Anda di halaman 1dari 14

Tinjauan Pustaka

MANIFESTASI PENYAKIT JANTUNG PADA SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS (SLE)
Muhammad Yusar
Budi Baktijasa Dharmadjati
Dept. Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler

I. PENDAHULUAN
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun
multisistemik yang ditandai adanya inflamasi luas, yang mengakibatkan kerusakan
jaringan. Prevalensi SLE di Amerika Serikat adalah sekitar 51 kasus dari 100.000
penduduk. Insidensi SLE diperkirakan meningkat hingga 3 kali lipat pada 40 tahun
terakhir. SLE merupakan suatu penyakit yang terutama menyerang kaum wanita,
yaitu 5,5-9 kali lebih sering dibandingkan dengan pria. Etiologi SLE hingga saat ini
masih belum diketahui secara pasti namun dikatakan faktor genetik, lingkungan,
hormonal dan imunologi merupakan faktor yang berperan dalam patogenesis
terjadinya SLE (Isbagio, 2009; Bertsias, 2012).
SLE merupakan penyakit autoimun multisistemik sehingga semua organ
dapat terserang. Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Manifestasi klinis yang mungkin didapatkan
berupa lemah badan, penurunan berat badan, demam, nyeri otot, nyeri sendi, ruam
kulit, kelainan paru, ginjal, saluran pencernaan, sistem saraf, sistem hematologi dan
juga manifestasi klinis pada jantung (Isbagio, 2009).
Manifestasi penyakit jantung pada SLE diperkirakan ditemukan pada lebih
dari 50% penderita SLE (Villa-Forte, 2011). Manifestasi klinis dapat terjadi pada
semua struktur jantung termasuk periardium, miokardium, arteri koroner, katub
jantung hingga sistem konduksi jantung. Pada tinjauan kepustakaan ini akan dibahas
terbatas pada perikarditis, miokarditis, penyakit jantung koroner, kelainan katub dan
gangguan konduksi yang dapat terjadi pada SLE. Kelima manifestasi pada SLE
tersebut memiliki prevalensi hingga prognosis yang berbeda. Perikarditis merupakan
manifestasi penyakit jantung yang paling sering terjadi sedangkan penyakit jantung

1
koroner memiliki prognosis yang paling buruk dibandingkan manifestasi jantung
lainnya (Miner, 2014).

II. ISI
II.1. Definisi dan Epidemiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun
multisistemik yang ditandai adanya inflamasi luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio, 2009; Bertsias, 2012).
Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
prevalensi SLE adalah sekitar 51 kasus dari 100.000 penduduk Amerika Serikat.
Insidensi SLE diperkirakan meningkat hingga 3 kali lipat pada 40 tahun terakhir
(Bertsias, 2012).
SLE merupakan suatu penyakit yang terutama menyerang kaum wanita,
dimana rasio wanita dibanding laki-laki adalah sekitar 5,5-9:1. Penyakit ini dapat
menyerang semua umur, namun pada kebanyakan kasus SLE ditemukan pada usia
antara 15 hingga 40 tahun (Isbagio, 2009).

II.2. Etiologi dan Patogenesis SLE


Etiologi SLE hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti namun
dikatakan faktor genetik, lingkungan, hormonal dan imunologi merupakan faktor
yang berperan dalam patogenesis terjadinya SLE (Bertsias, 2012).
Pada SLE terjadi proses apoptosis sel yang dapat disebabkan oleh paparan
sinar matahari atau faktor penyebab lainnya dan akhirnya produk material dari
proses apoptosis akan ditangkap oleh sel dendritik. Sel dendritik yang teraktivasi
tersebut akan memicu sel B untuk menghasilkan suatu autoantibodi dan sitokin
interferon alfa. Kompleks imun ini akan terus merangsang sel dendritik dalam proses
suatu autoimun akibat kegagalan klirens dari kompleks imun tersebut. Hal ini
ditunjukkan pada gambar berikut ini (Bertsias, 2012).

