Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tablet
Tablet adalah bentuk sediaan padat yang dibuat secara kempa-cetak
berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis
obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan (Anief, 2000). Obat tunggal
atau campuran beberapa jenis obat diramu dengan zat tambahan yang cocok,
digranulasi, jika perlu digunakan zat pembasah, kemudian dikempa cetak
(Fornas, 1978).
2.2 Disolusi
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting
artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting
artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat
yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep (Martin, 1993)
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam
cairan pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat
tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan
dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses
melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat atau
jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu,
laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggunpannya
menembeus pembatas membrane. Tetapi, jika disolusi untuk suatu partikel
obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis
yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang
menentukan laju dalam proses absorbsi (Ansel, 1989).
Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara
in vitro dapat digunakan metode keranjang dan dayung. Uji hancur pada suatu
tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikel-
partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas,
dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun,
sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk
hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan
bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat
bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering
ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet (Martin, 2008).
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang
berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung
diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan
yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang
beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media
pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti
pada metode basket dipertahankan pada 37°C. Posisi dan kesejajaran dayung
ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan
dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara
drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan.Standar kalibrasi pelarutan yang
sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Agoes,
2008).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan
obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan
bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi
mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila
berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Martin,
2008).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan
dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan
secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai
partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran
lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah
medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut
dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut
disolusi (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran
cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau
tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami
disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami
pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan
disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari
bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami
dua langkah berturut-turut (Gennaro, 1990):
a. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang
tetap atau film disekitar partikel
b. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair
Langkah pertama, larutan berlangsung sangat singkat. Langkah kedua,
difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.

Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut:

Lapisan film (h) dgn


konsentrasi = Cs
Kristal

Massa larutan dengan


konsentrasi = Ct
Difusi layer model (theori film)

2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Disolusi (Martin, 2008)

1. Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
2. Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal
zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini
atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk
membantu kondisi “sink” sehinggan kelarutan obat di dalam medium bukan
merupakan faktor penentu dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan
“sink” maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap
pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu
larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum
digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik
dapat mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan kecepatan melarut.
3. Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya
kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm
tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil
kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih
dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan
rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya
dihindarkan.
4. Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan
ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang
sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan
mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.
5. Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat
menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya
digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan
karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih
mudah dideteksi.
6. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua
masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya
penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus
hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek.
7. Gangguan pola aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat
mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya
filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat merupakan
penyebabnya.
8. Posisi pengambil cuplikan
Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian
puncak dayung (atau keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP).
Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi, karena bagian
ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik pengadukannya.
9. Formulasi bentuk sediaan
Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah
selalu disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga
disebabkan oleh kualitas atau formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor
yang misalnya berperan adalah ukuran partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat
yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama dengan shellak dan tidak
memadainya zat penghancur.
10. Kalibrasi alat disolusi
Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini
merupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak
dapat kita melihat adanya kelainan pada alat. Untuk mencek alat disolusi
digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon 50 mg dari
USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau
keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal
setiap enam bulan sekali.

2.4 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari

spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum

dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur

intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi,

spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi

tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari

panjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer

adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi dan ini

diperoleh dengan alat penguat seperti prisma ataupun celah optis (Rohman,

2007).

Spektrofotometer yang sesuai pengukuran di daerah spektrum

ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan
menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200-

800 nm.

Gambar II. 1 Instrumentasi spektrofotometer UV-Vis


(Gandjar & Rohman, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G., 2008, Pengembangan Sediaan Farmasi, Edisi Revisi & Pelunasan, ITB,
Bandung,

Anief, 2000, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek, Cetakan ke sembilan. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI-Press

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1978. Formularium Nasional Edisi Kedua.


Jakarta: Depkes RI.

Gandjar, I. G. & Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Gandjar, I. G. & Rohman, A., 2012, Analisis Obat secara Spektroskopi dan
Kromatografi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gennaro, A. R., et all. 1990. Remington’s Pharmaceutical Sciensces. Edisi 18th, Marck
Publishing Company, Easton, Pensylvania
Martin, Alfred . 1990 . Farmasi Fisika Edisi I. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai