Anda di halaman 1dari 5

JAKARTA, suaramerdeka.

com – Kasus Mesuji, di Provinsi Lampung,


menyentak nurani. Rakyat, yang sehari-hari bekerja sebagai petani atau
petani penggarap, harus menghadapi kekerasan senjata hanya karena
mereka hendak mempertahankan lahan garapannya.
Politikus PDI Perjuangan Aria Bima mengatakan, aparat negara,
sebagai satu-satunya lembaga yang sah memonopoli penggunaan
kekerasan dalam alam demokrasi, diduga kuat ikut terlibat dalam
pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Fakta yang muncul dari kasus Mesuji, yang diduga mengakibatkan
jatuhnya sekitar 30 korban tewas dari kalangan petani setempat,
membuka mata kita bahwa pemerintah telah mengabaikan perlindungan
kepada kaum tani..
Padahal, lanjut legislator dari Dapil Jateng itu, merujuk Pembukaan UUD
1945, salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia
ialah untuk memberikan perlindungan kepada segenap tumpah darah
dan warga negara Indonesia. “Absennya perlindungan pemerintah
dalam kasus Mesuji ini bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap
konstitusi oleh pemerintah,”ujarnya.
Kekerasan tersebut, menurut Aria Bima, lazimnya terkait dengan konflik
perebutan lahan antara petani dan pengusaha atau instansi pemerintah.
Petani, apalagi petani penggarap, sebenarnya tidak bermaksud memiliki
lahan/tanah yang ada, tetapi hanya ingin mengolah tanah untuk
menyambung hidup.
Maka, lanjutnya, di sini demokrasi politik harus diimbangi implementasi
demokrasi ekonomi, yang menjunjung tinggi hak-hak ekonomi tiap
warga negara untuk mencari penghidupan yang layak di wilayah NKRI.
Pemerintah dalam hal ini harus melindungi hak-hak ekonomi petani,
yang merupakan profesi mayoritas warga miskin negeri ini.
Kasus Hambalang, Pejabat Kempora Diperiksa KPK

Jakarta - Kepala Bidang Manajemen Industri Olahraga Kementerian Pemuda dan


Olahraga(Kempora) Dedi Rosadi diperiksa KPK terkait kasus dugaan korupsi pengadaan proyek
pembangunan pusat pelatihan pendidikan dan sekolah olahraga nasional, Bukit Hambalang, Jawa
Barat.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, Dedi diperiksa
sebagai saksi untuk tiga orang tersangka, yaitu Deddy Kusdinar, Andi Alifian Mallarangeng dan
Teuku Bagus M Noor.
"Hari ini kami jadwalkan pemeriksaan terhadap Kepala Bidang Manajemen Industri Olahraga
Kementerian Pemuda dan Olahraga Dedi Rosadi sebagai saksi untuk tiga tersangka," kata Priharsa
di kantor KPK, Rabu (24/4).
KPK sudah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus Hambalang. Mereka adalah
Andi Alifian Mallarangeng, Deddy Kusdinar, Anas Urbaningrum dan Teuku Bagus.
Andi ditetapkan menjadi tersangka pada Desember tahun lalu. Andi berstatus tersangka dalam
kapasitasnya sebagai menteri pemuda dan olahraga dan pengguna anggaran proyek Hambalang.
Ia disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) 30/1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 3 mengatur soal penyalahgunaan kewenangan yang meyebabkan kerugian negara. Sementara
Pasal 2 Ayat (1) melakukan pelanggaran hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kempora), Deddy
Kusdinar sebagai tersangka kasus pengadaan pembangunan sarana dan prasarana Pusat Pelatihan
dan Olahraga Bukit Hambalang, Jawa Barat.
Deddy ditetapkan tersangka terkait jabatannya dulu sebagai kepala biro perencanaan Kempora.
Deddy diduga telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK).
Kepada Deddy, KPK menyangkakan pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang No.31/1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP.
Sementara eks Direktur Operasi sekaligus Kepala Divisi Konstruksi 1 non aktif PT Adhi Karya, Teuku
Bagus Mokhamad Noor sebagai tersangka karena melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3
Undang-Undang No.31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP.
KPK menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka kaspenerimaan hadiah atau janji terkait
proses perencanaan pelaksnaan pembangunan sport center hambalang dan atau proyek-proyek
lainnya.
Anas ditetapkan menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR 2009-2014.
KPK menyangkakan Anas melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau pasal 11 Undang-
Undang No.31/1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK mulai menyelidiki kasus Hambalang sejak Agustus 2011. Setidaknya ada dua peristiwa yang
terindikasi korupsi dalam proyek Hambalang yangg ditaksir KPK mencapai Rp 2,5 triliun.
Pertama, pada proses penerbitan sertifikat tanah Hambalang di Jawa Barat. Kedua, pengadaan
proyek Hambalang yang dilakukan secara multi years.
Pengadaan proyek Hambalang ditangani Kerjasama Operasi (KSO) PT Adhi Karya dan PT Wijaya
Karya.

