STASE JIWA
DISUSUN OLEH:
NOFITA MUNINGGARSARI
Di SUSUN OLEH :
NOFITA MUNINGGARSARI
A. Masalah Utama
Gangguan persepsi sensori : Halusinasi
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. (WHO, 2006).
Halusinasi merupakan proses akhir dari pengamatan yang
diawali oleh proses diterimanya, stimulus oleh alat indra, kemudian
individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak dan baru kemudian
individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi (Yosep,
2009).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal
(dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan
tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien
mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara
(Direja, 2011).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun
pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan
sadar/bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun
histerik (Trimelia, 2011).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi
dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Suatu penerapan panca indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu
penghayatan yang dialami suatu persepsi melaluipanca indra tanpa
stimullus eksteren persepsi palsu(Prabowo, 2014: 129).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsnagan eksternal
(dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan
tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien
mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara
(Kusumawati & Hartono, 2012:102).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien
mengalamai perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaaan atau penghiduan. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012: 53).
2. Tanda Dan Gejala
Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011
sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
mengarahkan telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan
suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang
menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada
sesuatu yang tidak jelas.
Data Subjektif : melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk
kortoon, melihat hantu atau monster.
c. Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu,
menutup hidung.
Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses,
kadang-kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif :Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa
tersengat listrik.
3. Faktor Penyebab halusinasi
Faktor-faktor penyebab halusinasi dibagi menjadi dua (Yosep,
2010) yaitu:
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi
jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk
mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya.
Faktor predisposisi dapat meliputi factor perkembangan, sosiokultural,
biokimia, psikologis, dan genetic (Yosep, 2009).
1) Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
2) Faktor Sosiokultural
Berbagai factor dimasyarakat dapat menyebabkan seseorang
merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian
dilingkungan yang membesarkannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Jika seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka didalam
tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytrenferase (DMP).
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Berpengaruh pada
ketidakmampuanklien dalam mengambil keputusan demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi
hasil studi menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul
gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi,
perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian
individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan
kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan
halusinasi adalah:
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
4. Jenis Halusinasi
Menurut (Menurut Stuart, 2007), jenis halusinasi antara lain:
a. Halusinasi Pendengaran (Auditorik)
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara –
suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan
untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi Penglihatan (Visual)
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk
pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau
panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan
atau menakutkan.
c. Halusinasi Penciuman (Olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu
bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan
dementia.
d. Halusinasi Perabaan (Tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
e. Halusinasi Pengecapan(Gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis
dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau
feses.
f. Halusinasi Sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.
g. Halusinasi Kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
5. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya
dan keparahannya. Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi
dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietasnya yang dialami dan
kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasinya, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin
dikendalikan oleh halusinasinya.
a. Fase 1 : Comforting (Ansietas Sedang) : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada
pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali
bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali
kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Perilaku klien :
1) Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai
2) Menggerakkan bibir tanpa suara.
3) Pergerakan mata yang cepat.
4) Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
5) Diam dan asyik sendiri.
b. Fase II Condemning (Ansietas Berat) : Halusinasi menjadi
menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan.
Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil
jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin
mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri
dari orang lain.
Perilaku Klien :
1) Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas
otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung,
pernafasan, dan tekanan darah.
2) Rentang perhatian menyempit.
3) Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
c. Fase III : Controlling (Ansietas berat) : Pengalaman sensori menjadi
berkuasa.
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi
menjadi menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian
jika sensori halusinasi berhenti.
Perilaku Klien :
1) Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
2) Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
3) Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
4) Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah.
d. Fase IV : Conquering (Panik) : Umumnya menjadi melebur dalam
halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam
atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
1) Perilaku teror akibat panik.
2) Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang
lain).
3) Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia.
4) Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
5) Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
C. Pohon Masalah
Resti menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
E. Mekanisme Koping
Kaji mekanisme koping yang sering digunakan klien, meliputi :
1. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari
2. Proyeksi : mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
atau sesuatu benda.
3. Menarik Diri : sulit mempercayai orang lain dan dengan stimulus
internal.
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
F. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
1. Masalah keperawatan:
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri
2. Data yang perlu dikaji:
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Data Subyektif :
1) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
2) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jikasedang kesal atau marah.
3) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Data Objektif :
1) Mata merah, wajah agak merah.
2) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
3) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
4) Merusak dan melempar barang-barang.
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC
Maramis, W.F.2005. Catatan Ilmu kedokteran Jiwa. Ed.9 Surabaya: Airlangga
University Press.
Stuart, E.W& Sudden S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemah).
Jakarta:EGC
Rasmun. 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik Terintegrasi Dengan
Keluarga, Edisi I. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan).
Jakarta: EGC.
STRATEGI PELAKSANAAN (SP)
Masalah Utama : Halusinasi pendengaran
A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi klien:
- Petugas mengatakan bahwa klien sering menyendiri di kamar
- Klien sering tertawa dan tersenyum sendiri
- Klien mengatakan sering mendengar suara-suara yang membisiki dan
isinya tidak jelas serta melihat setan-setan.
2. Diagnosa keperawatan:
Perubahan persepsi sensori: halusinasi dengar
B. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Tindakan Keperawatan untuk Pasien
Tujuan tindakan untuk pasien meliputi:
1) Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
2) Pasien dapat mengontrol halusinasinya
3) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
Strategi Komunikasi.
SP 1 Pasien : Membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan
cara pertama: menghardik halusinasi
ORIENTASI:
”Selamat pagi bapak, perkenalkan nama saya Aulia Rohman saya
mahasiswa STIKES CENDEKIA UTAMA KUDUS. Saya biasa dipanggil
Rohman. Nama bapak siapa?Bapak Senang dipanggil apa”
”Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apa keluhan bapak saat ini”
”Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama
ini bapak dengar tetapi tak tampak wujudnya? Di mana kita duduk? Di ruang
tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 30 menit”
KERJA:
”Apakah bapak mendengar suara tanpa ada ujudnya?Apa yang dikatakan
suara itu?”
” Apakah terus-menerus terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan yang
paling sering D dengar suara? Berapa kali sehari bapak alami? Pada keadaan apa
suara itu terdengar? Apakah pada waktu sendiri?”
” Apa yang bapak rasakan pada saat mendengar suara itu?”
”Apa yang bapak lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara
itu suara-suara itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah
suara-suara itu muncul?
” bapak , ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama,
dengan menghardik suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan
orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang ke empat
minum obat dengan teratur.”
”Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik”.
”Caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul, langsung bapak
bilang, pergi saya tidak mau dengar, … Saya tidak mau dengar. Kamu suara
palsu. Begitu diulang-ulang sampai suara itu tak terdengar lagi. Coba bapak
peragakan! Nah begitu, … bagus! Coba lagi! Ya bagus bapak D sudah bisa”
TERMINASI:
”Bagaimana perasaan D setelah peragaan latihan tadi?” Kalau suara-suara
itu muncul lagi, silakan coba cara tersebut ! bagaimana kalu kita buat jadwal
latihannya. Mau jam berapa saja latihannya? (Saudara masukkan kegiatan latihan
menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian pasien). Bagaimana kalau
kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan suara-suara dengan
cara yang kedua? Jam berapa D?Bagaimana kalau dua jam lagi? Berapa lama kita
akan berlatih?Dimana tempatnya”
”Baiklah, sampai jumpa.”
SP 2 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua:
bercakap-cakap dengan orang lain
Orientasi:
“Selamat pagi bapak Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apakah suara-
suaranya masih muncul ? Apakah sudah dipakai cara yang telah kita
latih?Berkurangkan suara-suaranya Bagus ! Sesuai janji kita tadi saya akan latih
cara kedua untuk mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang
lain. Kita akan latihan selama 20 menit. Mau di mana? Di sini saja?
Kerja:
“Cara kedua untuk mencegah/mengontrol halusinasi yang lain adalah
dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalau bapak mulai mendengar
suara-suara, langsung saja cari teman untuk diajak ngobrol. Minta teman untuk
ngobrol dengan bapak Contohnya begini; … tolong, saya mulai dengar suara-
suara. Ayo ngobrol dengan saya! Atau kalau ada orang dirumah misalnya
istri,anak bapak katakan: bu, ayo ngobrol dengan bapak sedang dengar suara-
suara. Begitu bapak Coba bapak lakukan seperti saya tadi lakukan. Ya, begitu.
Bagus! Coba sekali lagi! Bagus! Nah, latih terus ya bapak!”
Terminasi:
“Bagaimana perasaan bapak setelah latihan ini? Jadi sudah ada berapa cara
yang bapak pelajari untuk mencegah suara-suara itu? Bagus, cobalah kedua cara
ini kalau bapak mengalami halusinasi lagi. Bagaimana kalau kita masukkan dalam
jadwal kegiatan harian bapak. Mau jam berapa latihan bercakap-cakap? Nah nanti
lakukan secara teratur serta sewaktu-waktu suara itu muncul! Besok pagi saya
akan ke mari lagi. Bagaimana kalau kita latih cara yang ketiga yaitu melakukan
aktivitas terjadwal? Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 10.00? Mau di
mana/Di sini lagi? Sampai besok ya. Selamat pagi”
b. Tindakan Keperawatan
Keluarga merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan asuhan
keperawatan pada pasien dengan halusinasi. Dukungan keluarga selama
pasien di rawat di rumah sakit sangat dibutuhkan sehingga pasien
termotivasi untuk sembuh. Demikian juga saat pasien tidak lagi dirawat di
rumah sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung pasien secara
konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program
pengobatan secara optimal. Namun demikian jika keluarga tidak mampu
merawat pasien, pasien akan kambuh bahkan untuk memulihkannya lagi
akan sangat sulit. Untuk itu perawat harus memberikan pendidikan
kesehatan kepada keluarga agar keluarga mampu menjadi pendukung yang
efektif bagi pasien dengan halusinasi baik saat di rumah sakit maupun di
rumah. Tindakan keperawatan yang dapat diberikan untuk keluarga pasien
halusinasi adalah:
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien
2) Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, proses
terjadinya halusinasi, dan cara merawat pasien halusinasi.
3) Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara
merawat pasien dengan halusinasi langsung di hadapan pasien
4) Beri pendidikan kesehatan kepada keluarga perawatan lanjutan
pasien
SP 1 Keluarga : Pendidikan Kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi dan cara-cara
merawat pasien halusinasi.
Peragakan percakapan berikut ini dengan pasangan saudara.
ORIENTASI:
“Selamat pagi Bapak/Ibu!”“Saya Rohman perawat yang merawat Bapak”
“Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Apa pendapat Ibu tentang Bapak?”
“Hari ini kita akan berdiskusi tentang apa masalah yang Bapak alami dan bantuan
apa yang Ibu bisa berikan.”
“Kita mau diskusi di mana? Bagaimana kalau di ruang tamu? Berapa lama waktu
Ibu? Bagaimana kalau 30 menit”
KERJA:
“Apa yang Ibu rasakan menjadi masalah dalam merawat bapak Apa yang Ibu
lakukan?”
“Ya, gejala yang dialami oleh Bapak itu dinamakan halusinasi, yaitu mendengar
atau melihat sesuatu yang sebetulnya tidak ada bendanya.
”Tanda-tandanya bicara dan tertawa sendiri,atau marah-marah tanpa sebab”
“Jadi kalau anak Bapak/Ibu mengatakan mendengar suara-suara, sebenarnya suara
itu tidak ada.”
“Kalau Bapak mengatakan melihat bayangan-bayangan, sebenarnya bayangan itu
tidak ada.”
”Untuk itu kita diharapkan dapat membantunya dengan beberapa cara. Ada
beberapa cara untuk membantu ibu agar bisa mengendalikan halusinasi. Cara-cara
tersebut antara lain: Pertama, dihadapan Bapak, jangan membantah halusinasi
atau menyokongnya. Katakan saja Ibu percaya bahwa anak tersebut memang
mendengar suara atau melihat bayangan, tetapi Ibu sendiri tidak mendengar atau
melihatnya”.
”Kedua, jangan biarkan Bapak melamun dan sendiri, karena kalau melamun
halusinasi akan muncul lagi. Upayakan ada orang mau bercakap-cakap
dengannya. Buat kegiatan keluarga seperti makan bersama, sholat bersama-sama.
Tentang kegiatan, saya telah melatih Bapak untuk membuat jadwal kegiatan
sehari-hari. Tolong Ibu pantau pelaksanaannya, ya dan berikan pujian jika dia
lakukan!”
”Ketiga, bantu Bapak minum obat secara teratur. Jangan menghentikan obat tanpa
konsultasi. Terkait dengan obat ini, saya juga sudah melatih Bapak untuk minum
obat secara teratur. Jadi Ibu dapat mengingatkan kembali. Obatnya ada 3 macam,
ini yang orange namanya CPZ gunanya untuk menghilangkan suara-suara atau
bayangan. Diminum 3 X sehari pada jam 7 pagi, jam 1 siang dan jam 7 malam.
Yang putih namanya THP gunanya membuat rileks, jam minumnya sama dengan
CPZ tadi. Yang biru namanya HP gunanya menenangkan cara berpikir, jam
minumnya sama dengan CPZ. Obat perlu selalu diminum untuk mencegah
kekambuhan”
”Terakhir, bila ada tanda-tanda halusinasi mulai muncul, putus halusinasi Bapak
dengan cara menepuk punggung Bapak. Kemudian suruhlah Bapak menghardik
suara tersebut. Bapak sudah saya ajarkan cara menghardik halusinasi”.
”Sekarang, mari kita latihan memutus halusinasi Bapak. Sambil menepuk
punggung Bapak, katakan: bapak, sedang apa kamu?Kamu ingat kan apa yang
diajarkan perawat bila suara-suara itu datang? Ya..Usir suara itu, bapak Tutup
telinga kamu dan katakan pada suara itu ”saya tidak mau dengar”. Ucapkan
berulang-ulang, pak”
”Sekarang coba Ibu praktekkan cara yang barusan saya ajarkan”
”Bagus Bu”
TERMINASI:
“Bagaimana perasaan Ibu setelah kita berdiskusi dan latihan memutuskan
halusinasi Bapak?”
“Sekarang coba Ibu sebutkan kembali tiga cara merawat bapak?”
”Bagus sekali Bu. Bagaimana kalau dua hari lagi kita bertemu untuk
mempraktekkan cara memutus halusinasi langsung dihadapan Bapak?”
”Jam berapa kita bertemu?”
Baik, sampai Jumpa. Selamat pagi
SP 2 Keluarga: Melatih keluarga praktek merawat pasien langsung
dihadapan pasien
Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat pasien
dengan halusinasi langsung dihadapan pasien.
ORIENTASI:
“Selamat pagi”
“Bagaimana perasaan Ibu pagi ini?”
”Apakah Ibu masih ingat bagaimana cara memutus halusinasi Bapak yang sedang
mengalami halusinasi?Bagus!”
” Sesuai dengan perjanjian kita, selama 20 menit ini kita akan mempraktekkan
cara memutus halusinasi langsung dihadapan Bapak”.
”mari kita datangi bapak”
KERJA:
”Selamat pagi pak” ”pak, istri bapak sangat ingin membantu bapak
mengendalikan suara-suara yang sering bapak dengar. Untuk itu pagi ini istri
bapak datang untuk mempraktekkan cara memutus suara-suara yang bapak
dengar. pak nanti kalau sedang dengar suara-suara bicara atau tersenyum-senyum
sendiri, maka Ibu akan mengingatkan seperti ini” ”Sekarang, coba ibu peragakan
cara memutus halusinasi yang sedang bapak alami seperti yang sudah kita pelajari
sebelumnya. Tepuk punggung bapak lalu suruh bapak mengusir suara dengan
menutup telinga dan menghardik suara tersebut” (saudara mengobservasi apa
yang dilakukan keluarga terhadap pasien)Bagus sekali!Bagaimana pak? Senang
dibantu Ibu? Nah Bapak/Ibu ingin melihat jadwal harian bapak. (Pasien
memperlihatkan dan dorong istri/keluarga memberikan pujian) Baiklah, sekarang
saya dan istri bapak ke ruang perawat dulu” (Saudara dan keluarga meninggalkan
pasien untuk melakukan terminasi dengan keluarga
TERMINASI:
“Bagaimana perasaan Ibu setelah mempraktekkan cara memutus halusinasi
langsung dihadapan Bapak?”
”Dingat-ingat pelajaran kita hari ini ya Bu. ibu dapat melakukan cara itu bila
Bapak mengalami halusinas”.
“bagaimana kalau kita bertemu dua hari lagi untuk membicarakan tentang jadwal
kegiatan harian Bapak. Jam berapa Ibu bisa datang?Tempatnya di sini ya. Sampai
jumpa.”
SP 3 Keluarga : Menjelaskan perawatan lanjutan
ORIENTASI
“Selamat pagi Bu, sesuai dengan janji kita kemarin dan sekarang ketemu untuk
membicarakan jadual bapak selama dirumah”
“Nah sekarang kita bicarakan jadwal bapak di rumah? Mari kita duduk di ruang
tamu!”
“Berapa lama Ibu ada waktu? Bagaimana kalau 30 menit?”
KERJA
“Ini jadwal kegiatan bapak yang telah disusun. Jadwal ini dapat dilanjutkan. Coba
Ibu lihat mungkinkah dilakukan. Siapa yang kira-kira akan memotivasi dan
mengingatkan?” Bu jadwal yang telah dibuat tolong dilanjutkan, baik jadwal
aktivitas maupun jadwal minum obatnya”
“Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang ditampilkan
oleh bapak selama di rumah.Misalnya kalau bapak terus menerus mendengar
suara-suara yang mengganggu dan tidak memperlihatkan
perbaikan, menolak minum obat atau memperlihatkan perilaku membahayakan
orang lain. Jika hal ini terjadi segera bawa kerumah sakit untuk dilakukan
pemeriksaan ulang dan di berikan tindakan”
TERMINASI
“Bagaimana Ibu? Ada yang ingin ditanyakan? Coba Ibu sebutkan cara-cara
merawat bapak Bagus(jika ada yang lupa segera diingatkan oleh perawat. Ini
jadwalnya. Sampai jumpa”
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL : MENARIK DIRI
Di SUSUN OLEH :
NOFITA MUNNINGGARSARI
A. Masalah Utama :
Isolasi Sosial : Menarik Diri
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan di mana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya (Damaiyanti, 2008).
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal
yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang
menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang
dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam (Farida, 2012).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin,
1993 dikutip Budi Keliat, 2001).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang
merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam
dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan (Dalami, dkk. 2009).
Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu
yang diterima sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi
yang negatif atau mengancam (Wilkinson, 2007).
2. Etiologi
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif.
Menurut Stuart dan Sundeen (2007), belum ada suatu kesimpulan yang
spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan
interpersonal. Faktor yang mungkin mempengaruhi antara lain yaitu:
a. Faktor predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1) Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama
yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang,
perhatian, dan kehangatan dari ibu / pengasuh pada bayi akan
memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya
rasa percaya diri dan dapat mengembangkan tingkah laku curiga
pada orang lain maupun lingkungan dikemudian hari.
Komunikasiyang hangatsangat penting dalam masa ini, agar anak
tidak merasa diperlakukan sebagai objek.
2) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan
merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan.
Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang
dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak produktif
diasingkan dari lingkungan sosial.
3) Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ
tubuh yang jelas mempengaruhi adalah otak. Insiden tertinggi
skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarganya ada
yang menderita skizofrenia.
Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam
hubungan sosial terdapat kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat volume otak serta
perubahan struktur limbik.
b. Faktor presipitasi
Menurut (Damaiyanti, 2012), stresor presipitasi terjadinya isolasi
sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal
meliputi:
1) Stresor sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam
berhubungan seperti perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau
dipenjara.
2) Stresor psikologi
Tingkat kecemasan yang beratakan menyebabkan
menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan
orang lain.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang
dapat ditemukan dengan wawancara, adalah:
a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang
lain.
d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
f. Pasien merasa tidak berguna.
