Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi
besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia. Selain itu domba
juga merupakan ternak prolifik (dapat beranak lebih dari satu dalam satu kelahiran),
mampu beradaptasi dengan baik, dan potensial untuk dipelihara di Indonesia.
Namun permasalahan yang dihadapi sebagian peternak ruminansia di Indonesia
ialah keterbatasan dalam penyediaan pakan hijauan, karena terjadinya perubahan
fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber tumbuhnya hijauan pakan menjadi
lahan pemukiman (Afrizal et al., 2014). Pakan hijauan merupakan unsur penting
dalam meningkatkan produktivitas ternak ruminansia, salah satu pakan alternatif
subsitusi yang mungkin dapat dijadikan pengganti hijauan adalah jerami padi.
Jerami padi merupakan limbah tanaman padi yang jumlahnya relatif lebih
banyak dari pada limbah pertanian lainnya. Potensi pakan jerami padi cukup
berlimpah di Indonesia namun belum banyak dimanfaatkan, budidaya tanaman padi
mampu menghasilkan jerami padi sekitar 5 ton/hektar setiap kali panen dengan
kandungan bahan kering antara 60 – 70%, sehingga setara dengan produksi 3 − 3,5
ton bahan kering/ha atau sebanding dengan produksi serat 1,5 – 2 ton serat
berdasarkan perhitungan bahan kering (Haryanto et al., 2004). Potensi besar jerami
padi ini menjadikannya sebagai limbah pertanian yang sangat berpeluang untuk
dijadikan sumber serat bagi ternak ruminansia.
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak memiliki faktor pembatas,
yaitu memiliki kandungan bahan kering dan serat kasar yang tinggi seperti silika
dan lignin. Hal ini merupakan faktor pembatas jika diberikan secara langsung tanpa
proses pengolahan. Silika dan lignin adalah nutrisi yang sukar dicerna oleh enzim
mikroba rumen sehingga nilai kecernaan rendah (Sarnklong et al., 2010). Selain itu
kandungan protein, mineral dan vitamin pada jerami padi juga rendah. Jerami padi
mengandung protein kasar berkisar 2-5% (Wanapat et al., 2013). Maka dari itu
untuk meningkatkan kecernaan jerami padi perlu dilakukan pengolahan secara
biologis yaitu pembuatan silase. Silase merupakan teknologi pengawetan hijauan

1
melalui proses fermentasi menggunakan cairan aditif fermentasi yang disimpan
dalam wadah tertutup pada kondisi anaerob dan mampu meningkatkan
produktivitas ternak (Suryahadi 2014).
Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai cairan aditif fermentasi
adalah Produfer@Plus. Produfer@Plus merupakan starter probiotik yang
mengandung bakteri konsorsium terdiri dari bakteri asam laktat, bakteri selulolitik
dan bakteri mananolitik (Yurleni et al., 2018). Pada Produfer@Plus juga terdapat
bakteri asam laktat yang menghasilkan enzim untuk mencerna serat kasar yang
tinggi dan menghasilkan antibakteri yang dapat menekan pertumbuhan
mikroorganisme yang merugikan dan dapat berfungsi juga sebagai antibiotik
sehingga memberi keuntungan dari hasil metabolitnya (Chen et al., 2007). Pada
saat proses fermentasi berlangsung bakteri tidak mampu berkembang bila nutrisi
yang dibutuhkan tidak terpenuhi, di dalam Produfer@Plus terdapat campuran
berbagai komponen nutrisi yaitu molasses, poles, tepung ikan dan bungkil kedelai
sebagai sumber energi, asam-asam dan garam-garam organik yang dibutuhkan oleh
bakteri selama fermentasi (Yurleni et al., 2018).
Kandungan nutrisi yang terdapat pada pakan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kualitas daging pada ternak. Menurut Williamson dan Payne
(1993) pemberian nutrisi yang berlebihan kepada ternak akan mengubah nutrisi
tersebut menjadi jaringan daging dan lemak. Selain itu kualitas pakan yang
diberikan juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
daging, sedangkan faktor penting lainnya adalah bibit dan manajemen
pemeliharaan. Menurut kandeepan et al., (2009) kualitas pakan dapat
mempengaruhi kualitas daging, yaitu dapat mempengaruhi dressing yield,
perbandingan protein lemak, nilai kalori, warna, dan masa simpan. Indikator
kualitas daging dapat dilihat dari sifat fisik seperti pH, daya ikat air, dan susut
masak. Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor kandungan nutrisi
pakan, sebelum pemotongan (genetik, spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, pakan)
dan setelah pemotongan (metode pemanasan, pH daging, antibiotik, marbling dan
metode penyimpanan) (Soeparno, 2009).

