PENDAHULUAN
Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi
besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia. Selain itu domba
juga merupakan ternak prolifik (dapat beranak lebih dari satu dalam satu kelahiran),
mampu beradaptasi dengan baik, dan potensial untuk dipelihara di Indonesia.
Namun permasalahan yang dihadapi sebagian peternak ruminansia di Indonesia
ialah keterbatasan dalam penyediaan pakan hijauan, karena terjadinya perubahan
fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber tumbuhnya hijauan pakan menjadi
lahan pemukiman (Afrizal et al., 2014). Pakan hijauan merupakan unsur penting
dalam meningkatkan produktivitas ternak ruminansia, salah satu pakan alternatif
subsitusi yang mungkin dapat dijadikan pengganti hijauan adalah jerami padi.
Jerami padi merupakan limbah tanaman padi yang jumlahnya relatif lebih
banyak dari pada limbah pertanian lainnya. Potensi pakan jerami padi cukup
berlimpah di Indonesia namun belum banyak dimanfaatkan, budidaya tanaman padi
mampu menghasilkan jerami padi sekitar 5 ton/hektar setiap kali panen dengan
kandungan bahan kering antara 60 – 70%, sehingga setara dengan produksi 3 − 3,5
ton bahan kering/ha atau sebanding dengan produksi serat 1,5 – 2 ton serat
berdasarkan perhitungan bahan kering (Haryanto et al., 2004). Potensi besar jerami
padi ini menjadikannya sebagai limbah pertanian yang sangat berpeluang untuk
dijadikan sumber serat bagi ternak ruminansia.
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak memiliki faktor pembatas,
yaitu memiliki kandungan bahan kering dan serat kasar yang tinggi seperti silika
dan lignin. Hal ini merupakan faktor pembatas jika diberikan secara langsung tanpa
proses pengolahan. Silika dan lignin adalah nutrisi yang sukar dicerna oleh enzim
mikroba rumen sehingga nilai kecernaan rendah (Sarnklong et al., 2010). Selain itu
kandungan protein, mineral dan vitamin pada jerami padi juga rendah. Jerami padi
mengandung protein kasar berkisar 2-5% (Wanapat et al., 2013). Maka dari itu
untuk meningkatkan kecernaan jerami padi perlu dilakukan pengolahan secara
biologis yaitu pembuatan silase. Silase merupakan teknologi pengawetan hijauan
1
melalui proses fermentasi menggunakan cairan aditif fermentasi yang disimpan
dalam wadah tertutup pada kondisi anaerob dan mampu meningkatkan
produktivitas ternak (Suryahadi 2014).
Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai cairan aditif fermentasi
adalah Produfer@Plus. Produfer@Plus merupakan starter probiotik yang
mengandung bakteri konsorsium terdiri dari bakteri asam laktat, bakteri selulolitik
dan bakteri mananolitik (Yurleni et al., 2018). Pada Produfer@Plus juga terdapat
bakteri asam laktat yang menghasilkan enzim untuk mencerna serat kasar yang
tinggi dan menghasilkan antibakteri yang dapat menekan pertumbuhan
mikroorganisme yang merugikan dan dapat berfungsi juga sebagai antibiotik
sehingga memberi keuntungan dari hasil metabolitnya (Chen et al., 2007). Pada
saat proses fermentasi berlangsung bakteri tidak mampu berkembang bila nutrisi
yang dibutuhkan tidak terpenuhi, di dalam Produfer@Plus terdapat campuran
berbagai komponen nutrisi yaitu molasses, poles, tepung ikan dan bungkil kedelai
sebagai sumber energi, asam-asam dan garam-garam organik yang dibutuhkan oleh
bakteri selama fermentasi (Yurleni et al., 2018).
Kandungan nutrisi yang terdapat pada pakan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kualitas daging pada ternak. Menurut Williamson dan Payne
(1993) pemberian nutrisi yang berlebihan kepada ternak akan mengubah nutrisi
tersebut menjadi jaringan daging dan lemak. Selain itu kualitas pakan yang
diberikan juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
daging, sedangkan faktor penting lainnya adalah bibit dan manajemen
pemeliharaan. Menurut kandeepan et al., (2009) kualitas pakan dapat
mempengaruhi kualitas daging, yaitu dapat mempengaruhi dressing yield,
perbandingan protein lemak, nilai kalori, warna, dan masa simpan. Indikator
kualitas daging dapat dilihat dari sifat fisik seperti pH, daya ikat air, dan susut
masak. Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor kandungan nutrisi
pakan, sebelum pemotongan (genetik, spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, pakan)
dan setelah pemotongan (metode pemanasan, pH daging, antibiotik, marbling dan
metode penyimpanan) (Soeparno, 2009).
