Anda di halaman 1dari 10

Lampiran : Keputusan Direktur RS Islam Ibnu Sina

Payakumbuh
Nomor : /SK/DIR/ISPYK/X/2018
Tanggal : 8 Oktober 2018

BAB I
DEFENISI

Beberapa pengertian yang dimaksud dalam panduan ini sebagai berikut :


1. Pasien risiko tinggi adalah pasien yang digolongkan risiko tinggi karena
umur, kondisi, atau kebutuhan yang bersifat kritis.
2. Identifikasi adalah suatu kegiatan dalam rangka menentukan dan
menetapkan pasien dengan risiko tinggi pada populasi pasien di RS Islam
Ibnu Sina Payakumbuh

Anak dan manula umumnya dimasukkan dalam kelompok ini karena mereka
sering tidak dapat menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti proses pelayanan
dan tidak dapat ikut memberi keputusan tentang pelayanannya. Demikian pula,
pasien yang ketakutan, bingung atau koma tidak dapat mengerti proses pelayana
sewaktu pelayana harus diberikan cepat dan efisien.
Selain itu, ada juga pasien berisiko tinggi karena memerlukan peralatan yang
kompleks, yang diperlukan untuk pengobatan penyakit yang mengancam jiwa
(misalnya pasien dialisis, risiko bahaya pengobatan (penggunaan darah atau
produk darah ), potensi yang membahayakan pasien atau efek toksik dari obat
berisiko tinggi (misalnya kemoterapi).
Rumah sakit dapat pula melakukan identifikasi risiko sampingan sebagai akibat
dari suatu prosedur atau rencana pelayanan (misalnya : perlunya pencegahan
trombosis vena dalam, ulkus dekubitus dan jatuh).

1
BAB II
RUANG LINGKUP

Identifikasi pasien dengan risiko tinggi dilakukan terhadap semua pasien yang
datang ke RS Islam Ibnu Sina Payakumbuh, baik pasien rawat jalan maupun rawat
inap.
Identifikasi pasien dengan risiko tinggi yang ditemukan pada populasi pasien di RS
Islam Ibnu Sina Payakumbuh meliputi :
1. Pasien anak-anak.

2. Pasien berusia lanjut (lansia).

3. Pasien cacat fisik.

4. Pasien gawat darurat

5. Pasien koma.

6. Pasien dengan penyakit infeksi atau menular.

7. Pasien dengan immune-suppressed

8. Pasien yang mendapatkan tranfusi darah.

9. Pasien dengan aplikasi restraint.

10. Pasien dengan risiko kekerasan.

2
BAB III
TATALAKSANA

Prinsip Pelayanan terhadap Pasien Risiko Tinggi :


1. Setiap pasien yang datang ke rumah sakit dilakukan pengkajian awal, yaitu
pengkajian yang dilakukan pada awal ketika pasien datang ke rumah sakit.
2. Berdasarkan informasi dan data yang diperoleh dalam proses pengkajian
awal, maka dapat diidentifikasikan pasien dengan risiko tinggi.
3. Melakukan analisis informasi dan data untuk mengidentifikasi kebutuhan
pelayanan kesehatan pasien dengan risiko tinggi.
4. Membuat rencana pelayanan untuk memenuhi semua kebutuhan pasien
risiko tinggi yang telah diidentifikasi.
5. Pasien dengan risiko tinggi dilakukan pengkajian ulang, yaitu pengkajian
yang dilakukan pada pasien selama proses pelayanan pada interval tertentu
berdasarkan kebutuhan dan rencana pelayanan pasien tersebut.
6. Pelayanan pasien risiko tinggi dilakukan secara kolaboratif oleh dokter,
perawat, dan para pemberi asuhan yang lain.
7. Pertimbangan persetujuan khusus bila diperlakukan.
Persetujuan khusus, misalnya pesetujuan tindakan medis yang diserahkan
kepada wali sah atau keluarga pasien karena pasien tidak kompeten.
8. Pesyaratan pemantauan pasien.
Pasien yang risiko tinggi membutuhkan pemantauan atau monitoring yang
lebih spesifik dibandingkan pasien pada umumnya.
9. Kualifikasi dan kemampuan yang khusus untuk staf yang terlibat dalam
proses.
Staf yang memberikan pelayanan untuk pasien-pasien risiko tinggi harus
memiliki kualifikasi dan kemampuan tertentu. Misalnya untuk penanganan
kegawatdaruratan, dokter harus tersertifikasi ATLS dan ACLS.
10. Keberadaan dan penggunaan peralatan khusus. Misalnya untuk aplikasi
restraint fisik digunakan tali khusus yang minimal menimbulkan cidera.

