Anda di halaman 1dari 5

Mandy Putriyudi

0411181419027
PDU Alpha FK UNSRI – Kelompok 5

1. Tuan R, 65 tahun, pensiunan seorang guru, datang ke klinik umum RSUD dengan
keluhan pendengaran berkurang secara perlahan-lahan pada kedua telinga sejak 2
tahun ini. Kadang-kadang disertai bunyi berdenging.
1.3. Apa penyebab dan mekanisme dari keluhan pendengaran berkurang secara
perlahan-lahan pada kedua telinga sejak 2 tahun ini?
Pada kasus, Tuan R berumur 65 tahun, dan sudah termasuk usia lanjut (>65 tahun).
Struktur telinga bagian dalam mengalami perubahan pada kelompok usia lanjut.
Kelompok telinga dalam baik berupa bagian sensor, syaraf, pembuluh darah,
jaringan penunjang maupun sinaps saraf sangat rentan terhadap perubahan akibat
proses degenerasi. Organ corti merupakan bagian dari koklea yang paling rentan
terhadap perubahan akibat proses degenerasi. Tuli sensorineural yang terjadi
umumnya simetris pada telinga kiri dan kanan.

2. Pasien dapat mendengar percakapan tapi sulit memahami maknanya, terutama


jika diucapkan dengan cepat di tempat yang bising.
2.1. Apa makna dapat mendengar percakapan tapi sulit memahami maknanya, terutama
jika diucapkan dengan cepat di tempat yang bising (cocktail party deafness)?
Pada usia lanjut, terjadi perubahan yang terjadi akibat hilangnya fungsi nervus
auditorius sehingga meningkatkan nilai ambang dengar atau compound action
potensial (CAP). Fungsi input-output dari CAP terefleksi juga pada fungsi input-
output pada potensial saraf pusat, memungkinkan terjadinya asinkronisasi aktifitas
nervus auditorius dan penderita mengalami kurang pendengaran dengan
pemahaman bicara buruk. Hal ini diperparah dengan hilangnya fungsi pendengaran
di kedua telinga sebesar 50 dB.
Mandy Putriyudi
0411181419027
PDU Alpha FK UNSRI – Kelompok 5

Kurang pendengaran
Penurunan fungsi N. Peningkatan CAP/nilai Asinkronisasi aktifitas
Usia lanjut dan pemahaman
VIII ambang dengar N. VIII
bicara buruk

5. Pemeriksaan garputala :
Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach
Telinga kanan Positif Tidak terdapat lateralisasi Negatif
Telinga kiri Positif Tidak terdapat lateralisasi Negatif
Pemeriksaan Audiometri : Tuli Sensorineural (50 db) sedang kanan dan kiri
Pemeriksaan timpanometri : Tipe A
5.1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari:
a. Pemeriksaan garputala
 Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara (AC/Air Conduction)
dan hantaran melalui tulang (BC/Bone Conduction) pada telinga yang pasien. Normalnya,
AC > BC, sehingga pasien masih dapat mendengar bunyi penala ketika dipegang di depan
telinga.
Tuli konduktif  ada yang menghalangi AC (misal otitis media, osteoma
liang telinga, stenosis liang telinga, serumen, kelainan struktur telinga luar
dan tengah, dll) sehingga BC > AC  tes Rinne negatif.
Tuli sensorineural  AC dan BC keduanya sama-sama memendek
karena memang tidak ada yang menghalangi AC, sehingga AC > BC
(sama seperti orang normal). Namun bedanya, Tes Rinne pada tuli
sensorineural memakan waktu lebih pendek dari pada orang normal atau
membutuhkan garpu penala dengan frekuensi lebih tinggi sehingga pasien
dengan tuli sensorineural bisa mendengar bunyi garpu penala dengan jelas.
 Tes Weber digunakan untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan telinga
kanan. Normalnya, AC akan menutupi BC (karena AC > BC).
Tuli konduktif  AC tidak dapat menutupi BC (karena AC terhalangi
misal otitis media, osteoma liang telinga, stenosis liang telinga, serumen,
kelainan struktur telinga luar dan tengah, dll)  BC terdengar lebih keras
pada telinga yang sakit.
Tuli sensorineural  tidak ada sinyal yang diteruskan oleh koklea pada
telinga yang sakit  suara dipersepsikan tampak lebih besar pada sisi yang
sehat.
Tidak terdapat lateralisasi bisa terjadi pada orang yang kedua telinganya
sama-sama sakit atau pada orang normal.
 Tes Schwabach adalah tes yang digunakan untuk membandingkan BC pemeriksa yang
pendengarannya normal dan BC pasien.
Mandy Putriyudi
0411181419027
PDU Alpha FK UNSRI – Kelompok 5

Tuli konduktif  AC terhalangi  BC pasien lebih baik dari BC


pemeriksa (pasien masih dapat mendengar garpu penala)  Schwabach
memanjang.
Tuli sensorineural  BC pasien lebih buruk dari BC pemeriksa karena
tidak ada sinyal yang diteruskan oleh koklea pada telinga yang sakit 
Schwabach memendek.
 Pada kasus, Tuan R menderita tuli sensorineural simetris kanan dan kiri karena hasil tes
Rinne yang positif, tes Weber tidak terdapat lateralisasi dan tes Schwabach negatif
(memendek).
5.2. Bagaimana cara pemeriksaan garputala:
a. Tes Rinne
Penala digetarkan (biasanya 512 Hz, bisa digunakan frekuensi yang
lebih besar jika tuli terjadi pada frekuensi yang lebih besar) 
ditempelkan ke prosesus mastoid pasien  setelah tidak terdengar,
penala dipegang di depan telinga pasien kira-kira 2,5 cm  normalnya
masih terdengar dan disebut Rinne (+). Jika tidak terdengar disebut
Rinne (-).

