Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan bahan bakar khususnya minyak bumi dan gas alam dalam beberapa
tahun terakhir semakin meningkat dengan meningkatnya populasi manusia dan hal ini
mencetuskan krisis energi global. Krisis energi global yang saat ini sedang menjadi
ancaman di masa depan sudah tidak bisa lagi diabaikan. Ketergantungan manusia
terhadap energi dari bahan bakar yang tidak dapat diperbarui tidak hanya
menyebabkan krisis energi tetapi dalam waktu yang bersamaan juga menyebabkan
meningkatnya polusi dan kerusakan di lingkungan. Namun, hingga saat ini sumber
energi itulah yang mampu memenuhi kebutuhan energi manusia dalam skala besar.
Penelitian mengenai sumber energi alternatif masih terus dipelajari hingga nantinya
diperoleh sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan dan bersifat ekonomis.

Mengutip artikel pada Kompas.com, ibarat lari maraton angka konsumsi migas
Indonesia terus sprint meninggalkan angka produksinya. Berdasarkan data Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas),
besaran konsumsi minyak bumi Indonesia pada 2015 adalah sebesar 1,592 juta barel
per hari dan pada 2016 naik menjadi 1,615 juta barel per hari. Di satu sisi, jumlah
produksinya relatif stagnan. Pada 2015, produksi minyak bumi Indonesia sebesar
786.000 barel per hari dan pada 2016 sebesar 831.000 barel per hari. Kasus yang
berbanding terbalik ini perlu segera dicarikan solusinya sebelum minyak bumi, fosil,
gas alam, dan batu bara yang terdapat di alam sudah tidak tersedia lagi.

Kondisi ini telah memicu dilakukannya berbagai riset ke arah teknologi inovatif
dan ramah lingkungan dalam menyediakan energi listrik. Salah satu teknologi yang
saat ini dikembangkan adalah Microbial Fuel Cells (MFC). MFC merupakan salah
satu sumber energi alternatif yang telah dikembangkan dan mampu menghasilkan
energi yang dapat diperbarui tanpa menghasilkan emisi CO2 dan ramah lingkungan.
MFC memiliki kemampuan untuk mengubah energi kimia yang tersimpan dalam
senyawa organik menjadi energi listrik dengan bantuan mikroorganisme. Bakteri
dapat digunakan dalam MFC untuk menghasilkan energi listrik dengan
membiodegradasi senyawa organik atau limbah.
Limbah merupakan produk sampingan dari segala jenis aktivitas manusia.
Limbah yang tidak dikelola dengan baik akan menciptakan kondisi lingkungan yang
tidak baik. Salah satu limbah yang banyak ditemukan adalah limbah organik dari
sayur dan buah. Limbah sayur dan buah-buahan memiliki kandungan senyawa
organik yang tinggi. Limbah ini dapat diolah dan dijadikan sebagai energi alternatif,
salah satunya dengan menggunakan teknologi MFC.

Pepaya merupakan buah yang umum dikonsumsi masyarakat sebagai campuran


es, jus atau dikonsumsi langsung sedangkan kulit pepaya dibuang dan tidak
dimanfaatkan. Menurut Badan Pusat Statistik pada periode 2016-2017, produksi buah
pepaya di Indonesia mencapai 875.122 ton. Sedangkan produksi buah pepaya di
provinsi Riau pada tahun yang sama mencapai 9371 ton dengan total tanaman yang
menghasilkan harvasted plant sebesar 389.080 pohon. Padahal, kulit pepaya
mengandung enzim papain, pektin, alkaloid karpina, glukosid, saponin, sakrosa dan
selulosa sehingga kulit pepaya ini dapat digunakan sebagai donor elektron dalam
MFC.

