Anda di halaman 1dari 39

1

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan alam yang

alami dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial

budaya ekonomi masyrakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan.

Ekowisata menitik beratkan pada tiga hal utama yaitu; keberlangsungan alam atau

ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi dapat diterima dalam

kehidupan sosial masyarakat, sehingga kegiatan ekowisata secara langsung

memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati

pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal. (Yoswaty dan

Samiaji, 2013). Kegiatan ekowisata dapat meningkatkan pendapatan untuk

pelestarian alam yang dijadikan sebagai objek wisata dan menghasilkan

keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat yang berada di daerah tersebut

atau daerah setempat (Subadra, 2008).

Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki ekosistem mangrove

yang terluas dengan luas mencapai 143 ribu hektar. Dengan luasan hutan

mangrove yang ada, Provinsi Riau diharapkan menjadi pusat riset dan

pengembangan hutan mangrove di Pulau Sumatera (Maulana, 2015). Hutan

mangrove Riau dapat dijumpai dibeberapa daerah seperti Dumai, Bengkalis,

Rokan Hilir, Kepulauan Meranti, Pelalawan, Siak dan Indragiri Hilir. Bengkalis

memiliki kawasan hutan mangrove yang luas. Luas hutan mangrove di Kabupaten

Bengkalis pada tahun 1997 diperkirakan mencapai 69.000 ha, berkurang menjadi

50.765,04 ha pada tahun 2002 (Kartaharja, 2011).


2

Saat ini hutan mangrove telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat,

bentuk pemanfaatan hutan mangrove menurut Kustanti (2011) yaitu: hasil hutan

mangrove baik hasil kayu dan non-kayu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat

sebagai bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku kertas, bahan makanan,

kerajinan, obat-obatan, dan pariwisata (ekowisata mangrove). Selain itu, hutan

mangrove dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Bentuk

kegiatan dalam pemanfaatan ekowisata mangrove meliputi: lintas alam,

pengamatan jenis tumbuhan dan satwa, pendidikan, fotografi, piknik, camping

dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan memberikan kepuasan tersendiri

bagi pengunjung dan dapat memberikan manfaat atau keuntungan bagi

masyarakat yang berhubungan langsung dengan kegiatan tersebut.

Salah satu daerah di Kabupaten Bengkalis yang memiliki peluang untuk

dikembangkan sebagai kawasan ekowisata mangrove adalah Desa Sebauk. Hutan

mangrove Desa Sebauk juga telah dilirik oleh pemerintah setempat, hal ini

ditunjukkan dengan kunjungan Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, M.B.A.

yang didampingi oleh beberapa pejabat daerah di lingkungan Pemerintah

Kabupaten Bengkalis pada bulan Agustus 2017 untuk meninjau keadaan hutan

mangrove tersebut. Hutan mangrove tersebut juga sering mendapat kunjungan

dari wisatawan lokal dengan kepentingan berbeda-beda.

Dengan demikian,kawasan hutan mangrove Desa Sebauk memiliki potensi

dan peluang untuk menjadi kawasan ekowisata. Oleh karna itu penulis merasa

tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan ekowisata tentang

Kajian Potensi hutan mangrove untuk dijadikan objek ekowisata di Desa Sebauk

Kabupaten Bengkalis provinsi Riau.


3

I.2. Rumusan Masalah

Pembentukan ekowisata mangrove merupakan suatu usaha untuk

memanfaatkan dan menjaga ekosistem agar tetap lestari dengan mengikutsertakan

masyarakat dalam pengelolaannya sehingga ini bisa menciptakan alternatif

ekonomi bagi masyarakat sekitar yang selama ini hanya memanfaatkan hutan

mangrove secara langsung tanpa memperhatikan dampaknya. Hutan mangrove

Desa Sebauk masih alami namun daerah ini masih tercemar akan limbah rumah

tangga dan sampah plastik hal ini tentu saja sanggat berpengaruh pada kelestarian

ekosistem mangrove. Informasi yang lengkap diperlukan untuk mendukung

terwujudnya ekowisata hutan mangrove Desa Sebauk. Guna memenuhi kondisi

tersebut, maka perlu dijawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana potensi ekosistem mangrove yang dimiliki oleh Desa Sebauk

sebagai daerah tujuan ekowisata.?


2. Sejauh mana tingkat partisipasi dan persepsi pelaku kebijakan (masyarakat dan

pemangku kebijakan) Desa Sebauk dalam menjaga kelestarian ekosistem

mangrove. ?

I.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui potensi ekosistem mangrove di Desa Sebauk untuk dijadikan

kawasan ekowisata hutan mangrove.


2. Mengetahui tingkat partisipasi dan persepsi pelaku kebijakan (masyarakat dan

pemangku kebijakan).

Manfaatnya ialah diharapkan dapat bermanfaat bagi khalayak luas dan

dapat memberikan masukan/informasi kepada masyarakat dan pihak pemangku


4

kebijakan. Dalam hal ini pemerintah daerah dan semua pihak yang terkait dalam

pembentukan Desa Sebauk sebagai kawasan ekowisata hutan mangrove.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Mangrove

2.1.1. Pengertian Ekosistem Mangrove

Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup

di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Hutan mangrove

merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies

pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal
5

dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang

besar dan arus pasang surut yang kuat. Ekosistem mangrove banyak ditemukan di

pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung

(Bengen, 2001).

Hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan hujan tropis yang

terdapat disepanjang garis pantai perairan tropis dan mempunyai ciri-ciri

tersendiri yang sangat unik. Hutan ini meskipun termasuk dalam golongan besar

hutan hujan tropis namun mungkin karena letaknya di daerah pantai/wilayah

intertidal sehingga tanaman mangrove digolongkan sebagai Halophytes (saline

plants). Hutan ini merupakan peralihan habitat lingkungan darat dan lingkungan

laut, maka sifat-sifat yang dimiliki tidak persis sama seperti sifat-sifat yang

dimiliki hutan hujan tropis di daratan (Wibisono, 2010).

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas

flora dan fauna daerah pantai. Selain menyediakan keanekaragaman hayati

(biodiversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan

menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove

merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat mengasuh dan

membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground)

dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai juvenile dan larva ikan serta

kerang (shellfish) dari predator. Habitat mangrove juga merupakan tempat hidup

berbagai macam hewan buas/predator (Muhaerin, 2008).

