Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM

UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK


PROTEIN SYNTHESIS

oleh :
Aina Salsabiela
31101800003
SGD 6
Asisten Pengampu : Yassar Maulana Sudjudi

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
Jl.Raya Kaligawe Km.4 Semarang Jawa Tengah, Telp: (024)6583584 ;
(024)6582455, Fax: (024)6582455, Website: www.unissula.ac.id
Daftar Isi
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
1.1 Dasar Antibiotik ............................................................................................ 3
1.2 Sifat-sifat Antibiotik ...................................................................................... 3
1.3 Syarat-syarat Antibiotik................................................................................. 4
1.4 Klasifikasi Antibiotik .................................................................................... 4
1.5 Resistensi Antibiotik ..................................................................................... 8
1.6 MRSA, ESBL, MDRO .................................................................................. 9
BAB II .................................................................................................................. 12
HASIL PENGAMATAN .................................................................................... 12
2.1 Gambaran Umum ........................................................................................ 12
2.1.1 Dasar Teori Uji Kepekaan Antibiotik ................................................... 12
2.1.2 Pembahasan Materi FKG Klinis ........................................................... 15
2.2 Pengujian ..................................................................................................... 17
2.2.1 Alat dan Bahan...................................................................................... 17
2.2.2 Cara Kerja Secara Skematik Pada Uji Sensitivitas Antibiotik Metode
Difusi ............................................................................................................. 18
2.3 Identifikasi Masalah .................................................................................... 19
2.3.1 Interpretasi Hasil yang ditemukan ........................................................ 19
2.4 Pembelajaran ............................................................................................... 19
2.4.1 Kesalahan Saat Melakukan Uji Sensitivitas Antibiotik ........................ 19
BAB III ................................................................................................................. 20
SARAN DAN SIMPULAN ................................................................................. 20
3.1 Saran ............................................................................................................ 20
3.2 Simpulan ...................................................................................................... 20
LAMPIRAN ......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Dasar Antibiotik


Antibiotika berasal dari bahasa latin anti yang berarti lawan, dan bios yang
berarti hidup. Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
hidup terutama fungi dan bakteri tanah, yang memiliki khasiat mematikan atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotika untuk pertama kalinya ditemuka
oleh sarjana Inggris dr. Alexander Fleming pada tahun 1928 (Penisilin). Tetapi
penemuan ini baru dikembangkan dan digunakan dalam terapi pada tahun 1941 oleh
dr. Florey (Oxford). Kemudian banyak juga ditemukan zat lain dengan khasiat
antibiotik, akan tetapi berhubung dengan sifat-sifat toksisnya hanya beberapa saja
yang dapat digunakan sebagai obat. Contohnya adalah streptomisin (1944),
kloramfenikol (1947), tetrasiklin dan derivat-derivatnya (1948), eritromisin (1952)
dan akhirnya rifampisin (1960).

Pembuatan antibiotika lazimnya dilakukan dengan cara mikrobiologi, yaitu


mikroorganisme dibiakkan dalam tangki-tangki besar dengan zat-zat gizi khusus.
Ke dalam cairan pembiakkan disalurkan oksigen atau udara steril guna
mempercepat pertumbuhan jamur sehingga produksi antibiotiknya dipertinggi.
Setelah diisolasi dari cairan kultur, antibitika dimurnikan dan ditetapkan
aktivitasnya. Beberapa antibiotika tidak lagi dibuat dengan cara ini, melainkan
dengan cara kimiawi sintesis, antara lain kloramfenikol.

Aktivitas antibiotika umumnya dinyatakan dalam satuan berat (mg), kecuali


zat yang belum sempurna pemurniannya dan terdiri dari campuran beberapa zat,
misalnya polimiksin B dan basitrasin, atau karena belum diketahui struktur
kimianya, seperti nistatin.

1.2 Sifat-sifat Antibiotik


Sifat antibiotik terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Bakterisidal, antibiotika yang bakterisid secara aktif membunuh kuman atau


menghancurkan sel bakteri..

2. Bakteriostatik, antibitotika yang bekerja dengan mencegah atau menghambat


pertumbuhan dari kuman, tetapi tidak membunuh kuman tersebut.
Nasib/pembasmian dari kuman tersebut tergantung dari sistem imun tubuh masing-
masing individu.