Besarnya jumlah produksi buah pepaya tentu juga akan meningkatkan jumlah
limbah yang dihasilkan dari konsumsi buah pepaya. Namun, keberadaan limbah kulit
buah pepaya di masyarakat masih kurang dimanfaatkan. Limbah kulit buah pepaya
yang tergolong ke dalam limbah organik ini dapat terdegradasi di tanah. Namun,
limbah ini juga membutuhkan waktu untuk terurai sehingga sebelum terurai
sepenuhnya akan mengalami pembusukan yang menimbulkan bau tidak sedap.
Kondisi ini merupakan penyebab polusi berat pada perairan bila pembuangannya
tidak diberi perlakukan yang tepat.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, penulis tertarik untuk
menyusun sebuah makalah sebagai syarat menyelesaikan mata kuliah seminar kimia
dengan judul “Microbial Fuel Cells Sebagai Sumber Pembangkit Energi Listrik
Alternatif dan Ramah Lingkungan Berbahan Bakar Limbah Kulit Buah
Pepaya”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimanakah proses limbah kulit buah pepaya dapat menjadi bahan bakar
bagi MFC secara kimia?
2. Bagaimanakah sistem kerja MFC sebagai sumber pembangkit energi listrik
alternatif dan ramah lingkungan berbahan bakar limbah kulit buah pepaya?
3. Bagaimanakah power density yang dihasilkan MFC dengan menggunakan
limbah kulit buah pepaya?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka yang menjadi
tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui proses limbah kulit buah pepaya sehingga dapat menjadi
bahan bakar bagi MFC secara kimia
2. Untuk mengetahui sistem kerja MFC sebagai sumber pembangkit energi
listrik alternatif dan ramah lingkungan berbahan bakar limbah kulit buah
pepaya
3. Untuk mengetahui power density yang dihasilkan MFC dengan menggunakan
limbah kulit buah pepaya
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah

Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses
produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena dapat menurunkan kualitas
lingkungan (Zulkifli, 2014).

Berdasarkan sumber atau asal limbah, maka limbah dapat dibagi kedalam
beberapa golongan yaitu :
1. Limbah domestik, yaitu semua limbah yang berasal dari kamar mandi,
dapur, tempat cuci pakaian, dan lain sebagainya, yang secara kuantitatif
limbah tadi terdiri atas zat organik baik padat maupun cair, bahan
berbahaya dan beracun (B-3), garam terlarut, lemak.
2. Limbah nondomestik, yaitu limbah yang berasal dari pabrik, industri,
pertanian, peternakan, perikanan, dan transportasi serta sumber-sumber
lainnya. Limbah pertanian biasanya terdiri atas pestisida, bahan pupuk dan
lainnya (Kristianto, 2002).

2.2 Pepaya

Gambar 2.1 Buah Pepaya (Masvictor, 2013)


Pepaya (Carica papaya) merupakan buah yang berasal dari benua Amerika
yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Namun, kebanyakan orang hanya
memanfaatkan daging buahnya saja. Padahal, bagian lain dari pepaya juga
mengandung banyak manfaat, contohnya kulitnya. Pada dasarnya, kulit pepaya
memiliki kandungan gizi yang mirip dengan buahnya. Hanya saja, kulit pepaya
mengandung enzim papain yang lebih dominan terutama pada kulit pepaya muda
karena getahnya yang masih banyak. Pepaya adalah sumber serat yang baik, folat,
vitamin A, karotenoid, lutein, likopen, dan asam amino esensial yang
mempengaruhi fungsi sel yang tepat (Anastasia, 2015).

Pepaya merupakan tanaman buah dari famili caricaceae. Tanaman pepaya


banyak ditanam baik di daerah tropis maupun subtropis, di daerah basah dan
kering, atau di daerah dataran rendah dan pegunungan Pepaya merupakan
tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Masyarakat Indonesia biasa
menanam tanaman ini di pekarangan atau di tegalan. Namun, pada umumnya
masyarakat menanam tanaman ini hanya sebatas digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sayur atau buah yang dikonsumsi dalam rumah tangga
(Soedarya,2009).

Pepaya memiliki vitamin E empat kali lebih banyak, 33% vitamin C lebih
banyak, 50% kalium lebih banyak, dan kalori lebih sedikit daripada jeruk. Secara
mendetail, kulit maupun buah pepaya mengandung 46 KKal, protein 0.50 gram,
karbohidrat 12.20 gram, kalsium 23 mg, besi 1.7 mg, vitamin A 365 SI, vitamin
B1 0.04 mg, vitamin C 78.9 mg, dan air 86.7 mg. Lebih dari lima puluh jenis
asam amino terkandung dalam getah buah pepaya muda, antara lain asam
aspartat, treonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, valine, isoleusin,
leusin, tirosin, fenilalanin, histidin, lysine, arginin, triptophan, dan sistein
(Anastasia, 2015).
2.3 Energi Listrik

Energi didefenisikan sebagai suatu kemampuan untuk melakukan kerja. Ada


berbagai jenis energi, misal energi mekanis, energi kimia, energi listrik, juga
energi panas maupun energi cahaya. Energi-energi tersebut tidak dapat diciptakan
ataupun dimusnahkan, namun sangat mudah untuk berubah bentuk. Hal ini sesuai
dengan hukum kekekalan energi. Satuan energi menurut Satuan Internasional
adalah Joule, selain itu energi juga dinyatakan dalam kalori, BTU, atau Watt hour.