2
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian tentang “Pengaruh
Pemberian Produfer@Plus Pada Jerami Padi Fermentasi Terhadap Kualitas Fisik
Daging Domba”.
1.3. Hipotesis
1.5. Manfaat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.2. Jerami Padi
2.3. Produfer@Plus
5
dari bakteri asam laktat, bakteri sellulolitik dan mananolitik dalam fermentasi
complete feed yang berbasis pelepah sawit secara an aerob sudah dilakukan
(Yurleni et al., 2018).
Hasil penelitian Yurleni et al., (2014) terhadap potensi bakteri asam laktat
sebagai probiotik yang berasal dari durian fermentasi secara molekuler
mendapatkan jenis bakteri asam laktat, tergolong spesies lactobacillus sp.
Penggunaan bakteri asam laktat dari durian fermentasi sejak tahun 2014 sampai
sekarang sudah dilakukan untuk memfermentasi jerami dan pelepah daun sawit.
Hasil yang didapatkan terjadi peningkatan kandungan protein dari 7% meningkat
menjadi 11% pada pelepah sawit dan penurunan serat kasar (Sarwar, 2009).
Berdasarkan hasil identifikasi molekuler durian fermentasi (tempoyak Jambi)
melalui proses isolasi, identifikasi morfologi, karakteristik biokimia ditemukan
kandidat probiotik dari jenis lactobacillus sp (Yurleni et al., 2014). Probiotik ini
dapat digunakan sebagai aktivator fermentasi pada hijauan pakan ternak yang
disebut dengan ensilage. Ensilage adalah teknologi penyimpanan bahan pakan
dalam bentuk basah pada kondisi anaerob.
Bakteri proteolitik, amilolitik dan selulolitik pada ternak kerbau lebih tinggi
(9,47; 9,84; 9,33 sel/ml (log 10) dibandingkan sapi PO (8,77; 8,89; 8,88 sel/ml
(log10) (Yurleni, 2013). Sehingga bakteri dari rumen kerbau dapat dimanfaatkan
untuk mendegradasi selulosa, hemiselulosa dan lignin yang terdapat pada pakan
limbah. Agar hasil yang dicapai lebih optimal disimbionkan lagi dengan mikroba
saluran pencernaan rayap. Rayap merupakan serangga sosial pendegradasi kayu
yang mengandung banyak selulosa, hemiselulosa dan lignin (Mairizal et al., 2018).
2.4. Daging
6
rasa, dan jus daging), lemak intramuskuler, susut masak, retensi cairan, dan pH.
Kualitas organoleptik yang sangat penting dalam menilai tekstur daging masak
adalah keempukan (komponen utama, 64%) dan kebasahan (19%).
Daging domba memliki warna antara lain, berwarna merah muda, merah
terang hingga merah gelap. Kisaran warna merah ini sesuai dengan bertambahnya
umur (Permana, 2010). Daging domba memiliki serat yang lebih halus
dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat padat, lemaknya terdapat
dibawah kulit yaitu antara otot dan kulit, dagingnya sedikit berbau amonial
(prengus). Abubakar dan Usmiati (2007) mengatakan bahwa ciri-ciri daging domba
dan kambing hampir sama dengan daging sapi, namun, daging domba dan kambing
memiliki serat lebih kecil serta aroma yang khas goaty (istilah bahasa jawa
prengus). Daging domba mengandung protein 17,1% dan lemak 14,8%.
2.5. Nilai pH
7
dengan pH yang optimal sekitar 5,5 menyebabkan daging berwarna merah muda
cerah yang disukai oleh konsumen (Permana, 2010).
semakin banyak ketersediaan asam laktat maka penurunan pH daging akan
semakin besar atau pH akhir daging akan rendah (Sianturi, 2015). Nilai pH akhir
daging domba garut lebih rendah dibandingkan dengan pH akhir kambing kacang,
hal ini dikarenakan kandungan glikogen yang berbeda antar ternak, sehingga
penurunan pH akhir akan berbeda pula. Kandungan glikogen pada daging domba
lebih tinggi, hal ini dilihat dari kadar lemak daging domba lebih besar dari daging
kambing.
