Anda di halaman 1dari 19

Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

Volume 20, No 2, Desember 2016 (179-197)


Online: http://journal.uny.ac.id/index.php/jpep

PARADIGMA PENDIDIKAN AGAMA DALAM


MASYARAKAT PLURAL
Ju’subaidi 1*, Noeng Muhadjir 2, Sumarno 2
1
STAIN Ponorogo, 2Universitas Negeri Yogyakarta
1
Jalan Pramuka, Ronowijayan, Siman, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur 63471, Indonesia
2
Jl. Colombo No. 1, Depok, Sleman 55281, Yogyakarta, Indonesia
* Corresponding Author. Email: subaidi_6@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengungkap paradigma yang mendasari pelaksanaan pendidikan
agama di sekolah pluralistik, dan menghasilkan paradigma pendididikan agama yang lebih
relevan dengan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Desain penelitian ini adalah penelitian
deskriptif eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif intepretif fenomenologi.
Pengumpulan data dengan wawancara mendalam didukung dengan observasi dan
dokumentasi. Analisis data menggunakan analisis interaktif yang meliputi reduksi data, display
data dan kesimpulan. Di samping itu, juga menggunakan Interpretive Phenomenolgy Analysis. Hasil
penelitian adalah Pelaksanaan pendidikan agama konvensional di sekolah yang pluralistik
belum mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 dan PERMENAG Nomor 16
Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah. Paradigma yang mendasari
pendidikan agama adalah eksklusif dan inklusif. Paradigma pendidikan agama yang relevan
dengan kondisi bangsa Indonesia yang pluralistik adalah paradigma budaya pluralisme
demokratis-emansipatoris.
Kata kunci: paradigma, eksklusif, inklusif, konvensional, phenomenology, demokratis-emansipatoris

THE PARADIGM OF RELIGION EDUCATION IN


A PLURAL COMMUNITY
Abstract
This study was to uncover the paradigm that became the basis of the implementation of
conventional religion education in the pluralistic schools and to generate a religion education
paradigm that would be more relevant to the pluralistic Indonesian society. The approach that
the researcher employed in the study was the qualitative interpretative phenomenology. The
data were collected through an in-depth interview, and the in-depth interview was supported
by an observation and documentation. Then, for the data analysis the researcher implemented
the interactive analysis that included data reduction, data display and conclusion. In addition,
the researcher also implemented the Interpretive Phenomenology Analysis. The results of the
study show that the implementation of conventional religion education in the pluralistic
schools has not fulfilled the requirements of the Government Regulation Number 55 Year
2007 and the Minister of Religion Decree Number 16 Year 2010 about the Management of
Religion Education in the School. The paradigm that becomes the basis of religion education
is the exclusive and inclusive education. The religion education paradigm that is relevant to the
conditions of pluralistic Indonesian society is the one which is democratic-emancipative, and
pluralistic.
Keyword: paradigm, exclusive, inclusive, conventional, phenomenology, democratic-emancipatory

Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.21831/pep.v20i2.7256

Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan


ISSN 1410-4725 (print) ISSN 2338-6061 (online)
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

Pendahuluan didikan yang dibangunnya dengan tatanan


Indonesia merupakan negara yang politik suatu negara (Kneller, 1993, p. 128).
multiagama dan etnis serta budaya, sehingga Dalam konteks Negara Indonesia pendapat
Indonesia menjadi negara yang kuat, tetapi tersebut secara inklusif terkait dengan penye-
tidak menutup kemungkinan sebagai trigger lenggaraanpen didikan agama yang dilaksa-
munculnya anarkisme yang disebabkan per- nakan oleh komunitas beragama di Indone-
bedaan pandangan dan praktik pendidikan sia. Hal ini dapat dilihat dari istilah politik
khususnya pendidikan agama. Kondisi ter- pendidikan agama yang didefinisikan seba-
sebut lebih disebabkan oleh rendahnya gai endapan dari politik negara, penjabaran
pemahaman masyarakat terhadap konsep dari tradisi bangsa dan nilai-nilai, serta sis-
pendidikan agama dan gagalnya internalisasi tem konsepsi rakyat mengenai bentuk nega-
nilai-nilai pendidikan agama yang selama ini ra dalam sistem pendidikan (Kartono, 1990,
diperoleh melalui lembaga pendidikan. Di p. 28).
sinilah pentingya pendidikan agama, sebab Pada aspek politik, pemerintah Indo-
pendidikan agama sebagai wahana paling nesia tidak dapat mengabaikan sisi historis
efektif untuk menginternalisasikan nilai-nilai dari semangat religiositas, yang telah meng-
agama yang di dalamnya terdapat nilai demo- akar pada penyebaran agama melalui lemba-
krasi, pluralisme, toleransi, inklusivisme, dan ga pendidikan dan pendidikan agama di lem-
lain sebagainya. Pendidikan agama pluralis- baga-lembaga pendidikan formal. Religiosi-
me adalah model pendidikan yang menekan- tas dimaknai sebagai suatu sikap keteguhan
kan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, pada keyakinan agama (Muhadjir, 2010, p. 3).
cinta-kasih, tolong menolong, toleransi, Religiositas yang dimiliki seseorang hendak-
tenggang rasa, menghormati perbedaan, dan nya juga diikuti oleh spiritualitas. Spiritu-
seluruh sikap-sikap yang mulia yang lain alitas dimaknai sebagai sikap pengakuan ter-
yang seharusnya dimiliki setiap orang. hadap kebenaran transenden rasional objek-
Pluralitas agama di Indonesia merupa- tif. Jika keyakinan agama (religiositas) tidak
kan realitas historis yang telah diakui oleh dibarengi dengan pemahaman spiritualitas,
siapapun. Berdasar pada pluralitas tersebut, maka akan menjadi budaya pembenaran
Indonesia mengambil format Negara Panca- ajaran tanpa pertimbangan akal (dogmatic
sila. Format negara Pancasila, negara tidak culture).
identik dengan agama tertentu/negara tidak Secara historis, konsep sistem politik
melepaskan agama dari urusan negara. Ciri “Negara Pancasila” yang dibangun oleh pe-
inilah yang menjadikan Indonesia sebagai va- merintah Indonesia menunjukkan perhatian-
rian „sistem politik‟ yang ketiga di samping nya terhadap keragaman etnis, budaya, dan
negara agama dan sekuler. Konsep „Negara agama. Pancasila sebagai suatu falsafah nega-
Pancasila‟ adalah menata secara kompromis ra mengandung maksud memberikan dasar
dalam pola hubungan antara negara dan bagi perjuangan negara Indonesia yang di-
agama. lahirkan atas dasar persatuan dan kemerde-
Dalam konteks dasar konstitusional kaan yang berdaulat. Dengan kata lain, Pan-
model ini dapat dinyatakan bahwa tingkat casila sebagai sistem falsafah bangsa, telah
kedekatan agama dan negara menjadi tergan- menjadi alat pemersatu di samping menjadi
tung pada derajat religiositas para penyeleng- syarat mutlak bagi kemerdekaan, dan sangat
gara negara. Implikasi dari masing-masing penting dalam upaya pembinaan bangsa In-
politik tersebut dapat dilihat pada kebijakan donesia yang telah berdiri sejak 28 Oktober
negara yang terkait dengan kehidupan ber- 1928, yang ditandai dengan ikrar “Sumpah
agama dan para pemeluknya. Untuk kasus pemuda”. Upaya melestarikan nilai-nilai
Indonesia tercermin pada kebijaksanaan ne- “Sumpah Pemuda”, menyemangati para pe-
gara yang berkaitan dengan pendidikan na- muda, dan bangsa Indonesia untuk tetap
sional dan pendidikan agama. Ada mutually mempertahankan persatuan dan kesatuan
reinforcing (saling memperkuat) antara pen- dalam negara kesatuan Republik Inonesia,

180 − Volume 20, Nomor 2, Desember 2016


Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Volume 20, Nomor 2, Desember 2016

dipilihlah semboyan “Bhineka Tungal Ika”. Dalam mua‟amalah dan uqubat (hukuman),
Bhineka di Indonesia berupa adanya berba- orang-orang musyrik dan komunitas Yahudi
gai kelompok etnis dengan berbagai ragam semuanya tunduk kepada sistem dan hukum
bahasa daerah (vernacular languages), dan be- Islam. Dalam masalah akidah, ibadah, dan
ragam keyakinan agama. Konsep Bhineka ahwal asy-syakhsiyah, mereka diberi kebebasan
sudah dikenal dan diakui sejak zaman ke- dengan keyakinan masing-masing dan tidak
rajaan Majapahit; yang oleh Mpu Tantular dipaksa untuk mengikuti Islam. Mereka
ditampilkan konsep “Bhineka Tunggal Ika memiliki hak dan kewajiban yang sama dan
tan hana Dharma Mangrwa”, beragam adil tanpa ada diskriminasi.
dengan satu Dharma tanpa tekad mendua Dengan demikian, konsep perlin-
(Tantular, 2009, p. 505). Keragaman yang ada dungan kepada minoritas oleh mayoritas te-
diakui sebagai sebuah realitas, dan menjadi lah terjadi sejak zaman Rasulullah Muham-
karakter dasar bangsa Indonesia yang me- mad saw, sebagaimana yang tertuang dalam
miliki toleransi dalam satu dharma tanpa ada “Piagam Madinah” dan pengakuan terhadap
niat untuk mendua dalam hati dan tindakan kemajemukan atau pluralitas juga telah di-
(baca. tidak munafik). Indonesia kendatipun tampakkan pada zaman kerajaan Majapahit
Islam sebagai agama mayoritas tetapi agama dengan semboyan yang ditulis oleh Mpu
minoritas tetapi diakui dan lindungi oleh Tantular dalam Kitab Sutasoma, yakni “Bhi-
negara. Dengan kata lain, bahwa pemerintah neka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Indonesia yang menjadikan Pancasila seba- Mangrwa”.
gai falsafat hidup bangsa tetap memperta- Bagi bangsa Indonesia, pluralisme
hankan kemajemukan bangsa dalam kesatuan atau kemajemukan telah ada sejak permulaan
(diversity in unity) sebagai sebuah keniscayaan abad ke 20 ketika terjadi kebangkitan nasi-
dan menjadi modal guna melestarikan ke- onal, dan kemajemukan menjadi isu yang
utuhan bangsa dalam bingkai Negara Re- menonjol. Nama Indonesia hakikatnya me-
publik Indonesia yang berdaulat. nunjukkan kemajemukan berupa banyak en-
Sejalan dengan konsep tersebut, titas budaya yang berbeda satu sama lain,
“Piagam Madinah” yang dikenal dengan ditambah dengan kemajemukan yang dise-
“shulhu al-hudaibiyah” dianggap sebagai dasar babkan oleh perbedaan agama dan keyakin-
dari pembentukan negara Islam pertama di an yang cukup banyak. Hal ini menunjuk-
Madina, dan Nabi Muhammad saw. sebagai kan bahwa pluralisme (kemajemukan) me-
peletak dasar negara tersebut. Piagam Ma- ngandung kebenaran bagi bangsa Indonesia.
dinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang Akan tetapi, pluralisme tidak dapat dan
merepresentasikan bahwa warga Madinah tidak boleh berdiri sendiri kalau Indonesia
saat itu dapat dianggap telah membentuk ingin hidup sepanjang zaman. Dalam plu-
satu kesatuan politik dan satu persekutuan ralisme harus selalu ada paham kebersama-
yang diikat oleh perjanjian yang luhur di- an tanpa paham kebersamaan, pluralisme
antara para warganya. dapat menimbulkan niat, gerak, dan usaha
Dalam Piagam Madinah memuat yang aneka ragam arahnya dan tujuannya.
suatu konsep kebebasan beragama yang Dalam konteks ke Indonesian, sistem
dijamin oleh Islam sebagai agama mayoritas politik pemeritahan Indonesia yang digagas
pada saat itu. Piagam ini juga mengatur oleh para pendiri negara (founding fathers) ini
adanya kebersamaan dalam bertanggung digali dari kehidupan bangsa pada zaman
jawab terhadap negara (Kota Yatsrib) dari kerajaan Majapahit, dan sejalan dengan sis-
ancaman agresi luar (Haikal, 1990, p. 200- tem pemerintahan Islam pada masa Rasu-
2003). Komposisi masyarakat Madinah yang lullah Muhammad saw. Dalam membangun
diakui dalam Piagam Madinah terdiri atas kesatuan dan persatuan bangsa telah digu-
beberapa kelompok komunitas (plural), nakan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
namun semua kelompok itu tunduk kepada Keragaman suku bangsa, budaya, agama,
sistem dan hukum Islam sebagai mayoritas. dan adat istiadat dipandang sebagai keka-

