Anda di halaman 1dari 9

Abstrak

HYPER IMMUNOGLOBULIN E SYNDOME (HIES) KOINSIDENS


DENGAN PEMVIGUS VULGARIS

Zuhrial Zubir, Jubilate Pittor Sigalingging


Divisi Alergi dan Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan

Latar Belakang
Sindroma Hyper-IgE (HIEs) adalah suatu immunodefisiensi primer kompleks yang jarang
dengan karakteristik eksim , abses kulit , infeksi paru , kadar eosinofil dan kadar serum IgE yang
meninggi. Manifestasi atopi pada HIEs ditemukan kadar serum IgE yang sangat tinggi, eksim
dan eosinophilia. Klasifikasi HIEs dibagi menjadi dua subtipe yaitu autosomal dominan HIEs
tipe-1 memiliki kelainan pada beberapa sistem, termasuk kekebalan tubuh, fraktur ,scoliosis dan
hiperekstensibilitas dan retensi gigi primer. Sedangkan HIEs tipe-2 autosomal resesif memiliki
kelainan hanya pada sistem kekebalan.

Kasus
Dilaporkan satu kasus seorang wanita 52 tahun, masuk RSUP H. Adam Malik Medan dengan
keluhan ruam eritema dan skuama seluruh tubuh yang dialami penderita sejak ± 2 bulan. Satu
tahun yang lalu Os sempat dirawat dengan keluhan yang sama, lalu membaik dan dapat berobat
jalan. Namun 2 bulan yang lalu keluhan yang sama muncul kembali. Riwayat alergi amoxicillin
dijumpai. Riwayat abses kulit, fraktur, scoliosis, dan retensi gigi primer tidak dijumpai.

Diskusi
Diagnosis HIES pada penderita ini adalah berdasarkan klinis (trias) berupa dermatitis, infeksi
paru dan kulit serta peningkatan IgE: 2.517 pada pemeriksaan laboratorium.

Kesimpulan
Dilaporkan suatu kasus HIES pada seorang wanita yang menunjukkan respon terapi yang
memuaskan. Pasien diterapi dengan Injeksi Metil Prednisolon 125 mg/12 jam (taperring off),
Injeksi Ketorolak 30 mg/8 jam, Doksisilin 2x100mg, Ceterizin 1x100 mg, Kompres luka dengan
cairan NaCl 0,9% selama 15 menit setiap 8 jam. Pada hari rawatan kelima kondisi pasien sudah
semakin baik.