2.1.2. Karakteristik dan Zonasi Hutan Mangrove

Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai

yang datar. Biasanya di tempat yang tidak ada muara sungainya ekosistem
6

mangrove terdapat agak tipis, namun pada tempat yang mempunyai muara sungai

besar atau delta yang alirannya banyak mengadung lumpur dan pasir, mangrove

biasanya tumbuh meluas. Mangrove tidak tumbuh di pantai terjal dan berombak

besar dengan arus pasang surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan

terjadinya pengendapan lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk

pertumbuhannya (Nontji, 2005).

Menurut Bengen (2001) karakteristik ekosistem mangrove, yaitu:

1) Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,

berlempung atau berpasir.


2) Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun

tergenang hanya saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan

komposisi vegetasi hutan mangrove.


3) Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
4) Terlindung dari gelombang dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas

payau (2-22 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰).


5) Banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuari, delta dan

daerah pantai yang terlindung.

Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami

akan terbentuk zonasi vegetasi mangrove. Berikut ini adalah sebaran jenis

mangrove berdasarkan zonasi menurut Bengen (2004).

1) Daerah yang paling dekat dengan laut dan substrat agak berpasir, sering

ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini, Avicennia sp biasanya berasosiasi

dengan Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada substrat lumpur dalam yang

kaya bahan organik.


2) Lebih ke arah darat, ekosistem mangrove umumnya didominasi oleh jenis

Rhizophora sp, pada zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp.
3) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp.
7

4) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah, biasa

ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberapa jenis palem lainnya.

Selanjutnya menurut Noor et al., (2006), secara sederhana hutan mangrove

umumnya tumbuh dalam empat zona, yaitu:

1) Mangrove terbuka yaitu mangrove yang berhadapan dengan laut, zona ini

dikuasai dari jenis Avicennia sp, Sonneratia sp, dimana area pantai tergenang

oleh air serta substratnya pasir berlumpur yang kaya akan bahan organik.
2) Mangrove tengah yaitu mangrove yang terletak di belakang mangrove zona

terbuka. Vegetasi yang mendominasi di daerah ini biasanya dari jenis

Rhizhophora sp dan Bruguira sp.


3) Mangrove payau yaitu mangrove yang berada di sepanjang sungai berair payau

hingga hampir tawar. Zona ini biasanya di dominasi oleh komunitas Nypa sp

dan Sonneratia sp.


4) Mangrove daratan yaitu mangrove yang berada di zona perairan payau atau

hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis

yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa),

Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp dan

Xylocarpus molucensis. Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi

dibandingkan dengan zona lainnya.

Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu

pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan. Seperti tipe

tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan terhadap hempasan gelombang,

salinitas serta pengaruh pasang surut (Dahuri, 2003).


8

2.1.3. Fauna di Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan bentuk pertemuan lingkungan darat dan

laut (ekoton), sehingga hewan dari kedua lingkungan ini dapat ditemukan di

dalamnya. Sebagian kecil hewan menggunakan mangrove sebagai satu-satunya

habitat, sedang lainnya berpindah-pindah berdasarkan musim, tahapan siklus

hidup, atau pasang surut (Tomlinson dalam Setyawan, 2005).

Menurut Bengen (2001), komunitas fauna ekosistem mangrove

membentuk percampuran antara 2 (dua) kelompok:

1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas

pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini

tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove,

karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya diluar jangkauan air laut

pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan

makanannya berupa hewan laut pada saat air surut.


2) Kelompok fauna perairan/akuatik, terdiri atas dua tipe yaitu:
 Yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang.
 Yang menempati substrat baik keras (akar dan batang mangrove) maupun

lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata

lainnya.

Ekosistem mangrove memberikan lima tipe habitat bagi hewan (SNM,

2003):

1) Tajuk pohon yang dihuni oleh burung, mamalia dan serangga.


2) Lubang genangan air pada batang yang dihuni serangga (terutama nyamuk).
3) Permukaan tanah sebagai habitat kerang dan ikan gelodok.
4) Lubang pada tanah sebagai habitat kepiting dan katak.
5) Saluran saluran air sebagai habitat ikan/udang.
9

2.1.4. Fungsi dan Manfaat Vegetasi Mangrove

Keberadaan ekosistem mangrove memiliki potensi ekologis dan ekonomi.

Menurut Wibisono (2005), secara ekologis ekosistem mangrove mempunyai

beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, diantaranya:

1) Sebagai tempat peralihan dan penghubung antara lingkungan darat dan

lingkungan laut.
2) Sebagai penahan erosi pantai karena hempasan ombak dan angin serta sebagai

pembentuk daratan baru.


3) Merupakan tempat ideal untuk memijah (spawning ground) dari berbagai jenis

larva udang dan ikan.


4) Sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi

komoditi perdagangan yang bisa menambah kesejahteraan penduduk setempat.

Secara ekonomi, mangrove juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat

pantai untuk bahan bangunan, bahan pembuatan kapal, kayu bakar serta bahan

baku industri arang maupun industri kertas. Tegakan mangrove dapat melindungi

pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang atau intrusi air laut.

Mangrove juga telah terbukti memainkan peranan penting dalam melindungi

pesisir gempuran badai dan tsunami (Fery, 2010).

Hasil hutan mangrove baik hasil kayu dan non-kayu dapat dimanfaatkan

oleh masyarakat sebagai bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku kertas, bahan

makanan, kerajinan, obat-obatan, dan pariwisata (Kustanti, 2011).

2.2. Ekowisata

2.2.1. Defenisi Ekowisata

Ekowisata merupakan salah satu produk pariwisata alternatif yang

mempunyai tujuan membangun pariwisata berkelanjutan yaitu pembangunan


10

pariwisata yang secara ekologis memberikan manfaat yang layak secara ekonomi

dan adil secara etika, serta memberikan manfaat sosial terhadap masyarakat.

Kebutuhan wisatawan dapat dipenuhi dengan tetap memperhatikan kelestarian

kehidupan sosial-budaya. Serta memberi peluang bagi generasi muda sekarang

dan yang akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya (Subadra,

2008).

Ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan menyertakan aspek

pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat

dengan pengelolaan kelestarian ekosistem pesisir dan laut. Kegiatan ekowisata

berkembang sebagai respon kejenuhan wisatawan akan obyek-obyek wisata

buatan. Wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara pada saat ini memiliki

kecenderungan akan obyek wisata yang bersifat menyatu dengan alam.