Paradigma Pendidikan Agama dalam Masyarakat ... − 181


Ju‟subaidi, Noeng Muhadjir, Sumarno
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

yaan dan potensi untuk membangun bangsa (2004, p. 134) merumuskan model kebijaksa-
dan negara yang kuat, maju, aman, adil, dan naan nasional akan agama menjadi empat;
makmur. Sementara itu, tanggung jawab Pertama, adalah model dominasi, kedua,
negara terhadap kehidupan beragama yang model penelantaran, ketiga model pluralisme
dianut oleh seluruh bangsa Indonesia de- agama, dan keempat model pluralisme agama
ngan memberikan kebebasan beragama, konvensional.
beribadah, dan meningkatkan keyakinan dan Model pluralisme agama konvensional,
ketakwaannya sesuai dengan agama dan yaitu negara (1) mengakui tiap-tiap kelom-
keyakinannya. Sistem ini secara yuridis- pok keyakinan; (2) mendorong secara spesi-
formal telah dijamin oleh undang-undang fik agar tiap-tiap kelompok mengamalkan
negera Republik Indonesia. Dengan demi- nilai-nilai keimanan dan ketakwaan; (3)
kian, bangsa Indonesia memiliki landasan membina tiap-tiap individu di dalam kelom-
konstitusional yang kuat untuk mengelola pok keyakinan agar saling menghormati, de-
pluralitas secara baik dan benar. Landasan ngan didorong oleh kedalaman iman ma-
tersebut diperkuat oleh budaya bangsa sing-masing; (4) membuka akses partisipasi
Indonesia yang dikenal dengan sikap ramah, kepada kelompok keyakinan minoritas da-
santun, saling menghormati, dan tolong- lam pengambilan keputusan di tingkat ma-
menolong. Di sisi lain, agama memandang syarakat; dan (5) memberdayakan kelompok
keragaman suku bangsa dan budaya sebagai keyakinan minoritas yang tertindas (Saerozi,
bagian dari sunnatullah dalam ciptaan-Nya. 2004, p. 15).
Sementara keyakinan teologis keagamaan Penelitian Saerozi (2004) tentang Po-
dianggap sebagai tawaran yang bersifat litik Pendidikan Agama dalam Era Pluralis-
persuasif. Artinya, boleh diterima atau dito- me menemukan, pertama adalah kebijakan
lak dengan konsekuensinya masing-masing. pendididkan agama di Indonesia memiliki
Oleh karena itu, pluralitas harus dilihat de- pola konvensional, kedua berpola segresi
ngan cara pandang yang positif dan disikapi fisik terhadap pemeluk agama, ketiga adalah
dengan langkah-langkah yang konstruktif. berpola dominasi atas kelompok keyakinan
Agama memiliki tujuan untuk kemas- minoritas, dan keempat pola pemberdayaan
lahatan umat manusia. Seiring dengan itu, kelompok menoritas. Pola kebijakan yang
agama sangat menghargai nilai-nilai kema- terakhir menurutnya untuk menghindari ter-
nusiaan. Pertikaian antarkelompok keaga- jadinya dominasi mayoritas atas minoritas
maan, bukan kesalahan ajaran agama tetapi dan penelantaran terhadap minoritas perlu
lebih disebabkan oleh faktor-faktor kebe- pola kebijakan yang memberdayakan kelom-
ragamaan, politik, ekonomi, dan faktor lain. pok minoritas yang bersumber dari konsep
Faktor keberagamaan yang dimaksud adalah pluralisme agama konvensional. Oleh karena
intepretasi atau pemahaman terhadap teks- itu, konteks penelitian ini adalah implemen-
teks keagamaan, strategi pengembangan aga- tasi perlindungan mayoritas atas minoritas.
ma, dan penyelenggaraan pendidikan agama. Dalam konteks implementasi dari
Secara ideal, kebijakan Indonesia ke konsep pendidikan agama konvensional ter-
depan terhadap pluralitas agama mestinya le- sebut diperlukan adanya kesamaan keyakin-
bih meningkat dibandingkan pada masa lalu an antara guru agama, peserta didik dan
dan sekarang. Teori Wirt maupun Garcia, kurikulumnya. Proses pendidikan agama
tentang tipologi kebijaksanaan nasional ter- model ini akan dapat menghindarkan prak-
hadap kemajemukan di Amerika, yang di- tik dominasi yang dilakukan oleh pihak lem-
kenal dengan sebutan six theories of communal baga pendidikan atau penelantaran sikap
living. Wirt dan Garcia membedakan dua ke- keagamaan para peserta didiknya disebab-
lompok keyakinan, yaitu kelompok keyakin- kan oleh tidak tersedianya guru agama.
an dominan (KKD) dan kelompok keyakin- Salah satu tujuan negara yang ter-
an minoritas (KKM) (Saerozi, 2004, p. 13). cantum dalam pembukaan UUD 1945, ter-
Berdasarkan kategorisasi tersebut, Saerozi kandung suatu pengakuan bahwa negara me-

182 − Volume 20, Nomor 2, Desember 2016


Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Volume 20, Nomor 2, Desember 2016

miliki kewajiban-kewajiban terhadap keber- rasa keimanan dan ketakwaan dalam diri
adaan agama sebagai realitas kehidupan peserta didik terhadap suatu agama tertentu.
bangsa dan menjadi bagian pokok dari ke- Pola penyelenggaraan pendidikan aga-
sejahteraan warganya. Di antara kewajiban ma konvensional secara yuridis telah tercan-
tersebut adalah pertama, memberikan perlin- tum dalam Undang-Undang Nomor 20
dungan hukum bagi umat beragama; kedua, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Na-
memberikan perlindungan keamanan bagi sional pada Pasal 12 Ayat 1 (a), “setiap
umat beragama; ketiga, membantu menyedia- peserta didik pada setiap satuan pendidikan
kan fasilitas dan kemudahan bagi warganya berhak mendapatkan pendidikan agama se-
untuk menjalankan agama masing-masing; suai dengan agama yang dianutnya dan di-
keempat mendorong umat beragama dalam ajarkan oleh pendidik yang seagama”. Na-
meningkatkan kualitas keimanan dan ketaq- mun, yang menjadi permasalahan adalah apa-
waan; dan kelima, menjaga kerukunan hidup kah setiap peserta didik telah memperoleh
antar dan inter-umat beragama. Pemelihara- pendidikan agama yang memadai, sehingga
an cita-cita moral yang luhur dan budi upaya penanaman dan peningkatan kualitas
pekerti sebagaimana dalam penjelasan UUD keimanan dan ketakwaan peserta didik dapat
1945 tentunya tidak dapat dilepaskan dari meningkat sebagaimana yang telah diama-
upaya pembinaan dan pengembangan kehi- natkan oleh undang-undang tersebut.
dupan beragama yang salah satunya melalui Perangkat hukum yang menjadi dasar
pendidikan agama. penyelenggaraan pendidikan agama cukup
Pasal 33, Ayat 3 Undang-Undang Da- kuat yakni Peraturan Pemerintah Republik
sar 1945 menyatakan pemerintah mengusa- Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang
hakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan Agama dan Pendidikan Keaga-
pendidikan nasional yang meningkatkan maan, sedangkan yang berkaitan dengan pe-
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia ngelolaan ada pada Peraturan Menteri Aga-
dalam rangka mencerdaskan kehidupan ma Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Aga-
Upaya mewujudkan amanat undang-undang ma pada Sekolah. Sejalan dengan sejarah
Dasar tersebut di atas pemerintah menyu- perkembangan pendidikan, pendidikan aga-
sun satu undang-undang yang mengatur pe- ma sebagai subsistem pendidikan nasional
nyelenggaraan pendidikan secara nasional secara konseptual dan praktiknya yang sesuai
bagi bangsa Indonesia, yaitu Undang-Un- dengan pola konvensional masih perlu terus
dang Nomor 2 Tahun 1989 yang diper- dikaji sehingga menemukan paradigma yang
baharui dengan Nomor 20 Tahun 2003 lebih relevan dengan kondisi pluralitas bang-
tentang Sistem Pendidikan Nasional. sa Indonesia saat ini. Fenomena sosial ten-
Dalam konteks tanggung jawab terha- tang perilaku asusila dan asosial yang dila-
dap eksistensi agama tersebut timbul kesa- kukan para elitis dan sebagian warga seko-
daran dan perhatian pemerintah Indonesia lah serta berlangsungnya pendidikan agama
yang cukup tinggi terhadap pentingnya pen- di sekolah menunjukkan penerapan perilaku
didikan agama. Hal itu menjadi dasar argu- sosial dan kemanusiaan masih perlu dilaku-
mentatif untuk mendorong pendidikan aga- kan kajian ulang. Hal ini dapat dilihat dari
ma menjadi salah satu mata pelajaran wajib berbgagi kasus pembunuhan, pemerkosaan,
di seluruh jalur, jenis, dan jenjang pendi- pelecehan seksual, korupsi, penyerangan ter-
dikan formal. Signifikansi peran pendidikan hadap sekolompok jamaat, pembakaran tem-
agama telah diperkuat dengan penyeleng- pat ibadah dan perbuatan melawan hukum
garaannya yang menggunakan pola pluralis- lainnya menunjukkan tingkat religiositas dan
me agama konvensional. Pola tersebut diarti- spiritualitas pelakunya masih rendah. Peri-
kan sebagai pendidikan agama yang bertuju- laku-perilaku tersebut diyakini merupakan
an untuk menanamkan dan meningkatkan dampak dari gagalnya internalisasi nilai-nilai