Kata Kunci : Sindroma Hyper-IgE, eosinofilia, metil prednisolon


PENDAHULUAN
Hyper Immunoglobulin E Syndrome (HIES) pertama sekali digambarkan pada tahun
1966 oleh Davis, Wedgwood dan Schaller. Buckley dkk pada tahun 1972, yang mencatat
masalah yang serupa pada dua orang anak laki – laki dengan dermatitis yang parah, penampilan
wajah yang khas, dan peningkatan kadar IgE, oleh karena itu manifestasi itu dinamakan dengan
Buckley sindrom. Setelah laporan ini, peningkatan kadar IgE dan cacat pada neutrofil chemotaxis
dilaporkan pada dua gadis oleh Hill dan quie pada tahun 1974, menunjukkan bahwa sindrom Job
dan sindrom Buckley ditandai dengan kondisi yang sama. Untuk menghindari kebingungan
dalam hal istilah, sekarang ini digunakan istilah Hyper Imunoglobulin E Syndrome ( HIES ).
Pada kesempatan ini akan dibahas kasus seorang wanita dengan HIES.
KASUS
Seorang wanita, 52 tahun, suku Jawa, Ibu rumah tangga, tinggal di Medan, masuk di
Ruang Rawat Interna Wanita RSUP H. Adam Malik Medan tanggal 12 Juli 2016 dengan keluhan
utama kulit bersisik hampir diseluruh tubuh, tangan, dan kaki yang dialami os sejak 2 bulan yang
lalu. Awalnya Penderita menglami kemerahan di seluruh tubuh, kemudian timbul gelembung-
gelembung yang berisi air lalu pecah dan menimbulkan sisik-sisik tebal di seluruh tubuh. Gatal
dijupai, nyeri dijumpai khususnya pada daerah yang gelembungnya pecah. Riwayat menderita
infeksi saluran nafas berulang, riwayat terkena jamur kulit berulang, radang pada telinga, bisul
pada gusi dan patah tulang tidak dijumpai. Pasien sering minum obat-obat penghilang rasa sakit
yang dibeli sendiri di apotik, seperti ponstan, sanmol, dll. Satu tahun yang lalu os juga pernah
mengalami dengan keluhan yang sama dan pasien di rawat di RSUP HAM.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis,
tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 70 kali/menit, isi cukup dan teratur, pernafasan 20
kali/menit, teratur, suhu tubuh aksiler 36,6 0C, dan status gizi : cukup. Pada pemeriksaan kepala
didapati kulit bersisik pada wajah, tidak didapatkan konjungtivitis dan oral ulcer, tidak
didapatkan anemia, ikterus, dan sianosis.
Pada pemeriksaan dada dijumpai kulit bersisik, didapatkan jantung dengan suara 1 dan 2
tunggal, tidak didapatkan suara tambahan. Pada paru didapatkan suara nafas vesikuler, tidak
didapatkan ronkhi maupun wheezing. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan kulit kemerahan
dan bersisik, supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus didapatkan normal. Pada ekstremitas
superior dan inferior didapatkan kulit bersisik dan akral hangat.
Pada pemeriksaan status dermatologis didapatkan skuama dan eritema, blister tidak
dijumpai.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan ; darah lengkap : Hb 11,60 g/dl, leukosit
15.320/mm3, trombosit 339.000/mm3, eritrosit 4.280 juta/mm3, hitung jenis:
eos/baso/neutro/limf/mono: 0,1/0,1/91/6,10/2,7, Albumin 2,4 g/dl, IgE 2.517. Sedangkan dari
pemeriksaan urin rutin, fungsi ginjal, fungsi hati, kadar gula darah dan elektrolit berada dalam
batas normal. Kultur darah : Acinobacter baumanii, sensitif Amikacin dan Polimiksin B.
Pada pemeriksaan foto dada AP (kondisi berbaring) didapatkan kesan limfadenopati dd
susp. Massa mediastinum.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dibuat
diagnosis kerja Hyper IgE Syndrome + Pemvigus Vulgaris + Hipoalbuminemia.
Penderita mendapat terapi : Infus Nacl 0.9% 20 tetes/menit, Injeksi Metil Prednisolon
125 mg/12 jam (taperring off), Injeksi Ketorolak 30 mg/8 jam, Injeksi Ranitidine 50mg/12 jam
(Kosong barang, diganti Ranitidin 2x150 mg, Doksisilin 2x100mg, Ceterizin 1x100 mg,
Kompres luka dengan cairan NaCl 0,9% selama 15 menit setiap 8 jam. Penderita diperhatikan
keluhan dan tanda vitalnya hingga keadaan umum membaik. Pada hari rawatan kelima
Metilprednisolon ditaperring off dan diganti ke oral, dan keadaan pasien semakin membaik.

