0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
4 tayangan11 halaman
Permasalahan dunia literasi memang menjadi sesuatu yang menarik untuk di dalami. Berbagai fenomena ironis terkait dunia literasi sepertinya tidak pernah habis
Permasalahan dunia literasi memang menjadi sesuatu yang menarik untuk di dalami. Berbagai fenomena ironis terkait dunia literasi sepertinya tidak pernah habis
Permasalahan dunia literasi memang menjadi sesuatu yang menarik untuk di dalami. Berbagai fenomena ironis terkait dunia literasi sepertinya tidak pernah habis
Paradoks Dunia Literasi Lewat Secangkir Arabika Kerinci
Oleh: Wildan Carbon
Entah sudah berapa lama aku tak menikmati seduhan barista
kedai kopi kerinci. Beberapa hari yang lalu, rasa malas sempat membatalkan rencana untuk ke sana. Maaf, terkadang aku seperti manusia modern pada umumnya. Menjadikan malas sebagai penyakit akut yang sangat sulit terhindari. Malas untuk beranjak dari rumah, malas melawan cuaca malam yang dingin, dan malas pada hal lainnya yang tak seharusnya di malaskan. 23 Mei 2019, Bersama si Mio_kuda besi yang menemaniku 3 tahun terakhir, Aku menjajal jalanan kota yang mulai lengang berbalut udara lembab sisa hujan tadi sore. Sekitar 15 menit waktu tempuh sampailah di sebuah kedai yang terletak di penghujung jalan Telanai Pura, bersebelahan dengan SMA 5 Kota Jambi. Si Mio anteng parkir di celah kosong antara motor gede dan bebek. Ya, cukup untuk menunjukkan variasi kelas ekonomi pengunjung kedai. Tampaknya belum terlalu ramai, atau barangkali peminatnya berhenti meminum kopi di bulan puasa. Hanya 3 pasang muda mudi ditambah 1 geng anak komunitas ( dari jaketnya kelihatan anak moge) yang nimbrung di ruang berukuran 9 x 7. Malas berkecimpung di dalam ruangan, aku meletakkan ransel di teras depan. Tepat di tempat lesehan. Akan lumayan asik untuk membaca dan menjelajahi buah pikiran Pram sambil menyeruput secangkir kopi disini. "Bang, pesan Arabika Kerinci satu..." ,,,, Masih ingat dengan tragedi nol buku? Pada tahun 1997 Taufik Ismail melakukan penelitian ke SMA di 13 negara tentang kewajiban membaca buku, tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, bimbingan menulis, dan pelajaran sastra. Hasilnya memprihatinkan. Karena nyatanya siswa Sma di Indonesia tidak di wajibkan untuk membaca buku sastra. Artinya buku sastra yang wajib di baca oleh siswa SMA di Indonesia adalah nol. Jauh tertinggal dari Amerika sebagai peringkat pertama dengan kewajiban membaca buku sastra bagi SMA sebanyak 32 buku, atau dari belanda dan prancis dengan 30 buku. Peristiwa langka ini oleh Taufik ismail disebut dengan istilah "tragedi nol buku". Lebih lanjut sang maestro menyimpulkan risetnya dengan kalimat yang cukup menohok. "Siswa Indonesia rabun membaca dan pincang menulis" Mmm. Jika cerita diatas adalah catatan pada masa pra reformasi. Beranjak pada tahun 2012. Saat Orde Baru telah tumbang dan kebebasan berpendapat merajalela. Buku buku berkulitas sudah kembali keperadaban. Namun faktanya UNESCO mendapati minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya dari 1000 orang masyarakat Indonesia hanya 1 orang saja yang serius membaca. Lalu 3 tahun berselang. Tahun 2015, Data PISA (Program for International Student Assesment) kembali menampar masyarakat Indonesia. Dari 76 negara Indonesia menduduki peringkat 69 berdasarkan skor membaca siswa. Artinya "kita" (aku sengaja