KONSEP DASAR

A. Pengertian
Leukemia Limfoblastik Akut adalah salah satu jenis keganasan
yang terjadi pada sel darah dimana terjadi proliferasi berlebihan dari sel
darah putih. Pada LLA, terjadi proliferasi dari sel precursor limfoid
dimana 80% kasus berasal dari sel limfosit B dan sisanya dari sel
limfosit T. Keganasan ini bias terjadi pada stase mana pun pada saat
proses diferensiasi sel leukosit (Howard dan Hamilton, 2008).
Leukemia lymphoblastic akut (ALL atau juga disebut leukemia
limfositik akut) adalah kanker darah dan sumsum tulang. Kanker jenis
ini biasanya semakin memburuk dengan cepat jika tidak diobati. ALL
adalah jenis kanker yang paling umum pada anak-anak. Pada anak yang
sehat, sumsum tulang membuat sel-sel induk darah (sel yang belum
matang) yang menjadi sel-sel darah dewasa dari waktu ke waktu .
Sebuah sel induk dapat menjadi sel induk myeloid atau sel induk
limfoid (National Cancer Institute, 2014).
Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga
sumsum tulang didominasi oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia
limfoblastik akut adalah keganasan yang sering ditemukan pada masa
anak-anak (25-30% dari seluruh keganasan pada anak), anak laki lebih
sering ditemukan daripada anak perempuan, dan terbanyak pada anak
usia 3-4 tahun. Faktor risiko terjadi leukimia adalah factor kelainan
kromosom, bahan kimia, radiasi factor hormonal, infeksi virus (Ribera,
2009).

B. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor
predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia yaitu (Kiswari,
2014):

3
1. Genetik
a. Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan
kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom,
Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis
van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome,
sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis. Kelainan-
kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan
informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy,
atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy.
b. Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada
kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada
tahun pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga pada keluarga
dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi
2. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan
kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan
obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada
leukemia akut, khususnya ALL.
3. Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus
menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata. Penelitian
pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA polimerase
pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal
danenziminiberasaldari virus tipe C yang merupakan virus RNA
yang menyebabkanleukemiapadahewan. Salah satu virus yang
terbuktidapatmenyebabkanleukemiapadamanusiaadalah Human T-
Cell Leukemia .Jenisleukemia yang ditimbulkanadalah Acute T- Cell
Leukemia.

4
4. Bahan Kimia dan Obat-obatan
a) Bahan Kimia
Paparan kromis dari bahan kimia (misal : benzen) dihubungkan
dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang
sepatu yang sering terpapar benzen. Selain benzen beberapa
bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara
lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida,
pestisida, dan ladang elektromagnetik
b) Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor
topoisomere II) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom
yang menyebabkan AML. Kloramfenikol, fenilbutazon, dan
methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum
tulang yang lambat laun menjadi AML.
5. Radiasi
Hubungan yang eratantara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan
pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi
radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia
pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom.
Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang
mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja
yang terekspos radiasi dan para radiologis .
6. Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadisetelah perawatan atas penyakit malignansi
lain disebut Secondary Acute Leukemia (SAL) atau treatment related
leukemia. Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma,
myeloma, dan kanker payudara. Hal ini disebabkan karena obat-
obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain
menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA.

5
C. Manifestasi Klinis
Menurut Roganovic (2013), Gejala klinis yang dialami oleh pasien
LLA biasanya bervariasi. Adanya akumulasi dari sel limfoblas abnormal
yang berlebihan pada sumsum tulang menyebabkan supresi pada sel
darah normal sehingga tanda-tanda klinisnya akan menunjukkan kondisi
dari sumsum tulang, seperti anemia (pucat, lemah, takikardi, dispnoe,
dan terkadang gagal jantung kongestif), trombositopenia (peteki,
purpura, perdarahan dari membran mukosa, mudah lebam), dan
neutropenia (demam, infeksi, ulserasi dari membran mukosa). Selain itu,
anoreksia dan nyeri punggung atau sendi juga merupakan salah satu
tanda klinis LLA.
Pada pemeriksaan fisik, didapati adanya pembesaran dari kelenjar
getah bening (limfadenopati), pembesaran limpa (splenomegali), dan
pembesaran hati (hepatomegali). Pada pasien dengan LLA prekursor sel-
T dapat ditemukan adanya dispnoe dan pembesaran vena kava karena
adanya supresi dari kelenjar getah bening di mediastinum yang
mengalami pembesaran. Sekitar 5% kasus akan melibatkan sistem saraf
pusat dan dapat ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial
(sakit kepala, muntah, papil edema) atau paralisis saraf kranialis
(terutama VI dan VII).