Kecenderungan ini dapat dimanfaatkan dalam pengembangan ekowisata di daerah

yang memiliki keanekaragaman ekologi. Salah satu potensi alam yang dapat

dijadikan ekowisata yaitu ekosistem mangrove (Majid, 2014).

Kegiatan ekowisata menghargai potensi sumberdaya lokal dan berbasiskan

masyarakat sehingga mencegah terjadinya perubahan kepemilikan lahan, tatanan

sosial dan budaya masyarakat. Masyarakat berperan sebagai pelaku dan penerima

manfaat utama, disamping itu ekowisata juga mendukung upaya pengembangan

ekonomi yang berkelanjutan. Serta memberikan kesempatan kerja bagi

masyarakat dan menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat (Rizky, 2013).

2.2.2. Prinsip dan Kriteria Ekowisata

Menurut UNESCO (2009), ada lima prinsip dasar

pengembangan/pembentukan ekowisata di Indonesia yaitu:


11

1) Pelestarian, prinsip kelestarian pada ekowisata adalah kegiatan ekowisata yang

dilakukan tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dan

budaya setempat.
2) Pendidikan, kegiatan pariwisata yang dilakukan sebaiknya memberikan unsur

pendidikan. Ini bisa dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan

memberikan informasi menarik seperti nama dan manfaat tumbuhan dan

hewan yang ada disekitar daerah wisata, Kegiatan pendidikan bagi wisatawan

ini akan mendorong upaya pelestarian alam maupun budaya. Kegiatan ini dapat

didukung oleh alat bantu seperti brosur, leaflet, buklet atau papan informasi.
3) Pariwisata, pariwisata adalah aktivitas yang mengandung unsur kesenangan

dengan berbagai motivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu lokasi.


4) Ekonomi, ekowisata juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat terlebih

lagi apabila perjalanan wisata yang dilakukan menggunakan sumber daya lokal

seperti transportasi, akomodasi dan jasa pemandu Ekowisata yang dijalankan

harus memberikan pendapatan dan keuntungan sehingga dapat terus

berkelanjutan.
5) Partisipasi masyarakat setempat, partisipasi masyarakat akan timbul, ketika

alam/budaya itu memberikan manfaat langsung/tidak langsung bagi

masyarakat. Agar bisa memberikan manfaat maka alam/ budaya itu harus

dikelola dan dijaga. Begitulah hubungan timbal balik antara atraksi wisata-

pengelolaan manfaat yang diperoleh dari ekowisata dan partisipasi.

Menurut Yulianda (2007), prinsip dasar ekowisata dapat dibagi menjadi: 1)

Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam

dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan

krakter alam dan budaya setempat; 2) Pendidikan konservasi lingkungan; 3)

Pendapatan langsung untuk kawasan; 4) Partisipasi masyarakat dalam


12

perencanaan; 5) Penghasilan masyarakat; 6) Menjaga keharmonisan dengan alam;

7) Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; 8) Kontribusi pendapatan bagi

negara.

Ekowisata memiliki tiga kriteria, yaitu: 1) Memberikan nilai konservasi

yang dapat dihitung; 2) Melibatkan masyarakat; 3) Menguntungkan dan dapat

memelihara dirinya sendiri. Ketiga kriteria tersebut dapat dipenuhi jika setiap

kegiatan ekowisata memadukan empat komponen, yaitu: 1) Ekosistem, 2)

Masyarakat, 3) Budaya dan 4) Ekonomi (Tuwo, 2011).

2.2.3. Ekowisata Mangrove

Ekosistem mangrove dengan keunikan yang dimilikinya merupakan

sumberdaya alam yang sangat berpotensi. Potensi yang bernilai tinggi dan dapat

diambil yaitu untuk dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata. Suatu upaya

pemanfaatan sumberdaya lokal yang optimal adalah dengan membentuk atau

mengembangkan pariwisata dengan konsep ekowisata (Satria, 2009).

Penerapan sistem ekowisata di ekosistem mangrove ini merupakan suatu

pendekatan dalam pemanfaatan ekosistem tersebut secara lestari. Kegiatan

ekowisata adalah alternatif yang efektif untuk menanggulangi permasalahan

lingkungan di ekosistem ini seperti tingkat eksploitasi yang berlebihan oleh

masyarakat dengan menciptakan alternatif ekonomi bagi masyarakat (Muhaerin,

2008). Melalui penyelenggaraan kegiatan ekowisata diwilayah pesisir, keberadaan

hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem pesisir yang penting, dilindungi

sekaligus dikembangkan sebagai atraksi wisata dengan berbagai kegiatan yang

menarik. (Mukaryanti dan Saraswati, 2005).


13

Berbagai macam produk dan jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari

ekosistem hutan mangrove yaitu Salah satu jasa lingkungan yang berpeluang

dikembangkan dan tidak merusak ekosistem hutan mangrove adalah ekowisata.

Kegiatan ekowisata bisa termanfaatkan bila telah dilakukan pembenahan oleh

manusia, ekowisata merupakan paket perjalanan menikmati keindahan lingkungan

tanpa merusak eksosistem hutan yang ada. Vegetasi hutan yang terletak melintang

dari arah arus laut merupakan keindahan dan keanekaragaman vegetasi yang

berbeda dari formasi hutan lainnya. Terlihat dari keunikan penampakan vegetasi

mangrove berupa perakaran yang mencuat keluar dari tempat tumbuhnya

(Kustanti, 2011).

Beberapa parameter lingkungan dijadikan sebagai potensi pengembangan

ekowisata mangrove. Antara lain adalah kerapatan jenis mangrove, ketebalan

mangrove, spesies mangrove, kekhasan, pasang surut. Termasuk objek biota yang

ada didalam ekosistem mangrove (Alfira, 2014).

2.3. Partisipasi Masyarakat Lokal

Partisipasi masyarakat akan timbul, ketika alam/budaya itu memberikan

manfaat langsung/tidak langsung bagi masyarakat. Agar bisa memberikan manfaat

maka alam/budaya itu harus dikelola dan dijaga. Hubungan timbal balik antara

intraksi wisata yang dikombinasikan dengan pengelolaan, manfaat yang diperoleh

dari ekowisata dan didukung oleh Partisipasi masyarakat. Penting bagi suksesnya

ekowisata di suatu daerah tujuan wisata (UNESCO, 2009).

