Belanda kembali berkuasa di Jawa dan sejumlah tempat di Nusantara pada 1816,
dengan pusat pemerintahan yang ada di Batavia. Seperti Kompeni, periode kali ini
dimulai dengan kebutaan mereka terhadap Islam di Hindia Belanda. Semula,
Belanda tidak berani mencampuri urusan yang terkait Islam secara langsung. Hal ini
dapat dimaklumi, mengingat mereka masih kekurangan pengetahuan terhadap
Islam itu sendiri.1 Aqib Suminto yang secara khusus meneliti tentang sikap Belanda
terhadap Islam di Hindia Belanda pun pernah mengatakan,
Dari situlah kemudian, sebagai misal yang lain, pemerintah Hindia Belanda
membuat peraturan baru pada 1859 yang memberi wewenang kepada gubernur
jenderal untuk mencampuri masalah agama di Hindia Belanda, jika dipandang perlu
demi kepentingan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dalam peraturan yang
baru itu juga, seorang gubernur jenderal melalui bawahannya diharuskan untuk
mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh pemuka-pemuka agama Islam di
tengah masyarakat.
2 Gereja Reformasi Belanda adalah salah satu kelompok denominasi (baca: mazhab)
Kristen Protestan. Gereja Reformasi Belanda (Nederlandse Hervormde Kerk [NHK])
adalah salah satu yang banyak memengaruhi gereja Protestan di Jawa khususnya
dan di Indonesia umumnya.
pada tanggal 31 Januari 1855.3 Waktu itu, mereka sudah memiliki dua orang anak.4
Hurgronje sendiri adalah anak kedua mereka yang lahir setelah pernikahan itu.
3 Tidak berapa lama dari pernikahan mereka, ayah Hurgronye berusaha memulihkan
kedudukannya di Gereja Reformasi Belanda. Pada tanggal 13 Agustus 1856,
permohonan itu dikabulkan oleh pihak Gereja Reformasi Belanda. Dalam salah satu
arsip, pengabulan diiringi dengan harapan dari gereja. “Dengan berdoa dari hati
yang tulus karena sadar akan kesalahannya serta melalui perayaan Jamuan Kudus,”
demikian arsip itu ditulis, “semoga hatinya yang telah putus asa dapat asa dapat
dihibur sehingga mendorong semangatnya. Selain itu diharapkan agar ia
menemukan rangsangan baru hingga tetap setia kepada itikad-itikad baik dan ikrar-
ikrar kudus. Dengan dilengkapi perilaku yang baik, semua itu setidak-tidaknya
dapat menghapus noda dahulu.”
4 Dua kakak kandung Hurgronje yang lahir dari hubungan gelap orangtuanya itu
bernama Anna Maria dan Jacqueline Julie. Karena lahir tanpa ikatan pernikahan,
keduanya memakai nama ibunya, De Visser, pada nama-nama mereka (Anna Maria
de Visser dan Jacqueline Julia de Visser). Jika Anna lahir pada tanggal 24 Mei 1849,
maka Julie lahir pada tanggal 4 Desember 1850. Sebulan setelah pernikahan orangtua
Hurgronje, lahir lagi seorang anak perempuan mereka pada tanggal 19 Februari
1855. Kakak perempuan ketiga Hurgronje ini diberi nama Christina Anna Catherina.
seperti Carl Bezold (1859—1922). Sebelum itu, Hurgronje juga sempat mengikuti
kuliah-kuliah Theodore Noldeke (1836—1930), seorang orientalis terkemuka
berkebangsaan Jerman.
Terlepas dari semua pendapat itu, selama lima bulan pertama di Jazirah
Arab, Hurgronje tinggal di Jeddah bersama Konsul Belanda, J. Kruyt. Darinya,
Hurgronje mendapat bantuan uang dan kemudahan-kemudahan lainnya.
Dari Jeddah, ia kemudian bertolak ke Mekkah dan tiba di sana pada tanggal
22 Februari 1885. Untuk memudahkan urusannya, ia menyatakan diri masuk Islam
dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Dengan statusnya yang baru ini, ia
dapat bertemu dengan sejumlah syaikh tarekat, pengajar-pengajar di Masjidil
Haram, dan berbagai macam orang, terutama yang berasal dari Sumatera dan Jawa.
