Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Auditing

2.1.1.1 Pengertian Auditing

Pengertian audit menurut Arens et al. (2012:4) adalah sebagai berikut:

“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to


determine and report on the degree of correspondence between the information
and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent
person”.

Pengertian auditing menurut Sukrisno Agoes (2012 : 4) adalah:

“Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang
independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen
beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan
untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan.”

Berdasarkan definisi tersebut terlihat bahwa audit harus dilakukan oleh

orang yang independen dan kompeten. Auditor harus memiliki kualifikasi untuk

memahami kriteria yang digunakan dan harus kompeten untuk mengetahui jenis

serta jumlah bukti yang akan dikumpulkan guna mencapai kesimpulan yang tepat

setelah memeriksa bukti tersebut. Auditor yang juga harus memiliki sikap mental

independen dalam mengevaluasi objek yang diaudit. Mengungkapkan penilaian

berdasarkan fakta laporan yang ditemukan, menganalisa, mempertimbangkan data

atau informasi lainnya baru menyimpulkan keyakinan dan tidak memihak.


Hasil audit berujung pada laporan yang berisi informasi tentang kesesuaian

antara informasi yang diuji dengan kriterianya atau ketidaksesuaian dengan

menunjukkan fakta atas ketidaksesuaian tersebut.

2.1.1.2 Jenis-jenis Auditor

Menurut Sunarto (2003 : 19-21), terdapat empat jenis auditor yang paling

umum dikenal yaitu akuntan publik, auditor pemerintah, auditor pajak dan auditor

intern.

a. Akuntan Publik Terdaftar

Kantor Akuntan Publik (KAP) sebagai auditor independen bertanggung

jawab atas audit laporan keuangan historis dari seluruh perusahaan publik

dan perusahaan besar lainnya.

b. Auditor Pemerintah

Di Indonesia terdapat beberapa lembaga atau badan yang bertanggung

jawab secara fungsional atas pengawasan terhadap kekayaan atau

keuangan negara. Pada tingkatan tertinggi terdapat Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), kemudian terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) dan Inspektorat Jenderal (Itjen) pada departemen-

departemen pemerintah. Sebagian tugas Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) tidak berbeda dengan tugas Kantor Akuntan Publik

(KAP). Sebagian besar informasi keuangan yang dibuat oleh berbagai

badan pemerintah telah diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP). Disamping audit atas laporan keuangan, pada masa

sekarang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)


seringkali melakukan evaluasi efisiensi dan efektivitas operasi berbagai

program pemerintah dan BUMN (Badan Umum Milik Negara), misalkan

evaluasi atas pelaksanaan komputerisasi suatu badan pemerintah.

c. Auditor pajak

Auditor pajak bertugas melakukan audit terhadap wajib pajak tertentu

untuk menilai apakah telah memenuhi ketentuan perundangan perpajakan.

d. Auditor Intern

Auditor intern yaitu auditor yang bekerja di suatu perusahaan untuk

melakukan audit bagi kepentingan manajemen perusahaan. Auditor intern

wajib memberikan informasi yang berharga bagi manajemen untuk

pengambilan keputusan yang berkaitan dengan operasi perusahaan.

2.1.1.3 Jenis Opini Auditor

Di dalam penyajian laporan keuangan, salah satu hal terpenting yang

mempengaruhi kualitas dari laporan keuangan adalah pernyataan atau pendapat

auditor mengenai simpulan dari sisi laporan keuangan tersebut dimana pendapat

tersebut menggambrakan keadaan dan hasil-hasil yang diperoleh selama

pelaksanaan audit berlangsung. Pernyataan atau pendapat auditor atas pelaksanaan

dan hasil audit tertuang pada paragraf ketiga di dalam laporan audit yang

diterbitkan oleh auditor yang bersangkutan.

Opini auditor merupakan pendapat yang diberikan oleh auditor tentang

kewajaran penyajian laporan keuangan lembaga/perusahaan tempat auditor

melakukan audit (Sukrisno Agoes, 2012: 74).


Menurut Sukrisno Agoes (2012:75), ada lima jenis pendapat auditor

yaitu:

a. Unqualified Opinion (pendapat wajar tanpa pengecualian)

Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara

wajar, dalam semua hal material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas,

dan arus kas suatu entitas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di

Indonesia.

Pendapat ini diberlakukan bila dalam kondisi-kondisi berikut ini :

1. Seluruh laporan keuangan telah lengkap.

2. Semua aspek dalam ketiga standar umum SPAP telah dipatuhi dalam

penugasan aspek tersebut.

3. Bukti audit yang cukup memadai telah terkumpul dan auditor telah

melaksanakan penugasan audit ini dengan sedemikian rupa sehingga

membuatnya mampu menyimpulkan bahwa ketiga standar pekerjaan

lapangan telah dipenuhi.

4. Laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang

berlaku.

5. Tidak terdapat situasi yang membuat auditor merasa perlu untuk

menambahkan sebuah paragraf penjelasan atau memodifikasi kalimat

dalam laporan audit.

b. Unqualified with Explanatory Paragraph or Modified Wording (pendapat

wajar tanpa pengecualian dengan bahasa yang ditambahkan dalam laporan

audit bentuk baku)


Pendapat ini diberikan jika terdapat keadaan tertentu yang mengharuskan

auditor menambahkan paragraf penjelasan (atau bahasa penjelasan lain) dalam

laporan audit meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian

yang dinyatakan oleh auditor.

c. Qualified Opinion (pendapat wajar dengan pengecualian)

Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara

wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan

ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di

Indonesia kecuali untuk dampak hal yang berkaitan dengan yang dikecualikan.

d. Adverse Opinion (pendapat tidak wajar)

Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan

secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai

dengan prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia.

e. Disclaimer of Opinion (pernyataan tidak memberikan pendapat)

Kewajiban untuk menolak memberikan pendapat timbul jika terdapat

pembatasan lingkup audit atau terdapat hubungan yang tidak independen menurut

Kode Etik Profesional antara auditor dengan kliennya.

2.1.1.4 Standar Auditing

Standar auditing atau lebih dikenal Standar Profesional Akuntan Publik

(SPAP) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) merupakan

pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya (IAI,

2001). Arens et al. (2012: 42) menyatakan bahwa :

“Auditing standards are general guidelines to aid auditors in fulfilling their


professional responsibilities in the audit of historical financial statements.“
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa standar auditing merupakan

pedoman umum untuk membantu auditor memenuhi tanggung jawab

profesionalnya dalam audit atas laporan keuangan historis. Standar ini mencakup

pertimbangan mengenai kualitas professional seperti kompetensi dan

independensi, persyaratan pelaporan, dan bukti.

Standar auditing berkaitan dengan kriteria atau ukuran mutu kinerja

auditor independen dan pertimbangan yang digunakan dalam pelaksanaan audit

dan penyusunan laporan audit. Standar auditing yang telah ditetapkan dan

disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI, 2011: 150.1 - 105.2)

adalah sebagai berikut:

a. Standar Umum

1. Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian

dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam

sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib

menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

b. Standar Pekerjaan Lapangan

1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten

harus disupervisi dengan semestinya.

2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk

merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian

yang akan dilakukan.


3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi,

pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar

memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

c. Standar Pelaporan

1. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun

sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

2. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada,

ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan

laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip

akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.

3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang

memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.

4. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai

laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan

demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak

dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama

auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus

memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang

dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh

auditor.

Standar-standar tersebut di atas dalam banyak hal sering berhubungan dan

saling tergantung satu sama lain. Keadaan yang berhubungan erat dengan
penentuan dipenuhi atau tidaknya suatu standar dapat berlaku juga untuk standar

yang lain.

2.1.2 Kualitas Audit

Apapun tugas yang dilakukan oleh auditor, yang dibutuhkan adalah sebuah

hasil kerja yang berkualitas. Berdasarkan teori agensi yang mengasumsikan

bahwa manusia itu selalu self-interest maka kehadiran pihak ketiga yang

independen sebagai mediator pada hubungan antara principal dan agen sangat

diperlukan, dalam hal ini adalah auditor independen. Investor akan lebih

cenderung pada data akuntansi yang dihasilkan dari kualitas audit yang tinggi.

