Bab I PDF
Bab I PDF
PENDAHULUAN
Penggunaan bahan bakar khususnya minyak bumi dan gas alam dalam beberapa
tahun terakhir semakin meningkat dengan meningkatnya populasi manusia dan hal ini
mencetuskan krisis energi global. Krisis energi global yang saat ini sedang menjadi
ancaman di masa depan sudah tidak bisa lagi diabaikan. Ketergantungan manusia
terhadap energi dari bahan bakar yang tidak dapat diperbarui tidak hanya
menyebabkan krisis energi tetapi dalam waktu yang bersamaan juga menyebabkan
meningkatnya polusi dan kerusakan di lingkungan. Namun, hingga saat ini sumber
energi itulah yang mampu memenuhi kebutuhan energi manusia dalam skala besar.
Penelitian mengenai sumber energi alternatif masih terus dipelajari hingga nantinya
diperoleh sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan dan bersifat ekonomis.
Mengutip artikel pada Kompas.com, ibarat lari maraton angka konsumsi migas
Indonesia terus sprint meninggalkan angka produksinya. Berdasarkan data Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas),
besaran konsumsi minyak bumi Indonesia pada 2015 adalah sebesar 1,592 juta barel
per hari dan pada 2016 naik menjadi 1,615 juta barel per hari. Di satu sisi, jumlah
produksinya relatif stagnan. Pada 2015, produksi minyak bumi Indonesia sebesar
786.000 barel per hari dan pada 2016 sebesar 831.000 barel per hari. Kasus yang
berbanding terbalik ini perlu segera dicarikan solusinya sebelum minyak bumi, fosil,
gas alam, dan batu bara yang terdapat di alam sudah tidak tersedia lagi.
Kondisi ini telah memicu dilakukannya berbagai riset ke arah teknologi inovatif
dan ramah lingkungan dalam menyediakan energi listrik. Salah satu teknologi yang
saat ini dikembangkan adalah Microbial Fuel Cells (MFC). MFC merupakan salah
satu sumber energi alternatif yang telah dikembangkan dan mampu menghasilkan
energi yang dapat diperbarui tanpa menghasilkan emisi CO2 dan ramah lingkungan.
MFC memiliki kemampuan untuk mengubah energi kimia yang tersimpan dalam
senyawa organik menjadi energi listrik dengan bantuan mikroorganisme. Bakteri
dapat digunakan dalam MFC untuk menghasilkan energi listrik dengan
membiodegradasi senyawa organik atau limbah.
Limbah merupakan produk sampingan dari segala jenis aktivitas manusia.
Limbah yang tidak dikelola dengan baik akan menciptakan kondisi lingkungan yang
tidak baik. Salah satu limbah yang banyak ditemukan adalah limbah organik dari
sayur dan buah. Limbah sayur dan buah-buahan memiliki kandungan senyawa
organik yang tinggi. Limbah ini dapat diolah dan dijadikan sebagai energi alternatif,
salah satunya dengan menggunakan teknologi MFC.
Besarnya jumlah produksi buah pepaya tentu juga akan meningkatkan jumlah
limbah yang dihasilkan dari konsumsi buah pepaya. Namun, keberadaan limbah kulit
buah pepaya di masyarakat masih kurang dimanfaatkan. Limbah kulit buah pepaya
yang tergolong ke dalam limbah organik ini dapat terdegradasi di tanah. Namun,
limbah ini juga membutuhkan waktu untuk terurai sehingga sebelum terurai
sepenuhnya akan mengalami pembusukan yang menimbulkan bau tidak sedap.
Kondisi ini merupakan penyebab polusi berat pada perairan bila pembuangannya
tidak diberi perlakukan yang tepat.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, penulis tertarik untuk
menyusun sebuah makalah sebagai syarat menyelesaikan mata kuliah seminar kimia
dengan judul “Microbial Fuel Cells Sebagai Sumber Pembangkit Energi Listrik
Alternatif dan Ramah Lingkungan Berbahan Bakar Limbah Kulit Buah
Pepaya”.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimanakah proses limbah kulit buah pepaya dapat menjadi bahan bakar
bagi MFC secara kimia?