Power x Time = Energy

Dimana : Power merupakan daya peralatan listrik (Watt)


Time merupakan waktu selama peralatan digunakan (jam/hour)
Energy merupakan energi listrik yang dikonsumsi peralatan listrik
(Watt hour).

Daya merupakan energi yang diperlukan untuk melakukan usaha/kerja. Daya


listrik biasanya dinyatakan dalam Watt. Secara matematis, besarnya daya listrik
dapat dituliskan sebagai berikut :
P=VI
Dimana : P merupakan daya listrik (Watt)
V merupakan tegangan (volt)
I merupakan arus listrik (ampere)

Energi listrik adalah energi utama yang dibutuhkan bagi peralatan listrik
atau energi
yang tersimpan dalam arus listrik dengan satuan amper (A) dan tegangan
listrik dengan satuan Volt (V) dengan ketentuan kebutuhan konsumsi daya
listrik dengan satuan Watt (W)untuk menggerakkan motor, lampu
penerangan, memanaskan, mendinginkan ataupun untuk menggerakkan
kembali suatu peralatan mekanik untuk menghasilkan bentuk energi yang lain
(Astu, 2008)

2.4 Fuel Cells

Fuel Cellaaadalah teknologi elektrokimia yang secara berkelanjutan


mengkonversiaadari energi kimiaaamenjadi energi listrik selamaaaterdapat bahan
bakar danaapengoksidan. Fuel cell tersusunaaatas 3 komponen utama
yaituaaanoda, katoda dan elektrolit (membran). Anoda berperanaasebagai tempat
terjadinya pemecahan hidrogen (H2) menjadi proton danaaelektron. Katoda
berperanaasebagai tempataaterjadinya reaksi penggabungan antara proton,
elektronaadan oksigen untuk membentukaaair. Elektrolitaaadalah suatu media
untuk mengalirkanaaproton. Padaaafuel cells berbahan bakar hidrogen,aaketika
molekul hidrogen melakukan kontakaadengan anoda, molekul tersebut terpisah
menjadi ion hidrogen dan elektron. Elektronaamengaliraamelalui sirkuit luar
menuju katoda dan menimbulkan aliran listrik. Ionaahidrogen
melewatiaaelektrolit (membran) menuju katoda,aalalu bergabung dengan elektron
dan oksigen dari udara kemudian membentukaamolekul air (Suhada,
2001).aaSecara umum,aaprinsip kerja fuel cell dapat dilihat pada gambar 2.3
berikut ini.

Gambar 2.3 Desain Fuel Cell (Serdiukigor, 2015)


2.5 Microbial Fuel Cells (MFC)

MFCaadalah sistemWbioelekrokimia yang mampu membangkitkan energi


listrik dari oksidasi substrat organik dan anorganik dengan bantuan katalis
mikroorganisme.AMicrobial fuel cell memiliki komponen yang sama seperti fuel
cell, yang tersusun dari beberapa komponen seperti anoda,Akatoda, dan elektrolit.
PadaAMFC, komponen anoda yang digunakanAadalah kultur mikroorganisme.
PenggunaanAmikroorganismeSdalam MFC ini memeiliki tujuan yaitu untuk
menggantikan fungsi enzim sehingga dihasilkan substrat yangAlebih murah.
MFC memiliki keuntungan yang lebih banyak dibandingkan fuel cell. Hal
iniAkarena MFC dapatAmenghasilkan energiAlistrik dari sampah organik dan
biomassa terbarui.ABakteri mampuAmenjadi katalis dan beradaptasi dengan baik
terhadap bahan-bahan organikAberbeda yang terdapat pada limbah lingkungan
sehinggaAmenghasilkan elektron. Penggunaan katalis yang digunakan pada fuel
cellAbiasa berupaSplatina merupakan investasi yang mahal, sedangkan pada
MFC dapatAdigantikan oleh pertumbuhan mikroorganisme didalamnya.
BerbagaiAmacam bentuk bahanAorganik dapat digunakan sebagai substrat
dalamA MFC, sepertiAasam lemak, pati, glukosa, protein dan asam amino, serta
air limbah dari hewan dan manusia.