2.1.2.1 Pengertian Kualitas Audit

Istilah "kualitas audit" mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap

orang (Sunarto, 2003:31). Para pengguna laporan keuangan berpendapat bahwa

kualitas audit yang dimaksud terjadi jika auditor dapat memberikan jaminan

bahwa tidak ada salah saji yang material (no material misstatements) atau

kecurangan (fraud) dalam laporan keuangan audite.

De Angelo (1981) menyatakan bahwa :

“Kualitas audit adalah probabilitas dimana seorang auditor menemukan


dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi
kliennya. Probablitas penemuan penyelewengan tergantung pada
kemampuan teknis auditor, prosedur audit yang digunakan dalam audit,
luas pengambilan sampel, dan lain-lain. Sedangkan probabilitas auditor
untuk melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi
klien tergantung pada independensi auditor”.
2.1.2.2 Penerapan StandarAuditing

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 2001) menyatakan bahwa audit yang

dilakukan auditor dikatakan berkualitas jika memenuhi standar auditing dan

standar pengendalian mutu.

Seorang auditor dituntut untuk dapat menghasilkan kualitas pekerjaan

yang tinggi karena auditor mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap

pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan

termasuk masyarakat. Tidak hanya bergantung pada klien saja tetapi auditor juga

merupakan pihak yang mempunyai kualifikasi untuk memeriksa dan menguji

apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip

akuntansi yang berterima umum. Hal tersebut sesuai dengan standar pelaporan

dalam standar auditing (IAPI: 2011) yang menyatakan bahwa :

“laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun


sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum”

Standar pelaporan pertama ini mengharuskan auditor untuk menggunakan

prinsip akuntansi yang berlaku umum sebagai kriteria yang ditetapkan. Istilah

prinsip akuntansi berlaku umum yang digunakan dalam standar pelaporan pertama

yang dimaksudkan meliputi prinsip dan praktik akuntansi serta metode

penerapannya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor : Per/05/M.Pan/03/2008 Tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern

Pemerintah, kualitas dari laporan hasil audit mengharuskan laporan auditnya tepat
waktu, lengkap, akurat, obyektif, meyakinkan, jelas, dan seringkas mungkin untuk

menghasilkan kualitas audit yang baik.

1. Tepat Waktu

Agar suatu informasi bermanfaat secara maksimal, maka laporan hasil

audit harus tepat waktu. Laporan yang dibuat dengan hati-hati tetapi terlambat

disampaikan nilainya menjadi kurang bagi pengguna laporan hasil audit. Oleh

karena itu, auditor harus merencanakan penerbitan laporan tersebut secara

semestinya dan melakukan audit dengan dasar pemikiran tersebut. Selama audit

berlangsung, auditor harus mempertimbangkan adanya laporan hasil audit

sementara untuk hal yang material kepada auditi dan/atau kepada pihak lain yang

terkait.

Laporan hasil audit sementara tersebut bukan merupakan pengganti

laporan hasil audit akhir, tetapi mengingatkan kepada pejabat terkait terhadap hal

yang membutuhkan perhatian segera dan memungkinkan pejabat tersebut untuk

memperbaikinya sebelum laporan hasil audit akhir diselesaikan.

2. Lengkap

Agar menjadi lengkap, maka laporan hasil audit harus memuat semua

informasi dari bukti yang dibutuhkan untuk memenuhi sasaran audit, memberikan

pemahaman yang benar dan memadai atas hal yang dilaporkan, dan memenuhi

persyaratan isi laporan hasil audit. Hal ini juga berarti bahwa laporan hasil audit

harus memasukkan informasi mengenai latar belakang permasalahan secara


memadai. Laporan harus memberikan perspektif yang wajar mengenai aspek

kedalaman dan signifikansi temuan audit seperti frekuensi terjadinya

penyimpangan dibandingkan dengan jumlah kasus atau transaksi yang diuji, serta

hubungan antara temuan audit dengan kegiatan entitas yang diaudit.

Hal ini diperlukan agar pembaca memperoleh pemahaman yang benar dan

memadai. Umumnya, satu kasus kekurangan/kelemahan saja tidak cukup untuk

mendukung suatu simpulan yang luas atau rekomendasi yang berhubungan

dengan simpulan tersebut.

Satu kasus itu hanya dapat diartikan sebagai adanya kelemahan,

kesalahan atau kekurangan data pendukung oleh karenanya informasi yang terinci

perlu diungkapkan dalam laporan hasil audit untuk meyakinkan pengguna laporan

hasil audit tersebut.

3. Akurat

Akurat berarti bukti yang disajikan benar dan temuan itu disajikan dengan

tepat. Perlunya keakuratan didasarkan atas kebutuhan untuk memberikan

keyakinan kepada pengguna laporan hasil audit bahwa apa yang dilaporkan

memiliki kredibilitas dan dapat diandalkan. Satu ketidakakuratan dalam laporan

hasil audit dapat menimbulkan keraguan atas keandalan seluruh laporan tersebut

dan dapat mengalihkan perhatian pengguna laporan hasil audit dari substansi

laporan tersebut. Demikian pula, laporan hasil audit yang tidak akurat dapat

merusak kredibilitas APIP yang menerbitkan laporan hasil audit dan mengurangi

efektifitas laporan hasil audit. Laporan hasil audit harus memuat informasi yang
didukung oleh bukti yang kompeten dan relevan dalam kertas kerja audit.

Apabila terdapat data yang material terhadap temuan audit tetapi auditortidak

melakukan pengujian terhadap data tersebut, maka auditor harus secara jelas

menunjukkan dalam laporan hasil auditnya bahwa data tersebut tidak diperiksa

dan tidak membuat temuan atau rekomendasi berdasarkan data tersebut.

Bukti yang dicantumkan dalam laporan hasil audit harus masuk akal dan

mencerminkan kebenaran mengenai masalah yang dilaporkan. Penggambaran

yang benar berarti penjelasan secara akurat tentang lingkup dan metodologi audit,

serta penyajian temuan yang konsisten dengan lingkup audit. Salah satu cara

untuk meyakinkan bahwa laporan hasil audit telah memenuhi standar pelaporan

adalah dengan menggunakan proses pengendalian mutu seperti proses referensi.

Proses referensi adalah proses dimana seorang auditor yang tidak terlibat

dalam proses audit tersebut menguji bahwa suatu fakta, angka, atau tanggal telah

dilaporkan dengan benar, bahwa temuan telah didukung dengan dokumentasi

audit dan bahwa simpulan dan rekomendasi secara logis didasarkan pada data

pendukung.

4. Obyektif

Obyektivitas berarti penyajian seluruh laporan harus seimbang dalam isi

dan redaksi. Kredibilitas suatu laporan ditentukan oleh penyajian bukti yang tidak

memihak, sehingga pengguna laporan hasil audit dapat diyakinkan oleh fakta yang

disajikan.
Laporan hasil audit harus adil dan tidak menyesatkan. Ini berarti auditor

harus menyajikan hasil audit secara netral dan menghindari kecenderungan

melebih-lebihkan kekurangan yang ada. Dalam menjelaskan kekurangan suatu

kinerja, auditor harus menyajikan penjelasan pejabat yang bertanggung jawab,

termasuk pertimbangan atas kesulitan yang dihadapi entitas yang diperiksa.

Redaksi laporan harus mendorong pengambil keputusan untuk bertindak

atas dasar temuan dan rekomendasi auditor. Meskipun temuan auditor harus

disajikan dengan jelas dan terbuka, auditor harus ingat bahwa salah satu

tujuannyaadalah untuk meyakinkan. Cara terbaik untuk itu adalah dengan

menghindari bahasa laporan yang menimbulkan adanya sikap membela diri dan

menentang dari entitas yang diaudit. Meskipun kritik terhadap kinerja yang telah

lalu seringkali dibutuhkan, laporan hasil audit harus menekankan perbaikan yang

diperlukan.