Agar dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisidal ataupun bakteriostatik,


antibiotik harus memiliki beberapa sifat sebagai berikut :

3
a. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan spesifiknya,
contohnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein.

b. Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi kadar
antibiotic maka semakin banyak pula tempat ikatannya pada sel bakteri.

c. Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup
memadai agar diperoleh efek yang adekuat.

d. MIC (Minimum Inhibitory Concentration). Kadar hambat minimal ini


menggambarkan jumlah minimal obat yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri.

Sifat lainnya dari antibiotik adalah toksisitas (melawan bakteri tetapi tidak merusak
sel hostnya), berspektrum luas, tidak menyebabkan alergi, tidak resisten, dan larut
dalam air. Perlu diketahui juga bahwa antibiotik tidak dapat digunakan untuk
mengatasi infeksi akibat virus, seperti flu. Di luar bidang terapi, antibiotik ternyata
digunakan di bidang peternakan sebagai zat gizi tambahan guna mempercepat
pertumbuhan.

1.3 Syarat-syarat Antibiotik


Antibiotik yang ideal memperlihatkan toksisitas selektif, yang berarti bahwa obat
tersebut berbahaya bagi pathogen dan tidak membahayakan pejamu/host cell.

Syarat-syaratnya antara lain :

1. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan


mikroorganisme yang luas (Broad spectrum antibiotic).

2. Tidak mengganggu keseimbangan flora normal pada sel host seperti flora normal
di usus dan di kulit.

3. Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dari mikroorganisme pathogen.

4. Tidak menimbulkan efek samping yang buruk pada sel host.

1.4 Klasifikasi Antibiotik


Antibiotik berdasarkan aksi/daya kerjanya terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Bakterisidal, antibiotika yang pada dosis biasa berefek utama untuk membunuh
bakteri. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah sefalosporin, penisilin,
aminoglikosida, kotrimoksasol, vankomisin, rifampisin, eritromisin (konsentrasi
tinggi), dan lain sebagainya.

2. Bakteriostatik, antibiotika yang pada dosis biasa berefek utama untuk


menghambat pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Akan tetapi tidak membunuh
bakteri tersebut, sehingga pembasmian dari bakteri tergantung pada daya tahan

4
tubuh. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah eritromisin (konsentrasi
rendah), trimetropim, sulfonamide, tetrasiklin, linkomisin, klindamisin dan lain
sebagainya.

Berdasarkan kegiatannya, antibiotik dibagi menjadi 2 golongan besar ,yaitu :

1. Antibiotik yang memiliki kegiatan luas (Broad spectrum) yaitu antibiotik yang
dapat mematikan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif, termasuk virus
tertentu dan protozoa.

2. Antibiotik yang mempunyai kegiatan sempit (Narrow spectrum). Antibiotik ini


hanya aktif terhadap beberapa jenis bakteri saja. Hanya pada bakteri gram positif
atau hanya pada bakteri gram negative.

Secara historis, menurut Goodman & Gilman’s (2001), klasifikasi yang paling
umum didasarkan pada struktur kimia dan mekanisme kerja adalah sebagai berikut
:

a. Senyawa yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, contohnya adalah


monobactam, penicillin, vankomisin, dan basitrasin.

b. Senyawa yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme,


mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa-senyawa
intraselular. Contohnya adalah polimiksin.

c. Senyawa yang mempengaruhi fungsi sub unit ribosom 30S atau 50S sehingga
menyebabkan penghambatan sintesis protein yang reversibel. Contohnya adalah
aminoglikosida, tetrasiklin, streptomisin, kloramfenikol, eritromisin, dan
klindamisisn.

d. Senyawa yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, seperti


golgongan rifamisin misalnya rifampin yang menghambat RNA polimerase dan
golongan quinolones yang menghambat topoisomerase.

e. Senyawa yang berikatan dengan sub unit ribosom 30S dan mengubah sintesis
protein, yang akhirnya akan mengakibatkan kematian sel, contohnya adalah
aminoglikosida.