2
Gambar 1. Patogenesis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

II.3 Manifestasi Klinis SLE


SLE merupakan penyakit autoimun multisistemik sehingga semua organ
dapat terserang. Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Manifestasi klinis yang mungkin didapatkan
berupa lemah badan, penurunan berat badan, demam, nyeri otot, nyeri sendi, ruam
kulit, kelainan paru, ginjal, saluran pencernaan, sistem saraf, sistem hematologi dan
juga manifestasi klinis pada jantung (Isbagio, 2009).

II.4 Diagnosis SLE


Kriteria diagnosis SLE sebelumnya yang digunakan adalah kriteria the
American College of Rheumatology (ACR) yaitu dikatakan SLE bila didapatkan paling
sedikit 4 dari 11 gejala klinis, seperti yang ditunjukkan pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kriteria ACR Dalam Diagnosis SLE
Kriteria Definisi
Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence
dan lipat nasolabial
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut
atrofik
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter

3
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umunya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter pemeriksa
Artritis non- Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri,
erosif bengkak dan efusi
Pleuritis atau Pleuritis – riwayat nyeri pleuritik alau pleuritc friction rub yang
perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura
atau
Perikarditis - bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+, atau
b. Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau gabungan
Gangguan a. Kejang - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
neurologi metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-
seimbangan elektrolit, atau
b. Psikosis - tanpa disebabkan oleh obalobatan atau gangguan
metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-
seimbangan elektrolit
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
hematologik b. Leukopenia - <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan, atau
c. Limfopenia - <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan, atau
d. Trombositopenia - <100.000/mmt tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
imunologik abnormal, atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm,
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin
abnormal baik lgG atau lgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif
menggunakan metoda standard, atau 3) hasit tes positif
palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan
test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorpsi antibodi treponemal
Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
antinuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada
positif (ANA) setiap kurun waktu perjalanan penvakit tanpa keterlibatan obat
(dikutip dari Bertsias, 2012)
Namun pada tahun 2012 telah disusun kriteria diagnosis baru yaitu kriteria
SLICC (Systemic Lupus International Collaborating Clinics) yang memiliki nilai
sensitivitas lebih baik namun nilai spesifisitas yang tidak berbeda dalam
mendiagnosis SLE dibandingkan dengan kriteria ACR. Pada kriteria diagnosis SLICC ini
menggunakan kriteria klinis dan imunologis, dikatakan SLE bila didapatkan paling

4
sedikit 4 kriteria (paling sedikit 1 kriteria klinis dan 1 kriteria imunologis). Hal ini
ditunjukkan pada tabel 2 berikut ini (Petri, 2012).
Tabel 2. Kriteria SLICC Dalam Diagnosis SLE
Kriteria Klinis Kriteria Imunologis
1. Acute cutaneous lupus 1. ANA
2. Chronic cutaneous lupus 2. Anti-DNA
3. Oral/nasal ulcers 3. Anti-Sm
4. Arthritis 4. Antiphospholipid Ab
5. Serositis 5. Low complement (C3, C4, CH50)
6. Kelainan ginjal 6. Direct Coombs test
7. Kelainan neurologi
8. Anemia hemolitik
9. Leukopenia
10. Trombositopenia
(<100.000/mm3)
(dikutip dari Petri, 2012)

II.5 Manifestasi Penyakit Jantung Pada SLE


Manifestasi penyakit jantung pada SLE diperkirakan ditemukan pada lebih
dari 50% penderita SLE (Villa-Forte, 2011). Manifestasi klinis dapat terjadi pada
semua struktur jantung termasuk periardium, myokardium, arteri koroner, katub
jantung hingga sistem konduksi jantung. Perikarditis merupakan manifestasi
penyakit jantung yang paling sering terjadi sedangkan penyakit jantung koroner
memiliki prognosis yang paling buruk dibandingkan manifestasi jantung lainnya
(Miner, 2014).