5. Meyakinkan

Agar meyakinkan, maka laporan harus dapat menjawab sasaran audit,

menyajikan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi yang logis. Informasi yang

disajikan harus cukup meyakinkan pengguna laporan untuk mengakui validitas

temuan tersebut dan manfaat penerapan rekomendasi. Laporan yang disusun

dengan cara ini dapat membantu pejabat yang bertanggung jawab untuk

memusatkan perhatiannya atas hal yang memerlukan perhatian itu, dan dapat

membantu untuk melakukan perbaikan sesuai rekomendasi dalam laporan hasil

audit.
6. Jelas

Laporan harus mudah dibaca dan dipahami. Laporan harus ditulis dengan

bahasa yang jelas dan sesederhana mungkin. Penggunaan bahasa yang lugas dan

tidak teknis sangat penting untuk menyederhanakan penyajian. Jika digunakan

istilah teknis, singkatan, dan akronim yang tidak begitu dikenal, maka hal itu

harus didefinisikan dengan jelas. Akronim agar digunakan sejarang mungkin.

Apabila diperlukan, auditor dapat membuat ringkasan laporan untuk

menyampaikan informasi yang penting sehingga diperhatikan oleh pengguna

laporan hasil audit. Ringkasan tersebut memuat jawaban terhadap sasaran audit,

temuan-temuan yang paling material, dan rekomendasi. Pengorganisasian

laporan secara logis, keakuratan dan ketepatan dalam menyajikan fakta

merupakan hal yang penting untuk memberi kejelasan dan pemahaman bagi

pengguna laporan hasil audit. Penggunaan judul, sub judul, dan kalimat topik

(utama) akan membuat laporan lebih mudah dibaca dan dipahami. Alat bantu

visual (seperti gambar, bagan, grafik, dan peta) dapat digunakan untuk

menjelaskan dan memberikan resume terhadap suatu masalah yang rumit.

7. Ringkas

Laporan yang ringkas adalah laporan yang tidak lebih panjang daripada

yang diperlukan untuk menyampaikan dan mendukung pesan. Laporan yang

terlalu rinci dapat menurunkan kualitas laporan, bahkan dapat menyembunyikan

pesan yang sesungguhnya dan dapat membingungkan atau mengurangi minat

pembaca. Pengulangan yang tidak perlu juga harus dihindari. Meskipun banyak
peluang untuk mempertimbangkan isi laporan, laporan yang lengkap tetapi

ringkas, akan mencapai hasil yang lebih baik.

Dari penjelasan standar pelaporan pertama dalam standar auditing dan

standar audit APIP, maka kualitas audit dapat diukur dengan menggunakan

indikator kesesuaian pemeriksaan dengan standar auditing dan kualitas laporan

hasil audit.

2.1.3 Pengalaman Auditor

Audit menuntut keahlian dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian

tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan formal tetapi banyak faktor lain

yang mempengaruhi antara lain adalah pengalaman (Sunarto, 2003:41).

2.1.3.1 Pengertian Pengalaman Audit

Beberapa definisi berikut akan memberikan penjelasan tentang

pengalaman itu sendiri, antara lain :

Menurut Wikipedia bahasa Indonesia (September 2012) menyatakan

bahwa :

“Pengalaman adalah hasil persentuhan alam dengan panca indra manusia.


Berasal dari kata peng-alam-an”

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:26):

“Pengalaman adalah segala sesuatu yang pernah dialami, dijalani, dirasai,


ditanggung, dan sebagainya.”

Jadi kesimpulan dari definisi di atas bahwa pengalaman adalah gabungan dari

semua yang dialami, dijalani, dirasai, dan ditanggung melalui interaksi secara

berulang-ulang dengan panca indera manusia.


Menurut Tubbs (1992) yang dikutip oleh Mayangsari (2003) menyatakan

bahwa seorang karyawan yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan

memiliki keunggulan dalam beberapa hal diantaranya:

1. mendeteksi kesalahan,
2. memahami kesalahan, dan
3. mencari penyebab munculnya kesalahan.
2.1.3.2 Penerapan Standar Auditing

Dalam melaksanakan audit untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat,

auditor bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang

auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formalnya yang

diperluas melalui pengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Dengan demikian,

untuk melakukan proses audit maka pengalaman auditor merupakan salah satu

faktor yang sangat penting. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Standar

Auditing pada Standar Umum Pertama (IAPI:2011) yang menyatakan bahwa:

“auditor harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki


keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.”

Dengan pernyataan Standar Auditing tersebut, maka dimaksudkan bahwa orang

yang melaksanakan tugas audit adalah orang yang benar-benar memiliki keahlian

dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Keahlian dan pelatihan teknis

tersebut diperoleh auditor dari pengalamannya yaitu dilihat dari lamanya bekerja

sebagai auditor dan frekuensi melakukan tugas audit.

a. Lamanya Bekerja sebagai Auditor

Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam

memprediksi kinerja auditor, sehingga pengalaman dimasukan ke dalam satu


persyaratan dalam memperoleh ijin menjadi akuntan publik ( SK Menkeu

No.423/KMK.06/2002) yaitu:

“Seorang akuntan pubik untuk memperoleh ijin khusus harus memiliki


pengalaman kerja di bidang audit umum atau laporan keuangan sekurang-
kurangnya 1.000 (seribu) jam dalam 5 tahun terkahir dan sekurang-
kurangnya 500 (lima ratus jam) jam diantaranya memimpin
danmensupervisi perikatan audit umum yang disahkan oleh Pemimipin
KAP tempat bekerja atau pejabat setingkat eselon 1 Instansi Pemerintah
yang berwenang dibidang audit umum.”

Berdasarkan ketentuan di atas, maka menjadi seorang auditor yang

berpengalaman harus memiliki minimal 1.000 jam dalam 5 tahun berakhir dan

sekurang-kurangnya 500 jam dengan reputasi baik di bidang audit.

Hunghes (1996:34) mengemukakan bahwa:

“experience is not just a metter of what event happen to you, it also


dependson how you perceive those event.”

Berdasarkan pendapat tersebut pengalaman tidak hanya dipengaruhi oleh

apa yang terjadi pada kita, tetapi dipengaruhi pula oleh bagaimana kita

menanggapinya termasuk juga bagaimana auditor dalam menanggapi tugas

auditnya. Saat auditor junior melakukan penugasan audit ia belum memiliki

kemampuan layaknya auditor berpengalaman yang bekerjanya lebih lama dan

mempunyai daya analisis yang kuat sehingga menimbulkan hasil-hasil penilaian

yang berkualitas.

b. Frekuensi Melakukan Tugas Audit

Brouwer (1984) mengemukakan bahwa :

“Hal yang baru, yang mengherankan akan menjadi biasa dan hilang dalam
kontinuitas dengan adanya pengalaman, sebagai contoh: Waktu kita
belajar bersepeda tidak disadari kalau kita sudah pandai. Hal asing yang
disadarai akan menjadi biasa dengan pengalaman.”

Dengan semakin seringnya auditor melaksanakan tugas audit, maka

pengalaman dan pengetahuannya akan semakin bertambah sehingga kepercayaan

diri auditor akan semakin bertambah besar. Artinya dengan adanya pengalaman,

maka akan menghasilkan informasi yang tersimpan dalam memori. Dengan

banyaknya informasi yang auditor miliki, maka auditor dapat melaksanakan

tugasnya dengan baik dan lebih percaya diri.

Apabila seorang auditor sering melakukan tugas auditnya, maka dia akan

terbiasa memperoleh lebih banyak pengetahuan. Dengan pengetahuan yang

dimiliki seorang auditor, maka ia akan mampu memberikan hasil audit yang lebih

berkualitas dibandingkan dengan seorang auditor yang kurang memiliki

pengetahuan yang diakibatkan oleh kurangnya pengalaman.

2.1.4 Independensi

Auditor mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur tidak saja kepada

pihak manajemen, tetapi juga terhadap pihak ketiga sebagai pemakai laporan

keuangan, seperti kreditor, pemilik maupun calon pemilik (Mulyadi, 2002:29).

Ketergantungan pihak ketiga terhadap kelayakan laporan keuangan

berdasarkan laporan auditor adalah karena harapan mereka untuk mendapatkan

suatu pandangan yang tidak memihak. Oleh karena itu, independensi harus

dipandang sebagai salah satu ciri auditor yang paling penting dalam menentukan

tingkat kualitas laporan auditor yang dihasilkan.