Antibiotik diklasifikasikan berdasarkan penyakitnya, yaitu :

1. Golongan Penisilin
2. Golongan Sefalosporin
3. Golongan Lincosamides
Dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis dan bersifat bakteriostatis. Obat
golongan ini dicadangkan untuk mengobati infeksi berbahaya pada pasien yang

5
alergi terhadap penisilin atau pada kasus yang tidak sesuai diobati dengan
penisilin. Spektrum kerjanya lebih sempit dari makrolida, terutama terhadap
gram positif dan anaerob. Penggunaannya aktif terhadap Propionibacter acnes
sehingga digunakan secara topikal pada acne. Contoh obatnya yaitu
Clindamycin dan Linkomycin.
4. Golongan Tetracycline
Diperoleh dari Streptomyces aureofaciens & Streptomyces rimosus. Obat
golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi jenis yang sama seperti yang
diobati penisilin dan juga untuk infeksi lainnya seperti kolera, demam berbintik
Rocky Mountain, syanker, konjungtivitis mata, dan amubiasis intestinal.
Contoh obatnya adalah Tetrasiklin, Klortetrasiklin, Oksitetrasiklin, doksisiklin
dan minosiklin.
5. Golongan Kloramfenikol
Bersifat bakteriostatik terhadap Enterobacter & Staphylococcus aureus
berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman. Bersifat bakterisid
terhadap S. pneumoniae, N. meningitidis & H. influenza. Obat golongan ini
digunakan untuk mengobati infeksi yang berbahaya. Penggunaannya secara
oral, sejak tahun 1970-an dilarang di negara barat karena menyebabkan anemia
aplastis. Sehingga hanya dianjurkan pada infeksi tifus (salmonella typhi) dan
meningitis (khusus akibat H. influenzae). Contoh obatnya adalah
Kloramfenikol, dan turunannya yaitu tiamfenikol.
6. Golongan Makrolida
Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerjanya yaitu pengikatan reversibel pada
ribosom kuman, sehingga mengganggu sintesis protein. Penggunaannya
merupakan pilihan pertama pada infeksi paru-paru. Digunakan untuk
mengobati infeksi saluran nafas bagian atas seperti infeksi tenggorokan dan
infeksi telinga, infeksi saluran nafas bagian bawah seperti pneumonia, untuk
infeksi kulit dan jaringan lunak, dan untuk sifilis. Sering pula digunakan untuk
pasien yang alergi terhadap penisilin. Contoh obatnya adalah eritromisin,
klaritromisin, roxitromisin, azitromisin, diritromisin serta spiramisin.
7. Golongan Kuinolon

6
Berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, dengan menghambat
enzim DNA gyrase bakteri sehingga menghambat sintesa DNA. Digunakan
untuk mengobati sinusitis akut, infeksi saluran pernafasan bagian bawah serta
pneumonia nosokomial, infeksi kulit dan jaringan kulit, infeksi tulang sendi,
infeksi saluran kencing,, demam tifoid, penyakit menular seksual, serta efektif
untuk mengobati Anthrax inhalational.
8. Aminoglikosida
Dihasilkan oleh fungi Streptomyces & micromonospora. Mekanisme kerjanya
: bakterisid, berpenetrasi pada dinding bakteri dan mengikatkan diri pada
ribosom dalam sel. Contoh obatnya adalah streptomisin, kanamisin,
gentamisin, amikasin, dan neomisin.
9. Monobaktam
Dihasilkan oleh Chromobacterium violaceum. Bersifat bakterisid, dengan
mekanisme yang sama dengan gol. b-laktam lainnya. Bekerja khusus pada
kuman gram negatif aerob misalnya Pseudomonas, H.influenza yang resisten
terhadap penisilinase. Contohnya adalah aztreonam.
10. Sulfonamide
Merupakan antibiotika spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan negatif.
Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerja : mencegah sintesis asam folat dalam
bakteri yang dibutuhkan oleh bakteri untuk membentuk DNA dan RNA
bakteri.
11. Vankomisin
Dihasikan oleh Streptomyces orientalis. Bersifat bakterisid terhadap kuman
gram positif aerob dan anaerob, dan merupakan antibiotik terakhir jika obat-
obat lain tidak ampuh lagi.

7
Keterangan : Mekanisme kerja antibiotik.

1.5 Resistensi Antibiotik


Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri
dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya
atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance didefinisikan
sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan
cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang
belum pernah dipaparkan. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau
lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia
atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi.
Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih
banyak bahaya. Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan
salah satu atau lebih dari mekanisme berikut :

1. Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika.

2. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat.

3. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat.

4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat


oleh obat.

5. Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi


metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat.

Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan


irasional. Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistensi, antara
lain :

8
1. Penggunaan yang kurang tepat, terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah,
diagnosa awal yang salah, sehingga potensi obat tidak adekuat.

2. Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan pengetahuan yang salah
akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan
penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, dan demam.
Pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan terapi
antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien
membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication).
Sedangkan pasien dengan kemampuan finansial yang rendah seringkali tidak
mampu untuk menuntaskan terapi/pengobatannya.

3. Peresepan dalam jumlah besar.

4. Perilaku hidup sehat/sanitasi yang baik.

5. Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan


pemakaian antibiotika.

Mekanisme resistensi antibiotic :

High number of bacteria. A few of them are resistant to antibiotics.

Antibiotics kill bacteria causing the illness, as well as good bacteria protecting the
body from infection.

The resistant bacteria now have preferred conditions to grow and take over.

Bacteria can even transfer their drug resistance to other bacteria, and causing more
problems.

Ada beberapa mekanisme terjadinya resistensi, yaitu :

1. Reduced permeability

2. Antimikrobial agent modification

3. Active efflux

4. Target modification

1.6 MRSA, ESBL, MDRO


MRSA adalah singkatan dari Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus.
Resistensi antibiotic terhadap kuman Staphylococcus Aureus telah menjadi

9
masalsah kesehatan yang semakin meningkat di berbagai belahan dunia. S. Aureus
pada awalnya sensitive terhadap penisilin, tetapi sekitar tahun 1960-an galur
Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) muncul sebagai infeksi
nosocomial. MRSA dapat menyebabkan berbagai macam infeksi seperti
necrotizing fasciitis, pneumonia, meningitis, dan endocarditis, tetapi yang paling
sering adalah menyebabkan infeksi kulit dan jaringan lunak. MRSA bisa terjadi
karena beberapa faktor risiko yang telah diketahui, diantaranya sering terjadi pada
usia lanjut , adanya penyakit komorbid (misalnya penyakit kardiovaskular, paru,
atau ginjal yang kronik, kanker, diabetes, anemia, dan hiponatremia). Selama 13
tahun (1993-2005) infeksi MRSA meningkat di Amerika Serikat. Pada tahun 2005
terdapat 368.600 kasus MRSA di rumah sakit seluruh Amerika Serikat. Keadaan
ini menunjukan peningkatan sebesar 30% dibandingkan pada tahun 2004.4
Prevalensi infeksi MRSA di Asia Tenggara cukup bervariasi, yaitu : 33.5% di
Thailand, 13% di Singapura dan di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 23,5%.
Transmisi infeksi dapat terjadi melalui peralatan medis, salah satu alat medis yang
sering digunakan adalah stetoskop. Untuk pengobatannya biasanya menggunakan
obat linezolid, vankomisin, daptomycin, dan telavancin.

ESBL adalah singkatan dari Extended-Spectrum Beta-Lactamase. ESBL


merupakan enzim yang dapat menghidrolisis penicillin, cephalosporin generasi I,
II, III dan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem).1,2 ESBL berasal dari
β-laktamase yang termutasi. Mutasi ini menyebabkan peningkatan aktivitas
enzimatik β-lactamase sehingga enzim ini dapat menghidrolisis chepalosporin
generasi III dan aztreonam. Penggunaan antibiotika golongan cephalosporin
generasi III secara luas untuk pengobatan infeksi di rumah sakit disebutkan menjadi
salah satu faktor risiko infeksi oleh bakteri penghasil ESBL. Selain resisten
terhadap antibiotika golongan cephalosporin, bakteri penghasil ESBL juga sering
menunjukkan resistensi pada penggunaan fluoroquinolone. Selain panggunaan
antibiotika secara berlebihan, pasien dengan penyakit berat, LOS (Length of Stay)
yang lama dan dirawat dengan alat-alat medis yang sifatnya invasif (kateter urin,
kateter vena dan endotracheal tube) untuk waktu yang lama juga merupakan risiko
tinggi untuk terinfeksi oleh bakteri penghasil ESBL. Obat yang biasanya digunakan
untuk mengatasi ESBL adalah fosfomycin, sulbactam, makrolid, dan colistin.

