Anda di halaman 1dari 3

PESONA KAIN TRADISIONAL SUMATERA SELATAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia,
terdiri lebih dari 17000 pulau dengan ratusan suku bangsa dan keunikan serta keanekaragaman
budaya masing-masing. Salah satu hasil kebudayaan suku bangsa yang khas adalah kain
tradisional. Dalam peradaban manusia, kain tradisional memiliki benang merah sejarah yang
panjang; mulai dari masa Pra Aksara, Klasik (Hindu –Budha), pengaruh Islam, Kolonialisme
Belanda, Pendudukan Jepang hingga sekarang. Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang terkenal dengan keindahan kain tradisional dengan ragam hias dan nilai filososi
yang beragam. Berbagai produk kain tradisional Sumatera Selatan, seperti songket, tapis,
jumputan, tajung dan batik sudah lama dikenal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Songket Palembang bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)
Indonesia pada tahun 2013. Karya budaya ini masuk ke dalam domain Keterampilan dan
Kemahiran Kerajinan Tradisional. Sebagai Warisan Budaya Takbenda, songket Palembang tidak
hanya sekadar kain pelindung tubuh yang estetis, tetapi memiliki makna adiluhung (bermutu
atau bernilai tinggi).
Kain tradisional Sumatera Selatan sebagian besar merupakan produk akulturasi budaya
dari berbagai suku bangsa. Sebagai contoh, kain songket merupakan pengaruh dari kebudayaan
India, Cina dan suku Melayu. Diduga munculnya songket merupakan turunan kain sari dari
India; motif dan pewarnaannya mendapat pengaruh dari kebudayaan Cina; sedangkan ciri khas
Melayu antara lain terdapat dalam motif pucuk rebung yang melambangkan harapan baik.
Sedangkan kain batik merupakan pengaruh kebudayaan suku Jawa dan Cina yang dipadukan
dengan nilai-nilai filosofi suku Melayu; serta jumputan yang merupakan pengaruh kebudayaan
Cina.
Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam (1659 – 1825), kain tradisional khusunya
songket menjadi lambang kekuasaan, kejayaan, kemakmuran dan identitas sosial. Kain
tradisional Sumatera Selatan juga menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan, karena selain
keindahannya juga memiliki keunikan tersendiri, baik dari segi motif, teknik pembuatan dan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kain tradisional ini juga menjadi lahan bisnis bagi
masyarakat Sumatera Selatan dan banyak mendatangkan devisa bagi negara.
Kain tradisional Sumatera Selatan memiliki fungsi yang beragan, antara lain untuk
pakaian sehari-hari, kelengkapan tradisi daur hidup (kelahiran, khitanan, perkawinan dan
kematian; serta dapat dimanfaatkan untuk bahan souvenir, hiasan dinding, sepatu, gantungan
kunci, wadah tisu, celengan (reproduksi budaya). Dengan demikian, kain tradisional Sumatera
Selatan merupakan bagian dari sistem mata pencaharian yang memiliki prospek ekonomi
menjanjikan.

Dari tinjauan ragam hias, keberadaan kain tradisional Sumatera Selatan memiliki makna
simbolis yang erat hubungannya dengan si pemakainya. Pada masa Kesultanan Palembang,
motif-motif atau ragam hias yang terdapat pada kain tradisional Palembang, baik songket, batik
maupun jumputan diciptakan sebagai simbol identitas. Sebagai contoh, kaum bangsawan atau
priyayi menggunakan songket emas jantung yang menunjukkan derajat kebangsawanannya;
wanita keturunan Arab menggunakan songket yang bermotifkan bunga pacik; wanita yang sudah
menjada menggunakan songket bermotifkan jando beraes; sewet batik motif jupri dipakai wanita
sebagai pakaian sehari-hari; dan baju kurung senting (jumputan) dipakai wanita separuh baya
untuk menghadiri upacara adat Palembang.

Berbagai contoh ragam hias pada kain tradisional Sumatera Selatan tersebut
menunjukkan begitu mendalamnya nilai filosofis yang tergambar pada setiap jenis dan motif
kain. Hal ini menunjukkan adanya local genius dari para pencetus ide dan pembuat kain
tradisional. Seiring dengan perkembangan zaman yang serba modern, nilai-nilai filosofis
tersebut sudah tidak lagi dijalankan sepenuhnya. Bahkan, kain tradisional yang dahulu
diagungkan oleh keluarga bangsawan sebagai perlambang atau identitas, sekarang berubah
fungsi menjadi barang antik dan fungsinya pun mulai berubah. Sebagai contoh, songket emas
jantung yang dahulu begitu “sakral” di mata kaum priyayi, sekarang seringkali dijadikan sebagai
benda yang memiliki nilai prestise bagi kalangan yang mampu dari segi status ekonominya.
Kain ini seringkali digunakan sebagai mahar atau “enjuan dalam prosesi adat perkawinan.

Pameran “Pesona Kain Tradisional Sumatera Selatan” ini dikemas dengan pendekatan
kronologis dan tematis. Untuk menggambarkan benang merah sejarah kain tradisional Sumatera
Selatan, akan disajikan berbagai benda koleksi dan penunjang yang menggambarkan tema
tersebut, yakni : (1) masa pra sejarah; (2) masa klasik (Hindu-Budha); (3) masa Kerajaan Islam
dan Kesultanan Palembang; (4) masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang; (5) serta
masa revolusi fisik kemerdekaan. Sedangkan pendekan tematis mencakup teknologi pembuatan
kain tradisional Sumatera Selatan dan juga berkaitan dengan prosesi daur hidup yang mencakup:
(1) proses pembuatan kain batik; (2) proses pembuatan kain songket; (3) proses pembuatan kain
jumputan; (4) proses pembuatan kain tajung; (5) prosesi upacara kelahiran; (6) prosesi upacara
khitanan; (7) prosesi upacara perkawinan; dan (8) prosesi upacara kematian. Selain iti juga
dilengkapi dengan sub tema reproduksi kain tradisional.

Anda mungkin juga menyukai