Anda di halaman 1dari 10

I.

DEFINISI
Hiperbilirubinemia adalah suatu istilah yang mengacu terhadap kelainan
akumulasi bilirubin dalam darah. Karakteristik dari hiperbilirubinemia adalah jaundice
dan ikterus (Wong, 2008).
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemu-
kan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat
dalam minggu pertama kehidupan disebab- kan oleh keadaan ini. Bayi dengan hiper-
bilirubinemia tampak kuning akibat aku- mulasi pigmen bilirubin yang berwarna
kuning pada sklera dan kulit (Stevry Mathindas, Rocky Wilar 2013).
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin dalam
jaringan ekstravaskuler sehingga konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna
kuning. Keadaan tersebut yang berpotensi menyebabkan kern ikterus yang
merupakan kerusakaan otak akibat perlengketan bilirubin indirek di otak (Hidayat,
2005).
Tabel. Derajat ikterus pada neonatus menurut kramer

Derajat Perkiraan
ikterus Daerah ikterus kadar
bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg%
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg%
III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai 11,4 mg/dl
atas (di atas lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dl
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dl

 Klasifikasi
A. Ikterus Fisiologik
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang
membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Timbul pada hari kedua - ketiga.
2. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
4. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
5. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
6. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan
dengan keadaan patologis tertentu.
B. Ikterus Patologik
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi
bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan,
dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15
mg%. Karakteristik Hiperbilirubinemia sebagai berikut Menurut (Surasmi,
2003) :
1. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
3. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan
12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4. Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD dan sepsis).
5. Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia,
hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
C. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada
otak terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus,
hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada
neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan
disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin
pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang
terjadi secara kronik.

II. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan
sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi,
diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan
kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan
berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab
bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit
janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y
terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii
transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis
neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan
otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang
memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau
ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus
sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi
terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia
dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel
Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat
menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan
bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada
Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat
ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar
Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan
neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia.
(Sumber: IDAI, 2011)
 Etiologi
Menurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu :
1. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan
darah ibu dan anak pada golongan rhesus dan ABO.
2. Gangguan konjugasi bilirubin.
3. Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar.
4. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
5. Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol).
6. Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI.
Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah.
Disebut juga icterus hemolitik.
7. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan , misalnya
hiperbilirubin atau karena pengaruh obat-obatan.
8. Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma atau
infeksi.
9. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi
toxoplasma, shypilis.

 Gejala dan Tanda


Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin menurut Perry &
Potter (2005) adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada
hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh
yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak
kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak
berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus
yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot.
 Masalah Keperawatan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
i. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari 14 mg/dl
dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang tidak
fisiologis.
ii. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
iii. Protein serum total.
b. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
c. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan atresia
billiari.

IV. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan medis menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) adalah:
a. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian
ASI).
b. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa
furokolin.
c. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
d. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan
billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak
begitu sering digunakan.
e. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
f. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan berfungsi
untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada
billirubin dari billiverdin.
g. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi.

