1 (2018): 110-136
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Harsanto Nursadi*
*Dosen Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia
Korespondensi:harsantonursadi@gmail.com
Naskah dikirim:4 Januari 2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 21 Maret 2018
Abstract
The enormous authority possessed by the fiscus in various matters, particularly
in establishing tax reduction or abolition, is prone to abuse. Administrative act
in the form of tax decision shall end up as a criminal offense of it is an abuse of
authority or unlawful. In fact, there are many fiscus who perform taxation
administrative acts that stray beyond the authority for their own personal
interests or that of taxpayers. Certainly, theycause state loss; therefore, they can
qualify as a criminal offense. Thesebeg a question: which taxation
administrative acts are lawful and which ones constitute criminal offense?
Keywords: tax, taxation administrative act, criminal offense.
Abstrak
Kewenangan besar yang dimiliki oleh fiskus dalam berbagai hal, terutama dalam
menetapkan pengurangan atau penghapusan pajak, rentan terhadap pelecehan.
Tindakan administratif dalam bentuk keputusan pajak akan berakhir sebagai
tindak pidana jika itu merupakan penyalahgunaan wewenang atau melanggar
hukum. Bahkan, ada banyak fiskus yang melakukan tindakan administrative
perpajakan yang menyimpang diluarotoritas untuk kepentingan pribadi mereka
sendiri atau dari pembayar pajak. Tentu saja, hal ini menghasilkan kerugian
negara yang memenuhi syarat sebagai tindak pidana. Ini menimbulkan
pertanyaan: Tindakan administratif perpajakan mana yang sah dan mana yang
merupakan tindak pidana?
Kata Kunci: pajak, tindakan administratif perpajakan, tindak pidana.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Grafik 1.1.
1,784,249.70
Penerimaan Negara 2009-2017
1,545,456.20
1,539,166.20
1,496,047.34
2,000,000.00
1,432,128.50
1,292,052.60
1,800,000.00
1,240,418.86
1,146,865.70
1,116,942.90
1,082,628.10
1,077,306.60
1,600,000.00
1,019,332.40
990,500.60
1,400,000.00
876,580.00
847,096.40
839,540.40
743,325.90
1,200,000.00
619,922.20
1,000,000.00
800,000.00
240,848.30
226,476.20
172,870.80
164,726.70
158,173.70
138,959.20
600,000.00
100,971.87
90,524.30
87,746.80
84,430.70
84,124.00
81,697.43
80,273.90
69,671.90
54,398.30
53,796.00
43,462.00
43,429.00
40,314.40
38,000.00
37,643.72
37,658.30
36,271.20
35,315.46
34,164.00
34,025.60
29,500.00
29,681.00
27,590.00
26,590.00
26,049.50
24,648.20
17,861.10
14,895.00
400,000.00
9,486.00
8,369.50
200,000.00
-
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
(Sep)
Sumber: Laporan APBN 2009-2017, diolah penulis
PENERIMAAN NEGARA Pajak Penerimaan SDA
Bagian laba BUMN PNBP lainnya Pendapatan BLU
Penerimaan 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017*
Negara
Pajak 73.18 75.05 77.55 78.49 75.22 74.21 82.91 86.26 78.48
Penerimaan 16.4 16.63 14.61 13.38 15.81 15.58 6.75 5.07 7.19
SDA
Bagian laba 3.08 2.98 2.46 2.14 2.38 2.61 2.52 1.91 3.4
BUMN
PNBP lainnya 6.35 4.39 4.01 4.21 4.86 3.68 5.46 4.71 7.56
Pendapatan 0.99 0.96 1.38 1.38 1.72 1.92 2.36 2.03 3.37
BLU
*Sep; Sumber: Laporan APBN 2009-2017; diolah
73%. Sumber pendapatan lain diluar pajak terbagi dengan penerimaan SDA, laba
BUMN, PNBP lainnya dan pendapatan BLU, yang persentasenya di bawah