3
11. Dokumentasi untuk pengkajian awal di lembar pengkajian, sedangkan
pengkajian ulang dicatatan perkembangan pasien terintegrasi.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dijelaskan sebagai berikut :


1. Pasien anak :
a. Pengkajian dilakukan dengan memperhatikan bahwa kondisi anak
dengan dewasa, termasuk dalam membuat rencana pelayanan, misalnya
pengobatan dengan menggunakan dosis anak, dan lain-lain.
b. Anak sering tidak dapat menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti
proses pelayanan dan tidak dapat ikut memberi keputusan tentang
pelayanannya. Jadi pasien anak termasuk pasien yang belum kompeten
sehingga membutuhkan wali sah, terutama dalam mebuat keputusan
persetujuan atau penolakan tindakan medis/operasi, termasuk tindakan
Do Not Resuscitate (DNR).
c. Jika dalam kondisi gawat darurat, tindakan resusitasinya juga
dibedaskan dengan resusitasi pada pasien dewasa. Termasuk
penggunaan alat banuan hidup, disesuaikan dengan kebutuhan pasien
anak.
d. Ruang perawatan pasien anak dibedakan dengan ruang perawatan
pasien dewasa.
e. Pada pasien anak harusn menggunakan bedrails untuk mencegah risiko
jatuh.
f. Pemantauan pasien anak dibedakan dengan pasien dewasa.
2. Pasien berusia lanjut (lansia) :
a. Pengkajian dilakukan dengan memperhatikan bahwa usia lanjut
berbeda dengan dewasa, termasuk dalam membuat rencana
pelayanannya, misalnya pemilihan obat harus lebih hati-hati karena usia
lanjut mengalami penurunan fungsi hati dan ginjal
b. Pada umumnya pasien usia lanjut mengalami hambatan komunikasi
sehingga dibutuhakan keluarga pasien untuk mendampingi pasien
tersebut, mislnya : penyampaian edukasi, membuat keputusan

4
persetujuan atau penolakan tindakan medis/operasi, termasuk tindakan
Do Not Resuscitate (DNR).
c. Jika dalam kondisi gawat darurat, tindakan resusitasinya juga
dibedakan dengan resusitasi pada passien dewasa. Termasuk
penggunaan alata bantu hidup, disesuaikan dengan kebutuhan pasien
usia lanjut.
d. Ruang perawatan pasien usia lanjut di RSI Ibnu Sina Payakumbuh sama
dengan ruang perawatan pasien dewasa.
e. Penggunaan alat bantu khusus, misalnya kursi roda atau yang lainya
disesuaikan dengan kebutuhan pasien
f. Penggunaan side rails dianggap berisiko, terutama untuk pasien geriatri
dan disorientasi. Pasien geriatri yang rentan berisiko terjebak diantara
kasur dan side rails
Pasien disorientasi dapat menganggap side rails sebagai penghalang
untuk dipanjati dan dapat bergerak keujung tempat tidur. Saat pasien
berusaha turun dari tempat tidur dengan menggunakan segala cara,
pasien berisiko terjebak, tersangkut, atau jatu dari tempat tidur dengan
kemungkinan mengalami cidera yang lebih berat diandingkan tanpa
menggunakan side rails. Namun, jika pasien seara fisik tidak mampu
turun dari tempat tidur, peggunaan side rails bukan merupakan restraint
karena penggunaan side rails tidak berdampak pada kebebasan pasien
g. Pemantauan pasien usia lanjut dibedakan dengan pasien dewasa, karena
secara fisiologis sudah mengalami perubahan.
3. Pasien cacat fisik :
a. Pengkajian dilakukan dengan memperhatikan bahwa kondisi cacat fisik
berbeda dengan pasien tidak cacat fisik, termasuk dalam membuat
rencana pelayanannya
b. Pada umumnya pasien cacat fisik mengalami hambatan komunikasi
sehingga dibutuhkan penggunaan bahasa isyarat dan keluarga pasien
untuk mendampingi pasien tersebut. Misalnya : penyampaian edukasi,