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
4. Akibat
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku
menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak
berharga yang bisa dialami pasien dengan latar belakang yang penuh
dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan, dan kecemasan
(Prabowo, 2014: 112).
Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam
mengembangkan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien
menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan
kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Pasien
semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap penampilan dan tingkah
laku masalalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut halusinasi (Stuart dan Sudden dalam Dalami,
dkk 2009).
C. Pohon Masalah
Resiko Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi
ORIENTASI:
“Selamat pagi bu! Bagaimana perasaan hari ini?
”Apakah ibu bercakap-cakap dengan perawat T kemarin siang”
(jika jawaban pasien: ya, saudara bisa lanjutkan komunikasi berikutnya
orang lain
”Bagaimana perasaan ibu setelah bercakap-cakap dengan perawat T
kemarin siang”
”Bagus sekali ibu menjadi senang karena punya teman lagi”
”Kalau begitu ibu ingin punya banyak teman lagi?”
”Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu
pasien O”
”seperti biasa kira-kira 10 menit”
”Mari kita temui dia di ruang makan”
KERJA:
( Bersama-sama S saudara mendekati pasien )
« Selamat pagi , ini ada pasien saya yang ingin berkenalan. »
« Baiklah bu, ibu sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang telah
ibu lakukan sebelumnya. »
(pasien mendemontrasikan cara berkenalan: memberi salam, menyebutkan
nama, nama panggilan, asal dan hobi dan menanyakan hal yang sama). »
« Ada lagi yang ibu ingin tanyakan kepada O»
« Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, ibu bisa sudahi perkenalan
ini. Lalu ibu bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore nanti »
(ibu membuat janji untuk bertemu kembali dengan O)
« Baiklah O, karena ibu sudah selesai berkenalan, saya dan klien akan
kembali ke ruangan ibu. Selamat pagi »
(Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat O untuk melakukan
terminasi dengan S di tempat lain)
TERMINASI:
“Bagaimana perasaan ibu setelah berkenalan dengan O”
”Dibandingkan kemarin pagi, T tampak lebih baik saat berkenalan dengan
O” ”pertahankan apa yang sudah ibu lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu
kembali dengan O jam 4 sore nanti”
”Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap
dengan orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari ibu dapat
berbincang-bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1
siang dan jam 8 malam, ibu bisa bertemu dengan T, dan tambah dengan pasien
yang baru dikenal. Selanjutnya ibu bisa berkenalan dengan orang lain lagi secara
bertahap. Bagaimana ibu, setuju kan?”
”Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman ibu.
Pada jam yang sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok.”
1. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
Tujuan:
setelah tindakan keperawatan keluarga mampu merawat pasien isolasi
sosial Tindakan: Melatih Keluarga Merawat Pasien Isolasi sosial
Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi pasien untuk dapat
membantu pasien mengatasi masalah isolasi sosial ini, karena keluargalah
yang selalu bersama-sama dengan pasien sepanjang hari.
Di SUSUN OLEH :
NOFITA MUNINGGARSARI
C. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
PerilakuKekerasan
Core Plobem
/amuk
b. Tindakan
1) Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan
agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan
saudara. Tindakan yang harus saudara lakukan dalam rangka
membina hubungan saling percaya adalah:
a) Mengucapkan salam terapeutik
b) Berjabat tangan
c) Menjelaskan tujuan interaksi
d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu
pasien
2) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan yang lalu
3) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual
4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara:
a) verbal
b) terhadap orang lain
c) terhadap diri sendiri
d) terhadap lingkungan
5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
6) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara:
a) Fisik: pukul kasur dan batal, tarik nafas dalam
b) Obat
c) Social/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya
d) Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien
7) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik:
a) Latihan nafas dalam dan pukul kasur –
bantal
b) Susun jadwal latihan dalam dan pukul kasur
– bantal
8) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
a) Latih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik
b) Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.
9) Latih mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual:
a) Latih mengontrol marah secara spiritual: sholat, berdoa
b) Buat jadwal latihan sholat, berdoa
10) Latih mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat:
a) Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima
benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum
obat, benar waktu minum obat, dan benar dosis obat) disertai
penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat
b) Susun jadwal minum obat secara teratur
11) Ikut sertakan pasien dalam Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi
Persepsi mengontrol Perilaku Kekerasan
SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab
perasaan marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku
kekerasan yang dilakukan, akibatnya serta cara mengontrol
secara fisik I
ORIENTASI:
“Selamat pagi pak, perkenalkan nama saya Moh. Aji Sutrisno,
panggil saya Aji, saya perawat yang dinas di ruang ini .... Nama bapak
siapa, senangnya dipanggil apa?”
“Bagaimana perasaan bapak saat ini?, Masih ada perasaan
kesal atau marah?”
“Baiklah kita akan berbincang-bincang sekarang tentang
perasaan marah bapak”
“Berapa lama bapak mau kita berbincang-bincang?”
Bagaimana kalau 10 menit?
“Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang, pak?
Bagaimana kalau di ruang tamu?”
KERJA:
“Apa yang menyebabkan bapak marah?, Apakah sebelumnya
bapak pernah marah? Terus, penyebabnya apa? Samakah dengan yang
sekarang?. O..iya, jadi ada 2 penyebab marah bapak”
“Pada saat penyebab marah itu ada, seperti bapak pulang ke
rumah dan istri belum menyediakan makanan(misalnya ini penyebab
marah pasien), apa yang bapak rasakan?” (tunggu respons pasien)
“Apakah bapak merasakan kesal kemudian dada bapak berdebar-debar,
mata melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”
“Setelah itu apa yang bapak lakukan? O..iya, jadi bapak
memukul istri bapak dan memecahkan piring, apakah dengan cara ini
makanan terhidang? Iya, tentu tidak. Apa kerugian cara yang bapak
lakukan? Betul, istri jadi sakit dan takut, piring-piring pecah. Menurut
bapak adakah cara lain yang lebih baik? Maukah bapak belajar cara
mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan
kerugian?”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah berbincang-bincang
tentang kemarahan bapak?”
”Iya jadi ada 2 penyebab bapak marah ........ (sebutkan) dan
yang bapak rasakan ........ (sebutkan) dan yang bapak lakukan .......
(sebutkan) serta akibatnya ......... (sebutkan)
”Coba selama saya tidak ada, ingat-ingat lagi penyebab marah
bapak yang lalu, apa yang bapak lakukan kalau marah yang belum kita
bahas dan jangan lupa latihan napas dalamnya ya pak. ‘Sekarang kita
buat jadual latihannya ya pak, berapa kali sehari bapak mau latihan
napas dalam?, jam berapa saja pak?”
”Baik, bagaimana kalau 2 jam lagi saya datang dan kita latihan cara
yang lain untuk mencegah/mengontrol marah. Tempatnya disini saja
ya pak, Selamat pagi”
SP 2 Pasien: Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
ke-2
ORIENTASI
“Selamat pagi pak, sesuai dengan janji saya dua jam yang lalu
sekarang saya datang lagi”
“Bagaimana perasaan bapak saat ini, adakah hal yang menyebabkan
bapak marah?”
“Baik, sekarang kita akan belajar cara mengontrol perasaan marah
dengan kegiatan fisik untuk cara yang kedua”
“Mau berapa lama? Bagaimana kalau 20 menit?”
Dimana kita bicara?Bagaimana kalau di ruang tamu?”
KERJA
“Kalau ada yang menyebabkan bapak marah dan muncul perasaan
kesal, berdebar-debar, mata melotot, selain napas dalam bapak dapat
melakukan pukul kasur dan bantal”.
“Sekarang mari kita latihan memukul kasur dan bantal. Mana kamar
bapak? Jadi kalau nanti bapak kesal dan ingin marah, langsung ke kamar dan
lampiaskan kemarahan tersebut dengan memukul kasur dan bantal. Nah,
coba bapak lakukan, pukul kasur dan bantal. Ya, bagus sekali bapak
melakukannya”.
“Kekesalan lampiaskan ke kasur atau bantal.”
“Nah cara inipun dapat dilakukan secara rutinjika ada perasaan
marah. Kemudian jangan lupa merapikan tempat tidurnya
TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah latihan cara menyalurkan marah
tadi?”
“Ada berapa cara yang sudah kita latih, coba bapak sebutkan
lagi?Bagus!”
“Mari kita masukkan kedalam jadual kegiatan sehari-hari bapak.
Pukul kasur bantal mau jam berapa? Bagaimana kalau setiap bangun tidur?
Baik, jadi jam 05.00 pagi. dan jam jam 15.00 sore. Lalu kalau ada keinginan
marah sewaktu-waktu gunakan kedua cara tadi ya pak. Sekarang kita buat
jadwalnya ya pak, mau berapa kali sehari bapak latihan memukul kasur dan
bantal serta tarik nafas dalam ini?”
“Besok pagi kita ketemu lagi kita akan latihan cara mengontrol
marah dengan belajar bicara yang baik. Mau jam berapa pak? Baik, jam 10
pagi ya. Sampai jumpa”
ORIENTASI
“Selamat pagi pak, sesuai dengan janji saya kemarin sekarang kita ketemu
lagi”
“Bagaimana pak, sudah dilakukan latihan tarik napas dalam dan pukul
kasur bantal?, apa yang dirasakan setelah melakukan latihan secara teratur?”
“Coba saya lihat jadwal kegiatan hariannya.”
“Bagus. Nah kalau tarik nafas dalamnya dilakukan sendiri tulis M, artinya
mandiri; kalau diingatkan suster baru dilakukan tulis B, artinya dibantu atau
diingatkan. Nah kalau tidak dilakukan tulis T, artinya belum bisa melakukan
KERJA
“Coba ceritakan kegiatan ibadah yang biasa Bapak lakukan! Bagus. Baik,
yang mana mau dicoba?
“Nah, kalau bapak sedang marah coba bapak langsung duduk dan tarik
napas dalam. Jika tidak reda juga marahnya rebahkan badan agar rileks. Jika tidak
reda juga, ambil air wudhu kemudian sholat”.