MDRO adalah singkatan dari Multi drug resistant organisms. MDRO


merupakan patogen yang resisten terhadap satu atau lebih beberapa kelas antibiotic
atau bakteri resisten terhadap minimal satu jenis antibiotik dari ≥ 3 golongan
antibiotic. MDR ini dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain pemakaian
antibiotik yang tidak tepat dosis, tidak tepat diagnostik dan tidak tepat bakteri
penyebab. Patogen yang termasuk dalam MDRO yaitu Methicillin Resistant
Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin Resistant Staphylococcus Aureus
(VRSA), Vancomycin Resistant Enterococci (VRE), Extended Spectrum Beta
Lactamase (ESBL) gram negative, dan Carbapenem Resistant Enterobacteriaceae

10
(CRE). Saat ini jumlah antibiotik yang tersedia untuk mengobati infeksi yang
disebabkan resistensi MDRO sangat terbatas, sedangkan perkembangan antibiotik
baru tidak begitu signifikan.

11
BAB II

HASIL PENGAMATAN
2.1 Gambaran Umum
2.1.1 Dasar Teori Uji Kepekaan Antibiotik
Sensitivitas menyatakan bahwa uji sentivitas bakteri merupakan suatu
metode untuk menentukan tingkat kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri dan
untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas antibakteri. Metode Uji
sensitifitas bakteri adalah metode cara bagaimana untuk mengetahui dan
mendapatkan produk alam yang berpotensi sebagai bahan anti bakteri serta
mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan/mematikan bakteri
pada konsentrasi yang rendah.

Dalam uji sensitivitas dengan menggunakan metode Kirby Bouwer dapat


diketahui beberapa jenis bakteri yang sensitif terhadap antibiotika yang diujikan.
Disk antibiotika yang mengandung antibiotika ditempatkan pada media agar
(Mueller Hinton) yang telah membeku dan telah diolesi bakteri. Bakteri yang
sensitif terhadap antibiotika akan menunjukkan lingkaran seperti cincin di sekitar
disk antibiotika yang diletakkan di atas media agar, dimana lingkaran di sekitar disk
antibiotika ini disebut zona hambatan atau zona inhibisi. Dengan menguji
sensitivitas antibiotika pada bakteri yang sama akan diperoleh diameter zona
hambatan yang berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh sensitivitas bakteri terhadap
setiap antibiotika berbeda. Selain itu juga dipengaruhi oleh kerentanan dari bakteri
yang diuji terhadap masing-masing antibiotika.

Kemampuan antimikroba dalam melawan bakteri dapat diukur dengan


menggunakan beberapa metode, yaitu :

1. Metode Dilusi, terdiri dari 2 teknik pengerjaan, yaitu teknik dilusi perbenihan
cair dan teknik dilusi agar yang bertujuan untuk penentuan aktivitas antimikroba
secara kuantitatif, antimikroba dilarutkan ke dalam media agar atau kaldu, yang
kemudian ditanami bakteri yang akan dites. Setelah diinkubasi semalaman,
konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut
dengan MIC (minimal inhibitory concentration). Nilai MIC dapat pula
dibandingkan dengan konsentrasi obat yang didapat di serum dan cairan tubuh
lainnya untuk mendapatkan perkiraan respon klinik.
a. Dilusi perbenihan cair
Dilusi perbenihan cair terdiri dari makrodilusi dan mikrodilusi. Pada
prinsipnya pengerjaannya sama hanya berbeda dalam volume. Untuk makrodilusi
volume yang digunakan lebih dari 1 ml, sedangkan mikrodilusi volume yang
digunakan 0,05 ml-0,1 ml. Antimikroba yang digunakan disediakan pada berbagai
macam pengenceran biasanya dalam satuan µg/ml, konsentrasinya bervariasi

12
tergantung jenis dan sifat antibiotik, misalnya sefotaksim untuk uji kepekaan
terhadap Streptococcus pneumonia, pengenceran tidak melebihi 2 μg/ml,
sedangkan untuk Escherichia coli pengenceran dilakukan pada 16 µg/ml atau lebih.

Keterangan : Penentuan MIC pada metode perbenihan cair


Secara umum untuk penentuan MIC, pengenceran antimikroba dilakukan
penurunan konsentrasi setengahnya misalnya mulai dari 16, 8, 4, 2, 1, 0,5, 0,25
µg/ml konsentrasi terendah yang menunjukkan hambatan pertumbuhan dengan
jelas baik dilihat secara visual atau alat semiotomatis dan otomatis, disebut dengan
konsentrasi daya hambat minimum/MIC (minimal inhibitory concentration).

b. Dilusi agar
Pada teknik dilusi agar, antibiotik sesuai dengan pengenceran akan
ditambahkan ke dalam agar, sehingga akan memerlukan perbenihan agar sesuai
dengan jumlah pengenceran ditambah satu perbenihan agar untuk kontrol tanpa
penambahan antibiotik, konsentrasi terendah antibiotik yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri merupakan MIC antibiotik yang diuji. Salah satu kelebihan
metode agar dilusi adalah untuk penentuan MIC Neisseria gonorrhoeae, yang tidak
dapat tumbuh pada teknik dilusi perbenihan cair.

