Anda di halaman 1dari 71

Laporan Kasus

HIV PADA ANAK

Oleh:
Silvi Silvania, S.Ked 04054821820026
Syah Fitri, S.Ked 04054821820028

Pembimbing:
dr. Yusmala Helmy, Sp.A(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

HIV AIDS PADA ANAK

Oleh:

Silvi Silvania, S.Ked 04054821820026


Syah Fitri, S.Ked 04054821820028

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 7 Oktober - 13
Desember 2019

Palembang, Oktober 2019

Pembimbing

dr. Yusmala Helmy, Sp.A(K)

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “HIV AIDS pada Anak”.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di RSMH Palembang. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Yusmala
Helmy, Sp.A(K) atas bimbingan yang telah diberikan.

Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan.Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi


penulis pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Palembang,Oktober 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 40

BAB IV ANALISIS KASUS ........................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 84

4
BAB I
PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang


menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di mana terjadi
kegagalan sistem imun progresif.1 Penyebab terbanyak adalah HIV-1. Virus ini
ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang terkontaminasi
darah dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal, atau ASI.2
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan
pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan
dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan,
pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko,
metode diagnosis, dan manifestasi oral .1
Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur
tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal
diperkirakan sebesar 83% antara tahu 1992 sampai 2001. Infeksi HIV pada anak
merupakan masalah kesehatan yang sangat besar di dunia, dan berkembang
dengan kecepatan yang sangat berbahaya. Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta
anak terinfeksi HIV di seluruh dunia. Jumlah ini diduga tetap akan meningkat
dalam waktu dekat karena beberapa alasan.3 Di Amerika Serikat, infeksi HIV
perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi
perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun dari
pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari transfusi
darah atau komponen darah relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu, sexual
abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV,
di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa remaja.1
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan
ditemukan pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi
HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama
para dokter untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan
tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam

19
yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh,
parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan
perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.1
Pembuatan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat membantu rekan sejawat
terutama dokter umum untuk dapat mengenali gambaran klinis dan penegakkan
diagnosis HIV pada anak untuk kemudian dapat merujuk pada yang lebih ahli.

20
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
Nama : An. AAU
Umur / Tanggal Lahir : 3 tahun 2 bulan / 21 Agustus 2016
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. AU (35 tahun)
Nama Ibu : Ny. S (32 tahun)
Alamat : Melati Jaya, Banyuasin
Suku Bangsa : Indonesia
Dikirim oleh :Poliklinik Anak RS Mohammad Hoesin Palembang

B. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, pada 22 Oktober 2019 pukul
11.00 WIB)
Keluhan Utama : Kontrol HIV
Keluhan Tambahan :-

Riwayat Perjalanan Penyakit


+ 2 tahun yang lalu, ibu pasien mengeluh berat badan pasien tidak naik.
Berat badan tertinggi yaitu 6,8 kg saat anak berusia 10 bulan. Pasien juga
mengalami batuk-batuk lama sejak usia 3 bulan. Batuk berdahak, dahak kental
dan berwarna bening/jernih.Batuk darah tidak ada.Batuk tidak dipengaruhi
oleh posisi maupun aktivitas.Batuk terjadi sepanjang hari tidak lebih parah di
malam hari atau pagi hari.Anak juga sering demam.Demam hilang timbul,
dirasakan tidak terlalu tinggi namun suhu tidak diukur.Demam membaik
setelah diberikan parasetamol namun timbul lagi keesokan harinya.Pasien juga
mengeluh keluar cairan dari telinga kanan dan kiri, warna putih, encer dan
tidak berbau.Mual dan muntah disangkal.Pasien juga mengalami penurunan

21
nafsu makan.Buang air besar cair ada.Buang air kecil tidak ada keluhan.Anak
baru bisa duduk sendiri, belum bisa bicara 1 kata.Riwayat kontak dengan
keluarga pasien (nenek) ada batuk lama.Pasien berobat ke RSMH dan dirawat
inap dengan diagnosis Marasmus kondisi V, anemia akibat penyakit kronis,
diare tanpa dehidrasi, OMSK dan TB paru.
+ 1 tahun yang lalu, ibu pasien mengeluh terdapat penurunan berat badan
dan berat badan susah naik. Pasien juga mengalami BAB cair dengan
frekuensi >5 kali dalam sehari, konsistensi encer, darah tidak ada.Disertai
dengan muntah.Batuk ada, tidak dipengaruhi oleh posisi maupun
aktivitas.Pasien sedang mengonsumsi obat TB.Pasien dibawa berobat ke
RSMH dan di rawat inap dengan diagnosis HIV infection, diarepersisten
tanpa dehidrasi, marasmus kondisi V dan riwayat TB paru.Setelah dinyatakan
stabil, pasien dipulangkan dan rutin kontrol ke poliklinik alergi imunologi
anak.
Pasien datang ke poliklinik alergi imunologi RSMH Palembang untuk
kontrol HIV.Keluhan demam tidak ada, batuk tidak ada, muntah tidak ada,
BAB cair tidak ada.Pasien rutin kontrol tiap 2 bulan sekali sejak didiagnosis
HIV dan mendapatkan pengobatan ARV.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat gizi buruk ada saat usia 1 tahun
 Riwayat infeksi paru ada saat usia 1 tahun
 Riwayat infeksi telinga ada saat usia 1 tahun
 Riwayat kontak dengan orang dewasa batuk kronis (+) kakak pasien
 Riwayat kontak dengan penderita TB (+) nenek pasien
 Riwayat transfusi darah disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga dan Lingkungan sekitar


 Riwayat batuk lama (+) nenek dan kakak pasien, kakak pasien
meninggal akibat infeksi paru
 Riwayat penyakit HIV (+) pada ayah dan ibu

22
 Riwayat transfusi darah pada keluarga disangkal
 Riwayat penggunaan obat-obatan terlarang disangkal

Riwayat Lingkungan Perumahan


Penderita di asuh oleh ibu dan ayah kandung. Penderita tinggal di
lingkungan rumah perkampungan dengan rumah ukuran 5x6 meter yang berisi
3 orang dengan satu kamar, satu ruang keluarga, dan satu kamar mandi berada
di dalam rumah.Lingkungan sekitar rumah penderita tergolong pemukiman
padat. Lantai rumah terbuat dari ubin, ventilasi terdapat dibagian depan rumah,
jendela rumah jarang dibuka. Sumber air minum berasal dari air ledeng.
Kesan: kondisi rumah dan lingkungan kurang baik

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai pedagang yang tidak tetap sekitar Rp 2 juta
per bulan. Ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Ayah pasien menanggung
1 orang anak dan istri serta sering mengirimkan uang ke ibu kandungnya.
Kesan: riwayat sosial ekonomi menengah ke bawah.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Kehamilan
Perawatan Antenatal : Periksa kehamilan ke bidan
2 kali selama hamil. 1 kali saat usia gestasi 18 minggu dan 1 kali saat
usia gestasi 34 minggu. Ibu penderita mengaku tidak mengonsumsi
obat-obatan serta vitamin pada saat kehamilan.
Penyakit Kehamilan : mual muntah (-), tidak nafsu makan (-),
demam (-), batuk lama (-), konsumsi obat atau jamu saat hamil (-),
hipertensi (-), DM (-)

Kelahiran (lahir dari ibu G2P1A0)


Tempat kelahiran : Puskesmas
Penolong persalinan : Bidan

23
Cara persalinan : Per vaginam
Masa gestasi : 37 minggu
Kondisi bayi:
 Berat badan lahir : 2200 gram
 Panjang badan lahir : 43 cm
 Lingkar kepala : 33 cm
 Langsung menangis : ya
 Nilai APGAR : ibu tidak tahu
 Kelainan bawaan : tidak ada
 Inisiasi Menyusu Dini : tidak ada
Kesan : Bayi berat badan lahir rendah + lahir cukup bulan masa kehamilan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan:
Berat badan lahir 2200 gram.Panjang badan lahir 46 cm.
Berat badan sekarang (22 Oktober 2019) 11,3 kg. Panjang badan 90 cm.
BB ideal anak laki-laki usia 3 tahun 2 bulan adalah 14,7 kg
BB/U diantara -1 sd dan -2 sd
TB/U diantara -3sd dan -2 sd
BB/TB diantara -1 sd dan 0 sd
Kesan; Gizi baik, perawakan pendek

Perkembangan:
Pertumbuhan gigi pertama : 5 bulan
Psikomotor
 Tengkurap dan berbalik sendiri : 7 bulan
 Merangkak : 18 tahun
 Duduk : 12 bulan
 Bahasa : 12 bulan belum dapat bicara
1 kata

24
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan terlambat
Riwayat Perkembangan Mental
Isap Jempol : berhenti sejak usia 1 tahun
Ngompol : berhenti sejak usia 5 tahun
Sering Mimpi : tidak
Aktivitas : aktif
Membangkang : tidak
Ketakutan : tidak
Kesan : Perkembangan mental baik

Riwayat Keluarga
Perkawinan : Pertama
Umur Perkawinan : 7 tahun
Pendidikan orang tua : Ibu : SMP, Ayah : SD
Pekerjaan orang tua : Ibu : IRT, Ayah : Buruh,
Riwayat pekerjaan orang tua : Ayah pernah menjadi seorang supir antarkota.
Riwayat Makan
 ASI : ASI eksklusif 0-5 bulan (diberikan 12x sehari +
10 menit tiap menyusui).
 Bubur beras: 5 bulan – 8 bulan (diberikan 3x sehari + 2 sendok
makan)
 Susu formula: 5 bulan sampai sekarang
 Nasi tim: 12 bulan – 15 bulan, 3x/hari, 8 sendok makan
 Nasi Biasa: 15 bulan – sekarang, 3x/hari, banyaknya ±1 porsi (15-
20 sendok makan)
Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG 1 bulan - - - - - -
DPT/DT 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - - -
POLIO Lahir 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -
CAMPAK 9 bulan - - - - - -
HEPATITIS B Lahir 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -

25
Kesan: Imunisasi dasar lengkap
Riwayat Keluarga
 Pedigree

Keterangan : : Laki-laki : Perempuan : Pasien


Kesan: Pasien merupakan anak kedua.Kakak pasien sudah meninggal
akibat penyakit infeksi paru. Ayah dan Ibu pasien menderita penyakit yang
sama dengan pasien.