16.63% yang terjadi pada tahun 2010, dengan kecenderungan menurun pada
tahun-tahun berikutnya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pendapatan yang berasal dari sektor
pajak harus terus dijaga sehingga bisa terus meningkat optimalisasinya,
termasuk dalam hal tax ratio1-nya
Pada grafik 1.2. menunjukkan penggunaan hasil pajak bagi berbagai
sektor kehidupan di Indonesia
Grafik1.2
PEMANFAATAN
Keistimewaan Yogya,
PAJAK DI BERBAGAI SEKTOR
368.00 Dana Otsus, 9,200.00 Dana Insentif Daerah,
3,680.00
DAN No-Fisik, 55,200.00 Dana Desa, 28,704.00
Pelayanan Umum, 170,640.00
DAK Fisik, 27,968.00
DBH, 44,528.00 Pertahanan, 51,824.00
DAU, 197,616.00
Ketertiban dan
Keamanan, 58,144.00
1
Tax Ratio adalah ukuran kinerja penerimaan pajak dalam suatu negara. Namun, dari
berbagai literature, tax ratio bukanlah satu-satunya indikator yang digunakan dalam mengukur
kinerja pajak. Secara sederhana definisi dari tax ratio adalah perbandingan antara penerimaan
pajak yang dikumpulkan pada suatu masa dengan Produk Domestik Bruto (PDB) 1 di masa yang
sama. Tax Ratio = Jumlah Penerimaan Pajak/PDB. Angka tax ratio digunakan untuk mengukur
optimalisasi kapasitas administrasi perpajakan di suatu negara dalam rangka menghimpun
penerimaan pajak di suatu negara. Dalam mengukur rasio pajak, pada umumnya Indonesia hanya
memasukkan unsur penerimaan pajak pusat saja, yakni pajak-pajak yang dihimpun oleh
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Lihat https://news.ddtc.co.id/kamus-pajak-memahami-arti-
tax-ratio-9895
2
https://nasional.tempo.co/read/702697/hartanya-disita-hingga-rp-74-m-gayus-masih-
miliarder.
113 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
Bahasyim Assifie, hartanya dirampas sejumlah 60, 9 miliar rupiah dan US$
681.147, Mohammad Dian Irwan Nuqisra dan Eko Darmayanto sebesar 3,25
miliar rupiah dan US$150 ribu, Tommy Hendratno, 280 juta rupiah, Pargono
Riyadi sebesar 600 juta rupiah.3 Angka-angka fantastis tersebut adalah yang
diterima oleh oknum-oknum Fiscus tersebut dalam mengurus WP. Lantas berapa
besar kerugian nyata yang dialami Negara? Dapat diasumsikan jauh lebih tinggi
dari yang diterima oleh Fiscus tersebut.
Semua yang dilakukan oleh Fiscus merupakan tindakan hukum
administrasi (negara) perpajakan (selanjutnya disebut tindakan administrasi
perpajakan), yaitu berupa keputusan, yang menjadi kewenangannya. Artinya,
kewenangan yang dimiki oleh Fiscus tersebut dilakukan dengan
menyalahgunaan wewenang dari kewenangan yang dimilikinya berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Penyalahgunaan wewenang tersebut, yang
dilakukan dalam suatu tindakan administrasi perpajakan yang telah melewati
batasan administrasinya, dan dapat (telah) memenuhi unsur-unsur pidana UU
Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), dan juga merugikan keuangan negara
bila dilihat dari UU Korupsi.
Tindakan administrasi perpajakan hanya dilakukan oleh Fiscus dan dapat
berdampak pidana, tetapi WP dan pihak terkait lainnya juga dapat terkait dengan
pidana perpajakan. Terdapat tiga kemungkinan tindak pidana perpajakan, yaitu
yang dilakukan oleh Wajib Pajak, oleh Fiscus dan oleh pihak ketiga. Dalam
tulisan ini, hanya akan dibahas mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh
Fiscus dalam tindakan administrasi negaranya.