“Bapak bisa melakukan sholat secara teratur untuk meredakan
kemarahan.”
“Coba Bpk sebutkan sholat 5 waktu? Bagus. Mau coba yang mana?Coba
sebutkan caranya (untuk yang muslim).”
TERMINASI
Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap tentang cara yang
ketiga ini?”
“Jadi sudah berapa cara mengontrol marah yang kita pelajari? Bagus”.
“Mari kita masukkan kegiatan ibadah pada jadual kegiatan bapak. Mau
berapa kali bapak sholat. Baik kita masukkan sholat ....... dan ........ (sesuai
kesepakatan pasien)
“Coba bapak sebutkan lagi cara ibadah yang dapat bapak lakukan bila
bapak merasa marah”
“Setelah ini coba bapak lakukan jadual sholat sesuai jadual yang telah
kita buat tadi”
“Besok kita ketemu lagi ya pak, nanti kita bicarakan cara keempat
mengontrol rasa marah, yaitu dengan patuh minum obat.. Mau jam berapa pak?
Seperti sekarang saja, jam 10 ya?”
“Nanti kita akan membicarakan cara penggunaan obat yang benar untuk
mengontrol rasa marah bapak, setuju pak?”
ORIENTASI
“Selamat pagi pak, sesuai dengan janji saya kemarin hari ini kita ketemu
lagi”
“Bagaimana pak, sudah dilakukan latihan tarik napas dalam, pukul kasur
bantal, bicara yang baik serta sholat?, apa yang dirasakan setelah melakukan
latihan secara teratur?. Coba kita lihat cek kegiatannya”.
“Bagaimana kalau sekarang kita bicara dan latihan tentang cara minum
obat yang benar untuk mengontrol rasa marah?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau di tempat
kemarin?”
“Berapa lama bapak mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15
menit”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap tentang cara
minum obat yang benar?”
“Coba bapak sebutkan lagijenis obat yang Bapak minum! Bagaimana cara
minum obat yang benar?”
“Nah, sudah berapa cara mengontrol perasaan marah yang kita pelajari?.
Sekarang kita tambahkan jadual kegiatannya dengan minum obat. Jangan lupa
laksanakan semua dengan teratur ya”.
“Baik, Besok kita ketemu kembali untuk melihat sejauhma ana bapak
melaksanakan kegiatan dan sejauhmana dapat mencegah rasa marah. Sampai
jumpa”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap-cakap tentang cara
merawat bapak?”
“Coba ibu sebutkan lagi cara merawat bapak”
“Setelah ini coba ibu ingatkan jadual yang telah dibuat untuk bapak
ya bu”
“Bagaimana kalau kita ketemu 2 hari lagi untuk latihan cara-cara
yang telah kita bicarakan tadi langsung kepada bapak?”
“Tempatnya disini saja lagi ya bu?”
SP 2 Keluarga: Melatih keluarga melakukan cara-cara mengontrol
Kemarahan
ORIENTASI
“Selamat pagi bu, sesuai dengan janji kita 2 hari yang lalu sekarang kita ketemu
lagi untuk latihan cara-cara mengontrol rasa marah bapak.”
“Bagaimana Bu? Masih ingat diskusi kita yang lalu? Ada yang mau Ibu
tanyakan?”
“Berapa lama ibu mau kita latihan?”
“Bagaimana kalau kita latihan disini saja?, sebentar saya panggilkan bapak
supaya bisa berlatih bersama”
KERJA
”Nah pak, coba ceritakan kepada Ibu, latihan yang sudah Bapak lakukan.
Bagus sekali. Coba perlihatkan kepada Ibu jadwal harian Bapak! Bagus!”
”Nanti di rumah ibu bisa membantu bapak latihan mengontrol kemarahan
Bapak.”
”Sekarang kita akan coba latihan bersama-sama ya pak?”
”Masih ingat pak, bu kalau tanda-tanda marah sudah bapak rasakan maka
yang harus dilakukan bapak adalah.......?”
”Ya.. betul, bapak berdiri, lalu tarik napas dari hidung, tahan
sebentar
lalu keluarkan/tiup perlahan –lahan melalui mulut seperti mengeluarkan
kemarahan. Ayo coba lagi, tarik dari hidung, bagus.., tahan, dan tiup melalui
mulut. Nah, lakukan 5 kali, coba ibu temani dan bantu bapak menghitung latihan
ini sampai 5 kali”.
“Bagus sekali, bapak dan ibu sudah bisa melakukannya dengan baik”.
“Cara yang kedua masih ingat pak, bu?”
“ Ya..benar, kalau ada yang menyebabkan bapak marah dan muncul
perasaan kesal, berdebar-debar, mata melotot, selain napas dalam bapak
dapat melakukan pukul kasur dan bantal”.
“Sekarang coba kita latihan memukul kasur dan bantal. Mana kamar
bapak? Jadi kalau nanti bapak kesal dan ingin marah, langsung ke kamar
dan lampiaskan kemarahan tersebut dengan memukul kasur dan bantal.
Nah, coba bapak lakukan sambil didampingi ibu, berikan bapak semangat
ya bu. Ya, bagus sekali bapak melakukannya”.
“Cara yang ketiga adalah bicara yang baik bila sedang marah. Ada tiga
caranya pak, coba praktekkan langsung kepada ibu cara bicara ini:
1. Meminta dengan baik tanpa marah dengan nada suara yang rendah serta
tidak menggunakan kata-kata kasar, misalnya: ‘Bu, Saya perlu uang untuk
beli rokok! Coba bapak praktekkan. Bagus pak”.
2. Menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan bapak tidak ingin
melakukannya, katakan: ‘Maaf saya tidak bisa melakukannya karena sedang
ada kerjaan’. Coba bapak praktekkan. Bagus pak”
3. Mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan orang lain yang
membuat kesal bapak dapat mengatakan:’ Saya jadi ingin marah karena
perkataanmu itu’. Coba praktekkan. Bagus”
“Cara berikutnya adalah kalau bapak sedang marah apa yang harus
dilakukan?”
“Baik sekali, bapak coba langsung duduk dan tarik napas dalam. Jika tidak
reda juga marahnya rebahkan badan agar rileks. Jika tidak reda juga, ambil air
wudhu kemudian sholat”.
“Bapak bisa melakukan sholat secara teratur dengan didampingi ibu untuk
meredakan kemarahan”.
“Cara terakhir adalah minum obat teratur ya pak, bu agar pikiran bapak
jadi tenang, tidurnya juga tenang, tidak ada rasa marah”
“Bapak coba jelaskan berapa macam obatnya! Bagus. Jam berapa minum
obat? Bagus. Apa guna obat? Bagus. Apakah boleh mengurangi atau
menghentikan obat? Wah bagus sekali!”
“Dua hari yang lalu sudah saya jelaskan terapi pengobatan yang bapak
dapatkan, ibu tolong selama di rumah ingatkan bapak untuk meminumnya secara
teratur dan jangan dihentikan tanpa sepengetahuan dokter”
TERMINASI
“Baiklah bu, latihan kita sudah selesai. Bagaimana perasaan ibu setelah
kita latihan cara-cara mengontrol marah langsung kepada bapak?”
“Bisa ibu sebutkan lagi ada berapa cara mengontrol marah?”
“Selanjutnya tolong pantau dan motivasi Bapak melaksanakan jadwal
latihan yang telah dibuat selama di rumah nanti. Jangan lupa berikan pujian untuk
Bapak bila dapat melakukan dengan benar ya Bu!”
“ Karena Bapak sebentar lagi sudah mau pulang bagaimana kalau 2 hari
lagi Ibu bertemu saya untuk membicarakan jadwal aktivitas Bapak selama di
rumah nanti.”
“Jam 10 seperti hari ini ya Bu. Di ruang ini juga.
SP 3 Keluarga: Menjelaskan perawatan lanjutan bersama keluarga
ORIENTASI
“Selamat pagi pak, bu, karena kunjungan saya sudah akan berakhir.
Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang perawatan lanjutan
untuk keluarga Bapk/Ibu. Apakah sudah dipuji keberhasilannya?”
“Nah sekarang bagaimana kalau bicarakan jadualkegiatan dan
perawatan lanjutan di rumah, disini saja?”
“Berapa lama bapak dan ibu mau kita berbicara? Bagaimana kalau
30 menit?”
KERJA
“Pak, bu, jadual yang telah dibuat tolong dilanjutkan, baik jadual aktivitas
maupun jadual minum obatnya. Mari kita lihat jadwal Bapak!”
“Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang
ditampilkan oleh bapak selama di rumah. Kalau misalnya Bp menolak
minum obat atau memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain. Jika
hal ini terjadi segera hubungi Suster E di Puskesmas ……., puskesmas
terdekat dari rumah ibu dan bapak,
“Selanjutnya suster E yang akan membantu memantau
perkembangan B selama di rumah”
TERMINASI
“ Bagaimana Bu? Ada yang ingin ditanyakan? Coba Ibu sebutkan
apa saja yang perlu diperhatikan (jadwal kegiatan, tanda atau gejala,
follow up ke Puskesmas). Baiklah, silakan menyelesaikan administrasi!”
“Saya akan persiapkan pakaian dan obat.”
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PASIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH
Di SUSUN OLEH :
NOFITA MUNINGGARSARI
A. Masalah Utama
Harga Diri Rendah
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri,
hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan
(Keliat, dalam Fitria, 2009).
Harga diri rendah adalah perasaan seseorang bahwa dirinya
tidak diterima lingkungan dan gambaran-gambaran negatif tentang
dirinya (Barry, dalam Yosep, 2009).
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang
berharga dan tidak dapat bertanggungjawab pada kehidupannya sendiri
Faktor yang mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali,
kurang mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang
lain dan ideal diri yag tidak realistis. Sedangkan stresor pencetus
mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal seperti:
Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan
kejadian yang mengancam. (Yoedhas, 2010).
Harga diri rendah adalah keadaan ketika individu mengalami
evaluasi diri negatif mengenai diri atau kemampuan diri (Lynda Juall
Carpenito-Moyet, 2007).