Keterangan : Penentuan MIC pada teknik agar dilusi

13
Dasar penentuan antimikroba secara in vitro adalah MIC (minimum
inhibition concentration) dan MBC (minimum bactericidal concentration). MIC
merupakan konsentrasi terendah bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dengan hasil yang dilihat dari pertumbuhan koloni pada agar atau kekeruhan
pada pembiakan cair. Sedangkan MBC adalah konsentrasi terendah antimikroba
yang dapat membunuh 99,9% pada biakan selama waktu yang ditentukan. Absorpsi
obat dan distribusi antimikroba akan mempengaruhi dosis, rute dan frekuensi
pemberian antimikroba untuk mendapatkan dosis efektif di tempat terjadinya
infeksi.

Penentuan konsentrasi minimum antibiotik yang dapat membunuh bakteri/


minimumbactericidal concentration (MBC) dilakukan dengan menanam bakteri
pada perbenihan cair yang digunakan untuk MIC ke dalam agar kemudian
diinkubasi semalaman pada suhu 37⁰C. MBC adalah keadaan ketika tidak terjadi
pertumbuhan lagi pada agar.

Keterangan : Penentuan Minimum Bactericidal Concentration (MBC) antibiotik


Penentuan MBC : dilakukan penanaman dari semua perbenihan cair pada
penentuan MIC. Keuntungan dan kerugian metode dilusi memungkinkan
penentuan kualitatif dan kuantitatif dilakukan bersama-sama. MIC dapat membantu
dalam penentuan tingkat resistensi dan dapat menjadi petunjuk penggunaan
antimikroba. Kerugian dari metode ini adalah tidak efisien karena pengerjaannya
yang rumit, memerlukan banyak alat-alat dan bahan serta memerlukan ketelitian

14
dalam proses pengerjaannya termasuk persiapan konsentrasi antimikroba yang
bervariasi.

2. Metode Difusi
Media difusi menggunakan kertas disk yang mengandung antibiotik dan telah
diketahui konsentrasinya. Pada metode difusi, media yang dipakai adalah agar
Mueller Hinton. Ada beberapa cara pada metode difusi ini, yaitu cara Kirby Bauer
yang merupakan suatu metode uji sensitivitas bakteri yang dilakukan dengan
membuat suspensi bakteri pada media Brain Heart Infusion (BHI) cair dari koloni
pertumbuhan kuman selama 24 jam, selanjutnya disuspensikan dalam 0,5 ml BHI
cair (diinkubasi 4-8 jam pada suhu 37°C). Hasil inkubasi bakteri diencerkan sampai
sesuai dengan standar konsentrasi kuman 108 CFU/ml (CFU : Coloni Forming
Unit). Suspensi bakteri diuji sensitivitas dengan meratakan secara menyeluruh
suspensi bakteri tersebut pada permukaan media agar. Disk antibiotik diletakkan di
atas media tersebut menggunakan pinset steril dan kemudian diinkubasi pada suhu
37° C selama 18-24 jam. Lalu dibaca hasilnya, dapat berupa zona radikal (Suatu
daerah di sekitar disk dimana sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan
bakteri), zona irradikal (Suatu daerah disekitar disk yang menunjukkan
pertumbuhan bakteri dihambat oleh antibiotik tersebut, tetapi bakterinya tidak
dibunuh), dan zona resisten (Bakteri kebal terhadap antibotik, dan masih terlihat
adanya pertumbuhan bakteri di sekitar disk).
2.1.2 Pembahasan Materi FKG Klinis
Sintesis protein adalah proses pembentukan asam amino melalui kode gen
yang dibuat DNA. Tahap sintesis protein terdiri dari tahap transkripsi dan translasi.
Transkripsi adalah pembentukan mRNA oleh DNA sense di inti sel. Sedangkan
translasi adalah penerjemahan mRNA oleh tRNA di ribosom.

