Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Usaha peningkatkan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan, pemenuhan

akan air mempunyai peranan penting. Banyak usaha yang dilakukan untuk

memenuhinya, antara lain dengan pemanfaatan sumber air permukaan seperti

sungai dan waduk, disamping sumber air tanah dalam dengan sumur bor.

Selain kebutuhan akan air, tanaman juga membutuhkan tempat untuk

tumbuh (lahan atau sawah). Sawah dan lahan yang baik untuk pertanian ialah tanah

yang mudah dikerjakan, bersifat produktif dan subur serta cukup akan kebutuhan air.

Udara dan air mengisi pori-pori di antara butir tanah umumnya dipandang sebagai

bagian dari tanah. Dengan demikian, tanah terdiri dari tiga komponen, yaitu butir-

butir tanah, air, dan udara.

Perbandingan antara butir-butir tanah, air, dan udara perlu diusahakan agar

dapat memenuhi suatu nilai dalam batas-batas tertentu. Pemberian air juga dipengaruhi

elevasi tempat dimana tanaman tumbuh, maka pengaturan sistem irigasi

disesuaikan dengan kondisi topografi setempat. Kelebihan air di suatu daerah

pertanian dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman pada areal tersebut terganggu,

karena dapat menyebabkan sebagian atau seluruh akar tanaman menjadi busuk.

Lahan pertanian di samarinda provinsi kalimantan timur area persawahannya

memanfaatkan jaringan irigasi air permukaan menggunakan air dari bendung benanga
yang dialirkan ke areal persawahan. Agar jaringan irigasi tersebut dapat digunakan

sesuai dengan fungsinya, maka diperlukan adanya pengelolaan jaringan irigasi

yang efektif dan efisien. Pengelolaan jaringan irigasi akan mempengaruhi sistem

pemberian air pada petak-petak sawah dan tingkat pelayanan irigasi yang

diterima petani.

1.1 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah Tugas Besar Irigasi dan Bangunan Air, sebagai

berikut :

 Menghitung Evapotranspirasi potensial, Debit andalan dan debit Q80%

 Mendesain rencana bangunan irigasi beserta detailnya

1.4 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah Tugas Besar Irigasi dan Bangunan Air ini mencakup

beberapa hal, yaitu :

 Menghitung Evapotranspirasi potensial, Debit andalan dan debit Q80% dari

tahun 2011 - 2015

 Mendesain rencana bangunan irigasi beserta detailnya berdasarkan nilai debit

andalan

1.5 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan Irigasi dan Bangunan Air adalah sebagai berikut

:
BAB I PENDAHULUAN

Berisikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, rumusan

masalah, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Berisikan teori-teori tentang Irigasi dan Bangunan Air, serta cara

analisa perhitungan evapotranspirasi dan debit andalan.

BAB III HASIL PERHITUNGAN

Berisikan tentang hasil perhitungan Evapotranspirasi dan debit

andalan, Serta desain saluran irigasi.

BAB IV PENUTUP

Berisikan kesimpulan dan saran yang berfungsi sebagai batasan

dari pembahasan dalam desain ini.

DAFTAR PUSTAKA

Berisikan tentang buku – buku referensi penunjang penulisan

laporan.

LAMPIRAN
BAB II

DASAR TEORI

2.1. Irigasi

Irigasi artinya mengalirkan air dari sumber air kepada sebidang lahan untuk

memenuhi kebutuhan tanaman. Menurut Oktavianti (2014) Irigasi adalah usaha

penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang

jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi

pompa, dan irigasi tambak. Sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi,

manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia.

Jarigan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya, yang

merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian,

penggunaan, dan pembuangan

air irigasi. Irigasi berarti memberikan tambahan air pada saat - saat cadangan air di

dalam tanah tidak mencukupi.