III. Pemeriksaan Fisik (pada tanggal 23 Oktober 2019)


a. Pemeriksaan Fisik Umum

Keadaan Umm Tampak sakit ringan

Kesadaran Kompos mentis

Berat Badan 11 kg

Tinggi Badan 87 cm

BB/U -2 < Z < 0 (normal)

TB(PB)/U -3 < Z -2 (stunted)

BB/TB -1 < Z < 0 (normal)

Status Gizi Gizi Baik

Suhu 36,3oC

Respirasi 28 x/menit

Tipe Pernapasan Abdominotorakal

Nadi 102 x/menit

26
Isi/ kualitas Isi dan tegangan cukup

Regularitas Reguler

Kulit Pucat (-), hiperpigmentasi (-), ikterik (-),


ptekie (-), edema (-),

b. Pemeriksaan Khusus

Kepala Normosefali

Rambut Hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut

Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-),


edema palplebra (-/-), pupil isokor 3mm,
refleks cahaya (+/+)

Hidung Bentuk normal, kavum nasi lapang, septum


deviasi (-)

Telinga CAE lapang, serumen (+), MT sulit dinilai

Mulut tidak ada sianosis, tidak ada cheilitis

Lidah Simetris, tidak ada atrofi papil, tidak


kering, lidah kotor (-)

Tenggorokan Dinding posterior faring hiperemis, post


nasal drip (-), tonsil hiperemis (-), detritus
(-)

Leher Massa (-), kelenjar tiroid tidak membesar,


tidak teraba pembesaran KGB

Toraks Inspeksi  simetri, retraksi

Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing


(-)

27
Cor Batas jantung normal
Bunyi Jantung I dan II normal, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen Inspeksi  cembung, venektasi (-)


Auskultasi  bising usus (+) normal
Perkusi  shifting dullness (-)
Palpasi  nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba

Ekstremitas Akral hangat, CRT <3”, pucat (-), sianosis


(-), clubbing finger (-) edema pretibial (-)
KGB inguinal  tidak teraba pebesaran

Genitalia Edema (-), T1P1

Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan
Tungkai Kanan Tungkai Kiri Lengan Kanan Lengan Kiri
Fungsi Motorik

Gerakan Luas Luas Luas Luas

Kekuatan 5 5 5 5

Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni

Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Reflek Normal Normal Normal Normal


Fisiologis

Reflek Patologis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Gejala rangsang meningeal : Tidak ada


Fungsi sensorik : Dalam batas normal
Nervi craniales : Dalam batas normal

28
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (Desember 2017)
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Leukosit 17,6 ribu/μl 3.6 – 11
Eritrosit 3,45 juta/μl 3.8 – 5.2
Hemoglobin 8,1 g/dL 11.7 – 15.5
Hematokrit 26 % 35 – 47
Trombosit 346 ribu/μl 150 – 440
LED 81 mm/jam 0 – 15
MCV 74,2 fL 80 – 100
MCH 24 pg 26 – 34
MCHC 32 g/dL 32 – 36
RDW-CV 17,80 % < 14
Hitung Jenis Leukosit
 Basofil 0 % 0-1
 Eosinofil 1 1-6
%
 Neutrofil 37 50-70
%
 Limfosit 50 20-40
%
 Monosit 12 2-8
%
KIMIA KLINIK
HATI
SGOT 54 mU/dl <33
SGPT 20 mU/dl <50
Protein Total 8,1 g/dl 6.4 - 8.3
Albumin 3,1 g/dl 3.5 - 5.2
Globulin g/dl 1.9 - 3.5
KIMIA KLINIK
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Sewaktu 62 mg/dl <110
GINJAL

29
Ureum 14 mg/dL 13 – 43
Creatinin 0,17 mg/dL < 1.1
ELEKTROLIT
ELEKTROLIT SERUM
Kalsium (Ca) 8,1 mmol/L 8,4-10,4
Natrium (Na) 140 mmol/L 135 – 155
Kalium (K) 4,1 mmol/L 3.6 – 5.5
Klorida (Cl) 111 mmol/L 98 – 109
Kesan: anemia hipokrom mikrositer ec penyakit kronis + peningkatan LED
+ leukositosis

Pemeriksaan Laboratorium Gambaran Darah Tepi (Desember 2017)


Eritrosit : mikrositik, hipokrom
Limfosit : jumlah meningkat, limfositosis
Trombosit : jumlah cukup penyebaran merata, bentuk normal
Kesan : Gambaran anemia mikrositik hipokrom dan limfositosis (diduga
proses spesifik)

Pemeriksaan Rontgen Thorax (Desember 2017)


Kesan : gambaran efusi pleura sinistra, suspek TB paru dd/ pneumonia

Pemeriksaan GeneXpert MTB-RIF (Desember 2017)


Test Result : MTB DETECTED HIGH
Rifampisin resistance : NOT DETECTED

Pemeriksaan Mikrobiologi Sediaan Sputum BTA (Januari 2018)


JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
MIKROBIOLOGI
Sediaan BTA 3x (sputum)
BTA 1 3+ Negatif
BTA 2 1+ Negatif

30
BTA 3 1+ Negatif

Pemeriksaan Imunoserologi anti HIV (Maret 2018)


IMUNOSEROLOGI
Anti HIV
Screening/Rapid test Reaktif Non reaktif
Metode I Reaktif Non reaktif
Metode II Reaktif Non reaktif
Metode III Reaktif Non reaktif

V. PERJALANAN PENYAKIT
Tanggal/ Waktu Keterangan
21 Desember 2017
S : batuk (+) sejak usia 3 bulan. Batuk berdahak, dahak
kental dan berwarna bening/jernih. Batuk darah tidak ada.
Batuk tidak dipengaruhi oleh posisi maupun aktivitas. Batuk
terjadi sepanjang hari tidak lebih parah di malam hari atau
pagi hari. Berat badan sulit naik. Berat badan tertinggi yaitu
6,8 kg saat anak berusia 10 bulan. Anak juga sering demam.
Demam hilang timbul, dirasakan tidak terlalu tinggi namun
suhu tidak diukur. Demam membaik setelah diberikan
parasetamol namun timbul lagi keesokan harinya. Sesak
nafas tidak ada. Muntah ada, isi apa yang dimakan,
frekuensi 3x/hari. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan. Buang air besar cair ada. Buang air kecil tidak ada
keluhan. Anak baru bisa duduk sendiri, belum bisa bicara 1
kata. Riwayat kontak dengan keluarga pasien (nenek) yang
batuk lama (+).

O : Sensorium: compos mentis


HR: 110 x/menit; RR :26x/menit T: 36,6oC
BB = 5,77 kg
TB= 69
Status antropometri :
BB/U : < -3SD
TB/U: < -3SD
BB/TB: <-3SD
Usia tinggi : 7 bulan
Kesan : Marasmus kondisi V
Kepala: konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-),

31
edema palpebra (-), nafas cuping hidung (-)
perbesaran KGB regio colli (+)
Thoraks: simetris, retraksi (-), iga gambang (+)
Pulmo:vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+),wheezing (-)
Cor: BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan
lien tidak teraba, nyeri tekan (-), shifting
dullness (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT<3”, edema pretibial (-/-)

A : Marasmus kondisi V + suspek TB + anemia et causa


suspek penyakit kronis + diare tanpa dehidrasi

P:
Non farmakologis :
 Monitor keadaan umum, tanda-tanda vital
 Tirah baring
 Cek darah lengkap, gula darah sewaktu, urin
rutin,feses rutin
 Rencana pemeriksaan TCM sputum
 Rencana pemeriksaan kultur BTA sputum
 Rencana pemeriksaan mantoux
 Rencana rontgen thorax AP/lateral
 MRS (Divisi ANP)
 Monitoring efikasi, toleransi dan akseptabilitas
asupan nutrisi
 Konsul Divisi Respirologi

Farmakologis :
 IVFD D5 ¼ NS
 F100 8 x 90 cc (fase stabilisasi)
 Ampicilin 3 x 400 mg IV
 Gentamicin 1 x 30 mg IV
28 Desember 2017
S: batuk berdahak, dahak kental dan berwarna bening/jernih.
Batuk darah tidak ada. Batuk tidak dipengaruhi oleh posisi
maupun aktivitas. Batuk terjadi sepanjang hari tidak lebih
parah di malam hari atau pagi hari. Keluar cairan dari
telinga kanan dan kiri (+) warna putih, encer, berbau (-).
Demam ada, hilang timbul, dirasakan tidak terlalu tinggi
namun suhu tidak diukur. Demam membaik setelah
diberikan parasetamol namun timbul lagi keesokan harinya.
Kejang tidak ada.Berat badan sulit naik. Sesak nafas tidak
ada. Muntah dan mual disangkal. Penurunan nafsu makan
ada.

32
O : Sensorium: compos mentis
HR: 110 x/menit; RR :26x/menit T: 36,6oC
BB = 5,77 kg
TB= 69
Status antropometri :
BB/U : < -3SD
TB/U: < -3SD
BB/TB: <-3SD
Usia tinggi : 7 bulan
Kesan : Marasmus kondisi V
Kepala: konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-),
edema palpebra (-), nafas cuping hidung (-)
perbesaran KGB regio colli (+)
Thoraks: simetris, retraksi (-), iga gambang (+)
Pulmo:vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+),wheezing (-)
Cor: BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan
lien tidak teraba, nyeri tekan (-), shifting
dullness (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT<3”, edema pretibial (-/-)

Hasil laboratorium :
Hb : 8,1
RBC : 3.100.000
WBC : 19.700
Ht : 26
Plt : 325.000
MCH : 23
MCV : 74,4
MCHC : 31
RDW-CV: 17,70
LED : 686
DC : 0/2/29/58/11
Ureum : 14
Kreatinin : 0,17
Na: 140
K : 4,1
Cl : 111
Ca : 9,3
CRP : 10
SI 47
TIBC : 232
Transferrin 20
Ferritin 91,06
Kesan : anemia hipokrom mikrositer + leukositosis +
peningkatan LED

33
Hasil rontgen thorax AP/lateral
Kesan : gambaran efusi pleura sinistra, suspek TB paru dd/
pneumonia

Hasil pemeriksaan sputum Xpert-MTB-RIF : (+)

A : Marasmus kondisi V + TB paru + anemia et causa


penyakit kronis + diare tanpa dehidrasi + OMSK

P:
Non farmakologis :
 Monitor keadaan umum, tanda-tanda vital
 Tirah baring
 Cek darah perifer lengkap, urin rutin
 Follow up hasil BTA 1,2, kultur sputum
 Rencana transfusi PRC
 Monitoring efikasi, toleransi dan akseptabilitas
asupan nutrisi
 Konsultasi THT-KL

Farmakologis :
 IVFD D5 ¼ NS
 F100 8 x 90 cc (fase rehabilitasi)
 Ampicilin 3 x 400 mg IV
 Gentamicin 1 x 30 mg IV
 OAT fase intensif

Pasien kemudian dirawat dengan diagnosisMarasmus kondisi V + TB paru +


anemia et causa penyakit kronis + diare tanpa dehidrasi + OMSK selama satu
bulandan dipulangkan setelah stabil bulan Januari 2018
2 Maret 2018
S : batuk (+) sejak usia 3 bulan. Batuk berdahak, dahak
kental dan berwarna bening/jernih. Batuk darah tidak ada.
Batuk tidak dipengaruhi oleh posisi maupun aktivitas. Batuk
terjadi sepanjang hari tidak lebih parah di malam hari atau
pagi hari. Berat badan sulit naik. Berat badan tertinggi yaitu
6,8 kg saat anak berusia 10 bulan. Anak juga sering demam.
Demam hilang timbul, dirasakan tidak terlalu tinggi namun
suhu tidak diukur. Demam membaik setelah diberikan
parasetamol namun timbul lagi keesokan harinya. Sesak
nafas tidak ada. Muntah ada, isi apa yang dimakan,
frekuensi >3x/hari. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan. Buang air besar cair tidak ada. Buang air kecil tidak
ada keluhan. Anak baru bisa duduk sendiri, belum bisa

34
bicara 1 kata. Riwayat kontak dengan keluarga pasien
(nenek) yang batuk lama (+). Pasien riwayat dirawat di
RSMH dengan diagnosis Marasmus kondisi V + TB paru +
anemia et causa penyakit kronis selama 2 bulan kemudian
setelah stabil pasien dipulangkan. Pasien dirawat jalan dan
kontrol setiap bulan untuk ambil OAT namun hingga saat
ini belum ada perbaikan.