Alasan mengapa kasus hambalang dijadikan contoh kasus penyimpangan negara konstitusi di
indonesia karena Andi Alifian Mallarangeng sebagai tersangka dan beliau sebagai menteri pemuda
dan olahraga melakukan pelanggaran hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan
penyalahgunaan kewenangan yang meyebabkan kerugian negara.
Berbicara pasal 33 UUD 1945 dan melihat realita kekinian, membuat jiwa
kita geram, realitanya Kemakmuran Rakyat semakin menjauh dari
jangkauan. Kemakmuran hanya dimiliki oleh para pemilik modal, kaum
elitis, kaum borjuasi dan penguasa politik dan militer. Seringkali mereka
mengatakan, kami juga bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki hak yang
sama dijamin konstitusi. Benarkah demikian. Siapa rakyat itu, apakah
sekelompok elit 5% penduduk Indonesia yang menguasi kueh pembangunan
80%; dimana 95% penduduk Indonesia memperebutkan 20% kueh
pembangunan. Inikah yang di cita-citakan oleh para pejuang kemerdekaan?
Tulisan Prof Sri Edi Swasono tentang siapa rakyat menarik untuk kita simak
:“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik,
rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common
people”, rakyat adalah “orang banyak”.Pengertian rakyat berkaitan dengan
“kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-
seorang”.Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif
atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public
wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah
lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public
needs” (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian
bahwa “social preference” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan
dari “individual preferences”.Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-
hal yang bersifat “publik” itu. Mereka yang tidak mampu mengerti “paham
kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood, bukan
kinship) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan
makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan
adagium “vox populi vox Dei”, di mana rakyat lebih dekat dengan arti
“masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta.
Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Jadi, saat 5% penduduk menguasai kekayaan 80% ekonomi negara,
diantaranya dengan menguasai kekayaan alam yang ada dalam bumi, air dan
udara; patut kita duga, telah terjadi penghianatan kolektif terhadap amanat
Konstitusi pasal 33 UUD 1945. Kenapa dikatakan kolektif, karena pemilik
modal dengan kekuatan kapitalnya telah berkolaborasi dengan penguasa
politik dan para intelektual pragmatis, merancang legitimasi hukum, mulai
dari UU sampai dengan peraturan teknis di tingkat Kabupaten Kota ditempat
objek kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak berada.
Undang-undang yang menjadi bahan perdebatan dan sekaligus perjuangan
banyak pihak yang peduli terhadap tegaknya pasal 33 UUD 1945, yaitu UU
No.7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No.20/2002 tentang
Ketenagalistrikan, dan UU Nomor 4.Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Ketiga UU ini membawa semangat privatisasi yang
melibatkan swasta sebagai pemilik dan pengelola kekayaan alam tersebut.
Korban dari adanya privatisasi tersebut adalah penguasaan sumber daya air di
Jakarta oleh 2(dua) perusahaan asing Lyonnaise dan Thames yang dilakukan
sejak tahun 1998 sebelum penguasa orde baru jatuh. Semenjak berlakunya
kontrak dengan dua perusahaan asing tersebut, pemerintah Provinsi DKI
Jakarta jadi memiliki hutang sebesar Rp.900 Milyar yang harus dibayar
dengan APBD DKI Jakarta setiap tahunnya. Hutang ini terjadi karena
pemerintah provinsi DKI Jakarta melanggar pasal kontrak yang berbunyi :
apabila pemerintah provinsi DKI Jakarta tidak mensetujui kenaikan harga
tariff air, maka kedua operator asing akan membebankan selisih Water
Charge (imbalan air) dan Tariff Air kepada Pemerintah DKI sebagai
utang.Selain itu, terdapat kasus privatisasi kebablasan yang Di seluruh dunia
hanya terjadi di DKI Jakarta, dimana masyarakat harus membayar tiket untuk
menikmati keindahan alam lautan, yaitu di Ancol.

Penyimpangan pasal 33 UUD 1945 ini harus segera dihentikan, pemerintah


wajib dingatkan, agar kembali kepada ruh pasal 33 UUD 1945, sepertikita
baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 “… Perekonomian berdasar atas
demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang
banyak harus dikuasai oleh negara.Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke
tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya
…”.Dalam penjelasan ini, para bapak bangsa sudah memprediksi bahwa
orang-orang yang berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan untuk
melanggar UUD 1945, akan habis-habisan ber-KKN karena melalaikan asas
kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi terhadap
rakyat karena tidak hidupnya asas kekeluargaan atau brotherhood &
sisterhooddi antara kita? Dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan,
keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya. Saatnya kita bersama-sama
bahu membahu bergandengan tangan mengembalikan amanat konstitusi
pasal 33 UUD 1945 : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas azas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara
dan yang menguasaihajat hidup orang banyak dikuasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Cukup sudah hak-hak rakyat dikebiri, waktunya “vox populi vox Dei”
menjadi nyata.

Anda mungkin juga menyukai