Anda di halaman 1dari 19

CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE (1857—1936)

Oleh Rimbun Natamarga

Belanda kembali berkuasa di Jawa dan sejumlah tempat di Nusantara pada 1816,
dengan pusat pemerintahan yang ada di Batavia. Seperti Kompeni, periode kali ini
dimulai dengan kebutaan mereka terhadap Islam di Hindia Belanda. Semula,
Belanda tidak berani mencampuri urusan yang terkait Islam secara langsung. Hal ini
dapat dimaklumi, mengingat mereka masih kekurangan pengetahuan terhadap
Islam itu sendiri.1 Aqib Suminto yang secara khusus meneliti tentang sikap Belanda
terhadap Islam di Hindia Belanda pun pernah mengatakan,

“Sikap Belanda dalam masalah ini ‘dibentuk oleh kombinasi kontradiktif


antara rasa takut dan harapan yang berlebihan.’ Di satu pihak Belanda
sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik.
Sementara di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan
kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Dalam hal ini
Islam sangat ditakuti, karena dianggap mirip dengan Katolik. Hubungan
antara umat Islam di kepulauan ini—terutama para ulamanya—dengan
Khalifah Turki, semula dianggap sama dengan hubungan antara umat
Katolik dengan Paus di Roma. Tetapi waktu itu Pemerintah Hindia Belanda
belum berani mencampuri masalah Islam, dan belum mempunyai
kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah ini. Di samping karena belum
memiliki pengetahuan Islam dan bahasa Arab, pada waktu itu pemerintah
Belanda juga belum mengetahui sistem sosial Islam.”

Yang juga mesti diketahui, undang-undang yang dibuat Pemerintah Hindia


Belanda waktu itu memberikan ruang yang cukup bebas bagi siapa saja di Hindia
Belanda untuk menjalankan keyakinannya. Dalam Regeerings Reglement atau
peraturan pemerintah ayat 119, misalnya, dikatakan bahwa “Setiap warga negara

1 Pada masa-masa seperti inilah, meletus perlawanan-perlawanan besar dari umat


Islam terhadap pemerintah Hindia Belanda. Beberapa yang patut disebut adalah
Perang Padri (1821—1827) dan Perang Diponegoro (1825—1830). Juga bisa disebut
di sini Perang Aceh yang meletus sejak 1873. Ketika menangani Perang Aceh inilah,
pemerintah Hindia Belanda mulai memahami karakter sosial pemeluk-pemeluk
Islam di Hindia Belanda.
bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat
dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama.”

Sayangnya, aturan seperti itu tidak selalu dijalankan. Buktinya, terkait


masalah haji, pemerintah kolonial tetap tidak bisa tidak mencampuri urusannya,
karena para haji sampai masuk abad ke-20 dicurigai sebagai pembawa sikap fanatik
terhadap agama dan pendorong terjadinya pemberontakan di tengah umat Islam.

Dari situlah kemudian, sebagai misal yang lain, pemerintah Hindia Belanda
membuat peraturan baru pada 1859 yang memberi wewenang kepada gubernur
jenderal untuk mencampuri masalah agama di Hindia Belanda, jika dipandang perlu
demi kepentingan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dalam peraturan yang
baru itu juga, seorang gubernur jenderal melalui bawahannya diharuskan untuk
mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh pemuka-pemuka agama Islam di
tengah masyarakat.

Setelah datang Christiaan Snouck Hurgronje (1857—1936) atau Abdul


Ghaffar ke Hindia Belanda, pemerintah Hindia Belanda dapat memahami—dan juga
sekaligus menguasai—umat Islam di Hindia Belanda dengan lebih baik. Bahkan,
Harry J. Benda, salah seorang pengkaji sejarah Islam di Indonesia pada zaman
kolonial, berani menyebut Hurgronje sebagai “arsitek keberhasilan politik Islam
yang paling legendaris”, terutama di Hindia Belanda.

Hurgronje lahir di Tholen, Ousterhout, Belanda, pada tanggal 8 Februari


1857. Ayahnya adalah seorang pendeta berdarah Yahudi yang bernama J.J. Snouck
Hurgronje. Ibunya bernama Anna Maria Visser, putri Pendeta Christian de Visser.
Sejatinya, hubungan ayah dan ibu Hurgronje adalah hubungan gelap. Karena
hubungan itulah, ayah Hurgronje dipecat dari Gereja Reformasi Belanda2 yang ada
di Tholen pada tanggal 3 Mei 1849. Mereka baru menikah secara resmi di Terheijden

2 Gereja Reformasi Belanda adalah salah satu kelompok denominasi (baca: mazhab)
Kristen Protestan. Gereja Reformasi Belanda (Nederlandse Hervormde Kerk [NHK])
adalah salah satu yang banyak memengaruhi gereja Protestan di Jawa khususnya
dan di Indonesia umumnya.
pada tanggal 31 Januari 1855.3 Waktu itu, mereka sudah memiliki dua orang anak.4
Hurgronje sendiri adalah anak kedua mereka yang lahir setelah pernikahan itu.

Sejak kecil, Hurgronje telah diarahkan orangtuanya untuk menaruh


perhatian terhadap teologi. Tidak heran, setamat dari sekolah menengahnya di
Breda, Belanda, Hurgronje mengambil kuliah di Fakultas Teologi di Universitas
Leiden, Belanda, pada 1875. Ia kemudian pindah kuliah ke Fakultas Sastra jurusan
Arab, masih di universitas yang sama.