PEMBAHASAN
Definisi
Hyper Immunoglobulin E Syndrome (HIES) atau yang disebut juga dengan Job
Syndrome adalah suatu penyakit defisiensi imun primer yang jarang dengan karakteristik
peningkatan serum IgE, dermatitis dan infeksi paru dan kulit berulang. HIES mempunyi
gambaran yang bermacam-macam dengan abnormalitas yang bermacam-macam. Gambaran
yang paling sering dijumpai adalah abses kulit yang berulang, pneumonia dengan terbentuknya
pneumatocele, meningkatnya kadar Ig E serum. Gambaran klinis pada wajah, kuku dan rangka
sering juga terlibat pada sindrom ini.
Patogenesis
HIES dijumpai hampir sama pada pria dan wanita, dan diobservasi pada anggota keluarga
turunan yang menderita. Meskipun telah diketahui beberapa defek immun respon yang
menerangkan terjadinya infeksi berulang dan dermatitis kronis yang disertai dengan HIES.
Banyak juga abnormalitas kongenital lain yang belum diterangkan. Mayoritas pasien HIES
disebabkan karena mutasi negatif dominan pada gen STAT 3. Sejak pathogenesis HIES telah
ditelusuri lebih jauh ke hulu terhadap mutasi gen STAT3 , transducer signal dan activator
transkripsi ini telah menjadi fokus pathogenesis dari AD-HIES. STAT 3 bekerja mengaktifasi
transkripsi seluruh jajaran gen – gen penting pada respon imun dan modulasinya sebagai respon
terhadap beberapa sitokin. Dimana sitokin-sitokin ini perlu untuk berikatan pada reseptor
spesifiknya dan proses ini dimediasi oleh Jak 1 , Tyk2 dan kemungkinan DOCK8 phosporylate
STAT3. Regulasi abnormal dari IgE memungkinkan peningkatan Ig E serum dengan HIES dan
berhubungan dengan abnormalitasnya daripada pathogenesis sentral gangguan ini. Sintesis IgE
merupakan proses kompleks dan defek dalam hal regulasi produksinya yang dapat
mengekspresikan sendiri dimana saja sepanjang pathway sintesisnya. Regulasi IgE mencakup
stimulasi sel T, produksi sitokin yang tepat , dan kemampuan sel B untuk menukar produksi IgE.
Gejala Klinis
HIES ditandai dengan dermatitis, infeksi berulang ( teruatma bakteri), dan
meningkatnya kadar IgE serum, meskipun terdapat simtom dan sign yang bervariasi diantara
individu. Klassifikasi HIES ada 2 sub tipe. HIES tipe 1 bila pasien dengan autosomal dominant
mempunyai abnormalitas yang multipel termasuk immun, skeletal, dan gigi (MIM 147060),.
HIES tipe 2 tipe autosomal ressesif abnormalitas terbatas pada sistem immun (MIM 243700 dan
611521). Manifestasi kulit merupakan gambaran klinis yang paling mudah terlihat pada HIES.
Dimulai pada beberapa minggu pertama dengan eczematosa, pruritus berat yang mirip dermatitis
atopi. Rash menyebar secara diffuse dan dapat mengalami likenifikasi. Pasien biasanya tidak
begitu mengalami simtom atopik lain seperti wheezing, gambaran alergi atau riwayat keluarga
atopi. Pruritus yang intens dipengaruhi oleh pelepasan histamin dari sel mast cutaneus sebagai
respon terhadap adanya candida dan staphylococcus pada kulit.Teori ini didukung oleh tingginya
konsentrasi Ig E spesifik untuk dua miroba patogen ini.Biopsi kulit sering menunjukkan
dominasi infiltrasi eosinofilia.

Infeksi kulit sering dimulai pada masa bayi, termasuk abses, furunkel dan sellulitis sering
menyebabkan limfeadenitis.Staphylococcal abses sering terjadi di sekitar wajah, leher dan kulit
kepala.Abses berupa sebagai abses dingin atau hilangnya gejala dan tanda-tanda klassik dari
inflamasi seperti eritema, hangat dan nyeri. Mikroorganisme yang paling sering menginfeksi
kulit pada pasien HIES adalah Staphylococcus aureus dan Candida albicans.