Paradigma Pendidikan Agama dalam Masyarakat ... − 183


Ju‟subaidi, Noeng Muhadjir, Sumarno
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

agama yang diperoleh baik dari sekolah peserta didik dari kalangan atas. Dengan
maupun lingkungan masyarakat. sejumlah prestasi dan reputasinya diyakin
Pertanyaanya adalah bagaimana pelak- telah memiliki sumberdaya yang qualified dan
sanaan pendidikan agama di sekolah khusus- kompeten dan manajemen terstandar.
nya dalam meningkatkan keimanan dan Berdasarkan kajian awal tersebut, pe-
ketakwaan peserta didik? Oleh karena itu, nelitian ini bertujuan untuk mengungkap
penyelenggaraan pendidikan agama di seko- paradigma yang mendasari pelaksanaan pen-
lah perlu dilakukan evaluasi secara kompre- didikan agama di sekolah pluralistik, dan
hensif dan lebih mendalam, mengingat tuju- menghasilkan paradigma pendididikan aga-
an pendidikan adalah adanya perubahan ma yang lebih relevan dengan masyarakat
kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta Indonesia yang pluralistik dengan meng-
didik sehingga terwujudnya manusia yang arahkannya pada implementasi pendidikan
berkembang kemampuannya dalam mema- agama konvensional (agama Kristen, Kato-
hami, menghayati, dan mengamalkan nilai- lik, Buddha, Islam, Hindu, Konghuchu) dan
nilai agama dalam kehidupan individu mau- paradigma pelaksanaan pendidikan agama di
pun sosial. Sekolah.
Dengan demikian, penelitian ini akan
diarahkan ke dalam konteks implementasi Metode Penelitian
pendidikan agama konvensional yang ber-
langsung di sekolah. Sekolah yang dimaksud Penelitian ini menggunakan pendekat-
adalah sekolah yang memiliki keragaman an kualitatif interpretatif Phenomenologik
agama, budaya dan etnis yang dianggap se- dengan paradigma naturalisltik. Pendekatan
bagai representasi masyarakat Indonesia ini dipilih secara filosofis sesuai dengan
yang pluralistik. karakter data, teknik pengumpulan data dan
Penelitian ini mengambil tempat di analisis data yang digunakan. Penelitian ini
SMAN 3 Madiun. Berdasarkan kajian awal juga mengacu pada pendekatan post posi-
peserta didiknya terdiri atas pemeluk agama tivisme-phenomenologi (Muhadjir, 2001, p.
yang diakui di Indonesia. Jumlah peserta di- 17), karena berusaha mengungkap dan
diknya tahun 2012 sebanyak 517 siswa meli- menjelaskan berbagai fenomena pelaksanan
puti Islam 85,02%, Protestan 6,33%, Kato- pendidikan agama konvensional, paradigma
lik 5,18%, Hindu 1,54%, Buddha 1,54%. pelaksanaan pendidikan agama, dan mena-
Etnisnya terdiri atas etnis Jawa dan China. warkan paradigma baru yang lebih relevan
Hal ini peneliti dianggap sebagai represen- dengan konteks masyarakat Indonesia.
tasi sekolah yang pluralistik. Sekolah terse- Pemilihan pendekatan ini didasarkan
but merupakan salah satu sekolah yang per- atas sifat kajian, perspektif teoretik, sasaran
tama pada tahun 2006 telah menjadi Rintisan maupun data penelitian yang diyakini lebih
Sekolah Bertarap Internasional (RSBI). relevan dengan pendekatan kualitatif-pheno-
Pengajaran dan pengembangan kurikulum menologi. Kualitatif intepretif phenomeno-
menggabungkan keunggulan akademik, afek- logik mendasarkan pada filsafat phenome-
tif maupun psikomotorik dan menjadi An nologik, yang mengakui adanya peran subjek
IT advanced integreted schoool. Pengembangan saat mengamati fakta, saat menganalisis, dan
sekolah bertarap internasional diperuntuk- saat memaknai fakta di luar diri maupun
kan bagi masyarakat ekonomi lemah hingga dalam diri subjek yang bersangkutan; dan
tinggi. Komitmennya terhadap kepedulian juga saat berteori (Muhadjir 2011, p. 510).
masyarakat berekonomi lemah dan kesetara- Hors menyatakan, melalui pendekatan ala-
an gender ditunjukkan dalam penerimaan miah akan diperoleh pemahaman dan penaf-
peserta didik masing-masing sebesar 10 % siran secara relatif mendalam mengenai mak-
dari total peserta didik. Hal ini dilakukan na dari kenyataan dan fakta yang relevan
untuk menetralisir kesan masyarakat terha- (Guba & Lincoln, 1985, p. 35). Penelitian
dap SMAN 3 Madiun hanya menerima para kualitatif adalah penelitian yang datanya be-
rupa data kualitatif, yaitu descriptive material,

184 − Volume 20, Nomor 2, Desember 2016


Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Volume 20, Nomor 2, Desember 2016

yang meliputi catatan, data verbal seperti elemen-elemen ideologi diterima sebagai
apa yang dikatakan orang dalam wawancara, formulasi filosofis bersifat tentatif sesuai
data visual seperti gambar/foto (Wilson, dengan perubahan sosial-budaya (Jaenuri,
1995, p. 8). Dengan demikian, penggunaan 2002, p. 8).
pendekatan kualitatif fenomenologi didasar- Penelitian ini dikategorikan ke dalam
kan pada asumsi bahwa hal-hal yang me- penelitian kualitatif karena bersifat alamiyah,
nyangkut pemikiran dan keaslian sebuah ke- peneliti sebagai instrumen kunci, berusaha
giatan pendidikan agama tampaknya hanya mengungkap dunia makna dibalik tindakan
dapat diungkap secara jelas dan mendalam seseorang (Bogdan & Biklen, 1998, pp. 4-7)
dengan pendekatan tersebut. dan diharapkan mampu memberikan pen-
Jika didasarkan pada kriteria penge- jelasan secara mendalam (verstehen) tentang
lompokan penelitian pendidikan maka pe- pemikiran pendidikan agama dalam sekolah
nelitian ini masuk kategori descriptive research, pluralistik di Kota Madiun. Setelah diper-
yaitu berusaha mengungkap apa yang terjadi oleh deskripsi dan kesimpulan atas berbagai
pada pelaksanaan pendidikan agama dan fenomena terkait dengan realitas pelaksana-
pemikiran yang mendasarinya (Best, 1997, an pendidikan agama konvensional di seko-
p. 15). Desain penelitian yang menggunakan lah, langkah selanjutnya adalah merumuskan
pendekatan kualitatif lebih bersifat umum paradigma pendidikan agama yang dibangun
tidak rinci, fleksibel, dan dapat berkembang dari grass root. Salah satu manfaat yang diha-
sesuai dengan situasi sosial (people, peper, rapkan dari penelitian ini adalah sumbang-
activities). Melalui pendekatan tersebut akan an/konstribusi bagi perbaikan pendidikan
terungkap meliputi persepsi, pemikiran, ke- agama di Sekolah yang sesuai dengan kon-
mauan dan keyakinan subjek tentang sesuatu teks masyarakat plural (ke-Indonesiaan).
di luar subjek ada sesuatu yang transenden Secara metodologis pendekatan yang
di samping yang a-posteriori. Di sisi lain juga dipilih adalah model social action. Model ini,
akan terungkap fenomena empirik sensual peneliti melibatkan diri langsung dan me-
dari subjek penelitian yang lebih banyak nyatu dengan subjek penelitian dalam ber-
membicarakan gejala-gejala subjek suatu bagai aktivitas pendidikan agama di sekolah
kelompok masyarakat yang menjadi objek (partisipasi aktif). Tujuan keterlibatan ini
penelitian (Muhadjir, 1990, p. 27). Penelitian tidak sekedar untuk memahami ragam feno-
yang bersifat abstrak berusaha mengungkap mena dan persepsi grass root dengan meng-
pengakuan dan keyakinan sekaligus meng- gunakan intepretasi atas fakta dengan model
anggap penting dan berharga terhadap yang etik dan emik saja, tetapi juga menggunakan
transenden. Hal yang demikian tidak mung- logik-neotik. Dengan langkah ini diharapkan
kin dilakukan dan didekati melalui peneliti- dapat diungkap dan dirumuskan fakta tak
an kuantitatif-positivistik. terkatakan dari responden (nature of reality)
Di dalam masyarakat plural terdapat untuk selanjutnya diarahkan dan difasilitasi
kesamaan teologis pada level struktural dan ke arah pemikiran sesuai konsep atau model
berbeda pada level ideologis (Waldman, paradigma pendidikan agama konvensional
1985, p. 92), maka penelitian ini juga meng- yang ditawarkan. Model Discourses Foucouldian
gunakan pendekatan teologis. Pendekatan juga digunakan untuk mengarahkan lebih
ini dimaksudkan sebagai interprestasi ter- lanjut pemahaman subjek penelitian (grass
hadap berbagai ide yang saling berkaitan root) akan pentingnya pendidikan agama yang
dalam masyarakat plural, yakni ide-ide yang berkualitas dalam kehidupan masyarakat
merefleksikan kepentingan dan komitmen yang memiliki keunggulan komparatif dan
moral serta sosial. Pendekatan semacam ini kompetitif. Tujuannya mengintervensi pemi-
menjelaskan dan menilai kondisi sosial, pe- kiran dan pemahaman grass-root agar ber-
ran individu dalam masyarakat yang diteliti ubah ke arah pemikiran dan pemahaman
serta implikasi nyata dari aksi sosial. Pen- yang proporsional dan lebih maju tentang
dekatan ini juga mengasumsikan bahwa eksistensi pendidikan agama sesuai dengan

Paradigma Pendidikan Agama dalam Masyarakat ... − 185


Ju‟subaidi, Noeng Muhadjir, Sumarno
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

pola pendidikan agama konvensional. Seca- tujuan pendidikan nasional. Pendidikan aga-
ra teknis proses ini dilakukan melalui pem- ma sebagai wahana paling efektif untuk
berian text reading dan diskusi dengan ke- menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan
lompok guru agama. Untuk mengetahui dan agama karena di dalam nilai-nilai agama ter-
mengukur pemahaman grass-root atas konsep kandung nilai demokrasi, toleransi, inklusi-
atau model yang ditawarkan, dilakukan ko- visme, menghormati perbedaan, dan nilai-
munikasi interaktif dan diskusi dengan guru nilai moral yang lain. Oleh karena itu, men-
agama. Dengan teknik ini diharapkan ide jadi penting untuk melihat kembali pelak-
dan gagasan yang diajukan oleh peneliti sanaan pendidikan agama di sekolah khu-
dapat terdeseminasikan. susnya sekolah-sekolah yang memiliki kera-
Proses pengembangan melalui dua gaman budaya, agama, etnis.
tahap, pertama studi pendahuluan meliputi,
pengumpulan data, pemaknaan fenomena; Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan
deskripsi; kategorisasi rumusan & spesifikasi Agama Konvensional
kesimpulan (rumusan verbal) dan kedua pe- Pada tahun 2012 jumlah peserta didik
ngembangan meliputi perumusan dan dise- 517 yang terdiri atas pemeluk agama Islam
minasi model paradigma pendidikan agama sebesar 88,95%, agama Kristen 5%, agama
konvensional. Produk yang dihasilkan ter- Katollik 4,85%, agama Hindu 0,2%, dan
batas sampai pada konseptualisasi paradig- agama Buddha 0,8%. Sejumlah peserta didik
ma pendidikan agama konvensional. tersebut diasuh oleh 6 orang guru agama,
Wawancara mendalam (indept-interview) yaitu 2 orang guru agama Islam, seorang guru
dilakukan dengan mengajukan beberapa per- agama Kristen, seorang guru agama Katolik,
tanyaan secara mendalam kepada 6 orang seorang guru agama Buddha, dan seorang
guru pendidikan agama dan kepala sekolah guru agama Hindu. Status lima orang guru
yang berhubungan dengan pengelolaan dan agama sebagai guru tatap (PNS) di SMAN 3
pelaksanaan pendidikan agama serta pan- Madiun dan satu guru agama Budha ber-
dangan terhadap peran pendidikan agama status honorer. Dari enam guru agama yang
ke depan. Observasi digunakan untuk me- telah memiliki sertifikat pendidik hanya tiga
ngetahui bagaimana para guru agama mela- orang guru, yaitu 2 orang guru agama Islam
kukan pembelajaran dan mengetahui upaya dan seorang guru agama Kristen, sementara
pembudayaan nilai-nilai agama di lingkung- yang lain belum bersertifikat pendidik. Arti-
an sekolah. Teknik dokumentasi digunakan nya, tiga orang guru belum diakui sebagai
untuk mengetahui perangkat pembelajaran pendidik profesional. Tiga guru yang telah
ygn dibuat. tersertifikasi masih menunjukan kurang me-
Validasi keakurasian temuan dengan miliki kompetensi secara optimal yang di-
triangulasi sumber dan peer debriefing. Sedang- persyaratkan oleh standar pendidik dan
kan Pemaknaan terhadap berbagai peristiwa tenaga kependidikan. Seharusnya yang telah
dilakukan melalui analisis data. Analisis data bersertifikat pendidik telah memenuhi kuali-
menggunakan analisis data interaktif yang fikasi dan kompetensi.
diintrodusir oleh Miles and Huberman, me- Implementasi pendidikan agama kon-
liputi pengumpulan data, reduksi data, display vensional pada sekolah diperlukan adanya
data, dan kesimpulan dan Interpretive Pheno- kesamaan keyakinan antara guru agama, pe-
menolgy Analysis. serta didik, dan kurikulumnya. Hal ini diha-
rapkan terhindar dari praktik dominasi oleh
pihak institusi atau penelantaran peserta
Hasil Penelitian dan Pembahasan
didiknya untuk memperoleh hak pendidikan
Pendidikan agama sebagai subsistem agama. Di sisi lain, implementasinya juga ha-
pendidikan nasional memiliki nilai penting rus mampu mendorong setiap individu peser-
dan strategis dalam membangun masyarakat ta didik untuk meningkatkan keimanan dan
yang madani dan berkeadaban. Hal ini men- mengamalkannya dengan penuh kesadaran
jadi ciri khas bangsa Indonesia dan menjadi dengan didorong oleh kedalaman iman dan

186 − Volume 20, Nomor 2, Desember 2016


Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Volume 20, Nomor 2, Desember 2016

ketakwaannya, serta memberdayakan diri ini ditunjukkan pada setiap pembelajaran


dari hegemoni kekuasaan. Pembahasan se- satu buku untuk dua siswa. Menurut pene-
lanjutnya tentang sarana prasarana, pembel- liti, kondisi ini disebabkan oleh anjuran guru
ajaran intrakurikuler dan ekstrakurikuler, untuk menggunakan sumber belajar terse-
dan penilaian hasil belajar agama. but kurang optimal. Standar yang ditetapkan
rasio buku dengan peserta didik 1:1. Di sisi
Sarana dan Prasarana lain laboratorium pendidikan agama seba-
Untuk menunjang proses pembel- gaimana yang disyaratkan peraturan menteri
ajaran pendidikan agama, SMAN 3 telah agama juga belum tersedia.
menyediakan beberapa sarana prasarana be-
Pembelajaran Intrakurikuler
rupa ruang proses belajar mengajar, ruang
perpustakaan dan tempat ibadah. Pembel- Upaya memenuhi standar proses yang
ajaran pendidikan agama Islam berlangsung disyaratkan dalam standar nasional pendi-
di setiap kelas. Pendidikan agama Kristen, dikan guru pendidikan agama SMAN 3 Ma-
Katolik, dan Hindu disediakan masing-ma- diun telah melakukan perencanaan proses
sing satu ruang. Dari ruangan yang tersedia pembelajaran, pelaksanaan proses pembela-
bagi pendidikan agama Islam, Kristen, Ka- jaran dan penilaian hasil pembelajaran. Da-
tolik telah memenuhi standar sarana dan lam perencanaan, para guru agama sebagai-
prasarana, sedangkan ruang untuk pendidik- mana lazimnya sebagai pendidik yang profe-
an agama Hindu kurang baik dan terkesan sional telah menyusun perencanaan proses
seadanya dan bekas gudang, ukurannya 3 x pembelajaran. Berdasarkan dokumen RPP
3m, tidak dilengkapi dengan media pembel- yang telah dibuat oleh para guru agama se-
ajaran. Di dalam ruang berisi sebuah meja cara adminstratif telah dipenuhi, akan tetapi
tulis, 4 buah kursi lipat yang kondisinya ru- secara substansial masih terdapat beberapa
sak kecuali dua buah untuk guru dan siswa. komponen RPP yang belum dikembangkan
Sarana pembelajaran ataupun sarana ibadah secara optimal, misalnya sebagian kompe-
pendidikan agama Buddha belum tersedia, tensi dasar, materi, penilaian. Kurikulum
sehingga pembelajaran agama Buddha dila- Tingkat Satuan Pendidikan memberi pelu-
kukan secara gabungan dengan para peserta ang seluas-luasnya kepada guru untuk m-
didik agama Buddha dari sekolah-sekolah engembangkannya. Hal ini disebabkan ke-
lain dan pelaksanaan di Klenteng Madiun. mampuan guru dalam mengembangkannya
Sarana ibadah yang tersedia sebuah masjid, terbatas dan pembinaan oleh pengawas ku-
sedangkan sumber belajar pendidikan agama rang optimal. Kehadiran pengawas di sekolah
dalam bentuk buku pegangan peserta didik terbatas pembinaan terhadap pemenuhan ad-
dan pendidik/guru serta sejenisnya telah ministrasi. Kegiatan dalam Musyawarah Gu-
tersedia di perpustakaan. Buku pegangan ru Mata Pelajaran kurang dimanfaatkan un-
guru terdiri atas 2 buah judul dengan jumlah tuk meningkatkan kompetensi profesional.
delapan eksemplar. Buku teks siswa seba- Berkaitan dengan pelaksanaan proses
nyak dua puluh (20) judul dan berjumlah pembelajaran, guru agama belum maksimal
708 eksemplar, sedangkan buku penunjang- melakukannya. Artinya proses pembelajaran
nya sebanyak tujuh belas (17) judul dan menunjukkan pada pembelajaran yang ku-
berjumlah 196 eksemplar (Nurmilati, 2011- rang sesuai dengan perencanaan yang dibuat-
2012, p.3). nya sendiri. Proses pembelajaran di kelas
Memperhatikan sarana dan prasarana seringkali tidak sesuai dengan yang telah ada
dapat dinyatakan bahwa penyediaan ruang di dokumen rencana pelaksanaan pembela-
belajar dan ruang ibadah belum memenuhi jaran, misalnya kebanyakan guru agama me-
standar sarana dan prasarana, sedangkan pe- lakukan pembelajaran tanpa kegiatan awal
nyediaan sumber belajar dalam bentuk buku yang sebenarnya penting untuk dilalui agar
telah mencukupi, akan tetapi pemanfaatan peserta didik mengetahui akan tujuan pem-
sebagai sumber belajar belum maksimal. Hal belajaran dan mengaktifkan mereka dalam

Paradigma Pendidikan Agama dalam Masyarakat ... − 187


Ju‟subaidi, Noeng Muhadjir, Sumarno
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

mengikuti pembelajaran. Kebanyakan guru kemampuan untuk mengembangkan instru-


langsung kegiatan inti dan penutup. Metode men tes, dampaknya akan merugikan para
mengajar kurang bervariasi bahkan cende- peserta didik dan mereduksi fungsi alat ukur
rung menggunakan single methode dan meto- itu sendiri.
de ceramah paling sering digunakan. Peng-
gunaan metode diskusi kurang konsisten pa- Pembelajaran Ekstrakurikuler
da langkah-langkahnya. Penyampaian mate- Proses pembelajaran ekstrakurikuler
ri lebih bersifat eksklusif-doktrinis, dan pem- merupakan suatu kegiatan pembelajaran
bahasan materi dengan pendekatan leteral- yang berlangsung di luar pembelajaran intra-
scriptural artinya apa yang diperoleh dari teks kurikuler. Bentuk pembelajaran ektrakuriku-
baik dari buku maupun kitab disampaikan ler adalah berbagai kegiatan yang berfungsi
tanpa melalui proses berpikir. Model pem- sebagai pendalaman yang merupakan penga-
belajaran seperti ini diyakini akan membo- yaan, penguatan yang merupakan upaya pe-
sankan dan tidak terjadi proses pengem- mantapan keimanan dan ketakwaan, pem-
bangan budaya baca tulis dan berpikir kritis. biasaan diarahkan pada upaya terwujudnya
Penilaian merupakan unsur yang pen- pengamalan dan pembudayaan ajaran agama
ting dari proses pembelajaran. Ketercapaian serta perilaku akhlak mulia dalam kehidupan
tujuan pembelajaran dapat dilihat dari hasil sehari-hari.
penilaian. Kualitas pembelajaran dengan Pembelajaran ekstrakurikuler pendi-
kualitas penilaian merupakan dua hal yang dikan agama secara normatif meliputi fungsi
tak dapat dipisahkan. Pembelajaran yang pengayaan (pemberian tugas tambahan dari
baik akan menghasilkan kualitas belajar yang materi intrakurikuler), penguatan (melalui
baik, sedangkan mutu pembelajaran hanya pengamalan ajaran), pembiasaan (melalui
akan dapat dilihat dari hasil penilaiannya. pengamalan dan pembudayaan). Pelaksana-
Sistem penilaian yang baik akan mampu an pembelajaran ekstrakurikuler berbentuk
memberikan motivasi belajar peserta didik tatap muka atau nontatap muka. Bentuk lain
yang lebih baik. pembelajaran ekstrakurikuler ini adalah
Dalam hal penilaian, para guru agama perluasan dan pengembangan. Proses pem-
di SMAN 3 Madiun masih belum semua belajaran ekstrakurikuler pendidikan agama
memahami secara benar prosedur penyu- di SMAN 3 Madiun sesuai dengan agama
sunan instrumen, masih terjadi overlapping, yang dianut siswanya.
yang seharusnya indikator diukur dengan tes Pendidikan agama Islam dalam pem-
pilihan ganda, justru guru menggunakan belajaran ekstrakurikulernya pada aspek pe-
bentuk uraian objektif. Guru agama dalam ngayaan melalui pemberian tugas tambahan
menyusun instrumen penilaian uraian juga atas materi pembelajaran intrakurikuler, as-
belum dilengkapi dengan rubrik dan pedo- pek penguatan dilakukan melalui pengamal-
man penskoran. Penyusunan intrumen tes an ajaran Islam, baik yang sunnah mapun
pada tengah maupun akhir semester dida- yang wajib, sedangkan pembiasaan dilaku-
sarkan pada jumlah skor keseluruhan yang kan melalui pengalaman dan pembudayaan
telah disepakati. Misalnya, soal dibuat de- berbentuk berjabat tangan dengan para guru
ngan komposisi pilihan ganda 60 dan bentuk dan karyawan serta antarteman, mengguna-
uraian jumlah sekor maksimal 40. Guru aga- kan bahasa jawa dalam berkomunikasi di
ma tidak pernah melakukan pengembangan setiap hari Jumat, mengadakan kegiatan Pe-
instrumen (tes) yang sesuai dengan langkah- ringatan Hari-hari besar Islam dan mela-
langkah pengembangan instrumen. Hal ini kukan kunjungan ke panti asuhan yang ber-
mengindikasikan bahwa instrumen yang di- sifat temporal. Pendalaman melalui kegiatan
susun tidak pernah dilakukan uji coba dan kajian Islam dengan kerja sama dengan “al-
dilakukan analisis baik validitas maupun Kahfi” dan bersifat sukarela. Pada aspek
reliabilitasnya. Kondisi ini menunjukkan perluasan dan pengembangan melalui men-
bahwa para guru agama belum memiliki dalami seni baca Alqur‟an.

188 − Volume 20, Nomor 2, Desember 2016


Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Volume 20, Nomor 2, Desember 2016

Pendidikan agama Kristen bentuk masing-masing peserta didik. Kegiatan pe-


kegiatan pembelajaran ekstrakurikuler dalam ngayaan ini dilakukan di tengah dan atau
rangka pendalaman yaitu kegiatan belajar akhir semester. Pengayaan berbentuk la-
mengajar bersifat pengayaan dan hanya pda tihan meditasi dan pendalaman terhadap
materi-materi tertentu. Penguatan iman dan Dhamma Pala.
takwa peserta didik yang dilakukan oleh Memperhatikan data tersebut, masih
guru agama Kristen berbentuk ibadah, terdapat perbedaan persepsi terhadap ke-
retreat dan pendalaman alkitab, sedangkan giatan ekstrakurikuler pendidikan agama. Pe-
peningkatan keimanan dan ketakwaan me- ngayaan yang seharusnya dipahami dengan
reka dilakukan dengan mengkaji „al-Kitab‟ memberikan tambahan materi terhadap
secara mendalam dan berdoa bersama baik materi intrakurikuler dan dilaksankan diluar
di gereja maupun di tempat lain pada setiap jam intrakurikuler. Pada kasus pendidikan
hari Jumat. Upaya memberikan pengalaman agama Katolik pendalaman iman bukan
dan pembudayaan berperilaku baik melalui wewenang guru agama tetapi gereja, yang
kunjungan ke panti asuhan, dan dilakukan menjadi persoalan justru masing-masing
bersamaan dengan hari paskah. gereja memiliki cara yang berbeda-beda. Di
Kegiatan pembelajaran ekstrakuriku- sisi lain kehadiran ke geraja bagi orang
ler pendidikan agama Katolik berbentuk Katolik hanya sekali dalam seminggu. Jika
tatap muka. Pengayaan dan pendalaman demikian, maka pendalaman iman dirasa
dilakukan dari hasil ulangan formatif atau sulit untuk diwujudka. Dalam hal perluasan
sumatif, dilakukan dengan memberi materi dan pengembangan dari kelima agama, ha-
tambahan. Pembiasaan, pengamalan dan nya agama Islam yang melakukan upaya pe-
pembudayaan dilakukan dalam bentuk kun- ngembangan dan perluasan. Dengan demi-
jungan ke panti asuhan dan pemberian kete- kian, upaya pendalaman terhadap materi
ladanan berdisiplin, ajakan dan nasihat yang intrakurikuler tidak akan tercapai tujuannya.
baik. Penanaman dan peningkatan keiman- Penilaian hasil belajar pendidikan aga-
an melalui kegiatan retreat, rekoleksi. Pen- ma melalui ujian hanya berlaku pada pendi-
dalaman iman adalah bukan wewenang guru dikan agama Islam, sedangkan agama non-
agama, tetapi kewenangan sepenuhnya pihak Islam tidak ada ujian praktik. Hal ini dise-
gereja. babkan oleh tidak adanya materi praktek da-
Kegiatan pembelajaran ekstrakuriku- lam pembelajaran agama-agama non-Islam.
ler pendidikan agama Hindu, merupakan Penilaian hasil belajar oleh pemerin-
upaya pendalaman, penguatan iman dan ke- tah hanya berlaku untuk pendidikan agama
takwaan, pembiasaan, perluasan dan pe- Islam dalam bentuk UASBN dan secara
ngembangan. Upaya pendalaman dengan teknis dikelola oleh subdit pendidikan dan
cara pemberian tambahan materi yang lebih madrasah (Penma) Kementerian agama kota
tinggi dari apa yang telah dibahas dan dila- Madiun sebagai pelaksana di daerah. Pelak-
kukan di sekolah. Kegiatan penguatan iman sanaan UASBN secara teknis menimbulkan
dan ketakwaan melalui praktik sembahyang kendala yakni pada aspek distribusi. Persoal-
dan meditasi secara rutin. an lain yang timbul adanya UASBN hanya
Pembelajaran ekstrakurikuler pen- agama Islam adalah sikap diskriminasi ter-
didikan agama Buddha dilakukan melalui hadap pendidikan agama selain Islam. Pem-
tatap muka dan mengambil tempat di TITD belajaran agama non-Islam tidak terukur
Hwi Ing Kiong (Klenteng Madiun). Pem- secara nasional serta secara ekonomi mengu-
belajaran ekstrakurikuler agama Hindu me- rangi pendapatan para guru agamanya.
rupakan upaya pendalaman dalam bentuk
pengayaan, penguatan terhadap keimanan Problematika Pendidikan Agama Konvensional
dan ketakwaan. Pembiasaan melalui peng- Terdapat dua hal dalam pengelolaan
amalan dan pembudayaan dalam kehidupan pendidikan agama konvensional, yaitu kuri-
sehari-hari baik di sekolah maupun di rumah kulum, dan sumber daya manusia.

Paradigma Pendidikan Agama dalam Masyarakat ... − 189


Ju‟subaidi, Noeng Muhadjir, Sumarno
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

Pengembangan Kurikulum di SMAN cara metodologis juga masih terdominasi


3 Madiun tidak dilakukan bersama komite oleh indoktrinasi-dogmatis. Dengan kata lain,
sekolah. Hal ini tidak mengikuti prinsip bahwa penyampaian materi agama oleh ke-
pengembangan kurikulum. Keterlibatan ko- banyakan guru agama belum mampu me-
mite sekolah dalam pengembangan kuriku- ngembangkan potensi berpikir kritis, sehing-
lum diharapkan dapat memberikan masuk- ga penerimaan peserta didik terhadap ajaran
an-masukan tentang kebutuhan lingkungan agama baru pada kesadaran magis (magical
masyarakat yaitu para wali murid untuk consciousness) belum sampai pada kesadaran
mendukung tercapainya kompetensi lulusan. kritis (critical consciousness). Kesadaran magis
Jika pengembangan kurikulum tidak sinergi merupakan sikap peserta didik secara dog-
dan tidak relevan dengan kepentingan ma- mati menerima sesuatu (mis. ajaran agama)
syarakat, maka peserta didik tidak akan me- dari guru tanpa adanya mekanisme mema-
miliki keterampilan sosial (social skill) sebagai hami makna dari konsep yang diterima
bekal hidup bermasyarakat yang luas. Dam- (Fakih, 2008, p. xvi). Dengan kata lain, pe-
pak lebih jauh adalah sekolah hanya akan serta didik hanya mengikuti apa yang di-
menghasilkan lulusan yang tidak dinginkan katakan guru tanpa melalui pemikiran rasio-
masyarakat sehingga menambah jumlah peng- nal. Oleh karena itu, pembelajaran pendi-
angguran yang akhirnya menjadi beban dikan agama seharusnya mampu merubah
negara. peserta didik dari kesadaran magis kepada
Problem yang berkaitan dengan kuri- kesadaran kritis.
kulum adalah adanya cara berfikir dikotomis Problematika kurikulum kedua adalah
antara pendidikan agama dengan pendidik- pemahaman guru agama terhadap regulasi
an umum. Cara berpikir yang membedakan pendidikan agama yang kurang menjadi ken-
pendidikan agama dan pendididkan umum dala tersendiri dalam mengembangkan kuri-
terkesan tidak dapat dipertemukan. Kuriku- kulum pendidikan agama. Para guru agama
lum 2013 yang secara konseptual diupaya- pada tahun 2012 belum mengetahui kalau
kan ke arah integrasi nilai spiritual yang ber- ada Peraturan Menteri Agama (Permenag)
sumber dari nilai agama ke dalam mata pel- Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
ajaran umum ditingkat pendidik juga masih Pendidikan Agama pada Sekolah. Hal ini
menjadi problem. Kesulitan melakukan pe- lebih disebabkan oleh kurangnya sosialisasi
nilaian aspek spiritual terletak pada belum regulasi yang menyangkut penyelenggaraan
dimilikinya pemahaman konseptualisasinya pendidikan agama pada sekolah dari Ke-
dan teknik implementasinya mengingat jum- menterian Agama. Minimnya pembinaan
lah peserta didik yang banyak. pengawas agama menyebabkan rendahnya
Standar Isi dan Kom-petensi Dasar pemahaman terhadap regulasi.
yang tertuang dalam lampiran Standar Isi Dari uraian tersebut dapat disimpul-
pada Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013 kan bahwa problem yang terkait dengan
menunjukkan perbedaan besarnya muatan kurikulum pendidikan agama konvensional
materi ajar antarpendidikan agama dan rasio adalah; (a) pengembangan kurikulum yang
jam pelajaran yang kurang memadai. Akibat disusun oleh satuan pendidikan menunjuk-
dari pemahaman tersebut di sekolah umum kan kurangnya pemahaman para pengem-
(bukan sekolah bercirikan agama) muncul bang kurikulum terhadap regulasi yang ber-
dua fenomena. Pertama, pembelajaran pen- kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan
didikan agama masih bersifat literal-scriptural. dan prinsip-prinsip pengembangan kuriku-
Pembelajaran model ini masih mementing- lum, (b) pada tataran implementasi kuriku-
kan apa yang ada di dalam teks kitab suci lum dihadapkan pada persoalan sumberdaya
tanpa adanya upaya mengontekstualisasi manusia dalam hal ini tenaga pendidikan
dengan kehidupan para peserta didik. Hal dan kependidikan yang masih belum memi-
ini seringkali menimbulkan sikap eksklusif. liki pandangan yang sama dan respon yang
Kedua, pembelajaran pendidikan agama se- memadai oleh warga sekolah terhadap pe-