Pada tanggal 24 November 1880, ia akhirnya lulus dari pendidikannya


dengan yudisium cum laude. Ia pun berhak dengan titel doktor untuk bidang Sastra
Semit. Disertasinya berjudul “Het Mekkaanshe Feest” yang berisi pembahasan
tentang ibadah haji di Mekkah. Dalam disertasi itu, ia menyimpulkan bahwa ibadah
haji yang memiliki kedudukan penting bagi umat Islam adalah sebuah ritual
peninggalan paganisme bangsa Arab.

Setelah itu, Hurgronje memulai karirnya sebagai dosen pada Pendidikan


Khusus Calon Pegawai di Hindia Belanda di Universitas Leiden. Ia diserahi tugas
untuk menyiapkan calon-calon pegawai kolonial Belanda yang akan dikirim ke
Hindia Belanda. Pada masa-masa inilah, ia mengenal sejumlah orientalis terkenal,

3 Tidak berapa lama dari pernikahan mereka, ayah Hurgronye berusaha memulihkan
kedudukannya di Gereja Reformasi Belanda. Pada tanggal 13 Agustus 1856,
permohonan itu dikabulkan oleh pihak Gereja Reformasi Belanda. Dalam salah satu
arsip, pengabulan diiringi dengan harapan dari gereja. “Dengan berdoa dari hati
yang tulus karena sadar akan kesalahannya serta melalui perayaan Jamuan Kudus,”
demikian arsip itu ditulis, “semoga hatinya yang telah putus asa dapat asa dapat
dihibur sehingga mendorong semangatnya. Selain itu diharapkan agar ia
menemukan rangsangan baru hingga tetap setia kepada itikad-itikad baik dan ikrar-
ikrar kudus. Dengan dilengkapi perilaku yang baik, semua itu setidak-tidaknya
dapat menghapus noda dahulu.”
4 Dua kakak kandung Hurgronje yang lahir dari hubungan gelap orangtuanya itu
bernama Anna Maria dan Jacqueline Julie. Karena lahir tanpa ikatan pernikahan,
keduanya memakai nama ibunya, De Visser, pada nama-nama mereka (Anna Maria
de Visser dan Jacqueline Julia de Visser). Jika Anna lahir pada tanggal 24 Mei 1849,
maka Julie lahir pada tanggal 4 Desember 1850. Sebulan setelah pernikahan orangtua
Hurgronje, lahir lagi seorang anak perempuan mereka pada tanggal 19 Februari
1855. Kakak perempuan ketiga Hurgronje ini diberi nama Christina Anna Catherina.
seperti Carl Bezold (1859—1922). Sebelum itu, Hurgronje juga sempat mengikuti
kuliah-kuliah Theodore Noldeke (1836—1930), seorang orientalis terkemuka
berkebangsaan Jerman.

Agustus 1884, Hurgronje berangkat menuju Jazirah Arab. Tentang alasan


yang mendorongnya melakukan itu, ada yang berpendapat bahwa perjalanannya ke
Arab ini terinspirasi oleh pertemuannya yang mengesankan dengan Carlo Landberg
(1848—1924) dan Amin Al-Madani pada Konfrensi Orientalis Internasional tahun
1883. Landberg adalah seorang orientalis dari Swedia, sedangkan Al-Madani
seorang penulis dan pedagang kitab-kitab Arab.

Di samping itu, Hurgronje berangkat ke Jazirah Arab, sebenarnya, untuk


menghindari kebekuan intelektual yang sedang terjadi di tengah lingkungan
akademisnya. Tidak seperti abad ke-17, di Leiden perhatian terhadap kajian hukum
Islam waktu itu sedang mengalami kemunduran dan Hurgronje tidak menginginkan
hal itu. Ada juga berpendapat bahwa sebab yang mendorongnya adalah
keinginannya Hurgronje pribadi untuk memperdalam pengetahuan praktisnya
terhadap bahasa Arab.

Terlepas dari semua pendapat itu, selama lima bulan pertama di Jazirah
Arab, Hurgronje tinggal di Jeddah bersama Konsul Belanda, J. Kruyt. Darinya,
Hurgronje mendapat bantuan uang dan kemudahan-kemudahan lainnya.

Dari Jeddah, ia kemudian bertolak ke Mekkah dan tiba di sana pada tanggal
22 Februari 1885. Untuk memudahkan urusannya, ia menyatakan diri masuk Islam
dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Dengan statusnya yang baru ini, ia
dapat bertemu dengan sejumlah syaikh tarekat, pengajar-pengajar di Masjidil
Haram, dan berbagai macam orang, terutama yang berasal dari Sumatera dan Jawa.

Di Mekkah, Hurgronje tinggal selama tujuh bulan, mengumpulkan data baru


terkait Islam dan para pemeluknya serta mengamati dari dekat kehidupan di pusat
Islam. Apa yang ia dapatkan itu kelak ia susun menjadi sebuah karya baru yang
berjudul Mekka.5

5 Sebuah versi yang agak berbeda dikemukakan oleh Yusuf Mpd dalam salah satu
postingannya di www.kompasiana.com. Di situ, ia menulis, “Selama tujuh bulan,
Hurgronje tinggal di Makkah. Meski terbilang singkat, dia mengamati, mencatat, dan
mempelajari kehidupan masyarakat lokal. ‘Waktu itu, Makkah memiliki salah satu
pasar budak terbesar di dunia, dan Hurgronje kagum dengan perlakukan manusiawi
Ia baru pergi dari Mekkah pada Agustus 1885. Terkait kepergian Hurgronje
dari Mekkah itu, Abdurrahman Badawi yang menuliskan profil Hurgronje dalam
Mawsu’ah Al-Mustasyriqin mengatakan,