Partisipasi mansyarakat adalah kata kunci dalam pengelolaan berbasis

masyarakat. Partisipasi berarti mengambil bagian dalam suatu kegiatan, namun

pertisipasi dalam kegiatan pengelolaan pesisir mengharuskan masyarakat


14

memiliki kewenangan yang cukup dalam pengelolaan dan terakomodasinya

kepentingan masyarakat dalam proses pengelolaan. Partisipasi yang dimaksud

dalam pengelolaan adalah partisipasi dalam setiap tahapan pengelolaan, mulai dari

identifikasi isu, persiapan perencanaan, persetujuan rencana, pelaksanaan, hingga

pemantauan dan evaluasi ( Yoswaty dan Samiaji., 2013).

Tingkat partisipasi sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat

lainnya dan satu negara dengan negara lainnya. Banyak faktor yang dapat

mendorong ataupun menghambat partisipasi masyarakat. Faktor-faktor ini dapat

berasal dari luar masyarakat seperti seperti sistem politik atau dapat juga berasal

dari masyarakat sendiri seperti norma-norma dan budaya masyarakat setempat.

Ada tiga hal utama penghambat partisipasi yaitu politik, administratif dan sosial

(Tulungen et al., 2003).

Partisipasi masyarakat didalam pengembangan ekowisata adalah hal yang

utama. Dalam ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan

pengalamannya tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset terpenting

dalam jasa yang di berikan kepada pengunjung. Pusat informasi menjadi hal yang

terpenting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan

nilai dari pengalaman seorang pengunjung yang bisa memperoleh informasi yang

lengkap tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, seni,

kerajinan dan produk budaya lainnya. (Samiaji, 2013)


15

III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2017 – Januari

2018 di Desa Sebauk Kecamatan Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bahan dan Alat yang Digunakan


NO Alat/Bahan Satuan Kegunaan
1 GPS Garmin Untuk menentukan lokasi pencaharian
2 Hand Refractometer ‰ Mengukur salinitas perairan
3 pH meter Mengukur keasaman perairan
o
4 Thermometer C Mengukur suhu perairan
5 Buku identifikasi Mengindentifikasi jenis-jenis
mangrove (Noor et al., mangrove
2006)
6 Kuesioner Bahan pertanyaan
7 Alat tulis Untuk mencatat
8 Tali rafia M Pembuatan plot
9 Meteran kain M Mengukur lingkaran batang
10 Meteran gulung M Mengukur panjang teransek
11 Kamera Untuk Dokumentasi

3.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode survei, yaitu

peneliti turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data yang diperlukan.

Dengan melakukan pengamatan, wawancara terstruktur (kuesioner) dan non

terstruktur (wawancara bebas mendalam) dan studi pustaka, metode tersebut

dipakai untuk mengetahui aspek potensi kondisi (potensi penawaran daya tarik

ekowisata dan unsur penunjang), aspek partisipasi masyarakat (analisis sosial

ekonomi masyarakat, partisipasi dan persepsi) dan aspek persepsi pemangku


16

kebijakan dalam pembangunan ekowisata mangrove di Desa Sebauk.

Penjabarannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis dan Komposisi Data yang Dikumpulkan


No Jenis Data Aspek-aspek Metode Pengumpulan Data
Aspek Potensi Kondisi
1 Kondisi a. Kondisi Geografis a. Pengamatan, Studi Pustaka
Umum b. Kondisi Topografi b. Pengamatan, Studi Pustaka
Daerah
Penelitian
2 Unsur a. Akses a. Pengamatan, Wawancara
Penunjang b. Infrastruktur b. Pengamatan, Wawancara
c. Kualitas Lingkungan c. Pengamatan, Studi Pustaka
d. Masyarakat Sekitar Kawasan d. Pengamatan, Wawancara
3 Potensi a. Kerapatan Mangrove a. Pengamatan
Penawaran b. Indeks Nilai Penting b. Pengamatan
Daya Tarik c. Zonasi mangrove c. Pengamatan
d. Ketebalan Mangrove d. Pengamatan
e. Keanekaragaman Jenis Fauna e. Pengamatan
f. Keindahan Fisik Kawasan f. Pengamatan
g. Kebersihan dan Kenyamanan g. Pengamatan
h. Keamanan Kawasan h. Pengamatan, Wawancara
4 Potensi a. Karakteristik a. Kuesioner, Wawancara
Permintaan b. Asal b. Kuesioner, Wawancara
(Pengunjung) c. Pola kunjungan c. Kuesioner, Wawancara
d. Motivasi d. Kuesioner, Wawancara
e. Preferensi e. Kuesioner, Wawancara
f. Pengetahuan Mengenai f. Kuesioner, Wawancara
Ekowisata dan Mangrove g. Kuesioner, Wawancara
g. Harapan dan Rekomendasi
Aspek Partisipasi dan Persepsi Masyarakat
5 Analisis a. Karakteristik Masyarakat a. Kuesioner, Wawancara
Sosial 1) Sosial Demografi
Ekonomi 2) Sosial Ekonomi
Masyarakat b. Pengetahuan Mengenai b. Kuesioner, Wawancara
Ekowisata dan Mangrove
Partisipasi a. Memberikan Informasi a. Kuesioner, Wawancara,
Pengamatan
b. Perencanaan/memberikan ide b. Kuesioner, Wawancara,
Pengamatan Kuesioner,
Wawancara, Pengamatan

Bersambung
No Jenis Data Aspek-aspek Metode Pengumpulan Data
Aspek Partisipasi dan Persepsi Masyarakat
c. Menjaga Kelestarian c. Kuesioner, Wawancara,
17

Lingkungan Pengamatan
d. Membersihkan Lingkungan d. Kuesioner, Wawancara,
e. Berjualan Pengamatan
f. Pemandu Wisata e. Kuesioner, Wawancara,
g. Keramah Tamahan Pengamatan
f. Kuesioner, Wawancara,
Pengamatan
g. Kuesioner, Wawancara,
Pengamatan
Aspek Persepsi Pemangku-Pemangku Kebijakan
6 Persepsi a. Karakteristik Responden a. Kuesioner, wawancara
b. Pengetahuan Tentang Lokasi b. Kuesioner, wawancara
Penelitian c. Kuesioner, wawancara
c. Pengetahuan Tentang d. Kuesioner, wawancara
Ekosistem Mangrove e. Kuesioner, wawancara
d. Pengetahuan Tentang
Ekowisata
e. Kebijakan dan Koordinasi

3.3.1. Metode dan Mekanisme Pengukuran Vegetasi Mangrove

3.3.1.1. Penentuan Titik Sampling

Titik sampling ditentukan berdasarkan purposive sampling, dimana

ditentukan berdasarkan letak posisi vegetasi mangrove dengan wilayah sekitarnya.