2.1.4.1 Pengertian Independensi

Menurut Standar Auditing Seksi 220.1 (SPAP : 2001) menyebutkan

bahwa:

“Independen bagi seorang akuntan publik artinya tidak mudah dipengaruhi


karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum.”

Menurut Arens et al. (2012:111) independensi dalam auditing adalah:

“A member in public practice shall be independence in the performance a


professional service as require by standards promulgated by bodies
designated by a council.”

Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak

dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga

berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan

adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam merumuskan dan

menyatakan pendapatnya, maka audit yang dihasilkan akan sesuai dengan fakta

tanpa ada pengaruh dari luar.

2.1.4.2 Penerapan Standar Auditing

Dalam melaksanakan tugas audit, auditor dituntut harus bersikap

independen artinya bahwa auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan

siapapun, tidak memihak justru sangat penting untuk mempertahankan kebebasan

pendapatnya. Independensi dalam hal ini lebih dapat disamakan dengan sikap

tidak memihak (Sunarto, 2003:42).


Dalam menjalankan tugasnya, auditor harus selalu mempertahankan sikap

mental independen di dalam memberikan jasa profesional. Hal tersebut sesuai

dengan pernyataan Standar Auditing pada Standar Umum Pertama (IAPI:2011),

yang menyatakan:

“Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi


dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor”.

Dengan pernyataan Standar Auditing ini, maka dimaksudkan bahwa

auditor harus bersikap independen artinya tidak mudah dipengaruhi karena ia

melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum sebagai auditor .

Dalam sektor publik yaitu BPKP pimpinan APIP bertanggung jawab

kepada pimpinan tertinggi organisasi agar tanggung jawab pelaksanaan audit

dapat terpenuhi. Posisi APIP ditempatkan secara tepat sehingga bebas dari

intervensi, dan memperoleh dukungan yang memadai dari pimpinan tertinggi

organisasi sehingga dapat bekerja sama dengan auditi dan melaksanakan

pekerjaan dengan leluasa. Meskipun demikian, APIP harus membina hubungan

kerja yang baik dengan auditi terutama dalam saling memahami diantara peranan

masing-masing lembaga (Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor : Per/05/M.Pan/03/2008 Tentang Standar Audit

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah).

2.1.4.3 Klasifikasi Independensi

Arens et al. (2012:111) mengklasifikasikan independensi dalam dua

aspek, yaitu:
1. Independence in fact exists when the auditor is actually able to
maintain an unbiased attitude throughout the audit.
2. Independence in appearance is the result of others interpretations of
this independence.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Independence in fact (independensi dalam fakta)

Artinya audior harus mempunyai kejujuran yang tinggi dan keterkaitan

yang erat dengan objektivitas. Independensi dalam fakta akan ada

apabila kenyataannya auditor mampu mempertahankan sikap yang

tidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya.

2. Independence in appearance (independensi dalam penampilan)

Artinya pandangan pihak lain terhadap diri auditor sehubungan dengan

pelaksanaan audit. Meskipun auditor telah menjalankan auditnya

dengan baik secara independen dan objektif, pendapat yang dinyatakan

melalui laporan audit tidak akan dipercaya oleh para pemakai jasa

auditor independen bila ia tidak mampu mempertahankan independensi

dalam penampilan. Oleh karena itu, independensi dalam penampilan

sangat penting bagi perkembangan profesi auditor.

Independensi praktisi berhubungan dengan kemampuan praktisi secara

individual untuk mempertahankan sikap yang wajar atau tidak memihak dalam

perencanaan program, pelaksanaan pekerjaan verifikasi, dan penyusunan laporan

hasil pemeriksaan. Independensi ini mencakup tiga dimensi yaitu independensi

program audit, independensi investigatif, dan independensi pelaporan. Sedangkan


independensi profesi berhubungan dengan kesan masyarakat terhadap profesi

akuntan publik.

Selain itu menurut Mautz dan Sharaf (1980:249) practitioner

independent (independensi praktisi) mencakup tiga dimensi, yaitu:

1. Independensi program audit


Bebas dari kontrol atau pengaruh yang tidak semestinya dalam
pemilihan teknik dan prosedur audit. Ini mensyaratkan bahwa auditor
memiliki kebebasan untuk mengembangkan program sendiri, baik
dalam menetapkan langkah-langkah untuk dimasukkan dan jumlah
pekerjaan yang harus dilakukan dalam batas-batas perikatan.
2. Independensi investigatif.
Bebas dari kontrol atau pengaruh yang tidak semestinya dalam
pemilihan daerah, kegiatan, hubungan pribadi, dan kebijakan
manajerial untuk diperiksa. Ini mensyaratkan tidak ada sumber yang
sah dari informasi ditutupi untuk auditor.
3. Independensi pelaporan.
Bebas dari pengaruh yang tidak semestinya dalam menyatakan fakta-
fakta yang diungkapkan dalam pemeriksaan atau dalam memberikan
rekomendasi dan pendapat sebagai hasil dari pemeriksaan. Hubungan
dari pelaporan hingga pemeriksaan telah dinyatakan rapih dengan
mengikuti sebagai berikut: Anda memberitahu kita apa yang harus
dilakukan dan juga memberitahu Anda apa yang kita dapat tulis dalam
laporan Anda. Anda memberitahu kami apa yang Anda ingin, kami
mengatakan dalam laporan Anda dan kami akan memberitahu Anda
apa yang harus kita lakukan.

Penjelasan dari ketiga dimensi diatas adalah sebagai berikut:

1. Independensi program audit.

a. Bebas dari campur tangan manajerial dalam menentukan,

mengeliminasi atau memodifikasi bagian-bagian tertentu dalam

audit.

b. Bebas dari campur tangan pihak lain untuk menyusun prosedur

yang dipilih.
c. Penyusunan program audit bebas dari usaha-usaha pihak lain untuk

menentukan subjek pemeriksaan.

2. Independensi investigatif.

a. Dapat langsung dan bebas mengakses informasi yang berhubungan

dengan kegiatan, kewajiban, sumber-sumber bisnis auditee.

b. Manajerial dapat bekerja sama secara aktif dalam proses

pemeriksaan.

c. Bebas dari upaya manajerial perusahaan untuk menetapkan

kegiatan apa saja yang akan diperiksa.

d. Bebas dari kepentingan pribadi maupun pihak lain yang dapat

membatasi kegiatan pemeriksaan.

3. Independensi pelaporan

a. Bebas dari kepentingan pihak lain untuk memodifikasi pengaruh

fakta-fakta yang dilaporkan.

b. Pelaporan hasil audit bebas dari bahasa yang dapat menimbulkan

multi tafsir.

c. Tidak ada usaha pihak lain yang dapat mempengaruhi

pertimbangan pemeriksaan terhadap isi laporan.

d. Menghindari praktik yang dapat menghilangkan kejadian yang

penting dalam laporan formal.

Dari instrumen yang dikembangkan oleh Mautz dan Sharaf (1980) maka

untuk variabel independensi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan


indikator yaitu: independensi penyusunan program, independensi investigatif, dan

independensi pelaporan.

2.1.5 Obyektivitas

Obyektivitas merupakan salah satu ciri yang membedakan profesi akuntan

dengan profesi yang lain. Auditor harus menjaga integritas dan obyektivitas dalam

pelaksanaan auditnya untuk menghasilkan laporan audit yang sesuai dengan

kondisi yang sebenarnya (Sunarto, 2003:73). Dengan adanya hal tersebut, maka

laporan audit yang dihasilkan dapat mempengaruhi kualitas hasil audit.

2.1.5.1 Pengertian Obyektivitas

Menurut Mutchler (2003) menyatakan bahwa:

“Objectivity is a desired characteristic of the individual or team who


make choices among the full set of assurance service possibilities and of
the individual or teams who are engaged in the performance of
assurance services and who are making the necessary assessments,
judgments, and decisions.”