II.5.1 Perikarditis Pada SLE


A. Definisi
Perikarditis merupakan proses keradangan dari perikardium dan merupakan
salah satu bentuk serositis yang dapat terjadi pada SLE (Dudzinski, 2012).

B. Prevalensi
Perikarditis pada SLE merupakan manifestasi penyakit jantung yang paling
sering terjadi, dilaporkan sekitar 20-50% dari kasus SLE yang mengalami perikarditis
(Villa-Forte, 2011).

5
C. Patogenesis
Patogenesis terjadinya perikarditis pada SLE masih belum dapat dijelaskan
secara pasti. Adanya peningkatan aktivitas sitokin-sitokin seperti interleukin 6, 10, 17
serta TNF alfa, interferon gamma dan limfosit B pada penderita SLE akan
mengakibatkan proses inflamasi lokal pada perikardium. Hal ini ditunjukkan pada
gambar 2 dibawah ini (Yap, 2010).

Gambar 2. Patogenesis SLE Dalam Mengakibatkan Kerusakan Jaringan

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditunjukkan oleh perikarditis pada SLE yaitu sebagai
berikut (LeWinter, 2012):
1. Nyeri dada daerah prekordial atau substernal, kadang-kadang disertai dengan
sesak napas.
2. Dapat disertai demam, takikardia dan suara jantung yang menjauh.
3. Terdengarnya suara pericardial friction rub.
4. Pada pemeriksaan EKG menunjukkan adanya elevasi segmen ST yang luas.
5. Pada pemeriksaan enzim jantung dapat menunjukkan peningkatan pada
kadar CK-MB maupun troponin-I
6. Pada kelainan yang disertai dengan adanya efusi perikardium, pada
gambaran foto rontgen dada menunjukkan gambaran jantung dengan bentuk
menyerupai botol air, namun pemeriksaan ekokardiografi merupakann

6
pemeriksaan radiologis yang paling efektif dalam mendiagnosis suatu efusi
perikardium.
7. Pemeriksaan cairan perikardium pada SLE biasanya merupakan cairan
eksudatif dengan jumlah cairan sekitar 100-1000 cc. Disertai peningkatan sel
netrofil, anti ds-DNA yang positif serta kadar komplemen yang rendah
(Abdulaziz, 2012).
8. Telah mengekslusi penyebab perikarditis atau efusi perikardium lainnya
(Maisch, 2004).

II.5.2. Miokarditis Pada SLE


A. Definisi
Miokarditis adalah proses keradangan dari miokardium.

B. Prevalensi
Miokarditis pada SLE merupakan manifestasi penyakit jantung yang jarang
terjadi, dilaporkan hanya sekitar 3-15% dari kasus SLE yang mengalami miokarditis.
Hal ini disebabkan oleh deteksi miokarditis secara klinis yang sering terlewati pada
SLE. (Abdulaziz, 2012).

C. Patogenesis
Patogenesis terjadinya miokarditis pada SLE masih belum dapat dijelaskan
secara pasti. Adanya infiltrasi sel limfosit dan sel mononuklear pada miokard
diperkirakan sebagai penyebab terjadinya miokarditis pada SLE. Infiltrasi sel-sel
tersebut akan merangsang peningkatan ekspresi sitokin-sitokin pro inflamasi seperti
IL-1, IL-6, IL-17, IL-23 serta TNF-α yang akan meningkatkan progresivitas terjadinya
suatu dilated cardiomyopathy pada penderita SLE. Hal ini ditunjukkan pada gambar 3
dibawah ini (Leuschner, 2009).