Komponen-komponen yang bekerja dalam sintesis protein antara lain


mRNA (RNAd), rRNA, tRNA, enzim RNA polimerase, enzim aminoasil-tRNA
sintetase, dan enzim peptidil transferase. Sintesis protein berlangsung lebih cepat
setelah makan daripada dalam kondisi puasa karena suplai asam aminonya lebih
banyak. Rata-rata jumlah energi yang digunakan untuk sintesis protein adalah 12%
dari laju metabolisme basal. Beberapa asam amino digunakan untuk sintesis

15
molekul-molekul lain, seperti arginin, glisin, tirosin, triptofan, histidin, lisin,
metionin, glutamin, dan sistein, glutamate serta glisin. Molekul tersebut mengatur
fungsi vital dalam tubuh dan merupakan bagian yang cukup besar dalam pertukaran
asam amino spesifik setiap hari.

Antibiotik Penghambat Sintesis Protein :

Penghambatan sintesis protein adalah penghambatan dari proses translasi dan


transkripsi material genetic mikroorganisme. Menghambat atau melambatnya
sintesis protein berarti mengurangi akumulasi protein dalam sel. Sintesis protein
dapat dihambat oleh antibiotik seperti Spektinomisin, Kloramfenikol, Klindamisin
Neomisin, Streptomisin, Kanamisin, Eritromisin, Tetrasiklin, Oleandomisin,
Tilosin dan Linkomisin. .

1. Eritromisin, bersifat bakteriostatik ini berikatan dengan ribosom 50s dan


menghambat tRNA peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Antibiotik ini
memiliki sifat lebih peka terhadap bakteri gram positif. Akibatnya, rantai
polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam amino tidak dapat
menerima kompleks tRNA asam amino yang baru. Eritromisin termasuk antibiotika
golongan makrolid yang sama-sama mempunyai cincin lakton yang besar dalam
rimus molekulnya. Eritromisin efektif, dan baik untuk kuman gram positif maupun
gram negatif. Antibiotika ini dihasilkan oleh Streptomyces erythreus dan digunakan
untuk pengobatan acne. Mekanisme kerjanya yaitu sintesis protein bakteri
dihentikan setelah erythromycin berikatan secara irreversible dengan ribosom
bakteri sub unit 50s. Hal ini menghambat translokasi dari sintesis protein.

2. Kloramfenikol, umumnya bersifat bakteriostatik dan merupakan antibiotik


berspektrum luas. Kloramfenikol mengandung tidak kurang dari 97% dan tidak
lebih dari 103 % C11H12Cl2N2O. Kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50s dan
menghambat asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil
transferase. Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap
kuman-kuman tertentu. Mekanisme antibiotik ini adalah dengan menghambat
sintesis protein dari kuman.

3. Aminoglikosida, semua anggota aminoglikosida diketahui menghambat sintesis


protein bakteri dengan mekanisme yang ditentukan untuk streptomisin.
Aminoglikosid bersifat bakterisidal yang utamanya tertuju pada bakteri basil gram
negatif yang aerobik. Sedangkan aktivitas terhadap mikroorganisme anaerobik atau
bakteri fakultatif dalam kondisi anaerobik rendah sekali. Aminoglikosida
menghambat sintesis protein dengan 3 cara yaitu : agen-agen ini mengganggu
kompleks awal pembentukan peptida, agen-agen ini menginduksi dari kesalahan
pembacaan mRNA, yang mengakibatkan penggabungan asam amino yang salah ke
dalam peptida, sehingga menyebabkan suatu keadaan non fungsi atau toksik

16
protein, agen-agen ini menyebabkan terjadinya pemecahan polisom menjadi
monosom fungsional. Obat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, dan lain-lain. Mekanisme
kerja : semua obat golongan aminoglikosida dapat menghambat pembentukan
protein bakteri. Organisme yang rentan memiliki oxygen dependent system yang
membawa antibiotik melewati membran sel. Antibiotik diikat oleh 30S ribosomal
sub unit yang berperan dalam fungsi ribosome apparatus atau menyebabkan 30S
sub unit ribosome salah membaca kode genetic.