D. Patofisiologi
Menurut Roganovic (2013), patofisiologi Akut Limfoblastik
Leukimia yaitu sebagai berikut:
Leukemia Limfoblastik Akut terjadi dikarenakan oleh adanya
perubahan abnormal pada progenitor sel limfosit B dan T. Pada LLA,
kebanyakan kasus disebabkan oleh adanya abnormalitas dari sel limfosit
B. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya LLA seperti faktor
genetika, imunologi, lingkungan,dan obat-obatan. LLA terjadi karena
pada sel progenitornya mengalami abnormalitas.

6
Faktor genetika mempunyai peranan paling penting dalam proses
terjadinya LLA. Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa terjadi
gangguan pada gen ARID5B dan IKZF yang ternyata berperan dalam
regulasi transkripsi dan diferensiasi sel limfosit B. Selain peranan
genetik, faktor lingkungan seperti radiasi dan beberapa bahan kimia,
infeksi, serta imunodefisiensi juga berpengaruh. Paparan terhadap
radiasi meningkatkan angka kejadian LLA karena menyebabkan adanya
gangguan terhadap sel-sel darah yang berada di sumsum tulang. Peranan
infeksi terhadap kejadian LLA masih dalam proses pengembangan oleh
karena adanya tumpang tindih antara usiaanak-anak terkena infeksi
dengan insidens puncak dari LLA.
Anak-anak dengan penyakit imuno defisiensi yang diobati dengan
obat-obatan yang bersifat imuno supresif mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami keganasan terutama limfoma. LLA bisa saja muncul tetapi
jarang. Adanya perkembangan sel kanker pada pasien immuno
compromised berhubungan dengan infeksi.

7
Pathway

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk leukemia yaitu meliputi
(Susilaningrum. 2013):
a. Hitung darah lengkap menunjukkan normositik, anemia normositik.
b. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml
c. Retikulosit : jumlah biasanya rendah
d. Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)

8
F. Komplikasi
Menurut Handayani, dkk. (2008) komplikasi ALL sebagai berikut :
1. Perdarahan
Akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka trombosit yang
rendah ditandai dengan
a. Memar (ekimosis)
b. Petekia (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar
ujung jarum dipermukaan kulit).
c. Perdarahan berat jika trombosit <20.000 mm³ darah. Demam
dan infeksi dapat memperberat perdarahan.
2. Infeksi
Akibat kekurangan granulosit dan normal.Meningkat sesuai derajat
neutropenia dan disfungsi umum.
3. Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal
Akibat pengeluaran sel-sel besar saat kemoterapi meningkatkan
kadar asam uratsehingga perlu asupan cairan yang tinggi
4. Anemia
5. Masalah gastrointestinal
a. Mual
b. Muntah
c. Anoreksia
d. Diare
e. Lesi mukosa mulut

G. Penatalaksaan
Penatalaksanaan dari leukemia terbagi atas kuratif dan suportif,
yaitu sebagai berikut (Widiaskara, 2010) :
1. Penatalaksanaan suportif hanya berupa terapi penyakit lain yang
menyertai leukemia beserta komplikasinya, seperti tranfusi darah,
pemberian antibiotik, pemberian nutrisi yang baik, dan aspek
psikososial.

9
2. Penatalaksaan kuratif, seperti kemoterapi, bertujuan untuk
menyembuhkan leukemia. Di Indonesia sendiri sudah ada 2 jenis
protokol pengobatan yang umumnya digunakan, yaitu protokol
Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2010. Selain dengan
kemoterapi, terapi transplantasi sumsum tulang juga memberikan
kesempatan untuk sembuh terutama pada pasien yang terdiagnosis
leukemia sel-T.

