Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian General Anestesi


Istilah anastesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada
tahun 1846. Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani An- “tidak,
tanpa” dan aesthetos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Obat yang digunakan
dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik dan kelompok ini dibedakan
dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan,
anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya kesadaran,
sedangkan anastetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum bekerja
disusunan saraf pusat, sedangkan anastetik lokal bekerja langsung pada serabut saraf
di perifer.
Menurut Mangku (2010) general anestesi merupakan tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversible). General anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke
jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi. Selama masa induksi pemberian
obat bius harus cukup untuk beredar di dalam darah dan tinggal di dalam jaringan
tubuh.
Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia
yang ideal terdiri:
1. Hipnotik
2. Analgesia
3. Relaksasi otot
Tanda-tanda dan tingkat anestesi. Anastesik mendepresi SSP secara perlahan,
yang dapat dibagi menjadi 4 tahap:

1. Tahap I atau analgesia


Tahap ini ditandai dengan berkurangya respon terhadap nyeri perasaan enak
atau euforia dan hilangnya kesadaran (tidur).
2. Tahap II atau delirium
Fase ini juga disebut excitement karena terjadi perangsangan simpatik. Yaitu
terjadi peningkatan tekanan darah, kecepatan denyut jantung, pernafasan dan
tonus otot. Dalam fase ini dapat terjadi aritmia jantung namun karena adanya
depresi hipotalamus menyebabkan masuk pada fase III.
3. Fase III
Dalam fase ini tindakan pembedahan dilangsungkan. Dalam tahap ini terjadi
depresi SSP yang dalam terapi fungsi jantung dan pernafasan kembali normal
disertai reflek spinal terhambat oleh otot skelet relaksasi.
4. Fase IV
Fase IV atau paralisis medula, ini terjadi kalau over dosis, yaitu terjadi
hambatan pusat jantung dan pernafasan di medula.
Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya yaitu anastetik inhalasi dan intravena.

1. Anastesik inhalasi
Obat anastesik yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu. pembedahan ialah N2O. Dalam dunia modern anastesik inhalasi
yang umum digunakan untuk praktek klinik adalah N2O, halotan, enfluran,
isofluran, desfluran, dan sevofoluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap
secara terkontrol dan cepat karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-
paru. Sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi oleh paru-paru sebagian
lagi dimetabolisme oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa
metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.
2. Anestesik intravena
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi
anestesia, induksi dan pemeliharaan anestesia bedah singkat, suplementasi
hypnosis pada anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi
pada beberapa tindakan medik atau untuk membentu prosedur diagnostik
misalnya tiopental, ketamin dan propofol. Untuk anestesia intravena total
biasanya menggunakan propofol. Anestesia intravena ideal membutuhkan
kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu larut dalam air
dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat
menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh
amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh
obat antagonisnya, cepat dieliminasi oleh tubuh, tidak atau sedikit
mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik
tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual-muntah),
menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan diatas, kita
dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain.
Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah
satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.
Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, tahap yang
tidak sadar lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh
karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan
anestesi.
Kekurangan anestesi intravena paling menonjol yaitu terjadi induksi
cepat dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada gangguan
pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan
ketidakstabilan hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan
bersama dengan anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang
memadai dan dengan relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang
optimum.