2.5.1 Prinsip Kerja MFC


Prinsip kerjaAMFC adalah dengan memanfaatkan mikroba yang
melakukan metabolisme terhadapaamedium yang ada di anoda untuk
mengkatalis pengubahan materi organik menjadi energi listrik dengan
mentransfer elektron dari anoda melalui kabel dan menghasilkan arus ke
katoda. Transfer elektron dari anoda diterima oleh ion kompleks di katoda
yang memiliki elektron bebas. Dalam MFC, yangadapat digunakan sebagai
donoraelektron adalah zat hasil metabolisme mikroba atau elektron yang
dilepaskan mikroba saat melakukanaametabolismenya.aaZat hasil
metabolisme mikroba umumnya merupakan senyawaaayang mengandung
nitrogen, seperti etanol, metanol, atau gas metana. Senyawaaaini dapat
digunakanaasebagai sumber hidrogen melalui serangkaian proses untuk
memproduksi elektron dan menghasilkan arus listrik.
Setiapaaaktivitas metabolisme yang dilakukan mikrobaaaumumnya
melibatkan pelepasan elektron bebas ke medium. Elektron ini dapat
dimanfaatkan langsung pada anoda dalamaaMFC untuk menghasilkan arus
listrik. Secaraaaumum mekanisme prosesnya adalah substrataadioksidasi
oleh bakteri menghasilkan elektronaadan proton pada anoda.
Elektronaaditransfer melalui sirkuit eksternal, sedangkanaaproton
didifusikan melalui separator membran menujuaakatoda.aaPada katoda,
reaksi elektronaadan proton terhadap oksigenaakan menghasilkan air.

Gambar 2.4 Prinsip Kerja MFC (Liu, 2004)

2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja MFC


Kinerja MFC dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, faktor-faktor yang
mempengaruhi antara lain kecepatan degradasi substrat oleh bakteri, transfer
proton dalam larutan danAkecepatan transfer elektronZdari bakteri
keAanoda. Selain itu,kinerja MFCAjuga dapat dipengaruhi oleh aktivitas
mikroba dan substrat yang digunakan. KinerjaAMFC dapat juga
dipengaruhi oleh temperatur karena berkaitanAlangsung dengan kinetik
bakteri, kecepatan reaksi oksigen yang dikatalis oleh katoda dan kecepatan
transfer proton melalui larutan. Faktor lainnya adalah komponen penyusun
MFC, seperti elektroda (anoda dan katoda) dan memberan penukar
proton,Aserta kelengkapan alatApada membran. (Liu, 2004)

2.6 Larutan Elektrolit KMnO4

Kalium permanganat merupakan senyawa kimia anorganik dengan rumus


KmnO4. Garam yang terdiri dari K+ dan MnO4- ion. Kalium permanganat
(KMnO4) merupakan alkali kaustik yang akan tersdisosiasi dalam air membentuk
ion permanganat (MnO4-) dan juga mangan oksida (MnO2) bersamaan dengan
terbentuknya molekul oksigen elemental.

2 KMnO4 (s) → 2K+(aq) + MnO4-(aq) + MnO2 + O2(g)

Kalium permanganat, selain bersifat sebagai larutan elektrolit juga merupakan


senyawa oksidator. Elektrolit adalah suatu senyawa yang bila dilarutkan dalam
pelarut (misalnya air) akan menghasilkan larutan yang dapat menghantarakan arus
listrik. Elektrolit sering diklasifikasikan berdasrkan kemampuannya dalam
menghantarkan arus listrik. Elektrolit yang dapat menghantarkan arus listrik
dengan baik digolongkan ke dalam elektrolit kuat, sedangkan elektrolit yang sifat
penghantaran listriknya buruk digolongkan ke dalam elektrolit lemah. Suatu
elektrolit dapat berupa larutan asam, basa mapun garam (Syukri, 1999).

Apabila kontak dengan senyawa yang mudah menyala akan menyebabkan


kebakaran dan dijauhkan dari senyawa pereduksi, asam kuat, material organik,
peroksida, alkohol dan senyawa kimia logam aktif. Kalium permanganat
merupakan oksidator kuat. Sifat fisik dari kalium permangant yaitu berwarna
kristal ungu seperti kristal perunggu dan titk leburnya 1050C (terdekomposisi)
(Ihsan, 2014).