190 − Volume 20, Nomor 2, Desember 2016


Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Volume 20, Nomor 2, Desember 2016

laksanaan pendidikan agama. Di sisi lain, an psikologi peserta didik, sedangkan tiga
kompetensi profesional khususnya guru guru yang telah memperoleh sertifikat pro-
agama masih memerlukan pembinaan dan fesi pendidikan agama secara faktual masih
peningkatan, jika tidak maka pembelajaran perlu ditingkatkan kompetensi profesional
pendidikan agama akan menjadi sesuatu khususnya aspek pengembangan profesio-
yang tidak menarik dan membosankan, (c) nalitas secara bekelanjutan, aspek pengem-
kerja sama instansi terkait dalam hal ini bangan diri dan kompetensi kepemimpinan
sekolah dengan Kementerian Agama masih (leadership) juga masih rendah. Rendahnya
menunjukkan intensitas rendah. Hal ini da- kompetensi tersebut dapat ditunjukkan de-
pat dilihat salah satunya dari frekuensi keha- ngan rendahnya respon warga sekolah ter-
diran pengawas pendidikan agama dalam hadap upaya pembudayaan pengamalan
rangka pembinaan, pengawasan, dan peman- ajaran agama pada komunitas sekolah.
tauan terhadap penyelenggaraan pendidikan Sebagai sebuah sistem, lembaga pen-
agama di sekolah yang masih golongan didikan seperti persekolahan kualitas lulus-
rendah. Di sisi lain, materi pembinaan oleh annya menunjukkan kualitas kerja kompo-
pengawas masih terbatas pada pembinaan nen dalam sistem tersebut. Oleh sebab itu,
administrasi belum menyentuh substansi mutu lulusan sebuah persekolahan identik
materi ajar dan metodologi pembelajaran, dengan sekolah tempat dimana lulusan
(d) pemikiran dikotomis antara pendidikan tersebut belajar. Akan tetapi, suatu hal yang
agama dan pendidikan umum mendorong perlu diingat dan menjadi keniscayaan,
munculnya sikap eksklusif. Sikap ini tampak bahwa proses pembelajaran memiliki peran
pada saat berbagai kegiatan keagamaan di- penting dalam menghasilkan mutu lulusan.
selenggarakan terkesan hanya milik guru Sedangkan proses pembelajaran yang ber-
agama itu sendiri, sehingga guru-guru mata mutu sangat bergantung kepada kondisi
pelajaran non-pendidikan agama kurang kompentensi dan profesionalisme guru.
responsif. Guru yang kompeten dan profesional akan
Salah satu keterbatasan yang dibahas mampu menjadi substitusi atau melengkapi
dan menjadi dasar untuk mencari solusi ada- berbagai kekurangan pada komponen yang
lah problem sumber daya manusia. Sumber lain. Predikat profesional bagi guru diwu-
daya manusia berpengaruh penting dalam pro- judkan dengan adanya kepemilikan sertifikat
ses penyelenggaran pendidikan agama agar pendidik agama melalui uji profesi.
hasilnya memiliki kualitas di suatu sekolah Kedua, problem pengawas pendidikan
yang pluralistik. Sumber daya manusia yang agama. Problem pendidikan agama di seko-
dimaksud peneliti pisahkan menjadi tiga lah ini adalah kurangnya pengawasan dan
komponen, yaitu komponen guru, pengawas pembinaan yang dilakukan pengawas terha-
pendidikan agama dan pengelola sekolah. dap pengelolaan pendidikan agama yang ada.
Pertama, problem guru agama. Pen- Pembinaan yang dilakukan oleh pengawas
didik agama di SMAN 3 Madiun ini adalah pendidikan agama di sekolah sangat minim
belum semua pendidik agama telah mem- dan terbatas pada hal-hal berkaitan teknis,
peroleh sertifikat pendidik. Dari enam orang sedangkan yang nonteknis sama sekali be-
guru pendidikan agama baru tiga orang yang lum tersentuh. Kualifikasi pengawas yang
telah memperoleh sertifikati pendidik se- menyaratkan berpendidikan Strata-2 sesuai
dangkan tiga yang lainnya belum tersertifi- dengan rumpun mata pelajarannya sebagai-
kasi yaitu guru pendidikan agama Kristen, mana yang tertera pada Pernediknas Nomor
guru pendidikan agama Buddha, dan guru 12 Tahun 2007 belum dapat terpenuhi,
pendidikan agama Hindu. Dengan kata lain, karena dua orang pengawas baru memiliki
bahwa ketiga pendidik agama yang belum kualifikasi Strata-1.
tersertifikasi tersebut dianggap belum profe- Aspek lain yang ikut mempengaruhi
sional dan akan berdampak pada pembel- dalam upaya pembinaan adalah komunikasi
ajaran yang kurang mengikuti perkembang- antara pengawas dengan guru yang kurang

Paradigma Pendidikan Agama dalam Masyarakat ... − 191


Ju‟subaidi, Noeng Muhadjir, Sumarno
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

kondusif. Kehadiran pengawas pendidikan didikan Agama dan Pendidikan Keagamaan


agama di sekolah kurang mendapatkan res- dan Permenag Nomor 16 Tahun 2010 ten-
pon positif dari guru. Penyebabnya adalah tang Pengeloaan Pendidikan Agama pada
ideologi keagamaan yang berbeda antara Sekolah. Pemberian ijin tidak masuk seko-
pengawas dengan guru agama. Konteks ko- lah pada setiap hari sabtu kepada sebagian
munikasi antara guru dengan pengawas se- kecil peserta didik penganut agama yang
harusnya lebih menunjukkan kepada peran ingin melakukan peribadatan disatu sisi me-
masing-masing dengan mengedapankan ke- rupakan sikap yang perlu mendapakan apre-
pentingan bersama dalam meningkatkan siasi, di sisi lain kebijakan tersebut dapat me-
mutu pendidikan, sikap eksklusif seperti ini nimbulkan kecemburuan sosial diantara pe-
seharusnya dikesampingkan karena sekolah serta didik penganut agama lainnya. Jika ke-
yang ditempati tugas adalah sekolah umum bijakan tersebut diambil seharusnya mem-
yang memiliki peserta didik dan guru yang pertimbangkan waktu yang dibutuhkan un-
beragam keyakinan. Jika kondisi tersebut tuk peribadatan, sehingga tidak mengambil
berlangsung terus maka fungsi supervisi waktu selama jam efektif belajar.
akademik dan manajerial pengawas tidak
akan optimal. Paradigma Pendidikan Agama
Ketiga, problem pengelola pendidikan
Paradigma Keberagamaan Eksklusif
agama. Pengelola dan sekaligus sebagai pe-
nanggung jawab pengelolaan pendidikan Memperhatikan uraian proses pem-
agama berada di Kementerian Agama Pusat. belajaran pendidikan agama di atas dapat
Kementeria Agama tingkat Kabupaten me- disimpulkan bahwa pembelajaran yang
miliki tanggung jawab besar terselenggaranya dilakukan guru agama di SMAN 3 Madiun
pendidikan agama yang bermutu di SMAN masih lebih berorientasi pada dominasi guru
3 Madiun. Fakta yang ada tanggung jawab ketimbang pemberian keleluasaan atau
tersebut belum optimal dan belum efektif. memberikan kebebasan peserta didik untuk
Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya mengembangkan potensi kritik untuk me-
pengawas pendidikan agama Hindu, Buddha, mahami materi agama secara mandiri. Ke-
dan Kristen. Hal ini menunjukkan bahwa berpihakan pembelajaran pada guru (teacher
tugas pengelola belum optimal. Dampak certered) semakin membuat tidak percaya diri
dari kondisi ini adalah guru pendidikan dan memahami ajaran agama baru pada
agama yang belum ada pengawasnya akan permukaan belum sampai pada struktur aga-
melakukan berbagai kegiatan yang lepas dari ma yang dalam. Pembelajaran yang berang-
pengawasan tentu akan menghambat keter- kat dari teks atau al-kitab (literal-scriptural)
capaian tujuan pendidikan agama di sekolah yang materinya memerlukan penjelasan se-
bahkan sangat dimungkin akan berada di cara kontekstual, sedangkan guru tidak ber-
luar kurikulum yang telah ditetapkan. upaya untuk mengkontekstualisasikan maka
Kepala Sekolah sebagai pengelola diyakini hanya akan mengantar peserta didik
pendidikan di sekolah telah menyadari akan untuk menerima tanpa melalui proses
keberagaman etnis maupun agama yang di- berfikir yang tepat. Peserta didik di tingkat
peluk para peserta didiknya. Pluralitas terse- sekolah menengah secara psikologi menurut
but tentu membutuhkan upaya-upaya mem- Piaget (usia 12 tahun ke atas) perkembang-
bangun kehidupan bermasyarakat sekolah an kognitifnya berada pada tahap operasi
bisa harmonis dan tidak muncul gejolak fomal (Formal operations). Tahap ini merupa-
yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan. kan tahap munculnya kemampuan berfikir
Kepala sekolah sebagai penanggungjawab logis, berpikir dengan pemikiran teoretis
terselenggaranya pendidikan agama hendak- formal berdasarkan proposisi-proposisi dan
nya menghindari pengambilan kebijakan hipotesis, serta telah dapat mengambil ke-
yang tidak sesuai dengan Peraturan Peme- simpulan lepas dari apa yang dapat diamati
rintah Nomor 55 Tahun 2007 tetang Pen- saat itu (Suparno, 2001, p. 88). Sifat pokok