4. Tetrasiklin, umumnya bersifat bakteriostatik dan merupakan bakteri yang


berspektrum luas. Antibiotik ini memiliki mekanisme masuk ke dalam sel bakteri
yang diperantai oleh transport protein. Tetrasiklin dapat melakukan pengikatan ke
subunit 30s ribosom dengan menghambat amino asil tRNA mRNA sehingga
menghambat sintesis protein. Faktor penghambat penyerapan tetrasiklin adalah
Makanan (kecuali dosisiklin dan minosiklin), pH tinggi, pembentukan kompleks
dengan Ca+, Mg 2+, Fe2+, Al 3+ yang terdapat dalam susu dan antacid. Golongan
tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah klortetrasiklin yang diisolasi dari
Streptomyces aureofaciens. Mekanisme Kerja Tetrasiklin : bekerja dengan jalan
menghambat sintesis protein kuman. Golongan Tetrasiklin menghambat sintesis
protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya
antibiotika Tetrasiklin ke dalam ribosom bakteri gram negatif. Pertama, yang
disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik, dan kedua ialah sistem transportasi
aktif.

2.2 Pengujian
2.2.1 Alat dan Bahan
Alat :

1. Ose

2. Lampu spiritus

3. Pinset

4. Cotton swab

Bahan :

1. Material kuman

2. Medium agar

3. Disk antibiotika

17
2.2.2 Cara Kerja Secara Skematik Pada Uji Sensitivitas Antibiotik Metode
Difusi

Ambillah kuman (jika sudah


mengetahui jenis kumannya)
menggunakan ose steril di
tempat biakkan

Lalu masukkan ke dalam


medium

Inkubasi selama 4 jam pada


suhu 37 derajat celcius

Kemudian ambil kuman


menggunakan cotton swab dan
lakukan gerakan streak
(menyeluruh) pada medium agar

Ambil disk menggunakan pinset


steril lalu disk diletakkan di atas
medium agar (1 medium
maksimal 5 disk)

Kemudian inkubasi lagi selama


18-24 jam pada suhu 37 celcius

Amati hasilnya

18
2.3 Identifikasi Masalah
2.3.1 Interpretasi Hasil yang ditemukan

Dari hasil pengamatan ditemukan adanya zona radikal, karena terdapat jarak yang
berarti bakteri tidak resisten terhadap antibiotik.

2.4 Pembelajaran
2.4.1 Kesalahan Saat Melakukan Uji Sensitivitas Antibiotik
Kesalahan saat melakukan uji sensitivitas antibiotik antara lain :

1. Saat mengoleskan kuman di medium agar tidak secara menyeluruh (Streak)

2. Meletakkan disk terlalu berdekatan antara satu dengan yang lainnya

3. Karena tidak berhati-hati medium agar dapat sobek/rusak

19
BAB III

SARAN DAN SIMPULAN

3.1 Saran
Diharapkan praktikan lebih teliti dan hati-hati saat melakukan praktikum
sebab dikhawatirkan dapat terjadi kontaminasi kuman dan sebaiknya saat
praktikum lebih mencermati proses dan metode uji kepekaannya agar
meminimalisir terjadinya kesalahan saat praktikum.

3.2 Simpulan
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan mikroorganisme hidup
terutama fungi dan bakteri tanah, yang memiliki khasiat mematikan atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Salah satu sifat antibiotic adalah toksisitas
selektif yang berarti antibiotic melawan bakteri tetapi tidak merusak sel hostnya
sehingga tidak menimbulkan efek samping yang buruk bagi pasien. Untuk
mengetahui apakah bakteri resisten terhadap antibiotic maka dilakukanlah uji
sensitivitas bakteri (Contohnya metode difusi dengan cara Kirby Bauer) terhadap
antibiotika yang bertujuan untuk mengetahui apa obat yang cocok untuk pasien dan
apakah terjadi resistensi bakteri terhadap antibiotic.

20
LAMPIRAN

21
DAFTAR PUSTAKA

Pajariu, Agno, dkk. 2010. Infeksi Oleh Bakteri Penghasil Extended-Spectrum


Beta-Lactamase (ESBL) Di RSUP Dr. Kariadi Semarang : Faktor Risiko Terkait
Penggunaan Antibiotik. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Probosari, Enny. 2019. Pengaruh Protein Diet Terhadap Indeks Glikemik.


Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Putra, Mochamad Iqbal Hassarief, dkk. 2014. Faktor Risiko Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus pada Pasien Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak di Ruang
Rawat Inap. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sulistiyaningsih. 2010. Uji Kepekaan Beberapa Sediaan Antiseptik Terhadap


Bakteri Pseudomonas aeruginosa Multi Resisten. Bogor : Fakultas Farmasi
Universitas Padjajaran.

Utami, Eka Rahayu. 2011. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi.


Malang : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

22

Anda mungkin juga menyukai