5 Sebuah versi yang agak berbeda dikemukakan oleh Yusuf Mpd dalam salah satu
postingannya di www.kompasiana.com. Di situ, ia menulis, “Selama tujuh bulan,
Hurgronje tinggal di Makkah. Meski terbilang singkat, dia mengamati, mencatat, dan
mempelajari kehidupan masyarakat lokal. ‘Waktu itu, Makkah memiliki salah satu
pasar budak terbesar di dunia, dan Hurgronje kagum dengan perlakukan manusiawi
Ia baru pergi dari Mekkah pada Agustus 1885. Terkait kepergian Hurgronje
dari Mekkah itu, Abdurrahman Badawi yang menuliskan profil Hurgronje dalam
Mawsu’ah Al-Mustasyriqin mengatakan,
“Namun akhirnya, pada bulan Agustus, Snouck dipaksa keluar dari Mekkah
oleh Konsul Perancis. Dia pulang dengan empat ekor unta yang membawa
barang-barang yang dikumpulkan selama mukim di sana. Yang disesalkan
adalah perintah untuk meninggalkan Mekkah itu bertepatan dengan awal
musim haji. Padahal disertasi yang pernah ditulisnya berkaitan dengan
musim haji, meskipun hanya berdasarkan pada sumber-sumber literatur,
manuskrip-manuskrip, dan pengalaman-pengalaman orang yang sudah
berziarah ke sana. Bukan atas dasar pengalamannya sendiri.”
Tepat tanggal 11 Mei 1889, Hurgronje tiba di Batavia. Lima hari berikutnya,
keluar keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengangkat Hurgronje
sebagai peneliti di Hindia Belanda selama dua tahun yang untuk itu akan mendapat
gaji sebesar f.700 per bulannya. Keputusan itu kemudian diperkuat dengan
keputusan Raja Belanda nomor 25 tertanggal 22 Juli 1889.
Tentu saja, hal itu menjadi sesuatu yang mengesankan bagi Direktur
Pendidikan, Agama dan Perindustrian. Kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
sang direktur menceritakan kekagumannya. Dalam sepucuk suratnya kepada
gubernur jenderal, ia mengatakan, “Melalui pergaulan singkat, saya memeroleh
kesan bahwa ia memiliki pribadi yang tenang. Tidak tergesa-gesa. Dalam
penelitiannya di Arab pun ia berbuat seperti itu.”
Dalam kedudukannya yang baru itu, pada tanggal 9 Juli 1889, Hurgronje
berangkat ke Aceh. Sejak tanggal 16 Juli 1891, ia menetap di Kutaraja atau Banda
Aceh sekarang dan mengamati dari dekat kehidupan penduduk setempat hampir
satu tahun lamanya. Pekerjaannya di Aceh itu membuatnya dapat memahami
karakter sosial masyarakat Aceh dan kelak menjadi bekal buatnya untuk
memberikan nasehat-nasehat penting terkait Islam di Hindia Belanda.
Selesai dengan karya itu, tidak membuatnya lepas dari Aceh. Sepanjang
1898—1903, ia sering pergi ke Aceh, membantu Jenderal Joannes Benedictus van
Heutz (1851—1924) menaklukkan Aceh. Seperti disinggung pada bagian yang lalu,
Perang Aceh telah meletus sejak 1873. Selama itu pula, masyarakat Aceh telah
membuat kewalahan pemerintah Hindia Belanda. Aceh akhirnya takluk pada 1903.
Karir Hurgronje sendiri telah menanjak tinggi, ketika pada tanggal 11 Januari
1899 diangkat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab. Ia memegang jabatan
itu sampai 1906. Ia kemudian pulang ke Belanda dan menerima pengangkatan
dirinya menjadi guru besar di Universitas Leiden tepat pada tanggal 23 Januari
1907.7 Dalam jabatannya sebagai guru besar itu, ia diangkat pula sebagai Penasehat
Menteri Jajahan sampai akhir hidupnya, 16 Juli 1936.
“Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek ‘ibadah dari
Islam, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Logika di
balik kebijakan ini adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran
banyak orang bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur dalam
8 Tentang pengertian Pan Islamisme, Suminto pernah menulis, “Pengertian Pan Islam
secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik
dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Secara modern dapat diartikan
bahwa kepemimpinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama. Pada masa
Usmani Muda [sebuah masa ketika intelektual-intelektual Turki Utsmani menentang
kekuasaan milik sultan yang berlangsung pada 1865—1878, pen.], Turki berusaha
menggunakan Pan Islam untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah kerajaan
Usmani. Usaha ini cepat menarik perhatian Asia Afrika yang pada waktu itu hampir
seluruhnya sedang dijajah oleh Barat. Ide Pan Islam ini akan memanfaatkan
kemajuan Barat dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Dalam perkembangan
selanjutnya, Pan Islam sekedar berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam
perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial
Belanda. Pemerintah harus melakukan kontrol ketat terhadap penyebaran
gagasan apa pun yang dapat membangkitkan semangat kaum Muslim di
Indonesia untuk menentang pemerintah kolonial. Pemangkasan gagasan-
gagasan seperti ini akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam yang
bersifat politis, yang menjadi ancaman terbesar terhadap pemerintahan
kolonial Belanda."
dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa ukhuwah Islamiyah di
kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, Pan Islam dalam pengertian ini tetap
dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah, karena bisa membangkitkan
perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya. Umat Islam di suatu tempat—
berkat adanya Pan Islam—akan bisa merasakan penderitaan saudaranya di tempat
lain. Padahal sampai akhir Perang Dunia Pertama, sebagian besar umat Islam di
permukaan bumi ini berada dalam cengkeraman penjajahan asing.”
sama mereka hayati. Terlebih lagi, kepada para pemeluk Islam yang mendakwahkan
perang suci (baca: jihad fi sabilillah) kepada pemerintah kafir.
Di antara hal yang paling banyak diperdebatkan terkait Hurgronje adalah statusnya
sebagai seorang muslim. Apakah Hurgronje masuk Islam secara tulus atau hanya
kamuflase untuk tujuan-tujuan tertentu? Para pemerhati dan peneliti sejarah Islam
di Indonesia, dulu dan sekarang atau muslim dan non-muslim, telah berusaha
menjawab pertanyaan itu dan sebagian mereka percaya bahwa Hurgronje masuk
Islam karena tuntutan profesi.
Peter Sjord van Koningsveld pernah secara khusus meneliti catatan-catatan pribadi
dan tulisan-tulisan Hurgronje di Mekkah. Sebagian hasil penelitian itu kemudian
dikumpulkan dan diterbitkan di bawah judul Snouck Hurgronje en Islam: Acht
artikelen over leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk.
Terkait waktu dan cara masuk Islamnya Hurgronje, Van Koningsveld menulis,
Apa yang disampaikan Van Koningsveld itu menarik. Sekarang, perhatikan apa yang
juga pernah ditulis Suminto, terkait masuk Islamnya Hurgronje. Dalam Politik Islam
Hindia Belanda, halaman 120, Suminto mengatakan,
“Bagaimana Snouck Hurgronje bisa memasuki kota suci yang pada hakekatnya
tertutup bagi nonomuslim ini, jawabannya cukup sederhana. Snouck pergi atas
nama muslim dengan nama Abdul Gaffar. Di tengah kekaguman atas prestasinya
yang luar biasa, yakni berhasil memasuki kota suci yang tidak mungkin dimasuki
oleh rekan-rekannya dan berhasil mengungkapkan aneka data berharga dalam
perjalanan tersebut, timbullah kritik atas ketidak jujuran Snouck Hurgronje.
Sebagian besar data yang diperolehnya secara lisan, didapatkan dari informan yang
justeru percaya atas keislamannya. Secara ilmiah dia tidak menjelaskan cara
bagaimana, kapa dan dari siapa data tersebut diperoleh. Dengan demikian ia
‘terhindar dari penilaian secara ilmiah’. Kenyataan ini ‘cukup memadai [menodai?,
pen.] karir ilmiahnya’. Memang pribadi Snouck Hurgronje menampilkan dua
gambar: sebagai ilmiawan dan sebagai politikus.”