V. ASUHAN KEPERAWATAN
 Pengkajian Fokus
 Identitas
Berisi biodata bayi dan ibu, diantaranya nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat.
 Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Sekarang
Bayi dengan kesadaran apatis, daya isap lemah atau bayi tak mau minum, hipotonia
letargi, tangis yang melengking, dan mungkin terjadi kelumpuhan otot ekstravaskular.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Ibu dengan diabetes melitus, mengkonsumsi obat-obatan tertentu, misalnya salisilat,
sulfonamidoral, pada rubella, sitomegalovirus pada proses persalinan dengan ekstraksi
vakum, induksi, oksitoksin, dan perlambatan pengikatan tali pusat atau trauma
kelahiran yang lain.
c) Riwayat kesehatan keluarga
d) Penyakit ini terjadi bisa dengan ibu dengan riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan
atau sibling sebelumnya, penyakit hepar, fibrosiskistik, kesalahan metabolisme saat
lahir (galaktosemia), diskrasiasi darah atau sfeosititas, dan definisi glukosa-6 fosfat
dehidrogenase (G-6P).
 Pemeriksaan Fisik
i. Kesadaran : apatis sampai koma
ii. Keadaan umum : lesu, letargi, koma
iii. Tanda – tanda vital :
1. Pernapasan : 30-50 kali per menit.
2. Nadi : 90-170 kali per menit.
3. Suhu : 36,1-37,7’C
iv. Pemeriksaan Head to Toe
1. Daerah kepala dan leher
Kulit kepala ada atau tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti : vakum atau
terdapat kaput, sklera ikterik, muka kuning, leher kaku.
2. Pernapasan
Riwayat asfiksia, mukus, bercak merah (edema pleural, hemoragi pulmonal).
3. Abdomen
Pada saat palpasi menunjukkan pembesaran limpa dan hepar, turgor buruk, bising usus
hipoaktif.
4. Genitalia
Ada/tidak terdapat kelainan.
5. Eliminasi
Buang air besar (BAB): proses eliminasi mungkin lambat, feses lunak cokelat atau
kehijauan, selama pengeluaran bilirubin. Buang air kecil (BAK): urin berwarna gelap
pekat, hitam kecokelatan (sindrom bayi Gronze).
6. Ekstremitas
Tonus otot meningkat, dapat terjadi spasme otot dan epistotonus.
7. Sistem integumen
Terlihat joundice di seluruh permukaan kulit

e) Diagnosa yang Mungkin Muncul


1. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek
fototerapi.
2. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan efek fototerapi
3. Kecemasan orang tua meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada
bayi.
4. Risiko injury internal berhubungan denga kernikterus

f) Rencana Keperawatan
1. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek
fototerapi.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :
- Tidak terjadi decubitus
- Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b. Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
c. Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah tersebut ).
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
( R : mencegah lecet )
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi 7,5
mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
2. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan efek fototerapi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien membaik dengan
kriteria hasil:
1. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
2. Turgor baik
3. Tidak terjadi penurunan kesadaran
Intervensi:
a. Kaji Output
(R: Output yang berlebihan atau tidak seimbang dengan intake akan menyebabkan
gangguan keseimbangan cairan)
b. Pertahankan intake cairan
(R: Agar intake yang masuk tetap seimbang dengan intake yang keluar)
c. Jelaskan kepada keluarga tentang penting keseimbangan cairan
(R: Agar keluarga paham tentang kondisi pasien)
d. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian cairan
(R: agar tidak terjadi dehidrasi)
3. Kecemasan orang tua meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada
bayi.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua
menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam
perawatan.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda vital
( R : untuk melakukan tindakan lebih dini )
b. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
c. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya
( R: Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
d. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam merawat bayi)
4. Risiko injury internal berhubungan dengan kernikterus
Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien membaik dengan
kriteria: Klien tidak menunjukan gejala sisa neurologis dan berlanjutnya komplikasi
phototerapi
Intervensi:
e. Kaji BBL terhadap adanya hiperbilirubinemia setia 2-4 jam lima hari pertama
kehidupan
(R: BBL sangat rentan terhadap hyperbilirubinemia)
f. Berikan phototerapi
(R: phototerapi berfungsi mendekomposisikan bilirubin dengan photoisomernya.
Selama phototerapi perlu diperhatikan adanya komplikasi seperti: hipertermi,
Konjungtivitis, dehidrasi)
g. Kolaborasi pemberian transfusi tukar
(R: Transfusi tukar dilakukan bila terjadi hiperbilirubinemia pathologis karena
terjadinya proses hemoliitik berlebihan yang disebabkan oleh ABO antagonis)
DAFTAR RUJUKAN

Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba


medika.
Stevry Mathindas, Rocky Wilar, Audrey Wahani. 2013. “Hiperbilirubinemia Pada
Neonatus Ikterus Klinis.” Jurnal Biomedik 5(2): S4-10.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/2599/2142.
Donna L. Wong. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pedriatik. Cetakan pertama. Jakarta :
EGC.
Haws, Paulette S. 2007. Asuhan Neonatus : Rujukan Cepat. Jakarta : EGC
Perry & Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Edisi 4, Volume 2,
Jakarta: EGC.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2011). Kumpulan Tips Pediatrik. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Anda mungkin juga menyukai