Daerah penelitian dibagi menjadi 3 stasiun. Dengan masing masing karakteristik

sebagai berikut :

Titik sampling 1 = Mewakili ekosistem mangrove yang jauh dari pemukiman

masyarakat.

Titik sampling 2 = Mewakili ekosistem mangrove yang dikelola oleh kelompok

masyarakat Desa Sebauk

Titik sampling 3 = Mewakili ekosistem mangrove yang berada dekat dengan

pemukiman masyarakat.
18

3.3.1.2. Pengukuran Vegetasi Mangrove

Metode yang digunakan dalam pengukuran vegetasi mangrove adalah

Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transeck Plot), yaitu metode

pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh

yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut

( Gambar 1). (Mekanisme pengukuran mangrove mengacu pada Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004)):

1) Pada setiap stasiun pengamatan ditetapkan transek garis dari arah laut ke arah

darat sepanjang 100 meter, (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan

mangrove terjadi.
2) Setiap titik sampling ditetapkan transek garis dari arah laut kearah darat.
3) Sepanjang garis diletakan petak contoh (10x10 m2) paling kurang tiga petak.

10 m
A 10 m C

Keterangan:
A = Petak contoh 1 : 10x10 m2
B B = Petak contoh 2 : 10x10 m2
C = Petak contoh 3 : 10x10 m2

Gambar1. Model Transek Garis yang Digunakan ( Sumber: KMNLH, 2004).

4) Setiap petak contoh dideterminasi setiap jenis tumbuhan mangrove, dihitung

jumlah individu setiap jenis kemudian dibedakan antar pohon, anakan dan

semai. Pohon adalah vegetasi (dengan diameter batang > 4 cm pada setinggi

dada atau sekitar 1,3 m dari atas tanah (Gambar 3). Anakan adalah vegetasi

mangrove dengan tinggi > 1 m dan diameter batang < 4 cm pada setinggi dada
19

(sekitar 1,3 m dari atas tanah). Semai adalah vegetasi dengan tinggi kurang dari

1 meter (Bengen, 2001).

Gambar 1. Pengukuran Batang Pohon Setinggi Dada (1,3 m dari atas tanah)

Sumber: Sutaryo (2009)

5) Data perhitungan diisikan kedalam tabel berikut ini:


Table ini berfungsi untuk mengetahui tingkat vegetasi pada hutan

mangrove di kawasan pengamatan

Tabel 3. Format Isian Pengamatan Vegetasi Mangrove


No Transek No. Pohon Keterangan
Plot SP IND DB
1.
2
3
N
Sumber: Bengen (2001)
20

Keterangan:
SP: Kode jenis mangrove DBH: Diameter batang setinggi dada
IND: Jumlah tegakan Pohon: Diameter > 4 cm

3.3.2. Potensi Permintaan Pengunjung

Data dikumpulkan secara langsung di lokasi penelitian melalui wawancara

dengan responden dan mengisikan kuesioner. Data kuesioner yang didapat

ekowisata mangrove di Desa Sebauk. Data yang dikumpulkan meliputi data

karakteristik responden (nama, jenis kelamin, umur, mata pencaharian, agama,

pendidikan). Asal, pola kunjungan, motivasi, preferensi, pengetahuan mengenai

mangrove dan ekowisata serta harapan pengunjung terhadap pengembangan

ekowisata di daerah peneliti

Penentuan responden dilakukan dengan metode accidential sampling

dimana jumlah responden tidak dapat ditentukan, tergantung seberapa banyak

pengunjung yang datang ke lokasi saat penelitian dilakukan.

3.3.3. Partisipasi dan Persepsi Masyarakat Lokal

Data dikumpulkan secara langsung di lokasi penelitian melalui wawancara

dengan responden dan mengisikan kuesioner. Data kuesioner yang didapat

dideskripsikan tentang sosial ekonomi masyarakat terhadap pembangunan

ekowisata di daerah penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi:

1) Data analisis sosial ekonomi masyarakat (jenis kelamin, umur, pendidikan,

mata pencaharian, pendapatan dan pengetahuan mengenai ekowisata dan

mangrove)
21

2) Partisipasi/penerimaan masyarakat lokal dalam kegiatan pengembangan

ekowisata mangrove yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan, evaluasi dan pemanfaatan.


3) Persepsi masyarakat lokal tentang ekowisata mangrove (dampak positif,

keunggulan dan dayatarik kawasan, dukungan infrasteruktur, dukungan

pemangku kebijakan, strategi pengembangan peluang usaha, dan dampak sosial

dari ekowisata)

Penentuan responden dilakukan dengan purposive sampling. Menurut

David (2006), dalam metode ini untuk menentukan responden tidak ada jumlah

minimal yang harus dipenuhi, sepanjang responden yang dipilih adalah orang-

orang yang memahami bidang yang dijalaninya. Responden yang diwawancarai

adalah masyarakat setempat yang bertempat tinggal di Desa Sebauk yang

berkaitan langsung dengan perkembangan ekosistem mangrove tersebut. (Menurut

Pangesti dalam Yuanike (2003), responden yang diwawancarai adalah masyarakat

yang termasuk dalam kelompok usia muda dan dewasa yaitu berkisar 20-55 tahun

yang dapat memberikan pendapat positif atas kuesioner yang diberikan).

3.3.4. Persepsi Pemangku Kebijakan

Data dikumpulkan secara langsung di lokasi penelitian melalui wawancara

langsung dengan responden dan mengisikan kuesioner. Data kuesioner yang

didapat dideskripsikan, tentang persepsi pemangku kebijakan terhadap potensi

ekowisata mangrove di Desa Sebauk. Data yang dikumpulkan meliputi data

karakteristik responden (nama, jenis kelamain, umur, nama istansi, alamat istansi

dan jabatan). Unsur persepsi yang diamati dari masing-masing lembaga yaitu

pengetahuan tentang lokasi penelitian, pengetahuan tentang ekosistem mangrove


22

dan ekowisata serta kebijakan dan koordinasi dengan pemangku kebijakan

lainnya.