2. Bagaimanakah sistem kerja MFC sebagai sumber pembangkit energi listrik
alternatif dan ramah lingkungan berbahan bakar limbah kulit buah pepaya?
3. Bagaimanakah power density yang dihasilkan MFC dengan menggunakan
limbah kulit buah pepaya?
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah
Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses
produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena dapat menurunkan kualitas
lingkungan (Zulkifli, 2014).
Berdasarkan sumber atau asal limbah, maka limbah dapat dibagi kedalam
beberapa golongan yaitu :
1. Limbah domestik, yaitu semua limbah yang berasal dari kamar mandi,
dapur, tempat cuci pakaian, dan lain sebagainya, yang secara kuantitatif
limbah tadi terdiri atas zat organik baik padat maupun cair, bahan
berbahaya dan beracun (B-3), garam terlarut, lemak.
2. Limbah nondomestik, yaitu limbah yang berasal dari pabrik, industri,
pertanian, peternakan, perikanan, dan transportasi serta sumber-sumber
lainnya. Limbah pertanian biasanya terdiri atas pestisida, bahan pupuk dan
lainnya (Kristianto, 2002).
2.2 Pepaya
Pepaya memiliki vitamin E empat kali lebih banyak, 33% vitamin C lebih
banyak, 50% kalium lebih banyak, dan kalori lebih sedikit daripada jeruk. Secara
mendetail, kulit maupun buah pepaya mengandung 46 KKal, protein 0.50 gram,
karbohidrat 12.20 gram, kalsium 23 mg, besi 1.7 mg, vitamin A 365 SI, vitamin
B1 0.04 mg, vitamin C 78.9 mg, dan air 86.7 mg. Lebih dari lima puluh jenis
asam amino terkandung dalam getah buah pepaya muda, antara lain asam
aspartat, treonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, valine, isoleusin,
leusin, tirosin, fenilalanin, histidin, lysine, arginin, triptophan, dan sistein
(Anastasia, 2015).
2.3 Energi Listrik
Energi listrik adalah energi utama yang dibutuhkan bagi peralatan listrik
atau energi
yang tersimpan dalam arus listrik dengan satuan amper (A) dan tegangan
listrik dengan satuan Volt (V) dengan ketentuan kebutuhan konsumsi daya
listrik dengan satuan Watt (W)untuk menggerakkan motor, lampu
penerangan, memanaskan, mendinginkan ataupun untuk menggerakkan
kembali suatu peralatan mekanik untuk menghasilkan bentuk energi yang lain
(Astu, 2008)
Pada tahap ini, reaksi fermentasi yang terjadi pada sampel kulit buah pepaya
adalah:
3.2 Mekanisme Kerja Microbial Fuel Cells
Sistem yang digunakan dalam Microbial Fuel Cells ini adalah sistem dua
bejana, yang terdiri atas bejana anoda dan bejana katoda yang dipisahkan oleh
Proton Exchange Membran (PEM) dan larutan mediator metilen blue dengan
lama waktu operasi 20 hari. PEM dibutuhkan untuk menghindari difusi aseptor
elektron yang beracun seperti permanganat ke dalam ruang anoda sekaligus untuk
memfasilitasi transfer proton atau kation lainnya ke ruang katoda. Ruang anoda
merupakan ruangan yang berisi substrat dan bakteri, sementara ruang katoda
berisi larutan elektrolit. Elektroda yang digunakan adalah elektroda grafit karena
memiliki tingkat kestabilan (inert) yang cukup baik. Luas permukaan elektroda
yang digunakan adalah 1,46 x 10-3 m2.