B. Permasalahan
Dari latar belakang yang ada, maka perpajakan adalah kegiatan hukum
administrasi negara di bidang perpajakan, yang berupa tindakan-tindakan,
a. Bagaimanakah bentuk tikdakan administrasi negara dalam pelaksanaan
perpajakan?
b. Bagaimanakah bentuk tindakan administrasi negara yang dapat berdampak
pada hukum pidana?
II. PERPAJAKAN
Menurut putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap, harta mantan pegawai
Direktorat Jenderal Pajak itu yang disita negara senilai Rp 74 miliar. Angka itu terdiri atas
pecahan dolar Amerika Serikat, dolar Singapura, 31 logam mulia. Menurut Kepala Kejaksaan
Negeri Jakarta Pusat saat itu, Datas Ginting, eksekusi yang dilakukan pihaknya belum mencapai
50 persen dari total harta yang dimiliki Gayus
3
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161122162351-12-174492/rentetan-
kasus-korupsi-yang-menjerat-pegawai-pajak
Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan, Harsanto Nursadi 114
4
Wirjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, (Bandung: Refika
Aditama, 2003) hal. 59
115 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
Pengertian dasar dari objek hukum pajak adalah pajak yang harus dibayar
oleh WP. Lebih lanjut dapat dijabarkan segala sesuatu yang karena undang-
undang dapat dikenakan pajak. Kata “dapat” dikenakan pajak mengandung
makna bahwa objek pajak boleh atau tidak boleh kena pajak. Pengenaan pajak
terhadap suatu objek harus dipertimbangkan secara maksimal agar tidak
menimbulkan permasalahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, penentuan suatu
objek untuk dikenakan pajak lebih dahulu dilakukan penelitian sehingga dapat
menciptakan kemanfaatan bagi negara maupun daerah selaku pihak yang
membutuhkan pajak.
Rochmat Soemitro yang menyatakan bahwa yang dapat dijadikan objek
pajak banyak sekali macamnya. Segala sesuatu yang ada dalam masyaraat dapat
dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun dalam
peristiwa tertentu. Dalam bahasa Jerman disebut sebagai tatbestand, contohnya
sebagai berikut.
1) Keadaan, misalnya kekayaan seseorang pada suatu saat tertentu misalnya,
memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah dan atau
barang tak bergerak lainnya, menempati rumah tertentu (kebanyakan secara
statis atau tetap).
2) Perbuatan, misalnya melakukan penyerahan barang karena perjanjian,
mendirikan rumah dan atau gedung, mengadakan pertunjukan atau
keramaian, memperoleh penghasilan, bepergian ke luar negeri.
3) Peristiwa, misalnya kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak,
anugerah yang diperoleh karena yang secara tidak terduga, pokoknya segala
sesuatu yang terjadi diluar kehendak manusia.
Objek yang dapat dikenakan pajak terlalu banyak, tergantung dari
pembuat undang-undang untuk menjaringnya, sepanjang objek itu tidak
melanggar kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat. Dalam arti, masih
terdapat beberapa pembatasan yang harus ditaati oleh pembuat undang-undang
untuk menentukan suatu objek sebagai objek pajak.
Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan, Harsanto Nursadi 116
Tabel 3.2.
Objek Pajak
5
Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan
PPN. Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak kecuali yang diatur lain oleh
Undang-Undang Nomor PPN itu sendiri. Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang
berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (hak cipta, merek dagang,
paten, dll.
6
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN, Contohnya:
jasa konstruksi, jasa sewa ruangan, jasa konsultan, jasa perantara, dll
117 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
Tabel 3.2.
Objek Pajak
Tabel 3.3.
Hak dan Kewajiban Perpajakan
D. Peristiwa hukum
7
https://kbbi.web.id/tindak
119 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
1. Tindakan Pemerintah
8
Indonesia, Undang-undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)Tahun Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara
(TLN) Nomor 5601.
