Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.21831/pep.v20i2.7256
dipilihlah semboyan “Bhineka Tungal Ika”. Dalam mua‟amalah dan uqubat (hukuman),
Bhineka di Indonesia berupa adanya berba- orang-orang musyrik dan komunitas Yahudi
gai kelompok etnis dengan berbagai ragam semuanya tunduk kepada sistem dan hukum
bahasa daerah (vernacular languages), dan be- Islam. Dalam masalah akidah, ibadah, dan
ragam keyakinan agama. Konsep Bhineka ahwal asy-syakhsiyah, mereka diberi kebebasan
sudah dikenal dan diakui sejak zaman ke- dengan keyakinan masing-masing dan tidak
rajaan Majapahit; yang oleh Mpu Tantular dipaksa untuk mengikuti Islam. Mereka
ditampilkan konsep “Bhineka Tunggal Ika memiliki hak dan kewajiban yang sama dan
tan hana Dharma Mangrwa”, beragam adil tanpa ada diskriminasi.
dengan satu Dharma tanpa tekad mendua Dengan demikian, konsep perlin-
(Tantular, 2009, p. 505). Keragaman yang ada dungan kepada minoritas oleh mayoritas te-
diakui sebagai sebuah realitas, dan menjadi lah terjadi sejak zaman Rasulullah Muham-
karakter dasar bangsa Indonesia yang me- mad saw, sebagaimana yang tertuang dalam
miliki toleransi dalam satu dharma tanpa ada “Piagam Madinah” dan pengakuan terhadap
niat untuk mendua dalam hati dan tindakan kemajemukan atau pluralitas juga telah di-
(baca. tidak munafik). Indonesia kendatipun tampakkan pada zaman kerajaan Majapahit
Islam sebagai agama mayoritas tetapi agama dengan semboyan yang ditulis oleh Mpu
minoritas tetapi diakui dan lindungi oleh Tantular dalam Kitab Sutasoma, yakni “Bhi-
negara. Dengan kata lain, bahwa pemerintah neka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Indonesia yang menjadikan Pancasila seba- Mangrwa”.
gai falsafat hidup bangsa tetap memperta- Bagi bangsa Indonesia, pluralisme
hankan kemajemukan bangsa dalam kesatuan atau kemajemukan telah ada sejak permulaan
(diversity in unity) sebagai sebuah keniscayaan abad ke 20 ketika terjadi kebangkitan nasi-
dan menjadi modal guna melestarikan ke- onal, dan kemajemukan menjadi isu yang
utuhan bangsa dalam bingkai Negara Re- menonjol. Nama Indonesia hakikatnya me-
publik Indonesia yang berdaulat. nunjukkan kemajemukan berupa banyak en-
Sejalan dengan konsep tersebut, titas budaya yang berbeda satu sama lain,
“Piagam Madinah” yang dikenal dengan ditambah dengan kemajemukan yang dise-
“shulhu al-hudaibiyah” dianggap sebagai dasar babkan oleh perbedaan agama dan keyakin-
dari pembentukan negara Islam pertama di an yang cukup banyak. Hal ini menunjuk-
Madina, dan Nabi Muhammad saw. sebagai kan bahwa pluralisme (kemajemukan) me-
peletak dasar negara tersebut. Piagam Ma- ngandung kebenaran bagi bangsa Indonesia.
dinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang Akan tetapi, pluralisme tidak dapat dan
merepresentasikan bahwa warga Madinah tidak boleh berdiri sendiri kalau Indonesia
saat itu dapat dianggap telah membentuk ingin hidup sepanjang zaman. Dalam plu-
satu kesatuan politik dan satu persekutuan ralisme harus selalu ada paham kebersama-
yang diikat oleh perjanjian yang luhur di- an tanpa paham kebersamaan, pluralisme
antara para warganya. dapat menimbulkan niat, gerak, dan usaha
Dalam Piagam Madinah memuat yang aneka ragam arahnya dan tujuannya.
suatu konsep kebebasan beragama yang Dalam konteks ke Indonesian, sistem
dijamin oleh Islam sebagai agama mayoritas politik pemeritahan Indonesia yang digagas
pada saat itu. Piagam ini juga mengatur oleh para pendiri negara (founding fathers) ini
adanya kebersamaan dalam bertanggung digali dari kehidupan bangsa pada zaman
jawab terhadap negara (Kota Yatsrib) dari kerajaan Majapahit, dan sejalan dengan sis-
ancaman agresi luar (Haikal, 1990, p. 200- tem pemerintahan Islam pada masa Rasu-
2003). Komposisi masyarakat Madinah yang lullah Muhammad saw. Dalam membangun
diakui dalam Piagam Madinah terdiri atas kesatuan dan persatuan bangsa telah digu-
beberapa kelompok komunitas (plural), nakan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
namun semua kelompok itu tunduk kepada Keragaman suku bangsa, budaya, agama,
sistem dan hukum Islam sebagai mayoritas. dan adat istiadat dipandang sebagai keka-
yaan dan potensi untuk membangun bangsa (2004, p. 134) merumuskan model kebijaksa-
dan negara yang kuat, maju, aman, adil, dan naan nasional akan agama menjadi empat;
makmur. Sementara itu, tanggung jawab Pertama, adalah model dominasi, kedua,
negara terhadap kehidupan beragama yang model penelantaran, ketiga model pluralisme
dianut oleh seluruh bangsa Indonesia de- agama, dan keempat model pluralisme agama
ngan memberikan kebebasan beragama, konvensional.
beribadah, dan meningkatkan keyakinan dan Model pluralisme agama konvensional,
ketakwaannya sesuai dengan agama dan yaitu negara (1) mengakui tiap-tiap kelom-
keyakinannya. Sistem ini secara yuridis- pok keyakinan; (2) mendorong secara spesi-
formal telah dijamin oleh undang-undang fik agar tiap-tiap kelompok mengamalkan
negera Republik Indonesia. Dengan demi- nilai-nilai keimanan dan ketakwaan; (3)
kian, bangsa Indonesia memiliki landasan membina tiap-tiap individu di dalam kelom-
konstitusional yang kuat untuk mengelola pok keyakinan agar saling menghormati, de-
pluralitas secara baik dan benar. Landasan ngan didorong oleh kedalaman iman ma-
tersebut diperkuat oleh budaya bangsa sing-masing; (4) membuka akses partisipasi
Indonesia yang dikenal dengan sikap ramah, kepada kelompok keyakinan minoritas da-
santun, saling menghormati, dan tolong- lam pengambilan keputusan di tingkat ma-
menolong. Di sisi lain, agama memandang syarakat; dan (5) memberdayakan kelompok
keragaman suku bangsa dan budaya sebagai keyakinan minoritas yang tertindas (Saerozi,
bagian dari sunnatullah dalam ciptaan-Nya. 2004, p. 15).
Sementara keyakinan teologis keagamaan Penelitian Saerozi (2004) tentang Po-
dianggap sebagai tawaran yang bersifat litik Pendidikan Agama dalam Era Pluralis-
persuasif. Artinya, boleh diterima atau dito- me menemukan, pertama adalah kebijakan
lak dengan konsekuensinya masing-masing. pendididkan agama di Indonesia memiliki
Oleh karena itu, pluralitas harus dilihat de- pola konvensional, kedua berpola segresi
ngan cara pandang yang positif dan disikapi fisik terhadap pemeluk agama, ketiga adalah
dengan langkah-langkah yang konstruktif. berpola dominasi atas kelompok keyakinan
Agama memiliki tujuan untuk kemas- minoritas, dan keempat pola pemberdayaan
lahatan umat manusia. Seiring dengan itu, kelompok menoritas. Pola kebijakan yang
agama sangat menghargai nilai-nilai kema- terakhir menurutnya untuk menghindari ter-
nusiaan. Pertikaian antarkelompok keaga- jadinya dominasi mayoritas atas minoritas
maan, bukan kesalahan ajaran agama tetapi dan penelantaran terhadap minoritas perlu
lebih disebabkan oleh faktor-faktor kebe- pola kebijakan yang memberdayakan kelom-
ragamaan, politik, ekonomi, dan faktor lain. pok minoritas yang bersumber dari konsep
Faktor keberagamaan yang dimaksud adalah pluralisme agama konvensional. Oleh karena
intepretasi atau pemahaman terhadap teks- itu, konteks penelitian ini adalah implemen-
teks keagamaan, strategi pengembangan aga- tasi perlindungan mayoritas atas minoritas.
ma, dan penyelenggaraan pendidikan agama. Dalam konteks implementasi dari
Secara ideal, kebijakan Indonesia ke konsep pendidikan agama konvensional ter-
depan terhadap pluralitas agama mestinya le- sebut diperlukan adanya kesamaan keyakin-
bih meningkat dibandingkan pada masa lalu an antara guru agama, peserta didik dan
dan sekarang. Teori Wirt maupun Garcia, kurikulumnya. Proses pendidikan agama
tentang tipologi kebijaksanaan nasional ter- model ini akan dapat menghindarkan prak-
hadap kemajemukan di Amerika, yang di- tik dominasi yang dilakukan oleh pihak lem-
kenal dengan sebutan six theories of communal baga pendidikan atau penelantaran sikap
living. Wirt dan Garcia membedakan dua ke- keagamaan para peserta didiknya disebab-
lompok keyakinan, yaitu kelompok keyakin- kan oleh tidak tersedianya guru agama.
an dominan (KKD) dan kelompok keyakin- Salah satu tujuan negara yang ter-
an minoritas (KKM) (Saerozi, 2004, p. 13). cantum dalam pembukaan UUD 1945, ter-
Berdasarkan kategorisasi tersebut, Saerozi kandung suatu pengakuan bahwa negara me-
miliki kewajiban-kewajiban terhadap keber- rasa keimanan dan ketakwaan dalam diri
adaan agama sebagai realitas kehidupan peserta didik terhadap suatu agama tertentu.
bangsa dan menjadi bagian pokok dari ke- Pola penyelenggaraan pendidikan aga-
sejahteraan warganya. Di antara kewajiban ma konvensional secara yuridis telah tercan-
tersebut adalah pertama, memberikan perlin- tum dalam Undang-Undang Nomor 20
dungan hukum bagi umat beragama; kedua, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Na-
memberikan perlindungan keamanan bagi sional pada Pasal 12 Ayat 1 (a), “setiap
umat beragama; ketiga, membantu menyedia- peserta didik pada setiap satuan pendidikan
kan fasilitas dan kemudahan bagi warganya berhak mendapatkan pendidikan agama se-
untuk menjalankan agama masing-masing; suai dengan agama yang dianutnya dan di-
keempat mendorong umat beragama dalam ajarkan oleh pendidik yang seagama”. Na-
meningkatkan kualitas keimanan dan ketaq- mun, yang menjadi permasalahan adalah apa-
waan; dan kelima, menjaga kerukunan hidup kah setiap peserta didik telah memperoleh
antar dan inter-umat beragama. Pemelihara- pendidikan agama yang memadai, sehingga
an cita-cita moral yang luhur dan budi upaya penanaman dan peningkatan kualitas
pekerti sebagaimana dalam penjelasan UUD keimanan dan ketakwaan peserta didik dapat
1945 tentunya tidak dapat dilepaskan dari meningkat sebagaimana yang telah diama-
upaya pembinaan dan pengembangan kehi- natkan oleh undang-undang tersebut.
dupan beragama yang salah satunya melalui Perangkat hukum yang menjadi dasar
pendidikan agama. penyelenggaraan pendidikan agama cukup
Pasal 33, Ayat 3 Undang-Undang Da- kuat yakni Peraturan Pemerintah Republik
sar 1945 menyatakan pemerintah mengusa- Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang
hakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan Agama dan Pendidikan Keaga-
pendidikan nasional yang meningkatkan maan, sedangkan yang berkaitan dengan pe-
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia ngelolaan ada pada Peraturan Menteri Aga-
dalam rangka mencerdaskan kehidupan ma Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Aga-
Upaya mewujudkan amanat undang-undang ma pada Sekolah. Sejalan dengan sejarah
Dasar tersebut di atas pemerintah menyu- perkembangan pendidikan, pendidikan aga-
sun satu undang-undang yang mengatur pe- ma sebagai subsistem pendidikan nasional
nyelenggaraan pendidikan secara nasional secara konseptual dan praktiknya yang sesuai
bagi bangsa Indonesia, yaitu Undang-Un- dengan pola konvensional masih perlu terus
dang Nomor 2 Tahun 1989 yang diper- dikaji sehingga menemukan paradigma yang
baharui dengan Nomor 20 Tahun 2003 lebih relevan dengan kondisi pluralitas bang-
tentang Sistem Pendidikan Nasional. sa Indonesia saat ini. Fenomena sosial ten-
Dalam konteks tanggung jawab terha- tang perilaku asusila dan asosial yang dila-
dap eksistensi agama tersebut timbul kesa- kukan para elitis dan sebagian warga seko-
daran dan perhatian pemerintah Indonesia lah serta berlangsungnya pendidikan agama
yang cukup tinggi terhadap pentingnya pen- di sekolah menunjukkan penerapan perilaku
didikan agama. Hal itu menjadi dasar argu- sosial dan kemanusiaan masih perlu dilaku-
mentatif untuk mendorong pendidikan aga- kan kajian ulang. Hal ini dapat dilihat dari
ma menjadi salah satu mata pelajaran wajib berbgagi kasus pembunuhan, pemerkosaan,
di seluruh jalur, jenis, dan jenjang pendi- pelecehan seksual, korupsi, penyerangan ter-
dikan formal. Signifikansi peran pendidikan hadap sekolompok jamaat, pembakaran tem-
agama telah diperkuat dengan penyeleng- pat ibadah dan perbuatan melawan hukum
garaannya yang menggunakan pola pluralis- lainnya menunjukkan tingkat religiositas dan
me agama konvensional. Pola tersebut diarti- spiritualitas pelakunya masih rendah. Peri-
kan sebagai pendidikan agama yang bertuju- laku-perilaku tersebut diyakini merupakan
an untuk menanamkan dan meningkatkan dampak dari gagalnya internalisasi nilai-nilai
agama yang diperoleh baik dari sekolah peserta didik dari kalangan atas. Dengan
maupun lingkungan masyarakat. sejumlah prestasi dan reputasinya diyakin
Pertanyaanya adalah bagaimana pelak- telah memiliki sumberdaya yang qualified dan
sanaan pendidikan agama di sekolah khusus- kompeten dan manajemen terstandar.
nya dalam meningkatkan keimanan dan Berdasarkan kajian awal tersebut, pe-
ketakwaan peserta didik? Oleh karena itu, nelitian ini bertujuan untuk mengungkap
penyelenggaraan pendidikan agama di seko- paradigma yang mendasari pelaksanaan pen-
lah perlu dilakukan evaluasi secara kompre- didikan agama di sekolah pluralistik, dan
hensif dan lebih mendalam, mengingat tuju- menghasilkan paradigma pendididikan aga-
an pendidikan adalah adanya perubahan ma yang lebih relevan dengan masyarakat
kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta Indonesia yang pluralistik dengan meng-
didik sehingga terwujudnya manusia yang arahkannya pada implementasi pendidikan
berkembang kemampuannya dalam mema- agama konvensional (agama Kristen, Kato-
hami, menghayati, dan mengamalkan nilai- lik, Buddha, Islam, Hindu, Konghuchu) dan
nilai agama dalam kehidupan individu mau- paradigma pelaksanaan pendidikan agama di
pun sosial. Sekolah.
Dengan demikian, penelitian ini akan
diarahkan ke dalam konteks implementasi Metode Penelitian
pendidikan agama konvensional yang ber-
langsung di sekolah. Sekolah yang dimaksud Penelitian ini menggunakan pendekat-
adalah sekolah yang memiliki keragaman an kualitatif interpretatif Phenomenologik
agama, budaya dan etnis yang dianggap se- dengan paradigma naturalisltik. Pendekatan
bagai representasi masyarakat Indonesia ini dipilih secara filosofis sesuai dengan
yang pluralistik. karakter data, teknik pengumpulan data dan
Penelitian ini mengambil tempat di analisis data yang digunakan. Penelitian ini
SMAN 3 Madiun. Berdasarkan kajian awal juga mengacu pada pendekatan post posi-
peserta didiknya terdiri atas pemeluk agama tivisme-phenomenologi (Muhadjir, 2001, p.
yang diakui di Indonesia. Jumlah peserta di- 17), karena berusaha mengungkap dan
diknya tahun 2012 sebanyak 517 siswa meli- menjelaskan berbagai fenomena pelaksanan
puti Islam 85,02%, Protestan 6,33%, Kato- pendidikan agama konvensional, paradigma
lik 5,18%, Hindu 1,54%, Buddha 1,54%. pelaksanaan pendidikan agama, dan mena-
Etnisnya terdiri atas etnis Jawa dan China. warkan paradigma baru yang lebih relevan
Hal ini peneliti dianggap sebagai represen- dengan konteks masyarakat Indonesia.
tasi sekolah yang pluralistik. Sekolah terse- Pemilihan pendekatan ini didasarkan
but merupakan salah satu sekolah yang per- atas sifat kajian, perspektif teoretik, sasaran
tama pada tahun 2006 telah menjadi Rintisan maupun data penelitian yang diyakini lebih
Sekolah Bertarap Internasional (RSBI). relevan dengan pendekatan kualitatif-pheno-
Pengajaran dan pengembangan kurikulum menologi. Kualitatif intepretif phenomeno-
menggabungkan keunggulan akademik, afek- logik mendasarkan pada filsafat phenome-
tif maupun psikomotorik dan menjadi An nologik, yang mengakui adanya peran subjek
IT advanced integreted schoool. Pengembangan saat mengamati fakta, saat menganalisis, dan
sekolah bertarap internasional diperuntuk- saat memaknai fakta di luar diri maupun
kan bagi masyarakat ekonomi lemah hingga dalam diri subjek yang bersangkutan; dan
tinggi. Komitmennya terhadap kepedulian juga saat berteori (Muhadjir 2011, p. 510).