B. Komplikasi Pada Anestesi Umum


Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan
oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989).
Komplikasi segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian
segera ataupun belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga
walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik (Thaib,
1989). Menurut Ellis & Campbell (1986), secara umum komplikasi anestesi
yang sering dijumpai antara lain:
1. Kerusakan Fisik
Komplikasi anestesi juga berdampak pada kerusakan fisik seperti : pembuluh
darah, intubasi, dan saraf superfisial.
a. Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan memar,
eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit di atasnya, infeksi
lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur berdekatan, terutama arteri
dan saraf (Ellis & Campbell, 1986). Kanulasi vena yang lama lebih
mungkin menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.
b. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi trachea.
Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika disertai kemungkinan
inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika dibiarkan tidak
terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan epistaksis yang tak
menyenangkan dan kadang–kadang sonde dapat membentuk saluran di
bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha (Ellis
& Campbell, 1986). Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama
pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior
struktur yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
c. Saraf Superfisial
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf, seperti poplitea
lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan “foot
drop”, fasialis sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan
paralisis otot wajah, ulnaris sewaktu ia menyilang epicondylus medialis,
yang menyebabkan paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta
nervus radialis sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang
menyebabkan “wrist drop” (Ellis &Campbell, 1986).
2. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul (Brunner & Suddarth, 2001) :
a. Hipoksemia yang tidak terdeteksi
b. Atelektasis
c. Bronkhitis
d. Bronkhopneumonia
e. Pneumonia lobaris
f. Kongesti pulmonal hipostatik
g. Plurisi
h. Superinfeksi
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah obstruksi saluran
pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi. Intubasi yang
gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi lambung,
seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan.
Gagal pernapasan akibat kelemahan otot setelah pemulihan dari
relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi,
hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap
nyeri luka.
Gangguan pernapasan mendadak, terutama yang timbul kemudian
adalah konvalesensi, biasanya sebagai akibat embolisme pulmonalis sekunder
terhadap lepasnya thrombus dari vena pelvis atau betis. Thrombus vena
profunda di tungkai dapat diduga, bila pasien mengeluh pembengkakan atau
nyeri tekan otot betis (Ellis & Campbell, 1986).
3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi,
hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Thaib, 1989). Hipotensi
didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun
lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh
hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika,
penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi.
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan
anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis yang
tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi
yang tidak adekuat (Thaib, 1989). Sementara faktor-faktor yang mencetuskan
aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit,
dan pengaruh beberapa obat tertentu.
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Insidens virus
Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim, yang
diperkirakan sekitar 100–400 per sejuta pada suatu waktu (Ellis & Campbell,
1986). Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi kemanjuran susunan
kekebalan dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi yang mencakup
hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu mungkin
harus dihalangi.
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi
menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama,
terutama dengan pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang
menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi
perifer tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan
oksigen meningkat sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah
(Ellis & Campbell, 1986).

C. Pencegahan Komplikasi Anestesi


Setelah tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara di ruang
Post Anestesi Care Unit (PACU) atau Recovery Room (RR) sampai kondisi
pasien stabil dan tidak mengalami komplikasi operasi serta memenuhi syarat
untuk dipindahkannya ke ruang perawatan (bangsal perawatan).
Peran perawat pada fase pasca anestesi merupakan upaya dalam
pencegahan terjadinya komplikasi anestesi yaitu peran pemantauan atau
pengkajian pasca anestesi dan peran penatalaksanaan atau perawatan pasien
pasca anestesi. Periode setelah anestesi adalah periode gawat. Untuk itu pasien
harus dipantau dengan jeli dan harus mendapat bantuan fisik dan psikologis
yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan
kondisi umum mulai stabil. Pemantauan yang efektif mengurangi
kemungkinan outcomes (akibat) buruk yang bisa terjadi setelah anesthesia
melalui pengidentifikasian kelainan sebelum menimbulkan kelainan yang
serius atau tidak dapat diubah. Pemantauan dilakukan segera setelah pasien
masuk di ruang PACU atau di ruang dimana pasien telah mendapatkan
tindakan anestesi yang meliputi pengkajian sistem pernapasan, sistem
kardiovaskuler, keseimbangan cairan dan elektrolit, sistem persyarafan, sistem
perkemihan, dan sistem gastrointestinal.