O : Sensorium: compos mentis


HR: 115 x/menit; RR :24x/menit T: 36,6oC
BB = 6,2 kg
Kepala: konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-),
edema palpebra (-), nafas cuping hidung (-)
perbesaran KGB regio colli (+)
Thoraks: simetris, retraksi (-), iga gambang (+)
Pulmo:vesikuler (+) normal, ronkhi (-),wheezing (-)
Cor: BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan
lien tidak teraba, nyeri tekan (-), shifting
dullness (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT<3”, edema pretibial (-/-)

A : suspek HIV infection + Marasmus kondisi V + TB paru


on therapy + anemia et causa penyakit kronis + diare
persisten tanpa dehidrasi

P:
Non farmakologis :
 Monitor keadaan umum, tanda-tanda vital
 Tirah baring
 Cek darah perifer lengkap, urin rutin
 Monitoring efikasi, toleransi dan akseptabilitas
asupan nutrisi
 Rencana pemeriksaan imunoserologi anti HIV,
CD4+ count
 MRS (Divisi Allergi Imunologi)
 Konsultasi Divisi ANP
 Konsultasi Divsi Respirologi

Farmakologis :
 IVFD D5 ¼ NS
 F75 8 x 90 cc (fase stabilisasi)
 OAT fase intensif
 Kotrimoksazol syr 1 x 5 mL

35
Pasien kemudian dirawat dengan diagnosis HIV infection + Marasmus kondisi
V + TB paru on therapy + anemia et causa penyakit kronis+ diare persisten
tanpa dehidrasi selama dua bulan dan dipulangkan April 2018
4 Juni 2018 S :post rawat inap (kontrol ulang di Poli Al-Im). ±2 bulan
sebelumya dirawat di RSMH karena penurunan berat badan,
BAB cair ≥ 5x/hari, muntah ada. Batuk pilek lama ada.
Demam lama ada ± 2 bulan penyebab tidak jelas,dirawat
inap dengan diagnosis HIV infection + Marasmus kondisi V
+ TB paru on therapy + anemia et causa penyakit kronis+
diare persisten tanpa dehidrasi. Pasien pulang setelah stabil
dan rawat jalan untuk ambil OAT di puskesmas terdekat.

O : Sensorium: compos mentis


HR: 108 x/menit; RR :28x/menit T: 36,6oC
BB = 7,1 kg
Kepala: konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-),
edema palpebra (-), nafas cuping hidung (-)
perbesaran KGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-), iga gambang (+)
Pulmo:vesikuler (+) normal, ronkhi (-),wheezing (-)
Cor: BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan
lien tidak teraba, nyeri tekan (-), shifting
dullness (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT<3”, edema pretibial (-/-)

A: HIV Infection + TB on therapy (selesai) + Marasmus


kondisi V (perbaikan)

P:
Non farmakologis :
 Kontrol ulang setiap bulan

Farmakologis :
 AZT FDC (60:30:50) = 2x1,5 tab
 Kotrimoksazol syr 1 x 5 mL

36
VI. RESUME
An. AAU, laki-laki, 3 tahun 2 bulan datang ke poli Alergi Imunologi
Anak untuk kontrol ulang pengobatan ARV.+ 2 tahun yang lalu, ibu pasien
mengeluh berat badan pasien tidak naik. Berat badan tertinggi yaitu 6,8 kg
saat anak berusia 10 bulan. Pasien juga mengalami batuk-batuk lama sejak
usia 3 bulan. Batuk berdahak, dahak kental dan berwarna
bening/jernih.Batuk darah tidak ada.Batuk tidak dipengaruhi oleh posisi
maupun aktivitas.Batuk terjadi sepanjang hari tidak lebih parah di malam
hari atau pagi hari.Anak juga sering demam.Demam hilang timbul,
dirasakan tidak terlalu tinggi namun suhu tidak diukur.Demam membaik
setelah diberikan parasetamol namun timbul lagi keesokan harinya.Mual
dan muntah disangkal.Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan.Buang air besar cair tidak ada.Buang air kecil tidak ada keluhan.
Pasien berobat ke RSMH dan dirawat inap dengan diagnosis Marasmus
kondisi V + TB paru + anemia et causa penyakit kronis + diare tanpa
dehidrasi + OMSK.
+ 1 tahun yang lalu, pasien kembali dirawat karena tidak ada
perbaikan. Kemudian pada pasien dilakukan pemeriksaan antibodi HIV dan
didapatkan hasil reaktif sehingga pada anak ini didapatkan diagnosis HIV
infection + Marasmus kondisi V + TB paru on therapy + anemia et causa
penyakit kronis + diare persisten tanpa dehidrasi. Pasien dirawat dua bulan
kemudian dipulangkan setelah stabil.Saat ini pasien telah menjalankan
terapi ARV sejak Maret 2018 dan rutin kontrol di poli Alergi Imunologi
Anak RSMH.Pada pemeriksaan fisik pasien baik secara umum maupun
spesifik dalam batas normal.Status gizi anak saat ini baik.

VII. DIAGNOSIS BANDING


HIV Infection + riwayat TB paru(selesai terapi 6 bulan) + riwayat gizi
buruk

37
VIII. DIAGNOSIS KERJA
HIV Infection + riwayat TB paru (selesai terapi 6 bulan) + riwayat gizi
buruk

IX. PENATALAKSANAAN
Non farmakologis :
 Edukasi kepada keluarga pasien mengenai penyakitnya dan
perlunya kepatuhan meminum obat jangka panjang
 Edukasi kepada keluarga pasien untuk rutin kontrol ulang setiap
bulannya
 Edukasi kepada keluarga pasien untuk mengenali tanda-tanda
bahaya dan juga segera berobat kembali apabila terdapat
komplikasi infeksi oportunistik lainnya yang muncul pada pasien

Farmakologis :
 AZT FDC (60:30:50) 2x2 tablet PO
 Cotrimoxazole 1 x 6,5mL PO

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia

38
Gambar 1. Kondisi pasien saat ini (23 Oktober 2019)

39
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 HIV
3.1.1 DEFINISI
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus HIV (Human
Deficiency Virus).1AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV yang berupa kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus).3

3.1.2 EPIDEMIOLOGI
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih
dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009,
jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar
penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5
juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta
jiwa.Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada
anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena
AIDS.4
Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi melalui
transfuse darah atau komponen yang tercemar. Menurut CDC Amerika, 13%
kasus AIDS pada anak adalah penerima transfuse darah atau komponennya, 5%
diantaranya ternyata terinfeksi dalam pengobatan hemophilia atau gangguan
pembekuan darah yang lain. Dengan diterapkan sistem uji tapis yang lebih ketat
terhadap donor darah, penularan melalui transfusi ini telah berkurang, sehingga
penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal (vertical),
yaitu sekitar 50-80% baik intra uterin, melalui plasenta, selama persalinan melalui
pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi setelah
lahir (pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI).1

40
Laporan Kasus HIV dan AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 2011
menunjukkan cara penularan tertinggi terjadi akibat hubungan seksual beresiko,
diikuti penggunaan jarum suntik tidak steril; dengan jumlah pengidap AIDS
terbanyak pada kategori pekerjaan ibu rumah tangga. Hal ini juga terlihat dari
proporsi jumlah kasus HIV pada perempuan meningkat dari 34% (2008) menjadi
44%.Selain itu juga terdapat peningkatan HIV dan AIDS yang ditularkan dari ibu
HIV positif ke bayinya. Jumlah kasus HIV pada anak 0-4 tahun meningkat dari
1,8% (2010) menjadi 2,6%. Prevalensi kasus HIV/AIDS pada anak yang berusia
antara 5-10 tahun sebanyak 26%.3

3.1.3 ETIOLOGI
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili
Lentivirinae.Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse
transcriptase.Enzim ini menyebabkan retrovirus mempunyai kemampuan
menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA. Jadi
setiapkali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus
juga ikutditurunkan.4Terdapat dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang
juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2). HIV-1 sebagai
penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering sebab bermutasi lebih cepat
karena replikasi nya lebih cepat.5
HIV mempunyai inti (nukleoid) berbentuk silindris dan eksentrik,
mengandung 2 rangkaian genom RNA diploid, dengan masing-masing rangkaian
memiliki enzim transkripatse reverse (RT), dan integrase. Selain itu di dalam inti
juga terdapat enzim protease yang tidak melekat pada rangkaian RNA.Partikel
yang membentuk inti silindris ini adalah protein kapsid (p24); yang menutupi
komponen nukleoid tersebut sehingga membentuk struktur ukleokapsid.Protein
matriks p17 merupakan bagian dalam sampul virus HIV.Bagan paling luar adalah
lapisan membran fosfolipid yang berasal dari membran plasma sel pejamu. Pada
membran permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul
glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran yang merupakan gp41 yang
keduanya dibentuk oleh virus.1

41
Gambar 1 Anatomi HIV

3.1.4 SIKLUS HIDUP


Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel
pejamu. Perlekatan ini dimulai dari interaksi antara kompleks env yang terdiri dari
3 pasang molekul gp120 dan molekul transmembran gp 41 yang merupakan
molekul trimerik membran virion dengan membran sel target.Pertama-tama
terbentuk ikatan antara satu subunit gp 120 dengan molekul CD4 sel
pejamu.Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasional (membran virion
melekuk agar gp120 kedua dapat ikut melekat) yang memicu perlekatan gp120
kedua pada koreseptor kemokin (CXCR4, CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini
selanjutnya menginduksi perubahan konformasional pada gp41 (semula berada di
lapisan lebih dalam membran virion) untuk mengekspos komponen hidrofobiknya
sampai ke lapisan membran pejamu, (karena mampu bergerak seperti ini maka
gp41 dinamakan peptida fusi) dan kemudian menyisipkan diri ke membran sel
pejamu dan memudahkan terjadinya fusi membran sel HIV dengan membran sel
pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu.1
Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam
kompleks nukeoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi
DNA oleh enzim transkriptase reversi (RT= Reverse Transcriptase). DNA HIV
yang terbentuk kemudian masuk ke nukleus sel pejamu melalui bantuan enzim
integrase. Integrasi diperkuat bila pada saat yang sama DNA pejamu bereplikasi