masyarakat berekonomi lemah dan kesetara- Hors menyatakan, melalui pendekatan ala-
an gender ditunjukkan dalam penerimaan miah akan diperoleh pemahaman dan penaf-
peserta didik masing-masing sebesar 10 % siran secara relatif mendalam mengenai mak-
dari total peserta didik. Hal ini dilakukan na dari kenyataan dan fakta yang relevan
untuk menetralisir kesan masyarakat terha- (Guba & Lincoln, 1985, p. 35). Penelitian
dap SMAN 3 Madiun hanya menerima para kualitatif adalah penelitian yang datanya be-
rupa data kualitatif, yaitu descriptive material,
yang meliputi catatan, data verbal seperti elemen-elemen ideologi diterima sebagai
apa yang dikatakan orang dalam wawancara, formulasi filosofis bersifat tentatif sesuai
data visual seperti gambar/foto (Wilson, dengan perubahan sosial-budaya (Jaenuri,
1995, p. 8). Dengan demikian, penggunaan 2002, p. 8).
pendekatan kualitatif fenomenologi didasar- Penelitian ini dikategorikan ke dalam
kan pada asumsi bahwa hal-hal yang me- penelitian kualitatif karena bersifat alamiyah,
nyangkut pemikiran dan keaslian sebuah ke- peneliti sebagai instrumen kunci, berusaha
giatan pendidikan agama tampaknya hanya mengungkap dunia makna dibalik tindakan
dapat diungkap secara jelas dan mendalam seseorang (Bogdan & Biklen, 1998, pp. 4-7)
dengan pendekatan tersebut. dan diharapkan mampu memberikan pen-
Jika didasarkan pada kriteria penge- jelasan secara mendalam (verstehen) tentang
lompokan penelitian pendidikan maka pe- pemikiran pendidikan agama dalam sekolah
nelitian ini masuk kategori descriptive research, pluralistik di Kota Madiun. Setelah diper-
yaitu berusaha mengungkap apa yang terjadi oleh deskripsi dan kesimpulan atas berbagai
pada pelaksanaan pendidikan agama dan fenomena terkait dengan realitas pelaksana-
pemikiran yang mendasarinya (Best, 1997, an pendidikan agama konvensional di seko-
p. 15). Desain penelitian yang menggunakan lah, langkah selanjutnya adalah merumuskan
pendekatan kualitatif lebih bersifat umum paradigma pendidikan agama yang dibangun
tidak rinci, fleksibel, dan dapat berkembang dari grass root. Salah satu manfaat yang diha-
sesuai dengan situasi sosial (people, peper, rapkan dari penelitian ini adalah sumbang-
activities). Melalui pendekatan tersebut akan an/konstribusi bagi perbaikan pendidikan
terungkap meliputi persepsi, pemikiran, ke- agama di Sekolah yang sesuai dengan kon-
mauan dan keyakinan subjek tentang sesuatu teks masyarakat plural (ke-Indonesiaan).
di luar subjek ada sesuatu yang transenden Secara metodologis pendekatan yang
di samping yang a-posteriori. Di sisi lain juga dipilih adalah model social action. Model ini,
akan terungkap fenomena empirik sensual peneliti melibatkan diri langsung dan me-
dari subjek penelitian yang lebih banyak nyatu dengan subjek penelitian dalam ber-
membicarakan gejala-gejala subjek suatu bagai aktivitas pendidikan agama di sekolah
kelompok masyarakat yang menjadi objek (partisipasi aktif). Tujuan keterlibatan ini
penelitian (Muhadjir, 1990, p. 27). Penelitian tidak sekedar untuk memahami ragam feno-
yang bersifat abstrak berusaha mengungkap mena dan persepsi grass root dengan meng-
pengakuan dan keyakinan sekaligus meng- gunakan intepretasi atas fakta dengan model
anggap penting dan berharga terhadap yang etik dan emik saja, tetapi juga menggunakan
transenden. Hal yang demikian tidak mung- logik-neotik. Dengan langkah ini diharapkan
kin dilakukan dan didekati melalui peneliti- dapat diungkap dan dirumuskan fakta tak
an kuantitatif-positivistik. terkatakan dari responden (nature of reality)
Di dalam masyarakat plural terdapat untuk selanjutnya diarahkan dan difasilitasi
kesamaan teologis pada level struktural dan ke arah pemikiran sesuai konsep atau model
berbeda pada level ideologis (Waldman, paradigma pendidikan agama konvensional
1985, p. 92), maka penelitian ini juga meng- yang ditawarkan. Model Discourses Foucouldian
gunakan pendekatan teologis. Pendekatan juga digunakan untuk mengarahkan lebih
ini dimaksudkan sebagai interprestasi ter- lanjut pemahaman subjek penelitian (grass
hadap berbagai ide yang saling berkaitan root) akan pentingnya pendidikan agama yang
dalam masyarakat plural, yakni ide-ide yang berkualitas dalam kehidupan masyarakat
merefleksikan kepentingan dan komitmen yang memiliki keunggulan komparatif dan
moral serta sosial. Pendekatan semacam ini kompetitif. Tujuannya mengintervensi pemi-
menjelaskan dan menilai kondisi sosial, pe- kiran dan pemahaman grass-root agar ber-
ran individu dalam masyarakat yang diteliti ubah ke arah pemikiran dan pemahaman
serta implikasi nyata dari aksi sosial. Pen- yang proporsional dan lebih maju tentang
dekatan ini juga mengasumsikan bahwa eksistensi pendidikan agama sesuai dengan
pola pendidikan agama konvensional. Seca- tujuan pendidikan nasional. Pendidikan aga-
ra teknis proses ini dilakukan melalui pem- ma sebagai wahana paling efektif untuk
berian text reading dan diskusi dengan ke- menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan
lompok guru agama. Untuk mengetahui dan agama karena di dalam nilai-nilai agama ter-
mengukur pemahaman grass-root atas konsep kandung nilai demokrasi, toleransi, inklusi-
atau model yang ditawarkan, dilakukan ko- visme, menghormati perbedaan, dan nilai-
munikasi interaktif dan diskusi dengan guru nilai moral yang lain. Oleh karena itu, men-
agama. Dengan teknik ini diharapkan ide jadi penting untuk melihat kembali pelak-
dan gagasan yang diajukan oleh peneliti sanaan pendidikan agama di sekolah khu-
dapat terdeseminasikan. susnya sekolah-sekolah yang memiliki kera-
Proses pengembangan melalui dua gaman budaya, agama, etnis.
