Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

LIBERALISME UTHOPIAN

Kelompok Scandal
1. Andini Maharani Putri
2. Jasmine Sabrina Nur Aisyah Syukri
3. Lara Meita
4. Nurul Khansa Azizah
5. Peppy Liana Putri
6. Syamira Zatika Uliska
7. Syifa Nurul Amira

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala karunia nikmatnya sehingga
makalah yang berjudul “Liberalisme Uthopian” ini dapat diselesaikan dengan maksimal,
tanpa ada halangan yang berarti. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Hubungan Internasional.

Pembuatan makalah tentang Liberalisme Uthopian bertujuan untuk menjelaskan definisi,


sejarah, tokoh pemikir, serta perkembangan dari Liberalisme Uthopian tersebut.

Makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya tidak lepas dari bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Untuk itu kami ucapkan
terima kasih.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini, baik dari
segi EYD, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Oleh karenanya penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian untuk kami jadikan
sebagai bahan evaluasi.

Demikian, semoga makalah ini dapat diterima sebagai ide/gagasan yang menambah kekayaan
intelektual bangsa.

Jakarta, 8 Oktober 2018

Penulis
PERSPEKTIF LIBERALISME

Berbicara mengenai perspektif Liberalisme memang tidak pernah lepas dari rival abadinya,
yaitu perspektif Realisme (Dugis, 2013). Perspektif ini pula mencoba untuk menjelaskan
essensi dari studi Hubungan Internasional yang berdasarkan sebuah optimisme. Berdasarkan
Robert Jackson dan Georg Sorensen (2005: 140), tradisi Liberalisme dalam studi Hubungan
Internasional sendiri muncul pada sekitar abad ketujuhbelas, dipelopori oleh John Locke di
Amerika Serikat yang mana baru saja merdeka dari jajahan Britania Raya. Dengan
mempertimbangkan perkembangan civil society serta kebebasan individu yang mulai
berkembang bersamaan dengan kapitalisme modern (Jackson&Sorensen, 2009). Revolusi
Industri turut berperan pula dengan perkembangan Liberalisme itu sendiri. Manusia semakin
menyadari bahwa ia memiliki banyak kepentingan dengan sumber-sumber terbatas, dan
membutuhkan bantuan manusia yang lain untuk mencapai kepentingan yang dia inginkan.
Perspektif Liberalisme menjadi seperti halnya konsolidasi kepentingan setiap aktor yang
berkepentingan didalamnya.
Dengan kepentingan yang berbeda-beda, dan dengan kepemilikan sumber-sumber yang
berbeda pula mendorong setiap negara untuk melakukan sebuah kerjasama yang saling
menguntungkan satu-sama lain. Oleh karena itu para penganut perspektif Liberalisme ini
tidaklah menyiapkan diri untuk berperang, akan tetapi lebih menyiapkan strategi untk
bagaimana bekerjasama dan berkompetisi dengan cara-cara yang lebih ‘beradab’. Menurut
Rober Jackson dan R. Sorensen (2009: 139) ada 3 asumsi dasar kaum Liberalis dalam
memahami Hubungan Internasional, diantaranya:
1. pandangan positif dan optimisme terhadap manusia
2. keyakinan bahwa Hubungan Interansional lebih bersifat kooperatif daripada konfliktual
3. kepercayaan yang tinggi terhadap kemajuan. Menurut John Locke (Jackson&Sorensen,
2009: 142)
Kemajuan bagi kaum Liberal adalah kemajuan bagi para individu untuk meraih kebebasan
serta kebahagiaan, dalam menjalani kehidupan tanpa intervensi dari Negara. Negara hanya
berperan mengamankan dan menjamin kepentingan setiap individu yang hidup didalamnya.
Perspektif Liberalisme menjadi dominan setelah pecahnya perang dunia pertama, dimana
muncul suatu rasa trauma serta kesedihan yang mendalam yang diakibatkan oleh peperangan.
baik berupa harta , maupun nyawa. Perang merupakan sesuatu yang teramat sangat
mengerikan bagi umat manusia, dan khususnya bagi tentara-tentara muda yang dikenakan
wajib militer dan terbantai berjuta-juta, terutama dalam peperangan parit di garis depan pihak
Barat (Gillbert 1995: 258 dalam Jackson&Sorensen, 2009: 46). Liberalisme awal ini disebut
dengan Liberalisme ‘Uthopian’. Utopia merupakan sebuah istilah yang berarti sesuatu yang
khayal, angan-angan, sebuah keberharapan.
1. Definisi