2.7 Methylene Blue

Methylene blue adalah nama dagang dari senyawa 3,7-bis(dimetilamino)-5-


fenotiazinium klorida yang memiliki rumus kimia C16H18ClN3S, adalah senyawa
hidrokarbon aromatik yang beracun dan merupakan zat warna kationik dengan
daya adsorpsi yang sangat kuat. Pada umumnya methylene blue digunakan
sebagai pewarna sutra, wool, tekstil, kertas, peralatan kantor dan kosmetik.
Senyawa ini berupa kristal berwarna hijau gelap. Ketika dilarutkan, methylene
blue dalam air atau alkohol akan menghasilkan larutan berwarna biru. Methylene
blue memiliki berat molekul 319,86 gr/mol, dengan titik lebur di 105°C dan daya
larut sebesar 4,36 x 104 mg/L (Endang Palupi, 2006).
BAB III
MICROBIAL FUEL CELLS SEBAGAI SUMBER PEMBANGKIT ENERGI
LISTRIK ALTERNATIF DAN RAMAH LINGKUNGAN BERBAHAN
BAKAR LIMBAH KULIT PEPAYA

3.1 Preparasi Limbah Kulit Buah Pepaya

Limbah kulit buah pepaya merupakan zat organik yang mengandung


karbohidrat jenis selulosa. Limbah ini akan menjadi substrat yang nantinya
dioksidasi oleh mikroba. Untuk mendapatkan glukosa dari limbah kulit buah
pepaya ini dapat dilakukan dengan cara fermentasi. Senyawa selulosa yang
terdapat di dalam limbah akan mengalami fermentasi menghasilkan glukosa.
Selulosa adalah polisakarida yang merupakan polimer glukosa. Glukosa yang
dihasilkan merupakan sumber bahan bakar bagi MFC.

Tahap pertama dalam fermentasi limbah kulit buah pepaya adalah


menghancurkan limbah kulit buah pepaya hingga halus menggunakan blender
kemudian disaring dan diambil intisarinya. Penghalusan ini bertujuan untuk
mendapatkan intisari yang banyak dan murni dari kulit buah pepaya. Sampel kulit
pepaya yang sudah halus dimasukkan ke dalam kain lalu dibungkus untuk
membuat kondisi hampa oksigen. Hal ini dikarenakan proses fermentasi hanya
dapat berlangsung dalam kondisi anaerob. Kain yang berisi sampel kulit buah
pepaya ini dimasukkan ke dalam bejana cokelat berukuran 30 cm x 20 cm x 20
cm. Proses ini didiamkan selama 3 hari.

Pada tahap ini, reaksi fermentasi yang terjadi pada sampel kulit buah pepaya
adalah:
3.2 Mekanisme Kerja Microbial Fuel Cells

Sistem yang digunakan dalam Microbial Fuel Cells ini adalah sistem dua
bejana, yang terdiri atas bejana anoda dan bejana katoda yang dipisahkan oleh
Proton Exchange Membran (PEM) dan larutan mediator metilen blue dengan
lama waktu operasi 20 hari. PEM dibutuhkan untuk menghindari difusi aseptor
elektron yang beracun seperti permanganat ke dalam ruang anoda sekaligus untuk
memfasilitasi transfer proton atau kation lainnya ke ruang katoda. Ruang anoda
merupakan ruangan yang berisi substrat dan bakteri, sementara ruang katoda
berisi larutan elektrolit. Elektroda yang digunakan adalah elektroda grafit karena
memiliki tingkat kestabilan (inert) yang cukup baik. Luas permukaan elektroda
yang digunakan adalah 1,46 x 10-3 m2.

Gambar 3.1 Skema Kerja MFC (Arungovind, 2017)


Limbah kulit pepaya yang sudah di inkubasi selama tiga hari, ditempatkan
dalam bejana anoda. Bejana anoda dibuat dalam kondisi anaerob, bejana ditutup
rapat dengan kaca penutup. Dual chamber MFC memiliki dua ruang sehingga
substrat dan larutan elektrolit tidak saling bercampur. Mikroba yang berasal dari
pembusukan limbah kulit pepaya akan mengoksidasi substrat limbah kulit pepaya
dalam bejana anoda untuk menghasilkan elektron, proton beserta karbon dioksida
sebagai produk oksidasi.