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang
berharga dan tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupan sendiri,
gagal menyesuaikan tingkah laku dancita-cita(Fk.UNDIP , 2001),
2. Klasifikasi
Menurut Fitria (2009), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan,
perubahan).
b. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu
mengalami evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan
dalam waktu lama.
3. Etiologi
Harga diri rendah dapat terjadi secara :
a. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus
operasi, kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan
kerja, perasaan malu karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh
korupsi, dipenjara tiba-tiba).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :
1) Privacy yang harus diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik
yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan
(pencukuran pubis, pemasangan kateter, pemeriksaan perineal).
2) Harapan akan struktur bentuk dan fungsi tubuh yang tidak
tercapai karena dirawat/sakit/penyakit.
3) Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya
berbagai pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai
tindakan tanpa persetujuan.
b. Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama,
yaitu sebelum sakit/dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang
negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif
terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang
maladaptif.
4. Proses terjadinya
Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan
kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan
mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart & Sunden, 1995).
Konsep diri terdiri atas komponen: citra diri, ideal diri, harga diri,
penampilan peran dan identitas personal. Respons individu terhadap
konsep dirinya berfluktuasi sepanjang rentang konsep diri yaitu dari
adaptif sampai maladatif. Salah satu komponen konsep diri yaitu harga diri
dimana harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri
(Keliat, 1999). Sedangkan harga diri rendah adalah menolak dirinya
sebagai sesuatu yang berharga dan tidak bertanggung jawab atas
kehidupannya sendiri. Jika individu sering gagal maka cenderung harga
diri rendah. Harga diri rendah jika kehilangan kasih sayang dan
penghargaan orang lain. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang
lain, aspek utama adalah diterima dan menerima penghargaan dari orang
lain. Harga diri rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatif
terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri,
merasa gagal mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan
produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak
mampu, mudah tersinggung dan menarik diri secara sosial. Faktor yang
mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua
yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri
yang tidak realistis. Sedangkan stresor pencetus mungkin ditimbulkan dari
sumber internal dan eksternal seperti :
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menaksirkan
kejadian yang mengancam.
6. Penatalaksanaan Medis
Terapi pada gangguan jiwa, khususnya skizofrenia dewasa ini
sudah dikembangkan sehingga klien tidak mengalami diskriminasi bahkan
metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Penatalaksanaan
medis pada gangguan konsep diri yang mengarah pada diagnosa medis
skizofrenia, khususnya dengan perilaku harga diri rendah, yaitu:
a. Psikofarmakologi
Menurut Hawari (2003), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2
golongan yaitu:
1) Golongan generasi pertama (typical)
Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya:
Chorpromazine HCL (Largactil, Promactil, Meprosetil),
Trifluoperazine HCL (Stelazine), Thioridazine HCL (Melleril),
dan Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).
2) Golongan kedua (atypical)
Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone
(Risperdal, Rizodal, Noprenia), Olonzapine (Zyprexa),
Quentiapine (Seroquel), dan Clozapine (Clozaril).
b. Psikotherapi
Menurut Keliat, B.A (2006) terapi kejiwaan atau psikoterapi pada
klien, baru dapat diberikan apabila klien dengan terapi psikofarmaka
sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah
kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikotherapi pada
klien dengan gangguan jiwa adalah berupa terapi aktivitas kelompok
(TAK).
c. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang
dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
d. Therapy Modalitas
Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana pengobatan untuk
skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan klien.
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri
dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal. Therapi kelompok
bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana dan masalah
dalam hubungan kehidupan yang nyata.
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok
stimulasi sensori, therapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan
therapy aktivitas kelompok sosialisasi.
e. Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang
adaptif dengan melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik
(Riyadi dan Purwanto, 2009).Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
1) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
2) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam
ruangan khusus (Riyadi dan Purwanto, 2009).
3) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini
diberikan dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih
terang dari sinar ruangan) (Riyadi dan Purwanto, 2009).
4) ECT (Electro Convulsif Therapie)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran
listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun
klonik (Riyadi dan Purwanto, 2009).
f. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas dimana
terjadi interaksi antara sesama penderita dan dengan para pelatih
(sosialisasi).
C. Pohon Masalah
Menurut Fitria (2009) dan Yosep (2009), pohon masalah pada pasien
dengan harga diri rendah kronik adalah sebagai berikut:
Risiko Perilaku Kekerasan effect
Isolasi Sosial
DAFTAR PUSTAKA
Pertemuan ke I (satu)
A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi
a. Klien mengatakan malu dan tidak berguna
b. Klien mengatakan ekspresi wajah malu
c. Klien mengatakan “tidak bisa”ketika diminta melakukan sesuatu
d. Klien tampak kurang bergairah
e. Klien selalu mengungkapkan kekurangannya dari pada
kelebihannya.
2. Diagnosa Keperawatan
Risiko isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
3. Tujuan Khusus
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
B. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Selamat pagi Bu, saya Wardatul Ghivara, saya mahasiswa Akper
RUSTIDA Banyuwangi yang sedang praktek dirumag sakit ini”, “Ibu
bisa panggil saya suster warda”. ”Nama ibu siapa?”. “........” “Ibu lebih
senang dipanggil siapa?”“o o o ibu siti”. “saya akan menemani ibu
selama 2 minggu, jadi kalau ada yang mengganggu pikiran ibu bisa
bilang ke saya, siapa tahu saya bisa bantu”
b. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan ibu saat ini? ......... o o o begitu”
“Coba ceritakan pada saya, apa yang dirasakan dirumah, hingga dibawah
ke RSJ”
c. Kontrak
1) Topik
“ Maukah ibu bsiti bercakap – cakap dengan kemampuan yang
dimiliki serta hobi yang sering dilakukan dirumah”
2) Tempat
“Ibu Sti lebih suka bercakap – cakap dimana?, o o o ditaman,
baiklah”
3) Waktu
“kita mau becakap – cakap berapa lama?, Bagaimana kalau 10
menit saja”
2. Kerja
“Kegiatan apa saja yang sering ibu siti lakukan dirumah?”.........
“memasak, mencuci pakaian, bagus itu bu”. “Terus kegiatan apalagi
yang ibu lakukan?”. “kalau tidak salah ibu juga senang menyulam
ya?”, wah bagus sekali!”
“Bagaimana kalau ibu siti menceritakan kelebihan lain/kemampuan
lain yang dimiliki?” kemudian apa lagi.
“Bagaimana dengan keluarga ibu siti, apakah mereka menyenangi apa
yang ibu lakukan selama ini, atau apakah mereka sering mengejek
hasil kerja ibu?”
3. Terminasi
a. Evaluasi subyektif
d. Kontrak
1) Topik
“Bagaimana kalau besok kita bicarakan kembali kegiatan
/kemampuan yang dapat ibu siti lakukan di rumah dan di RSJ”
2) Tempat
3) Waktu
“Berapa lama kita akan bercakap – cakap?”. “Bagaimana
kalau 15 menit”
“Setuju!”
“Sampai bertemu lagi besok ya, Bu siti”
Pertemuan ke II (dua)
A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi
a. Klien telah terbina hubungan saling percaya dengan perawat
b. Klien telah mengetahui/dapt mengenal beberapa
kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2. Diagnosa Keperawatan
Risiko isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga
diri rendah
3. Tujuan Khusus
a. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
b. Klien dapat merencanakan kegiatan di rumah sakit sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki
B. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Orientasi
a. Salam terapeutik
b. Evaluasi/Validasi
c. Kontrak
1) Topik
“Apakah ibu siti masih ingat apa yang akan kita bicarakan
sekarang?”. “ya............ bagus”
2) Tempat
“Kalau tidak salah, kemrin kita sudah sepakat akan bercakap – cakap
di taman benar kan?”
3) Waktu
Kita akan bercakap – cakap selama 15 menit, atau mungkin bu
siti ingin bercakap – cakap lebih lama lagi?”
2. 4) Kerja “
3. Terminasi
a. Evaluasi Subyektif
“Bagaimana perasaan ibu siti setelah berhasil membuat
jadwal kegiatan yang dapat dilakukan di rumah sakit”
b. Evaluasi Obyektif
“Coba ibu bacakan kembali jadwal kegiatan yang telah
dibuat tadi!”. “Bagus”
c. Rencana Tindak Lanjut
“Ibu siti mau kan melaksanakan jadwal kegiatan yang telah
ibu buat tadi!”
“.........nah nanti kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan
bersama– sama dengan teman – teman yang lain ya!”.
“Bagaimana kalau nanti siang?”
d. Kontrak
1) Topik
“Baiklah besok kita bertemu lagi, bagaimana kalau
kita bercakap – cakap tentang kegiatan yang dapat
dilakukan di rumah”. “Bagaimana menurut ibu siti?”.
“Setuju”
2) Tempat
“Ibu ingin bercakapn – cakap dimana besok?”, “.........
oooo di taman, baiklah.”
3) Waktu
“Bagaimana kalau kita bercakap – cakap 10 menit?”
Pertemuan ke III (tiga)
A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi
a. Klien telah mampu mengenal menyusun jadwal kegiatan
yang dapat dilakukan di rumah sakit
b. Klien telah berhasil melaksanakan kegiatan sesuai dengan jadwalyang
2. Diagnosa Keperawatan
Risiko isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga
diri rendah
3. Tujuan Khusus
a. Klien dapat mengenal kegiatan yang dapat dilakukan di
rumah
b. Klien dapat menyusun jadwal kegiatan yang dapat
dilakukan sesuai kemampuan di rumah
B. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
(SP)
1. Orientasi
a. Salam terapeutik
“Selamat pagi,ibu siti sedang apa?”
b. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasan Ibu Siti sekarang?”
1) Topik
“Nah bagaimana kalau kita bercakap – cakap tentang
kegiatan yang dapat dilakukan di rumah?”
4) Tempat
“Kalau tidak salah, kemrin kita sudah sepakat akan
bercakap – cakap di taman benar kan?”