Uthopia merupakan sebuah istilah yang berarti sesuatu yang khayal, angan-angan, sebuah
keberharapan. Sedangkan liberalis merupakan salah satu teori dalam hubungan internasional.
Pemikiran liberalisme muncul setelah berakhirnya Perang Dunia I, yaitu akibat dari adanya
sebuah keinginan para ilmuwan dan politisi untuk memahami sebab-sebab terjadinya perang
dan untuk mewujudkan dunia yang lebih damai.
Liberalisme uthopian 1920 fokus pada teori liberal yang ada pasca PD II, yang terbagi
menjadi empat aliran utama, yaitu liberalisme sosiologis, interdependensi, konstitusional,
dan republikan. Dalam liberalisme sosiologis, kaum liberal mempunyai pemikiran terhadap
‘pluralisme’ suatu negara, dimana aktor dalam sebuah negara bukan hanya pemerintah, tetapi
juga ada aktor-aktor lain, yaitu masyarakat, kelompok-kelompok, dan organisasi-organisasi
yang juga menjalankan hubungan dengan negara lain (transnasional). Hubungan antar-rakyat
itu dianggap lebih kooperatif dan lebih mendukung terciptanya perdamaian, bahkan kebih
dari sekedar ketiadaan perang, yaitu komunitas keamanan (integrasi).
John Burton (1972) mengajukan konsep liberalisme seperti ‘jaring laba-laba’, dimana
kerjasama yang saling tumpang tindih dari individu-individu akan lebih menguntungkan dan
mengurangi resiko konflik karena keekslusifan.

2. Sejarah

Ada 3 perdebatan besar sejak HI menjadi subjek akademik di akhir Perang Dunia 1, salah
satunya adalah antara liberalisme utopia dan realisme.
Awal mula pemikiran tersebut terjadi disebabkan oleh terjadinya Perang Dunia 1, yang secara
keseluruhan sangat tragis dengan banyaknya korban jiwa dan penderitaan manusia.
Keinginan untuk tidak mengulang kesalahan yang sangat besar seperti itu memunculkan
pertanyaan-pertanyaan salah satunya ‘Mengapa perang terjadi?’
Dorongan terciptanya Liberalisme Uthopia ini disebabkan karena jatuhnya jutaan
korban jiwa atas peristiwa Perang Dunia Pertama pada tahun 1914-1918 dan juga didasari
karena penderitaan manusia yang telah disebabkan oleh perang harus diakhiri. Salah satu
perang yang terkenal yaitu Perang Somme di Perancis pada bulan Juli-Agustus 1916 yang
disebut “Tragedi Berdarah” karena memakan banyak sekali korban jiwa.
Perang dianggap sebagai kecelakaan karena tidak adanya organisasi internasional yang dapat
mencegahnya. Perang dianggap dosa karena mengungkap sifat jelek manusia yang
seharusnya cinta damai.
Menurut kaum idealis cara menghindari perang adalah dengan membentuk organisasi
internasional yang dapat menciptakan kedamaian dan mampu meredam perang. Para ilmuan
idealis menganggap bahwa dengan mereformasi system internasional dan struktur-struktur
domestik negara-negara otokratis dapat mencegah terjadinya perang. Presiden Wilson dan
orang-orang idealis lainnya menginginkan tatanan dunia yang didasarkan atas demokrasi
yang dijaga oleh organisasi internasional. Dia dianugrahi penghargaan Nobel Perdamaian
karena mengusulkan adanya suatu organisasi internasional yang dapat mengatur negara-
negara dalam setiap tindakannya.
Mengapa hubungan internasional akademik awal dipengaruhi oleh liberalisme? Itu
merupakan pertnyaan besar, tetapi terdapat beberapa pernyataan penting yang harus tetap kita
ingat dalam mencari jawaban.
Pada tahun 1917, AS terlibat perang yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Woodrow
Wilson, yang merupakan profesor ilmu politik dan mempunyai misi utama yakni membawa
nilai-nilai demokratis liberal ke Eropa dan ke seluruh dunia. Dengan itu dia yakin bahwa
perang-perang besar lainnya dapat dicegah.
Pada teori ini, paham liberal sangat dominan karena adanya dukungan politik dari negara
yang paling kuat dalam sistem internasional pada saat itu. Studi HI berkembang pertama kali
dan sangat kuat di 2 negara demokratis liberal terkemuka, AS dan Inggris. Presiden Wilson
memiliki visi membuat dunia ‘aman bagi demokrasi’, hal itu dirumuskan dalam program
empat belas pernyataan yang disampaikan dalam pidato Kongres Januari 1918. Program
perdamaian Wilson menghendaki:
1. Mengakhiri diplomasi rahasia.
2. Harus adanya kebebasan navigasi di laut, dan hambatan-hambatan pada perdagangan
bebas harus dihilangkan.
3. Persenjataan harus dikurangi sampai pada angka terendah yang sesuai dengan
keselamatan domestik.
4. Klaim kolonial dan wilayah harus diselesaikan dengan mengacu pada prinsip hak
menentukan nasib sendiri.
5. Asosiasi umum bangsa-bangsa harus dibentuk dengan tujuan memberikan jaminan
yang saling menguntungkan atas kemerdekaan politik dan integrasi wilayah bangsa
besar dan kecil.

