Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

OPEN FRAKTUR FEMUR

I. Konsep Penyakit
I.1 Definisi
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang
femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur
adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma
langsung maupun tidak langsung.
Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha,
kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang
disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung pada paha (Helmi, 2012).
Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian), kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi
tulang/osteoporosis.
Ada 2 tipe dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul
dan kapsula.
a. Melalui kepala femur (capital fraktur)
b. Hanya di bawah kepala femur
c. Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
a. Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter
b. Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokhanter kecil.
Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan
letak garis fraktur seperti di bawah ini:
1. Fraktur Intertrokhanter Femur
Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur,
sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini
memiliki risiko nekrotik avaskuler yang rendah sehingga prognosanya
baik. Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan
pemasangan
fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita

1
yang
sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.
2. Fraktur Subtrokhanter Femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan
menurut Fielding & Magliato sebagai berikut:
a. Tipe 1 adalah garis fraktur satu level dengan trokhanter minor
b. Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas
trokhanter minor
c. Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas trokhanter minor.
Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi
internal dan tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama 6-7
minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips selama tujuh minggu
yang merupakan alternatif pada pasien dengan usia muda.
3. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung,
secara klinis dibagi menjad 2 yaitu:
a. Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan
jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan
penatalaksanaan berupa debridement, terapi antibiotika serta
fiksasi internal maupun ekternal
b. Fraktur tertutup dengan penatalaksanaan konservatif berupa
pemasangan skin traksi serta operatif dengan pemasangan plate-
screw.
4. Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi
sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai
gaya
rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasangan traksi berimbang dengan
menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing
dan
spika pinggul serta operatif pada kasus yang gagal konservatif dan
fraktur
terbuka dengan pemasangan nail-phroc dare screw.
5. Fraktur Kondiler Femur
Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari
gaya hiperabduksi dan adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu
femur ke atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang
selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan

2
gips minispika sampai union sedangkan reduksi terbuka sebagai
alternatif apabila konservatif gagal.

I.2 Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan
fraktur femur
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit di mana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai
keadaan berikut :
a. Tumor Tulang
Akibat pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis
Penyakit ini dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul
sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan
sakit nyeri
c. Rakhitis
Yaitu suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan
kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau
fosfat yang rendah.
d. Secara Spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

I.3 Tanda gejala


1. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang

3
b. Penekanan tulang
2. Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3. Ekimosis dari perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.

I.4 Patofisiologi
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka
volume darah menurun. COP (cardiac output) menurun maka terjadi perubahan
perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi
edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup
akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman
nyeri.
Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Di samping itu
fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat
terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan
integritas kulit.
Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang
telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 1995)

I.5 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan Rongent
Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi, anterior, posterior
lateral.
2. CT Scan tulang, fomogram MRI
Untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami kerusakan
3. Arteriogram (bila terjadi kerusakan vaskuler)
4. Hitung darah kapiler
a. Hematokrit mungkin meningkat
b. Kreatinin meningkat
c. Kadar kalium, kalsium dan Hb.

4
I.6 Komplikasi
Komplikasi dini dari fraktur femur ini dapat terjadi syok dan
emboli lemak. Sedangkan komplikasi lambat yang dapat terjadi delayed
union, non-union, malunion, kekakuan sendi lutut, infeksi dan gangguan
saraf perifer akibat traksi yang berlebihan.

I.7 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang. (Sjamsuhidajat dkk, 2011).
1. Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada
fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama
masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan
imobilisasi.
Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi
akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur
dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010). Reposisi
dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah
tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum
femur (Nayagam, 2010).
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF) dilakukan
untuk fiksasi fragmen patahan tulang, di mana digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh
dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi
luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk
fraktur terbuka), di mana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk
terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di
sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu
bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang
berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait
dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi (Nayagam, 2010).
Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia,
humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di

5
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan
tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi
sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi
tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi.
Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi
kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi
displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang buruk
dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple
dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada
pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri) (Nayagam,
2010)
2. Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi,
tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen.
Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi
yang penting. Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot
dan kakunya sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin (Nayagam, 2010).
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera
atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum
mengalami gangguan atau cedera (Widharso, 2010).

6
I.8 Pathway

7
II. Rencana Asuhan Klien Dengan Open Fraktur Femur
II.1 Pengkajian
II.1.1 Riwayat keperawatan
II.1.1.1 Keluhan utama
II.1.1.2 Riwayat penyakit sekarang
II.1.1.3 Riwayat penyakit dahulu
II.1.1.4 Riwayat penyakit keluarga
II.1.2 Pemeriksaan fisik : data focus
II.1.3 Pemeriksaan penunjang
II.1.3.1 Pemeriksaan Rongen
II.1.3.2 CT Scan tulang, fomogram MRI
II.1.3.3 Arteriogram (bila terjadi kerusakan vaskuler)
II.1.3.4 Hitung darah kapiler.

