Kasus
Kasus
Alasan mengapa kasus hambalang dijadikan contoh kasus penyimpangan negara konstitusi di
indonesia karena Andi Alifian Mallarangeng sebagai tersangka dan beliau sebagai menteri pemuda
dan olahraga melakukan pelanggaran hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan
penyalahgunaan kewenangan yang meyebabkan kerugian negara.
Berbicara pasal 33 UUD 1945 dan melihat realita kekinian, membuat jiwa
kita geram, realitanya Kemakmuran Rakyat semakin menjauh dari
jangkauan. Kemakmuran hanya dimiliki oleh para pemilik modal, kaum
elitis, kaum borjuasi dan penguasa politik dan militer. Seringkali mereka
mengatakan, kami juga bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki hak yang
sama dijamin konstitusi. Benarkah demikian. Siapa rakyat itu, apakah
sekelompok elit 5% penduduk Indonesia yang menguasi kueh pembangunan
80%; dimana 95% penduduk Indonesia memperebutkan 20% kueh
pembangunan. Inikah yang di cita-citakan oleh para pejuang kemerdekaan?
Tulisan Prof Sri Edi Swasono tentang siapa rakyat menarik untuk kita simak
:“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik,
rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common
people”, rakyat adalah “orang banyak”.Pengertian rakyat berkaitan dengan
“kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-
seorang”.Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif
atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public
wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah
lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public
needs” (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian
bahwa “social preference” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan
dari “individual preferences”.Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-
hal yang bersifat “publik” itu. Mereka yang tidak mampu mengerti “paham
kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood, bukan
kinship) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan
makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan
adagium “vox populi vox Dei”, di mana rakyat lebih dekat dengan arti
“masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta.
Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Jadi, saat 5% penduduk menguasai kekayaan 80% ekonomi negara,
diantaranya dengan menguasai kekayaan alam yang ada dalam bumi, air dan
udara; patut kita duga, telah terjadi penghianatan kolektif terhadap amanat
Konstitusi pasal 33 UUD 1945. Kenapa dikatakan kolektif, karena pemilik
modal dengan kekuatan kapitalnya telah berkolaborasi dengan penguasa
politik dan para intelektual pragmatis, merancang legitimasi hukum, mulai
dari UU sampai dengan peraturan teknis di tingkat Kabupaten Kota ditempat
objek kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak berada.
Undang-undang yang menjadi bahan perdebatan dan sekaligus perjuangan
banyak pihak yang peduli terhadap tegaknya pasal 33 UUD 1945, yaitu UU
No.7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No.20/2002 tentang
Ketenagalistrikan, dan UU Nomor 4.Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Ketiga UU ini membawa semangat privatisasi yang
melibatkan swasta sebagai pemilik dan pengelola kekayaan alam tersebut.
Korban dari adanya privatisasi tersebut adalah penguasaan sumber daya air di
Jakarta oleh 2(dua) perusahaan asing Lyonnaise dan Thames yang dilakukan
sejak tahun 1998 sebelum penguasa orde baru jatuh. Semenjak berlakunya
kontrak dengan dua perusahaan asing tersebut, pemerintah Provinsi DKI
Jakarta jadi memiliki hutang sebesar Rp.900 Milyar yang harus dibayar
dengan APBD DKI Jakarta setiap tahunnya. Hutang ini terjadi karena
pemerintah provinsi DKI Jakarta melanggar pasal kontrak yang berbunyi :
apabila pemerintah provinsi DKI Jakarta tidak mensetujui kenaikan harga
tariff air, maka kedua operator asing akan membebankan selisih Water
Charge (imbalan air) dan Tariff Air kepada Pemerintah DKI sebagai
utang.Selain itu, terdapat kasus privatisasi kebablasan yang Di seluruh dunia
hanya terjadi di DKI Jakarta, dimana masyarakat harus membayar tiket untuk
menikmati keindahan alam lautan, yaitu di Ancol.