Pernyataan terakhir ini merupakan keinginan Wilson untuk membangun Liga Bangsa-Bangsa
yang didirikan melalui Konferensi Perdamaian Paris 1919. Pada era yang sama, Normal
Angell adalah salah satu tokoh kaum idealis liberal yang terkenal. Tahun 1909, dia
mempublikasikan buku berjudul The Great Illusion. Argumen umum yang dikemukakan
Angell merupakan suatu pelopor dari pemikiran liberal akhir tentang modernisasi dan
interdependensi ekonomi. Yang secara singkatnya, modernisasi dan interdependensi
menimbulkan suatu proses perubahan dan kemajuan yang mengubah barang dan penggunaan
kekuatan semakin diabaikan.
Ide-ide ini memiliki keberhasilan pada 1920; Liga Bangsa-Bangsa berhasil didirikan dan
negara-negara berkekuatan besar mengambil beberapa langkah lebih jauh untuk menjamin
satu sama lain atas niat damainya. Titik tinggi keberhasilan ide-ide ini adalah Perjanjian
Briand-Kellogg 1928 yang merupakan kesepakatan internasional untuk menghapus perang,
hanya pada kasus ekstrim dalam mempertahankan diri, maka perang dibenarkan.
Lalu mengapa disebut sebagai Liberalisme Utopian? Dimana kata ‘utopia’ mempunyai arti
sebagai suatu komunitas khayalan dimana mempunyai masyarakat yang mendekati sempurna.
Pada tahun 1930, pemikiran tersebut mengalami pukulan keras yang menyebabkan pemikiran
tersebut gagal. Peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah:
1. Bermunculannya kaum fasis dan kediktatoran di Italia, Jerman dan Spanyol.
2. Otoriterisme meningkat banyak di negara-negara baru Eropa Tengah dan Timur.
3. Negara-negara liberal mempertahankan kekaisaran dengan koloni-koloni yang
dipertahankan di bawah pemaksaan.
4. Harapan atas Liga Bangsa-Bangsa tidak sesuai ekspektasi.
5. Banyaknya kaum isolasionis di Amerika yang melahirkan penolakan Senat Amerika
Serikat bahwa mereka keluar dari Liga Bangsa-Bangsa karena tidak mau melibatkan
negaranya dengan masalah Eropa.
6. Kekacauan Wall Street pada Oktober 1929 menandai krisis ekonomi di negara-negara
Barat yang berlangsung hingga Perang Dunia 2.
7. Perdagangan Dunia menyusut dramatis.