2.2. Saluran irigasi

Saluran irigasi bertujuan untuk memenuhi permintaan air irigasi bagi daerah

layanan. Kebutuhan air irigasi akan ditentukan oleh umur dan jenis tanaman yang akan

ditanam serta cuaca yang terjadi, sehingga pengelolaan jaringan irigasi akan mengikuti

pola dan tata tanam. Pengelolaan jaringan irigasi akan disesuaikan dengan ketersediaan

air jika permintaan air irigasi lebih besar dari pada ketersediaan air, sehingga analisis

optimasi perlu dilakukan untuk memaksimalkan luas areal fungsional atau keuntungan
optimum dalam satu tahun tanam. Prasarana jaringan (bangunan sadap/bagi/pemberi,

saluran, bangunan pengatur dan pengukur air irigasi) harus siap dioperasikan sesuai

dengan standar operasi berdasarkan pola dan tata tanam. Berdasarkan cara pengaturan,

pengukuran aliran air dan lengkapnya fasilitas, jaringan irigasi dapat dibedakan

kedalam tiga jenis yaitu:

1. Irigasi Sederhana (Non Teknis).

2. Irigasi Semi Teknis.

3. Irigasi Teknis.

Dalam suatu jaringan irigasi yang dapat dibedakan adanya empat unsur

fungsional pokok yaitu:

Bangunan–bangunan utama (headworks) dimana air diambil dari sumbernya,

umumnya sungai atau waduk.

1. Jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi ke petak-petak

tersier.

2. Petak-petak tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuang kolektif,

air irigasi dibagi-bagi dan dialirkan ke sawah- sawah serta kelebihan air di

tampung di dalam suatu sistem pembuangan di dalam petak tersier.

3. Sistem pembuangan yang ada di luar daerah irigasi untuk membuang kelebihan

air lebih ke sungai atau saluran-saluran alamiah.

Petak tersier menerima air disuatu tempat dalam jumlah yang sudah diukur dari

suatu jaringan pembawa yang diatur oleh dinas pengairan. Untuk memudahkan sistem

pelayanan irigasi pada lahan pertanian, disusun suatu organisasi petak yang terdiri dari
petak primer, petak sekunder, petak tersier, petak kuarter, dan petak sawah sebagai

satuan terkecil.

2.3. Bangunan Irigasi

Keberadaan bangunan irigasi diperlukan untuk menunjang pengambilan dan

pengaturan air irigasi. Beberapa jenis bangunan irigasi yang sering dijurnpai dalam

praktek irigasi antara lain (1) bangunan utama, (2) bangunan pembawa, (3) bangunan

bagi, (4) bangunan sadap, (5) bangunanm pengatur muka air, (6) bangunan pernbuang

dan penguras serta (7) bangunan pelengkap. Bangunan utama dimaksudkan sebagai

penyadap dari suatu sumber air untuk dialirkan ke seluruh daerah irigasi yang dilayani.

Berdasarkan sumber airnya, bangunan utarna dapat diklasifikasikan menjadi beberapa

kategori, (1) bendung, (2) pengambilan bebas, (3) pengambilan dari waduk, dan (4)

stasiun pompa. Bendung adalah adalah

bangunan air dengan kelengkapannya yang dibangun melintang sungai atau sudetan

yang sengaja dibuat dengan maksud untuk meninggikan elevasi muka air sungai.

Apabila muka air di bendung mencapai elevasi tertentu yang dibutuhkan, maka air

sungai dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke tempat-ternpat yang

mernerlukannya (Binilang, 2014).

Terdapat beberapa jenis bendung, diantaranya adalah (1) bendung tetap (weir),

(2) bendung gerak (barrage) dan (3) bendung karet (inflamble weir). Pada bangunan

bendung biasanya dilengkapi dengan bangunan pengelak, peredam energi, bangunan

pengambilan, bangunan pembilas, kantong lumpur dan tanggul banjir. Pengambilan

bebas adalah bangunan yang dibuat ditepi sungai menyadap air sungai untuk dialirkan
ke daerah irigasi yang dilayani. Perbedaan dengan bendung adalah pada bangunan

pengambilan bebas tidak dilakukan pengaturan tinggi muka air di sungai. Untuk dapat

mengalirkan air secara, gravitasi muka air di sungai harus lebih tinggi dari daerah

irigasi yang dilayani (Direktorat Jenderal Air, 2010).