42
karena terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA virus HIV yang
sudah berintegrasi ke dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA
provirus ini dapat dormant, atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulan-bulan
atau bertahun-tahun tanpa adanya protein baru atau virion.1
Transkripsi gen proviral DNA yang sudah terintegrasi diatur oleh:
a. LTR , bergerak ke arah hulu dari gen struktur virus
b. Sitokin/stimulus fisiologis terhadap sel T dan makrofag lain untuk
memperkuat transkripsi.
LTR mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan
dalam bentuk kotak TATA dan tempat ikatan/binding untuk 2 faktor transkripsi
pejamu (NF-kB dan SP1).Awal transkripsi gen HIV dalam sel T terkait dengan
pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen atau sitokin lain. Sebagai contoh,
aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, IL-2, TNF dan limfotoksin
akan menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu IL-1,
IL-3, IL-6, TNF, limfotoksin, IFN-γ dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV
dan replikasi virus dalam sel monosit dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini
menunjukkan bahwa sel T yang terinfeksi HIV secara laten dapat tetap memberi
respons normal terhadap mikroba lain. Replikasi sel T mungkin menjadi pemicu
berakhirnya infeksi laten dan dimulainya produksi virus. Infeksi multipel yang
dialami penderita HIV akan menstimulasi produksi HIV untuk selanjutnya
menginfeksi sel lainnya.
Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal
optimal untuk memulai transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang
benar-benar disintesis. Hal itu terjadi karena transkripsi gen HIV oleh enzim
polimerase RNA mamalia tidak efisien dan kompleks polimer biasanya berhenti
ditranskripsi sebelum mRNA lengkap.
Protein Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan pada
DNA virus. Keterikatan ini meningkatkan proses polimerase RNA hingga
beberapa ratus kali lipat, dan mendorong diselesaikannya transkripsi dengan hasil
akhir RNA messenger(mRNA) HIV yang fungsional.

43
mRNA yang mengkode aneka protein HIV berasal dari transkrip helai tunggal
genom lengkap yang telah melalui proses penyambungan yang berbeda-beda.
Ekspresi gen HIV dapat dibagi ke dalam stadium awal saat gen regulator dibentuk
dan stadium akhir dimana gen struktur diekspresikan dan helai tunggal genom
lengkap dibuat.
Protein Rev, Tat, Nev adalah produk awal gen yang dicetak oleh mRNA
yang tersambung sempurna dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan
menjadi protein di sitoplasma segera sesudah infeksi satu sel.
Produk akhir gen termasuk env, gag, dan pol yang mengkode komponen
struktur virus dan diterjemahkan dari RNA tunggal yang sudah maupun belum
tersambung. Protein Rev memulai penukaran dari ekspresi awal menjadi gen akhir
dengan cara mempromosikan ekspor RNA ke luar inti sel. RNA ini yang belum
tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti. Produk gen pol adalah protein
prekursor yang dipotong secara berurutan untuk membentuk enzim transkriptase
riversi, protease, ribonuklease dan integrase. Gen gag mengkode protein
berukuran 55-D. Protein ini selanjutnya dipotong oleh enzim proteolitik menjadi
polipeptida p24, p17, dan p15. Ketiga polipeptida ini adalah protein inti yang
diperlukan untuk membentuk partikel infeksius virus. Gen env memproduksi
terutama glikoprotein 160-kD yang selanjutnya dipotong oleh protease sel di
retikulum endoplasma menjadi protein gp 120 dan gp 41 yang diperlukan untuk
menempelnya HIV pada sel.
Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di
sitoplasma pejamu. Seluruh partikel infeksius kemudian disusun dalam satu
kompleks nukleoprotein, termasuk gag dan pol yang diperlukan untuk integrase
siklus berikutnya.
Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran
pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses ”budding” dari
membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan
kematian sel pejamu.1

44
3.1.5 FAKTOR RISIKO
Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah, 1) bayi yang
lahir dari ibu dengan pasangan biseksual, 2) bayi yang lahir dari ibu dengan
pasangan berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna
obat intravena, 4) bayi atau anak yang mendapat transfuse darah atau produk
darah berulang, 5) anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual
(perlakuan salah seksual), dan 6) anak remaja dengan hubungan seksual berganti-
ganti pasangan.1
a. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
1. Faktor Ibu
• Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan
dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml)
dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
• Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya.Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin
besar.
• Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil
meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
• Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran
reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan
jumlahvirus dan risiko penularan HIV ke bayi.
• Gangguan pada payudara

45
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui
ASI.

2. Faktor Bayi
• Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum
berkembang dengan baik.
• Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan
semakinbesar.
• Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.

3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan
lahir. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama persalinan adalah:
• Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (seksio sesaria).
• Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak
antara bayidengan darah dan lendir ibu.
• Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang
dari4 jam.
• Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko

46
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi

b. Waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke anak


Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan
oleh beberapalapis sel yang terdapat di plasenta.Plasenta melindungi janin
dari infeksi HIV.Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan
pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan
HIV dari ibu ke anak.
HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan
pada saat menyusui.Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan
penangananPPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%.Risiko penularan
15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko
transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui.
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-
30% danakan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian
ARV jangkapendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar
15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui
(PASI). Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral (ART) jangka panjang,
risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan
ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk
menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui
(De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82).
Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%.

47
3.1.6 PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit
CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting
sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan
gangguan imun yang progresif.6
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara
in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral
dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks,
mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.6
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 4 7 sebagai reseptor penting lainnya
untuk HIV.Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus
yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus
ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur
sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.
Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan

48
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi.6
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat


defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio

49
CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus
HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul
virus (gp21, gp41).Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi.Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang
pendek.Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL
(sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan
aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi
HIV.6
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan
kerusakan progresif populasi sel T CD4.Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel
T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi
CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus.6

3.1.7 PATOFISIOLOGI
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu
komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV
menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya,
makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting sel T helper antara lain
menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan
pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga
penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah
terinfeksi.7,8
Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah
sel dendritik.Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim
antigen tersebut ke sel-sel limfoid.HIV mempunyai target sel utama yaitu sel
limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV

50
akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya.
Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga
limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi
HIV. Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan
tampak sebagai limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat
pada remaja dan orang dewasa. HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat
berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon dan kontrol pertumbuhan
terhadap HIV. Ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak
infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagai flu-like syndrome
(demam, ruam, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa.
Dengan terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan
virus dalam darah mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki
masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit.7,8
Replikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya
manifestai klinis pada anak. Beberapa mekanisme yang diduga berhubungan
dengan turunnya kadar CD4 pada orang dewasa dan anak-anak ialah mekanisme-
mekanisme dari HIV-mediated single cell killing, formasi multinukleus dari sel
giant pada CD4 baik yang terinfeksi maunpun yang tidak (formasi syncytia),
respon imun spesifik untuk virus (sel natural killer, sitotoksisitas seluler
tergantung antibodi), aktivasi mediasi superantigen sel T (membuat sel T lebih
peka terhadap HIV), autoimun dan apoptosis.7,8
Tiga pola penyakit ditemukan pada anak-anak. Tepatnya 15-25% bayi
baru lahir yang terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan
perjalanan penyakit yang cepat, dengan gejala dan onset AIDS dalam beberapa
bulan pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup ialah 9 bulan jika tidak
diobati. Pada negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami perjalanan
penyakit seperti ini. Telah diketahui bahwa infeksi intrauterin bertepatan dengan
periode pertumbuhan cepat CD4 pada janin.Migrasi yang normal dari sel-sel ini
menuju ke sumsum tulang, limpa, dan timus yang menghasilkan penyebaran
sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun yang imatur dari janin.Infeksi
dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun, yang

51
mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini
menunjukkan hasil tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada 48
jam pertama kehidupan. Bukti ini menunjukkan terjadinya infeksi
intrauterin.Muatan virus akan terus meningkat dalam 2-3 bulan (750.000kopi/ml)
dan menurun secara perlahan. Berbeda dengan orang dewasa bahwa muatan virus
pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2 tahun pertama.7,8
Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%)
mengalami pola penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit
yang lebih lambat, dengan median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak
pasien dengan penyakit ini memiliki tes kultur yang negatif dalam 1 minggu
pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai pasien bayi yang terinfeksi
intrapartum. Pada pasien muatan virus akan meningkat dengan cepat dalam 2-3
bulan pertama kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara lambat
setelah 24 bulan. Ini berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus
berkurang dengan cepat setelah infeksi primer.7,8
Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam
jumlah kecil (<5%), dan infeksi virus yang cacat (adanya defek pada gen
virus).Perubahan sistem imun anak-anak karena infeksi HIV akan menyerupai
infeksi HIV pada orang dewasa. Penurunan sel T akan kurang dramatis
disebabkan karena pada bayi terjadi limfositosis relatif. Sebagai contoh, jumlah
CD4 1.500 sel/mm3 pada anak.7,8
Aktivasi sel B muncul pada infeksi awal pada kebanyakan anak sebagai
bukti hipergammaglobulinemia dengan kadar antibodi anti-HIV-1 yang tinggi.
Respon ini memperlihatkan adanya disregulasi dari supresi sel T dari sintesis
antibodi sel B dan peningkatan jumlah CD4 aktif dari respon humoral sel limfosit
B. Disregulasi dari sel B mendahului berkurangnya CD4 pada kebanyakan anak,
dan dapat berguna sebagai alat bantu diagnosis infeksi HIV pengganti bila tes
diagnosis spesific (PCR, kultur) tidak ada atau terlalu mahal. Meskipun
peningkatan kadar imunoglobulin, bukti dari produksi antibodi spesifik tidak
muncul pada beberapa anak. Hipogamaglobulinemia sangat jarang terjadi.7,8

52
Pengaruh terhadap sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa.Makrofag dan mikroglia mempunyai peran penting
dalam dalam neuropatogenesis HIV, dan dari data dilaporkan astrosit juga dapat
berpengaruh. Meskipun mekanisme pada sistem saraf pusat belum begitu jelas,
pertumbuhan otak pada bayi muda dipengaruhi 2 mekanisme, yaitu virus itu
sendiri yang dapat menginfeksi bermacam-macam sel otak secara langsung ,atau
secara tidak langsung dengan cara mengeluarkan sitokin (IL-1α, IL-1, TNF- α, IL-
2) atau oksigen reaktif dari limfosit atau makrofag yang terinfeksi HIV.7,8

Perjalanan Penyakit
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :

Infeksi virus
(2-3 minggu)

Sindrom retroviral akut


(2-3 minggu)

Gejala menghilang + serokonversi

Infeksi kronis HIV-asimtomatik


(rata-rata 8 tahun)

