Anda di halaman 1dari 9

ETIKA PROFESI HUKUM

Pengertian Etika

Etika atau dalam bahasa Inggris disebut Ethics yang mengandung arti :
Ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup
dalam masyarakat; ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dgn akhlak; nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani kuno Ethos yang berarti
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap. Aristoteles adalah filsuf pertama
yang berbicara tentang etika secara kritis, reflektif, dan komprehensif. aristoles
pula filsuf pertama yang menempatkan etika sebagai cabang filsafat tersendiri.
Aristoteles dalam konteks ini lebih menyoal tentang hidup yang baik dan
bagaimana pula mencapai hidup yang baik itu. yakni hidup yang
bermutu/bermakna ketika manusia itu mencapai apa yang menjadi tujuan
hidupnya. menurut Aristoteles denaih apa yang mencapai tujuan hidupnya berarti
manusia itu mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. manusia ingin meraih apa yang
apa yang disebut nilai (value), dan yang menjadi tujuan akhir hidup manusia
adalah kebahagiaan, eudaimonia. Perilaku menjadi obyek pembahasan etika,
karena dalam perilaku manusia menampakkan berbagai model pilihan atau
keputusan yang masuk dalam standar penilaian atau evaluasi, apakah perilaku itu
mengandung kemanfaatan atau kerugian baik bagi dirinya maupun bagi orang
lain.

Fungsi Etika

Di era modernisasi dengan segala kecanggihan yang membawa perubahan


dan pengaruh terhadap nilai-nilai moral, adanya berbagai pandangan ideologi
yang menawarkan untuk menjadi penuntun hidup tentang bagaimana harus hidup
dan tentunya kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam
bidang moral sehingga bingung harus mengikuti moralitas yang mana, untuk itu
sampailah pada suatu fungsi utama etika, sebagaimana disebutkan Magnis Suseno
(1991 : 15), yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam
berhadapan dengan moralitas yang membingungkan.
Pengertian Profesi

Profesi dalam kamus besar bahasa indonesia adalah bidang pekerjaan yang
dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu.
jenis profesi yang dikenal antara lain : profesi hukum, profesi bisnis, profesi
kedokteran, profesi pendidikan (guru). menurut Budi Santoso ciri-ciri profesi
adalah :

a. suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan
berkembang dan diperluas;

b. suatu teknis intelektual;

c. penerapan praktis dari teknis intelektual pada urusan praktis ;

d. suatu periode panjang untuk suatu pelatihan dan sertifikasi;

e. beberapa standar dan pernyatan tentang etika yang dapat diselenggarakan;

f. kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri;

g. asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab
dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggota;

h.pengakuan sebagai profesi;

i. perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari


pekerjaan profesi;

j. hubungan erat dengan profesi lain.

Etika Profesi

Etika profesi adalah bagian dari etika sosial, yaitu filsafat atau pemikiran
kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagia anggota
umat manusia (Magnis Suseno et.al., 1991 : 9). untuk melaksanakan profesi yang
luhur itu secara baik, dituntut moralitas yang tinggi dari pelakunya ( Magnis
Suseno et.al., 1991 : 75). Tiga ciri moralitas yang tinggi itu adalah :

1. Berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan


profesi.
2. Sadar akan kewajibannya, dan
3. Memiliki idealisme yang tinggi.
Profesi Hukum

Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh
aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara (C.S.T. Kansil, 2003 : 8).
profesi hukum dari aparatur hukum negara Republik Indonesia dewasa ini diatur
dalam ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Pengemban profesi hukum harus bekerja secara profesional dan fungsional,


memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan. kritis, dan pengabdian yang
tinggin karena mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri dan sesama anggota
masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengemban profesi hukum
bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, apabila terjadi penyimpangan atau
pelanggaran kode etik, mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya
sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan
kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik.

Nilai Moral Profesi Hukum

Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai
moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang
mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut
agar memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima
kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum.

1. Kejujuran

Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum


mengingkari misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan penuh
tipu daya. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu :
a. Sikap terbuka, berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan/keikhlasan
melayani atau secara cuma-Cuma

b. Sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak
otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.

2. Otentik

Otentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan keasliannya,


kepribadian yang sebenarnya. Otentiknya pribadi profesional hukum antara lain :
a. tidak menyalahgunakan wewenang;

b. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (malkukan perbuatan


tercela;
c. mendahulukan kepentingan klien;

d. berani berinsiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata


menunggu atasan;

e. tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.