tahap, pertama studi pendahuluan meliputi,
pengumpulan data, pemaknaan fenomena; Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan
deskripsi; kategorisasi rumusan & spesifikasi Agama Konvensional
kesimpulan (rumusan verbal) dan kedua pe- Pada tahun 2012 jumlah peserta didik
ngembangan meliputi perumusan dan dise- 517 yang terdiri atas pemeluk agama Islam
minasi model paradigma pendidikan agama sebesar 88,95%, agama Kristen 5%, agama
konvensional. Produk yang dihasilkan ter- Katollik 4,85%, agama Hindu 0,2%, dan
batas sampai pada konseptualisasi paradig- agama Buddha 0,8%. Sejumlah peserta didik
ma pendidikan agama konvensional. tersebut diasuh oleh 6 orang guru agama,
Wawancara mendalam (indept-interview) yaitu 2 orang guru agama Islam, seorang guru
dilakukan dengan mengajukan beberapa per- agama Kristen, seorang guru agama Katolik,
tanyaan secara mendalam kepada 6 orang seorang guru agama Buddha, dan seorang
guru pendidikan agama dan kepala sekolah guru agama Hindu. Status lima orang guru
yang berhubungan dengan pengelolaan dan agama sebagai guru tatap (PNS) di SMAN 3
pelaksanaan pendidikan agama serta pan- Madiun dan satu guru agama Budha ber-
dangan terhadap peran pendidikan agama status honorer. Dari enam guru agama yang
ke depan. Observasi digunakan untuk me- telah memiliki sertifikat pendidik hanya tiga
ngetahui bagaimana para guru agama mela- orang guru, yaitu 2 orang guru agama Islam
kukan pembelajaran dan mengetahui upaya dan seorang guru agama Kristen, sementara
pembudayaan nilai-nilai agama di lingkung- yang lain belum bersertifikat pendidik. Arti-
an sekolah. Teknik dokumentasi digunakan nya, tiga orang guru belum diakui sebagai
untuk mengetahui perangkat pembelajaran pendidik profesional. Tiga guru yang telah
ygn dibuat. tersertifikasi masih menunjukan kurang me-
Validasi keakurasian temuan dengan miliki kompetensi secara optimal yang di-
triangulasi sumber dan peer debriefing. Sedang- persyaratkan oleh standar pendidik dan
kan Pemaknaan terhadap berbagai peristiwa tenaga kependidikan. Seharusnya yang telah
dilakukan melalui analisis data. Analisis data bersertifikat pendidik telah memenuhi kuali-
menggunakan analisis data interaktif yang fikasi dan kompetensi.
diintrodusir oleh Miles and Huberman, me- Implementasi pendidikan agama kon-
liputi pengumpulan data, reduksi data, display vensional pada sekolah diperlukan adanya
data, dan kesimpulan dan Interpretive Pheno- kesamaan keyakinan antara guru agama, pe-
menolgy Analysis. serta didik, dan kurikulumnya. Hal ini diha-
rapkan terhindar dari praktik dominasi oleh
pihak institusi atau penelantaran peserta
Hasil Penelitian dan Pembahasan
didiknya untuk memperoleh hak pendidikan
Pendidikan agama sebagai subsistem agama. Di sisi lain, implementasinya juga ha-
pendidikan nasional memiliki nilai penting rus mampu mendorong setiap individu peser-
dan strategis dalam membangun masyarakat ta didik untuk meningkatkan keimanan dan
yang madani dan berkeadaban. Hal ini men- mengamalkannya dengan penuh kesadaran
jadi ciri khas bangsa Indonesia dan menjadi dengan didorong oleh kedalaman iman dan
laksanaan pendidikan agama. Di sisi lain, an psikologi peserta didik, sedangkan tiga
kompetensi profesional khususnya guru guru yang telah memperoleh sertifikat pro-
agama masih memerlukan pembinaan dan fesi pendidikan agama secara faktual masih
peningkatan, jika tidak maka pembelajaran perlu ditingkatkan kompetensi profesional
pendidikan agama akan menjadi sesuatu khususnya aspek pengembangan profesio-
yang tidak menarik dan membosankan, (c) nalitas secara bekelanjutan, aspek pengem-
kerja sama instansi terkait dalam hal ini bangan diri dan kompetensi kepemimpinan
sekolah dengan Kementerian Agama masih (leadership) juga masih rendah. Rendahnya
menunjukkan intensitas rendah. Hal ini da- kompetensi tersebut dapat ditunjukkan de-
pat dilihat salah satunya dari frekuensi keha- ngan rendahnya respon warga sekolah ter-
diran pengawas pendidikan agama dalam hadap upaya pembudayaan pengamalan
rangka pembinaan, pengawasan, dan peman- ajaran agama pada komunitas sekolah.
tauan terhadap penyelenggaraan pendidikan Sebagai sebuah sistem, lembaga pen-
agama di sekolah yang masih golongan didikan seperti persekolahan kualitas lulus-
rendah. Di sisi lain, materi pembinaan oleh annya menunjukkan kualitas kerja kompo-
pengawas masih terbatas pada pembinaan nen dalam sistem tersebut. Oleh sebab itu,
administrasi belum menyentuh substansi mutu lulusan sebuah persekolahan identik
materi ajar dan metodologi pembelajaran, dengan sekolah tempat dimana lulusan
(d) pemikiran dikotomis antara pendidikan tersebut belajar. Akan tetapi, suatu hal yang
agama dan pendidikan umum mendorong perlu diingat dan menjadi keniscayaan,
munculnya sikap eksklusif. Sikap ini tampak bahwa proses pembelajaran memiliki peran
pada saat berbagai kegiatan keagamaan di- penting dalam menghasilkan mutu lulusan.
selenggarakan terkesan hanya milik guru Sedangkan proses pembelajaran yang ber-
agama itu sendiri, sehingga guru-guru mata mutu sangat bergantung kepada kondisi
pelajaran non-pendidikan agama kurang kompentensi dan profesionalisme guru.
responsif. Guru yang kompeten dan profesional akan
Salah satu keterbatasan yang dibahas mampu menjadi substitusi atau melengkapi
dan menjadi dasar untuk mencari solusi ada- berbagai kekurangan pada komponen yang
lah problem sumber daya manusia. Sumber lain. Predikat profesional bagi guru diwu-
daya manusia berpengaruh penting dalam pro- judkan dengan adanya kepemilikan sertifikat
ses penyelenggaran pendidikan agama agar pendidik agama melalui uji profesi.
hasilnya memiliki kualitas di suatu sekolah Kedua, problem pengawas pendidikan
yang pluralistik. Sumber daya manusia yang agama. Problem pendidikan agama di seko-
dimaksud peneliti pisahkan menjadi tiga lah ini adalah kurangnya pengawasan dan
komponen, yaitu komponen guru, pengawas pembinaan yang dilakukan pengawas terha-
pendidikan agama dan pengelola sekolah. dap pengelolaan pendidikan agama yang ada.