5) Waktu
“Mau berapalama?, Bagaimana kalau 15 menit lagi”
2. Kerja
“Kemarin ibu telah membuat jadwal kegiatan di rumah sakit,
sekarang kita buat jadwal kegiatan dirumah ya!. Ini kertas dan
bolpointnya, jangan khawatir nanti saya bantu, kalau
kesulitan, Bagaimana kalau kita mulai? ”
3. Terminasi
a. Evaluasi Subyektif
“Bagaimana perasaan ibu siti setelah dapat membuat jadwal
kegiatan di rumah”
b. Evaluasi Obyektif
“Coba ibu sebutkan lagi susunan kegiatan dalam sehari yang
dapat dilakukan di rumah”
c. Rencana Tindak Lanjut
“Besok kalau sudah dijemput oleh keluarga dalam sehari apa
yang dapat dilakukan di rumah?”
d. Kontrak
1) Topik
“Nah, bagaimana besok kita bercakap – cakap
tentang perlunya dukungan keluarga terhadap
kesembuhan Bu Siti”
2) Tempat
“Bagaimana kalau kita bercakap – cakap di teras,
setuju!, atau mungkin ibu ingin di tempat lain?”
3) Waktu
“Kita mau bercakap –cakap berapa lama, bagaimana
kalau 10 menit?”
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PASIEN DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI
Di SUSUN OLEH :
NOFITA MUNINGGARSARI
A. Masalah Utama
Defisit Perawatan Diri
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia
dalam memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya,
kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien
dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri (Depkes dalam Dermawan;Rusdi, 2013).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting)
(Nurjannah dalam Dermawan;Rusdi, 2013).
Menurut (Poter dan Perry dalam Dermawan;Rusdi, 2013),
Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan
dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang
perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya.Perawatandiriadalahsalah
satukemampuandasarmanusia dalam memenuhi
kebutuhannya,kesehatan dan kesejateraan sesuai dengan kondisi
kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperatawan dirinya
jikatidak dapat melakukan keperawatan diri(Depkes, 2000).
Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada
pasien dengangangguan jiwaterjadi akibatadanyaperubahan prosespikir
sehinggakemampuan untukmelakukanaktivitasperawatan dirimenurun.
Kurang perawatandiriterlihatdariketidakmampuanmerawatkebersihan diri
antaranya mandi, makan minum secara mandiri, berhias secara mandiri,
toileting(BAK/BAB) (Damaiyanti, 2012).
2. Penyebab
MenurutTarwotodanWartonah(2000),penyebabkurang
perawatan diriadalahkelelahanfisikdanpenurunankesadaran.
MenurutDepkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah:
a. Faktor prediposisi
Menurut Dermawan;Rusdi (2013), factor prediposisi yaitu sebagai
berikut:
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang
kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual,
cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.Menurut (Depkes
dalam Dermawan;Rusdi,2013),faktor-faktor yang mempengaruhi
personal hygiene adalah:
1) Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik
sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik Sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta
gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan
uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya
pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga
kebersihan kakinya.
5) Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
7) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
3. Tanda dan Gejala
Menurut (Depkes dalam Dermawan;Rusdi, 2013) tanda dan
gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
a. Fisik:
1) Badan bau, pakaian kotor.
2) Rambut dan kulit kotor.
3) Kuku panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) Penampilan tidak rapi
b. Psikologis:
1) Malas, tidak ada inisiatif.
2) Menarik diri, isolasi diri.
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi kurang
2) Kegiatan kurang
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
4) Cara makan tidak teratur
5) BAK dan BAB di sembarang tempat
4. Akibat
Akibat dari defisit perawatan diri adalah Gangguan
Pemeliharaan Kesehatan Gangguan pemelihaaan kesehatan ini bentuknya
bisa bermacam-macam. Bisa terjadinya infeksi kulit (scabies, panu,
kurap) dan juga gangguan yang lain seperti gastritis kronis (karena
kegagalan dalam makan), penyebaran penyakit orofecal (karena hiegene
bab/bak sembarangan) dan lain-lain (Depkes Dermawan;Rusdi, 2013).
5. Jenis
Menurut (Damaiyanti, 2012) jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisitperawatan diri :mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri sendiri.
b. Defisitperawatan diri : berpakaian
Hambatankemampuanuntukmelakukanata menyelesaikan aktivitas
berpakaian danberhias untuk diri sendiri.
c. Defisitperawatan diri :makan
Hambatan kemampuanuntukmelakukan atau menyelesaikan aktivitas
sendiri.
d. Defisitperawatan diri :eliminasi
Hambatnkemampuanuntukmelakukanatau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.
6. Mekanismekoping
Menurut Damaiyanti (2012), mekanismekopingberdasarkan
penggolongan di bagi menjadi 2yaitu:
a. MekanismeKoping Adaptif
Mekanisme kopingyangmendukungfungsiintegrasipertumbuhan
belajar dan mencapaitujuan. Kategoriini adalah klien bisa memenuhi
kebutuhan perawatan diri secaramandiri.
b. Mekanismekopingmaladaptif
Mekanisme kopingyangmenghambatfungsiintegrasi,memecah
pertumbuhan,menurunkanotonomidancenderung menguasai
lingkungan. Kategorinyaadalah tidak maumerawatdiri
7. Penatalaksanaan
PenatalaksanaanmanurutHerman(Ade, 2011)adalah sebagai
berikut:
a. Meningkatkan kesadarandan kepercayaan diri
b. Membimbingdan menolongklien merawat diri
c. Ciptakan lingkunganyangmendukung.
C. Pohon Masalah
effect
Kebersihan diri tidak adekuat (BAB/BAK, Makan minum
dan berdandan)
Core problem
Defisit perawatan diri
Isolasi Sosial
A. Kondisi Klien
Pakaian terlihat tidak rapi, bau badan tidak sedap, tidak dapat
merawat diri ( tidak mau makan ).
B. Diagnosa Keperawatan
Defisit perawatan diri
C. Tujuan
1. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
D. Tindakan
1. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
a. Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b. Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c. Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d. Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
2. Melatih pasien berdandan/berhias
a. Berpakaian
b. Menyisir rambut
c. Bercukur
d. Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Berhias
3. Melatih pasien makan secara mandiri
a. Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b. Menjelaskan cara makan yang tertib
c. Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d. Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
a. Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b. Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c. Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
STRATEGI PELAKSANAAN
MASALAH : DEFISIT PERAWATAN DIRI
PERTEMUAN KE - 1
SP1 Pasien:
Mendiskusikan pentingnya kebersihan diri, cara-cara merawat
diri dan melatih pasien tentang cara-cara perawatan kebersihan diri
Orientasi
“Selamat pagi, kenalkan saya Gung Sri”
Kerja
“Berapa kali T mandi dalam sehari? Apakah T sudah mandi hari ini?
Menurut T apa kegunaannya mandi ?Apa alasan T sehingga tidak bisa
merawat diri? Menurut T apa manfaatnya kalau kita menjaga kebersihan diri?
Kira-kira tanda-tanda orang yang tidak merawat diri dengan baik seperti apa
ya...?, badan gatal, mulut bau, apa lagi...? Kalau kita tidak teratur menjaga
kebersihan diri masalah apa menurut T yang bisa muncul ?” Betul ada kudis,
kutu...dsb.
“Apa yang T lakukan untuk merawat rambut dan muka? Kapan saja T
menyisir rambut? Bagaimana dengan bedakan? Apa maksud atau tujuan
sisiran dan berdandan?”
”Apa pula yang dilakukan setelah makan?” Betul, kita harus sikat gigi
setelah makan.
Terminasi
“Bagaimana perasaan T setelah mandi dan mengganti pakaian ? Coba
T
sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang baik yang sudah T
lakukan tadi ?”. ”Bagaimana perasaan Tina setelah kita mendiskusikan
tentang pentingnya kebersihan diri tadi ? Sekarang coba Tina ulangi lagi
tanda-tanda bersih dan rapi”
”Bagus sekali mau berapa kali T mandi dan sikat gigi...?dua kali pagi
dan sore, Mari...kita masukkan dalam jadual aktivitas harian. Nach... lakukan
ya T..., dan beri tanda kalau sudah dilakukan Spt M ( mandiri ) kalau
dilakukan tanpa disuruh, B ( bantuan ) kalau diingatkan baru dilakukan dan T
( tidak ) tidak melakukani? Baik besok lagi kita latihan berdandan. Oke?
Besok jam berapa mau latihan ? di tempat ini lagi latihannya iya ”
STRATEGI PELAKSANAAN
MASALAH : DEFISIT PERAWATAN DIRI
PERTEMUAN KE - 2
“Apa yang T lakukan setelah selesai mandi ?”apa T sudah ganti baju?
“Untuk berpakaian, pilihlah pakaian yang bersih dan kering. Berganti
pakaian yang bersih 2x/hari. Sekarang coba bapak ganti baju.. Ya, bagus seperti
itu”.
“Apakah T menyisir rambut ? Bagaimana cara bersisir ?”Coba kita
praktekkan, lihat ke cermin, bagus…sekali!
“Apakah T suka bercukur ?Berapa hari sekali bercukur ?” betul 2 kali
perminggu
“Tampaknya kumis dan janggut bapak sudah panjang. Mari Pak dirapikan
! Ya, Bagus !” (catatan: janggut dirapihkan bila pasien tidak memelihara janggut)
Terminasi
Kerja
“Bagaimana kebiasaan sebelum, saat, maupun setelah makan? Dimana T
makan?”
“Sebelum makan kita harus cuci tangan memakai sabun. Ya, mari kita
praktekkan! “Bagus! Setelah itu kita duduk dan ambil makanan. Sebelum disantap
kita berdoa dulu. Silakan T yang pimpin!. Bagus..
“Mari kita makan.. saat makan kita harus menyuap makanan satu-satu
dengan pelan-pelan. Ya, Ayo...sayurnya dimakanya.”“Setelah makan kita
bereskan piring,dan gelas yang kotor. Ya betul.. dan kita akhiri dengan cuci
tangan. Ya bagus!” Itu Suster Ani sedang bagi obat, coba...T minta sendiri
obatnya.”