3. Bertanggung Jawab

Dalam menjalankan tugasnya, profesioal hukum wajib bertanggung jawab, artinya


:
a. kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk
lingkup profesinya ;

b. bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara


cuma-cuma (prodeo);

c. kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan


kewajibannya.

4. Kemandirian Moral

Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah


mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan memebetuk
penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. mandiri secara moral berarti tidak
dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruhi oleh pertimbangan
untung rugi (pamrih), penyesuaian diri dengan nilai kesusilaan dan agama.

5. Keberanian Moral

Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang


menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut
antara lain :
a. menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli;
b. menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah.

Etika Profesi Hukum

Dari hasil uraian diatas dapat kita rumuskan tentang pengertian etika profesi
hukum sebagai berikut : Ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa
yang buruk, yang patut dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana
hukum dari hukum yang berlaku dalam suatu negara. sesuai dengan keperluan
hukum bagi masyarakat Indonesi dewasa ini dikenal beberapa subyek hukum
berpredikat profesi hukum yaitu : Polisi, Jaksa, Penasihat hukum (advokad,
pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.

Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam lingkup
mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika. Urgensi etika
adalah, pertama, dengan dipakainya etika dalam seluruh sektor kehidupan
manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat terwujud pengendalian,
pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan etika yang wajib dipijaki,
kedua, terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat, ketiga, dapat ditegakan nilai-
nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan keadilan, keempat,
dapat ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima, dapat dihindarkan
terjadinya free fight competition dan abus competition dan terakhir yang dapat
ditambahkan adalah penjagaan agar tetap berpegang teguh pada norma-norma
moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan kehidupan dapat
berlangsung dengan baik.

Urgensi atau pentingnya ber'etika sejak jaman Aristoteles menjadi pembahasan


utama dengan tulisannya yang berjudul " Ethika Nicomachela". Aristoteles
berpendapat bahwa tata pegaulan dan penghargaan seorang manusia, yang tidak
didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan pada
hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang lain. Pandangan aristoles ini
jelas, bahwa urgensi etika berkaitan dengan kepedulian dan tuntutan
memperhatikan orang lain. Dengan berpegang pada etika, kehidupan manusia
manjadi jauh lebih bermakna, jauh dari keinginan untuk melakukan pengrusakan
dan kekacauan-kekacauan.

Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh suatu
deskripsi umum, bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum. Keduanya
memiliki kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan dan tata
kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya pada
konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat disebut
baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang merumuskan
bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun seorang dapat
disebut melanggar etika bilamana sebelumnya dalam kaidah-kaidah etika memeng
menyebutkan demikian. Sementara keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten
menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-duanya mengatur perbuatan-
perbuatan manusia sebagai manusia sebagai manusia, yaitu ada aturan yang
mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang melarang
seseorang menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan
melanggar hak-hak orang lain. Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu
antara etika dengan hukum terletak pada muatan substansinya yang mengatur
tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang dilakukan oleh manusia selalu
mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan etika yang
menentukannya. ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.
(Sumber : http://pipi-megawati.blogspot.co.id/2011/09/etika-profesi-hukum.html)

PENELANTARAN ANAK : KEJAHATAN KEMANUSIAAN


Posted on February 5, 2010 by dayugayatri

Berita kejahatan terhadap anak-anak saat ini mencuat di sejumlah media.


Penculikan, kekerasan seksual (pelecehan, perkosaan, pedofilia), eksploitasi dan
lalu lintas perdaganganan manusia (trafficking) semakin marak, hingga mutilasi
anak telah meneror rasa keamanan dan kemanusiaan. Kejahatan mengintai dan
selalu mendapatkan kesempatannya ketika masyarakat mulai kehilangan
kewaspadaan dan kepedulian. Pelaku kejahatan bisa siapa saja dan orang terdekat
seperti: orang tua, saudara, kerabat, guru, orang terdidik dan terhormat. Kejahatan
bisa terjadi dimana-mana, dijalanan bahkan di tempat yang dianggap paling aman
seperti asrama belajar atau rumah sendiri. Kejahatan bisa menimpa setiap saat,
maka dari itu: waspadalah!