Pertama, problem guru agama. Pen- Pembinaan yang dilakukan oleh pengawas
didik agama di SMAN 3 Madiun ini adalah pendidikan agama di sekolah sangat minim
belum semua pendidik agama telah mem- dan terbatas pada hal-hal berkaitan teknis,
peroleh sertifikat pendidik. Dari enam orang sedangkan yang nonteknis sama sekali be-
guru pendidikan agama baru tiga orang yang lum tersentuh. Kualifikasi pengawas yang
telah memperoleh sertifikati pendidik se- menyaratkan berpendidikan Strata-2 sesuai
dangkan tiga yang lainnya belum tersertifi- dengan rumpun mata pelajarannya sebagai-
kasi yaitu guru pendidikan agama Kristen, mana yang tertera pada Pernediknas Nomor
guru pendidikan agama Buddha, dan guru 12 Tahun 2007 belum dapat terpenuhi,
pendidikan agama Hindu. Dengan kata lain, karena dua orang pengawas baru memiliki
bahwa ketiga pendidik agama yang belum kualifikasi Strata-1.
tersertifikasi tersebut dianggap belum profe- Aspek lain yang ikut mempengaruhi
sional dan akan berdampak pada pembel- dalam upaya pembinaan adalah komunikasi
ajaran yang kurang mengikuti perkembang- antara pengawas dengan guru yang kurang
dari tahap operasi formal ini adalah pemi- terbuka terahadap ajaran agama lain (in-
kiran deduktif hipotesis, induktif saintifik, klusif).
dan abstraktif reflektif. Oleh karena itu, Dengan demikian, fenomena kebera-
model pembelajaran dan strategi yang di- gamaan inklusif masih menunjukkan adanya
gunakan oleh guru pendidikan agama seha- kesalahpahaman secara konseptual di dalam
rusnya mampu memberdayakan daya nalar memahami ajaran agama. Kesalahapahaman
peserta didik secara optimal untuk mema- dapat terjadi di kalangan internal pemeluk
hami ajaran agama yang lebih mendalam. suatu agama dan juga bisa dari kalangan
Proses pembelajaran yang bersifat leteral- pemeluk luar agama. Hal ini biasanya ditan-
scriptural akan mendorong peserta didik un- dai dengan persepsi distorsif (pemutarbalik-
tuk memahami ajaran agama secara rigid, ti- an fakta) yang memandang semua agama
dak ada upaya untuk memahaminya melalui pada dasarnya sama, realitasnya tidak demi-
penalaran yang rasional sehingga mendo- kian bahkan iklusivisme beranggapan bahwa
rong peserta didik memiliki sikap kebera- “tidak menutup kemungkinan ada kebe-
gamaan eksklusif. Eklusifisme memiliki pe- naran pada agama yang tidak kita anut, dan
mahaman dan interpretasi terhadap doktrin ada kekeliruan pada agama yang kita anut”.
yang cenderung bersifat kaku (rigid) dan Masing-masing agama memiliki karakteristik
literal. khusus yang pada titik tertentu terdapat
persamaannya, tetapi pada dimensi yang
Paradigma Keberagamaan Inklusif lainnya juga terdapat berbagai perbedaan
Mencermati dokumen rencana pelak- (Naim, 2008, p. 151). Realitas masyarakat
sanaan pembelajaran (RPP) terdapat salah dengan segenap dinamikanya seharusnya
satu konsep pendidikan agama Katolik yang menjadi landasan pokok dalam membangun
sedikit lebih terbuka untuk mempelajari pemahaman agama. Oleh karena itu, sikap
terhadap agama-agama diluar agamanya bagi keberagamaan iklusif ini hemat penulis
peserta didik. Akan tetapi, pada tataran masih belum relevan dengan masyarakat
implementasi pembelajaran konsep tersebut Indonesia saat ini khusunya.
baru terbatas pada pengenalan terhadap
agama-agama lain. Memperhatikan proses Paradigma Budaya Pluralisme Demokratis
pembelajaran pendidikan agama Katolik di Emansipatoris
SMAN 3 Madiun lebih terbuka dibanding- Budaya pluralisme demokratis-eman-
kan dengan pendidikan agama yang lain. sipatoris yang dimaksud disini adalah me-
Terbuka yang dimaksud adalah guru mem- rupakan pokok pikiran atau cara pandang
berikan sedikit peluang kepada peserta didik yang mendasari suatu pengambilan kebijak-
untuk memahami materi pembelajaran me- an untuk melakukan suatu pembelajaran
lalui pengembangan struktur kognitifnya. pen-didikan agama di sekolah yang memiliki
Hal ini tampak pada penetapan dan peng- keberagamaan penganut agama. Paradigma
gunaan metode pembelajaran dengan disku- ini dianggap paling sesuai dengan kondisi
si dengan pendekatan pembelajaran koope- SMAN 3 Madiun yang merepresentasikan
ratif (coopertive learning), tetapi di proses pem- kondisi masyarakat Indonesia yang pluralis-
belajaran, pendekatan dan langkah-langkah tik. Hal ini sejalan dengan prinsip relevansi
tersebut tidak dikawal dengan benar sehing- dan kontekstualitas dalam ilmu pendidikan.
ga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pendidikan harus menyesuaikan dengan
Hal ini lebih disebabkan oleh guru pendi- kondisi masyarakat dan mampu memenuhi
dikan agamanya kurang menguasai pende- kebutuhan masyarakat (social demand), jika
katan dan strategi yang ditetapkan. Jika kon- tidak, maka akan ditinggal oleh masyarakat
sep pembelajaran tersebut diimplementasi- itu sendiri.