Bangunan pernbawa mempunyai fungsi mernbawa/mengalirkan air dari

surnbemya menuju petak irigasi. Bangunan pernbawa meliputi saluran primer, saluran

sekunder, saluran tersier dan saluran kwarter. Termasuk dalam bangunan pernbawa

adalah talang, gorong-gorong, siphon, tedunan dan got miring. Saluran primer biasanya

dinamakan sesuai dengan daerah irigasi yang dilayaninya. Sedangkan saluran

sekunder sering dinamakan sesuai dengan nama desa yang terletak pada petak sekunder

tersebut. Berikut ini penjelasan berbagai saluran yang ada dalam suatu sistern irigasi:

1. Saluran primer membawa air dari bangunan sadap menuju saluran sekunder dan

ke petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada

bangunan bagi yang terakhir.

2. Saluran sekunder membawa air dari bangunan yang menyadap dari saluran

primer menuju petak-petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut.

batas akhir dari saluran sekunder adalah bangunan sadap terakhir.

3. Saluran tersier membawa air dari bangunan yang menyadap dari saluran

sekunder menuju petak-petak kuarter yang dilayani oleh saluran sekunder

tersebut. batas akhir dari saluran sekunder adalah bangunan boks tersier

terakhir.
4. Saluran kuarter mernbawa air dari bangunan yang menyadap dari boks tersier

menuju petak-petak sawah yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. batas

akhir dari saluran sekunder adalah bangunan boks kuarter terakhir.

Bangunan bagi merupakan bangunan yang terletak pada saluran primer,

sekunder dan tersier yang berfungsi untuk membagi air yang dibawa oleh saluran yang

bersangkutan. Khusus untuk saluran tersier dan kuarter bangunan bagi ini masing-

masing disebut boks tersier dan boks kuarter. Bangunan sadap tersier mengalirkan air

dari saluran primer atau sekunder menuju saluran tersier penerima. Dalam rangka

penghematan bangunan bagi dan sadap dapat digabung menjadi satu rangkaian

bangunan. Bangunan bagi pada saluran-saluran besar pada umumnya mempunyai 3

(tiga) bagian utama, yaitu:

1. Alat pembendung, bermaksud untuk mengatur elevasi muka air sesuai dengan

tinggi pelayanan yang direncanakan

2. Perlengkapan jalan air melintasi tanggul, jalan atau bangunan lain menuju

saluran cabang. Konstruksinya dapat berupa saluran terbuka ataupun gorong-

gorong.

3. Bangunan ini dilengkapi dengan pintu pengatur agar debit yang masuk saluran

dapat diatur.

Agar pemberian air irigasi sesuai dengan yang direncanakan, perlu dilakukan

pengaturan dan pengukuran aliran di bangunan sadap (awal saluran primer), cabang

saluran jaringan primer serta bangunan sadap primer dan sekunder. Bangunan pengatur

muka air dimaksudkan untuk dapat mengatur muka air sampai batas-batas yang
diperlukan untuk dapat memberikan debit yang konstan dan sesuai dengan yang

dibutuhkan. Sedangkan bangunan pengukur dimaksudkan untuk dapat memberi

informasi mengenai besar aliran yang dialirkan (Direktorat Jenderal Pengairan, 1986).

Kadangkala, bangunan pengukur dapat juga berfungsi sebagai bangunan pangatur.

Beberapa contoh bangunan pengukur debit disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Beberapa Jenis Alat Ukur Debit

Kemampuan
Tipe Alat Ukur Mengukur dengan
mengatur

Ambang Aliran atas Tidak


Lebar Parshal Aliran atas Tidak
Flume Aliran atas Tidak
Cipoletti Aliran atas Tidak
Romijn Aliran bawah Ya
Crump de Gruyter Aliran bawah Ya
Constant Head Orifice Aliran bawah Ya
Sumber Direktorat Jenderal Pengairan, (1986)

2.4. Petak Tersier

Perencanaan dasar yang berkenaan dengan unit irigasi adalah petak tersier.