PENELANTARAN ANAK: AKAR KEJAHATAN

Data Departemen Sosial pada 2008 hingga 2009, katanya, ada 1,1 juta
anak di Indonesia yang kini terlantar dan terpaksa tinggal di panti asuhan. Ini
belum termasuk sebanyak 10 juta anak yang terancam ditelantarkan. Penelantaran
anak merupakan salah satu bentuk kekerasan, berakar dari rumah tangga. Orang
tua mengabaikan tanggung jawab, melalaikan kewajiban untuk memberikan
jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Ada kecenderungan orang tua
melempar tanggung jawab pendidikan anaknya hanya pada sekolah. Lalu, mereka
menyerahkan waktu anaknya kepada kemajuan teknologi visual, TV dan internet.
Tidak jarang, ibu muda menyuapi bayinya sembari matanya terpaku pada
tayangan kekerasan. TV berperan membuat jarak sosial dalam relasi keluarga
melebar. Ada juga anak yang mengunduh tayangan pornograpi melalui internet.
Anak menonton tanpa kendali, dininabobokkan dan disuapi pengetahuan TV
tanpa didampingi orang tua. Anak-anak sekolah berjudi, bermain game online di
warnet.Tak jarang ada yang berhutang dan mencuri agar bisa mengikuti kemajuan
IT.

Kemiskinan selalu dijadikan argumentasi menjawab kasus penelantaran


anak. Alasan ini diterima masyarakat seperti hal wajar. Anak membantu orang tua
dengan bekerja itu hal biasa, sebagai tanda bakti. Masyarakat menganggap
manipulasi dan ekploitasi untuk kepentingan ekonomi terhadap anak bukan hal
serius dan negatif. Mereka tidak memperdulikan keselamatan anaknya, sepanjang
ia dapat memberikan keuntungan finansial bagi keluarga. Di kota-kota besar, anak
diekploitasi untuk bekerja menafkahi keluarga. Ada yang sengaja dibuang
keluarganya dan terlunta-lunta sebagai gepeng dan pengamen. Ibu rumah tangga
juga bisa bertindak kejam dengan meninggalkan anak di rumah kontrakan dan
membiarkan mereka kelaparan. Tidak banyak yang peduli apakah kematian anak-
anak didasari faktor alamiah, kelalaian atau kesengajaan.

KEKERASAN dan KEJAHATAN TERHADAP ANAK-ANAK

Para penculik bayi melibatkan sindikat beroperasi di sejumlah rumah


bersalin. Anak-anak gadis ABG diperjualbelikan sebagai pekerja seks komersial
oleh orang tuanya. Trafficking kenyataannya menjadi perpanjangan sejarah
perbudakan manusia. Kekerasan seksual menimpa anak gadis , ada yang hamil
karena diperkosa ayah, paman, kakek, dan saudara lelakinya. Lalu, para pedofilia
diam-diam mulai mengintai balita, anak TK dan anak sekolah. Kasus kekerasan
seksual dan mutilasi seperti “Kasus Robot Gedhek dan Babeh” telah menunjukkan
realitas nasib buruk anak jalanan. Mereka tidak saja menjadi korban akibat
penelantaran dan ekploitasi ekonomi di rumah tangga, tetapi juga menjadi korban
kejahatan seksual dan pembunuhan berantai di tempat kerjanya. Anak terlantar
dibunuh dan dilempar tak ubahnya seperti sampah, tanpa identitas dan asal usul.
Dan, nyawa mereka seperti tidak ada harganya, sebagai nasib buruk yang harus
diterima selayaknya takdir bagi anak-anak miskin di Indonesia.

Realitas Bali : Kekerasan dan Kejahatan Anak

1) Gepeng

Di Bali, anak-anak ada yang bekerja sebagai gepeng (gelandangan dan


pengemis). Gambaran ini jauh sekali dari catatan Covarubias yang melukiskan
Bali di era 30-an sebagai domain yang bersahaja, masyarakat bermartabat dan
tidak menjadi pengemis. I a juga menuding wisatawan mengajarkan anak-anak
Bali untuk menadahkan tangannya untuk uang. Mengemis dilakoni orang-orang
yang mengaku dari Kubu, Tianyar -Kabupaten Karangasem. Kegiatan menjadi
gepeng saat ini nyaris tak bisa dihentikan. Mereka tersebar dengan pola yang
sama: berkostum pengemis, berkelompok, terdiri dari ibu dengan bayi dan selalu
ada anak-anak. Kecil kemungkinan kelompok lelaki dewasa ikut bersama mereka.
Konon, berbagai bantuan telah diberikan pemda untuk mengentaskan kegiatan
mereka. Bantuan diterima tetapi merekapun tetap meng-gepeng. Mengemis
kemudian dikaitkan dengan tradisi kepercayaan daerahnya selain tidak adanya
sumber air.