kan, dengan penggunaan pendekatan dan Budaya merupakan suatu cara hidup
strategi yang benar maka akan mendorong yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
peserta didik bersikap keberagamaan yang sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Dengan demikian, secara psikologis dengan yang lain. Peserta
budaya atau kebudayaan adalah suatu pan- didik yang kurang memiliki keberanian ren-
dangan yang menyeluruh dan menyangkut dah diberikan dorongan dengan memberi-
pandangan hidup, sikap dan nilai. kan apreasiasi agar muncul sikap keberanian
Dalam konteks ke Indonesiaan, ma- untuk mengemukakan pendapat, kendati-
syarakat Indonesia yang beragam etnik, pun pendapatnya kurang sesuai dengan
suku, ras, dan agama telah membangun konsepnya seorang guru agama. Dengan
kehidupan bersama dalam ke-“bhinneka”- demikian, kondisi pembelajaran pendidikan
an. Kesan hidup dalam ke-“binneka”-an agama yang seperti ini perlu terus diupaya-
tersebut telah terjadi sejak awal pergerakan kan menjadi sebuah budaya atau kebiasaan
nasional yang ditandai lahirnya “Sumpah yang harus dilakukan oleh guru-guru agama,
Pemuda” tahun 1928 sampai dengan awal agar terbangun komunikasi dua arah antara
masa kemerdekaan. Kebersamaan dalam pendidik dan peserta didik. Keragaman pen-
berbagai perbedaan telah menjadi budaya dapat dari perserta didik menjadikan kelas
bangsa Indonesia. Spirit kebersamaan dalam lebih hidup dan bahkan akan mampu me-
perbedaan tersebut telah tertuang dalam numbuhkan sikap kebersamaan dan meng-
semboyan „Bhinneka Tunggal Ika‟. Oleh ka- hindari sikap paksaan untuk menerima satu
rena itu, siapapun yang menjadi bangsa In- pendapat dari guru agama. Budaya plura-
donesia agar selalu menghargai dan meng- lisme dalam kerangka Negara Republik
hayati akan perbedaan suku bangsa, ras, Indonesia yang menganut sistem pemerin-
golongan, dan agama sebagai unsur utama tahan demokrasi pancasila hendaknya juga
untuk membangun persatuan, bukan men- mampu mendorong setiap warga masyara-
jadikannya sebagai argumentasi terjadinya kat untuk berlaku demokratis.
konflik sosial. Kondisi demikian secara so- Refomasi bidang politik di Indonesia
siologis merupakan bentuk sosialisasi nilai- membawa perubahan besar pada kebijakan
nilai yang terkandung dalam pluralisme. pengembangan sektor pendidikan, yang se-
Pluralisme secara konseptual dapat cara umum bertumpu pada dua pandangan
dipahami sebagai nilai-nilai yang menghargai baru yakni otonomisasi dan demokratisasi.
perbedaaan dan mendorong adanya kerja Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
sama berdasarkan kesetaraan dan mengan- tentang Otonomi Daerah telah meletakkan
dung makna dialog guna membangun hu- sektor pendidikan sebagai salah satu yang
bungan antarunsur dengan perbedaan latar diotonomisasikan dan bersifat keadaerahan.
belakang, etnis dan agama, maupun budaya. Otonomisasi pendidikan diarahkan ke
Oleh karena itu, pluralisme bukan hanya sekolah, agar unsur sekolah mulai dari guru
merepresentasikan adanya kemajemukan hingga kepala sekolah memiliki tanggung
etnis, bahasa, budaya dan agama dalam jawab bersama dalam peningkatan kualitas
masyarakat yang berbeda-beda, akan tetapi hasil belajar peserta didik. Kewenangan
pluralisme harus memberikan penegasan pihak sekolah adalah berkaitan dengan
bahwa dengan segala perbedaan mereka perencanaan, proses pembelajaran.
adalah sama di dalam ruang publik (the free Salah satu isu penting munculnya
public sphere). Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 ten-
Dalam konteks pembelajaran pendi- tang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa
dikan agama di kelas, pengahargaan ter- pendidikan diselenggarakan secara demo-
hadap adanya perbedaan pendapat yang kratis dan berkeadilan serta tidak diskrimi-
muncul dari peserta didik dalam memahami natif dengan menjunjung tinggi hak asasi
suatu materi agama seharusnya mendapat manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
respon atau tanggapan yang sama dari guru, kemajemukan bangsa (pasal. 4.(1)). Demo-
walaupun pendapat tersebut datang dari kratisasi merupakan implikasi dari kebijakan
peserta didik yang secara akademis memiliki pengelolaan di bidang pendidikan pada dae-
kemampuan lebih rendah atau inferior rah yang implementasinya ada pada sekolah.
Perencanaan pengembangan sekolah dari samaan kedudukan, derajat serta hak dan
berbagai aspek yang ada di dalamnya di- kewajiban dalam hukum (Partanto, 1994, p.
berikan sepenuhnya kepada sekolah dengan 145). Emansipasi adalah sebuah gerakan
melibatkan mitranya yaitu komite sekolah. pembebasan dari seorang atau kelompok
Suatu masyarakat dapat dikatakan de- yang ternegasikan dan termarginalkan dari he-
mokratis apabila di dalamnya telah terimple- gemoni ataupun dominasi kelompok yang
mentasikan prinsip-prinsip demokrasi. Prin- berkuasa.
sip-prinsip tersebut adalah persamaan, ke- Emansipatorik merupakan sebuah
bebasan dan pluralisme (Ubaidillah, 2006, p. model pendekatan dalam teori ilmu sosial
148). Ciri esensial demokrasi adalah adanya kritis. Kunci dari teori kritis ini terletak pada
akuntabilitas, partisipasi politik, tidak ada- upaya pembebasan (pencerahan). Menurut
nya kekerasan terhadap individu dan adanya teori ini seorang ilmuwan haruslah menya-
pengakuan atas hak-hak individu yang bebas dari posisi dirinya sebagai aktor perubahan
(Mansoor, 2007, p. 112). sosial. Ilmuwan sosial juga wajib mengkritisi
Pemikiran demokratisasi dalam pe- masyarakat, serta mengajak masyarakat
nyelenggaraan pendidikan didasarkan pada untuk kritis.