Pusdiklatwas BPKP (2005), menyatakan obyektivitas sebagai bebasnya

seseorang dari pengaruh pandangan subyektif pihak-pihak lain yang

berkepentingan, sehingga dapat mengemukaan pendapat menurut apa adanya.

Unsur perilaku yang dapat menunjang obyektifitas antara lain:

1. Dapat diandalkan dan dipercaya


2. Tidak merangkap sebagai panitia tender, kepanitiaan lain dan atau pekerjaan-
pekerjaan lain yang merupakan tugas operasional obyek yang diperiksa,
3. Tidak berangkat tugas dengan niat untuk mencari-cari kesalahan orang lain
4. Dapat mempertahankan kriteria dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang resmi
5. Dalam bertindak maupun mengambil keputusan didasarkan atas pemikiran
yang logis.
2.1.5.2 Penerapan Standar Auditing
Hubungan keuangan dengan klien dapat mempengaruhi objektivitas dan

dapat mengakibatkan pihak ketiga berkesimpulan bahwa objektivitas auditor tidak

dapat dipertahankan (Sukrisno Agoes:160). Dengan adanya kepentingan

keuangan seorang auditor jelas berkepentingan dengan laporan hasil pemeriksaan

yang diterbitkan.

Standar Umum dalam Standar APIP menyebutkan bahwa :

“Dalam semua hal yang berkaitan dengan audit, APIP harus independen
dan para auditornya harus obyektif dalam pelaksanaan tugasnya”.

Berdasarkan standar umum tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

obyektivitas auditor diperlukan agar kredibilitas hasil pekerjaan dari auditor

meningkat. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat objektivitas auditor maka

semakin baik kualitas hasil pemeriksaannya.

Selain itu, berdasarkan Prinsip Etika Profesi Ikatan Akuntan Indonesia

(2001) dalam Mulyadi (2002:57) menyatakan bahwa setiap auditor harus

menjaga objektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan

kewajibannya. Dalam prinsip tersebut dinyatakan bahwa :

“Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan. Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak
memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka, serta bebas dari
benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.”

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun auditor bekerja dalam

kapasitas yang berbeda tetapi setiap auditor dalam melakukan tugas auditnya

harus dapat menunjukkan objektivitas mereka dalam berbagai situasi. Dengan


kata lain apapun jasa dan kapasitas mereka anggota harus melindungi integritas

pekerjaannya dan memelihara pekerjaannya.

Selanjutnya berdasarkan kode etik APIP (2008) yang memuat tentang

aturan perilaku yang menjelaskan lebih lanjut tentang prinsip-prinsip perilaku

auditor salah satunya yaitu obyektifitas. Dalam prinsip tersebut auditor dituntut

agar:

1. Mengungkapkan semua fakta material yang diketahuinya, yang apabila


tidak diungkapkan mungkin dapat mengubah pelaporan kegiatan-kegiatan
yang diaudit,
2. Tidak berpartisipasi dalam kegiatan atau hubungan-hubungan yang
mungkin mengganggu penilaian yang tidak memihak atau yang mungkin
meyebabkan terjadinya benturan kepentingan, dan
3. Menolak suatu pemberian dari auditee yang terkait dengan keputusan
maupun pertimbangan profesionalnya.
Dari penjelasan di atas maka untuk variabel obyektivitas dalam penelitian ini

diukur dengan menggunakan indikator yaitu bebas dari benturan kepentingan

sesuai dengan Prinsip Etika Profesi Ikatan Akuntan Indonesia (2001) ,dan

pengungkapan sesuai dengan fakta sesuai dengan Kode etik APIP (2008).

2.1.6 Lingkup Audit

Ruang lingkup audit merupakan batasan masalah yang akan diaudit

(Pusdiklatwas, 2005). Hal tersebut berkaitan dengan hasil laporan auditing dalam

bentuk opini yang merupakan tahap akhir dari keseluruhan proses audit. Auditor

dapat memberikan pendapat wajar, dengan pengecualian, pendapat tidak wajar

dan menolak memberikan pendapat apabila terdapat pembatasan lingkup audit.

Karena adanya ruang lingkup audit yang terbatas maka hal ini dapat berpengaruh

terhadap kualitas hasil audit yang dinyatakan dalam bentuk laporan auditing.

2.1.6.1 Pengertian Lingkup audit


Menurut BPK RI (2008: 21), menyatakan bahwa:

“Lingkup audit atau lingkup pemeriksaan merupakan batasan bagi tim


pemeriksa untuk dapat menerapkan prosedur pemeriksaan, baik yang
ditentukan berdasarkan sasaran (program atau proyek), lokasi (pusat,
wilayah, cabang, atau perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran, tahun
buku, semester, atau triwulan).”

Dalam SPKN (BPK RI, 2007: 56)mengungkapkan bahwa:

“lingkup pemeriksaan adalah batas pemeriksaan dan harus terkait langsung


dengan tujuan pemeriksaan.”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkup audit merupakan

batasan bagi auditor dalam melakukan proses audit baik dari sasarannya,

lokasinya maupun waktu yang dilakukan.

2.1.6.2 Penerapan Standar Auditing

Berdasarkan standar umum ketigadalam standar auditing (IAPI:2011),

menyatakan bahwa:

“dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya auditor wajib


menggunakan menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat
dan seksama.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa auditor harus menggunakan

kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama dalam menerapkan

standar pemeriksaan yang digunakan. Jika auditor tidak menerapkan standar

tertentu dalam pelaksanaan pemeriksaannya, maka harus dicatat dalam kertas

kerja pemeriksaan. Dalam keadaan tertentu dapat terjadi bahwa dalam praktiknya

auditor tidak dapat mematuhi standar pemeriksaan yang berlaku dan juga tidak
dapat mengundurkan diri dari penugasan pemeriksaan. Dengan demikian, auditor

harus mengungkapkan masalah tersebut dalam lingkup pemeriksaan di dalam

laporan hasil pemeriksaannya yaitu dengan tidak dipatuhinya standar pemeriksaan

yang berlaku umum, alasan yang mendasarinya, dan dampaknya terhadap hasil

pemeriksaan akibat tidak dipatuhinya standar pemeriksaan tersebut. Pembatasan

ruang lingkup memiliki pengaruh besar terhadap laporan auditor, jika terdapat

pembatasan ruang lingkup audit maka respons yang tepat adalah menerbitkan

pendapat wajar tanpa pengecualian, pendapat wajar dengan pengecualian dan

bahkan menolak memberikan pendapat. Laporan auditor dapat menentukan

kualitas hasil auditnya.

Pernyataan menolak memberikan opini merupakan opini pemeriksa atas

tidak dapat dilaksanakannya stándar pemeriksaan pada pemeriksaan laporan

keuangan. Karena pemeriksaan tidak dapat dilakukan sesuai dengan standar

pemeriksaan, maka laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan dengan opini

pernyataan menolak memberikan opini adalah tidak mengikuti bentuk baku laporan

hasil pemeriksaan atas laporan keuangan sehingga dapat berdampak pada kualitas

hasil audit.

Menurut Arens et al. (2012:76), ada dua kategori utama pembatasan ruang

lingkup audit yaitu :

a. Those caused by a client


b. Those caused by conditions beyond the control of either the client or the
auditor
Dari uraian diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Those caused by a client (Pembatasan yang disebabkan oleh klien)

Untuk pembatasan yang disebabkan oleh klien, auditor harus

mempertimbangkan kemungkinan bahwa manajemen berusaha mencegah

ditemukannya informasi yang salah saji. Dalam kasus seperti ini, standar

auditing menyarankan menolak. Salah satu contoh pembatasan oleh klien

yaitu penolakan manajemen untuk mengizinkan auditor mengonfirmasikan

piutang yang material atau pengujian fisik persediaan. Alasan bagi klien

untuk memberlakukan pembatasan ruang lingkup audit dapat berupa

keinginan untuk menghemat fee audit dan dalam kasus konfirmasi piutang

usaha untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik antara klien

dengan pelanggannya apabila jumlah yang dikonfirmasikan ternyata

berbeda.

b. Those caused by conditions beyond the control of either the client or the

auditor (Pembatasan yang disebabkan oleh situasi yang berada di luar

kendali klien atau auditor)

Untuk pembatasan yang disebabkan oleh situasi yang berada di luar

kendali klien atau auditor yaitu apabila auditor tidak dapat melaksanakan

prosedur yang menurutnya harus dilakukan tetapi dapat dipenuhi dengan

prosedur alternatif bahwa informasi yang diuji telah disajikan secara

wajar, maka pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diterbitkan dan jika
prosedur altenatif tersebut tidak dapat dilaksanakan maka ruang lingkup

dan pendapat wajar dengan pengecualian atau menolak diterbitkan. Contoh

kasus dari yang disebabkan oleh situasi yang berada di luar kendali klien

atau auditor adalah apabila penugasan audit belum disepakati hingga

setelah akhir periode keuangan klien.