9
Ridwan H.R., “Hukum Administrasi Negara”, edisi revisi, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006), hal 109, mengutip C.J.N Versteden dan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt.
10
Huisman, R.J.H.M. “Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding”, (Kobra, Amsterdam,
tt), hal 13.
11
Op., cit., hal 110.
12
Ibid., hal 111.
13
Op., Cit., Pasal 1 angka 8.
14
Pihak ketiga adalah Bank, Akuntan publik, Notaris, Konsultan pajak, Kantor
administrasi, Pihak ketiga lainnya yang memiliki hubungan dengan WP; Pihak ketiga, terkait
dengan informasi yang dibutuhkan oleh Pejabat Pajak dengan kewenangan yang dimiliki. Dalam
hal pihak ketiga memberikan informasi dalam bentuk surat (Keputusan) atau hanya berupa surat
(yang bersifat deklarasi), maka pada tahap inilah tindakan hukum pihak ketiga berlaku. Tetapi
bila hanya dokumen saja, maka bukan berua tindakan hukum, hanya tindakan nyata saja dri pihak
ketiga.
Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan, Harsanto Nursadi 120
15
E. Utrecht, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, (Surabaya: Pustaka Tinta
Mas, 1986), hal. 118.
16
Peter Leyland and Terry Woods, “Administrative Laws”, 3rd ed., (London:
Blackstone Press Limited, 1999), hal. 157.
17
Prajudi Admosudirjo, “Hukum Administrasi Negara”, (Jakarta: Ghali Indonesia,
1988), hal. 76.
18
Op., Cit., Pasal 1 angka 6.
19
Ibid, Pasal 1 angka 5
121 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
1. Batasan Kewenangan
20
Ibid, Pasal 15 ayat (1)
21
Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara (TLN) Nomor 4724. Pasal 16 ayat (2).
22
Op., Cit., Pasal 18 ayat (1).
23
Ibid., Pasal 18 ayat (2).
Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan, Harsanto Nursadi 122
24
Ibid., Pasal 18 ayat (3).
25
Op., Cit., hal 131-132, mengutip J.B.J.M. Ten Berge, Bescherming Tegen Overheid,
(W.E.J. Tjeenk Willink, Zwole, 1995) hal 150
26
Istilah beschikking diperkenalkan oleh van Vollenhoven d. C.W. van der Pot, yang
oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, dan lain-lain,
dianggap sebagai "de vader van het moderne beschikkingsbegrip (bapak dari konsep beschikking
yang modern). Dikutip oleh Ridwan HR, hal 140.
27
Produk hukum MPR disebut dengan Ketetapan atau disebut TAP MPR, sehingga
stilah yang dipergunakan sebaiknya adalah Keputusan, untuk menghindari kerancuan
penggunaan istilah.
123 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
28
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 3344, Pasal 1 angka 3.
29
Op., Cit., Pasal 1 angka 7.
30
Ibid., Pasal 87
31
Contoh paling klasik dari norma ini adalah Izin Gangguan (berasal dari Hinder
Ordonansi=Ordonansi (UU yang berlaku di Hindia Belanda) tentang Gangguan). Saat ini Izin
Gangguan menjadi kewenangan Bupati/Walikota untuk menerbitkannya; dan yang banyak diatur
dalam Perda pada umumnya adalah Retribusi Izin Gangguan. Jadi keluarnya Izin Gangguan ini
dikenakan Retribusi tertentu.
Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan, Harsanto Nursadi 124
Tindakan Hukum Pajak Pejabat Pajak baru dilakukan bila Pejabat Pajak
tersebut dengan kewenangannya mengeluarkan suatu Keputusan. Dalam
Perpajakan Keputusan lebih sering disebut dengan penetapan.
Tabel 4.1.
Keputusan dan Surat Keputusan (Penetapan) Pajak
Dalam Sub-Sub tentang Norma hukum Umum dan Abstrak dalam situasi
Individual dan Kongkret, sudah dijelaskan adanya perluasan arti Keputusan,
yang dapat mencakup Surat (misal Tagihan).