2
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian tentang “Pengaruh
Pemberian Produfer@Plus Pada Jerami Padi Fermentasi Terhadap Kualitas Fisik
Daging Domba”.

1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak memiliki faktor pembatas,


yaitu memiliki kandungan bahan kering dan serat kasar yang tinggi seperti silika
dan lignin. Oleh karena itu untuk meningkatkan kecernaan jerami padi perlu
dilakukan pengolahan secara biologis yaitu pembuatan silase yang dapat
ditambahkan cairan aditif fermentasi Produfer@Plus. Maka diharapkan pada
penelitian ini pemberian produfer@plus pada jerami padi fermentasi mampu
meningkatkan kualitas fisik daging domba.

1.3. Hipotesis

Pemberian produfer@plus pada jerami padi pada proses fermentasi mampu


meningkatkan kualitas fisik daging domba.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pemberian


produfer@plus pada jerami padi fermentasi terhadap peningkatan kualitas fisik
daging domba.

1.5. Manfaat

Pemberian produfer@plus pada jerami padi fermentasi ini diharapkan


mampu meningkatkan kualitas fisik daging pada domba.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Domba

Domba merupakan ternak yang sudah sejak lama dibudidayakan. Semua


jenis domba memiliki beberapa karakteristik yang sama dan diklasifikasikan ke
dalam kerajaan (kingdom) hewan, filum Chordata (hewan bertulang belakang),
kelas Mamalia (hewan yang menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berteracak atau
berkuku genap), sub ordo Ruminate (Ruminansia), famili Bovidae (hewan
memamah biak), genus Ovis dan spesies Ovis Aries (Damron, 2006).
Einstiana (2006) menyatakan bahwa domba Ekor Gemuk banyak ditemukan
di daerah Jawa Timur dan Madura serta pulau-pulau di Nusa Tenggara. Malewa
(2007) menyatakan bahwa jenis domba ini di Sulawesi Tengah dikenal sebagai
domba Donggala. Karakteristik domba Ekor Gemuk adalah ekor yang besar, lebar
dan panjang. Bagian pangkal ekor yang membesar merupakan timbunan lemak,
sedangkan begian ujung ekor kecil tidak berlemak. Warna bulu putih, tidak
bertanduk, bulu wol kasar. Ukuran tubuh domba ekor gemuk lebih besar daripada
domba ekor tipis.
Suswati (2010) menyatakan bahwa rataan bobot badan domba keturunan
Garut pada grade yang berbeda memiliki rataan bobot badan sebesar 30,28±3,40 kg
lebih besar dibandingkan dengan domba lokal ekor tipis yang memiliki bobot badan
sebesar 29,60±2,88 kg. Mansjoer et al., (2007) menyatakan bahwa masyarakat
sudah dapat memisahkan antara tipe domba Garut tangkas dan pedaging. Dijelaskan
lebih lanjut bahwa persilangan antara domba Garut tangkas dengan domba Garut
pedaging dapat meningkatkan performa domba Garut pedaging yang semula
berbobot badan lebih rendah.
Food and Agriculture Organization atau FAO (2004) menyatakan bahwa
ditemukan tiga jenis domba yang berkembang di Indonesia yaitu domba Garut,
domba Ekor Tipis dan domba Ekor Gemuk. Secara umum ditemukan dua jenis
domba di Indonesia yaitu domba Ekor Gemuk dan domba Ekor Tipis dengan
beberapa variasi di tiap daerah terutama untuk domba Ekor Tipis. Domba-domba
tersebut dapat beradaptasi terhadap iklim tropis.