pertimbangan atas keterlibatan sekolah yang Harus diakui, pendidikan agama yang
lebih besar dari sebelum keluarnya Undang dikembangkan sejak dari sekolah dasar (SD)
undang tersebut. Sekolah merupakan minia- sampai perguruan tinggi selama ini masih
tur masyarakat yang di dalamnya terdiri atas lebih besifat verbalistik. Verbalistik mene-
peserta didik, guru dan tenaga kependidikan kankan pada aspek indoktrinasi dan pena-
yang berlatar belakang berbeda satu sama naman nilai ala kadarnya daripada penum-
lain secara agama, kultural maupun emosio- buhan daya kritis dan pengemabangan inte-
nal. Oleh karenanya, proses pendidikan di lektualisme peserta didik. Karena sifatnya
sekolah hendaknya secara terus menerus yang doktriner maka perbuatan salah diang-
menanamkan nilai-nilai demokrasi dan plu- gap sebagai suatu dosa yang diancam neraka
ralisme tersebut di atas sembari memba- bagi yang melakukan. Pendidikan yang se-
ngun kesadaran demokratis dan pluralistis. macam ini, di satu sisi memang dapat men-
Ortega dalam Zamroni (2007, p. 75) menya- dorong anak untuk santun, tunduk atau
takan: “good examples are the results of good patuh pada perintah dan bertingkah laku
education and good education is due to good”. Arti- mulia. Namun, disisi lain penumbuhan daya
nya jika menginginkan masyarakat baik maka kritis dan pengembangan daya kreativitas
pendidikannya harus baik. berpikir peserta didik akan menjadi terabai-
Pokok pikiran lain yang terkait de- kan. Pembelajaran yang verbalistis juga
ngan kebijakan demokratisasi pendidikan menafikkan potensi perkembangan kognitif
adalah keterlibatan peserta didik dalam pro- peserta didik khususnya yang berada pada
ses pembelajaran. Keterlibatan yang dimak- usia sekolah menengah (12 tahun ke atas).
sud adalah tidak hanya sekedar hadir di Pada usia tersebut menurut Piaget, seorang
tengah proses pembelajaran, akan tetapi remaja sudah dapat berfikir logis berdasar-
para peserta didik diberi kesempatan dalam kan proposisi-proposisi dan hipotesis serta
menentukan kegiatan belajar yang akan mengambil keputusan dari apa yang dapat
mereka lakukan bersama-sama dengan pen- diamati pada saat itu. Potensi berfikir demi-
didiknya. Keterlibaan peserta didik dalam kian ini yang masih belum menjadi perhati-
proses pembelajaran akan menjadi suasana an para guru agama karena pembelajaran
pembelajaran lebih menyenangkan, aspiratif, agama lebih bersifat doktrinis.
dan dinamis serta konstruktif. Oleh karena itu, di samping peserta
Emansipasi adalah kata yang berasal didik telah memiliki kebebasan dari berbagai
dari bahasa Inggris emancipation yang berarti belenggu, potensi berpikir mereka juga harus
pembebasan dari sebuah kekuasaan atau diberdayakan agar memiliki kesadaran tinggi
gerakan untuk memperoleh pengakuan per- dan kritis akan kepentingan belajar ajaran
Guba, E. G., & Lincoln, Y.S. (1985). Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013
Effective evaluation. San Fransisco: tentang Standar Isi.
Jossey-Bass Publishers. Peraturan Menteri Agama Nomor 16 Tahun
Haikal, M. H. (1990). Sejarah hidup 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan
Muhammad. Jakarta: Lentera Agama pada Sekolah.
Antarnusa. Partanto, P. A., & Al-Barry. (1994). M.D.
Jaenuri, A. (2002). Ideologi kaum reformis: Kamus ilmiah populer. Surabaya: Arloka.
Melacak pandangan keagamaan Saerozi, M. (2004). Politik pendidikan agama
muhammadiyah periode awal. A. N. Fuad dalam era pluralisme telaah historis atas
(Trans.). Surabaya: LPAM. kebijakan pendidikan agama konvensional
Kartono, K. (1990). Wawasan politik mengenai di Indonesia. Yogyakarta: Tiara
sistem pendidikan nasional. Bandung: Wacana.
Mandor Maju. Suparno, P. (2001). Teori perkembangan
Kneller, G.F. (1993). Politcal ideologies. In kognitif Jean Peaget. Yogyakarta.
George F. Kneller (Ed). Foundations of Kanisius.
education. New York: John Wiley and Tantular, M. (2009). Kakawin sutasoma. D.
Sons.
W. R Mastuti & H. Bramantyo
Muhadjir, N. (1990). Metodologi penelitian (Trans.). Jakarta, Komunitas Bambu.
kualitatif pendekatan positivisitik, Ubaedillah, A & Rozak, A.(2006).
rasionalistik. Yogyakarta: Rake Sarasin Demokrasi, hak asasi manusia dan
Muhadjir, N. (2010, Juni). Rekonstruksi masyarakat madani. Jakarta: ICCE
sosial untuk kehidupan religious Syarif Hidayatullah.
spiritualistik. In Kulliah Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Pascasarjana Institut Hindu Damma
Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Negeri (IHDN) Denpasar di Hotel Syahid Bandung; Fokusmedia.
Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
Muhadjir, N. (2011). Metodologi penelitian. Tentang Guru dan Dosen.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999
Naim, N., & Sauqi, A. (2008). Pendidikan Tentang Otonomi Daerah.
multikultural konsep dan aplikasi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Waldman, M.R. (1985). Primitive
mind/modern mind: New
Nurmilati, R. A. (2011). Laporan individu approaches to an old problem applied
Sekolah Menengah (LISM). Yogyakarta: to Islam. In R. C. Martin (Ed.).
SMAN 3 Madiun. Approachs to Islam in religious studies.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun USA: University of Arizona Press.
2013 tentang Standar Nasional Pen- Wilson, S. (1995). The use of ethnographic
didikan. techniques in educational research. New
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun York Academic Press.
2007 tentang Pendidikan Agama dan Zamroni. (1992). Pengantar pengembangan teori
Pendidikan Keagamaan. sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.