Tahapan Kemoterapi (Roganovic, 2013)


Pengobatan LLA yang umumnya dilakukan adalah kemoterapi.
Kemoterapi bertujuan untuk menyembuhkan leukemia dan proses
pengobatannya terdiri dari beberapa tahapan-tahapan, yaitu fase induksi
remisi, intensifikasi awal, konsolidasi/terapi profilaksis susunan saraf
pusat, intensifikasi akhir (terbagi atas fase re-induksi dan re-
konsolidasi), dan maintenance/rumatan.
a) Terapi Induksi. Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah
untuk mencapai remisi komplit dan menggembalikan fungsi
hematopoesis yang normal. Terapi induksi meningkatkan angka
remisi hingga mencapai 98%.Terapi ini berlangsung sekitar 3-6
minggu dengan menggunakan 3-4 obat, yaitu glukokortikoid
(prednison/deksametason), vinkristin, L-asparaginase dan atau
antrasiklin. Sekitar 2% kasus pasien anak LLA yang menjalani
terapi induksi mengalami kegagalan. Intensifikasi awal. Target
pengobatan adalah anak-anak yang sudah mencapai remisi dan
fungsi hematopoesis-nya kembali normal. Tujuan dari tahapan
intensifikasi adalah untuk eradikasi sel leukemia yang tersisa dan
meningkatkan angka kesembuhan.
b) Konsolidasi/Terapi Profilaksis SSP. Tujuan dari tahapan ini adalah
untuk melanjutkan peningkatan kualitas remisi di sumsum tulang
dan sebagai profilaksis susunan saraf pusat. Profilaksis SSP
dilakukan mengacu pada fakta bahwa SSP merupakan pusat dari

10
sel leukemia dan dilindungi oleh sawar darah otak sehingga obat
tidak bisa menembusnya. Intensifikasi Akhir. Penambahan dari
tahap intensifikasi akhir ini setelah terapi induksi ataupun
konsolidasi ternyata meningkatkan prognosis pasien anak dengan
LLA. Tahap ini merupakan tahap pengulangan dari tahap induksi
dan intensifikasi awal dan untuk menghindari terjadinya resistensi
obat maka dilakukan pergantian obat.
c) Terapi rumatan. Setelah pengobatan dengan dosis tinggi dijalankan
selama 6 sampai 12 bulan, obat sitotoksis dosis rendah digunakan
untuk mencegah terjadinya kondisi relaps. Tujuan dari tahap ini
adalah untuk mengurangi sel leukemia sisa yang tidak terdeteksi.
Terapi rumatan dilaksanakan selama 2 atau 3 tahun setelah
diagnosis atau setelah tercapainya kondisi remisi morfologik.
Keberhasilan ini dipantau dengan melihat hitung leukosit (2.000-
3.000/mm3).

H. Pengkajian Fokus
Pengkajian pada leukemia meliputi (Suriadi & Rita, 2001):
1. Riwayat penyakit
2. Kaji adanya tanda-tanda anemia:
a. Pucat
b. Kelemahan
c. Sesak
d. Nafas cepat
3. Kaji adanya tanda-tanda leukopenia:
a. Demam
b. Infeksi
4. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia:
a. Peteki
b. Purpura
c. Perdarahan membran mukosa

11
5. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola:
a. Limfadenopati
b. Hepatomegali
c. Splenomegali
d. Kaji adanya pembesaran testis
6. Kaji adanya:
a. Hematuria
b. Hipertensi
c. Gagal ginjal
d. Inflamasi disekitar rektal
e. Nyeri

I. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko infeksi dengan faktor resiko pertahanan tubuh sekunder tidak
adekuat (penurunan Hb, leukopenia, tindakan invasif).
b. Resiko cedera dengan faktor resiko pemberian kemoterapi
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas (kelemahan atau
anemia).
d. Resiko jatuh dengan faktor resiko anak berusia <10 tahun

12
J. Intervensi
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Resiko infeksi dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Tempatkan pada ruangan 1. Dengan membatasi pengunjung
faktor resiko pertahanan keperawatan diharapkan resiko khusus, batasi pengunjung dapat mengurangi terjadinya
tubuh sekunder tidak infeksi tidak terjadi dengan kriteria sesuai indikasi infeksi pada pasien.
adekuat (leukopenia, hasil : 2. Ukur suhu, perhatikan antara 2. Mengukur suhu dapat
tindakan invasif) 1. Status imunitas: skrining untuk peningkatan suhu dan tanda mengetahui apakah pasien
infeksi tidak terganggu plebitis. tersebut terkena infeksi atau
2. Kontrol resiko: proses infeksi, 3. Ajarkan keluarga mengenai tidak.
tidak ada tanda tanda infeksi. bagaimana menghindari 3. Dengan mengajarkan keluarga
3. Menunjukkan kemampuan infeksi. diharapkan dapat mencegah
untuk mencegah timbulnya 4. Libatkan keluarga dan infeksi pada pasien
infeksi petugas rumah sakit 4. Mencegah kontaminasi/
menggunakan APD menurunkan resiko infeksi
2 Resiko cedera dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Jelaskan pada keluarga 1. Agar keluarga pasien lebih
faktor resiko pemberian keperawatan diharapkan tidak terjadi tujuan dari pemberian dan mengetahui dan paham dengan
kemoterapi resiko cedera atau komplikasi akibat prosedur pelaksanaan pengobatan kemoterapi.
kemoterapi dengan kriteria hasil: kemoterapi. 2. Untuk mencegah adanya cedera
1. Tidak ada tanda-tanda cedera pada saat pemberian obat
2. Kontrol kemoterapi sesuai
2. Pasien tidak mual muntah 3. Untuk mengetahui adanya tanda
protokol.
inltrasi saat pemberuan obat
3. Amati tanda-tanda infiltrasi 4. Untuk memantau adanya efek
pada lokasi samping yang dialami pasien.
infus/penyuntikan iv (rasa
nyeri, tersengat,