Penentuan responden dilakukan dengan purposive sampling. Responden

yang diwawancarai terdiri atas pemangku kebijakan yang terkait langsung dengan

potensi ekowisata hutan mangrove di Desa Sebauk, berikut responden yang

diwawancarai.

1. Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Bengkalis

2. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis

3. Dinas Pariwisata, Pemuda, Olahraga dan Kebudayaan Kabupaten Bengkalis

4. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bengkalis

5. Aparat Desa Sebauk

6. Kelompok masyarakat yang bergerak di bidang pengelolan mangrove

3.4. Analisis Data

3.4.1. Pengamatan Vegetasi Mangrove

Data vegetasi mangrove yang berhasil dikumpulkan di lapangan

digunakan untuk menilai lingkungan secara ekologi, data tersebut dianalisis

dengan bantuan aplikasi Microsoft Excell 2013. Prosedur analisis data mengacu

kepada Dombois dan Ellenberg dalam Bengen (2001). Rumus perhitungannya

adalah sebagai berikut:

1. Kerapatan (K) =

2. Kerapatan Relatif (KR) = x 100%


23

3. Frekuensi (F) =

4. Frekuensi Relatif (FR) = x 100%

5. Basal Area = (cm2)

Dimana: *DBH = CBH/ phi (cm)

DBH (Diameter at Breast Height / Diameter pohon pada ketinggian 1,3)

CBH (Circle Breast Hight / Lingkaran pohon setinggi dada),

6. Dominansi (m2/Ha) =

7. Dominansi Relatif (DR) = x 100%

8. Nilai Penting (%) = KR + FR + DR

Nilai penting berkisar 0-300, nilai penting ini memberikan suatu gambaran

mengenai pengaruh atau peranan suatu spesies tumbuhan mangrove dalam

komunitas mangrove (Wiharyanto, 2007).

9. Ketebalan mangrove (m) = Jarak dari bibir pantai menuju ke daratan yang

masih terdapat vegetasi mangrove (surut terendah sampai pasang tertinggi).

Hasil kerapatan hutan mangrove akan dinilai sesuai dengan kriteria

kerusakan kerapatan (Tabel 4). Hal tersebut bertujuan untuk menunjukkan hutan

mangrove yang diteliti tergolong baik atau rusak.


24

Tabel 4. Kriteria Kerusakan Mangrove


Kriteria Kerapatan (Individu/Ha)
Sangat Padat ≥ 1500
Baik
Sedang ≥1000-1500
Rusak Jarang ≤1000
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004)

3.4.2. Indeks Kesesuaian Wisata Mangrove

Penentuan daerah wisata pada setiap kawasan mempunyai persyaratan

sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan objek wisata yang

dikembangkan. Setiap jenis kegiatan wisata memiliki parameter kesesuaian yang

berbeda-beda. Parameter kesesuaian tersebut disusun kedalam kelas kesesuaian

untuk masing-masing jenis kegiatan wisata. Rumus yang digunakan untuk

menghitung indeks kesesuaian kegiatan wisata adalah sebagai berikut (Yulianda,

2007):
IKW = ∑ [Ni/Nmaks] x 100%

Keterangan : IKW = Indeks Kesesuaian Wisata


Ni = Nilai parameter ke-i (bobot x skor)
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata
Pada penelitian ini, kelas kesesuaian untuk ekowisata mangrove dibagi

dalam empat kelas kesesuaian (Tabel 5), yaitu:

1. Kategori S1

Kelas ini tergolong sangat sesuai (highly suitable), tidak mempunyai

faktor pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau

hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara

nyata.

2. Kategori S2

Daerah ini tergolong cukup sesuai (quite suitable), pada kelas kesesuaian

ini mempunyai faktor pembatas yang agak berat untuk suatu penggunaan kegiatan
25

tertentu secara lestari. Faktor pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas

lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan input untuk

mengusahakan lahan tersebut.

3. Kategori S3

Sesuai bersyarat, pada kelas ini mempunyai faktor pembatas yang lebih

banyak untuk dipenuhi. Faktor pembatas tersebut akan mengurangi untuk

melakukan kegiatan wisata, faktor pembatas tersebut harus benar-benar lebih

diperhatikan sehingga stabilitas ekosistem dapat dipertahankan.

4. Kategori TS

Daerah ini tergolong tidak sesuai (not suitable), yakni mempunyai faktor

pembatas berat/permanen, sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan

jenis kegiatan wisata secara lestari.

Kelas kesesuaian diperoleh dari perkalian antara bobot dan skor dari

masing-masing parameter. Kesesuaian ekowisata mangrove mempertimbangkan 5

parameter dengan empat klasifikasi penilaian meliputi: ketebalan, kerapatan dan

jenis mangrove, pasang surut serta objek biota. Pemberian bobot berdasarkan

tingkat kepentingan suatu parameter, sedangkan pemberian skor berdasarkan

kualitas setiap parameter kesesuaian (Yulianda, 2007).

Tabel 5. Matriks Kesesuaian Ekowisata Mangrove (Yulianda, 2007).


Bobot

Skor

Skor

Skor

Skor

Parameter Katgeori Kategori Kategori Kategori


S1 S2 S3 S4

Ketebalan 5 >500 4 >200-500 3 50-200 2 <50 1


Mangrove
(m)

Kerapatan 4 >15-25 4 >10-15 3 5-10 2 <5 1


Mangrove >25
(100 m2)
26

Jenis 4 >5 4 3-5 3 1-2 2 0 1


Mangrove

Pasang Surut 3 0-1 4 > 1-2 3 >2-5 2 >5 1


(m)

Objek biota 3 Ikan 4 Ikan 3 Ikan 2 Salah satu 1


Krustasea Krustasea Krustasea dari biota
Bivalva Bivalva Bivalva air.
Reptil,Aves Mamalia
Mamalia
Keterangan:
Jumlah = Skor x bobot, Nilai maksimum = 76
S1 = Sangat sesuai, IKW= 80-100 % S3 = Sesuai bersyarat, IKW= 35-<60%
S2 = Cukup sesuai, IKW= 60-<80 % TS = Tidak sesuai, IKW= <35%