Pada reaksi di atas, zat yang mengalami oksidasi merupakan senyawa organik
C6H12O6. Senyawa organik tidak memiliki biloks, tetapi hanya pernyataan
terjadinya reaksi reduksi atau oksidasi. Pada anoda, terjadi respirasi anaerobik
seperti pada skema berikut (Winarno, 1993) :
e- energi
Senyawa Anorganik
tereduksi
(Aseptor Elektron)
Elektron yang dihasilkan ditransfer dengan bantuan dari larutan metilen blue
yang berada di bejana anoda. Metilen blue bertindak sebagai mediator yang
mampu melewati membran sel, yang akan menerima elektron lalu meninggalkan
sel dalam bentuk tereduksi dan kemudian mengeluarkan elektron ke permukaan
elektroda. Metilen blue bersifat oksidator yang akan tereduksi menjadi
leukometilen blue. Metilen blue dalam proses ini mengalami reaksi oksidasi-
reduksi sebagai berikut:
(Qian, 2015)
Pada reaksi di atas, zat yang mengalami reduksi adalah atom Oksigen, dimana
biloks O pada O2 adalah 0, sedangkan biloks O pada H2O adalah -2. Suatu proses
reduksi ditandai dengan berkurangnya harga biloks suatu unsur. Reaksi yang
terjadi pada katoda, dengan menggunakan KMnO4 sebagai katodik dalam
lingkungan asam diberikan dibawah ini:
Gambar 3.4 Laju Alir Elektron dan Proton dalam MFC (Sunshine, 2014)
3.3 Penentuan Power Density
Nilai power density dari hari ke-1 hingga hari ke-20 digambarkan pada grafik
3.5. Nilai ini diukur menggunakan digital multimeter Sanwa CD800a untuk
mengukur tegangan dan multitester Sunway SW360TRn untuk mengukur kuat
arus yang diperoleh. Alat ini kemudian dihubungkan dengan hambatan 5 Ω.
Perhitungan power density yang diperoleh juga dapat di cari melalu persamaan
berikut (Lisa dalam Momoh, 2018).
Hubungan power density berbanding lurus dengan hasil perkalian kuat arus
(mA) dengan tegangan listrik (V) dan berbanding terbalik dengan luas permukaan
elektroda yang digunakan (m2). Gambar 3.6 dan gambar 3.7 berturut-turut
menunjukkan nilai dari kuat arus dan tegangan selama 20 hari penelitian.
Gambar 3.6 Perubahan Kuat Arus selama 20 Hari (Lisa, 2018)
- Hari ke-20
= 1324,11 mW/m2
P=
- Hari ke-18
P= =
= = 998,63 mW/m2
= 961,64 mW/m2
- Hari ke-19
P=
Pada awal pengukuran, nilai power density cenderung rendah dan menurun.
Hal ini disebabkan karena mikroba sedang berada pada fase lag atau fase
adaptasi, dimana pada fase ini mikroba sedang menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru. Sehingga substrat belum banyak teroksidasi.
Setelah beberapa hari, nilai power density mulai meningkat. Hal ini
menunjukkan mikroba sedang berada pada fase eksponensial, yaitu fase dimana
sel mikroba membelah dengan cepat dan konstan. Nilai power density maksimum
diperoleh pada hari ke-17. Bertambahnya jumlah sel bakteri ini memungkinkan
semakin banyaknya proton dan elektron yang dapat dihasilkan dari proses
metabolisme sehingga kuat arus yang terbaca semakin besar. Pada setelah hari ke-
17 dan seterusnya, nilai power density drastis menurun. Habisnya ketersediaan
bahan bakar substrat dari limbah kulit buah pepaya pada bejana anoda
mengakibatkan nilai power density yang dihasilkan menurun. Proses degradasi
oleh mikroba menjadi berhenti dan tidak ada lagi tranfer elektron dan proton
dalam sel.
3.4 Kondisi pH
21
density dari 86,71 mW/m2 pada hari ke-12 menjadi 100,61 mW/m2 pada hari ke-
16 dan mencapai puncaknya pada hari ke-17 yaitu 121,70 mW/m2.
22