7
Gambar 3. Patogenesis Terjadinya Miokarditis Pada SLE

D. Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita miokarditis tidak menunjukkan keluhan sama
sekali. Bila ada keluhan, biasanya berupa flue like symptoms, panas badan, palpitasi,
nyeri dada, sesak napas atau mudah lelah. Bila penyakit berlangsung kronik,
manifestasi klinik berupa gagal jantung, baik gagal jantung kiri maupun gagal jantung
kanan (Joewono, 2003).
Pemeriksaan ekokardiografi tidak dapat secara pasti menegakkan diagnosis
miokarditis, namun adanya global hipokinetik tanpa penyebab yang pasti dapat
menjadi pertimbangan diagnosis. Namun pemeriksaan biopsi endomiokardial masih
menjadi pilihan utama untuk mendiagnosis miokarditis walaupun tindakan ini
merupakan tindakan yang invasif (Tincani, 2006).

II.5.3. Penyakit Jantung Koroner Pada SLE


A. Definisi
Penyakit jantung koroner telah diketahui sebagai salah satu komplikasi dari
penyakit SLE. Pada tahun 1976, Urowitz yang pertama kali mengemukakan adanya
pola kematian yang saling berhubungan antara SLE dengan penyakit jantung
koroner. Setelah itu muncul penelitian baru untuk mencari patogenesis terjadinya
penyakit jantung koroner akibat SLE (Schoenfeld, 2013).

8
B. Prevalensi
Penyakit jantung koroner pada SLE merupakan manifestasi penyakit jantung
yang cukup jarang terjadi, dilaporkan hanya sekitar 6-10% dari kasus SLE yang
mengalami penyakit jantung koroner (Sarzi-Puttini, 2010).

C. Patogenesis
Patogenesis meningkatnya risiko atherosklerosis pada SLE masih belum dapat
dijelaskan secara pasti. Diperkirakan proses inflamasi akibat SLE yang mengakibatkan
adanya disfungsi endotel pembuluh darah (Abu-Shakra, 2008).

D. Manifestasi Klinis

II.5.4. Kelainan Katup Jantung Pada SLE


A. Definisi
Kelainan katup pada penderita SLE ini dapat dikategorikan menjadi:
penebalan katup, massa atau vegetasi (endokarditis Libman-Sacks), regurgitasi
katup, dan stenosis katup.

B. Prevalensi
Kelainan katup jantung pada SLE merupakan manifestasi penyakit jantung
yang cukup sering ditemukan, dilaporkan sekitar 54% dari kasus SLE yang mengalami
kelainan katub berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi (Maksimowicz-Mckinnon,
2004).

C. Patogenesis
Patogenesis endokarditis Libman-Sacks pada SLE masih belum jelas, namun
keadaan vegetasi ini dikaitkan dengan sindroma antifosfolipid.

D. Manifestasi Klinis

9
Kelainan katup yang paling khas pada penderita SLE adalah “Libman-Sacks
endocarditis” yaitu vegetasi verukous berdiameter 1-4 mm pada katub jantung non-
infeksius dan paling sering terjadi pada katup mitral (Maksimocz-McKinnon, 2004).
Presentasi klinis penderita SLE dengan endokarditis Libman-Sacks cukup bervariasi,
ada yang menunjukkan gejala sesak, namun tidak sedikit pula yang menunjukkan
gejala apapun (asimtomatik). Hal ini yang menyebabkan penemuan vegetasi ini lebih
sering diketahui melalui pemeriksaan otopsi dibandingkan di praktek klinik sehari-
hari (Schneider, 2003; Villa-Forte, 2011).
Pada auskultasi dapat terdengar suara murmur regurgitasi yang keras (grade
IV/VI) di apeks jantung. Disfungsi katup lainnya seperti stenosis pulmoner maupun
stenosis trikuspid dapat muncul tetapi jarang pada endokarditis Libaman-Sacks.
Penegakan diagnosis yang terbaik saat ini dilakukan dengan bantuan modalitas
ekokardiografi (Schneider, 2003; Bouma, 2010).

II.5.5. Aritmia dan Gangguan Konduksi Pada SLE


A. Definisi
Aritmia ialah kelainan elektrofisiologi jantung dan terutama kelainan sistem
konduksi jantung (Pratanu, 2011). Aritmia telah diketahui juga merupakan salah satu
komplikasi dari penyakit SLE (Teixera, 2010).