“Namun akhirnya, pada bulan Agustus, Snouck dipaksa keluar dari Mekkah
oleh Konsul Perancis. Dia pulang dengan empat ekor unta yang membawa
barang-barang yang dikumpulkan selama mukim di sana. Yang disesalkan
adalah perintah untuk meninggalkan Mekkah itu bertepatan dengan awal
musim haji. Padahal disertasi yang pernah ditulisnya berkaitan dengan
musim haji, meskipun hanya berdasarkan pada sumber-sumber literatur,
manuskrip-manuskrip, dan pengalaman-pengalaman orang yang sudah
berziarah ke sana. Bukan atas dasar pengalamannya sendiri.”

yang diberikan kepada budak karena budak-budak itu diperlakukan sebagai


anggota keluarga.’ Hurgronje juga mengamati kehidupan wanita di Makkah.
Persoalan status sosial, rasa mode, dan kebebasan yang diberikan kepada kalangan
wanita ini dibandingkannya dengan wanita di kota-kota di Timur lainnya. Minatnya
yang begitu besar terhadap Makkah membuat curiga pemerintah negara Eropa yang
lain. Setelah itu terungkap bahwa Hurgronje adalah seorang mata-mata, penipu,
sekaligus sebagai sedikit dari kalangan orientalis kala itu. Tak lama usai menikahi
wanita Ethiopia, dia dideportasi dari Arab Saudi atas permintaan pemerintah Prancis
yang menuduhnya telah mencuri batu Taima. Akibatnya, Hurgronje harus segera
meninggalkan Makkah. Dengan tergesa- gesa , dia mengumpulkan catatan dan foto-
foto yang diperolehnya selama tinggal di Makkah. Namun peralatan kamera
ditinggalnya dan dititipkan kepada temannya yang seorang mahasiswa fotografi, Al-
Sayyid Abd Al-Ghaffar. Hurgronje kemudian balik ke Belanda dan mulai menulis
berbagai artikel mengenai Makkah. Dia tetap menjalin kontak dengan temannya, Al-
Sayyid untuk bertukar informasi dan mendapatkan foto-foto terbaru mengenai
Makkah, termasuk foto-foto mengenai jamaah haji. Sekembalinya di tanah
kelahirannya, tak diketahui kabar selanjutnya, apakah dia masih memegang agama
Islamnya, atau kembali ke agama asalnya. Namun, banyak karya yang dibuatnya
mengenai Islam dan budaya Makkah. Mungkin karena itu pula, hubungan dia
dengan petinggi Arab Saudi bisa terjalin baik. Sebagai pertanda eratnya hubungan
itu, Pangeran Saud dari Kerajaan Saudi sampai tiga kali mengunjungi Belanda
selama kurun waktu 1926-1935.”
Keterangan yang mirip bisa kita dapati pada apa yang pernah ditulis
Suminto. Dalam disertasinya yang terkenal itu, Suminto menulis,

“Andaikata bukan karena ‘hasutan’ dari wakil Konsul Perancis, tentulah ia


belum akan mengakhiri kunjungannya di kota suci ini. Kunjungan ini sengaja
dilakukannya di luar musim haji, sehingga leluasa menggunakan waktu
sehari-hari untuk membicarakan masalah Islam dengan para ulama di sana.
Ia juga bermaksud melihat koleksi buku dan naskah yang ada di sana,
sekaligus meneliti situasu kondisi ‘warga negara Belanda’ yang ada di kota
ini. Ternyata di sinilah terletak ‘jantung kehidupan Islam’ di Hindia Belanda,
dan dari sini pula urat nadi selalu memompakan darah segar yang tak
terhitung berapa jumlahnya ke seluruh penduduk muslim di Hindia
Belanda.”

Hurgronje kembali ke Leiden. Ia meneruskan aktivitas mengajarnya seperti


biasa, namun itu sebentar saja. Pada 1887, muncul keinginannya untuk mengadakan
penelitian di Hindia Belanda selama dua tahun. Keinginannya ini, ternyata,
mendapat dukungan dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen, sebuah lembaga kebudayaan yang didirikan oleh Gubernur
Jenderal Reinier de Klerk (1710—1780) di Batavia pada tanggal 24 April 1778.6
Rencananya, dalam penelitian itu, Hurgronje akan mengumpulkan data tentang
lembaga Islam di Hindia Belanda.

Pada tanggal 9 Februari 1888, Hurgronje mengajukan permohonan


resminya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Direktur Pendidikan, Agama
dan Perindustrian mendukung keinginan Hurgronje itu dan menyetujui pemberian
tunjangan kepada Hurgronje sebesar f. 1150 (baca: 1150 florin) yang akan dibayar
penuh setibanya di Batavia. Pemerintah Belanda, lewat Menteri Jajahan, akhirnya
menyatakan persetujuannya atas permohonan Hurgronje itu dan meminta kepada

6 Secara hafiah, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen berarti


Masyarakat Ilmu Pengetahuan dan Kesenian Batavia. Pada 1910, lembaga itu mulai
dikenal khalayak lewat sebutan Koninglijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen. Museum Gajah dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
adalah dua contoh warisan lembaga itu kepada bangsa Indonesia.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk
Hurgronje nanti.

Tepat tanggal 11 Mei 1889, Hurgronje tiba di Batavia. Lima hari berikutnya,
keluar keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengangkat Hurgronje
sebagai peneliti di Hindia Belanda selama dua tahun yang untuk itu akan mendapat
gaji sebesar f.700 per bulannya. Keputusan itu kemudian diperkuat dengan
keputusan Raja Belanda nomor 25 tertanggal 22 Juli 1889.