Petak tersier menerima air irigasi yang dialirkan dan diukur pada bangunan sadap

tersier. Bangunan sadap tersier mengalirkan airnya ke saluran tersier. Pada petak tersier

pembagian air, eksploitasi dan pemeliharaan menjadi tanggung jawab para petani yang

bersangkutan, di bawah bimbingan pemerintah. Petak tersier yang terlalu besar akan

mengakibatkan pembagian air menjadi tidak efisien. Faktor-faktor penting lainnya


adalah jumlah petani dalam satu petak, jenis tanaman dan topografi. Didaerah-daerah

yang ditanami padi luas petak tersier idealnya maksimum 50 ha, tapi dalam keadaan

tertentu dapat ditolelir sampai seluas 75 ha, disesuaikan dengan kondisi topografi dan

kemudahan eksploitasi dengan tujuan agar pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan

lebih mudah. Petak tersier harus mempunyai batas-batas yang jelas seperti misalnya

parit, jalan, batas desa dan batas perubahan bentuk lapangan. Petak tersier dibagi

menjadi petak-petak kuarter, masing- masing seluas kurang lebih 8-15 Ha. Apabila

keadaan topografi memungkinkan, bentuk petak tersier sebaiknya bujur sangkar atau

segi empat untuk mempermudah pengaturan tata letak dan memungkinkan pembagian

air secara efisien. Petak tersier harus terletak langsung berbatasan dengan saluran

sekunder atau saluran primer. Pengecualian jika petak- petak tersier tidak secara

langsung terletak di sepanjang jaringan saluran irigasi utama yang dengan demikian,

memerlukan saluran tersier yang membatasi petak-petak tersier lainnya, hal ini harus

dihindari. Panjang saluran tersier sebaiknya kurang dari 1.500 m, tetapi dalam

kenyataan kadang- kadang panjang saluran ini mencapai 2.500 m.

Panjang saluran kuarter lebih baik di bawah 500 m, tetapi prakteknya kadang-kadang

sampai 800 m (Direktorat Jenderal Pengairan, 1986).

2.5. Klimatologi

Klimatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang iklim. Iklim adalah

gabungan dari keadaan cuaca sehari-hari. Ilmu ini melukiskan dan menerangkan

hakikat iklim, distribusinya terhadap ruang serta variasinya terhadap waktu,

hubungannya dengan berbagai unsur lain dan aktivitas manusia. Iklim ini terjadi dalam
waktu yang lama dan tempat yang luas. Keadaan fisis atmosfer ini dinyatakan dengan

hasil pengukuran berbagai unsur iklim seperti suhu, curah hujan, tekanan,

kelembaban,laju serta arah angin, perawanan, penyinaran matahari. Salah satu yang

dipelajari dalam klimatologi adalah jenis awan.

Klimatologi erat hubungannya dengan pertanian karena produksi pertanian

sangat bergantung pada tanah, iklim, tanaman, dan sumber daya manusia. Manusia

harus memahami bagaimana karakteristik iklim untuk kemudian disesuaikan ke bidang

pertanian sehingga terwujud produksi pertanian yang maksimal.Dalam mempelajari

karakteristik iklim digunakan peralatan pada stasiun klimatologi. Unsur-unsur yang

diamati yaitu keadaan cuaca, angin, jumlah macam dan tinggi dasar awan, suhu udara,

kelembaban udara, tekanan udara, curah hujan, penyinaran matahari dan suhu tanah.

2.6. Debit Andalan

Debit andalan adalah besarnya debit yang tersedia di suatu lokasi sumber air

(misalnya: sungai) untuk dapat dimanfaatkan/dikelola dalam penyediaan air (misalnya;

air baku dan air irigasi) dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan. Dalam

perencanaan suatu bangunan penyediaan air terlebih dahulu harus dicari debit

andalan (dependable discharge), yang tujuannya adalah untuk menentukan debit

perencanaan yang diharapkan selalu tersedia di sungai (Soemarto, 1987 dalam Zulfikar

dkk, 2012). Untuk menentukan besarnya debit andalan, dapat dihitung dengan

beberapa metode yang disesuaikan dengan data yang tersedia. Data yang tersedia dapat

berupa seri data debit yang dimiliki oleh setiap stasiun pengamatan debit sungai
maupun data seri data curah hujan yang dimiliki oleh setiap stasiun pencatat curah

hujan pada DAS Sungai yang dimaksud.