menggunakan kata ganti ini, bentuk tanggung jawab terhadap kondisi yang miris di negeri ini) hanya mampu mengalahkan 7 negara di bawahnya. Sedih?Tentu. ,,,,, Ku buka halaman ke 50 buku Jejak Langkah saat pelayan datang membawa secangkir kopi Arabika Kerinci lengkap dengan gula yang bisa di takar sesuai keinginan. "Ini kopinya bang". Sajinya sopan. "Terima kasih". Balasku sambil menutup buku sejenak. Dia tidak langsung beranjak. Duduk disamping sembari memperhatikan cover buku yang aku baca. "Biasa baca buku bang?". Tanyanya membuka pembicaraan. Kondisi sepi seperti ini memang kerap di gunakan pelayan untuk mengakrabkan diri dengan pengunjungnya. "Heheehe" tawaku simpel. Aku malu untuk mengatakan iya. Karena nyatanya masih jauh dari para pegiat literasi ulung lainnya. Berlanjutlah pembicaraanku dengan sipelayan yang mulai ku kenali namanya adalah Andre. Seorang lulusan SMA yang baru beberapa bulan bekerja di kedai ini. Tak banyak yang sempat ku gali dari dirinya sebelum akhirnya dia berdiri untuk menemui segerombolan mahasiswa yang baru datang. Namun sebelum dia pergi. Dia berujar pelan. "Bang kalo ke sini lagi. Kalo ad, bawa bukunya Max Havelar ya. Aku mau pinjam. Kalo bisa" sambil tersenyum. Aku terperanjak. Ah. Selera yang bagus. ,,,, Pada Juli 2015, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan menerbitkan peraturan nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti. Salah satu hal pokok yang tertuang adalah kewajiban membaca buku nonteks pelajaran 15 menit sebelum pelajaran di mulai. Berdasarkan amanat itu Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar danenengah kemudian meluncurkan sebuah program yang dinamakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan literasi ini mendapat sambutan yang luar biasa bagi banyak kalangan. Terkhusus bagi mereka yang prihatin dengan budaya baca di Indonesia. Sosialisasi terus digemparkan. Melibatkan banyak pihak. Termasuklah sekolah dan orang tua (termasuk yang tidak mengerti baca tulis). Selanjutnya, setelah beberapa tahun program itu dicetuskan... Perpustakaan Nasional tahun 2017 melakukan riset, dan hasilnya rata rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali perminggu. Dengan durasi waktu membaca perhari rata rata 30- 59 menit. Pertahun rata rata buku yang selesai dibaca 5-9 buah. Lalu, apakah angka diatas sudah cukup untuk dikatakan berhasil? Entahlah. Dua tahun seusai riset yang dilakukan Perpustakaan Nasional tahun 2017. Tepatnya pada awal tahun 2019. Sebuah pemberitaan muncul dengan judul yang cukup membuat pembacanya (masyarakat indonesia yang sudah terlalu lama putus asa dengan peningkatan minat baca) membusungkan dada. Tertulis "Minat Baca Indonesia di Atas Negara Maju". Ya, dikatakan bahwa Inggris merilis 20 negara terbaik dalam tingkat minat bacanya tahun ini. Dan Indonesia menduduki peringkat ke 15, lebih baik dari Argentina, Jerman, dan Kanada. ,,,, Segerombolan mahasiswa itu tidak jauh dari tempatku duduk. Setidaknya pembicaraan mereka sangat jelas terdengar. Seputar game online dan tetek bengeknya. "Bisa minjam korek bang?". Tanya salah seorang dari mereka yang menghampiri lengkap dengan sebatang rokok di celah jemarinya. "Oh ya. Boleh". Aku merogoh kantong celana. Mencari korek yang baru saja kusimpan (Maklum seorang perokok, korek lebih berharga dari apapun) Sambil menunggu, matanya coba memperhatikan apa gerangan