5
membuat keputusan persetujuan atau penolakan tindakan
medis/operasi, termasuk tindakan Do Not Resuscitate (DNR).
c. Jika dalam kondisi gawat darurat, tindakan resusitasinya harus
memperhatikan kondisi cacat fisik pasien tersebut. Termasuk
penggunaan alat bantuan hidup, jika diperlukan.
d. Ruang perawatan pasien disesuaikan apakah pasien anak atau pasien
dewasa/usia lanjut.
e. Pengguaan alat bantuan khusus, misalnya kursi roda, atau yang lainnya
disesuaikan dengan kondisi pasien.
f. Pada pasien cacat fisik harus menggunakan bedrails untuk mencegah
risiko jatuh.
g. Pemantauan pasien cacat fisik harus memperhatikan kondisi cacat fisik
tersebut.
4. Pasien Gawat Darurat :
a. Pengkajian yang dilakukan merupakan pengkajian gawat darurat.
b. Pada umumnya hambatan pelayanan pada kondisi gawat darurat adalah
tidak adanya keluarga sedangkan pasien membutuhkan tindakan
emergensi segera.
c. Tindakan resusitasi menyesuaikan apakah pasien dewasa, anak-anak
atau neonatus.
d. Ruang perawatan pasien disesuaikan dengan kondisi kegawatan pasien,
apakah pasien membutuhkan ruang perawatan intensif pasca resusitasi
atau ruang perawatan biasa.
e. Penggunaan dan pemilihan alat bantuan hidup dasar disesuaikan
dengan kondisi pasien.
f. Penggunaaan bedrails untuk mencegah risiko jatuh.
g. Pemantauan pasien dengan kegawatan disesuaikan dengan kondisi
pasien, yang tentunya membutuhkan proses pemantauan yang lebih
intensife dengan memperhatikan kegawatannya.

6
h. Kualifikasi dan kemampuan untuk dokter dan perawat yaitu
tersertifikasi Cardiac Life Support, Trauma Life Support dan Critical
Care.
5. Pasien Koma :
a. Menentukan pasien dengan kondisi koma, sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang dokter yang kompeten (2 orang diantaranya adalah 1 dokter
spesialis anestesiologi/intensifis dan dokter spesialis syaraf.
b. Pasien koma termasuk pasien yang tidak dapat menyampaikan
pendapatnya, tidak mengerti proses pelayanan dan tidak dapat ikut
memberi keputusan tentang pelayanannya. Jadi pasien koma
membutuhkan wali sah, terutama dalam membuat keputusan
persetujuan atau penolakan tindakan medis/operasi, termasuk tindakan
Do Not Resuscitate (DNR) kecuali jika ada keputusan dini tentang
DNR.
c. Ruang perawatan pasien koma disesuaikan dengan kondisi pasien.
d. Penggunaaan side rails bukan merupakan restrain karena penggunaaan
side rails tidak berdampak pada kebebasan bergerak pasien.
e. Pada pasien koma, membutuhkan asuhan keperawatan dasar yang
tergantung pada bantuan perawat atau keluarga pasien.
f. Kualifikasi dan kemampuan untuk dokter dan perawat yaitu
tersertifikasi Cardiac Life Support, Trauma Life dan Critical Care.
6. Pasien dengan penyakit infeksi atau menular dan immune-suppressed.
a. Berdasarkan hasil pengkajian dapat diidentifikasi pasien dengan
penyakit infeksi atau menular dan immune-suppressed.
b. Jika diperlukan maka perlu pemeriksaan penunjang saat pengkajian
ulang untuk menunjang penegakkan diagnosis.
c. Ruang perawatan pasien dengan penyakit infeksi atau menular dan
immune-suppressed ditempatkan di ruang isolasi.
d. Jika rumah sakit tidak mempunyai fasilitas dan sarana untuk perawatan
pasien infeksi atau menular dan immune-suppressed maka dirujuk ke
rumah sakit rujukan.