Infeksi HIV/AIDS simtomatik


(rata-rata 1,3 tahun)

Kematian
Bagan 1 Perjalanan penyakit alamiah infeksi HIV

53
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut Sindrom retroviral
akut atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom retroviral akut diikuti oleh
penurunan CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma (viral load).
Hitung CD4 perlahan-lahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju
penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5-2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam
keadaan AIDS. Viral loadakan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan
kemudian turun sampai titik tertentu. Dengan berlanjutnya infeksi, viral load
secara perlahan akan meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan hitung
sel CD4<200/mm3, diikuti timbulnya infeksi opportunistik, munculnya kanker
tertentu, berat badan menurun, dan munculnya komplikasi neurologis. Tanpa obat
ARV rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun ±3 ialah 3,7 tahun.7,8
Window period adalah masa dimana pemeriksaan tes serologis untuk
antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif sementara sebenarnya virus sudah
ada dalam jumlah banyak dalam darah penderita.Window period menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan karena pada masa itu orang dengan HIV sudah mampu
menularkan kepada orang lain misalnya melalui darah yang didonorkan, bertukar
jarum suntik atau melalui hubungan seksual. Sebenarnya pada saat itu
pemeriksaan laboratorium telah mampu mendeteksinya karena pada window
period terdapat peningkatan kadar antigen p24 secara bermakna.7,8

3.1.8 TRANSMISI
Cara penularan HIV/AIDS yang diketahui adalah melalui:
A. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun
heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering
terjadi.Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina.Risiko
penularan tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan
jenis hubungan seks. Dalam beberapa penelitian menunjukkan risiko serotype
untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang
dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual
dengan berganti pasangan merupakan kelompok berisiko tinggi terinfeksi HIV.7

54
1. Homoseksual
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual
dengan risiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual
yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV.Hal
ini sehubungan dengan mukosa rectum yang sangat tipis dan mudah
sekali mengalami perlukaan pada saat berhubungan seksual secara
anogenital.
2. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggra cara penularan utama melalui
hubungan heteroseksual dan penderita terbanyak adalah kelompok
umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak
pasangan dan berganti-ganti.
B. Transmisi Non Seksual
1. Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat
tindik) yang telah terkontaminasi, seperti pengguna narkoba suntik
yang menggunakan jarum suntik tercemar secara bersama-sama.
2. Produk Darah
Transmisi melalui transfusi darah karena kelalaian pemeriksaan
pendonor sebelum transfusi mampu meningkatkan prevalensi
kejadian HIV/AIDS
3. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai risiko sebesar 50%. Penularan juga dapat terjadi
melalui air susu ibu, namun tergolong dalam risiko rendah.7

3.1.9 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara bayi, anak-anak dan
remaja.Pada kebanyakan bayi pemeriksaan fisik biasanya normal.Gejala inisial
dapat sangat sedikit, seperti limfadenopati, hepatosplenomegali, atau yang tidak
spesifik seperti kegagalan untuk tumbuh, diare rekuren atau kronis, pneumonia

55
interstitial. Di Amerika dan Eropa sering terjadi gangguan paru-paru dan sistemik,
sedangkan di Afrika lebih sering terjadi diare dan malnutrisi.2
Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS, dua diantaranya menurut
Center for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization
(WHO).Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak menggunakan 2 parameter yaitu
status klinis dan derajat gangguan imunologis, lihat tabel 2.2 dan tabel 2.3.2
KATEGORI IMUNOLOGIS
JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT
DEFINISI STATUS
TERHADAP USIA
IMUNOLOGIS
<12 bulan 1-5 tahun 6-12 tahun
µL % µL % µL %
1. Nonsuppressed ≥ 1500 ≥ 25 ≥ 1000 ≥ 25 ≥ 500 ≥ 25
2. Moderate suppression 750-1499 15-24 500-999 15-24 200-499 15-24
3. Severe suppression <750 <15 <500 <15 <200 <15
Tabel 2.2Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan Jumlah
CD4 dan Persentasi Total Limfosit Terhadap Usia2

Klasifikasi Secara Klinis


N : Tanpa A : Gejala B : Gejala C : Gejala
DEFINISI STATUS
Gejala dan dan dan
IMUNOLOGIS
dan Tanda Tanda Tanda
Tanda Ringan Sedang Berat
1. Nonsuppressed N1 A1 B1 C1
2. Moderate suppression A2 C2 B2 C2
3. Severe suppression A3 C3 B3 C3
Tabel 2.3 Klasifikasi HIV menurut CDC pada Anak Kurang dari 13 Tahun Secara
Klinis2

Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun.2

56
 Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun
gejala yang menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat
ditemukan satu bentuk kelainan berdasarkan kategori A.
 Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi
tidak termasuk kategori B atau C :

o Lymphadenopathy (≥ 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang
bilateral dianggap sebagai satu kesatuan).
o Hepatomegali
o Splenomegali
o Dermatitis
o Parotitis
o URTI berulang atau persisten
 Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang
tidak termasuk ke dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan
gejala-gejala yang terjadi merupakan akibat dari terjadinya infeksi HIV
o Anemia
o Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode).
o Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak
berusia enam bulan atau kurang.
o Kardiomiopati.
o Infeksi CMVyang terjadi lebih dari satu bulan.
o Diare
o Hepatitis
o Stomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali
dalam satu tahun).
o Bronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang
terjadi sebelum usia satu bulan.
o Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu
dermatom.
o Leiomyosarcoma

57
o Pneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal
kompleks.
o Nefropati.
o Nocardiosis.
o Demam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih.
o Toksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan.
o Varicella diseminata atau dengan komplikasi.

 Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan


ditemukan pada pasien AIDS.(1),(7)
o Kandidiasis bronki, trakea, dan paru
o Kandidiasis esofagus
o Kanker leher rahim invasif
o Coccidiomycosis menyebar atau di paru
o Kriptokokus di luar paru
o Retinitis virus sitomegalo
o Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV
o Herpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan
o Bronkhitis, esofagitis dan pneumonia
o Histoplasmosis menyebar atau di luar paru
o Isosporiasi intestinal kronis > 1 bulan
o Sarkoma Kaposi
o Limfoma Burkitt
o Limfoma imunoblastik
o Limfoma primer di otak
o Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar
paru
o M. Tuberculosis diseminata atau ekstrapulmoner
o Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar
paru
o Pneumonia Pneumoncystitis carinii

58
o Pneumonia berulang
o Leukoensefalopati multifokal progresif
o Septikemia salmonella yang berulang
o Toksoplasmosis di otak. 2

Sedangkan klasifikasi WHO pada anak ialah:13

Stadium I Asimptomatik
Asimptomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan berat badan derajat sedang yang tidak dapat dijelaskan (<10% BB)
ISPA berulang (episode saat ini, ditambah 1 episode atau lebih dalam 6 bulan)
Herpes Zoster
Keilitis angularis
Sariawan berulang (2 episode atau lebih dalam 6 bulan)
Erupsi popular pruritic
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema linea gingiva
Infeksi virus wart luas
Moluskum kontagiosum luas
Pembesaran kelenjar parotis yang tidak dapat dijelaskan
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan derajat sedang yang tidak dapat dijelaskan (<10% BB)
Diare kronik selama >1 bulan yang tidak dapat dijelaskan
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (>37,5oC intermiten atau konstan,
>1 bulan)

59
Kandidiasis oral (diluar masa 6-8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
TB Paru
Infeksi bakterial berat (seperti pneumonia, meningitis, empiema, piomiositis,
infeksi tulang atau sendi, bakteremia, radang panggul berat
Stomatitis, ginggivitis, atau periodontitis ulseratif nekrotikans akut
Anemi yang tidak dapat dijelaskan (1 bulan)
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan
TB kelenjar
Pneumonitis interstisial limfoid (PIL) simtomatik
Penyakit paru berhubungan dengan HIV, termasuk bronkiektasis
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pneumonia bakterial berulang (episode saat ini ditambah satu episode atau lebih
dalam 6 bulan terakhir)
Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorektal) selama >1 bulan,
atau viseral tanpa melihat lokasi ataupun durasi
Kandidiasis esophageal
TB ekstraparu
Sarkoma Kaposi
Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi CMV pada organ lain kecuali liver,
limpa dan KGB)
Toksoplasmosis otak
Ensefalopati HIV
Kriptokokosis ekstrapulmonar (termasuk meningitis)
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Progressive multi focal leukoencephalopathy (PML)
Kriptosporidiosis kronik
Isosporiasis kronik

60
Mikoasis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Septisemia berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
Limfoma (sel B nonHodgkin atau limfoma serebral) atau tumor solid terkait HIV
lainnya
Karsinoma serviks invasive
Leishmaniasis diseminata atipikal
Nefropati terkait HIV (HIVAN)
Kardiomiopati terkait HIV
Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
berespons terhadap terapi standar
Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi
tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)

3.1.10 DIAGNOSIS
Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.Anamnesis
yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah:
1. Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV
Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap
mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena
adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama
priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan
mengalami respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme
immunoassays (EIA),immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-
1 antibody western blots (WB).
2. Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV
3. Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV
4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu
narkotika)
5. Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.2,6

61
Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian
manifestasi klinis. Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan
laboratorium.2,6Tes untuk mendiagnosis virus harus dilakukan dalam 48 jam
kehidupan pertama. Hampir 40% bayi dapat didiagnosis pada masa
ini.Disebabkan karena banyak bayi yang terinfeksi HIV mempunyai
perkembangan penyakit yang cepat sehingga memerlukan terapi yang progresif
pula. Pada anak yang terpapar HIV dengan tes virologis yang negatif pada 2 hari
pertama, beberapa pendapat mengusulkan perlu untuk dilakukan pemeriksaan
kembali pada hari ke-14 untuk memaksimalkan deteksi dari virus ini.2,6
Terdapat beberapa tes HIV yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang baik. Kebanyakan dari tes-tes ini hanya membutuhkan satu step
pengambilan sampel dan hasilnya didapat lebih cepat pada 2 hari pertama
kehidupan, dan > 90% pada usia> 2 minggu kehidupan. Uji RNA HIV plasma,
yang mendeteksi replikasi virus lebih sensitif daripada PCR DNA untuk diagnosis
awal, namun data yang menyatakan seperti itu masih terbatas. Kultur HIV
mempunyai sensitivitas yang hampir sama dengan PCR HIV DNA, namun
tekniknya lebih sulit dan mahal, dan hasilnya sulit didapat pada beberapa minggu,
dibandingkan dengan PCR yang membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji antigen p24
bersifat lebih spesifik dan mudah untuk dilakukan namun kurang sensitif
dibandingkan dengan uji virologis lainnya.2,6
Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif
terinfeksi HIV jika pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang
berbeda pada bayi (tidak termasuk darah yang berasal dari pusat, karena adanya
risiko terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua kali hasil positif pada pemeriksaan
kultur HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear (peripheral blood
mononuclear cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau
RNA polymerase chain reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur
PMBC HIV. Pemeriksaan-pemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu
yang berlainan pada bayi-bayi yang belum pernah diberi ASI sebelumnya.2,6