Pembatasan terhadap lingkup audit, baik yang dikenakan oleh klien maupun

oleh keadaan disebabkan oleh faktor seperti waktu pelaksanaan audit, kegagalan

memperoleh bukti kompeten yang cukup atau ketidakcukupan catatan akuntansi

sehingga mengharuskan auditor memberikan pengecualian di dalam pendapatnya

atau pernyataan tidak memberikan pendapat. Hal ini sesuai dengan standar

pekerjaan lapangan ketiga dalam Standar Audit (IAPI:2011) yang menyatakan

bahwa:

“bukti audit kompeten yang cukup baru diperoleh melalui inspeksi,


pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang
memadai untuk meyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.”

Dari pernyataan standar tersebut dapat disimpulkan bahwa auditor diwajibkan

untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan kompeten sebagai dasar untuk

menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diauditnya. Cukup atau

tidaknya bukti audit menyangkut kuantitas bukti yang harus diperoleh auditor

dalam auditnya. Arens et al. (2012:70) berpendapat :

“When the auditor has not accumulated sufficient appropriate evidence


toconclude whether financial statements are stated in accordance with
GAAP, a scope restriction exists.”
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa apabila auditor tidak dapat

mengumpulkan bukti audit yang mencukupi untuk meyimpulkan apakah laporan

keuangan telah disajikan sesuai dengan GAAP/PSAK maka terjadi pembatasan

atas ruang lingkup audit.

Dari penjelasan di atas maka untuk variabel lingkup audit dalam penelitian

ini diukur dengan menggunakan indikator yaitu pembatasan oleh klien dan

pembatasan oleh situasi yang berada di luar kendali klien atau auditor.

2.1.7 Risiko Audit

Risiko adalah ketidakpastian yang dihadapi oleh organisasi dalam

mencapai tujuannya. Risiko juga bisa dipandang sebagai potensi terjadinya

kondisi-kondisi atau kejadian-kejadian yang dapat menghambat organisasi untuk

mencapai tujuannya (Pusdiklatwas BPKP, 2009:27). Auditor akan berhadapan

dengan berbagai risiko yang tidak dapat dihindarkan selama auditnya

berlangsung.

Auditor yang efektif mengakui bahwa risiko ada dan berhubungan dengan

risiko dengan cara yang tepat. Kebanyakan risiko auditor pertemuan sulit untuk

mengukur dan memerlukan pertimbangan yang cermat sebelum auditor

dapat merespons dengan tepat. Menanggapi risiko ini dengan baik adalah penting

untuk mencapai audit yang berkualitas tinggi (Tuanakotta, 2011:150).

2.1.7.1 Pengertian Risiko audit

Menurut Pusdilatwas BPKP (2005) menyatakan bahwa:

“Risiko audit adalah kondisi ketidakpastian yang dihadapi oleh auditor


yang menyebabkan audit tidak mencapai sasaran. Dengan kata lain
simpulan atau pendapat yang dikemukakan tidak sesuai dengan kondisi
yang sesungguhnya. Auditor yang melakukan audit operasional dikatakan
mengalami risiko audit jika auditor menyimpulkan bahwa kegiatan telah
dilakukan secara ekonomis, efisien dan efektif, padahal sesungguhnya
terdapat ketidakekonomisan, ketidakefisienan, serta ketidakefektifan
dalam pelaksanaan kegiatan.”

Menurut SA Seksi 312 menyatakan bahwa :

“Risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari,
tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya atas suatu laporan
keuangan yang mengandung salah saji material”.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa risiko audit merupakan

risiko yang tanpa disadari dimana auditor menyatakan pendapatnya tetapi dalam

kenyataannya hal tersebut tidak sesuai dengan semestinya sehingga berdampak

pada hasil kualitas auditnya.

Selanjutnya, menurut Tuanakotta (2011:151) menyatakan bahwa :

“Audit risk is the likelihood or probability that the auditor will conclude
that all material assertion made by management are true when, in fact, at
least one material assertion is incorrect.”
Dari definisi di atas, kita dapat melihat unsur-unsur suatu risiko audit yaitu:

1. Berapa besar kemungkinan atas probabilitasnya? Kemungkinan atau

probabilitas lazimnya dinyatakan dalam persentase. Jika diinginkan tingkat

kepastian 99%, risiko audit yang auditor bersedia menanggungnya adalah

1%, sedangkan jika 95% kepastian dipandang mencukupi, risiko audit

yang auditor bersedia untuk menanggungnya adalah 5% (Mulyadi

2002:165).
2. Auditor menyimpulkan bahwa semua asersi yang dibuat manajemen secara

material adalah benar.

3. Padahal ada asersi yang keliru secara material.

Menurut Tuanakotta (2011:153-155), risiko audit dipengaruhi oleh ketiga

unsur yakni risiko inheren (risiko melekat), risiko pengendalian dan risiko deteksi.

1. Risiko inheren atau risiko melekat adalah ukuran risiko yang terkait dengan

operasi organisasi sebelum mempertimbangkan efektivitas pengendalian. Jadi,

risiko inheren berkaitan dengan sifat kegiatan yang bersangkutan, tanpa

memperhatikan lemah atau kuatnya pengendalian intern yang diterapkan

dalam pengelolaan kegiatan tersebut serta tidak dapat dipengaruhi oleh

auditor. Risiko inheren mengukur penilaian auditor atas kemungkinan adanya

salah saji (kekeliruan atau kecurangan) yang material segmen, sebelum

memperhitungkan keefektifan pengendalian internal. Jika auditor

menyimpulkan bahwa kemungkinan besar akan ada salah saji dengan

mengabaikan pengendalian internal, maka auditor akan menyimpulkan bahwa

risiko inheren adalah tinggi.

2. Risiko pengendalian adalah ukuran taksiran auditor bahwa pengendalian yang

diterapkan auditi dalam pelaksanaan suatu kegiatan tidak mampu

mendeteksi dan mencegah terjadinya kesalahan atau kecurangan. Makin

lemah pengendalian yang diterapkan, maka makin besar nilai risiko

pengendalian. Sama halnya dengan risiko inheren, risiko pengendalian juga

tidak dapat dipengaruhi oleh auditor. Risiko pengendalian merupakan hasil

dari penerapan pengendalian intern yang telah ditetapkan oleh auditee.


3. Risiko deteksi adalah ukuran risiko bahwa hasil pengumpulan dan evaluasi

bukti-bukti audit akan gagal mendeteksi adanya kesalahan. Jadi risiko deteksi

sepenuhnya merupakan hasil dari keputusan pengujian yang dilakukan oleh

auditor. Makin besar nilai risiko deteksi makin besar kemungkinan audit tidak

dapat mendeteksi adanya kesalahan. Jadi, berbeda dengan risiko inheren dan

risiko pengendalian, risiko deteksi sepenuhnya ditentukan oleh auditor.