3. Pemikir

Tokoh terkenalnya adalah presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat yang terkenal
dengan “Empatbelas poin perdamaian Wilson”. Liberalisme menginginkan seluruh negara
yang ada didunia untuk menganut paham demokrasi, dengan begitu akan semakin
memperkecil nafsu dari sistem otokratisnya untuk berperang serta melakukan ekspansi
terhadap negara lain.
Presiden Wilson memiliki visi untuk membuat dunia aman bagi demokrasi yang
mendapat sambutan luas dari masyarakat biasa. Hal itu dirumuskan dalam program empat
belas pernyataan yang disampaikan dlalam pidato dalam kongres pada januari 1918. Dia
dianugerahi Nobel Perdamaian pada 1919. Gagasannya memengaruhi Konferensi Perdamaian
Paris yang diikuti dengan berakhirnya permusuhan dan mencoba membangun tatanan
internasional baru yang berdasarkan pada internasionalisme liberal.
Dua pernyataan penting dalam pemikiran-pemikiran Wilson bagi dunia yang lebih
damai mendapat tekanan khusus (Brown dan Ainley, 2009). Pernyataan pertama menyangkut
pada usulan demokrasi dan hak menentukan nasib sendiri. Dibalik pernyataan ini adalah
keyakinan liberal bahwa pemerintahan demokratis tidak selalu dan tidak akan saling
berperag. Harapan Wilson bahwa pertumbuhan demokrasi liberal di Eropa akan mengakhiri
para pemimpin autokratis yang gemar berperang dan menempatkan pemerintahan yang damai
sebagai gantinya. Oleh karena itu, demokrasi liberal harus didukung dengan kuat.
Pernyataan penting kedua dalam program Wilson menyangkut pada pembentukan
suatu organisasi internasional yang akan meletakkan hubungan antar negara-negara pada
landasan institusional yang lebih kuat daripada anggapan realis atas Concert of Europe dan
perimbangan kekuatan yang telah muncul di masa lalu.
Idealisme Wilsonian dapat diringkas sebagai berikut. Diyakini bahwa, melalui
organisasi internasional yang di desain secara rasional dan cerdas, dimungkinkan untuk
mengakhiri perang dan mencapai perdamaian yang kurang lebih permanen.
Pernyataan itu bukan berarti untuk menjauhkan negara dan warga negara, kementrian
luar negeri, angkatan bersenjata, dan agen-agen serta instrument-instrumen konflik lainnya.
Akan tetapi, pernyataan tersebut akan memungkinkan untuk menjinakkan negara dan warga
negara dengan cara menempatkan mereka pada organisasi-organisasi, institusi-institusi, dan
hokum-hukum internasional yang tepat.
Keyakinan liberal Wilson bahwa organisasi internasional yang dibentuk dapat
menjamin perdamaian permanen jelas-jelas mengingatkan kepada teoretisi liberal klasik HI
yang paling terkenal: Immanuel Kant dalam karyanya “Perpetual Peace” (1975).

Pemikiran liberal mendominasi fase pertama Hubungan Internasional sebagai


akademik. Dalam hubungan internasional tahun 1920-an, pemikiran-pemikiran ini sukses
besar. Mengapa kemudian kita cenderung menyebut pemikiran-pemikiran semacam itu
dengan istilah yang berbau menjelekkan yaitu “Liberalisme Uthopian”. Salah satu jawaban
yang masuk akal diperoleh dalam perkembangan ekonomi dan politik pada 1920-1930-an.
Demokrasi liberal mendapat pukulan keras dengan bermunculannya kaum fasis dan
kediktaktoran Nazi di Italia, Jerman, dan Spanyol. Otoriterisme juga meningkat di banyak
negara baru di Eropa bagian tengah dan timur yang mucul sebagai akibat Perang Dunia
Pertama dan Konferensi Perdamaian Paris dan dianggap menjadi negara-negara demokrasi.
Oleh karena itu, berbeda dengan harapan Wilson untuk menyebarluaskan peradaban
demokratis, usaha itu gagal terwujud. Dalam banyak kasus apa yang sebenarnya terjadi
adalah penyebaran yang sangat singkat dari negara yang ia yakini menggerakan perang:
negara-negara otokratis, otoriter, dan militeristik.

Anda mungkin juga menyukai