yang kubaca. "Rajin betul bang, sampai di kedai pun baca buku". Sindirnya "Haha. Biasa". Ujarku sambil menyerahkan korek. "Buku kuliah bang?" "Bukan, buku cerita, karyanya Pram" "Ooo" dia mulai mengidupkan rokoknya. "Pram? penulis luar?" Tanyanya bingung. Tangannya mengembalikan korek yang sudah dipinjam "Pengarang dari Indonesia" jelasku. "Heheh, kirain dari luar. Maklum bang jarang baca. Palingan juga baca buku kuliah untuk nugas" ujarnya santai Dari bangku sebelah temannya yang sudah menunggu, nyeletuk ringan "Jangan sok sokan oy, " "Iya bang. Gak usah diladenin, paling abang jelasin juga gak ngerti. Tahunya cuma main Mobil Lagend". Timpal yang disebelahnya "Ayo, Ngepush kita? Gak bakal ngerti juga soal buku. Paling buku tulis." Lanjut lagi yang lain. Tak ingin makin gaduh dengan suara mereka. Pria itu beranjak "Terima kasih bang". Selanjutnya suara mereka trus mendominasi kedai kopi itu dengan kehebohan memainkan game online. Ah. Mahasiswa. Aku kembali menyeruput kopi. ,,,, Aku bukan tidak bangga pada prestasi Indonesia yang kerap terpublish. Tapi otakku terkadang memaksa untuk tidak gampang begitu saja pada informasi yang dirilis media. Barangkali salah satu faktornya adalah karena sudah terlalu banyak media yang tidak indepnden pada berita yang disebarkan. Mungkin itu menurutku. Karena disisi yang berbeda tentu ada hal positif yang di tunggu dari itu semua. Termasuk peningkatan rasa percaya diri yang diharapkan mampu mendongkrak motivasi dan mencapai goal nya. Pada 02 Februari 2019. Entah angin apa yang membuatku rindu pada kampung halaman. Lalu, aku putuskan untuk berangkat dengan sepeda motor. Butuh waktu tempuh sekitar 4 jam dari Kota Jambi. Kondisi jalan tidak jauh lebih baik dari dua tahun yang lalu saat aku juga datang berkunjung. Disana yang kutemui adalah teman masa kecil yang juga kini menjabat sebagai guru Sekolah Dasar. Tak ayal aku di mintanya untuk datang berkunjung sekedar melihat lihat dan nostalgia. Terlihat tata letak bangunannya masih hampir sama setelah belasan tahun ku tinggal. Kecuali pada posisi perpustakaan. Ya. Tempat sakral itu tak kujumpai lagi terselip di antara kelas 3 dan 4. "Perpus kita nongkrong dulu sudah berubah jadi WC, Lup?" Tanyaku saat menemuinya kembali di kantin sekolah. "Hahah. Iya". Ujarnya singkat. Satu hal yang kurindukan setiap kali membuka lembaran buku entah dimanapun adalah ruang perpustakaan itu. Perpustakaan sekolah dasarku dulunya memang tidak lebih seperti gudang buku buku bekas. Tapi di sanalah aku dikenalkan banyak hal mengenai buku dan daya megisnya "Lho. Pindah kemana?" "Gak ada lagi. Perpus gabung dengan ruang guru. Jadi kalo ada yang mau nyari buku harus izin dulu sama guru dikantor. Tapi biasanya jarang sih. Siswa pada gak berani. Hahaha". Ujarnya Negeri literasi. Sebuah prestasi atau keprihatinan. 15 tahun silam, tepatnya kelas 3 Sekolah Dasar. Aku dan beberapa teman pernah menjabat sebagai pengurus perpustakaan (pengurus dalam skala Sekolah Dasar). Tidak banyak yang dilakukan. Hanya membuka ruangan, menyapu dan menyusun rapi buku bukunya. Semua dilakukan pada pagi hari sekitar 06.30 wib menjelang masuk jam pelajaran. Bila jam istirahat sekitar pukul 09.30 wib kami kembali membukanya. Sekedar nongkrong, membaca dan mendengarkan siswa lain berdiskusi soal cerita yang kemarin mereka baca. Tak ada interpensi yang berlebih dari pihak sekolah mengenai aturan