2.6.1. Debit Andalan Berdasarkan Data Debit

Metode yang sering dipakai untuk analisis debit andalan adalah metode statistik

rangking. Penetapan rangking dilakukan menggunakan analisis frekuensi atau

probabilitas dengan rumus Weibull. Debit andalah dihitung berdasarkan probabilitas

dari sejumlah data pengamatan debit. Perhitungan debit andalan mengunakan

rumus dari Weibull:

𝑚
𝑃= 𝑋 100%
𝑛+1

Keterangan variabel yang digunakan:

P : probabilitas terjadinya kumpulan nilai (misalnya: debit) yang diharapkan

selama periode pengamatan (%)

m : nomor urut kejadian, dengan urutan variasi dari besar Ke kecil

n : jumlah data pengamatan debit

Probabilitas atau keandalan debit yang dimaksud berhubungan dengan

probabilitas atau nilai kemungkinan terjadinya sama atau melampui dari yang

diharapkan. Debit andalan yang digunakan untuk perencanaan penyediaan air irigasi

menggunakan debit andalan 80%. Keandalan 80% mempunyai arti bahwa

kemungkinan debit terpenuhi adalah 80% atau kemungkinan debit sungai lebih rendah

dari debit andalan adalah 20% (SPI KP-1 : 1986).


2.6.2. Debit Andalan Berdasarkan Data Hujan

Perhitungan debit andalan dengan cara empiris dapat dilakukan bila data debit

sungai tidak tersedia. Metode perhitungan yang umumnya digunakan di Indonesia

antara lain metode F.J Mock dan NRECA. Analisis debit dari kedua metode tersebut

direkomendasikan berdasarkan tingkat empiris, ketepatan hasil dan kemudahan

perhitungan (Dirrjen ESDM, 2009).

1. Metode Mock

Metode Mock ditemukan dan dikembangkan oleh Dr.F.J.Mock. Dalam

makalahnya, “Land Capability Appraisal Indonesia & Water Availability

Appraisal”, F.J Mock memperkenalkan model sederhana simulasi

keseimbangan air (water balance) untuk menghitung aliran sungai dari data

curah hujan, evapotranspirasi dan karakteristik hidrologi Daerah Aliran Sungai

(DAS) untuk memperkirakan ketersediaan air di sungai.

Pada prinsipnya, metode F.J Mock memperhitungkan volume air yang

masuk, keluar dan yang disimpan di dalam tanah (soil storage). Volume air

yang masuk adalah hujan, volume air yang keluar adalah infiltrasi, perkolasi

dan yang paling dominan adalah evapotranspirasi. Secara keseluruhan,

perhitungan debit andalan dengan Metode F.J Mock ini mengacu pada water

balance, dimana volume air total yang ada di bumi adalah tetap, hanya sirkulasi

dan distribusinya yang bervariasi (Yanuar, 2012).

Air hujan yang jatuh (presipitasi) pada cathment area, sebagian akan

mengalami evapotranspirasi, sebagian akan langsung menjadi aliran permukaan


(direct run off) dan sebagian lagi akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Proses

evapotranspirasi terjadi sesuai dengan vegetasi yang menutupi daerah

tangkapan hujan. Evapotranspirasi pada Metode F.J Mock adalah

evapotranspirasi yang dipengaruhi oleh jenis vegetasi, permukaan tanah dan

jumlah hari hujan. Infiltrasi pertama akan menjenuhkan top soil, kemudian

menjadi perkolasi membentuk air bawah tanah (ground water) yang kemudian

akan keluar ke sungai sebagai aliran dasar atau base flow (Kadir, 2010).