Dihubungkan dengan pelaksanaan pengujian bukti dalam audit yang pada

umumnya dilakukan dengan pengambilan sampel atas populasi bukti yang

diuji, risiko deteksi terdiri dari:

a. Risiko sampling yaitu risiko yang terjadi jika sampel yang diuji tidak
mewakili populasi (tidak representatif). Jadi risiko sampling berkaitan
dengan metode sampling yang digunakan oleh auditor. Untuk
mengatasi terjadinya risiko sampling, maka auditor harus merancang
metode samplingnya sedemikian rupa agar sampel mewakili populasi.
b. Risiko non sampling yaitu risiko yang terjadi tanpa ada hubungannya
dengan pelaksanaan audit secara sampling. Risiko non sampling
dipengaruhi oleh dua faktor, kompetensi auditor dan prosedur audit
yang dipilih. Auditor akan mengalami risiko deteksi atau gagal
menemukan kesalahan jika auditor yang ditugaskan melakukan
pengujian tidak kompeten, misalnya auditor tidak mengetahui
kesalahan apa yang harus ditemukan.
2.1.7.2 Penerapan Standar Auditing

Dalam praktiknya, auditor bekerja dalam situasi yang sarat dengan

ketidakpastian. Secara eksplisit ia harus membuat keputusan mengenai bagaimana

mengumpulkan bukti yang cukup yang akan memberikan reasonable assurance

bahwa tidak ada salah saji yang material dalam laporan keuangan, dan bahwa

standar akuntansi keuangan dipenuhi, tetapi dalam kenyataannya auditor harus

berhadapan dengan berbagai risiko selama auditnya berlangsung

(Tuanakotta:150, 2011).
Berdasarkan SA Seksi 312 risiko audit dapat berpengaruh terhadap

penerapan standar auditing, khususnya standar pekerjaan lapangan kedua dalam

standar auditing (IAPI:2011), yang menyebutkan bahwa:

“pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk


merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan lingkup pengujian
yang akan dilakukan.”

Dari pernyataan standar tersebut dapat dijelaskan bahwa standar auditing

tersebut mengharuskan auditor untuk memahami entitas dan lingkungannya

termasuk pengendalian internalnya untuk menilai risiko salah saji yang material

dalam laporan keuangan klien. Selain itu, risiko auditor juga dapat berpengaruh

terhadap penerapan standar auditing yaitu standar pelaporan, serta tercermin

dalam laporan auditor bentuk baku dimana dalam laporan tersebut auditor dapat

mengeluarkan pendapat wajar tanpa pengecualian berdasarkan audit yang telah

dilaksanakan sesuai dengan standar auditing yang ditetapkan.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka untuk variabel risiko audit dalam

penelitian ini diukur dengan menggunakan indikator yaitu probabilitas atau

kemungkinan tingkat risiko, tingkat materialitas laporan keuangan dan situasi

yang dihadapi auditor.

2.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan telaah pustaka serta beberapa penelitian terdahulu, maka

peneliti mengindikasikan faktor-faktor dalam menunjang kualitas audit yang baik

dilihat dari pengalaman, independensi, obyektivitas, lingkup audit dan risiko

audit. Untuk membantu dalam memahami faktor-faktor yang dapat berpengaruh


terhadap kualitas hasil audit diperlukan suatu kerangka pemikiran. Dari landasan

teori yang telah diuraikan diatas, disusun hipotesis yang merupakan alur

pemikiran dari peneliti., kemudian digambarkan dalam kerangka teoritis yang

disusun sebagai berikut:

Gambar 2.1

Model Kerangka Pemikiran

Pengalaman audit (+)

Independensi (+)
Kualitas audit(+)
Obyektifitas (+)

Lingkup audit (+)

Risiko audit (+)

2.2.1 Review Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai penggantian KAP telah dilakukan oleh peneliti-

peneliti sebelumnya yang digunakan oleh penulis sebagai rujukan, yaitu :

a. Mayangsari (2003)

Mengangkat judul penelitian “Pengaruh Keahlian Audit dan Independensi

terhadap Pendapat Audit: Sebuah Kuasieksperimen” dengan sampel

penelitian adalah auditor dan mahasiswa akuntansi semester VII yang telah

meyelesaikan mata kuliah auditing II. Hasil penelitian menyatakan bahwa


pendapat auditor yang ahli dan independen cenderung benar dibandingkan

dengan auditor yang tidak ahli dan tidak independen. Dengan kata lain

keahlian dan independensi berpengaruh signifikan terhadap ketepatan

pemberian opini auditor.

b. Suraida (2005)

Melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Etika, Kompetensi,

Pengalaman Audit dan Risiko Audit terhadap Skeptisme Profesional Auditor

dan Ketepatan Pemberian Opini Akuntan Publik”. Penelitian ini mengambil

sampel para auditor Kantor Akuntan Publik (KAP) yang berhak

menandatangani laporan akuntan dengan jumlah sebanyak 779. Untuk

keperluan pengambilan sampel, 779 auditor tersebut dikelompokkan ke dalam

KAP besar yang berafiliasi dengan KAP Internasional, KAP Nasional besar,

KAP Nasional menengah, dan KAP Nasional kecil sesuai dengan ketentuan

BPKP. Untuk mendapatkan sampel sebanyak 10 responden, maka kuisioner

yang dikirim berjumlah 154 kuisioner dengan metode penentuan sampel yaitu

deskriptif verifikatif (causal). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa etika,

kompetensi, pengalaman audit, risiko audit dan skeptisme profesional

berpengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini akuntan pubik

secara parsial maupun secara simultan.

c. Sukriah (2009)

Melakukan penelitian tentang pengaruh pengalaman kerja, ondependensi,

obyektivitas, integritas, dan kompetensi terhadap kualitas hasil pemeriksaan

dengan populasi seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja pada
Inspektorat sepulau Lombok, dengan tekhnik penentuan sampel yaitu

purposive sampling. Variabel independen yang digunakan adalah pengalaman

kerja, independensi, obyektivitas, integritas, dan kompetensi sedangkan

variabel dependen adalah kualitas hasil pemeriksaan. Dari hasil penelitian ini

ditemukan bahwa pengalaman kerja, obyektivitas, dan kompetensi

berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas hasil pemeriksaan.

d. Asih (2006)

Melakukan penelitian tentang pengaruh pengalaman terhadap peningkatan

kualitas auditor dalam bidang auditing. Responden penelitian ini adalah para

auditor yang bekerja di KAP Jawa Barat dengan 12 Kantor Akuntan Publik

(KAP). Variabel independen yang digunakan adalah pengalaman auditor dari

lamanya bekerja, pengalaman auditor dari banyaknya tugas pemeriksaan, dan

pengalaman auditor dari banyak jenis perusahaan yang diaudit, sedangkan

variabel dependen adalah keahlian. Dari hasil pemeriksaan ditemukan bukti

empiris bahwa ketiga variabel independen tersebut berpengaruh secara

signifikan terhadap keahlian auditor dalam bidang auditing.

e. Dodik Ariyanto dan Suhartini (2009)

Melakukan penelitian tentang pengaruh pemeriksaan interim, lingkup audit,

dan independensi terhadap pertimbangan opini auditor. Responden penelitian

ini adalah auditor pada BPK RI Perwakilan Provinsi Bali dengan populasi

sebanyak 58 auditor. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah

metode purposive sampling dengan kriteria auditor telah bersertifikasi Diklat

Auditor Ahli atau Terampil dan sudah pernah melaksanakan tugas


pemeriksaan.Berdasarkan kriteria tersebut maka jumlah sampel penelitian

adalah sebanyak 44 auditor. Variabel independen yang digunakan adalah

pemeriksaan interim, lingkup audit, dan independensi, sedangkan variabel

dependen yang digunakan adalah pertimbangan pemberian opini auditor. Dari

hasil penelitian ditemukan bahwa semua variabel independen, yaitu variabel

pemeriksaan interim, lingkup audit dan independensi baik secara simultan

maupun parsial berpengaruh terhadap pertimbangan pemberian opini auditor

pada BPK RI Perwakilan Provinsi Bali.

f. Christiawan (2002)

