Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN TEORI

I. Tinjauan Teori (Preeklampsia Berat)


A. Pengertian
Preeklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang
disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri. Preeklampsia merupakan
timbulnya hipertensi disertai dengan adanya protein urin akibat kehamilan
setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan (Amellia,
2019; h. 127).
Preeklampsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu preeklampsia
ringan dan preeklampsia berat (Amellia, 2019; h. 129). Pengklasifikasian
preeklampsia ringan dan preeklampsia berat didasarkan pada tanda gejala
klinik yang muncul. Preeklampsia ringan merupakan suatu sindroma
spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat pada
terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. Preeklampsia
berat merupakan preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai protein urin lebih dari 5
g/24 jam (Prawirohardjo, 2010; h. 542 – 544).
Preeklampsia berat dibagi menjadi dua yaitu preeklampsia berat
tanpa impending eklampsia dan preeklampsia berat dengan impending
eklampsia. Disebut preeklampsia berat dengan impending eklampsia bila
preeklampsia berat disertai gejala subyektif berupa nyeri kepala hebat,
gangguan visus, muntah – muntah, nyeri epigastrik, dan kenaikan
progresif tekanan darah (Prawirohardjo, 2010; h. 545). Peningkatan gejala
dan tanda preeklampsia berat dapat meningkatkan risiko terjadinya
eklampsia yang mempunyai prognosis buruk dengan angka kematian
maternal dan janin tinggi (Manuaba, 2010; h. 264).
B. Tanda Gejala
Tanda gejala preeklampsia berat menurut Prawirohardjo (2010; h.
545):
1. Tekanan darah ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg
2. Protein urin lebih dari 5 g/24 jam atau +3 dalam pemeriksaan kualitatif
3. Oliguria atau produksi urin kurang dari 500 cc dalam 24 jam
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma

5
5. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma, dan pandangan mata kabur
6. Nyeri epigastrik atau nyeri pada perut bagian kanan atas akibat
teregangnya kapsula glisson
7. Edema paru – paru dan sianosis
8. Hemolisis mikroangiopatik
9. Trombositopenia berat (<100.000) atau terjadi penurunan trombosit
dengan cepat
10. Gangguan fungsi hepar
11. Pertumbuhan janin intra uterin terhambat (Prawirohardjo, 2010; h.
545).
C. Etiologi
Etiologi terjadinya preeklampsia menurut Setyarini dan Suprapti
(2016; h. 102):
1. Primigravida, 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama
2. Grande multigravida
3. Janin besar
4. Distensi rahim berlebihan (hidramnion, hamil kembar, molahidatidosa)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Saraswati mengenai Faktor
Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
(Studi Kasus di RSUD Kabupaten Brebes Tahun 2014) menunjukkan hasil
bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia
adalah umur (p value = 0,0001; OR = 15,731), status gravida (p value =
0,009; OR = 2,713), riwayat keturunan (p value = 0,033; OR = 2,618),
pemeriksaan antenatal (p value = 0,0001; OR = 17,111), riwayat
preeklampsia p value = 0,0001; OR = 20,529), riwayat hipertensi (p value
= 0,0001; OR = 6,026). Variabel yang tidak berhubungan adalah jenis
pekerjaan, tingkat pendidikan, riwayat diabetes mellitus, dan riwayat
kehamilan ganda (Saraswati, 2016; h. 90 – 99).
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Radjamuda
mengenai Faktor – faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Hipertensi pada Ibu Hamil di Poli Klinik Obsgyn Rumah Sakit Jiwa Prof.
Dr. V. L. Ratumbuysang Kota Manado. Pada penelitian ini didapatkan
kejadian hipertensi dalam kehamilan berupa preeklampsia dan eklampsia
pada ibu hamil berumur < 20 tahun sejumlah 117 orang (56,5%), pada

6
primipara 109 orang (52,7%), dan pada riwayat hipertensi (preeklampsia
dan eklampsia) 115 orang (55,6%). Hasilnya terdapat hubungan pada umur
dengan p value = 0,002, paritas dengan p value = 0,000, dan riwayat
hipertensi dengan p value = 0,002 (Radjamuda, 2014; h. 33 – 40).
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Lusiana mengenai
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia pada
Ibu bersalin di Ruangan Camar II RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
Tahun 2014, didapatkan hasil tidak ada hubungan antara faktor umur
dengan kejadian preeklampsia (p value = 0,114), dan tidak ada hubungan
antara faktor paritas dengan kejadian preeklampsia (p value = 0,054).
Kemudian dalam penelitiannya, kejadian preeklampsia yang terjadi
berhubungan dengan riwayat penyakit yang pernah diderita ibu seperti
hipertensi, diabetes, ginjal, obesitas dengan p value = 0,000) (Lusiana,
2015; h. 29 – 33).
D. Patofisiologi
Penurunan aliran darah dapat terjadi pada penderita preeklampsia.
Perubahan ini menyebabkan prostaglandin pada plasenta terjadi
penurunan, dan mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia pada
uterus merangsang pelepasan bahan tropoblastik menyebabkan terjadinya
endhoteliosis menyebabkan pelepasan tromboplastin yang mengakibatkan
pelepasan tromboksan dan aktivasi agregasi trombosit deposisi fibrin.
Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme
sedangkan aktivasi / agregasi trombosit desposisi fibrin yang akan
menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah
menurun dan konsumtif koagulopati.
Konsumtif koagulopati mengakibatkan trombosit dan faktor
pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis.
Renin uterus yang dikeluarkan mengalir bersama darah sampai organ hati
dan bersama – sama angiotensin menjadi angiotensin I dan selanjutnya
menjadi angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan akan
menyebabkan terjadinya vasospasme yang menyebabkan lumen arteriol
menyempit sehingga hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah.
Tekanan perifer kemudian meningkat agar dapat mencukupi kebutuhan
oksigen sehingga menyebabkan hipertensi. Selain menyebabkan
vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula suprarenal untuk