B. Prevalensi
Pada pengamatan yang dilakukan oleh Godeau pada 103 penderita SLE
selama 10 tahun secara cohort, didapatkan hasil sebesar 17,5% penderita yang
mengalami aritmia dan memiliki angka mortalitas yang lebih besar dibandingkan
dengan penderita SLE tanpa adanya gangguan aritmia (Teixera, 2010).

C. Patogenesis
Patogenesis terjadinya aritmia maupun gangguan konduksi pada SLE
diperkirakan disebabkan oleh 3 hal, yaitu kerusakan sistem konduksi akibat proses
inflamasi dari SLE, komplikasi atherosklerosis akibat disfungsi endotel oleh SLE serta
efek samping dari obat-obatan terapi SLE (seperti klorokuin yang bersifat
kardiotoksik) (Teixera, 2010).

10
D. Manifestasi Klinis
Sinus takikardia, fibrilasi atrial dan premature atrial contraction merupakan
kelainan aritmia tersering pada SLE. Segala macam bentuk bradikardia dan gangguan
konduksi jantung seperti atrioventricular block, intraventricular conduction defect
juga didapatkan pada penderita SLE (Seferovic, 2006; Teixera, 2010).

II.6. Tatalaksana SLE

Prinsip umum dalam penatalaksanaan SLE yang sangat penting diperhatikan


yaitu terapi non konservatif termasuk penyuluhan dan intervensi psikososial,
terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Pada umumnya, penderita SLE
mengalami fotosensitivitas, sehingga perlu diingatkan untuk tidak terlalu banyak
terpapar sinar matahari. Selain itu menghindari stres juga perlu diperhatikan pada
penderita SLE (Bertsias, 2008; Isbagio, 2009).
Terapi konservatif atau farmakologis pada penderita SLE perlu diputuskan
terlebih dahulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif saja
atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya penderita SLE yang tidak
mengancam jiwa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ dapat diterapi
secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam jiwa dan mengenai organ-organ
mayor maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid
dosis tinggi (metilprednisolon bolus 15 mg/kg BB atau 1 gram/hari selama 3 hari
berturut-turut) dan imunosupresan lainnya seperti cyclophosphamide, azathioprine,
cyclosporine, mycophenolate mofetyl hingga methotrexate. (Bertsias, 2008; Isbagio,
2009).

II.7. Prognosis SLE

III. KESIMPULAN

11
Manifestasi penyakit jantung pada SLE ditemukan pada lebih dari 50%
penderita SLE. Manifestasi klinis dapat terjadi pada semua struktur jantung termasuk
perikardium, miokardium, arteri koroner, katub jantung hingga sistem konduksi
jantung.

Manifestasi paru pada SLE ditemukan pada 50-60% penderita SLE. Manifestasi klinis
dapat terjadi pada parenkim paru, pleura, pembuluh darah, diafragma hingga
saluran pernafasan paru. Pleuritis merupakan manifestasi paru yang paling sering
terjadi pada SLE. Sedangkan DAH pada SLE meskipun memiliki prevalensi yang jarang
terjadi, namun memiliki prognosis yang paling buruk yaitu angka mortalitas dapat
mencapai 95%. Pemberian steroid serta imunosupresan merupakan terapi yang
dapat diberikan pada kasus SLE dengan kelainan di paru dan memiliki efek terapi
yang cukup baik

DAFTAR PUSTAKA

Abdulaziz S, AlGhamdi Y, Samannodi M et al (2012). “Cardiovascular Involvement in