3.4.3. Partisipasi dan Persepsi Masyarakat

Perhitungan tingkat partisipasi masyarakat tentang pengembangan

ekowisata mangrove dapat menggunakan kuesioner Skala Likert, Kategori skala

ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kategori Pemberian Skor Tingkat Partisipasi dan Persepsi


Masyarakat

Partisipasi Kategori Persepsi


Sangat Tinggi (ST) C Sangat Setuju (SS)
Tinggi (T) C Setuju (S)
Cukup Tinggi (N) Netral (N)
Rendah (R) A Tidak Setuju (TS)
Rendah Sekali (RS) A Sangat Tidak Setuju (STS)

Kategori (R), (RS), (STS) dan (TS) dikelompokan menjadi satu yaitu

kelompok A, sedangkan (ST), (T), (SS), dan (S) dikelompokan kedalam kelompok

C. Kategori N tidak dikelompokan karena (N) bukan merupakan Faktor pembatas

melainkan dalam posisi netral (Neuman dalam Yoswaty, 2010). Setelah

didapatkan data penilaian dari Kuesioner, selanjutnya pemberian skor dihitung

dengan persamaan berikut:


Indeks Partisipasi atau Persepsi Responden = C-A/100
27

Indeks partisifasi dikategorikan dengan mengacu kepada kualifikasi pada

table 7.

Tabel 7. Kriteria Nilai Skor Indeks Partisipasi dan Persepsi Responden


Partisipasi Nilai Skor Persepsi
Sangat Tinggi (1.0) Sangat Setuju
Netral (0.0) Netral
Rendah Sekali (-1.0) Sangat Tidak Setuju

Langkah selanjutnya adalah pengukuran tingkat partisipasi dan persepsi

masyarakat dari seluruh responden dengan menggunakan aplikasi Microsoft

Office Excell 2013. Katagori yang diukur yaitu rataan hitung mean, klasifikasi

nilainya sebagai berikut:


Mean (>3,66) : Tinggi
Mean (2,33-3,65) : Sedang
Mean (1-2,32) : Rendah
28

3.5. Asumsi

Asumsi yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1) Titik sampling pengamatan vegetasi mangrove yang ditetapkan dalam

penelitian dianggap telah mewakili keadaan vegetasi mangrove daerah

penelitian
2) Responden yang dipilih dianggap telah mewakili pendapat dari komponen

masyarakat dan pemangku kebijakan daerah penelitian.


29

DAFTAR PUSTAKA

Alfira, R. 2014. Identifikasi Potensi dan Strategi Pengembangan Ekowisata


Mangrove Pada Kawasan Suaka Margasatwa Mampie Di Kecamatan
Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar. Skripsi. Fakultas Ilmu
Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Diakses
Dari: http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11741/
RIZKY%20ALFIRA_L11110264.pdf?sequence=1 Pada 26 Desember
2016 Pukul 20:12 WIB.

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. PKSPL-IPB, Bogor.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta.

David, F. R. 2006. Manajemen Strategi. Salemba Empat. Jakarta.

Fery, A. 2010. Panduan Pengelolaan Mangrove Bersama Masyarakat.


Kementerian Lingkungan Hidup RI-Pusat Pengelolaan Ekoregion
Sumatra. Pekanbaru, 32 Hal.

Kartaharja, S. 2011. Potensi Ekowisata di Kawasan Ekosistem Mangrove Desa


Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis. Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Riau. 110 hal

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara


Lingkungan Hidup Nomor 201 Tentang Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan Mangrove. Kementerian Lingkungan Hidup.
Jakarta.

Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor.

Majid, A. B. 2014. Studi Potensi Ekowisata Mangrove di Kuala Langsa Provinsi


Aceh. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Diakses
Dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/42078/7/Cover.pdf
Pada 26 Desember 2016 Pukul 20:28 WIB.

Maulana, S. 2015. Riau Diharapkan Jadi Pusat Riset Hutan Mangrove. Dikutip
dari: http://mediacenter.riau.go.id/read/11785/riau-diharapkan-jadi-pusat-
riset-hutan-mangrove.html. Yang Diakses Pada 26 Desember 2016 Pukul
20:03 WIB.

Muhaerin, M. 2008. Kajian Sumberdaya Ekosistem Mangrove Untuk Pengelolaan


Ekowisata di Estuari Perancak Jembrana Bali. Skripsi. Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan IPB. Diakses Dari:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5299/C08mmu.pd
f?sequence=4 Pada 26 Desember 2016 Pukul 20:16 WIB.
30

Mukaryanti dan A. Saraswati, 2005. Pengembangan ekowisata sebagai pendekatan


pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan. Kasus Desa Blendung–
Kabupaten Pemalang. Jurnal Teknik Lingkungan P3TL-BPPT 6 (2) : 391
- 396.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Noor R, Y., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 2006. Panduaan Pengenalan


Mangrove di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme.
Bogor, 220 Hal.

Rizky, M. 2013. Kajian Potensi Ekowisata Mangrove di Desa Sialang Buah


Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai. Skripsi.
Fakultas Pertanian USU. Diakses Dari:
http://repository.usu.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/54294/Cov
er.pdf?sequence=7 Pada 26 Desember 2016 Pukul 20:03 WIB.

Satria, D. 2009. Strategi pengembangan ekowisata berbasis ekonomi lokal dalam


rangka program pengentasan kemiskinan di wilayah Kabupaten Malang.
Journal of Indonesian Applied Economics. 3(1):37-47.

Setyawan, A. D. 2005. Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove di Pantai Utara dan


Selatan Jawa Tengah. Tesis. Program Pasca Serjana. Univesitas Sebelas
Maret. Surakarta.

SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan


Mangrove di Indonesia (Draf Revisi; Buku II): Mangrove di Indonesia.
KMLH. Jakarta.

Subadra, I. N. 2008. Ekowisata sebagai Wahana Pelestarian Alam. Bali. Diakses


Dari: http//Bali Tourism Watch Ekowisata sebagai Wahana Pelestarian
Alam « Welcome to Bali Tourism Watch.htm Pada 27 Desember 2016
Pukul 21:13 WIB
.
Subadra, I. N. 2008. Ekowisata sebagai Wahana Pelestarian Alam. Bali. [Online],
http//Bali Tourism Watch Ekowisata sebagai Wahana Pelestarian Alam «
Welcome to Bali Tourism Watch.htm [diakses tanggal 28 Mei 2017].