D. Penanganan Komplikasi General Anestesi


1. Komplikasi pada suhu tubuh
Selama pembedahan terjadi bisa timbul hipotermi jika hipotermi tidak
ditangani segera bisa menimbulakan menggigil. Penanganan hipotermi dan
menggigil dilakukan secara farmakologi dan non farmakologi.
a. Non farmakologi
1) Penghangatan eksternal pasif
Teknik ini dilakukan dengan cara menyingkirkan baju basah kemudian
tutupi tubuh pasien dengan konduksi panas, seperti kompres hangat.
Tujuan kompres hangat
(a) Mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah. Secara fisilogis respon
tubuh terhadap panas yaitu Meningkatkan sirkulasi darah.
(b) Menurunkan kekentalan darah, otot.
(c) Membantu mengatasi terjadinya kaku otot dan spasme otot.
(d) Menyebabkan pelebaran pembuluh darah.
(e) Memberi rasa hangat,nyaman dan tenang pada klien menurunkan
ketegangan.
(f) Meningkatkan metabolisme jaringan dan meningkatkan permeabilitas
kapiler.
2) Penghangatan eksternal aktif
Teknik ini digunakan untuk pasien yang tidak berespon dengan
penghangatan eksternal pasif (selimut penghangat, mandi air hangat atau
kompres), dapat diberikan cairan infus hangat IV (suhu 39o – 40oC) untuk
menghangatkan pasien dan oksigen.
3) Penghangatan internal aktif
Ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain irigasi ruang pleura
atau peritoneum, hemodialisis dan operasi bypass kardiopulmonal. Dapat
pula dilakukan bilas kandung kemih dengan cairan NaCl 0,9% hangat, bilas
lambung dengan cairan NaCl 0,9% hangat (suhu 40o – 45oC) atau dengan
menggunakan tabung penghangat esophagus.
b. Farmakologi
Intervensi kolaboratif yang biasa diberikan adalah pemberian opioid
pethidin, tramadol (Doengoes, dalam Habeahan, 2017) obat ini secara
farmakologi selain analgetik narkotik juga memiliki efek samping yaitu efektif
untuk mengatasi shivering, baik pada general anastesi maupun spinal anestesi
karena chemoreseptornya sama sama di hipotalamus.

2. Komplikasi Pernafasan
a. Obat-obatan
Beberapa jenis obat bisa digunakan untuk mengobati hipoksemia. Obat-obatan
tersebut biasanya diberikan melalui inhaler. Jadi, pemakaian obat-obatan
tersebut adalah dengan cara dihirup untuk bisa sampai ke paru-paru.
b. Terapi oksigen
Terapi oksigen bisa menjadi solusi untuk mengatasi kejadian hipoksemia. Cara
ini baru direkomendasikan oleh dokter apabila pasien memiliki hipoksemia
yang lebih parah. Terapi oksigen ini adalah tindakan yang dilakukan dengan
menggunakan tabung agar pasien bisa menerima oksigen tambahan.
3. Komplikasi Kardiovaskuler
Hipotensi merupakan komplikasi dengan presentase terbanyak dari
intraoperatif sampe pascaoperatif. Untuk penanganan hipotensi biasanya
meningkatkan volume intravaskular dengan pemberian cairan intravena sebelum
tindakan anestesia atau secara mekanik dengan cara menaikkan preload dengan
elevasi kaki, membungkus kaki, atau juga posisi kepala lebih rendah (Siddik,
2009).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
General anestesi merupakan tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komplikasi anestesi
dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga walaupun tindakan anestesi
sudah dilaksanakan dengan baik. secara umum komplikasi anestesi yang sering
dijumpai antara lain kerusakan fisik, gangguan fungsi pernapasan, gangguan pada sistem
kardiovaskuler, gangguan fungsi hati dan suhu tubuh.
Penanganan komplikasi pada general anestesi diantaranya komplikasi pada suhu
tubuh ditangani secara farmakologis dan non farmaklologis. Komplikasi pada pernafasan
penangangannya dengan obat-obatan dan terapi oksigen. Komplikasi kardiovaskuler
penangannnya dengan pemberian cairan intravena sebelum tindakan anestesi, atau
pemberian efedrin.

B. Saran
Kepada tim operasi yang terlibat dalam penanganan pasien dengan general anestesi
agar dapat melaksanakan peran tersebut dengan baik dan berkolaborasi antar sesama
mengingat pasien yang mengalami operasi dengan general anestesi memerlukan
pemantauan yang ketat serta penatalaksanaan yang tepat.
Daftar Pustaka

Dughdale, A. (2011). Vetirenary Anaesthetic: Principle to Practice. United Kingdom:


Blakwell Publishing Ltd.

Siddik S, Nasr VG, Taha SK, Zbeide RA, Shehade JMA. A randomized trial comparing
colloid preload to colload during anesthesia for elective cesarean delivery. Anesth
Analg. 2009;109:1219–24.

Anda mungkin juga menyukai