7
e. Dokter atau perawat harus mempunyai keilmuan dan keterampilan
tentang penyakit infeksi atau menular dan immune-suppressed,
terutama dalam hal cara penularan, penatalaksanaan, pencatatan dan
pelaporan, dan lain-lain.
7. Pasien yang mendapatkan transfusi darah.
a. Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan bahwa pasien membutuhkan
transfusi darah.
b. Pemberian transfusi darah sesuai prosedur yang ada, terutama
identifikasi pasien, sehingga mencegah terjadinya insiden keselamatan
pasien, misalnya salah orang, salah jenis transfusi dan lain-lain.
c. Perlunya pemantauan atau monitoring selama pemberian transfusi dan
setelahnya karen sering terjadinya reaksi transfusi.
d. Pemeriksaan hemoglobin post transfusi harus dilakukan untuk
merencanakan pelayanan selanjutnya.
e. Penatalaksanaan jika terjadi kesalahan transfusi maupun reaksi
transfusi harus dipahami oleh dokter dan perawat.
f. Formulir permintaan transfusi darah dan informed consent transfusi
darah harus diisi dengan lengkap, setelah memberikan penjelasan
kepada pasien atau wali sah dan keluarga pasien.
g. Petugas bank darah di rumah sakit harus mempunyai keilmuan dn
keterampilan khusus terkait bank darah.
8. Pasien dengan aplikasi restraint.
a. Dari hasil pengkajian dapat diidentifikasi pasien yang membutuhkan
aplikasi restraint.
b. Aplikasi restraint dipilih jika dengan intervensi alternatif tidak
berhasil.
c. Indikasi dan pemilihan jenis restrain disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
d. Dibutuhkan informed consent aplikasi restrain dari pihak keluarga
setelah diberikan penjelasan.
e. Dilakukan pemantauan atau monitoring sesuai panduan yang berlaku.

8
f. Perawat yang mengaplikasikan restraint harus mempunyai keilmuan
dan keterampilan tentang aplikasi restraint.
9. Pasien dengan risiko kekerasan
a. Dari hasil pengkajian dapat diidentifikasi pasien dengan risiko
kekerasan.
b. Kriteria kekerasan fisik di lingkungan rumah sakit terdiri atas :
pelecehan seksual, pemukulan, penelantaran, dan pemaksaan fisik
terhadap pasien baik yang dilakukan oleh penunggu dan pengunjung
pasien maupun petugas.
c. Pelayanan pasien dengan risiko kekerasan dilaksanakan sesuai
prosedur yang berlaku. Untuk pasien dengan risiko KDRT,petugas
keamanan Rs.Islam, akan berkoordinasi dengan polisi sektor Cempaka
Putih.

9
BAB IV
DOKUMENTASI

1. Pengkajian awal didokumentasi di lembar pengkajian.


2. Pengkajian ulang didokumentasikan di Catatan Perkembangan Pasien
Terintegrasi (CPPT).
3. Untuk edukasi didokumentasikan dalam Formulir Edukasi Pasien dan
Keluarga Terintegrasi.
4. Informed Consent didokumentasikan di lembar Persetujuan atau Penolakan
Tindakan Kedokteran.
5. Untuk pemantauan atau monitoring pasien didokumentasikan di lembar
observasi pasien.
6. Aplikasi restraint didokumentasikan di lembar aplikasi restraint.
7. Jika ada tindakan DNR didokumentasikan di formulir instruksi DNR.
8. Transfer pasien didokumentasikan dalam lembar transfer pasien.

10

Anda mungkin juga menyukai