Hurgronje memang berbakat mengambil kepercayaan orang-orang di


sekitarnya. Seperti pemuka-pemuka Islam di Mekkah, dengan cepat Hurgronje
merebut kepercayaan orang-orang Islam di Batavia. Lebih dari itu, ia dapat
berteman akrab dengan mereka dan dapat meneliti masalah Islam di Jawa—dan
kemudian Aceh—dengan lebih baik.

Tentu saja, hal itu menjadi sesuatu yang mengesankan bagi Direktur
Pendidikan, Agama dan Perindustrian. Kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
sang direktur menceritakan kekagumannya. Dalam sepucuk suratnya kepada
gubernur jenderal, ia mengatakan, “Melalui pergaulan singkat, saya memeroleh
kesan bahwa ia memiliki pribadi yang tenang. Tidak tergesa-gesa. Dalam
penelitiannya di Arab pun ia berbuat seperti itu.”

Sesuai kesepakatan, Hurgronje berada di Batavia hanya selama dua tahun.


Akan tetapi, kinerjanya yang baik dan potensinya yang luar biasa bagi kepentingan
pemerintah Hindia Belanda mendorong pemerintah mengangkatnya sebagai
Penasehat Urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam pada tanggal 15 Maret
1891.

Dalam kedudukannya yang baru itu, pada tanggal 9 Juli 1889, Hurgronje
berangkat ke Aceh. Sejak tanggal 16 Juli 1891, ia menetap di Kutaraja atau Banda
Aceh sekarang dan mengamati dari dekat kehidupan penduduk setempat hampir
satu tahun lamanya. Pekerjaannya di Aceh itu membuatnya dapat memahami
karakter sosial masyarakat Aceh dan kelak menjadi bekal buatnya untuk
memberikan nasehat-nasehat penting terkait Islam di Hindia Belanda.

Hurgronje pulang ke Batavia pada tanggal 4 Februari 1892. Hasil


pengamatannya di Aceh ia susun menjadi apa yang bakal dikenal sebagai Atjeh
Verslag (Laporan Aceh). Sebagian besar laporan itu kemudian ia terbitkan menjadi
dua jilid buku berjudul De Atjehers. Dalam bahasa Belanda, jilid pertama buku itu
terbit pada 1893, sedangkan jilid kedua pada 1894. Dua belas tahun kemudian, De
Atjehers diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Selesai dengan karya itu, tidak membuatnya lepas dari Aceh. Sepanjang
1898—1903, ia sering pergi ke Aceh, membantu Jenderal Joannes Benedictus van
Heutz (1851—1924) menaklukkan Aceh. Seperti disinggung pada bagian yang lalu,
Perang Aceh telah meletus sejak 1873. Selama itu pula, masyarakat Aceh telah
membuat kewalahan pemerintah Hindia Belanda. Aceh akhirnya takluk pada 1903.

Karir Hurgronje sendiri telah menanjak tinggi, ketika pada tanggal 11 Januari
1899 diangkat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab. Ia memegang jabatan
itu sampai 1906. Ia kemudian pulang ke Belanda dan menerima pengangkatan
dirinya menjadi guru besar di Universitas Leiden tepat pada tanggal 23 Januari
1907.7 Dalam jabatannya sebagai guru besar itu, ia diangkat pula sebagai Penasehat
Menteri Jajahan sampai akhir hidupnya, 16 Juli 1936.

Semasa menjabat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab, Hurgronje


memiliki kedudukan yang demikian strategis dalam memengaruhi kebijakan
pemerintah Hindia Belanda terhadap umat Islam di Hindia Belanda, apalagi dengan
keberhasilan penaklukan Aceh itu yang tidak sedikit berdasarkan nasehat-
nasehatnya kepada Van Heutz dan memang sejumlah pandangan Hurgronje
menjadi dasar kebijakan pemerintah Hindia Belanda, bahkan sampai jauh setelah
Hurgronje selesai bertugas.

Secara umum, saran-saran yang diberikan Hurgronje kepada pemerintah


Hindia Belanda dibangun di atas tiga prinsip utama. Dalam karya Shihab,
Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi
Kristen di Indonesia, ketiga prinsip itu diuraikan secara gamblang.

“Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek ‘ibadah dari
Islam, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Logika di
balik kebijakan ini adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran
banyak orang bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur dalam

7 Dalam kedudukannya sebagai guru besar inilah Hurgronje menjadi promotor


orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasinya di Universitas Leiden
pada 1913, Hoesein Djajadiningrat. Disertasi yang dimaksud berjudul De Critische
Beschouwing van de Sadjarah Bantam, Tinjauan Kritis atas Sedjarah Banten.
masalah keimanan mereka. Ini merupakan wilayah yang peka bagi kaum
Muslim karena hal itu menyentuh nilai-nilai keagamaan mereka yang paling
dalam. Dengan berbuat demikian, pemerintah akan berhasil merebut hati
banyak kaum Muslim, menjinakkan mereka dan—sejalan dengan itu—akan
mengurangi, jika tidak menghilangkan sama sekali, pengaruh perlawanan
‘kaum Muslim fanatik’ terhadap pemerintah kolonial. […]. Prinsip kedua
adalah bahwa, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam, atau
aspek mu’amalat dalam Islam, seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan
hubungan-hubungan sosial lain, pemerintah harus berupaya
mempertahankan dan menghormati keberadaannya. Meskipun demikia,
pemerintah harus berusaha menarik sebanyak mungkin perhatian orang-
orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari
kebudayaan Barat. Hal itu dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia
menggantikan lembaga-lembaga sosial Islam di atas dengan lembaga-
lembaga sosial Barat. Diharapkan bahwa perlahan-lahan, sembari
berasosiasi dengan orang-orang Belanda, orang-orang Indonesia akan
menyadari keterbelakangan lembaga-lembaga sosial Islam milik mereka dan
menuntut digantikannya lembaga-lembaga itu dengan lembaga-lembaga
sosial model Barat. Dan akhirnya, hubungan yang lebih erat antara
penguasa Belanda dan rakyat Hindia Belanda akan berkembang dengan
sendirinya. Prinsip yang ketiga, dan paling penting, adalah bahwa dalam
masalah-masalah politik, pemerintah dinasihatkan untuk tidak menoleransi
kegiatan apa pun yang dilakukan oleh kaum Muslim yang dapat
menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme8 atau menyebabkan