13
pembengkakan, kemerahan).
4. Monitor efek samping obat.
3. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan lakukan tindakan 1. Identifikasi kelemahan 1. Untuk mengetahui tingkat
berhubungan dengan keperawatan, diharapkan intoleransi pasien dalam level aktivitas kelemahan dan kemampuan
kelemahan atau anemia aktivitas tidak terjadi dengan kriteria tertentu aktivitas klien.
hasil : 2. Bantu ambulasi/ aktivitas 2. Dengan melakukan ambulasi
1. Pola kualitas istirahat tidak lain sesuai indikasi pada pasien dapat mengurangi
terganggu 3. Dorong aktvitas kreatif yang resiko terjadinya dekubitus
2. TTV dalam batas normal tepat 3. Melakukan aktivitas dapat
4. Kolaborasi dalam mengurangi atrofi otot
perencanaan dan 4. Dengan melakukan terapi
pemantauan program dapat meningkatkan kekuatan
aktivitas. otot pasien.
4. Resiko jatuh dengan faktor Setelah dilakukan lakukan tindakan 1. Ciptakan lingkungan yang 1. Untuk mencegah pasien
resiko anak berusia <10 keperawatan, diharapkan resiko jatuh aman bagi pasien untuk terjatuh.
tahun tidak terjadi dengan kriteria hasil : memposisikan pasien terlalu 2. Agar setiap orang dapat
Pasien terbebas dari resiko jatuh pinggir dengan penyangga memantau pasien..
bed terbuka 3. Untuk menghindari adanya
2. Gunakan gelang kuning resik jatuh/cedera
sebagai identitas resiko jatuh 4. Untuk dapat selalu mengontrol
3. Jauhkan pasien dari benda pasien.
berbahaya
4. Libatkan keluarga untuk
selalu menemani dan
mengawasi pasien

14
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T., & Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap


Menjadi Perawat Profesional. Jilid I. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Handayani, Wiwik & Hariwibowo, Andi, S. 2008. Buku Ajar Asuhan


Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Hematologi.
Jakarta: Salemba Medika.

Howard, M.R., & Hamilton P.J. 2008. Haematology: An ilustrated colour


text. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier.

Kiswari, dr. R. 2014. Hematologi dan Transfusi. Jakarta: Erlangga, 2014

Ribera, J.M. 2009. Acute Lymphblastic Leukimia In Adolescents And Young


Adults. Hematol Oncol Clin North Am.

Roganovic, J., 2013. Acute Lymphoblastic Leukemia in Children, Leukemia.


[Online] Available at:
http://www.intechopen.com/books/leukemia/acute lymphoblastic-
leukemia-in-children [Accessed 20 November 2018].

Supriyadi, E., Widjajanto, P. H., Purwanto, I., Cloos, J., Veerman, A. J. P.,
& Sutaryo, 2011. Incidence of childhood leukemia in Yogyakarta,
Indonesia, 1998-2009. Pediatri Blood Cancer. doi: 10.1002/pbc.

Susilaningrum. 2013. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak: Untuk Perawat


dan Bidan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Suriadi & Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1, CV.
Jakarta: Agung Seto.

Widiaskara, I.M., Permono, B., Ugrasena I.D.G., Ratwita, M., 2010. Luaran
Pengobatan Fase Induksi Pasien Leukemia Limfoblastik Akut pada
Anak di Rumah Sakit Umum Dr. Sutomo Surabaya. Sari Pediatri. Vol.
12. pp 128-134.

15

Anda mungkin juga menyukai