Melakukan penelitian tentang kompetensi dan independensi akuntan publik:

refleksi hasil penelitian dilakukan terhadap 39 auditor di Kantor Akuntan

Publik yang berada di daerah Jawa dan memiliki profesi partner, supervisor,

Ast. Auditor. Variabel independen yang digunakan adalah kompetensi dan

independensi sedangkan dependen adalah kualitas audit. Dari hasil audit

penelitian dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut yaitu kompetensi

dan independensi berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

No Nama Judul Penelitian Variabel Alat/Uji Hasil


Peneliti Sampel Penelitian
1. Mayangsari Pengaruh Variabel - ANOVA Keahliandan
(2003) Keahlian Audit independen: - Simple independensi
dan Independensi keahlian Factory berpengaruh
terhadap Pendapat audit dan Analysis of signifikan
Audit: Sebuah independensi Variance terhadap
Kuasieksperimen - Bonferroni ketepatan
Variabel pemberian
dependen: opini auditor
ketepatan
pemberian
opini auditor
2. Sukriah Pengaruh Variabel Regresi Pengalaman
(2009) Pengalaman independen: linear kerja,
kerja, pengalaman berganda obyektivitas,
Independensi, kerja, dan
Obyektivitas, independensi, kompetensi
Integritas, dan obyektivitas, berpengaruh
Kompetensi integritas, positif
terhadap Kualitas dan terhadap
Hasil kompetensi kualitas hasil
Pemeriksaan pemeriksaan
Variabel sedangkan
dependen: untuk
kualitas hasil independensi
pemeriksaan tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
kualitas hasil
pemeriksaan
3. Suraida Pengaruh Etika, Variabel Structural Etika,
(2005) Kompetensi, independen: Equation kompetensi,
Pengalaman Etika, Modelling pengalaman
Audit dan Risiko kompetensi, (SEM) dan audit dan
Audit terhadap pengalaman paket risiko audit
Skeptisme audit dan program berpengaruh
Profesional risiko Audit LISREL signifikan
Auditor dan Variabel terhadap
Ketepatan dependen: skeptisme
Pemberian Opini skeptisme profesional
Akuntan Publik profesional auditor dan
auditor dan ketepatan
ketepatan pemberian
pemberian opini akuntan
opini akuntan publik
publik
4. Asih (2006) Pengaruh Variabel Regresi Ketiga
Pengalaman independen: linear variabel
terhadap pengalaman berganda independen
Peningkatan auditor dari tersebut
Kualitas Auditor lamanya memiliki
Dalam Bidang bekerja, pengaruh
Auditing pengalaman signifikan
auditor dari terhadap
banyaknya peningkatan
tugas kualitas
pemeriksaan, auditor dalam
dan bidang
pengalaman auditing
auditor dari
banyaknya
jenis
perusahaan
yang diaudit

Variabel
dependen:
peningkatan
kualitas
auditor dalam
bidang
auditing
5. Dodik Pengaruh Variabel Regresi Pemeriksaan
Pemeriksaan independen: linear interim,
Ariyanto Interim, Lingkup pemeriksaan berganda lingkup audit
Audit, Dan interim, dan
(2009) Independensi lingkup audit, independensi
terhadap dan baik secara
Pertimbangan independensi simultan
Opini Auditor Variabel maupun
dependen: parsial
pertimbangan berpengaruh
opini auditor terhadap
pertimbangan
pemberian
opini auditor
6. Christiawan Kompetensi Dan Variabel Regresi kompetensi
Independensi independen: linear dan
(2002) Akuntan Publik: kompetensi berganda independensi
Refleksi Hasil dan akuntan
Penelitian independensi publik
Empiris akuntan
publik berpengaruh
terhadap
Variabel kauitas audit
dependen:

kualitas audit
2.3 Pengembangan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh Pengalaman Audit terhadap Kualitas Audit

Sesuai dengan standar umum dalam Standar Profesional Akuntan Publik

bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman audit yang cukup dalam profesi

yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan

berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti kliennya (Sunarto, 2003:41).

Standar umum pertama (IAPI:2011) mengakui bahwa meskipun

seseorang mempunyai kemampuan dalam bidang lain, namun dia harus dilatih

dengan benar dan mempunyai keahlian dalam bidang audit. Seseorang yang

terlatih dalam bidang bisnis dan keuangan tidak selalu berarti terlatih sebagai

seorang auditor. Akibatnya, auditor diharapkan mempunyai tingkat pemahaman

yang tinggi mengenai permasalahan akuntansi maupun audit. Standar ini

menempatkan tanggung jawab pada auditor untuk memenuhi persyaratan

pelatihan serta keahlian melalui pendidikan dan pengalaman khusus dalam bidang

audit (Winters et al). Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang

diajukan adalah:

H1: Pengalaman audit berpengaruh positif terhadap kualitas audit

2.3.2 Pengaruh Independensi terhadap Kualitas Audit

Standar Profesional Akuntan Publik (IAI, 2001) menekankan betapa

esensialnya kepentingan publik yang harus dilindungi sifat independensi dan

kejujuran seorang auditor dalam berprofesi.

Menurut Mulyadi (2002:28) menyatakan bahwa dalam melaksanakan

tanggung jawab profesionalnya, auditor mungkin menghadapi tekanan dan atau

konflik dari objek yang diperiksa, berbagai tingkat jabatan, dan pihak lainnya
yang dapat mempengaruhi independensi auditor. Dalam menghadapi tekanan atau

konflik tersebut, auditor harus profesional berdasarkan fakta dan tidak berpihak.

Auditor harus bersikap jujur dan terbuka kepada entitas yang diperiksa dan para

pengguna laporan hasil pemeriksaan. Oleh sebab itu, independensi diperlukan

agar auditor dapat mengemukakan pendapat, simpulan, pertimbangan atau

rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak kepada

pihak mana pun. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis yang diajukan

adalah:

H2: Independensi auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit

2.3.3 Pengaruh Obyektivitas terhadap Kualitas Audit

Obyektivitas sebagai bebasnya seseorang dari pengaruh pandangan

subyektif pihak-pihak lain yang berkepentingan. Standar umum dalam Standar

Audit APIP menyatakan bahwa dengan prinsip obyektivitas agar auditor

melaksanakan audit dengan jujur dan tidak mengkompromikan kualitas. Dengan

kata lain, semakin tinggi tingkat obyektivitas auditor maka semakin baik kualitas

hasil pemeriksaannya. Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang

diajukan adalah:

H3: obyektivitas berpengaruh positif terhadap kualitas audit.

2.3.4 Pengaruh Lingkup Audit terhadap Kualitas audit

Laporan merupakan hal yang sangat penting dalam penugasan audit karena

mengkomunikasikan temuan-temuan auditor (Sunarto, 2003:47). Para pemakai

laporan keuangan mengandalkan laporan auditor untuk memberikan kepastian


atas laporan keuangan perusahaan. Laporan audit adalah tahap akhir dari

keseluruhan proses audit (Sunarto, 2003:47). Auditor dapat memberikan

pendapat wajar, dengan pengecualian, pendapat tidak wajar dan menolak

memberikan pendapat apabila terdapat pembatasan lingkup audit. Adanya

pembatasan lingkup audit mengharuskan auditor memberikan pengecualian di

dalam pendapatnya atau pernyataan tidak memberikan pendapat. Dengan adanya

lingkup audit maka dapat mempengaruhi kualitas hasil laoran audit yang

dinyatakan dalam bentuk opini auditor. Berdasarkan penjelasan diatas, maka

hipotesis yang diajukan adalah:

H4: Lingkup audit berpengaruh positif terhadap kualitas audit

2.3.5 Pengaruh Risiko audit Terhadap Kualitas Audit

Risiko dalam auditing berarti bahwa auditor menerima suatu tingkat

ketidakpastian tertentu dalam pelaksanaan audit (Mulyadi, 2002:165). Auditor

menyadari bahwa ada ketidakpastian mengenai kompetensi bahan bukti,

efektivitas struktur pengendalian intern klien dan ketidakpastian apakah laporan

keuangan memang telah disajikan secara wajar setelah audit selesai. Auditor yang

efektif akan mengakui bahwa memang ada risiko dan akan menangani risiko

tersebut dengan cara yang tepat. Sebagian besar risiko yang dihadapi auditor sulit

diukur serta membutuhkan pertimbangan yang cermat sebelum auditor dapat

merespons dengan cepat. Merespons risiko-risko ini dengan baik sangat

menentukan dalam mencapai kualitas audit yang tinggi (Tuanakotta, 2011:150).

Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

H5: Risiko audit berpengaruh positif terhadap kualitas audit

Anda mungkin juga menyukai