Perhitungan debit andalan F.J Mock dibagi ke dalam lima perhitungan

utama yaitu perhitungan evapotranspirasi aktual, water balance atau

keseimbangan air, run off dan air tanah, total volume tersimpan dan aliran

permukaan. Kriteria perhitungan dan asumsi diurutkan sebagai berikut;

a. Data meteorologi

- Data curah hujan bulanan (R) untuk setiap tahun

- Data jumlah hari hujan bulanan (n) untuk setiap tahun

b. Parameter yang digunakan dalam perhitungan debit andalan

- M = persentase lahan yang terbuka atau tidak

ditumbuhi vegetasi, nilainya dapat ditaksir dengan

peta tata guna lahan atau pengamatan di lapangan

- K = koefisien simpan tanah atau faktor resesi aliran

tanah (Catchment Area Resession Factor). Nilai K

ditentukan oleh kondisi geologi lapisan bawah.


Batasan nilai K yaitu antara 0 – 1,0. Semakin besar

K, semakin kecil air yang mampu keluar dari tanah

- Vn-1 = penyimpanan awal (initial storage). Nilai ini berkisar

antara 3 mm – 109 mm.

c. Evapotranspirasi

Menurut Setiawan dkk (2009), evapotranspirasi merupakan gabungan

dari dua kata, evaporasi dan transpirasi. Evaporasi yaitu penguapan air dari

permukaan air, tanah dan bentuk permukaan bukan vegetasi lainnya oleh proses

fisika. Transpirasi adalah penguapan air dari daun dan cabang tanaman melalui

pori -pori daun. Transpirasi umumnya terjadi pada siang hari karena pada

malam hari stomata akan tertutup (Asdak, 1995).

Apabila evaporasi dan transpirasi digabungkan maka disebut

evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah keseluruhan jumlah air yang

berasal dari tanah, air, dan vegetasi yang diuapkan kembali ke atmosfer

(Asdak, 1995). Perhitungan evapotranspirasi dapat menggunakan metode

Penman Modifikasi.

Evapotranspirasi diklasifikasi menjadi 2 jenis, yaitu

evapotranspirasi potensial (PET) dan evapotranspirasi aktual (AET).

Evapotranspirasi potensial adalah evapotranspirasi yang mungkin terjadi pada

kondisi air yang tersedia berlebihan. Evapotranspirasi ini lebih dipengaruhi oleh

faktor-faktor meteorologi dan tersedianya air yang cukup banyak. Jika jumlah

air selalu tersedia berlebihan dari yang diperlukan oleh tanaman selama proses
transpirasi, maka jumlah air yang ditranspirasikan relatif lebih besar

dibandingkan apabila tersedianya air di bawah keperluan (Bappenas, 2007

dalam Wirasembada, 2012). Faktor dominan yang mempengaruhi terjadinya

evapotranspirasi potensial yaitu radiasi panas matahari, suhu, kelembapan

atmosfer dan kecepatan angin (Asdak, 1995).

Evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang terjadi pada

kondisi air yang jumlahnya terbatas. Evaporasi aktual lebih dipengaruhi oleh

faktor fisiologi tanaman dan unsur tanam (Asdak, 1995). Selain itu,

evapotranspirasi aktual juga dipengaruhi oleh proporsi permukaan luar yang

tidak tertutupi tumbuhan hijau (exposed surface) pada musim kemarau.

Besarnya exposed surface (m) untuk tiap daerah berbeda-beda (Mock, 1973)

mengklasifikasikan nilai m ke dalam tiga daerah. Nilai m tersebut tertera pada

tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1. Nilai Exposed Surface (m) Berdasarkan Jenis Tutupan Lahan

M Daerah

0% Hutan primer, sekunder

10 - 40 % Daerah tererosi

30 - 50 % Daerah ladang pertanian

(sumber: Bappenas, 2007 dalam Wirasembada,

2012)
Selain exposed surface, evapotranspirasi aktual juga dipengaruhi oleh

jumlah hari hujan (n) dalam bulan yang bersangkutan. Menurut Mock (1973),

rasio antara selisih evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual

dengan evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh exposed surface (m) dan

jumlah hari hujan (n), dan dihitung dengan formulasi sebagai berikut.