Systemic Lupus Erythematosus, Systemic Lupus Erythematosus.” in: Almoalim
H, editor. Systemic Lupus Erythematosus. Rijeka, InTech 13:273-312.
Abu-Shakra M, Codish S, Zeller L et al (2008). “Atherosclerotic Cardiovascular Disease
in Systemic Lupus Erythematosus: the Beer Sheva Experience.” The Israel
Medical Association Journal 10:43-44.
Bertsias G, Carvera R, Boumpas TD (2012). “Systemic lupus erythematosus:
pathogenesis and clinical features.” in: Bijlsma JWJ, editor. EULAR Textbook
of Rheumatic Diseases 1st Edition. London, BMJ Group: 476-505.
Bertsias G, Ioannidis JPA, Boletis J et al (2008). “EULAR recommendations for the
management of systemic lupus erythematosus. Report of a Task Force of the
EULAR Standing Committee for International Clinical Studies Including
Therapeutics.” Annals of the Rheumatic Diseases 67:195-205.
Dudzinski DM, Mak, GS, Hung JW (2012). “Pericardial Diseases.” Current Problems in
Cardiology 37:75-118.

12
Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana N (2009). “Lupus Eritematosus Sistemik.”
in: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-5. Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu. Penyakit
Dalam FK UI: 2565-2579.
Joewono BS (2003). “Kardiomiopati, Miokarditis, Endokarditis Infeksiosa.” in:
Joewono BS, editor. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya. Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair 8:147-155.
Leuschner F, Katus HA, Kaya Z (2009). “Autoimmune myocarditis: Past, present and
future.” Journal of Autoimmunity 33:282–289.
LeWinter MM & Tischler MD (2012). “Pericardial Diseases.” in: Braunwald E, editor.
Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine 9th
Edition. Philadelphia. Elsevier Saunders 75:1651-1671.
Maisch B, Seferovic PM, Ristic AD et al (2004). “Guidelines on the Diagnosis and
Management of Pericardial Diseases. “ European Heart Journal: 1-28.
Maksimowicz-Mckinnon K & Mandell BF (2004). “Understanding valvular heart
disease in patients with systemic autoimmune diseases.“ Cleveland Clinic
Journal of Medicine 71(11):881-885.
Miner J & Kim AHJ (2014). “Cardiac Manifestations of Systemic Lupus
Erythematosus.” Rheumatic Disease Clinics of North America 40:51-60.
Petri M, Orbai AM, Alarcon GS et al (2012). “Derivation and Validation of the
Systemic Lupus International Collaborating Clinics Classification Criteria of
Systemic Lupus Erythematosus.” Arthritis & Rheumatism 64(8):2677-2686.
Pratanu S (2011). “Aritmia.” in: Pratanu S, editor. Kursus Elektrokardiografi cetakan
ke 6. Surabaya. Bagian Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Soetomo 12:75-108.
Sarzi-Puttini P, Atzeni F, Gerli R et al (2010). “Cardiac involvement in systemic
rheumatic diseases: An update.” Autoimmunity Reviews 9:849-852.
Schoenfeld SR, Kasturi S, Costenbader KH (2013). “The epidemiology of
atherosclerotic cardiovascular disease among patients with SLE: A systematic
review.” Seminars in Arthritis and Rheumatism 43:77–95.

13
Seferovic PM, Ristic AD, Maksimovic R et al (2006). “Cardiac arrhythmias and
conduction disturbances in autoimmune rheumatic diseases.” Rheumatology
45:39-42.
Teixera RA, Borba EF, Bonfa E et al (2010). “Arrhythmias in systemic lupus
erythematosus.” Rheumatology 50(1):81-89.
Tincani A, Rebaioli CB, Taglietti M et al (2006). “Heart involvement in systemic lupus
erythematosus, anti-phospholipid syndrome and neonatal lupus.”
Rheumatology 45:8-13.
Villa-Forte A & Mandell BF (2011). “Cardiovascular Disorders and Rheumatic
Disease.” Revista Espanola de Cardiologia 64(9):809–817.
Yap DYH & Lai KN (2010). “Cytokines and Their Roles in the Pathogenesis of Systemic
Lupus Erythematosus: From Basics to Recent Advances.” Jounal of
Biomedicine and Biotechnology: 1-10.

14

Anda mungkin juga menyukai