Pasien dengan HIES sering mengalami infeksi paru yang signifikan, meski tidak demam
dan merasa sehat. Hal ini disebabkan kegagalan infalamsi. Infeksi Paru umumnya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus, sering recuren dan membahayakan jiwa. Pneumonia sering
komplikasi dengan bronkiektasis, fistula bronchopleural dan pneumatocele.Pneumatocele dapat
superinfeksi dengan Aspergilllus atau Pseudomonas.Candidiasis mukokutaneus sering terlihat
pada mukosa mulut atau vagina.Kuku sering distrofi karena infeksi kronis candida albicans. Pada
wajah juga sering ditemui gambaran khas berupa melebarnya alar (dasar tulang hidung dan
septum hidung) jidat menonjol mata lebih kedalam. Penebalan jaringan lunak wajah, telinga dan
hidung memberikan gambaran seperti "coarse facies". Terjadi pada 80-100% HIES autosomal
dominan dan lebih banyak dipengaruhi usia terutama post pubertas.

Abnormalitas skeletal dan gigi akibat retardasi pertumbuhan juga sering dilaporkan pada
pasien dengan HIES. Fraktur tulang yang disertai trauma minor juga dijumpai.Tulang panjang
juga sering terlibat.Osteopenia dan menurunnya mineralisasi tulang disebabkan resopsi tulang
yang dimediasi sitokin. Hal tersebut mendukung bahwa profil sitokin pada pasien HIES mirip
dengan wanita post menopause.
Diagnosis
Diagnosa Sindrom hiperimunoglobulin E ditegakkan berdasarkan gabungan dari gejala
klinis dan laboratorium. Peningkatan kadar immunoglobulin E saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosa Sindrom hiperimunoglobulin E, karena pasien-pasien dengan dengan
keadaan yang pasti seperti alergi kulit berat biasanya terjadi kenaikan kadar IgE tanpa Sindrom
hiperimunoglobulin E. Pada konsentrasi >2000 IU/ml ( nilai normal dewasa < 100 IU/ ml )
dipakai sebagai cut off point terhadap Sindrom hiperimunoglobulin E dimana gambaran klinis
lain seperti bisul dan pneumoni dijumpai. Pada bayi, yang memiliki kadar IgE yang sangat
rendah, kenaikan kadar IgE 10 kali kadar normal dewasa perlu dipertimbangkan suatu Sindrom
hiperimunoglobulin E. Perlu dicatat bahwa beberapa penderita Sindrom hiperimunoglobulin E
dewasa, kemungkinan konsentrasi IgE bisa turun atau bahkan sampai normal. Gejala klinis yang
lain, sepereti kelainan skleton dan gigi sangat mendukung tegaknya diagnosa. Selain pengukuran
kadar IgE, uji laboratorium lain tidak membantu penegakkan diagnosa Sindrom
hiperimunoglobulin E, dan walaupun kadarnya tinggi tidaklah spesifik dengan Sindrom
hiperimunoglobulin E, karena hal ini juga bisa dijumpai pada kasus-kasus penyakit lain. Banyak
penelitian-penelitian difokuskan pada aspek imun pada Sindrom hiperimunoglobulin E, seperti
gangguan migrasi neutrofil ke jaringan yang terinfeksi atau rusak. Walaupun demikian,
gangguan imun non spesifik dijumpai selalu pada semua Sindrom hiperimunoglobulin E.