perpustakaan. Syaratnya hanya satu menjaga buku dan mengembalikan pada tempatnya saat selesai di baca. Jikapun ada yang hendak membawanya pulang, guru sudah memandatkan sebuah buku agenda peminjaman buat kami isi. Lalu, disetiap jam pelajaran bahasa indonesia biasanya ibu guru akan selalu memberikan kami kebebasan bertanya mengenai kata yang belum dipahami dari apa yang kami baca. Semua berjalan begitu sederhana. Kebebasan mengenal, membaca dan mendiskusikan buku itulah yang menjadi kenangan. Yang pada akhirnya, setelah belasan tahun terlewati. Aku baru sadar. Disanalah semua berawal. "Jadi, perpus gak ada lagi dong" tanyaku melanjutkan. "Secara fakta gak ada, tapi secara formalitas harus ada". Dia kembali menyedot pipet di gelas yang berisi teh dingin. Aku hanya diam. Ya, membayangkan kembali cover buku "Srikandi dari Timur" atau buku fabel semut rangrang yang saat itu kerap jadi rebutan untuk dibaca. Selanjutnya aku mulai yakin merangkai hipotesa atas kerangka pemikiran yang olehku tampak nyata dilapangan. Mengapa negeri ini selalu bersemangat mendongkrak motivasi baca, entah bagaimanapun cara penyajiannya. ,,, Malam kian larut dalam lembaran buku Jejak Langkah. Meski berkali kali sudah terselesaikan, tetap saja menarik untuk kembali dibuka. Buku sakti ini sudah lama ku beli lewat toko online. Sejujurnya sebelum memesan via online telah kusempatkan untuk mencari di toko buku tua yang sekitar 10 tahun lalu sering kusambangi. Sayangnya toko buku itu gulung tikar akibat sepi peminat. Barangkali hanya aku dan segelintir orang yang mau menyisihkan uangnya membeli buku di sana. Maklum, semuanya begitu mudah untuk mencari yang gratis di era digital. Walau dari hati kecilku cukup sulit untuk memahami kondisi demikian. Meski begitu, Fenomena digital jugalah yang mencabut kembali kesimpulanku ketika SMP di kampung_bahwa distribusi buku adalah faktor mengapa pelajar jarang mau membaca. Toh sekarang bila hendak membaca semua telah tersedia. Bahkan cendrung dipaksa untuk manja agar bisa membaca. Ah. Entahlah. Kopiku pun telah habis di seruput. Tersisa ampas hitam yang mengental di dasar gelas. Begitu juga dengan para mahasiswa itu, yang mulai terlihat lelah memandangi androidnya. Kami beranjak ke kasir hampir berbarengan. Aku sengaja mengantri di belakang. " Berapa bang?" Tanyaku saat hendak membayar. "10.000, bang". Ku keluarkan uang Rp. 50.000 dari dalam dompet. Sambil menunggu kembalian, ku lirik sebuah buku di rak sebelah tempat dia duduk. Oh. Buku down brown lirihku. "Ini bang kembaliannya 40.000, terima kasih bg". "Oh ya jangan lupa bg kalo kesini, di bawa ya!". Ujarnya kembali mengingatkan. "Insya Allah" balasku. Si Mio melaju meyongsong dingin malam yang semakin menusuk kulit. Sementara batinku terus merangkai kata. Ah. Lucunya kehiduPan manusia. Mahasiswa vs pelayan. Tempo dulu vs milenial. Dan Buku vs game online. Kita lihat saja. Bagaimana negeri ini menjelma menjadi negeri literasi. Bukan soal data di media, tapi soal bagaimana teraplikasi pada ibu pertiwi.
Informasi Tambahan DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Wildan Suprian Syah
Tempat/Tgl. Lahir : Teluk Kijing, 03 Januari 1992
Agama : Islam
Tinggi/Berat : 160 cm / 58 Kg
Pend. Terakhir : S1 Ekonomi, Jurusan Akuntansi, Universitas Jambi
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Jln.Pendidikan, Rt. 08, Desa Pemusiran, Kec. Nipah Panjang