2) Pedofilia

Pedofilia juga tengah mengintai balita dan anak-anak, dilakukan keluarga


hingga dilakukan sindikat internasional. Mereka mengincar anak-anak pedesaan
dengan iming-iming kesejahteraan dengan memberikan uang, akses pendidikan
dan benda-benda materi lainnya. Orang tuanya disuap dengan kemewahan dan
iming-iming diberikan rumah beserta isinya. Beberapa oknum pelaku banyak
yang berkedok guru, orang yang mendalami spiritualitas dan agamawan.
Begitulah modus umum para pedofilia.
3) Perkosaan

Belakangan ini perkosaan anak dilakukan orang dewasa dan anak-anak


ABG cukup marak di Bali. Banyak perkosaan anak-anak ditengarai dampak dari
minuman keras (miras), menonton CD porno dan sejumlah tayangan kekerasan di
TV. Penjahat kelamin ini, melakukannya sendirian atau secara berkelompok.
Korban perkosaan acapkali dipojokkan sebagai biang kerok kejahatan seksual
yang menimpanya. Baik korban dan pelaku pada akhirnya kehilangan akses
pendidikan karena umumnya sekolah akan memecat keduanya. Inilah ironisnya.

Beberapa pertanyaan yang kemudian mengusik nurani, dari manakah


pengadaan (suply) bayi dan anak-anak ini berasal? Unsur-unsur penelantaran
dan trafficking, seperti adanya indikasi penyewaan bayi-bayi untuk
menggepeng, tidakkah ini bisa dipahami sebagai kejahatan kemanusiaan? Jika
itu terjadi kekerasan anak bagaimana sebaiknya tindakan hukum yang mesti
diberlakukan? Sampai kapan wacana kemiskinan ini dapat digunakan sebagai
dalih pembiaran terjadinya penelantaran dan kejahatan terhadap anak ini?

HENTIKAN KEKERASAN

Anak-anak begitu rentan terhadap tindak kekerasan dan kejahatan. Namun,


seringkali penelantaran anak oleh orang tua dan keluarga ‘belum’ dianggap
sebagai kejahatan. Penelantaran merupakan akar dari kejahatan yang terselubung
dan bersembunyi di balik wacana kemiskinan. Penegakan hukum masih setengah
hati. Koordinasi pihak-pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan amanat undang-
undang belum bekerja maksimal. Negara belum menetapkan standar prosedur
keamanan dan kesejahteraan, sehingga batasan konsep pemeliharaan dan
penelantaran anak masih kabur.

Akar kejahatan penelantaran anak berasal dari rumah. Relasi dalam


keluarga perlu diperbaiki dan peran konseling keluarga akan dibutuhkan. Masa
depan bangsa ada di tangan anak-anak, karena itu kesejahteraannya menjadi
kewajiban bersama dengan melindungi mereka dari berbagai tindak
kekerasan,termasuk penelantaran. Sarasammuscaya 139-152 mengingatkan, agar
manusia mengupayakan kesejahteraan semua mahluk. Dengan memberikan
perlindungan kepadanya, maka keselamatan akan tercipta di dunia ini.

UUD 1945 pasal 34 telah mengamanatkan negara untuk memelihara fakir


miskin dan anak terlantar. Tetapi fakta di jalanan, anak-anak miskin dan
menggepeng, lebih banyak ditangkapi ketimbang dipelihara negara. Pengalaman
pengejaran dan penangkapan oleh pihak aparat tentu menimbulkan pengalaman
traumatik bagi anak-anak. Makelar dan gepeng dewasa tetap saja menggunakan
bayi dan anak-anak sebagai instrumen bisnisnya. Kita seperti menutup mata atas
kemungkinan terjadinya kekerasan rumah tangga atau kejahatan seperti
penculikan terhadap anak-anak melatarbelakangi pekerja jalanan itu.

UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah


Tangga (PKDRT), menjelaskan tentang tindak kekerasan penelantaran. Pada
Pasal 9 berbunyi: (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Pasal 49 pada UU no 23/2004 berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara


paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah), setiap orang yang : menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah
tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); menelantarkan orang
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Penelantaran juga ditindak dalam KUHP pasal 304-309. Pasal 304


berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang
dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan dan
pemeliharaan kepada orang itu, karena hukum yang berlaku baginya atau karena
perjanjian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan
bulan atau denda sebanyak banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 305
berbunyi: Barangsiapa membuang anak yang dibawah umur tujuh tahun atau
meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan anak itu daripadanya,
dipidana dengan penjara selama lamanya lima tahun enam bulan. Pada pasal 307
dijelaskan, jika penelantaran dilakukan ayah dan ibunya, maka pidana yang
ditentukan dapat ditambah sepertiganya.

( Sumber : https://studibudaya.wordpress.com/2010/02/05/penelantaran-anak-
kejahatan-kemanusiaan/)

Anda mungkin juga menyukai