7
mengeluarkan aldosterone. Vasospasme bersama dengan koagulasi
intravaskuler menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi
organ.
Gangguan multi organ dapat terjadi pada otak, darah, paru – paru,
hati / liver, renal, dan plasenta. Pada otak dapat mengakibatkan edema
serebri yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial,
kemudian peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi mengakibatkan
gangguan perfusi serebral., nyeri dan kejang. Pada darah akan
mengakibatkan sel ddarah merah dan pembuluh darah pecah yang dapat
berakibat terjadinya perdarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah
akan menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru – paru,
LADEP akan meningkat kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena
pulmonal, perpindahan cairan sehingga mengakibatkan terjadinya oedema
paru, dimana oedema paru dapat berakibat pada kerusakan pertukaran gas.
Pada hati, vasokonstriksi pembuluh darah menyebabkan gangguan
kontraktilitas miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan
menimbulkan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh
aldosteron terjadi peningkatan reabsorbsi natrium yang mengakibatkan
retensi cairan dan dapat menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat
menimbulkan kelebihan volume cairan. Selain itu, vasospasme arteriol
pada ginjal mengakibatkan penurunan GFR dan permeabilitas terhadap
protein akan meningkat. Penurunan GFR tidak diimbangi dengan
peningkatan reabsorbsi oleh tubulus sehingga menyebabkan diuresis
menurun sehingga terjadi oliguria dan anuria. Permeabilitas terhadap
protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein yang lolos dari
filtrasi glomerulus dan menyebabkan proteinuria.
Pada mata, akan terjadi spasmus arteriola selanjutnya mengakibatkan
oedema diskus optikus dan retina, keadaan ini dapat menimbulkan
terjadinya diplopia. Pada plasenta, penurunan perfusi akan menyebabkan
hipoksia atau anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan
plasenta yang berakibat pada Intra Uterine Growth Retardation yang dapat
memicu gawat janin. Hipertensi akan merangsang peningkatan medulla
oblongata dan sistem saraf parasimpatis. Hal tersebut berakibat pada
traktus gastrointestinal dan ekstremitas. Pada traktus gastrointestinal
menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal dan penmpukan ion H,

8
mengakibatkan HCl meningkat sehingga mengakibatkan nyeri epigastrik.
Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual
– muntah. Pada ekstremitas dapat terjadi metabolism anaerob
menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan
pembentukan asam laktat sehingga berakibat klien menjadi cepat lelah,
dan lemah (Sukarni dan Margareth, 2013; h. 171 – 173).
E. Penatalaksanaan
Penanganan kasus preeklampsia berat dan eklampsia pada dasarnya
sama, kecuali pada persalinan, harus berlangsung dalam 12 jam setelah
timbulnya kejang pada eklampsia. Pada kasus preeklampsia berat, klien
harus ditangani secara aktif serta penanganannya dilakukan di Rumah
Sakit rujukan. Penatalaksanaan yang harus dilakukan yaitu pemberian
antikonvulsan dan penanganan umum. Antikonvulsan dilakukan dengan
pemberian MgSO4 untuk mencegah kejang.
Syarat pemberian MgSO4 yaitu:
1. Frekuensi napas minimal 16 kali / menit
2. Refleks patella (+/+)
3. Urine minimal 30 ml / jam dalam 4 jam terakhir
4. Selain itu, juga harus dipersiapkan antidotum kalsium glukonas 1 g (20
ml dalam larutan 10%) IV perlahan – lahan sampai pernapasan
kembali lagi.
Cara pemberian dosis awal MgSO4 :
1. Mengambil 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) kemudian
larutkan dengan 10 ml akuades.
2. Memberikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit.
3. Apabila akses intravena sulit, maka berikan masing – masing 5 g
MgSO4 (12,5 ml larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan.
Cara pemberian dosis rumatan MgSO4 yaitu dengan mengambil
sebanyak 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) kemudian larutkan
dalam 500 ml larutan Ringer Laktat attau Ringer Asetat, lalu diberikan
secara IV dengan kecepatan 28 tetes per menit selama 6 jam, dan diulang
hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir (bila terjadi kasus
eklampsia) (WHO (2013) dalam Amellia, 2019 (131 – 132).
Selain pemberian antikonvulsan, tatalaksana lain yang harus dilakukan
yaitu dengan penangganan umum,diantaranya yaitu:

9
1. Apabila tekanan diastolik tetap > 110 mmHg, berikan obat
antihipertensi sampai tekanan diastolik di antara 90 – 100 mmHg.
2. Pasang infus dengan jarum besar.
3. Ukur keseimbangan cairan dan jangan sampai terjadi overdosis cairan.
4. Melakukan kateterisasi urine.
5. Apabila jumlah urine < 30 ml/jam, hentikan pemberian MgSO4
kemudian berikan cairan IV (NaCl 0,9% atau Ringer Lakta) 1 liter per
8 jam.
6. Pantau kemungkinan edema paru.
7. Jangan meninggalkan pasien sendirian apabila pasien kejang disertai
aspirasi muntah karena dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
8. Observasi tanda – tanda vital, refleks, serta denyutjanin setiap jam.
9. Melakukan auskultasi paru untuk mencari tanda – tanda edema paru.
10. Menghentikan pemberian cairan IV dan berikan diuretik misalnya
furosemide 40 mg IV sekali saja apabila terjadi edema paru.
11. Nilai pembekuan darah. Apabila pembekuan terjadi setelah 7 menit,
kemungkinan besar terjadi koagulopati.

10

Anda mungkin juga menyukai