8 Tentang pengertian Pan Islamisme, Suminto pernah menulis, “Pengertian Pan Islam
secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik
dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Secara modern dapat diartikan
bahwa kepemimpinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama. Pada masa
Usmani Muda [sebuah masa ketika intelektual-intelektual Turki Utsmani menentang
kekuasaan milik sultan yang berlangsung pada 1865—1878, pen.], Turki berusaha
menggunakan Pan Islam untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah kerajaan
Usmani. Usaha ini cepat menarik perhatian Asia Afrika yang pada waktu itu hampir
seluruhnya sedang dijajah oleh Barat. Ide Pan Islam ini akan memanfaatkan
kemajuan Barat dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Dalam perkembangan
selanjutnya, Pan Islam sekedar berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam
perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial
Belanda. Pemerintah harus melakukan kontrol ketat terhadap penyebaran
gagasan apa pun yang dapat membangkitkan semangat kaum Muslim di
Indonesia untuk menentang pemerintah kolonial. Pemangkasan gagasan-
gagasan seperti ini akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam yang
bersifat politis, yang menjadi ancaman terbesar terhadap pemerintahan
kolonial Belanda."

Hurgronje sendiri juga sempat menyatakan bahwa ketakutan pemerintah


kolonial selama ini terhadap Islam dan pemeluknya di Hindia Belanda adalah
sesuatu yang berlebih-lebihan. Islam tidak mengenal jenjang kependetaan atau
kepastoran, tepatnya, seperti yang dikenal dalam Kristen. Kyai-kyai tidak bisa
dipukul rata sebagai orang-orang yang fanatik. Kemudian, para penghulu, dalam
strata kepegawaian pribumi, adalah para bawahan pemerintah pribumi (seperti
bupati) dan bukan atasan-atasan mereka.

Orang-orang yang pergi ke Mekkah, menurut Hurgronje, tidak harus selalu


diartikan akan menjadi segerombolan orang yang berjiwa fanatik dan jahat.
Pengalamannya di Mekkah membuat Hurgronje berkesimpulan bahwa sebagian
besar muslim yang datang berhaji ke Mekkah bukanlah muslim fanatik yang ingin
memajukan Islam dengan segala cara. Sebaliknya, kata Hurgronje, “Banyak di antara
mereka yang kembali [ke Hindia Belanda, pen.] dalam keadaa sama bodohnya
dengan ketika mereka berangkat [ke Mekkah, pen.].”

Ketimbang menguatirkan kyai-kyai lokal yang tekun beribadah, Hurgronje


menyarankan agar pemerintah kolonial lebih memerhatikan pemeluk-pemeluk
Islam yang pergi ke Mekkah untuk belajar dan berdiam di sana bertahun-tahun
lamanya sampai tumbuh dalam diri-diri mereka rasa persatuan dan kesatuan
dengan seluruh umat Islam di dunia ini berdasarkan identitas keislaman yang sama-

dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa ukhuwah Islamiyah di
kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, Pan Islam dalam pengertian ini tetap
dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah, karena bisa membangkitkan
perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya. Umat Islam di suatu tempat—
berkat adanya Pan Islam—akan bisa merasakan penderitaan saudaranya di tempat
lain. Padahal sampai akhir Perang Dunia Pertama, sebagian besar umat Islam di
permukaan bumi ini berada dalam cengkeraman penjajahan asing.”
sama mereka hayati. Terlebih lagi, kepada para pemeluk Islam yang mendakwahkan
perang suci (baca: jihad fi sabilillah) kepada pemerintah kafir.

Khusus gerakan-gerakan tarekat yang tumbuh subur di Hindia Belanda,


setelah mengadakan penelitian di Jawa, Hurgronje mengeluarkan dua rekomendasi.
Pertama, penguasa harus menghambat gerakan anti tarekat, baik itu dari kalangan
pejabat pemerintah ataupun dari kalangan rakyat biasa. Seperti yang telah umum
diketahui, di Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19, mulai muncul
kecenderungan di tengah umat Islam yang tidak menyetujui adanya tarekat-tarekat
Sufi. Meski demikian, dan ini rekomendasinya yang kedua, pihak penguasa harus
mengadakan pengawasan yang ketat terhadap segala aktivitas tarekat-tarekat yang
ada.

Bagaimana pun, tarekat, menurut Hurgronje, memiliki kedudukan yang


sangat kuat di Kepulauan Nusantara, sehingga tidak mungkin dihapuskan atau
dilarang hanya dengan surat keputusan pemerintah. Dalam salah satu nasehatnya
kepada pemerintah kolonial, Hurgronje pernah menasehati pemerintah untuk tidak
melarang aktivitas Tarekat Syattariyah di Yogyakarta yang waktu itu sempat disorot
oleh pemerintah setempat terkait rencana mengasingkan Kyai Krapyak menyusul
sebuah insiden pembunuhan pegawai pemerintahan di Sidoarjo pada Mei 1904. Lagi
pula, dalam pandangan Hurgronje, Tarekat Syattariyah pada dasarnya tidak memiliki
kecenderungan politik, sehingga kurang berbahaya. Bahkan, Hurgronje sempat
mengatakan, “Uit een politiek oogpunt steekt daarin niets bedenkelijks: voor
humane en verdraagzame bergrippen laat die mystiek zelfs veel meer plaats dan de
orthodoxe Islam” yang dalam bahasa kita berarti “Dari segi politik, tasawuf dan
tarekat yang bersifat wihdatul wujud bukan sesuatu yang berbahaya, justru mereka
itu lebih terbuka untuk pemikiran yang humanis dan toleran ketimbang Islam yang
sempurna.”