Pada halaman 123-125, masih dalam buku yang sama, Suminto menyatakan,
“[S]ampai kini masalah masuk Islamnya Snouck Hurgronje ini tetap menjadi
persoalan; bahkan majalah Universitas Leiden—pada tahun 1980—juga masih
mempermasalahkan masuk Islam tidaknya Snouck Hurgronje. Van Koningsveld,
penulis artikel tentang ini dalam majalah tersebut memberikan suatu penilaian,
bahwa Snouck Hurgronje kurang jujur. Kepada orang Islam ia bersikap seolah-olah
muslim dan tidak membantah pembenaran mereka, sebaliknya kepada orang
Belanda sendiri dia tidak pernah menyatakan masuk Islam. Menurut Gobee tidaklah
jelas apakah Snouck Hurgronje masuk Islam atau tidak, tapi yang jelas para ulama
Arab mengambil kesimpulan bahwa dia masuk Islam. Uraian Gobee ini didramatisir
oleh Van Koningsveld, bahwa atas dasar pembicaraan tentang pengetahuan Islam
dengan Snouck Hurgronje, maka para ulama Makkah mengambil suatu kesimpulan
masuk Islamnya Snouck Hurgronje. ‘Sebenarnya Snouck Hurgronje bukanlah muslim.
Para ulama Makkah tertipu dan ini merupakan kesalahan mereka sendiri.’ Pada
hemat penulis [maksudnya, Suminto sendiri, pen.] Snouck Hurgronje memang
menyatakan diri muslim pada waktu itu, terlepas dari alasan pura-pura atau tidak.
Sebab betatapun tingginya pengetahuan Islam seseorang, selama dia tidak
melaksanakan rukun Islam, maka di mata orang Islam ia bukanlah muslim. Dalam
hal ini andaikata rukun Islam pertama—syahadat—tidak diucapkan Snouck
Hurgronje, sangatlah tidak mungkin dia begitu saja diakui sebagai muslim. Apalagi
semua orang tahu bahwa Snouck Hurgronje mengucapkan kalimah syahadah, tapi
besar kemungkinan bahwa ia juga menunaikan salat, bahkan mungkin pula
melaksanankan puasa; sebab terlalu sulit agaknya bagi Abdul Gaffar untuk
mempertahankan pengakuan Islamnya selama enam bulan tanpa melakukan
ibadah salat, karena tinggal di kota suci Makkah. Satu hal yang perlu diingat adalah
batasan tentang iman dalam agama Islam, yaitu ucapan lisan yang dibenarkan hati
dan dibuktikan oleh amal perbuatan sehari-hari. Andaikata pengakuan Snouck
Hurgronje ternyata kemudian hanya merupakan pengakuan tipu daya, masalahnya
bisa dikembalikan kepada kejujuran Snouck Hurgronje sendiri, dan bukan kesalahan
atau kebodohan orang lain yang mempercayainya. Setelah berada di Indonesia pun
dia berperilaku semacam syaikhul Islam, tapi setelah kembali ke negeri Belanda
ternyata dia menampilkan gambar yang berbeda antara kulit dan isi. Memang tidak
bisa diinkari, bahwa setelah memasuki lingkungan Fakultas Teologi di Universitas
Leiden, Snouck Hurgronje berada dalam pengaruh para profesor rasionalis saat itu.
Mereka tidak mau menerima hal-hal yang dinilainya irasional dalam agama Kristen,
seperti Trinitas dan kedudukan Yesus sebagai anak Allah, sehingga tidak begitu jauh
jaraknya dengan agama Islam. Namun sikapnya yang pura-pura masuk Islam itu,
betapapun sudah melebihi sifat toleransi atau simpansi, bahkan lebih mendekati
kecurangan dan ketidakjujuran.”
Lebih gamblang adalah pendapat W.F. Wertheim, penulis The Indonesian Society in
Transition. Dalam artikel berjudul “Snouck Hurgronje en de Ethiek van
Sociaalwetenschappelijk Onderzoek” yang dimuat dalam De Gids, 5, Tahun 1981, ia
menyatakan bahwa sikap pura-pura muslim bahkan pura-pura sebagai teman dari
bangsa yang akan diperanginya masih bisa dinilai sebagai pegawai kolonial yang
cakap. Akan tetapi, karena tindakan itulah, tulis Wertheim, “gambaran umum
sebagai ilmuwan pada awal karirnya, ternoda oleh kenyataan ini.”
Untuk melengkapi keterangan dari Van Koningsveld dan Suminto serta keterangan
ringkas dari Wertheim, dalam acara bedah buku Dari Buku Ke Buku: Sambung
Menyambung Menjadi Satu P. Swantoro di Aula Pusat Studi Bahasa Jepang, Fakultas
Sastra, Universitas Padjadjaran (Unpad), tahun 2002, Guru Besar Ilmu Sejarah
Unpad, Nina Herlina Lubis, menyatakan bahwa masuk Islamnya Snouck Hurgronje
adalah sebuah kepura-puraan belaka. Hurgronje melakukan itu agar ia dapat masuk
ke Mekkah dan diterima oleh ulama-ulama di sana.