Gambar 3.2 Skema Proses Redoks Dengan Mediator (Liu, 2008)

Reaksi kimia yang terjadi di Anoda (mengalami oksidasi)

C6H12O6 + 6H2O mikroba 6CO2 + 24e- + 24H+


0 oksidasi +4

Pada reaksi di atas, zat yang mengalami oksidasi merupakan senyawa organik
C6H12O6. Senyawa organik tidak memiliki biloks, tetapi hanya pernyataan
terjadinya reaksi reduksi atau oksidasi. Pada anoda, terjadi respirasi anaerobik
seperti pada skema berikut (Winarno, 1993) :

Senyawa Organik teroksidasi


(Donor Elektron)

e- energi

Senyawa Anorganik
tereduksi
(Aseptor Elektron)
Elektron yang dihasilkan ditransfer dengan bantuan dari larutan metilen blue
yang berada di bejana anoda. Metilen blue bertindak sebagai mediator yang
mampu melewati membran sel, yang akan menerima elektron lalu meninggalkan
sel dalam bentuk tereduksi dan kemudian mengeluarkan elektron ke permukaan
elektroda. Metilen blue bersifat oksidator yang akan tereduksi menjadi
leukometilen blue. Metilen blue dalam proses ini mengalami reaksi oksidasi-
reduksi sebagai berikut:

(Qian, 2015)

Reaksi di Katoda (mengalami reduksi)

O2 + 4H+ + 4e− 2H2O


0 reduksi -2

Pada reaksi di atas, zat yang mengalami reduksi adalah atom Oksigen, dimana
biloks O pada O2 adalah 0, sedangkan biloks O pada H2O adalah -2. Suatu proses
reduksi ditandai dengan berkurangnya harga biloks suatu unsur. Reaksi yang
terjadi pada katoda, dengan menggunakan KMnO4 sebagai katodik dalam
lingkungan asam diberikan dibawah ini:

MnO4- + 4H+ + 3e- → MnO2 + 2H2O

Menurut Shijie You dan kawan-kawan, permanganat dapat digunakan sebagai


efektif katodik aseptor elektron untuk MFC, dengan menggunakan permanganat
sebagai aseptor elektron dibawah kondisi asam dapat meningkatkan power
density 11 kali lipat dibandingkan menggunakan ferrycyanida dan oksigen.
Reaksi keseluruhan yang tejadi di dalam Microbial Fuel Cells adalah:

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O

MFC diisi dengan limbah yang mengandung molekul biodegradabel dan


mikroba. Mikroba yang terdapat dalam limbah tersebut kemudian akan
mengoksidasi molekul biodegradabel menghasilkan elektron, proton dan CO2.
Proton menuju ke katoda melalui larutan elektrolit dan melewati PEM.
Sedangkan elektron akan menempel ke anoda, kemudian mengalir melalui sirkuit
listrik ke katoda. Aliran elektron inilah yang menghasilkan daya listrik karena
adanya beda potensial diantara kutub anoda dan kutub katoda.
Perbedaan potensial atau tegangan listrik adalah perbedaan jumlah elektron
yang berada dalam suatu arus listrik. Arus listrik dapat didefinisikan sebagai
banyaknya elektron yang berpindah dalam waktu tertentu. Pada waktu yang sama,
potensial di bejana katoda meningkat ketika mereduksi reagen. Perbedaan
potensial yang disebabkan oleh oksidasi substrat di anoda dan reduksi di katoda
menghasilkan arus listrik. Pada katoda elektron, proton dan oksigen bergabung
membentuk H2O.

Gambar 3.4 Laju Alir Elektron dan Proton dalam MFC (Sunshine, 2014)
3.3 Penentuan Power Density

Gambar 3.5 Perubahan Power Density selama 20 Hari

Nilai power density dari hari ke-1 hingga hari ke-20 digambarkan pada grafik
3.5. Nilai ini diukur menggunakan digital multimeter Sanwa CD800a untuk
mengukur tegangan dan multitester Sunway SW360TRn untuk mengukur kuat
arus yang diperoleh. Alat ini kemudian dihubungkan dengan hambatan 5 Ω.
Perhitungan power density yang diperoleh juga dapat di cari melalu persamaan
berikut (Lisa dalam Momoh, 2018).