Khusus kepada para pembaca karya-karyanya dan orang-orang atau


pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk meneliti Islam dan para pemeluknya,
Hurgronje mengemukakan pandangannya tentang cara memahami pemeluk-
pemeluk Islam dalam pengantarnya di jilid pertama De Atjehers. Menurutnya,
mereka yang memang betul-betul ingin menyelami faktor Islam dalam kehidupan
suatu bangsa atau masyarakat hendaklah mengetahui juga permainan anak-anak
bangsa itu, kesenangan orang-orang dewasa di situ, seluk-beluk pengaturan desa
atau daerah mereka, dan karya-karya sastrawi mereka, sebab semua itu memiliki
segi-segi yang sama penting dengan (1) kitab-kitab yang digunakan oleh mereka
dalam pengajaran agama mereka, (2) tarekat-tarekat Sufi yang berkembang di
tengah-tengah mereka dan (3) kedudukan pemuka-pemuka agama mereka.

Jangan mengira sudah cukup dengan mengetahui ajaran agama suatu


masyarakat, tegas Hurgronje, sebab dalam kehidupan masyarakat, unsur-unsur
agama dan non-agama saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Selain melihat Islam,
lihatlah juga para pemeluk Islam itu sebagai individu dan sebagai anggota suatu
masyarakat, sebagai makhluk sosial. Lihat, bagaimana ajaran agama mereka
dipraktekkan dalam kehidupan nyata.

Karena pandangannya yang seperti itu, Hurgronje akhirnya mengamati


adat-adat setempat yang berlaku di masyarakat objek pengamatannya dan
membuatnya ditabalkan sebagai salah seorang penemu hukum adat. Bahkan, ialah
pula yang dikenal sebagai orang pertama yang menggunakan istilah hukum adat
untuk unsur-unsur adat yang mempunyai akibat hukum.
SNOUCK HURGRONJE MUSLIM?

Di antara hal yang paling banyak diperdebatkan terkait Hurgronje adalah statusnya
sebagai seorang muslim. Apakah Hurgronje masuk Islam secara tulus atau hanya
kamuflase untuk tujuan-tujuan tertentu? Para pemerhati dan peneliti sejarah Islam
di Indonesia, dulu dan sekarang atau muslim dan non-muslim, telah berusaha
menjawab pertanyaan itu dan sebagian mereka percaya bahwa Hurgronje masuk
Islam karena tuntutan profesi.

Peter Sjord van Koningsveld pernah secara khusus meneliti catatan-catatan pribadi
dan tulisan-tulisan Hurgronje di Mekkah. Sebagian hasil penelitian itu kemudian
dikumpulkan dan diterbitkan di bawah judul Snouck Hurgronje en Islam: Acht
artikelen over leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk.

Terkait waktu dan cara masuk Islamnya Hurgronje, Van Koningsveld menulis,

“Mengenai masuk Islamnya Snouck untuk sementara orang dapat berbeda


pendapat. Atas dasar keterangan-keterangan dari buku harian kecil Snouck di
Jeddah telah saya rekonstruksikan jalannya peristiwa itu yang paling mungkin,
bahwa masuk Islamnya berlangsung secara resmi melalui pengucapan syahadat di
hadapan qadli Jeddah dengan dihadiri dua orang saksi, pada tanggal 16 Januari
1885.”

Kemudian, terkait tujuan masuk Islamnya Hurgronje, Van Koningsveld menegaskan


bahwa

“Masuk Islamnya Snouck dilangsungkan dengan dasar dasar ‘’pour besoin de la


cause [demi sesuatu urusan], yakni untuk mengunjungi Mekah. Perjalanannya
bertujuan ganda: (1) menyelidiki jemaah haji Hindia Belanda di negeri Arab, untuk
maksud itu, secara tidak langsung memperoleh tunjangan perjalanan dari
Kementerian Urusan Jajahan; tak lama setelah kedatangannya ia langsung
menekuni masalah itu di Jeddah dengan memotret kelompok-kelompok jemaah haji
Hindia Belanda; selanjutnya ia membuat banyak catatan di dalam buku hariannya
berdasarkan wibawa Raden Abu Bakar Djajadiningrat, seorang pelajar Sunda di
Mekkah. (2) Di samping itu Snouck terutama ingin mengikuti contoh pakar Islam
Ignaz Goldziher yang menjadi murid para syaikh Azhar di Kairo yang mempelajari
Islam dari dalam. Snouck mengikuti contoh Goldziher ini dengan cara yang sama,
ingin diterima sebagai murid para ulama Mekah.”

Apa yang disampaikan Van Koningsveld itu menarik. Sekarang, perhatikan apa yang
juga pernah ditulis Suminto, terkait masuk Islamnya Hurgronje. Dalam Politik Islam
Hindia Belanda, halaman 120, Suminto mengatakan,

“Bagaimana Snouck Hurgronje bisa memasuki kota suci yang pada hakekatnya
tertutup bagi nonomuslim ini, jawabannya cukup sederhana. Snouck pergi atas
nama muslim dengan nama Abdul Gaffar. Di tengah kekaguman atas prestasinya
yang luar biasa, yakni berhasil memasuki kota suci yang tidak mungkin dimasuki
oleh rekan-rekannya dan berhasil mengungkapkan aneka data berharga dalam
perjalanan tersebut, timbullah kritik atas ketidak jujuran Snouck Hurgronje.
Sebagian besar data yang diperolehnya secara lisan, didapatkan dari informan yang
justeru percaya atas keislamannya. Secara ilmiah dia tidak menjelaskan cara
bagaimana, kapa dan dari siapa data tersebut diperoleh. Dengan demikian ia
‘terhindar dari penilaian secara ilmiah’. Kenyataan ini ‘cukup memadai [menodai?,
pen.] karir ilmiahnya’. Memang pribadi Snouck Hurgronje menampilkan dua
gambar: sebagai ilmiawan dan sebagai politikus.”

Pada halaman 123-125, masih dalam buku yang sama, Suminto menyatakan,

“[S]ampai kini masalah masuk Islamnya Snouck Hurgronje ini tetap menjadi
persoalan; bahkan majalah Universitas Leiden—pada tahun 1980—juga masih
mempermasalahkan masuk Islam tidaknya Snouck Hurgronje. Van Koningsveld,
penulis artikel tentang ini dalam majalah tersebut memberikan suatu penilaian,
bahwa Snouck Hurgronje kurang jujur. Kepada orang Islam ia bersikap seolah-olah
muslim dan tidak membantah pembenaran mereka, sebaliknya kepada orang
Belanda sendiri dia tidak pernah menyatakan masuk Islam. Menurut Gobee tidaklah
jelas apakah Snouck Hurgronje masuk Islam atau tidak, tapi yang jelas para ulama
Arab mengambil kesimpulan bahwa dia masuk Islam. Uraian Gobee ini didramatisir
oleh Van Koningsveld, bahwa atas dasar pembicaraan tentang pengetahuan Islam
dengan Snouck Hurgronje, maka para ulama Makkah mengambil suatu kesimpulan
masuk Islamnya Snouck Hurgronje. ‘Sebenarnya Snouck Hurgronje bukanlah muslim.
Para ulama Makkah tertipu dan ini merupakan kesalahan mereka sendiri.’ Pada
hemat penulis [maksudnya, Suminto sendiri, pen.] Snouck Hurgronje memang
menyatakan diri muslim pada waktu itu, terlepas dari alasan pura-pura atau tidak.
Sebab betatapun tingginya pengetahuan Islam seseorang, selama dia tidak
melaksanakan rukun Islam, maka di mata orang Islam ia bukanlah muslim. Dalam
hal ini andaikata rukun Islam pertama—syahadat—tidak diucapkan Snouck
Hurgronje, sangatlah tidak mungkin dia begitu saja diakui sebagai muslim. Apalagi
semua orang tahu bahwa Snouck Hurgronje mengucapkan kalimah syahadah, tapi
besar kemungkinan bahwa ia juga menunaikan salat, bahkan mungkin pula
melaksanankan puasa; sebab terlalu sulit agaknya bagi Abdul Gaffar untuk
mempertahankan pengakuan Islamnya selama enam bulan tanpa melakukan
ibadah salat, karena tinggal di kota suci Makkah. Satu hal yang perlu diingat adalah
batasan tentang iman dalam agama Islam, yaitu ucapan lisan yang dibenarkan hati
dan dibuktikan oleh amal perbuatan sehari-hari. Andaikata pengakuan Snouck
Hurgronje ternyata kemudian hanya merupakan pengakuan tipu daya, masalahnya
bisa dikembalikan kepada kejujuran Snouck Hurgronje sendiri, dan bukan kesalahan
atau kebodohan orang lain yang mempercayainya. Setelah berada di Indonesia pun
dia berperilaku semacam syaikhul Islam, tapi setelah kembali ke negeri Belanda
ternyata dia menampilkan gambar yang berbeda antara kulit dan isi. Memang tidak
bisa diinkari, bahwa setelah memasuki lingkungan Fakultas Teologi di Universitas
Leiden, Snouck Hurgronje berada dalam pengaruh para profesor rasionalis saat itu.
Mereka tidak mau menerima hal-hal yang dinilainya irasional dalam agama Kristen,
seperti Trinitas dan kedudukan Yesus sebagai anak Allah, sehingga tidak begitu jauh
jaraknya dengan agama Islam. Namun sikapnya yang pura-pura masuk Islam itu,
betapapun sudah melebihi sifat toleransi atau simpansi, bahkan lebih mendekati
kecurangan dan ketidakjujuran.”

Lebih gamblang adalah pendapat W.F. Wertheim, penulis The Indonesian Society in
Transition. Dalam artikel berjudul “Snouck Hurgronje en de Ethiek van
Sociaalwetenschappelijk Onderzoek” yang dimuat dalam De Gids, 5, Tahun 1981, ia
menyatakan bahwa sikap pura-pura muslim bahkan pura-pura sebagai teman dari
bangsa yang akan diperanginya masih bisa dinilai sebagai pegawai kolonial yang
cakap. Akan tetapi, karena tindakan itulah, tulis Wertheim, “gambaran umum
sebagai ilmuwan pada awal karirnya, ternoda oleh kenyataan ini.”

Untuk melengkapi keterangan dari Van Koningsveld dan Suminto serta keterangan
ringkas dari Wertheim, dalam acara bedah buku Dari Buku Ke Buku: Sambung
Menyambung Menjadi Satu P. Swantoro di Aula Pusat Studi Bahasa Jepang, Fakultas
Sastra, Universitas Padjadjaran (Unpad), tahun 2002, Guru Besar Ilmu Sejarah
Unpad, Nina Herlina Lubis, menyatakan bahwa masuk Islamnya Snouck Hurgronje
adalah sebuah kepura-puraan belaka. Hurgronje melakukan itu agar ia dapat masuk
ke Mekkah dan diterima oleh ulama-ulama di sana.