62
Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat
dinyatakan tidak terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif
sampai usia bayi lebih dari empat bulan dan bayi tidak mendapat ASI.2,6
1. Pemeriksaan serologi HIV
Berdasarkan pengamatan atas penderita AIDS secara terus menerus
selama sakitnya maka dapat dibuat suatu hipotesa mengenai lama dan
relatif konsentrasi antigen (HIV) dan antibodi dalam darah
penderita.Gambaran parameter serologi infeksi HIV–1 tampak pada
Grafik 1, dan dapat dipakai sebagai patokan dalam menginterpretasi hasil
pemeriksaan serologi HIV.
Pada bulan pertama setelah terjadi infeksi, dalam darahpenderita
masih ditemukan virus HIV (viremia pertama).Pemeriksaan untuk isolasi
HIV pada periode ini sangat jarang berhasil, karena sulit mengetahui
kapan infeksi terjadi, lagipula viremia hanya berlangsung sebentar, sekitar
2 bulan.Padaakhir bulan ke 2 tubuh mulai membentuk antibodi
terhadap envelope dan disusul dengan pembentukan antibodi
terhadap core (inti).Pada saat itu pemeriksaan antibodi HIV mulaimenjadi
positif untuk jangka waktu lama, kecuali pada antiboditerhadap core yang
dapat menurun setelah beberapa tahunkemudian, tergantung dari
frekuensi infeksi ulang.Ini berartibahwa selama paling sedikit 2 bulan
penderita tampak sehatdan dalam darahnya antibodi HIV tidak terdeteksi
olehpemeriksaan serologi; periode ini disebut window period. Setelah 5–
10 tahun HIV mulai ditemukan dalam darahuntuk kedua kalinya (viremia
kedua), di samping itu jugaditemukan antibodi
terhadap envelope. Tampak bahwa antiboditerhadap envelope selalu dapat
ditemukan dalam darahdibanding dengan antibodi terhadap core.7,9

63
Grafik 1. Parameter Serologi Infeksi 11 IV–1 Konsentrasi Relatif
Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakanmetoda
ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). ELISA pada
mulanya digunakan untuk skrening darah donordan pemeriksan darah
kelompok risiko tinggi/tersangka AIDS. Pemeriksaan ELISA harus
menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan,
kemudian dilanjutkan denganpemeriksaan konfirmasi yang biasanya
dengan memakaimetoda Western Blot. Test'konfirmasi lain yang jarang
dipakailagi adalah RIPA (Radioimmunoprecipitation Assay), IFA
(Immunofluorescence Antibody Technique).Berbagaimacam
testkonfirmasi tersebut tidak lebih sensitif dari ELISA, sulit
dikerjakan,mahal, lama dan masih dapat memberi hasil tidak benar, false
positive, false negative, indeterminate. Penggabungantest
ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak
dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS. 7,9
Enzym immunoassay (EIA) digunakan sebagai uji penapis antibodi
HIV. Uji penapis yang positif memiliki sensitivitas lebih dari 99,5 persen.
Uji positif dikonfirmasi dengan western blot atau immunofluorescence
assay (IFA). Walaupun sangat positif, western blot kurang sensitif
dibandingkan dengan immunoassay, karena untuk memberi hasil positif
diperlukan lebih banyak antibodi. Dengan demikian immunofluorescence
assay dapat digunakan untuk memastikan sampel yang positif-EIA tetapi
hasil western blot-nya meragukan. Menurut Center for Diseases and
Prevention (1998B) antibodi dapat dideteksi pada 95% pasien dalam

64
waktu 6 bulan setelah infeksi, dan karenanya pemeriksaan antibodi tidak
dapat menyingkirkan infeksi yang terjadi lebih dini. Untuk infeksi HIV
primer akut, diperlukan identifikasi antigen inti P24 atau RNA Virus.
Hasil konfirmasi yang positif palsu jarang terjadi dan pada satu penelitian
terhadap hampir 300.000 donor darah, dengan menggunakan biakan virus,
tidak terdeteksi adanya hasil positif palsu wester blot (Center for Diseases
and Prevention (1995)). 7,9
Hasil western blot yang meragukan dapat terjadi karena faktor-faktor yang
mencakup:
 Individu baru terinfeksi, sehingga sedang mengalami
serokonversi
 Penyakit HIV stadium akhir
 Bayi yang terpajan secara perinatal dan sedang mengalami
serokonversi
 Reaksi nonspesifik pada wanita tidak terinfeksi yang sedang
atau pernah hamil.
2. Pemeriksaan ELISA/EIA
ELISA dari berbagai macam kit yang ada di pasaran mempunyai
cara kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang
ditumbuhkan pada biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-
biji polistiren atau sumur microplate. Serum atau plasma yang akan
diperiksa, diinkubasikan dengan antigen tersebut selama 30 menit sampai
2 jam kemudian dicuci. Ella terdapat IgG (immunoglobulin G) yang
menempel pada biji-biji atau sumur microplate tadi maka akan terjadi
reaksi pengikatan antigen dan antibodi. Antibodi anti-IgG tersebut terlebih
dulu sudah diberi label dengan enzim (alkali fosfatase,horseradish
peroxidase) sehingga setelah kelebihan enzim dicuci habis maka enzim
yang tinggal akan bereaksi sesuai dengankadar IgG yang ada, kemudian
akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat. Sekarang ada test EIA
yang menggunakan ikatan dari heavy dan light chain dari Human

65
Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibodi dapat lebih spesifik,
yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. 7,9
Pada setiap tes selalu diikutkan kontrol positif dan negatif untuk
dipakai sebagai pedoman, sehingga kadardi atas cut-offvalue atau
di atasabsorbance level spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama
pemeriksaan adalah 4 jam.Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu
infeksi HIV di masa lampau.Tes ELISA mulai menunjukkan hasil positif
pada bulan ke 2–3 masa sakit.Selama fase permulaan penyakit (fase akut)
dalam darah penderita dapat ditemukan virus HIV/partikel HIV dan
penurunan jumlah sel T4 (Gratik). 7,9
Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi,
kemudian setelah 3 bulan IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya
yaitu pada waktu gejala major AIDS menghilang (karena sebagian besar
HIV telah masuk ke dalam sel tubuh) HIV sudah tidak dapat ditemukan
lagi dari peredaran darah dan jumlah Sel T4 akan kembali ke normal.
Hasil pemeriksan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-hati, karena
tergantung dari fase penyakit. Pada umumnya, hasil akan positifpada lase
timbul gejalapertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif
pada fase dini AIDS.

(Pre AIDS phase).


Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilaisensitivitas yang
tinggi: 98,1% – 100%, Western Blot memberinilai spesifik 99,6% – 100%.
Walaupun begitu, predictive value hasil test positif tergantung dari
prevalensi HIV di masyarakat.Pada kelompokpenderita AIDS,predictive
positive value adalah100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5% –
100%. Predictive value dari hasil negatif ELISA pada masyarakat sekitar
99,99% sampai 76,9% pada kelompok risiko tinggi. Di samping
keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu diperhatikan
adalah:

66
1) Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibodi, bukan antigen
(akhir-akhir ini sudah ditemukan test ELISA untuk antigen). Oleh
karena itu test uji baru akan positif bila penderita telah mengalami
serokonversi yang lamanya 2–3 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan
ada yang 5 bulan atau lebih (pada
keadaan immunocompromised). Kasus dengan infeksi HIV laten
dapat temp negatif selama 34 bulan.
2) Pemeriksaan ELISA hanya terhadap antigen jenis IgG. Pen-Cermin
Dunia Kedokteran No. 75, 1992 15 derita AIDS pada taraf
permulaan hanya mengandung IgM, sehingga tidak akan terdeteksi.
Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41
minggu.
3) Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV– 1. Bila
test ini digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya
24%. Tetapi HIV–2 paling banyak ditemukan hanya di Afrika.
4) Masalah false positive pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan
pada keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal
ini disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang
digunakan dalam test kemurniannya berbeda dengan HIV di alam.
Oleh karena itu test ELISA harus dikorfirmasi dengan test lain. Tes
ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi
walaupun hasil negatif tesini tidak dapat menjamin bahwa
seseorang bebas 100%dari HIV-1 terutama pada kelompok resiko
tinggi.7,9
Akhir-akhir ini test ELISA telah menggunakan recombinant
antigen yang sangat spesifik terhadap envelope dan core.Antibodi
terhadap envelope ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa saja
(Graf k). Sedangkan antibodi terhadap p24 (proten dari core) bila positif
berarti penderita sedang mengalami kemunduran/deteriorasi.

67
3. Pemeriksaan Western Blot
Pemeriksaan Western Blot cukup sulit, mahal,
interpretasinyamembutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar24
jam.Cara kerja test Western Blot yaitu dengan meletakkan HIVmurni
pada polyacrylamide gel yang diberi anus elektroforesis sehingga terurai
menurut berat protein yang berbeda-beda, kemudian dipindahkan
ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan dengan serum
penderita.Antibodi HIV dideteksi dengan memberikan antlbodi anti-
human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan wama
bila diberi suatusubstrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan
dengan profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif.
Gambaran band dari bermacam-macam proteinenvelope dan core dapat
mengidentifikasi macam antigen HIV. 7,9
Antibodi terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan
protein precursor (p25) timbul pada stadium awal kemudian menurunpada
saat penderita mengalami deteriorasi. Antibodi terhadap envelope
(env) penghasil gen (gp160) dan precursornya (gp120) dan protein
transmembran (gp4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS pada stadium
apa saja. Beberapa protein lainnya yang sering ditemukan adalah: p3 I,
p51, p66, p14, p27, lebih jarang ditemukan p23, p15, p9, p7.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum mengandung
antibodi HIV yang lengkap maka Western blot akan memberi gambaran
profil berbagai macam band protein dari HIV antigen cetakannya. Definisi
hasil pemeriksaan Western Blot menurut profit dari band protein dapat
bermacam-macam, pada umumnya adalah:
1. Positif:
a) Envelope : gp4l, gpl2O, gp160.
b) Salah satu dari band : p 15, p 17, p24, p31, gp4l, p51, p55, p66.
2. Negatif : Bila tidak ditemukan band protein.
3. Indeterminate : Bila ditemukan band protein yang tidak sesuai dengan
profil positif.