Sutaryo, D. 2009. Perhitungan Biomassa. Sebuah Pengantar Untuk Study Karbon


dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme.
Bogor, 34 Hal.

Tulungen, J. J., M. Kasmidi., C. Rotinsulu., M. Dimpudus dan N. Tangkilisan.


2003. Panduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis
Masyarakat (Seri PSWP-BM). USAID/BAPPENAS Program
Pengelolaan Sumberdaya Alam (NRM), USAID-CRC/URI Proyek
Pesisir. Jakarta. 115 Hal.
31

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir Dan Laut. Brilian Internasional.


Surabaya.

UNESCO. 2009. Panduan Dasar Pelaksanaan Ekowisata. Jakarta. 29 Hal.

Wibisono, M. S. 2010. Pengantar Ilmu Kelautan. UI Press: Jakarta.

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Grasindo. Jakarta.

Wiharyanto, D. 2007. Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove Di kawasan


Konservasi Pelabuhan Tengkayu II Kota Tarakan Kalimantan Timur.
Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Diakses dari:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/9018/2007dwi.pdf
?sequence=2&isAllowed=y Pada 02 Februari 2017 Pukul 01:23 WIB.

Yoswaty, D. 2010. Persepsi Pemegang Kepentingan dalam Pengurusan


Ekopelancongan Terpilih di Malaysia dan Indonesia dalam Konteks
Pembangunan Pelancongan Berterusan. Tesis. Fakulti Sains dan
Kemanusiaan. UKM. Bangi.

Yoswaty, D dan J. Samiaji. 2013. Buku Ajar Ekowisata Bahari. UR Press, Riau.
111 hlm.

Yuanike. 2003. Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove dan Partisipasi


Masyarakat di Kawasan Nusa Lembongan Bali. Tesis. Program
Pascasarjana IPB. Diakses dari: http://www.ipb.ac.id. Pada 27 Desember
2016 Pukul 21:19 WIB.

Yulianda, F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya


Pesisir Berbasis Konservasi. Disampaikan pada Seminar Sains 21
Februari 2007. Departemen M FPIK. IPB. Bogor.
32

LAMPIRAN
33

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian

lokasi penelitian
34

Lampiran 2. Peta Titik Sampling


35

ORGANISASI PENELITIAN

1. PENELITI
Nama : Wahid
Alamat : Jalan. Swakarya. Gang Serai. Panam - Pekanbaru
NIM : 1404120306
Pekerjaan : Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau
Jurusan : Ilmu Kelautan
2. DOSEN PEMBIMBING I
Nama : Dr. Ir. Joko Samiaji, M.Sc.
Alamat : Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau
NIP : 19650930 198903 1 002
Pekerjaan : Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau
3. DOSEN PEMBIMBING II
Nama : Ir. Musrifin Galib, M.Sc.
Alamat : Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau
NIP : 19590922 198702 1 001
Pekerjaan : Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau.
36

JADWAL PENELITIAN

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan pada Desember 2017

hingga Januari 2018. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat jadwal penelitian ini

sebagai berikut :

Waktu Kegiatan
No. Kegiatan September’17 Oktober’17 November’17 Desember’17 Januari’18 Februari’18 Maret’18
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
1. Persiapan * * * * * *
Proposal
2. Revisi * * * * * *
Proposal
3. Seminar * * *
Proposal
4. Pengambilan * * * *
Data
5. Penyusunan * *
Hasil
6. Revisi * * *
Hasil
7. Seminar *
Hasil
8. Ujian * *
Sarjana
37

ANGGARAN DANA PENELITIAN

1. Persiapan Proposal dan revisi


Kertas HVS 2 rim : Rp. 100.000,-

Perbanyak proposal : Rp. 300.000,-

Pelaksanaan seminar proposal : Rp. 300.000,-

Jumlah : Rp. 700.000,-

2. Pelaksanaan Penelitian
Biaya transportasi : Rp. 600.000,-

Jumlah : Rp. 600.000,-

3. Biaya Akomodasi
Dokumentasi : Rp. 100.000,-

Biaya hidup selama penelitian : Rp. 1.000.000,-

Biaya alat Penelitian : Rp. 500.000,-

Biaya Analisis Sampel di Lab : Rp. 500.000,-

Jumlah : Rp.2.100.000,-

4. Penyusunan Laporan
Pengetikan dan perbanyak laporan : Rp. 300.000,-

Seminar Hasil : Rp. 300.000,-

Jilid Laporan : Rp. 300.000,-

Jumlah : Rp.900.000,-

4. Biaya Tak Terduga : Rp. 500.000,-

Total Biaya Penelitian : Rp. 4.800.000,-

Terbilang : “Empat Juta Delapan Ratus Ribu Rupiah


38

OUTLINE SEMENTARA

DAFTAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan dan Manfaat
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Mangrove
2.1.1. Pengertian Ekosistem Mangrove
2.1.2. Karakteristik dan Zonasi Hutan Mangrove
2.1.3. Fauna di Ekosistem Mangrove
2.1.4. Fungsi dan Manfaat Vegetasi Mangrove
2.2. Ekowisata
2.2.1. Defenisi Ekowisata
2.2.2. Prinsip dan Kriteria Ekowisata
2.2.3. Ekowisata Mangrove
2.3. Partisipasi Masyarakat Lokal
III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
3.2. Bahan dan Alat
3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Metode dan Mekanisme Pengukuran Vegetasi Mangrove
3.3.2. Potensi Permintaan Pengunjung
3.3.3. Partisipasi dan Persepsi Masyarakat Lokal
3.3.4. Persepsi Pemangku Kebijakan
3.4. Analisis Data
3.4.1. Pengamatan Vegetasi Mangrove
3.4.2. Indeks Kesesuaian Wisata Mangrove
3.4.3. Partisipasi dan Persepsi Masyarakat
3.5. Asumsi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.2. Pembahasan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2. Saran
39

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
PETA LOKASI PENELITIAN
PETA TITIK SAMPLING
ORGANISASI PENELITIAN
JADWAL PENELITIAN
ANGGARAN BIAYA
OUTLINE SEMENTARA
KUISIONER

Anda mungkin juga menyukai