Hubungan power density berbanding lurus dengan hasil perkalian kuat arus
(mA) dengan tegangan listrik (V) dan berbanding terbalik dengan luas permukaan
elektroda yang digunakan (m2). Gambar 3.6 dan gambar 3.7 berturut-turut
menunjukkan nilai dari kuat arus dan tegangan selama 20 hari penelitian.
Gambar 3.6 Perubahan Kuat Arus selama 20 Hari (Lisa, 2018)

Gambar 3.7 Perubahan Tegangan selama 20 Hari (Lisa, 2018)

Dengan menggunakan rumus power density di atas, diperoleh:

- Hari ke-1 - Hari ke-2


P= P=
= =

= 1203,84 mW/m2 = 797.26 mW/m2


- Hari ke-3 - Hari ke-10
P= P=
= =

= 579,66 mW/m2 = 1109,58 mW/m2

- Hari ke-4 - Hari ke-11


P= P=
= =

= 618.08 mW/m2 = 1068,50 mW/m2

- Hari ke-5 - Hari ke-12 = ke-13


P= P=
= =

= 1006,03 mW/m2 = 1109,59 mW/m2

- Hari ke-6 = ke-7 - Hari ke-14


P= P=
= =

= 886,03 mW/m2 = 1016,44 mW/m2

- Hari ke-8 - Hari ke-15


P= P=
= =

= 1065,21 mW/m2 = 1220,55 mW/m2

- Hari ke-9 - Hari ke-16


P=
P=
=
=
= 1114,73 mW/m2
= 1219,73 mW/m2
- Hari ke-17 =
P=
= = 1109,59 mW/m2

- Hari ke-20
= 1324,11 mW/m2
P=
- Hari ke-18
P= =

= = 998,63 mW/m2

= 961,64 mW/m2
- Hari ke-19
P=

Pada awal pengukuran, nilai power density cenderung rendah dan menurun.
Hal ini disebabkan karena mikroba sedang berada pada fase lag atau fase
adaptasi, dimana pada fase ini mikroba sedang menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru. Sehingga substrat belum banyak teroksidasi.

Setelah beberapa hari, nilai power density mulai meningkat. Hal ini
menunjukkan mikroba sedang berada pada fase eksponensial, yaitu fase dimana
sel mikroba membelah dengan cepat dan konstan. Nilai power density maksimum
diperoleh pada hari ke-17. Bertambahnya jumlah sel bakteri ini memungkinkan
semakin banyaknya proton dan elektron yang dapat dihasilkan dari proses
metabolisme sehingga kuat arus yang terbaca semakin besar. Pada setelah hari ke-
17 dan seterusnya, nilai power density drastis menurun. Habisnya ketersediaan
bahan bakar substrat dari limbah kulit buah pepaya pada bejana anoda
mengakibatkan nilai power density yang dihasilkan menurun. Proses degradasi
oleh mikroba menjadi berhenti dan tidak ada lagi tranfer elektron dan proton
dalam sel.
3.4 Kondisi pH

MFC memanfaatkan mikroba atau mikroba untuk mendegradasi substrat di


ruangan anoda. Mikroba dapat hidup dan bekerja dengan baik pada pH tertentu.
pH merupakan faktor kritis untuk semua proses berbasis mikroba. Pada MFC, pH
tidak hanya mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan bakteri tapi juga
terhadap transfer proton, reaksi katoda, sehingga mempengaruhi performa MFC.
Sebagian besar MFC beroperasi pada pH mendekati netral untuk menjaga kondisi
pertumbuhan optimal komunitas mikroba yang terlibat dalam pembentukan
listrik.

Gambar 3.8 Perubahan pH selama 20 Hari (Lisa, 2018)

Berdasarkan gambar 3.8, pH yang terjadi selama 20 hari proses penghasilan


arus listrik berkisar antara pH 4-7 atau kondisi didalam bejana cenderung asam
hingga netral. Hal ini menunjukkan adanya pembentukan asam pada bejana.
Asam yang dihasilkan tersebut berasal dari bioproses pada pembusukan limbah.
Konversi glukosa menjadi asam asetat menghasilkan energi yang besar bagi
pertumbuhan bakteri pembentuk asam. Hal ini terlihat dari peningkatan power

21
density dari 86,71 mW/m2 pada hari ke-12 menjadi 100,61 mW/m2 pada hari ke-
16 dan mencapai puncaknya pada hari ke-17 yaitu 121,70 mW/m2.

22

Anda mungkin juga menyukai