6. Hipotesis: tuan R, 65 tahun, pensiunan guru, diduga menderita tuli sensorineural


sedang telinga kanan dan kiri.
6.3. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis penyakit pada
kasus?
Pemeriksaan dengan otoskopik  tampak membran timpani suram, mobilitas
berkurang.
Audiologi dasar:
1. Tes Penala (tes kualitatif)
a. Tes Rinne  tes untuk membandingkan hantaran melalui udara (AC/Air
Conduction) dan hantaran melalui tulang (BC/Bone Conduction) pada
telinga yang pasien.
b. Tes Weber  membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan telinga
kanan.
c. Tes Schwabach  digunakan untuk membandingkan BC pemeriksa yang
pendengarannya normal dan BC pasien.
d. Tes Bing (tes Oklusi)  tragus telinga diperiksa ditekan sampai menutup
liang telinga, sehingga terdapat tuli konduktif sekitar 30 dB. Lalu dilakukan
tes Weber. Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup, berarti telinga
tersebut normal. Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras,
berarti telinga tersebut menderita tuli konduktif.
2. Tes Berbisik  pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif dan menentukan
derajat ketulian secara kasar. Ruangan harus cukup tenang dan panjang ruangan
minimal 6 meter. Nilai normal: 5/6 – 6/6.
Mandy Putriyudi
0411181419027
PDU Alpha FK UNSRI – Kelompok 5

3. Audiometri Nada Murni  suatu sistem uji pendengaran dengan menggunakan


alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai
frekuensi 250-500, 1000-2000, 4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam
satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala dan
vibrator tulang ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing
untuk menukur ketajaman pendengaran melalui hntaran udara dan hantran tulang
pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkankurva hantaran
tulang dan hantaran udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat
mengetahui jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran
audiogram rata-rata sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia
sekitar 20-29 tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada
murni. Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran
frekwuensi 20-20.000 Hz. Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting
untuk memahami percakapan sehari-hari. Pada tuli sensorineural menunjukkan
suatu tuli saraf nada tinggi bilateral dan simetris.
. Audiologi khusus:
1. Audiometri Tutur  sistem uji pendengaran yang menggunakan kata-kata
terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah
dikaliberasi, untuk mengukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip
audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya disini
sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada
penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa melalui
mikrofon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian disalurkan
melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa pendengarannya, atau kata-kata
rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru
diputar kembali dan disalurkan melalui audiometer tutur. Penderita diminta
untuk menirukan dengan jelas setip kata yang didengar, dan apabila kata-kata
yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin dilemahkan,
pendengar diminta untuk menebaknya. Pemeriksa mencatata presentase kata-
kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini
dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas suara
kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yang
diturunkan dengan benar. Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh
mendengar kata-kata yang jelas artinya pada intensitas mana mulai terjadi
gangguan sampai 50% tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.
2. Audiometri Impedans  diperiksa kelenturan membran timpani dengan tekanan
tertentu pada meatus akustikus eksterna.
6.6. Bagaimana epidemiologi dari penyakit pada kasus?
Pada Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996
di 7 Propinsi (Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, NTB, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Utara) dengan 19.375 responden didapatkan prevalensi
presbikusis sebesar 2.6% atau sekitar 6.7% dari seluruh pasien THT yang didiagnosa
dengan presbikusis. Di Indonesia jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun pada
tahun 2005 diperkirakan mencapai 19,9 juta atau 8,48 % dari jumlah populasi. Pada
tahun 2025 jumlah tersebut akan meningkat menjadi 4 kali lipat dari jumlah tahun
1990, dan merupakan jumlah tertinggi di dunia.
6.14. Bagaimana prognosis dari penyakit pada kasus?
Pasien dengan presbikusis biasanya akan mengalami kehilangan pendengaran
secara progresif lambat sekitar 0,7-1,2 dB/tahun, tergantung usia dan frekuensi.
Mandy Putriyudi
0411181419027
PDU Alpha FK UNSRI – Kelompok 5

Peringati pasien dengan presbikusis terhadap paparan yang mungkin mempercepat


hilangnya pendengaran (misalnya paparan terhadap obat ototksik, suara, diabetes,
dan penyakit metabolik lainnya).
Daftar Pustaka:
 Efiaty, Arsyad Soepardi, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi Keenam FK UI. Jakarta: Gaya Baru.
 Fitzakerley, Janet. 2015. Weber Test. Tersedia di
http://www.d.umn.edu/~jfitzake/Lectures/DMED/InnerEar/CochlearPhysiology/WeberTe
st.html. Diakses pada tanggal 23 Agustus 2008.
 Muyassaroh. 2012. Faktor Risiko Presbikusis. Tersedia di
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/1223/1187.
Diakses pada tanggal 23 Agustus 2016.
 Roland, Peter S., dkk. Presbycusis Follow-up. Tersedia di
http://reference.medscape.com/article/855989-followup#e4. Diakses pada tanggal 23
Agustus 2016.
 Turner, John S. 1990. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations, 3rd Edition. Tersedia di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK231/.
Diakses pada tanggal 23 Agustus 2016.

Anda mungkin juga menyukai