Thalassemia PDF
Thalassemia PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TALASEMIA
2.1.1. Definisi
Menurut Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit genetik yang
menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen utama molekul
hemoglobin (Hb).
Talasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang diturunkan.
Pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara
1925-1927. Kata Talasemia dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut
dengan penduduk Mediterania, dalam bahasa Yunani Thalasa berarti laut.
(Permono, & Ugrasena, 2006)
2.1.2. Epidemiologi
Talasemia α0 ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan
Mediterania, Talasemia α+ tersebar di Afrika, Mediterania, Timur Tengah, India
dan Asia Tenggara. Angka kariernya mencapai 40-80%. (Permono, & Ugrasena,
2006)
Talasemia β memiliki distribusi sama dengan Talasemia α. Dengan
kekecualian di beberapa negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di
Mediterania dan bervariasi di Timur Tengah, India dan Asia Tenggara. HbE yang
merupakan varian Talasemia sangat banyak dijumpai di India, Burma dan
beberapa negara Asia Tenggara. Adanya interaksi HbE dan Talasemia β
menyebabkan Talasemia HbE sangat tinggi di wilayah ini. Tingginya frekuensi
Talasemia mempengaruhi kekebalan HbE ini terhadap malaria plasmodium
falsiparum yang berat. Hal ini membuktikan penyakit ini disebabkan oleh mutasi
baru dan penyebarannya dipengaruhi oleh seleksi lokal oleh malaria. Kenyataan
bahwa mutasi tersebut berbeda di setiap populasi, menunjukkan seleksi ini baru
terjadi dalam beberapa ribu tahun (Permono, & Ugrasena, 2006). \
2.1.4. Klasifikasi
Menurut Permono dan Ugrasena (2006), Talasemia adalah grup kelainan
sintesis hemoglobin yang heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih
rantau globin. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin.
Ada 3 tingkat klasifikasi Talasemia. Secara klinis bisa dibagi menjadi 3 grup
kerna ia memiliki implikasi klinis diagnosis dan penatalaksanaan:
1. Talasemia mayor sangat tergantung kepada transfusi
2. Talasemia minor/ karier tanpa gejala
3. Talasemia intermedia
Talasemia juga bisa diklasifikasikan secara genetik menjadi α-, β-, δβ-
atau Talasemia-εγδβ sesuai dengan rantai globin yang berkurang produksinya.
Pada beberapa Talasemia sama sekali tidak terbentuk rantai globin disebut αo atau
βo Talasemia, bila produksinya rendah α+ atau β+ Talasemia. Sedangkan
Talasemia δβ bisa dibedakan menjadi (δβ)o dan (δβ)+ dimana terjadi gangguan
pada rantai δ dan β (Permono, & Ugrasena, 2006).
Bila Talasemia timbul pada populasi di mana variasi hemoglobin
struktural ada. Seringkali di turunkan gen talasemia dari satu orang tua dan gen
varian hemoglobin dari orang tua lainnya. Lebih jauh lagi, mungkin pula
didapatkan Talasemia-α dan β bersamaan. Interaksi dari beberapa gen ini
menghasilkan gambaran klinis yang bervariasi mulai dari kematian dalam rahim
sampai sangat ringan (Permono, & Ugrasena, 2006).
Talasemia diturunkan berdasarkan hukum mandel, resesif atau ko-
dominan. Heterozigot biasanya tanpa gejala homozigot atau gabungan heterozigot
gejalanya lebih berat dari Talasemia α atau β (Permono, & Ugrasena, 2006).
2.1.6. Patofisiologi
Pada Talasemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi
rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis
rantai globin (rantai-α atau rantai-β) menyebabkan sintesis rantai globin yang
2.1.8. Diagnosis
Terdapat empat diagnosis utama jika seseorang menderita talasemia.
Pertama, terdapat gambaran sel darah merah mikrositik yang banyak sehingga
nilainya jatuh kepada diagnosis anemia. Kedua, dari anamnesa terdapat riwayat
keluarga yang menderita penyakit yang sama. Ketiga, gambaran sel darah merah
yang abnormal yakni mikrositik, acanthocytes dan terdapat sel target. Keempat,
untuk Talasemia beta, terdapat peningkatan hemoglobin α2 atau F (Linker, 1996).
2.1.10. Penatalaksanaan
Menurut Linker (1996), pasien dengan Talasemia ringan (Talasemia-α
atau Talasemia-β minor) secara klinis tampak normal dan tidak memerlukan
pengobatan. Pasien yang perlu pengobatan yang serius merupakan pasien yang
menderita anemia berat seperti Talasemia-β mayor.
Pasien Talasemia-β mayor harus mendapatkan transfusi darah yang
teratur, mengurangi komplikasi anemia dan eritropoiesis yang tidak efektif,
membantu pertumbuhan dan perkembangan selama masa anak-anak dan
memperpanjang ketahanan hidup pada Talasemia mayor. Keputusan untuk
memulai program transfusi didasarkan pada kadar hemoglobin <6g/dl dalam
interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut, yang berhubungan dengan
2.1.11. Prognosis
Tidak ada pengobatan untuk Hb Bart’s. Pada umumnya kasus penyakit Hb
H mempunyai prognosis baik, jarang memerlukan transfusi darah atau
splenektomi dan dapat hidup biasa. Talasemia alfa 1 dan Talasemia alfa 2 dengan
fenotip yang normal pada umumnya juga mempunyai prognosis baik dan tidak
memerlukan pengobatan khusus.
Transplantasi sumsum tulang alogenik adalah salah satu pengobatan
alternative tetapi hingga saat ini belum mendapatkan penyesuaian hasil atau
bermanfaat yang sama di antara berbagai penyelidik secara global.
Talasemia β homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang
mencapai usia dekade ke 3, walaupun digunakan antibiotic untuk mencegah
infeksi dan pemberian chelating agents (desferal) untuk mengurangi
hemosiderosis (harga umumnya tidak terjangkau oleh penduduk Negara
berkembang). Di Negara maju dengan fasilitas transfuse yang cukup dan
perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat mencapai dekade ke 5
dan kualitas hidup juga lebih baik.
b) Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis
rantai globin pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat
kehamilan 18-20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah
banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel
villi chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu.
Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan
pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik
CVS, mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis
pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin
menggunakan restriction fragment length polymorphism (RELPs),
dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari mutasi.
Yang lebih baru, perkembangan dari polymerase chain reaction (PCR)
untuk mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh
enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai
bentuk α dan β dari Talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin.
Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida
untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam
pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier
dan diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari
32
ujung oligonukleotida yang diberi label P spesifik untuk memperbesar
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya, maka
pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding pengobatan. Program
pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi, yakni (1) penapisan
(skrining) pembawa sifat Talasemia, (2) konsultasi genetik (genetic counseling),
dan (3) diagnosis prenatal. Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara
prospektif dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif
pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan
secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga
penderita Talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi
dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu program
pencegahan yang baik untuk Talasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan
tersebut. Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik
terutama di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif
memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha
program pencegahan di negara berkembang dengan negara maju. Program
pencegahan retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang
daripada program prospektif.
2.3.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak,
dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan (predisposisi) tindakan atau
perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi
terbuka tingkahlaku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahawa sikap
merupakan reaksi terhadap objek dilingkingan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni:
a. Menerima (receiving)
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon ( responding)