Pernyataan Lubis itu sendiri muncul terkait sebuah uraian menarik yang dipaparkan
Swantoro dalam bukunya, tepat pada halaman 169-170. Di situ, Swantoro menulis,
“Snouck Hurgronje memang menekuni studi bahasa Arab dan Islamologi, khususnya
ilmu syariat. Ia mengalami tinggal di Mekah selama limasetengah bulan pada 1885.
Pengalaman ini dibukukannya dalam bahasa Jerman, Mekka, terdiri dari dua jilid,
yang membuatnya terkenal secara internasional. Buku ini mengungkapkan idealnya
dalam menekuni Islam secara ilmiah: ‘Volledige beheersing van de schriftelijke
bronnen, gepaard aan omvattende kennis van de levende werkelijkheid.’ Menguasai
sepenuhnya semua sumber tertulisnya, disertai pengetahuan yang lengkap
mengenai realitas yang hidup. Jilid pertama Mekka berisi sejarah Mekah sampai
1887, yang sebagian bersumberkan bahan-bahan Arab yang tidak dikenal, akan
tetapi yang didapat oleh penulisnya di Mekah. Jilid kedua melukiskan panjang-lebar
dalam tiga bab kehidupan kemasyarakatan dan rumahtangga, maupun kegiatan di
bidang ilmu pengetahuan. Bab keempat dikhususkan untuk menyoroti sikap-tindak
orang-orang Indonesia, yang merupakan kelompok besar dan yang selama satu
tahun penuh hidup di tengah-tengah hiruk-pikuk kosmopolitis Kota Suci.”
“Bab IV itu dapat dipandang sebagai ‘preludium’ atau pengantar bagi penelitiannya
di Hindia-Belanda. Ia ingin mengetahui bagaimana Mekah mempengaruhi
kehidupan rohaniah orang-orang Indonesia. Pengaruh itu tidak terutama secara
langsung dengan pertemuan yang terjadi pada musim Haji, akan tetapi secara tidak
langsung lewat koloni Jawa di Mekah. Sebelum memasuki Mekah, Snouck Hurgronje
telah menulis, ‘De Islam […] is eene macht, die door een koloniale mogenheid als de
onze met ernst besturdeerd en met grote wijsheid behandeld moet worden.’ Islam
[…] adalah suatu kekuatan yang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh dan yang
harus diperlakukan dengan sangat bijaksana oleh kekuasaan kolonial seperti halnya
Belanda.”
DAFTAR RUJUKAN
H. Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken
(Cet. Ke-2). Jakarta: LP3ES. 1985.
P. Sj. Van Koningsveld. Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang
Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial (Penerj. Redaksi
Girimukti Pasaka). Jakarta: Girimukti Pasaka. 1989.
_____. Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia
1596—1950 (Penerj. Suryan A. Jamrah). Bandung: Mizan. 1995.
http://arjaenim.blogspot.com/2013/04/tokoh-orientalisme-christian-snouck.html
diakses pada tanggal 27 Juli 2013.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bataviaasch_Genootschap_van_Kunsten_en_Wetensc
happen diakses pada tanggal 28 Juli 2013.
http://sejarah.kompasiana.com/2013/06/08/christiaan-snouck-hurgronje-
566972.html diakses pada tanggal 28 Juli 2013.
http://majelispenulis.blogspot.com/2013/07/snouck-hurgronje-sang-
orientalis.html diakses pada tanggal 26 Juli 2013.
http://members.westnet.com.au/gary-david-thompson/page11-39.html diakses
pada tanggal 27 Juli 2013.
http://salam-online.com/2013/05/snouck-hurgronje-seorang-agnostik-dan-
munafik-tulen-bag-1.html diakses pada tanggal 31 Juli 2013.
http://www.referensimakalah.com/2013/01/biografi-christiaan-snouck-
hurgronje.html diakses pada tanggal 27 Juli 2013.
http://sejarah.kompasiana.com/2013/06/08/christiaan-snouck-hurgronje-
566972.html diakses pada tanggal 27 Juli 2013.