4
2.2. Jerami Padi

Hasil samping tanaman padi setelah di panen dapat berupa jerami, di


Indonesia jerami padi dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia dan
pemanfaatannya dilakukan pada saat musim kemarau (Yanuartono et al., 2017).
Hidanah (2007 ), mengatakan pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak ber -
kisar antara 31-39%, untuk industri 7-16% dan sisanya 36-62% dibiarkan sebagai
limbah. Jerami sebagai pakan ternak memiliki kelemahan seperti kadar protein
kasar rendah, kadar serat kasar tinggi, lignin dan silika tinggi, kadar mineral rendah,
kecernaannya rendah serta palatabilitasnya rendah (Nur, 2015). Kecernaan yang
rendah pada jerami padi merupakan akibat dari struktur jaringan penyangga
tanaman yang sudah tua. Jaringan tersebut sudah mengalami proses lignifikasi,
sehingga lignoselulosa dan lignohemiselulosa sulit dicerna (Balasubramanian,
2013). Untuk meningkatkan kecernaan jerami padi perlu dilakukan pengolahan
secara biologis.
Fermentasi dapat meningkatkan kualitas nutrisi bahan pakan, karena pada
proses fermentasi terjadi perubahan kimiawi senyawa-senyawa organik
(karbohidrat, lemak, protein, serat kasar) dan bahan organik lain baik dalam
keadaan aerob maupun anaerob, melalui kerja enzim yang dihasilkan mikroba
untuk mempercepat terjadinya proses fermentasi dapat menggunakan bakteri.
Penelitian Mirni et al., (2011 ); Khatiwada et al., (2016) menggunakan bakteri
selulolitik dalam proses fermentasi adalah Actinobacillus sp. Cytophaga hutchinsoi,
Acidothermus cellulyticus, Bacillus sp., Pseudomonas sp. dan Serratia sp.
Sedangkan bakteri lignolitik yang dapat digunakan untuk perlakuan fermentasi
adalah Bacillus sp. (Abd-Elsalam and El-Hanafy, 2009), Pantoea sp (Xiong et al.,
2013), Bacillus pumilus strain B37 (Kausar et al., 2012).

2.3. Produfer@Plus

Pemanfaatan mikroba pada teknologi fermentasi pakan untuk meningkatkan


kualitas dan pengawetan sudah banyak dilakukan. Umumnya proses fermentasi
dilakukan secara anaerob menggunakan berbagai jenis bakteri. Yurleni et al., (2016,
2017), menggunakan jenis bakteri asam laktat sebagai aktivator fermentasi secara
an aerob pada pelepah sawit. Selain itu penggunaan bakteri simbion yang terdiri

5
dari bakteri asam laktat, bakteri sellulolitik dan mananolitik dalam fermentasi
complete feed yang berbasis pelepah sawit secara an aerob sudah dilakukan
(Yurleni et al., 2018).
Hasil penelitian Yurleni et al., (2014) terhadap potensi bakteri asam laktat
sebagai probiotik yang berasal dari durian fermentasi secara molekuler
mendapatkan jenis bakteri asam laktat, tergolong spesies lactobacillus sp.
Penggunaan bakteri asam laktat dari durian fermentasi sejak tahun 2014 sampai
sekarang sudah dilakukan untuk memfermentasi jerami dan pelepah daun sawit.
Hasil yang didapatkan terjadi peningkatan kandungan protein dari 7% meningkat
menjadi 11% pada pelepah sawit dan penurunan serat kasar (Sarwar, 2009).
Berdasarkan hasil identifikasi molekuler durian fermentasi (tempoyak Jambi)
melalui proses isolasi, identifikasi morfologi, karakteristik biokimia ditemukan
kandidat probiotik dari jenis lactobacillus sp (Yurleni et al., 2014). Probiotik ini
dapat digunakan sebagai aktivator fermentasi pada hijauan pakan ternak yang
disebut dengan ensilage. Ensilage adalah teknologi penyimpanan bahan pakan
dalam bentuk basah pada kondisi anaerob.
Bakteri proteolitik, amilolitik dan selulolitik pada ternak kerbau lebih tinggi
(9,47; 9,84; 9,33 sel/ml (log 10) dibandingkan sapi PO (8,77; 8,89; 8,88 sel/ml
(log10) (Yurleni, 2013). Sehingga bakteri dari rumen kerbau dapat dimanfaatkan
untuk mendegradasi selulosa, hemiselulosa dan lignin yang terdapat pada pakan
limbah. Agar hasil yang dicapai lebih optimal disimbionkan lagi dengan mikroba
saluran pencernaan rayap. Rayap merupakan serangga sosial pendegradasi kayu
yang mengandung banyak selulosa, hemiselulosa dan lignin (Mairizal et al., 2018).