192 − Volume 20, Nomor 2, Desember 2016


Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Volume 20, Nomor 2, Desember 2016

dari tahap operasi formal ini adalah pemi- terbuka terahadap ajaran agama lain (in-
kiran deduktif hipotesis, induktif saintifik, klusif).
dan abstraktif reflektif. Oleh karena itu, Dengan demikian, fenomena kebera-
model pembelajaran dan strategi yang di- gamaan inklusif masih menunjukkan adanya
gunakan oleh guru pendidikan agama seha- kesalahpahaman secara konseptual di dalam
rusnya mampu memberdayakan daya nalar memahami ajaran agama. Kesalahapahaman
peserta didik secara optimal untuk mema- dapat terjadi di kalangan internal pemeluk
hami ajaran agama yang lebih mendalam. suatu agama dan juga bisa dari kalangan
Proses pembelajaran yang bersifat leteral- pemeluk luar agama. Hal ini biasanya ditan-
scriptural akan mendorong peserta didik un- dai dengan persepsi distorsif (pemutarbalik-
tuk memahami ajaran agama secara rigid, ti- an fakta) yang memandang semua agama
dak ada upaya untuk memahaminya melalui pada dasarnya sama, realitasnya tidak demi-
penalaran yang rasional sehingga mendo- kian bahkan iklusivisme beranggapan bahwa
rong peserta didik memiliki sikap kebera- “tidak menutup kemungkinan ada kebe-
gamaan eksklusif. Eklusifisme memiliki pe- naran pada agama yang tidak kita anut, dan
mahaman dan interpretasi terhadap doktrin ada kekeliruan pada agama yang kita anut”.
yang cenderung bersifat kaku (rigid) dan Masing-masing agama memiliki karakteristik
literal. khusus yang pada titik tertentu terdapat
persamaannya, tetapi pada dimensi yang
Paradigma Keberagamaan Inklusif lainnya juga terdapat berbagai perbedaan
Mencermati dokumen rencana pelak- (Naim, 2008, p. 151). Realitas masyarakat
sanaan pembelajaran (RPP) terdapat salah dengan segenap dinamikanya seharusnya
satu konsep pendidikan agama Katolik yang menjadi landasan pokok dalam membangun
sedikit lebih terbuka untuk mempelajari pemahaman agama. Oleh karena itu, sikap
terhadap agama-agama diluar agamanya bagi keberagamaan iklusif ini hemat penulis
peserta didik. Akan tetapi, pada tataran masih belum relevan dengan masyarakat
implementasi pembelajaran konsep tersebut Indonesia saat ini khusunya.
baru terbatas pada pengenalan terhadap
agama-agama lain. Memperhatikan proses Paradigma Budaya Pluralisme Demokratis
pembelajaran pendidikan agama Katolik di Emansipatoris
SMAN 3 Madiun lebih terbuka dibanding- Budaya pluralisme demokratis-eman-
kan dengan pendidikan agama yang lain. sipatoris yang dimaksud disini adalah me-
Terbuka yang dimaksud adalah guru mem- rupakan pokok pikiran atau cara pandang
berikan sedikit peluang kepada peserta didik yang mendasari suatu pengambilan kebijak-
untuk memahami materi pembelajaran me- an untuk melakukan suatu pembelajaran
lalui pengembangan struktur kognitifnya. pen-didikan agama di sekolah yang memiliki
Hal ini tampak pada penetapan dan peng- keberagamaan penganut agama. Paradigma
gunaan metode pembelajaran dengan disku- ini dianggap paling sesuai dengan kondisi
si dengan pendekatan pembelajaran koope- SMAN 3 Madiun yang merepresentasikan
ratif (coopertive learning), tetapi di proses pem- kondisi masyarakat Indonesia yang pluralis-
belajaran, pendekatan dan langkah-langkah tik. Hal ini sejalan dengan prinsip relevansi
tersebut tidak dikawal dengan benar sehing- dan kontekstualitas dalam ilmu pendidikan.
ga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pendidikan harus menyesuaikan dengan
Hal ini lebih disebabkan oleh guru pendi- kondisi masyarakat dan mampu memenuhi
dikan agamanya kurang menguasai pende- kebutuhan masyarakat (social demand), jika
katan dan strategi yang ditetapkan. Jika kon- tidak, maka akan ditinggal oleh masyarakat
sep pembelajaran tersebut diimplementasi- itu sendiri.
kan, dengan penggunaan pendekatan dan Budaya merupakan suatu cara hidup
strategi yang benar maka akan mendorong yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
peserta didik bersikap keberagamaan yang sebuah kelompok orang dan diwariskan dari

Paradigma Pendidikan Agama dalam Masyarakat ... − 193


Ju‟subaidi, Noeng Muhadjir, Sumarno
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

generasi ke generasi. Dengan demikian, secara psikologis dengan yang lain. Peserta
budaya atau kebudayaan adalah suatu pan- didik yang kurang memiliki keberanian ren-
dangan yang menyeluruh dan menyangkut dah diberikan dorongan dengan memberi-
pandangan hidup, sikap dan nilai. kan apreasiasi agar muncul sikap keberanian
Dalam konteks ke Indonesiaan, ma- untuk mengemukakan pendapat, kendati-
syarakat Indonesia yang beragam etnik, pun pendapatnya kurang sesuai dengan
suku, ras, dan agama telah membangun konsepnya seorang guru agama. Dengan
kehidupan bersama dalam ke-“bhinneka”- demikian, kondisi pembelajaran pendidikan
an. Kesan hidup dalam ke-“binneka”-an agama yang seperti ini perlu terus diupaya-
tersebut telah terjadi sejak awal pergerakan kan menjadi sebuah budaya atau kebiasaan
nasional yang ditandai lahirnya “Sumpah yang harus dilakukan oleh guru-guru agama,
Pemuda” tahun 1928 sampai dengan awal agar terbangun komunikasi dua arah antara
masa kemerdekaan. Kebersamaan dalam pendidik dan peserta didik. Keragaman pen-
berbagai perbedaan telah menjadi budaya dapat dari perserta didik menjadikan kelas
bangsa Indonesia. Spirit kebersamaan dalam lebih hidup dan bahkan akan mampu me-
perbedaan tersebut telah tertuang dalam numbuhkan sikap kebersamaan dan meng-
semboyan „Bhinneka Tunggal Ika‟. Oleh ka- hindari sikap paksaan untuk menerima satu
rena itu, siapapun yang menjadi bangsa In- pendapat dari guru agama. Budaya plura-
donesia agar selalu menghargai dan meng- lisme dalam kerangka Negara Republik
hayati akan perbedaan suku bangsa, ras, Indonesia yang menganut sistem pemerin-
golongan, dan agama sebagai unsur utama tahan demokrasi pancasila hendaknya juga
untuk membangun persatuan, bukan men- mampu mendorong setiap warga masyara-
jadikannya sebagai argumentasi terjadinya kat untuk berlaku demokratis.
konflik sosial. Kondisi demikian secara so- Refomasi bidang politik di Indonesia
siologis merupakan bentuk sosialisasi nilai- membawa perubahan besar pada kebijakan
nilai yang terkandung dalam pluralisme. pengembangan sektor pendidikan, yang se-
Pluralisme secara konseptual dapat cara umum bertumpu pada dua pandangan
dipahami sebagai nilai-nilai yang menghargai baru yakni otonomisasi dan demokratisasi.
perbedaaan dan mendorong adanya kerja Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
sama berdasarkan kesetaraan dan mengan- tentang Otonomi Daerah telah meletakkan
dung makna dialog guna membangun hu- sektor pendidikan sebagai salah satu yang
bungan antarunsur dengan perbedaan latar diotonomisasikan dan bersifat keadaerahan.
belakang, etnis dan agama, maupun budaya. Otonomisasi pendidikan diarahkan ke
Oleh karena itu, pluralisme bukan hanya sekolah, agar unsur sekolah mulai dari guru
merepresentasikan adanya kemajemukan hingga kepala sekolah memiliki tanggung
etnis, bahasa, budaya dan agama dalam jawab bersama dalam peningkatan kualitas
masyarakat yang berbeda-beda, akan tetapi hasil belajar peserta didik. Kewenangan
pluralisme harus memberikan penegasan pihak sekolah adalah berkaitan dengan
bahwa dengan segala perbedaan mereka perencanaan, proses pembelajaran.
adalah sama di dalam ruang publik (the free Salah satu isu penting munculnya
public sphere). Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 ten-
Dalam konteks pembelajaran pendi- tang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa
dikan agama di kelas, pengahargaan ter- pendidikan diselenggarakan secara demo-
hadap adanya perbedaan pendapat yang kratis dan berkeadilan serta tidak diskrimi-
muncul dari peserta didik dalam memahami natif dengan menjunjung tinggi hak asasi
suatu materi agama seharusnya mendapat manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
respon atau tanggapan yang sama dari guru, kemajemukan bangsa (pasal. 4.(1)). Demo-
walaupun pendapat tersebut datang dari kratisasi merupakan implikasi dari kebijakan
peserta didik yang secara akademis memiliki pengelolaan di bidang pendidikan pada dae-
kemampuan lebih rendah atau inferior rah yang implementasinya ada pada sekolah.