Terminasi
Kerja
Terminasi
“ Nach...besok kita ketemu lagi, di mana kita bisa ketemu, di sini lagi iya ?
jam 14.00 WIB, untuk melihat sudah sejauhmana T bisa melakukan jadual
kegiatannya.
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Masalah Utama
Waham
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak
sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut mungkin aneh (misal mata
saya adalah komputer yang dapat mengontrol dunia) atau bisa pula tidak
aneh hanya sangat tidak mungkin (misal FBI mengikuti saya) dan tetap
dipertahankan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. Waham
sering ditemukan pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham
yang spesifik sering ditemukan pada skizophrenia. Semakin akut psikosis
semakin sering ditemui waham diorganisasi dan waham tidak sistematis
(Dermawan & Rusdi, 2013).
Waham adalah keyakinan yang tidak berdasarkan realitas, akan
tetapi dipertahankan oleh pasien (Prabowo, 2014).
Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan adanya waham.
Waham atau delusi adalah ide yang salah dan bertentangan atau
berlawanan dengan semua kenyataan dan tidak ada kaitannya degan latar
belakang budaya (Keliat, 2009).
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat
terus-menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan(Budi Anna Keliat,
2006).
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian
realitas yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya klien (Aziz R, 2003).
Ramdi (2000) menyatakan bahwa itu merupakan suatu
keyakinan tentang isi pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan atau
tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang kebudayaannya,
keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak dapat diubah-
ubah.
2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Menurut Prabowo (2014), faktor yang mempengaruhi yaitu sebagai
berikut :
1) Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan menggangu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang
berakhir dengan gangguan presepsi, pasien menekankan
perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi
tidak efektif.
2) Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbulnya waham.
3) Faktor Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda yang bertentangan
dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan peningkatan
terhadap kenyataan.
4) Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak atau perubahan pada sel kortikal dan lindik.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Prabowo (2014), faktor yang mempengaruhi yaitu sebagai
berikut :
1) Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang
berarti atau diasingkan dari kelompok.
2) Faktor Biokimia
Dopamin, norepinepin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menjadi penyebab waham pada seseorang.
3) Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga pasien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenagkan.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Dermawan & Rusdi (2013), tanda dan gejala yang terjadi yaitu
sebagai berikut :
a. Kongnitif
1) Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
2) Individu sangat percaya pada keyakinannya
3) Sulit berpikir realita
4) Tidak mampu mengambil keputusan
b. Afektif
1) Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
2) Afek tumpul
Perilaku dan Hubungan Sosial
c. Hipersensitif
1) Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
2) Depresi
3) Ragu-ragu
4) Mengancam secara verbal
5) Aktivitas tidak tepat
6) Streotif
7) Impulsive
8) Curiga
d. Fisik
1) Higiene kurang
2) Muka pucat
3) Sering menguap
4) Berat badan menurun
4. Akibat
Akibat dari waham pasien dapat mengalami kerusakan
komunikasi verbal yang ditandai dengan pikiran tidak realitis, flight of
ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan
kotak mata yang kurang. Akibat yang lain yang ditimbulkannya adalah
beresiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan (Prabowo, 2014).
C. Pohon Masalah
Resiko perilaku kekerasan Effect
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
Keliat, Budi Anna. (2006). Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa.
Jakarta : FIK, Universitas Indonesia
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta :
Salemba Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Tim Direktorat Keswa. Standart asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1.
Bandung: RSJP.2000
Strategi Pelaksanaan
Waham
Strategi Pelaksanaan waham menurut (Dermawan, Rusdi, 2013) :
SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi
Fase Orientasi
perawat yang dinas pagi ini di ruang Sena. Saya dinas dari pukul 07.00-
14.00 nanti. Saya akan m0erawat abang hari ini. Nama abang siapa ?
Fase Kerja
“Saya mengerti Bang Beni merasa bahwa Bang Beni adalah Nabi,
tapi sulit bagi saya untuk mempercayainya karena setahun saya semua
Nabi sudah tidak ada lagi, bisa kita lanjutkan pembicaraan yang tadi
terputus Bang?”.
“Oo...jadi Bang Beni merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain
“Jadi ibu yang terlalu mengatur-atur ya Bang, juga kakak dan adik
Fase Terminasi
dengan saya?”
?”
Fase Orientasi
abang?”
“Bagaimana kalau kita bicarakan hobi tersebut sekarang ?”
tersebut?”
Fase Kerja
“Apa saja hobi Bang Beni ? saya catat ya bang, terus apa lagi?”
“Wah..rupanya Bang Beni pandai main volly ya, tidak semua orang bisa
bermain volly seperti iyu lho” ( atau nama lain yang sesuai diucapkan pasien)
“Bisa Bang Beni ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar main
“Bisa Bang Beni peragakan kepada saya bagimana bermain volly yang
baik itu?”
“Coba kita buat jadwal untuk kemampuan bang Beni ini ya, berapa kali
“Apa yang abang Beni harapkan dari kemampuan bermain volly ini?”
Fase Terminasi
“Setelah ini coba bang Beni lakukan latihan volly sesuai dengan jadwal
setuju ?”
“Nanti kita akan membicarakan tentang obat yang harus bang Beni
minum, setuju?”
Fase Orientasi
“Sesuai dengan janji kita dua hari yang lalu bagimana kalau sekarang
Fase Kerja
“Bang Beni berapa macam obat yang diminum/jam berapa saja minum
obat?”
“Bang Beni perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya
juga tenang”
“Obatnya ada tiga macam Bang, yang warnanya oranye namanya CPZ
gunanya agar tenang, yang putih ini namanya THP gunannya agar rileks, dan
yang merah jambu ini namanya HLP gunanya agar pikiran teratur. Semuanya ini
“Bila nanti setelah minum obat mulut abang terasa kering, untuk
membantu mmengatasinya abang bisa banyak minum dan mengisap-isap es
batu”.
“Sebelum minum obat ini bang Beni dan ibu mengecek label di kotak
obat apakah benar nama Beni tertulis di situ, berapa dosis atau butir yang harus
diminum, jam berapa saja harus diminum. Baca juga apakah nama obatnya
sudah benar”
harus diminum dalam waktu lama. Agar tidak kambuh lagi sebaiknya bang beni
dengan dokter”
Fase Terminasi
obat yang bang Beni minum ? apa saja nama obatnya? Jam berapa minum obat?”
“Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan abang. Jangan lupa minum
obatnya dan nanti saat makan siang minta sendiri obatnya pada perawat”.
“Bang besok kita ketemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah
sampai besok”.
SP 1 Keluarga : Membina hubungan saling percaya dengan keluarga,
pasien.
Fase Orientasi
yang dinas di ruang melati ini. Saya yang merawat bang Beni selama ini. Nama
Fase Kerja
“Pak, bu, apa masalah bapak/ibu hadapi dalam merawat bang Beni? Apa
yang sudah dilakukan di rumah ? dalam menghadapi siakap anak ibu dan bapak
yang slalu mengaku-ngaku sebagai seorang nabi tetapi nyatanya bukan nabi
merupakan salah satu gangguan proses berpikir. Untuk itu akan saya jelaskan
sikap dan cara menghadapinya. Setiap kali anak bapak/ibu berkata bawha ia
“pertama : bapak/ibu mengerti beni merasa seorang nabi, tapi sulit bagi
merninggal.
“kedua : bapak dan ibu harus lebih sering memuji beni jika ia melakukan
berinteraksi dengan Beni. Bapak ibu dapat bercakap-cakap dengan Beni tentang
kemampuan dan keinginan. Coba ceritakan kepada bapak/ibu. Beni kan punya
mencoba berikan pujian) “pak/ibu, Beni perlu minum obat ini agar pikirannya
gunannya agasr tenang, yang putih ini namanya THP gunannya agar rileks, dan
yang merah jambu ini namanya HLP gunannya agar pikiran teratur. Semuanya
harus diminum secara teratur 3 kali seahari jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7
Bang beni sudah mempunyai jadwal minum obat. Jika dia minta obat
Fase terminasi
“setelah ini coba bapak dan ibu lakukan apa yang sudah saya jelaskan
“baiklah bagimana kalau dua hari lagi bapak dan ibu datang kembali ke
sini dan kita akan mencoba melakukan langsung cara merawat Beni sesuai
dengan pembicaraan kita tadi”
“baik saya tunggu, kita ketemmu lagi di tempat yang ini ya bapak,bu”.
Fase Orientasi
“assalamu’alaikum pak, bu, sesuai janji saya dua hari yang lalu kita
“Bagaimana pak, bu, ada pertanyaan tentang cara merawat yang kita
“Kita akan coba di sini dulu, setelah itubaru kita coba langsung ke Beni
ya”.
Fase kerja
“Sekarang anggap saya Beni yang sedang mengaku –aku sebagai nabi,
coba bapak dan ibu praktekkan cara bicara yang benar bila Beni sedang dalam
keadaan yang seperti ini. Bagus , sekarang coba cara memotivasi Beni minum
obat dan melakukan kegiatan positifnya sesuai jadwal. Bagus sekali, ternyata
Fase terminasi
“Bagimana perasaan bapak dan ibu setelah kita berlatih cara merawat
Beni?”
“Setelah ini coba bapak dan ibu lakukan apa yang sudah dilatih tadi
setiap kali bapak dan ibu membesuk Beni. Baiklah bagaimana kalau dua hari
lagi bapak dan ibu datang kembali lagi ke sini dan kita akan mencoba lagi cara
“Baik saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat ini ya pak, bu”’.
Fase Orientasi :
“Bagaimana pak, bu, selama bapak dan ibu besuk apakah sudah terus
“Berapa lama bapak dan ibu punya waktu ? baik, 30 menit saja, sebelum
Fase Kerja
Beni, agar ia tetap menjalankannya di rumah, dan jangan lupa memberi tanda M
ditampilkan oleh anak ibu dan bapak selama di rumah. Kalau misalnya Beni
orang lain. Jika hal ini terjadi segera hubungi Perawat Erlin di Puskesmas Indera
Puri, Puskesmas terdekat dari rumah ibu dan bapak, ini nomor telepon
Fase Terminasi :
“Ini jadwal kegiatan hariannya. Ini rujukan untuk Perawat Erlin di PKM
Indera Puri. Kalau ada apa-apa bapak/ibu boleh juga menghubungi kami.