68
Hasil indeterminate diberikan setelah ditest secara duplo dan penderita
diberitahu untuk diulang setelah 2–3 bulan.Hal ini mungkin karena infeksi
masih terlalu dini sehingga yang ditemukan hanya sebagian dari core antigen
(p17, p24, p55).Akhir-akhir ini hasil positif diberikan bila ditemukan paling
tidak p24, p31 dan salah satu dari gp41 atau gpl60. Dengan makin ketatnya
!criteria Western Blot maka spesifisitas menjadi tinggi, dan sensitifitas turun
dari 100% dapat menjadi hanya 56% karena hanya 60% penderita AIDS
mempunyai p24, dan 83% mempunyai p31.7,9
Sebaliknya cara ini dapat menurunkan angka false positive pada kelompok
risiko tinggi, yang biasanya ditemukan sebesar 1 di antara 200.000 test
padahal test tersebut sudah didahului dengan test ELISA. Besar false negative
Western Blot belum diketahui secara pasti, tapi tentu tidak not. False
negative dapat terjadi karena kadar antibodi HIV rendah, atau hanya
timbulband protein p24 dan p34 saja (yaitu pada kasus dengan infeksi HIV–
2). False negative biasanya rendah pada kelompok masyarakat tetapi dapat
tinggi pada kelompok risiko tinggi. Cara mengatasi kendala tadi adalah
dengan menggunakanrecombinant HIV yang lebih murni.7,9

4. Pemeriksaan Penunjang HIV AIDS lainnya:


1) Foto Thoraks
2) Pemeriksaan Fisik
 Penampilan umum tampak sakit sedang, berat
 Tanda vital
 Kulit terdapat rush, steven jhonson
 Mata merah, icterik, gangguan penglihatan
 Leher: pembesaran KGB
 Telinga dan hidung; sinusitis berdengung
 Rongga mulut: candidiasis
 Paru: sesak, efusi pleura, otot bantu
 Jantung: pembesaran jantung
 Abdomen: ascites, distensi abdomen, pembesaran hepar

69
 Genetalia dan rectum: herpes
 Neurologi: kejang, gangguan memori, neuropati
3) Mantoux test
4) Pemeriksaan Laboratorium Darah (Kadar CD4, Hepatitis, Paps Smear,
Toxoplasma, Virus load).7,9

3.1.11 TATALAKSANA
Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres
virus untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah
yang kronis.Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah
menunjukkan adanya gejala klinis.Gejala klinis menurut klasifikasi CDC.
Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan :
1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4
atau persentasenya.
2. Usia
3. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal,
terdapat 2 pilihan :
a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.
b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan
penyakit rendah atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan
lamanya respon pengobatan, keamanan dan kepatuhan.9,12
Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah:
 Peningkatan viral load
 Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun
(Kategori Imun 2 pada tabel )
 Timbulnya gejala klinis

Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria


sebagai berikut:

70
1) Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk
mendiagnosis HIV secara dini.
2) Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi
(ART) selama sedikitnya 1 tahun
3) Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian
tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang
mungkin terjadi, dll.
4) Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong
kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul
akibat ART
5) Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes
fungsi hati, dll.
6) Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi
oportunistik akibat HIV
7) Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk
obat untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan
HIV.
8) Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja
sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan
kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan
pendampinya.
9) Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan
balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem
untuk menyebarluaskan informasi dan pedoman baru.
10) Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.9,12

Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah
serupa dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang
dibutuhkan untuk bayi, balita, dan anak yang terinfeksi HIV.Efek obat berbeda
selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus

71
tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak
menjadi tantangan tersendiri.9,12
Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang
terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala.Uji klinis terhadap anak sudah
menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian ART pada
orang dewasa.
Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal
sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus
menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat
dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC),
Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC).
2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini
berbeda dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA
menjadi DNA. Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP),
Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease
yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih
kecil. Obat dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir
(NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan
Lopinavir/ritonavir (LPV/r). 9,12,13

Regimen lini pertama yang direkomendasikan 2 Nucleoside Reverse


Transcriptase Inhibitor (NRTI) ditambah 1 Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor:
a. Anak usia < 3 th:
 Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau
 Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP)
b. Anak usia ≥ 3 th:
 Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau efavirenz
(EFV)

72
 Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP) atau efavirenz
(EFV)
Nama obat Dosis
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
Zidovudine (AZT) Usia <4 minggu: 4 mg/kg/dosis 2 kali sehari
(tab 300 mg) Usia 4 minggu-13 tahun: 180-240 mg/m2/
dosis 2x sehari
Max 300 mg/dosis 2x sehari ATAU
6-7 mg/kgBB/ dosis tiap 12 jam = 160
mg/m2/dosis
Lamivudine (3TC) <30 hari: 2 mg/kg/dosis 2x/hari
(tab 150 mg) >30 hari atau < 60 kg: 4 mg/kg/dosis 2x hari
Max 150 mg/kg/dosis 2 x hari
Stavudine (d4T) BB <30 kg: 1 mg/kg/dosis 2x sehari
Cap: 15 mg, 20 mg, BB> 30 kg: 2 mg/kg/dosis 2x sehari
30 mg, 40 mg
Syr 200 cc: 1 mg/ml
Non Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)
Nevirapin (NVP) 2 mgg I: 5 mg/kgBB sekali sehari (max 200
mg)
Tab 200 mg 2 mgg II: 5 mg/kgBB/ dosis (2x sehari)
Selanjutnya: 7 mg/kgBB/dosis (2x sehari)
untuk anak < 8 th
Untuk anak >8 th: =dewasa
Efavirenz (EFV) 10-15 kg: 200 mg 1x sehari
Cap: 50mg, 15-<20 kg: 250 mg 1x sehari
100 mg, 200 mg 20-<25 kg: 300 mg 1x sehari
600 mg 25-<32,5 kg: 350 mg 1x sehari
32,5-<40 kg: 400 mg 1x sehari
Profilaksis Pneumonia P. jirovecii: cotrimoxazole 5 mg/kgBB/hari sekali
sehari; terapi PneumoniaP. jirovecii 15 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 21 hari

73
Pemantauan pengobatan
Pemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat kepatuhan minum obat
dan gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan
penyakit itu sendiri.Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan
dimulai dan selanjutnya setiap 3 bulan sekali.
Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART:
1. Secara klinis
a. Berat badan meningkat
b. Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak
berat
c. Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari
2 minggu, demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik.
2. Pemeriksaan laboratorium
Tes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula
darah, kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping
obat dan perjalanan penyakit.Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada
regimen obat yang digunakan.Tes jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali
diperlukan untuk menentukan kapan profilaksis dapat dihentikan. Bila tes
ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai hitung limfosit total.9,12

Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ART


Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan
mengganti satu atau lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang
dicurigai mengakibatkan toksisitas. (7)
Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk
penggantian terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-
masing obat dalam kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi
penggantian atau penghentian dilakukan apabila :
1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi
misalnya monoterapi atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida
reverse transcriptase inhibitor (NRTI)

74
2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load
menjadi terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.
3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval
beberapa minggu
4. Infeksi opportunistik dengan immune reconstitution syndrome/sindrom
pemulihan kembali kekebalan.9,12,13

Asuhan Gizi
Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu
yang terinfeksi HIV. Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan
penurunan berat badan dan hal ini berkaitan dengan kurang gizi. Penyebabnya
multifaktorial antara lain karena anoreksia, gangguan penyerapan sari makanan
pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare dan muntah, dan
gangguan metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempuyai status gizi yang
baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga menghambat memasuki
tahap AIDS.12,13
Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang
mengkonsumsi ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan
ARV dan obat infeksi opoortunistik dan juga sebaliknya, sehingga mmerlukan
pengaturan diet seperti obat ARV dimakan ketika saat lambung kosong.12,13
Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP)
diberikan secara oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan
beberapa penelitian, pemberian stimulan nafsu makan, seperti megestrol
acetate dan human recombinant growth hormone dapat memberikan kenaikan
berat badan dan pertumbuhan.Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan
terjadi penurunan berat badan yang sangat drastis (drastic wasting) dan
terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya cadangan protein dapat diatasi
dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine dan methionine.
12,13
.
Bayi yang lahir dari ibu HIV tidak boleh diberi ASI ibunya, sehingga bayi
diberikan pengganti air susu ibu (PASI). Namun dalam keadaan tertentu dimana

75
pemberian PASI tidak memungkinkan dan bayi akan jatuh ke dalam kurang gizi,
ASI masih dapat diberikan dengan cara diperas dan dihangatkan terlebih dahulu
pada suhu di atas 66OC untuk membunuh virus HIV.12,13

Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut :
1. Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk ibu yang tidak
terinfeksi atau ibu yang tidak diketahui status HIV-nya.
2. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan
sebaliknya memberikan susu formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yag
diencerkan.
3. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama
4-6 bulan kemudian segera dihentikan untuk diganti dengan PASI.

3.1.12 PROGNOSIS
Viremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat menentukan
resiko perjalanan penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada
infeksi perinatal berhubungan dengan terjadinya encephalofati, infeksi,
perkembangan menjadi AIDS lebih awal, dan berkurangnya jumlah limfosit CD4
yang cepat.Tanpa terapi, kurang lebih 30% bayi yang terinfeksi berkembang
menjadi gejala klinis berat kategori C atau kematian dalam 1 tahun kehidupan.
Dengan terapi yang optimal angka mortalitas dan morbiditas menjadi rendah.10

3.1.13 PENCEGAHAN
Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi,
dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:
a) Prong 1: Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia
reproduktif;
b) Prong 2: Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV
positif;
c) Prong 3: Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif
ke bayi yang dikandungnya;

76
d) Prong 4: Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada
ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya11

Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan


Prong 1 dan Prong 2.Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi,
diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan
dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta
dan lembaga swadaya masyarakat.11
Setelah diketahui status HIV positif pada ibu hamil, upaya pencegahan
selanjutnya bertujuan agar bayi yang dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan
bayi tetap hidup dan sehat.Upaya ini terdiri dari 1.Pemberian ARV pada ibu
hamil; 2.Persalinan yang aman; 3.Pemberian ARV pencegahan pada bayi;
4.Pemberian nutrisi yang aman pada bayi.
a. Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV
Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang
jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV
yang dilanjutkan seumur hidup (pedoman WHO 2013, option B+).Pemeriksaan
CD4 dilakukan untuk memantau hasil pengobatan, bukan sebagai acuan untuk
memulai terapi.Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada
orangdewasa lainnya. Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada
trimester pertama, belakangan tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik
dibandingkan bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli 2012 WHO
mengeluarkan kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada ibu hamil.
Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV berapapun usia
kehamilan. Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat
diteruskan tanpa perlu diganti.ARV tetap diteruskan setelah melahirkan hingga
seterusnya. Algoritma rekomendasi ARV pada ibu hamil dan menyusui dapat
dilihat pada gambar .11

77
Gambar 6. Algoritma rekomendasi ARV pada ibu hamil dan menyusui
b. Persalinan yang aman
Persalinan untuk ibu dengan HIV dapat berupa persalinan per vaginam
maupun seksio sesarea.Persalinan seksio sesarea berisiko lebih kecil untuk
penularan terhadap bayi, namun perlu dipertimbangkan risiko lainnya. Persalinan
per vaginam dapat dipilih jika ibu sudah mendapat pengobatan ARV dengan
teratur selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari 1.000
kopi/mm3 pada minggu ke-36. Persalinan per vaginam maupun seksio sesarea
tersebut dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa
memerlukan alat pelindung dirikhusus, selama fasilitas tersebut melakukan
prosedur kewaspadaanstandar.11
c. Pemberian ARV pencegahan pada bayi

78
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif
maupun susu formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama enam
minggu. Selengkapnya ada dalam tabel 20 sebagai berikut:

Gambar 7.Dosis Zidovudin pada bayi baru lahir

d. Ibu sebaiknya diberikan penjelasan mengenai pilihan nutrisi yang


aman bagi bayinya sebelum melahirkan. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI
saja atau susu formula saja (bukan mixed feeding). Ibu dengan HIV boleh
memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau tidak diketahui
status HIV-nya, jika seluruh syarat AFASS (affordable/terjangkau,
feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima,
sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat dipenuhi. Di negara
berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan
pemberian ASI eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu mendapat terapi
ARV secara teratur dan benar.11
Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa
tindakan di berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:

 ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4 di
bawah 350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4,
tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC
atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.
 Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang
HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.