194 − Volume 20, Nomor 2, Desember 2016


Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Volume 20, Nomor 2, Desember 2016

Perencanaan pengembangan sekolah dari samaan kedudukan, derajat serta hak dan
berbagai aspek yang ada di dalamnya di- kewajiban dalam hukum (Partanto, 1994, p.
berikan sepenuhnya kepada sekolah dengan 145). Emansipasi adalah sebuah gerakan
melibatkan mitranya yaitu komite sekolah. pembebasan dari seorang atau kelompok
Suatu masyarakat dapat dikatakan de- yang ternegasikan dan termarginalkan dari he-
mokratis apabila di dalamnya telah terimple- gemoni ataupun dominasi kelompok yang
mentasikan prinsip-prinsip demokrasi. Prin- berkuasa.
sip-prinsip tersebut adalah persamaan, ke- Emansipatorik merupakan sebuah
bebasan dan pluralisme (Ubaidillah, 2006, p. model pendekatan dalam teori ilmu sosial
148). Ciri esensial demokrasi adalah adanya kritis. Kunci dari teori kritis ini terletak pada
akuntabilitas, partisipasi politik, tidak ada- upaya pembebasan (pencerahan). Menurut
nya kekerasan terhadap individu dan adanya teori ini seorang ilmuwan haruslah menya-
pengakuan atas hak-hak individu yang bebas dari posisi dirinya sebagai aktor perubahan
(Mansoor, 2007, p. 112). sosial. Ilmuwan sosial juga wajib mengkritisi
Pemikiran demokratisasi dalam pe- masyarakat, serta mengajak masyarakat
nyelenggaraan pendidikan didasarkan pada untuk kritis.
pertimbangan atas keterlibatan sekolah yang Harus diakui, pendidikan agama yang
lebih besar dari sebelum keluarnya Undang dikembangkan sejak dari sekolah dasar (SD)
undang tersebut. Sekolah merupakan minia- sampai perguruan tinggi selama ini masih
tur masyarakat yang di dalamnya terdiri atas lebih besifat verbalistik. Verbalistik mene-
peserta didik, guru dan tenaga kependidikan kankan pada aspek indoktrinasi dan pena-
yang berlatar belakang berbeda satu sama naman nilai ala kadarnya daripada penum-
lain secara agama, kultural maupun emosio- buhan daya kritis dan pengemabangan inte-
nal. Oleh karenanya, proses pendidikan di lektualisme peserta didik. Karena sifatnya
sekolah hendaknya secara terus menerus yang doktriner maka perbuatan salah diang-
menanamkan nilai-nilai demokrasi dan plu- gap sebagai suatu dosa yang diancam neraka
ralisme tersebut di atas sembari memba- bagi yang melakukan. Pendidikan yang se-
ngun kesadaran demokratis dan pluralistis. macam ini, di satu sisi memang dapat men-
Ortega dalam Zamroni (2007, p. 75) menya- dorong anak untuk santun, tunduk atau
takan: “good examples are the results of good patuh pada perintah dan bertingkah laku
education and good education is due to good”. Arti- mulia. Namun, disisi lain penumbuhan daya
nya jika menginginkan masyarakat baik maka kritis dan pengembangan daya kreativitas
pendidikannya harus baik. berpikir peserta didik akan menjadi terabai-
Pokok pikiran lain yang terkait de- kan. Pembelajaran yang verbalistis juga
ngan kebijakan demokratisasi pendidikan menafikkan potensi perkembangan kognitif
adalah keterlibatan peserta didik dalam pro- peserta didik khususnya yang berada pada
ses pembelajaran. Keterlibatan yang dimak- usia sekolah menengah (12 tahun ke atas).
sud adalah tidak hanya sekedar hadir di Pada usia tersebut menurut Piaget, seorang
tengah proses pembelajaran, akan tetapi remaja sudah dapat berfikir logis berdasar-
para peserta didik diberi kesempatan dalam kan proposisi-proposisi dan hipotesis serta
menentukan kegiatan belajar yang akan mengambil keputusan dari apa yang dapat
mereka lakukan bersama-sama dengan pen- diamati pada saat itu. Potensi berfikir demi-
didiknya. Keterlibaan peserta didik dalam kian ini yang masih belum menjadi perhati-
proses pembelajaran akan menjadi suasana an para guru agama karena pembelajaran
pembelajaran lebih menyenangkan, aspiratif, agama lebih bersifat doktrinis.
dan dinamis serta konstruktif. Oleh karena itu, di samping peserta
Emansipasi adalah kata yang berasal didik telah memiliki kebebasan dari berbagai
dari bahasa Inggris emancipation yang berarti belenggu, potensi berpikir mereka juga harus
pembebasan dari sebuah kekuasaan atau diberdayakan agar memiliki kesadaran tinggi
gerakan untuk memperoleh pengakuan per- dan kritis akan kepentingan belajar ajaran

Paradigma Pendidikan Agama dalam Masyarakat ... − 195


Ju‟subaidi, Noeng Muhadjir, Sumarno
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

agama dalam kehidupan bermasyarakat ber- perkembangan berpikirnya masyarakat yang


bangsa dan bernegara. Jika para pendidik dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pe-
menggunakan paradigma demokratis eman- ngetahuan dan teknologi. Mempertahankan
sipatoris dalam budaya kemajemukan (plu- paradigma keberagamaan eksklusif dan ke-
ralistik) peserta didiknya maka daya kritis beragamaan inklusif dalam pembelajaran
dan kreatif serta sikap kemandirian yang pendidikan agama di sekolah yang pluralis-
terlepas dari sikap ketergantungan peserta tik akan membuat tujuan pendidikan agama
didik kepada guru khususnya akan dimiliki sulit dicapai. Model paradigma pendidikan
oleh peserta didik. agama yang lebih relevan dengan kondisi
Dalam konteks masyarakat Indonesia sekolah yang pluralistik adalah paradigma
yang pluralistik dan menjadikan Pancasila budaya pluralisme demokratis-emansipato-
sebagai falsafah hidup bangsa, teori budaya ris. Model paradigma ini mengakui kebera-
pluralisme demokratis-emansipatoris meru- gaman dan kebebasan serta memberdaya-
pakan teori budaya alternatif untuk dikem- kan kelompok yang lemah (grassroot). Jika
bangkan dalam rangka membangun kehi- teori ini diterapkan dalam masyarakat yang
dupan yang sejahtera dan mengangkat har- agamis, seperti masyarakat Indonesia, maka
kat dan martabat bangsa. Teori ini meng- kelompok grassroot yang inferior diberdaya-
akui keberagaman dan kebebasan serta kan tetapi diberi kebebasan untuk menjalan-
memberdayakan kelompok yang lemah kan agamanya secara baik dan benar.
(grassroot). Jika teori ini diterapkan dalam
masyarakat yang agamis, seperti masyarakat Saran
Indonesia, maka kelompok grassroot yang Penelitian ini bertujuan untuk mene-
inferior diberdayakan tetapi diberi kebebas- mukan paradigma pendidikan agama di se-
an untuk menjalankan agamanya secara baik kolah yang pluralistik dan mengembangkan
dan benar. ke model paradigma pendidikan agama yang
Model paradigma budaya pluralisme lebih relevan dengan konteks pluralistik de-
demokratis-emansipatoris yang dimaksud- ngan segala keterbatasan Produk yang diha-
kan di sini adalah suatu cara pandang seba- silkan dari penelitian ini baru sampai kon-
gai landasan berpikir dalam melakukan tin- septualisasi paradigma budaya pluralisme
dakan atau pengambilan suatu keputusan. demokratis-emansipatoris, peneliti akan ada
Tindakan dan atau keputusan tersebut yang penelitian lanjutan di tataran implementasi-
berhubungan dengan implementasi penge- nya.
lolaan dan proses pembelajaran pendidikan
agama dalam konteks masyarakat pembel-
ajar (peserta didik) suatu lembaga pendi- Daftar Pustaka
dikan yang memiliki keragaman budaya, ras, Best, J. W. (1997). Reasearch in education, (3rd
golongan, etnis, dan khususnya agama. Ka- ed.). Englewood Cliffs. New Jersey:
rena sifatnya yang ideographik, maka model Prentice-Hall, Inc.
paradigma ini mungkin kurang kompatibel
Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. (1998).
untuk lembaga pendidikan keagamaan atau
Qualitative research in education: An
sekolah yang peserta didiknya relatif
introduction to theory and methods.
homogen.
Boston: Allyn and Bacon.

Simpulan Fakih, M. (2002). Ideologi dalam


pendidikan: Sebuah penganta. In W.
Dari uraian tersebut dapat disimpul- F. O‟neil (Ed.), O. I. Naomi (Trans.),
kan bahwa pendidikan agama pada sekolah Ideologi-ideologi pendidikan. Yogyakarta:
yang memiliki keragaman agama, dan bu- Pustaka Pelajar
daya peserta didiknya perlu melakukan per-
ubahan paradigma, karena kondisi masya-
rakat yang terus berkembang seiring dengan

196 − Volume 20, Nomor 2, Desember 2016


Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Volume 20, Nomor 2, Desember 2016

Guba, E. G., & Lincoln, Y.S. (1985). Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013
Effective evaluation. San Fransisco: tentang Standar Isi.
Jossey-Bass Publishers. Peraturan Menteri Agama Nomor 16 Tahun
Haikal, M. H. (1990). Sejarah hidup 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan
Muhammad. Jakarta: Lentera Agama pada Sekolah.
Antarnusa. Partanto, P. A., & Al-Barry. (1994). M.D.
Jaenuri, A. (2002). Ideologi kaum reformis: Kamus ilmiah populer. Surabaya: Arloka.
Melacak pandangan keagamaan Saerozi, M. (2004). Politik pendidikan agama
muhammadiyah periode awal. A. N. Fuad dalam era pluralisme telaah historis atas
(Trans.). Surabaya: LPAM. kebijakan pendidikan agama konvensional
Kartono, K. (1990). Wawasan politik mengenai di Indonesia. Yogyakarta: Tiara
sistem pendidikan nasional. Bandung: Wacana.
Mandor Maju. Suparno, P. (2001). Teori perkembangan
Kneller, G.F. (1993). Politcal ideologies. In kognitif Jean Peaget. Yogyakarta.
George F. Kneller (Ed). Foundations of Kanisius.
education. New York: John Wiley and Tantular, M. (2009). Kakawin sutasoma. D.
Sons.
W. R Mastuti & H. Bramantyo
Muhadjir, N. (1990). Metodologi penelitian (Trans.). Jakarta, Komunitas Bambu.
kualitatif pendekatan positivisitik, Ubaedillah, A & Rozak, A.(2006).
rasionalistik. Yogyakarta: Rake Sarasin Demokrasi, hak asasi manusia dan
Muhadjir, N. (2010, Juni). Rekonstruksi masyarakat madani. Jakarta: ICCE
sosial untuk kehidupan religious Syarif Hidayatullah.
spiritualistik. In Kulliah Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Pascasarjana Institut Hindu Damma
Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Negeri (IHDN) Denpasar di Hotel Syahid Bandung; Fokusmedia.
Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
Muhadjir, N. (2011). Metodologi penelitian. Tentang Guru dan Dosen.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999
Naim, N., & Sauqi, A. (2008). Pendidikan Tentang Otonomi Daerah.
multikultural konsep dan aplikasi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Waldman, M.R. (1985). Primitive
mind/modern mind: New
Nurmilati, R. A. (2011). Laporan individu approaches to an old problem applied
Sekolah Menengah (LISM). Yogyakarta: to Islam. In R. C. Martin (Ed.).
SMAN 3 Madiun. Approachs to Islam in religious studies.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun USA: University of Arizona Press.
2013 tentang Standar Nasional Pen- Wilson, S. (1995). The use of ethnographic
didikan. techniques in educational research. New
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun York Academic Press.
2007 tentang Pendidikan Agama dan Zamroni. (1992). Pengantar pengembangan teori
Pendidikan Keagamaan. sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Paradigma Pendidikan Agama dalam Masyarakat ... − 197


Ju‟subaidi, Noeng Muhadjir, Sumarno

Anda mungkin juga menyukai