Sistem scoring HIES telah dikembangkan oleh NIH untuk membantu perkiraan
kemiripan gejala yang relative dengan gangguan subjek AD-HIES berdasarkan temuan klinis dan
laboratorium. Dikatakan penderita kemungkinan HIES jika skornya > 40 (cut off point ), dan
bukan penderita HIES jika skornya <20. Antara 20 dan 40 merupakan zona indeterminate,
pasien-pasien dengan scoring ini diduga menderita HIES dan harus di follw-up lebih lanjut
bersama-sama dengan pengumpulan data-data.
Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian
atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang
keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat
memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan
imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur
kurang dari 24 jam.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama HIES adalah pengobatan infeksi yang agresif dan perawatan kulit
yang baik. Anamnesa riwayat yang baik, pemeriksaan fisik yang cermat dan pencitraan yang
mendukung diperlukan untuk mengatasi infeksi secepat mungkin.
Pengobatan simtomatik, meliputi :
1. Blister kulit bisa diterapi dengan perawatan kulit yang efektif seperti mandi dengan
pemutih ( Berendam selama 15 menit di dalam satu bak air yang dicampur 120 ml
pemutih, 3 kali seminggu )
2. Abses kulit seharusnya di insisi dan di drainase.
3. Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang dianjurkan adalah
antibiotika untuk bakteri gram negatif (mis: trimethoprim-sulfamethoxazole 2,5mg/kg
dua kali sehari) atau antibiotika spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan
uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Diperkenalkannya penggunaan obat
antibiotik sistemik dan anti jamur jangka panjang secara reguler sangat penting, dimana
hal itu dapat mencegah infeksi yang serius dan juga mencegah kerusakan parenkim paru.
Obat-obat antibiotik yang dapat digunakan termasuk anti stafilokokkus seperti
trimethoprime/sulfamethoxazole, penisilin semi sintetik atau sefalosporin.
4. Anti jamur: Pada kandidiasis kulit superfisial dan mukosa – onychomycosis,
vaginomycosis dan sariawan efektif diterapi dengan agen triazol generasi kedua. Obat
anti jamur ini juga direkomendasikan pada manajemen aspergilosis invasif.
5. Kotikosteroid : Penggunaan steroid sistemik pada AD-HIES untuk mengobati ekzema
biasanya tidak diperlukan tetapi penggunaan steroid topikal membantu pada kasus yang
berat. Sedangkan ekzema pada AR-HIES dengan Defisiensi DOCK8 lebih berat dan sulit
terkontrol dengan obat topikal dan beberapa individu memerlukan agen imunosupresif
sistemik seperti kortikosteroid.
6. Antihistamin diberikan pada AR-HIES karena penyakit alergi dan Asma biasanya
dijumpai pada AR-HIES dan memerlukan terapi konvensional dengan steroid dan
antihistamin.
7. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Penggunaan IVIG pada HIES masih kontroversial,
dimana pada beberapa penelitian pemberian IVIG dosis tinggi dapat menurunkan
konsentrasi IgE dan memberikan perlindungan yang efektif pada infeksi berat, tetapi pada
penelitian lain tidak begitu bermakna.
DISKUSI
Gambaran klinis dari HIES bermacam – macam dengan abnormalitas yang bermacam –
macam pula. Abses kulit yang berulang, pneumonia dengan terbentuknya pneumatocele
merupakan gambaran yang paling sering dijumpai, meningkatnya kadar IgE serum dan bisa
didapatkan eosinophilia. Gambaran klinis pada wajah, kuku dan rangka sering juga terlibat pada
HIES. Dimulai pada beberapa minggu pertama dengan eczematosa, pruritus berat yang mirio
dermatitis atopi. Rash menyebar secara difus dan dapat mengalami likenifikasi. Pasien dengan
HIES sering mengalami infeksi paru yang signifikan, meski tidak demam dan merasa sehat.
Klasifikasi HIES dibagi menjadi dua subtipe yaitu autosomal dominan HIES tipe-1 memiliki
kelainan pada beberapa sistem, termasuk kekebalan tubuh, fraktur, scoliosis dan
hiperekstensibilitas dan retensi gigi primer. Sedangkan HIES tipe-2 autosomal resesif memiliki
kelainan hanya pada sistem kekebalan.

Pada pasien ini didapatkan eksim seluruh tubuh, dan hal ini sudah pernah dialami
pasien satu tahun yang lalu.