II.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnose 1 : Nyeri b.d kompresi saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal,
pergerakan fragmen tulang
II.2.1 Definisi
II.2.2 Batasan karakteristik
II.2.3 Faktor yang berhubungan
Diagnose 2 : Risiko tinggi syok hipovolemik b.d hilangnya darah dari luka
terbuka, kerusakan vascular, dan cedera pada pembuluh darah
II.2.4 Definisi
II.2.5 Batasan karakteristik
II.2.6 Faktor yang berhubungan
II.3 Perencanaan
Diagnose 1 : Nyeri b.d kompresi saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal,
pergerakan fragmen tulang
II.3.1 Tujuan dan criteria hasil
Dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang atau teradaptasi.
Criteria hasil : secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau
dapat teradaptasi, dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan
atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau
teradaptasi.

8
II.3.2 Intervensi Keperawatan dan Rasional
- Kaji skala nyeri
R : nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan
menggunakan skala nyeri.klien melaporkan nyeri biasanya di atas
tingkat cidera.
- Pantau keluhan nyeri local, apakah disertai pembengkakan.
R : deteksi dini untuk mengetahui adanya tanda sindrom
kompartemen.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan
- Atur posisi imobilisasi pada paha
R : imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen
tulang menjadi unsure utama penyebab nyeri pada paha.
- Manajemen lingkungan :lingkungan yang tenang, batasi pengeunjung,
dan istirahatkan klien.
R : lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan
pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O 2,
ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang
berada di ruangan. Istirahat akan menurunkan kebutuhan O 2 jaringan
perifer.
- Ajarkan tekhnik relaksasi dalam ketika nyeri.
R : meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder akibat iskemia.
- Ajarkan tekhnik distraksi pada saat nyeri.
R : distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus
internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorphin dan
enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri agar tidak dikirimkan ke
korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.
- Lakukan manajemen sentuhan
R : manajememn sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan
psikologis dapat membantu menurunkan nyeri. Masase ringan dapat
meningkatkan aliran darah dan membantu suplai darah dan oksigen ke
area nyeri.
- Kolaborasi pemberian analgetik.
R : analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.

9
- Pemasangan traksi skeletal.
R : penarikan dengan traksi skeletal dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang dapat menekan jaringan saraf sehingga dapat
menurunkan respon nyeri.
- Operasi untuk pemasangan fikasasi internal (ORIF) dan fiksasi
eksternal (OREF).
R : intervensi medis berupa stabilisasi dengan melakukan fikasasi
pada tulang yang patah akan dapat menurunkan stimulus nyeri akibat
cedera jaringan lunak, kompresi saraf, pergerakan fragmen tulang.

Diagnose 2 : Risiko tinggi syok hipovolemik b.d hilangnya darah dari luka
terbuka, kerusakan vascular, dan cedera pada pembuluh darah
II.3.3 Tujuan dan criteria hasil
Dalam waktu 1x24 jam, risiko syok hipovolemik tidak terjadi.
II.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional
- Pantau status cairan ( turor kulit, membrane mukosa, haluaran urine)
R : jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan oleh keadaan status
cairan. Penurunan volume cairan mengakibatkan penurunakan
produktif urine, pemantauan ketat pada produksi urine <600 ml/hari
merupakan tanda-tanda terjadinya syok kardiogenik.
- Kaji sumber kehilangan cairan
R : kehilangan cairan dapat berasal dari factor ginjal dan di luar
ginjal. Penyakit yang mendasari terjadinya kekurangan volume cairan
ini juga harus diatasi. Perdarahan harus dikendalikan.
- Auskultasi TD. Bandingkan ke-dua lengan.
R : hipotensi dapat terjadi pada hipovolemia yang menunjukkan
terlibatnya sistem kar-diovaskular untuk melakukan kompensasi
mempertahankan tekanan darah
- Kaji warna kulit, suhu, sianosis,nadi perifer, dan diaphoresis secara
teratur.
R : mengetahui adanya pengaruh peningkatan tahanan perifer.
- Pantau frekuensi dan irama jantung.
R : perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi
disritmia.

10
- Kolaborasi:
Perthankan pemberian cairan melalui intravena.
R : jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan
memudahkan perawat dalam melakukan control asupan dan haluaran
cairan.

11
III. Daftar Pustaka
Arif, Mansjoer, dkk., 2000 . Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus,
FKUI: Jakarta.

Helmi, Z.N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muaskuloskeletal. Salemba Medika : Jakarta.

Muttaqin, Arif. 2012. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal : aplikasi Pada Praktik
Klinik Keperawatan. Jakarta : EGC.

Nayagam S., dkk. 2010. Apley's System of Orthopaedics and Fractures 9th ed.
Liverpool: The Royal Liverpool University.

Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses


Penyakit, Edisi 6, Volume I, Jakarta : EGC.

Sachdeva R.K. 1996. Catatan Ilmu Bedah. Ed 5, Jakarta: Hipocrates.

Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta : EGC.

12
Banjarmasin, Desember 2016

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( ) (

13
14

Anda mungkin juga menyukai