Surat Ketetapan (atau juga disebut sebagai Keputusan=beschikking) dari
Pejabat Pajak sesuai dengan kewenangannya tersebut memenuhi norma
Individual dan Kongkret, yaitu Wajab Pajak Tertentu (WO OP (hanya satu
orang) atau WP Badan) yang menjadi WP. Surat Ketetapan bagi WP dari WP
OP “A” berbeda dengan Surat Ketetapan Pajak bagi WP OP “B,” paling tidak
berbeda dari jumlah yang dibayarkan atau kurang bayar.
2) Setiap WP OP dan WP Badan
Tindakan hukum yang dilakukan oleh WP OP dan WP Badan berupa
penyerahan Surat Pemberitahuan (SPT) kepada Kantor Pajak, baik secara
manual maupun online. SPT tersebut adalah suatu sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang terutang. Dengan
penyerahan SPT tersebut, maka WP sudah memenuhi hak dan kewajibannya
sebagai subyek hukum pajak. SPT ini juga memenuhi norma individual-konkret,
yaitu WP OP tertentu atau WP Badan tertentu saja yang menyerahkan SPT-nya.
125 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
SPT WP OP/WP Badan “A” dengan WP OP/WP Badan “B” tentunya sangat
berbeda, karena merupakan subyek hukum pajak (individual) yang berbeda.
Tabel 4.2.
SPT Masa dan SPT Tahunan
Walaupun SPT belum final, karena mungkin saja terjadi kurang bayar,
tetapi SPT tersebut merupakan suatu tindakan hukum berupa “Keputusan” dari
WP kepada Pejabat Pajak (Dirjen Pajak), bahwa itulah hasil self assessment-nya
yang menjadi tanggungjawabnya, dan merupakan pelaksanana dari hak dan
kewajibannya sebagai WP.
Ukuran/parameter keinginan
Tindakan hukum Parameter norma
(mens rea)32
Sewenang-wenang Per-UU-an Rasionalitas
Penyalahgunaan AUPB Tujuan (berlaku asas
wewenang spesialitet)
Sumber: Philipus M. Hadjon, dkk, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana
Korupsi, “Kisi-kisi Hukum Administrasi Dalam Konteks Tindak Pidana
Korupsi,” (Yogya, Gadjah Mada University Press, 2011), hal. 15.
32
Sikap batin pelaku perbuatan pidana (niat jahat); mencakup unsur-unsur pembuat
tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan
psikis pembuat
33
Andrianto Dwi Nugroho, “Hukum Pidana Pajak Indonesia”, (Bandung: Citra Aditya
Bakti), hal 1
127 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
Tabel 5.1.
Perbandingan Penghindaran dan Pengelakan Pajak
34
Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran
Negara (TLN) Nomor 4740, Penjelasan Pasal 33 ayat (3).
35
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pembrantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)
Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5164.Pasal 2 ayat (1) huruf
v.
Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan, Harsanto Nursadi 128
Tabel 5.2.
Fiscus, Tindakan Administrasi dan Ancaman Pidana
36
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No 16 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan. Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2000 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3984, Pasal 3 ayat (3)
129 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
37
Indonesia, Undang-Undang No 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara, , Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 3262, Pasal 2
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan
yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Dengan diperolehnya
Nomor Pokok Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak.
Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut selain dipergunakan untuk mengetahui
identitas Wajib Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk menjaga ketertiban dalam
pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Setiap Wajib Pajak dalam
hal yang berhubungan dengan dokumen perpajakan diharuskan mencantumkan Nomor Pokok
Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenakan sanksi pidana.