Pernyataan Lubis itu sendiri muncul terkait sebuah uraian menarik yang dipaparkan
Swantoro dalam bukunya, tepat pada halaman 169-170. Di situ, Swantoro menulis,

“Snouck Hurgronje memang menekuni studi bahasa Arab dan Islamologi, khususnya
ilmu syariat. Ia mengalami tinggal di Mekah selama limasetengah bulan pada 1885.
Pengalaman ini dibukukannya dalam bahasa Jerman, Mekka, terdiri dari dua jilid,
yang membuatnya terkenal secara internasional. Buku ini mengungkapkan idealnya
dalam menekuni Islam secara ilmiah: ‘Volledige beheersing van de schriftelijke
bronnen, gepaard aan omvattende kennis van de levende werkelijkheid.’ Menguasai
sepenuhnya semua sumber tertulisnya, disertai pengetahuan yang lengkap
mengenai realitas yang hidup. Jilid pertama Mekka berisi sejarah Mekah sampai
1887, yang sebagian bersumberkan bahan-bahan Arab yang tidak dikenal, akan
tetapi yang didapat oleh penulisnya di Mekah. Jilid kedua melukiskan panjang-lebar
dalam tiga bab kehidupan kemasyarakatan dan rumahtangga, maupun kegiatan di
bidang ilmu pengetahuan. Bab keempat dikhususkan untuk menyoroti sikap-tindak
orang-orang Indonesia, yang merupakan kelompok besar dan yang selama satu
tahun penuh hidup di tengah-tengah hiruk-pikuk kosmopolitis Kota Suci.”

Setelah itu, Swantoro mengemukakan pendapatnya.

“Bab IV itu dapat dipandang sebagai ‘preludium’ atau pengantar bagi penelitiannya
di Hindia-Belanda. Ia ingin mengetahui bagaimana Mekah mempengaruhi
kehidupan rohaniah orang-orang Indonesia. Pengaruh itu tidak terutama secara
langsung dengan pertemuan yang terjadi pada musim Haji, akan tetapi secara tidak
langsung lewat koloni Jawa di Mekah. Sebelum memasuki Mekah, Snouck Hurgronje
telah menulis, ‘De Islam […] is eene macht, die door een koloniale mogenheid als de
onze met ernst besturdeerd en met grote wijsheid behandeld moet worden.’ Islam
[…] adalah suatu kekuatan yang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh dan yang
harus diperlakukan dengan sangat bijaksana oleh kekuasaan kolonial seperti halnya
Belanda.”
DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman Badawi. Ensiklopedi Tokoh Orientalis (Penerj. Amroeni Drajat).


Yogyakarta: LKiS. 2003.

Alwi Shihab. Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap


Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Penerj. Ihsan Ali-Fauzi). Bandung: Mizan.
1998.

H. Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken
(Cet. Ke-2). Jakarta: LP3ES. 1985.

P. Sj. Van Koningsveld. Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang
Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial (Penerj. Redaksi
Girimukti Pasaka). Jakarta: Girimukti Pasaka. 1989.

P. Swantoro. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta:


Kepustakaan Populer Gramedia dan Rumah Budaya Tembi. 2002.

Qasim As-Samarra-i. Bukti-Bukti Kebohongan Orientalis (Penerj. Syuhudi Ismail).


Jakarta: Gema Insani Press. 1996.

Ricklefs, Merle Calvin. Sejarah Indonesia Modern 1200—2008 (Penej. Tim


Penerjemah Serambi, Cet. Ke-3). Jakarta: Serambi. 2010.
Steenbrink, Karel. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta:
Bulan Bintang. 1984.

_____. Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia
1596—1950 (Penerj. Suryan A. Jamrah). Bandung: Mizan. 1995.

http://arjaenim.blogspot.com/2013/04/tokoh-orientalisme-christian-snouck.html
diakses pada tanggal 27 Juli 2013.

http://en.wikipedia.org/wiki/Theodor_N%C3%B6ldeke diakses pada tanggal 27 Juli


2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/Bataviaasch_Genootschap_van_Kunsten_en_Wetensc
happen diakses pada tanggal 28 Juli 2013.

https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Reformed diakses pada tanggal 26 Juli 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/Reinier_de_Klerk diakses pada tanggal 28 Juli 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/Snouck_Hurgronje diakses pada tanggal 26 Juli 2013.

http://sejarah.kompasiana.com/2013/06/08/christiaan-snouck-hurgronje-
566972.html diakses pada tanggal 28 Juli 2013.

http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_ii/09750002-a-sauqi-s.ps diakses pada


tanggal 26 Juli 2013.

http://majelispenulis.blogspot.com/2013/07/snouck-hurgronje-sang-
orientalis.html diakses pada tanggal 26 Juli 2013.

http://members.westnet.com.au/gary-david-thompson/page11-39.html diakses
pada tanggal 27 Juli 2013.

http://salam-online.com/2013/05/snouck-hurgronje-seorang-agnostik-dan-
munafik-tulen-bag-1.html diakses pada tanggal 31 Juli 2013.
http://www.referensimakalah.com/2013/01/biografi-christiaan-snouck-
hurgronje.html diakses pada tanggal 27 Juli 2013.

http://sejarah.kompasiana.com/2013/06/08/christiaan-snouck-hurgronje-
566972.html diakses pada tanggal 27 Juli 2013.

Anda mungkin juga menyukai