8
2.7. Susut Masak (Cooking Loss)
Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang ber-hubungan
dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara
otot. Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat
pemasakan dan merupakan fungsi dari waktu dan suhu pemasakan. Daging dengan
susut masak yang rendah mem-punyai kualitas yang relatif lebih baik daripada
daging dengan persentase susut masak yang tinggi, hal ini karena kehilangan nutrisi
selama proses pemasakan akan lebih sedikit (Komariah et al., 2009).
Faktor yang berpengaruh terhadap nilai susut masak adalah kapasitas
menahan air oleh jaringan daging sendiri dan kandungan lemak di dalam otot atau
dipermukaan daging, serta translokasi lemak daging tersebut. Otot yang
mempunyai lemak intramuskuler tinggi mempunyai kapasitas menahan air yang
tinggi sehingga waktu dimasak susut masaknya kecil. Daging dengan susut masak
yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dari pada daging
dengan nilai susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama
pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak berhubungan dan berbanding terbalik
dengan daya ikat air, nilai susut masak yang tinggi diikuti oleh daya ikat air yang
rendah (Sriyani et al., 2015).
Sianturi, (2015) faktor yang dapat mempengaruhi susut masak adalah pH,
panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi
myofibril, ukuran dan berat sampel daging, dan penampang lintang daging. Lebih
lanjut Dewi, (2012) menyatakan bahwa nilai pH akhir daging juga berhubungan
dengan susut masak daging, dimana pada pH daging yang rendah mempunyai susut
masak yang rendah pula. Samodra dan Cahyono, (2010) menyatakan bahwa faktor
yang dapat menyebabkan perubahan nilai susut masak adalah proses penyimpanan
daging. Dimana bahwa pengeluaran air selama penyimpanan tidak dapat dicegah,
sebaliknya air tidak dapat diserap/masuk kembali.
9
BAB III
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan berupa ternak domba jantan umur ±1 tahun, jerami
padi, starter fermentasi Produfer@Plus, pakan konsentrat terdiri dari dedak, tepung
ikan, bungkil inti sawit, urea, kapur dan topmix dan molases. Bahan-bahan kimia
untuk analisa kandungan nutrisi pakan.
Alat yang digunakan yaitu kandang individu, tempat pakan dan air minum,
timbangan ternak dan pakan, terpal, drum untuk fermentsi, sekop, sapu lidi, ember
untuk pengumpulan feses, peralatan untuk pencatatan, termohigrometer untuk
pengukuran suhu dan kelembaban di kandang. Peralatan laboratorium untuk analisa
kualitas pakan. Pisau, telenan, kompor, blender, pressure, panci, saringan dan pH
meter, thermometer bimetal, kertas saring whatman no.41.
3.3. Metoda
3.3.2. Pakan
Pakan yang digunakan berupa jerami padi sebanyak 60% dan konsentrat
40%. Jerami padi dan konsentrat diberikan pada domba dalam bentuk komplit feed,
10
dimana pemberian jerami padi fermentasi di campur dengan konsentrat terlebih
dahulu sebelum diberikan. Level Produfer@Plus untuk fermentasi jerami padi yang
merupakan perlakuan penelitian, terdiri dari: P0= Jerami padi + Produfer@Plus
0%, P1= jerami padi + Produfer@Plus 2%, P2= jerami padi + Produfer@Plus 4%.
Jerami padi di fermentasi selama 21 hari. Pakan konsentrat terdiri dari dedak,
bungkil inti sawit, tepung ikan, kapur, urea dan topmix.Pemberian pakan
berdasarkan bobot badan yaitu 3% dari bobot badan berdasarkan bahan kering.
11
3.5 Rancangan Penelitian
12
saring beserta sampel daging ditandai dan setelah pengepresan selesai, dapat diukur
(digambar dengan kertas grafik). Area basah diperoleh dengan mengurangkan area
yang tertutup daging dari area total yang meliputi pula area basah pada kertas
saring. Jumlah air daging yang keluar dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝑐𝑚2)
Mg H2O = − 8,0
0,0948
𝑚𝑔 𝐻2𝑂
% Air Bebas = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100 %
Daya Mengikat Air = Kadar air total (%) – Kadar air bebas (%)
13
αi = Pengaruh taraf perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
14