Diagnosis HIEs biasanya dibuat melalu kecurigaan klinis yang dibarengi dengan keadaan
serum IgE yang tinggi dan biasanya eosinophilia, biasanya IgE mencapai 2000 kU/l. AR-HIEs
memiliki manifestasi yang variatif mulai dari ringan dengan destruktif hati yang lebih minimal
meskipun terjadi infeksi saluran pernafasan yang rekuren. Gambaran wajah yang khas, retensi
gigi dan abnormalitas skeletal yang lain biasanya tidak dijumpai pada AR-HIEs. Pada AR-HIEs
biasanya memiliki riwayat alergi yang lebih berat dan tampak lebih rentan terhadap infeksi
sehingga memiliki angka mortalitas yang tinggi.

Pada pasien ini dijumpai riwayat alergi amoxicillin. Pada pasien ini tidak dijumpai
riwayat abses kulit, fraktur, scoliosis, dan gangguan gigi primer tidak dijumpai yang biasanya
dijumpai pada HIEs tipe 1. Kadar IgE serum yang tinggi ( Seru IgE : 2.517 IU/ml) dan kadar
eosinophil yang normal ( eosinophil : 0.1).

Untuk penatalaksanaan HIEs menurut La pine et al 2011 dibagi menjadi

 Kontrol pruritus dan dermatitis / eksim dengan cream emollient, glucocorticoid untuk
inflamasi dan pemberian anti histamine.
 Antibiotik profilaksis : trimethoprim – sulfamehoxazole dan sefalosporin generasi 3 dapat
digunakan dengan hasil yang memuaskan.
 Agen Imunomodulator : IFN- gamma , levamisole,rituximab.
Infus Nacl 0.9% 20 tetes/menit, Injeksi Metil Prednisolon 125 mg/12 jam (taperring off),
Injeksi Amikacin 250mg/8jam (Sejak hari ke-8), Injeksi Ketorolak 30 mg/8 jam, Injeksi
Ranitidine 50mg/12 jam (Kosong barang, diganti Ranitidin 2x150 mg, Doksisilin 2x100mg (aff
hari ke-8), Ceterizin 1x100 mg. Kompres luka dengan cairan NaCl 0,9% selama 15 menit setiap
8 jam. Pada hari rawatan kelima kondisi pasien sudah semakin baik.

KESIMPULAN
Kami melaporkan sebuah kasus HIES pada seorang wanita yang menunjukkan respon
terapi yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Poplonyk AS, Kycler Z, Pietrucha B et al. 2011. The hyperimmunoglobulin E Syndrome-


clinical manifestation diversity in primary immune deficiency. Orphanet Journal of Rare
Disease, 6: 67
2. Freeman AF, Holland SM. 2009. NIH Public Acces. Availabe in PMC 2009 May 17.
3. Minegishi Y, Karasuyama H, Defects in Jak-STAT-mediated Cytokine Signals Cause
Hyper Ig E Syndrome : Lessons From a Primary Imunodeficency, International Imunology,
2008.
4. Grimbacer B, Holland S, Pucj J, Hyper IgE Syndrome, Imonological Riview, 2005
5. La Pine T et al, Hyper Ig-E Syndrome,2011, available in: http://www.uptodate.com
6. Ballas Z et al, T helper subsets: Differentiation and role in disease, 2011, available in:
http://www.uptodate.com
7. Ma Cindy et al, Defi ciency of Th17 cells in hyper IgE syndrome due to mutations in
STAT3, J. Exp. Med, 2008
8. Yeganeh M et al. Hyper-IgE Syndrome (STAT-3 Deficiency, Tyk 2 Deficiency, HIES with
unknown origin). In: Primary Immunodeficiency Disease, Springer, Verlag Berlin, 2008,
P: 267-271
9. Yong PFK, Freeman AF, Engelhardt KR, Holland S, Puck JM, Grimbacher B. An Update
on the hyper-IgE syndromes, Review, 2012.
10. Freeman AF, Holland SM. Clinical manifestations of hyper IgE syndromes. Disease
Markers 29 (2010) 123-130.
11. Heimal J, et al, Job Syndrome, 2010, available at: http://www.medscape.com

Anda mungkin juga menyukai