Di SUSUN OLEH :
NOFITA MUNINGGARSARI
A. Masalah Utama
Resiko Bunuh Diri
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri
dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan
keputusan terkahir dari individu untuk memecahkan masalah yang
dihadapi (Budi Anna Kelihat, 2001).
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart (2007)dalam buku
“Keperawatan Jiwa” dinyatakan sebagai suatu aktivitas yang jika tidak
dicegah, dimana aktivitas ini dapat mengarah pada kematian.
Perilaku destruktif diri yaitu setiap aktifitas yang jika tidak
dicegah dapat mengarah kepada kematian (Gail Wiscara Stuart, dan
Sandra J. Sundeen, 2008).
Perilaku bunuh diri meliputu isyarat-isyarat, percobaan atau
ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau
mernyakiti diri sendiri.Haroid I. Kaplan & Berjamin J. Sadock
(2002)berpendapat bahwa bunuh diri merupakan kematian yang
diperbuat oleh sang pelaku sendiri secara sengaja.
Bunuh diri adalah segala perbuatan seseorang yang dapat
mengahiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat. Selama tahun 1950
sampai dengan 1988 rata-rata bunuh diri pada remaja yaitu usia antara
15 dan 19 tahun (Attempt suicide, 1991). Ditambahkan pula oleh Ann
Isaacs (2004), bahwa bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan
nyawa sendiri.
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri
yang dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya.
Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme
koping yang digunakan dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan
individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk beradaptasi,
sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat
terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan
hubungan yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat
merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri
keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri adalah segala upaya perbuatan seseorang dengan
sengaja yang tahu akan akibatnya yang dapat mengakhiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat (Maramis 1998 dalam Yosep, 2009).
Bunuh diri adalah tindakan agresif terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan (Keliat 1993 dalam Dalami, 2009).
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan
oleh pasien untuk mengakhiri kehidupannya (Keliat, 2011).
2. Etiologi
Resiko bunuh diri dapat disebabkan karena pelarian dari
penganiayaan atau pemerkosaan, situasi keluarga yang kacau,
kehilangan orang yang dicintai, keadaan fisik, perasaan tidak disayang
atau tidak dikritik (Dalami, 2009).
Harga diri rendah adalah perilaku negative terhadap diri dan
perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negative, yang dapat
diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Towsend,
1998).
Mekanismenya :
Harga diri klien yang rendah menyebabkan klien merasa malu,
dianggap tidak berharga dan tidak berguna kemudian klien memiliki
keinginan untuk mengakhiri hidupnya karena dengan seperti itu klien
pun merasa tidak satu orangpun yang akan merasa kehilangan setelah
klien mati. Pada klien dengan resiko bunuh diri dapat disebabkan juga
adanya perubahan sensori persepsi berupa halusinasi, baik dengan
visual maupun lainnya.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Fitria (2009), tanda gejala klien dengan risiko bunuh diri
anatara lain adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah atau keputusasaan.
d. Impulsif.
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang obat dosis mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik,
marah, dan mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis, dan penyalahgunaan alcohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau
terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau
mengalami kegagalan dalam karier).
l. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
m. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
n. Pekerjaan.
o. Konflik interpersonal.
p. Latar belakang keluarga.
q. Orientasi seksual.
r. Sumber-sumber personal.
s. Sumber-sumber sosial.
t. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
4. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
a. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal
bahwa seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri.
Orang yang ingin bunuh diri mungkin mengungkapkan secara
verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama lagi
atau mengomunikasikan secara non verbal.
b. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang
dilakukan oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika
tidak dicegah.
c. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan
terlewatkan atau diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan
yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak ditemukan tepat pada
waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis
bunuh diri, meliputi:
a. Bunuh Diri Anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari
oleh faktor lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga
mendorong seseorang untuk bunuh diri.
b. Bunuh Diri Altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan
dengan kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan
tugasnya.
c. Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan
faktor dalam diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
5. Mekanisme Koping
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan
ego yang berhubungan dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung
adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.
Seorang klien mungkin memakai beberapa mekanisme
koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk
denial, rasionalization, regression, dan magical thinking. Mekanisme
pertahanan diri yang ada sebaiknya tidak ditentang tanpa memberikan
koping alternative. Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan
mekanisme koping. Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya
terakhir untuk mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi
masalah. Bunuh diri yang terjadi merupaka kegagalan koping dan
mekanise adaftif seseorang (Fitria, 2009).
C. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Anna Budi Keliat, SKp. 2000. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial
Menarik Diri, Jakarta : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Stuart, GW and Laraia. 2005. Principles and practice of psychiatric nursing, 8ed.
Elsevier Mosby : Philadelphia.
Fitria Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Tindakan Keperawatan 7 Diagnosa.
Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC.
KERJA
“Baiklah, tampaknya B membutuhkan pertolongan segera karena ada
keinginan untuk mengakhiri hidup.” “Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar B
ini untuk memastikan tidak ada benda-benda yang membahayakan B.”
“Nah B, karena B tampaknya masih memiliki keinginan yang kuat untuk
mengakhiri hidup B, maka saya tidak akan membiarkan B sendiri.”
“Apa yang B lakukan kalau keinginan bunuh diri muncul? Kalau
keinginan itu muncul, maka untuk mengatasinya B harus langsung minta bantuan
kepada perawat atau keluarga dan teman yang sedang besuk. Jadi usahakan B
jangan pernah sendirian ya..?”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan B setelah kita bercakap-cakap? Bisa sebutkan
kembali apa yang telah kita bicarakan tadi? Bagus B. Bagaimana masih ada
dorongan untuk bunuh diri? Kalau masih ada perasaan/dorongan bunuh diri,
tolong panggil segera saya atau perawat yang lain. Kalau sudah tidak ada
keinginan bunuh diri, saya akan ketemu B lagi, untuk membicarakan cara
meningkatkan harga diri setengah jam lagi dan disini saja.”
KERJA
“Apa saja dalam hidup B yang perlu disyukuri, siapa saja kira-kira yang
sedih dan rugi kalau B meninggal. Coba B ceritakan hal-hal yang baik dalam
kehidupan B. Keadaan yang bagaimana yang membuat B merasa puas? Bagus.
Ternyata kehidupan B masih ada yang baik yang patut B syukuri. Coba B
sebutkan kegiatan apa yang masih dapat B lakukan selam ini?.” “Bagaimana kalau
B mencoba melakukan kegiatan tersebut, mari kita latih.”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan B setelah kita bercakap-cakap? Bisa sebutkan
kembali apa-apa saja yang B patut syukuri dalam hidup B? Ingat dan ucapkan hal-
hal yang baik dalam kehidupan B jika terjadi dorongan mengakhiri kehidupan
(afirmasi). Bagus B. Coba B ingat-ingat lagi hal-hal lain yang masih B miliki dan
perlu disyukuri!. Nanti jam 12 kita bahas tentang cara mengatasi masalah dengan
baik. Tempatnya dimana? Baiklah. Tapi kalau ada perasaan-perasaan yag tidak
terkendali segera hubungi saya ya!”
Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pasien percobaan
bunuh diri
SP 1 keluarga: Percakapan dengan keluarga untuk melindungi pasien
yang mencoba bunuh diri.
ORIENTASI
“Assalamu’alaikum Bapak/Ibu, kenalkan saya A yang merawat putra
bapak dan ibu dirumah sakit ini”.
“Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang cara menjaga agar B
tetap selamat dan tidak melukai dirinya sendiri. Bagaimana kalau disini saja kita
berbincang-bincangnya Pak/Bu?” Sambil kita awasi terus B.
KERJA
“Bapak/Ibu, B sedang mengalami putus asa yang berat karena kehilangan
pekerjaan dan ditinggal istrinya, sehingga sekarang B selalu ingin mengakhiri
hidupnya. Karena kondisi B yang dapat mengakhiri kehidupannya sewaktu-waktu,
kita semua perlu mengawasi B terus-menerus. Bapak/Ibu dapat ikut mengawasi
ya.. pokoknya kalau dalam kondisi serius seperti ini B tidak boleh ditinggal
sendirian sedikitpun”
“Bapak/Ibu bisa bantu saya untuk mengamankan barang-barang yang
dapat digunakan B untuk bunuh diri, seperti tali tambang, pisau, silet, tali
pinggang. Semua barang-barang tersebut tidak boleh ada disikitar B.” “Selain itu,
jika bicara dengan B fokus pada hal-hal positif, hindarkan pernyataan negatif”.
“Selain itu sebaiknya B punya kegiatan positif seperti melakukan
hobbynya bermain sepak bola, dll supaya tidak sempat melamun sendiri.”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah mengetahui cara mengatasi
perasaan ingin bunuh diri?”
“Coba Bapak/Ibu sebutkan lagi cara tersebut?” “Baik mari sama-sama kita
temani B, sampai keinginan bunuh dirinya hilang.”
TERMINASI
“Bagaimana Pak/Bu? Ada yang mau ditanyakan? Bapak/Ibu dapat ulangi
kembali cara-cara merawat anggota keluarga yang ingin bunuh diri?”
“Ya bagus. Jangan lupa pengawasannya ya! Jika ada tanda-tanda
keinginan bunuh diri segera hubungi kami. Kita dapat melanjutkan untuk
pembicaraan yang akan datang tentang cara-cara meningkatkan harga diri B dan
penyelesaian masalah.”
TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak dan ibu setelah kita berlatih cara merawat B
di rumah?”
“Setelah ini coba bapak dan ibu lakukan apa yang sudah dilatih tadi setiap
kali bapak dan ibu membesuk B”
“Baiklah bagaimana kalau dua hari lagi bapak dan ibu datang kembali
kesini dan kita akan mencoba lagi cara merawat B sampai bapak dan ibu lancar
melakukannya”
“Jam berapa bapak dan ibu bisa kemari?”
“Baik saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat ini ya pak, bu”