79
 Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima
profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya
menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam
minggu apabila ibu tidak menyusui.
 Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung
pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan
anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi
berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak
diketahui.
 Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk
paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi
umum.
Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah
mencegah penularan pada ibunya dulu.Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat
tertular oleh ibunya.Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi
HIV.Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi. Hal ini dapat
dijelaskan karena sperma ayah yang menderita HIV tidak mengandung virus,
yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur ibu tidak dapat
ditularkan sperma.Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan
hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya buat anak, ada risiko
si perempuan tertular.Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu tersebut, dia
sendiri dapat menularkan virus pada bayi.Tetapi laki-laki tidak dapat langsung
menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari
infeksi HIV pada perempuan.11

80
BAB IV
ANALISIS KASUS

Infeksi HIV pada anak merupakan masalah kesehatan yang sangat besar di
dunia, dan berkembang dengan kecepatan yang sangat berbahaya.Transmisi HIV
secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi pada
masa kanak-kanak dengan angka kejadian infeksi perinatal yang tinggi. Pada
kasus ini, anak laki-laki berusia 3 tahun 2 bulan datang ke poliklinik alergi
imunologi RSMH untuk kontrol HIV. Pada saat kontrol, pasien tidak memiliki
keluhan dan pemeriksaan fisik dalam batas normal. Status gizi pasien dalam batas
normal. Namun, pasien memiliki riwayat TB paru pada saat usia 1 tahun, anemia
akibat penyakit kronis dan juga menderita gizi buruk. Pada saat usia 2 tahun anak
didiagnosis menderita HIV. Hingga saat ini pasien dan kedua orang tuanya
mendapat terapi antiretrovirus (ARV).
Dari alloanamnesis, diketahui bahwa pada saat anak berusia 1 tahun
terdapat keluhan berat badan pasien tidak naik dengan berat badan tertinggi 6,8 kg
saat anak berusia 10 tahun. Lalu, anak dibawa berobat ke RSMH dan dinyatakan
bahwa anak mengalami gizi buruk.Selain berat badan yang tidak naik, pasien juga
mengalami demam lama kurang lebih 6 bulan, tidak terlalu tinggi dan hilang
timbul.Demam berkurang dengan pemberian parasetamol, namun timbul lagi
ketika tidak mengonsumsi parasetamol.Pasien juga mengalami batuk, berdahak,
warna bening, tidak disertai darah.Anak dicurigai menderita TB Paru.Setelah
dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, anak di diagnosis
menderita TB Paru dan mengonsumsi OAT selama 6 bulan.
Dari alloanamnesis tersebut, didapatkan bahwa klinis yang terjadi pada
pasien merupakan tanda suatu keadaan imunokompromais.Keadaan
imunokomromais ini dapat disbebakan oleh infeksi virus HIV yang menyebabkan
timbulnya gejala inisial dari infeksi HIV yaitu kegagalan untuk tumbuh dan
mengalami infeksi opportunistik yaitu tuberculosis paru. HIV merupakan virus
penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Virus ini dapat
melemahkan kemampuan seseorang untuk melawan berbagai infeksi oleh karena

81
terganggunya fungsi sel T helper sebagai pembentuk sel-sel imun dan antibodi di
dalam tubuh. Karena HIV melemahkan sistem pertahanan tubuh, penderita AIDS
akan lebih mudah mengalami berbagai gangguan kesehatan, termasuk gagal
tumbuh dan tuberkulosis paru.
Selain itu, dari alloanamnesis, diketahui bahwa riwayat pekerjaan ayah
pasien adalah seorang supir antarkota dan ayah pasien mengaku sering melakukan
hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti sewaktu menjadi supir
antarkota.Hal ini dapat menjadi risiko untuk anak menderita infeksi HIV karena
anak lahir dari ibu dengan pasangan risiko tinggi/ mengalami infeksi HIV. Risiko
penularan infeksi HIV pada pada pasien ini semakin diperbesar karena selama
masa kehamilan ibu pasien tidak tahu apakah saat itu sudah terinfeksi HIV
sehingga tidak dilakukan pengobatan apapun. Pasien lahir secara pervaginamdan
sejak lahir pasien mendapat ASI sampai usia 5 bulan.Pada literature disebutkan
bahwa risiko tranmisi vertical dari ibu ke bayi dapat terjadi transplasenta dalam
Rahim, saat persalinan atau saat menyusui.
Risiko penularan HIV atau tranmisi secara vertical pada saat persalinan
per vaginam yaitu sebesar 10-20%. Hal ini terjadi karena pada lahiran per
vaginam terjadi paparan dengan darah dan cairan servikovaginal ibu yang cukup
banyak dan lama sehingga meningkatkan risiko terinfeksi HIV pada anaknya.
Risiko penularan HIV akibat paparan jalan lahir tergantung kadar kadar CD4
pada ibu, lesi pada serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan
ketuban, ketuban pecah dini (risiko meningkat 2% tiap 1 jam setelah membran
rupture, persalinan premature, prosedur obstetrik (amniotomi, episiotomi,
forceps) yang dapat meningkatkan pajanan terhadap darah dan cairan
servikovaginal ibu. Persalinan pervaginam dapat dilakukan jika memenuhi
persyaratan yaitu ibu minum ARV secara teratur atau virus load tidak terdeteksi,
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan virus load pada usia kehamilan 36
minggu ke atas. Selain itu ibu hamil dengan HIV (+) dianjurkan SC elektif (Sectio
Caesaria terjadwal dan sebelum terjadi tanda-tanda persalinan) karena dapat
menurunkan infeksi HIV sampai 50% tanpa ARV dan sampai 80% dengan ARV
(ZDV). Sectio sesaria dapat menurunkan hingga 50-80% risiko transmisi.Pada

82
kasus ini didapatkan bahwa pasien lahir secara pervaginam, namun tidak
diketahui status kesehatan ibu saat hamil dan riwayat rinci persalinan ibu.
Menyusui oleh ibu yang terinfeksi HIV meningkatkan risiko penularan
sebesar 30% sampai 50%.Pada kasus ini, didapatkan bahwa sejak awal lahir,
pasien selalu mendapatkan ASI dari ibunya. Konsentrasi virus HIV pada
makrofag dan sel T yang terinfeksi, kadarnya lebih tinggi pada kolostrum, juga
disebutkan bahwa kandungan Cathepsin D pada ASI dapat meningkatkan
replikasi virus dan modifikasi afinitas gp120 sebagai ko-reseptor. Selain itu risiko
transmisi selama pemberian ASI juga tergantung dari status ibu dan bayinya,
apakah ada lesi yang dapat meningkatkan risiko. Jika ibu diketahui HIV (+) dan
status anak tidak diketahui, harus dilakukan konseling bagi ibu mengenai untuk
perencanaan pemberian susu pengganti. Berdasarkan hal yang disebutkan di atas,
dapat disimpulkan bahwa pasien memiliki risiko sebesar 30-50% terinfeksi HIV
dari ibunya.
Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM
maupun IgA) yang dapat dikerjakan dengan metoda ELISA maupun Western
Blot.Dapat pula dengan menentukan Antigen p-24 dengan metoda ELISA,
ataupun DNA –virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).Pemeriksaan ini
tentunya mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi.Pada pasien ini didapatkan
antibodi HIV yang reaktif.
Anak dengan infeksi HIV mungkin memberi respon lambat atau tidak
lengkap terhadap pengobatan yang biasa.Anak mungkin menderita demam yang
persisten atau batuk kronik.Apabila keadaan umumnya baik, anak tidak perlu
rawat di rumah sakit, tetapi dapat diperiksa secara teratur sebagai pasien rawat
jalan.Prinsip pengobatan pada HIV/AIDS adalah terapi etiologi dengan ARV,
mengendalikan infeksi opurtinistik, mengatasi status defisiensi imun, serta
pemberian vaksinasi. Saat ini pasien mendapatkan terapi AZT FDC (60:30:50) =
2x1,5 tab yang mengandung Zidovudine, Lamivudine, dan Efavirens sebagai
bagian dari terapi antiretroviral sesuai dengan usia anak.

83
DAFTAR PUSTAKA

1. Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Ed


2. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. IDAI ; 2008. 378-414
2. Yogev R, Chadwick EG. Acquired immunodeficiency syndrome (human
immunodeficiency virus). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
New York: Elsevier’s; 2007. 1022- 32.
3. Setiawan, M. Tatalaksana infeksi HIV/AIDS pada bayi dan anak. Jakarta:
Majalah Kedokteran
4. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:
executive summary. Geneva. 2010.
5. Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume 1.
Jakarta: Penerbit EGC; 2009. 417-418
6. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human


Imunodeficiency Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R,
Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 – 247.

8. Spensley et al. 2009. Preventing Mother-to-Child Transmission of HIV in


Resource-Limited Settings: The Elizabeth Glaser Pediatric AIDS
Foundation Experience. Am J Pub Health. 99(4) : 631-137.

9. U.S Department of Health and Human Service. 2012. Guidelines for the
Use of Antiretroviral Agents in Pediatric HIV Infection. Available at
http://aidsinfo.nih.gov/guidelinesdiakses tanggal 22 Oktober 2019.

84
10. Moir, S., Chun, T. W., Fauci, A. S. Immunology and Pathogenesis of
HumanImmunodeficiency Virus Infection. In: Holmes, K.K., Sparling,
P.F., Stamm, W.E.,Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S.,
Watts, D.H., eds. SexuallyTransmitted Diseases. 4th ed. New York:
McGraw-Hill; 2008; 5(20) : 341-359.
11. Kemenkes RI.2014.Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu Ke Bayi.Jakarta
12. Wang, H. B., Mo, Q. H., Yang, Z. HIV Vaccine Research: The Challenge
and the WayForward. Journal of Immunology Reasearch. 2015. 4 March
2015. p. 1-6.
13. Depkes RI. 2014. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Anti
Retroviral pada Anak di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

85

Anda mungkin juga menyukai