38
Ibid., Pasal 28
Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan, Harsanto Nursadi 130
4) Tindak pidana tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
Terdapat tiga cara untuk melunasi pajak penghasilan,40 yaitu
(a) Pemotongan oleh pihak lain,41
i. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, dan honorarium
dengan nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di
Indonesia;
ii. bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan tetap, dan pembayaran lain, dengan
nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan
yang dibebankan kepada Keuangan Negara;
iii. badan dana pensiun yang membayarkan uang pension;
iv. perusahaan dan badan-badan yang membayar honorarium
atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa yang
dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli dan/atau
persekutuan tenaga ahli sebagai WP dalam negeri yang
melakukan pekerjaan bebas (sampai dengan ditetapkan di
dalam Pasal 21 ayat 1 UU N0 6 Tahun 1983)
v. WP atas deviden, bunga, sewa, royalty, imbalan, atau jasa
Teknik dan jasa manajemen. WP tersebut perorangan,
pemerintah dan swasta.42
vi. Orang pribadi yang memotong PPh dari WP Luar Negeri
yang menerima pembayaran bunga, deviden dan
sebagainya.43
(b) Pemungutan oleh pihak lain, dan
39
Indonesia, Undang-Undang No 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor 3262,Pasal 13
40
Ibid., Pasal 20 ayat (1)
41
Ibid., Pasal 21
42
Ibid., Pasal 23
43
Ibid., Pasal 26
131 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018
44
Ibid., Pasal 22 jo PP No 36 Tahun 1983 dan Kemenkeu RI No 965/KMK.04/1983.
45
Indonesia, Undang-Undang No 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran
Negara (TLN) Nomor 4740, Pasal 41 ayat (1) dan (2)
46
Ibid., Pasal 34 ayat (1)
47
Ibid., Penjelasan pasal 34 dan 41
48
Loc., Cit., Pasal 38 dan pasal 39
Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan, Harsanto Nursadi 132
dapat terpenuhi dalam hal ini (pajak dan korupsi memiliki unsur kerugian
negara).
Pihak ketiga dalam hal ini adalah yang terkait dengan kegiatan
perpajakan.
Tabel 5.3.
Tindakan Administrasi yang dilakukan Pihak Ketiga
Dapat berdampak pada hukum pidana
Kewajiban
merahasiakan (berdasar
Kegiatan Pihak ketiga
UU) ditiadakan
Dirjen Menkeu
Pemeriksaan Bank
pajak, penagihan Akuntan public
pajak, atau Notaris
penyidikan tindak Konsultan pajak
pidana perpajakan Kantor administrasi
Pihak ketiga lainnya yang
memiliki hubungan dengan
WP
Pihak ketiga wajib untuk memberikan keterangan atau bukti yang
diminta
Sumber: KMK dan Kep Dirjen, diolah penulis
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Admosudirjo, Prajudi. “Hukum Administrasi Negara”, Jakarta: Ghali Indonesia,
1988.
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, “Hoofdstukken van Administratief Recht”,
Utrecht: Uitgeverij Lemma BV., 1995.
Hadjon, Philipus M., dkk. “Kisi-kisi Hukum Administrasi Dalam Konteks Tindak
Pidana Korupsi”,”Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi”.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press2011.
Huisman, R.J.H.M. tt. “Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding”. Kobra:
Amsterdam2002.
Kanter, EY dan SR Sianturi, “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya”. Jakarta: Storia Grafika.
Leyland, Peter and Terry Woods. “Administrative Laws,” 3rd ed..London:
Blackstone Press Limited, 1999.
Nugroho, Andrianto Dwi. “Hukum Pidana Pajak Indonesia”, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2010.
Prodjodikoro, Wirjono. “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, Bandung:
Refika Aditama, 2003.
Ridwan H.R. “Hukum Administrasi Negara”, edisi revisi, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006.
Santoso Brotohadihardjo, R. “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”, Bandung: PT
Eresco, 1991.
Soemitro, Rochmat. “Asas dan Dasar Perpajakan II”, Bandung: PT Eresco,
1991.
Utrecht, E. “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”. Surabaya: Pustaka
Tinta Mas, 1986.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun
2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5601.
Indonesia, Undang-Uundang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 5164.
Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan, Harsanto Nursadi 136