𝑑𝐸 𝑚
= ( ) 𝑥 (18 − 𝑛)
𝑑𝐸𝑝 20

Sehingga

𝑚
𝑑𝐸 = 𝐸𝑝 ( ) 𝑥 (18 − 𝑛)
20

Dari formulasi di atas dapat dianalisis bahwa evapotranspirasi potensial

akan sama dengan evapotranspirasi aktual (atau ΔE = 0) jika

evapotranspirasi terjadi pada hutan primer atau hutan sekunder, dimana daerah

ini memiliki harga exposed surface (m) sama dengan nol (0) atau banyaknya

hari hujan dalam bulan yang diamati pada daerah itu sama dengan 18 hari.

Jadi evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi potensial yang

memperhitungkan faktor exposed surface dan jumlah hari hujan dalam bulan

yang bersangkutan. Sehingga evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi

yang sebenarnya terjadi, dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai

berikut:
d. Water Balance

Kapasitas kelembapan tanah (Soil Moisture Capacity) yaitu

perkiraan kapasitas kelembapan tanah awal. Nilai ini diperlukan pada saat

dimulainya simulasi dan besarnya tergantung dari kondisi porositas lapisan

tanah atas dari daerah pengaliran. Biasanya, nilai yang digunakan berkisar 50

– 250 mm, yaitu kapasitas kandungan air tanah dalam per m3. Jika porositas

tanah lapisan atas tersebut makin besar, maka kapasitas kelembapan akan

semakin besar pula (Bappenas 2007 dalam Wirasembada, 2012).

Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung water

balance adalah sebagai berikut.

𝑊𝑠 = 𝑅 − 𝐸𝑎

2.7. Penelitian-Penelitian Berkaitan dengan Debit

2.7.1. Perencanaan Kebutuhan Air Pada Areal Irigasi Bendung Walahar

Perencanaan kebutuhan air untuk areal irigasi dilakukan untuk

mengetahui kebutuhan air yang diperlukan tanaman untuk tumbuh dan

berkembang. Sumber air yang diperoleh untuk pemenuhan kebutuhan air

berasal dari Bendung Walahar. Hasil dari perencanaan kebutuhan air dapat juga

digunakan untuk membuat simulasi pola tanam. Pola tanam sangat membantu

para petani dalam menentukan waktu penanaman yang efektif dan efisien.

Perhitungan kebutuhan air tanaman diolah dari data klimatologi dan

data curah hujan yang hasilnya berupa debit kebutuhan. Berdasarkan hasil
perhitungan kebutuhan air untuk tanaman diperoleh debit kebutuhan rata-rata

0,65 m3/detik – 9,59 m3/detik, sedangkan air yang tersedia atau debit tersedia

di Bendung Walahar 183,90 m3/detik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa air

yang tersedia di Bendung Walahar dapat memenuhi kebutuhan air tanaman.

2.7.2. Keandalan Analisa Metode Mock (Studi Kasus: Waduk Plta Koto

Panjang)

Metode Mock dikembangkan berdasarkan atas daur hidrologi yang

memperhitungkan volume air masuk berupa hujan, volume air keluar berupa

infiltrasi, perkolasi dan evapotranspirasi, volume air yang melimpas dan yang

disimpan dalam tanah. Pada prinsipnya, Metode Mock digunakan untuk

menganalisa besarnya debit pada suatu daerah aliran sungai untuk durasi

tertentu, misalnya debit tahunan, musiman, bulanan, tengah-bulanan atau

sepuluh-harian. Data yang digunakan untuk memperkirakan debit ini adalah

berupa data curah hujan, data klimatologi, luas dan penggunaan lahan dari

cathment area .

Penelitian ini disusun setelah melalui serangkaian kegiatan

penelitian tentang Pemodelan Perhitungan Ketersediaan air dengan metode

Mock. Penelitian ini pada dasarnya hanya pemodelan numerik saja,

sedangkan data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil di

waduk PLTA Koto Panjang dengan Daerah pengaliran Sungai stasiun Pasar

Kampar.
Hasil dari simulasi tersebut sendiri mempunyai grafik dengan

kecenderungan yang hampir sama antara debit terukur dan debit analisa,

hanya besarannya yang berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat

kesalahnnya yang berkisar antara 10 sampai dengan 30%, kecuali pada

tahun 1994.
BAB III

PERHITUNGAN

Anda mungkin juga menyukai