2.4. Daging

Balai Penelitian (2010) menyatakan bahwa kualitas daging dipengaruhi oleh


penanganan ternak sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan
ternak meliputi genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, dan
pakan. Faktor setelah pemotongan mencakup metode pelayuan, stimu-lasi listrik,
cara pemasakan, pH, bahan tambahan (enzim pengempuk), hormon, lemak
intramuskuler, cara penyimpanan dan pengawetan, serta jenis otot dan lokasinya
pada karkas. Kualitas daging meliputi warna, keempukan dan tekstur, aroma (bau,

6
rasa, dan jus daging), lemak intramuskuler, susut masak, retensi cairan, dan pH.
Kualitas organoleptik yang sangat penting dalam menilai tekstur daging masak
adalah keempukan (komponen utama, 64%) dan kebasahan (19%).
Daging domba memliki warna antara lain, berwarna merah muda, merah
terang hingga merah gelap. Kisaran warna merah ini sesuai dengan bertambahnya
umur (Permana, 2010). Daging domba memiliki serat yang lebih halus
dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat padat, lemaknya terdapat
dibawah kulit yaitu antara otot dan kulit, dagingnya sedikit berbau amonial
(prengus). Abubakar dan Usmiati (2007) mengatakan bahwa ciri-ciri daging domba
dan kambing hampir sama dengan daging sapi, namun, daging domba dan kambing
memiliki serat lebih kecil serta aroma yang khas goaty (istilah bahasa jawa
prengus). Daging domba mengandung protein 17,1% dan lemak 14,8%.

2.5. Nilai pH

Daging pada 6 jam postmortem memiliki rataan nilai pH lebih rendah


dibandingkan dengan 4 jam postmortem. Kondisi ini diperkirakan adanya faktor
yang memppengaruhi laju dan besarnya penurunan pH. Faktor tersebut adalah
penanganan sebelum ternak di-potong atau pengistirahatan ternak. Ternak yang
kelelahan sebelum proses pemotongan akan me-miliki sedikit energi untuk
mengatasi stress, akibat-nya jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen
selama proses glikolisis anaerob akan terbatas, sehingga akan mengalami
penurunan pH (Komariah et al., 2009). Ditambahkan oleh Samodra dan Cahyono,
(2010) bahwa pertambahan lama waktu simpan menyebabkan perubahan-
perubahan fisis dan kimiawi daging, kesempatan tumbuh mikroorganisme dan
jamur bertambah. Bersamaan dengan peristiwa tersebut menyebabkan perubahan
nilai pH secara nyata.
Pertambahan umur ternak menyebabkan perbedaan struktur urat daging.
Hal ini memungkinkan terjadinya penurunan kemamptian urat daging untuk
menghemat cadangan glikogennya selama mengadakan aktifitas, sehingga
cadangan glikogen cepat habis (depletion). Terjadinya penurunan pH yang sangat
cepat menyebabkan banyaknya air yang terlepas dari ikatannya dengan protein,
daging akan menjadi lunak clan selalu dalam keadaan berair (basah). Daging

7
dengan pH yang optimal sekitar 5,5 menyebabkan daging berwarna merah muda
cerah yang disukai oleh konsumen (Permana, 2010).
semakin banyak ketersediaan asam laktat maka penurunan pH daging akan
semakin besar atau pH akhir daging akan rendah (Sianturi, 2015). Nilai pH akhir
daging domba garut lebih rendah dibandingkan dengan pH akhir kambing kacang,
hal ini dikarenakan kandungan glikogen yang berbeda antar ternak, sehingga
penurunan pH akhir akan berbeda pula. Kandungan glikogen pada daging domba
lebih tinggi, hal ini dilihat dari kadar lemak daging domba lebih besar dari daging
kambing.

2.6. Daya Ikat Air


Dede (2010) menyatakan bahwa semakin lama penyimpanan, maka
semakin rendah daya ikat air. Daya ikat air dapat dipengaruhi oleh laju dan besarnya
nilai pH, semakin rendah pH maka semakin rendah pula daya ikat air daging.
Roswita dan Usmiati (2009) menyatakan bahwa, daya mengikat air (DMA)
merupakan kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan airnya selama
mengalami perlakuan dari luar. Nilai DMA dinyatakan dengan persentase air yang
terikat dalam daging. Semakin besar nilai DMA maka semakin tinggi air terikat
dalam daging. Perbedaan nilai DMA antara lain berhubungan dengan nilai pH
daging. Daya mengikat air yang tinggi terjadi karena asam laktat yang dihasilkan
dalam proses glikolisis (perubahan glikogen menjadi asam laktat) menyebabkan
ruang antar filamen dalam protein miofibril melebar sehingga terjadi peningkatan
diameter miofibril.
Lawrie (2003) menyatakan bahwa hampir semua air yang terdapat dalam
urat daging ditahan oleh tenaga kapiler diantara filamen tebal dan tipis. Ruang
interfilamen sebagian besar menentukan daya ikat air dari miofibril. Semakin tinggi
pH akhir semakin sedikit penurunan daya ikat air. Denaturasi protein sarkoplasmik
akan semakin banyak dengan semakin cepatnya penurunan pH. Bila tingkat
kecepatan penurunan pH postmortem disebabkan oleh meningkatnya temperatur,
maka peningkatan kehilangan daya ikat air daging sebagian akan disebabkan oleh
peningkatan denaturasi protein-protein urat daging dan sebagian lagi disebabkan
oleh peningkatan penyerapan air ke dalam ruang ekstraseluler (Lawrie, 2003).

8
2.7. Susut Masak (Cooking Loss)
Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang ber-hubungan
dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara
otot. Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat
pemasakan dan merupakan fungsi dari waktu dan suhu pemasakan. Daging dengan
susut masak yang rendah mem-punyai kualitas yang relatif lebih baik daripada
daging dengan persentase susut masak yang tinggi, hal ini karena kehilangan nutrisi
selama proses pemasakan akan lebih sedikit (Komariah et al., 2009).
Faktor yang berpengaruh terhadap nilai susut masak adalah kapasitas
menahan air oleh jaringan daging sendiri dan kandungan lemak di dalam otot atau
dipermukaan daging, serta translokasi lemak daging tersebut. Otot yang
mempunyai lemak intramuskuler tinggi mempunyai kapasitas menahan air yang
tinggi sehingga waktu dimasak susut masaknya kecil. Daging dengan susut masak
yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dari pada daging
dengan nilai susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama
pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak berhubungan dan berbanding terbalik
dengan daya ikat air, nilai susut masak yang tinggi diikuti oleh daya ikat air yang
rendah (Sriyani et al., 2015).
Sianturi, (2015) faktor yang dapat mempengaruhi susut masak adalah pH,
panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi
myofibril, ukuran dan berat sampel daging, dan penampang lintang daging. Lebih
lanjut Dewi, (2012) menyatakan bahwa nilai pH akhir daging juga berhubungan
dengan susut masak daging, dimana pada pH daging yang rendah mempunyai susut
masak yang rendah pula. Samodra dan Cahyono, (2010) menyatakan bahwa faktor
yang dapat menyebabkan perubahan nilai susut masak adalah proses penyimpanan
daging. Dimana bahwa pengeluaran air selama penyimpanan tidak dapat dicegah,
sebaliknya air tidak dapat diserap/masuk kembali.

9
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan dari bulan .. sampai bulan .. 2019 bertempat


di Fapet Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Analisis kandungan nutrien
dilaksanakan di Laboratorium Peternakan Fapet Unja, Laboratorium Terpadu dan
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

3.2. Materi dan Peralatan

Bahan yang digunakan berupa ternak domba jantan umur ±1 tahun, jerami
padi, starter fermentasi Produfer@Plus, pakan konsentrat terdiri dari dedak, tepung
ikan, bungkil inti sawit, urea, kapur dan topmix dan molases. Bahan-bahan kimia
untuk analisa kandungan nutrisi pakan.
Alat yang digunakan yaitu kandang individu, tempat pakan dan air minum,
timbangan ternak dan pakan, terpal, drum untuk fermentsi, sekop, sapu lidi, ember
untuk pengumpulan feses, peralatan untuk pencatatan, termohigrometer untuk
pengukuran suhu dan kelembaban di kandang. Peralatan laboratorium untuk analisa
kualitas pakan. Pisau, telenan, kompor, blender, pressure, panci, saringan dan pH
meter, thermometer bimetal, kertas saring whatman no.41.

3.3. Metoda

3.3.1. Persiapan Kandang

Sebelum ternak dimasukkan, terlebih dahulu kandang disanitasi dengan cara


membersihkan kandang serta perlengkapannya dan lingkungan sekitar kandang.
Selanjutnya lakukan disinfeksi dengan menyemprotkan disinfektan (Lyrosin)
kemudian diamkan kandang selama satu minggu, setelah itu kandang siap
digunakan dan diisi ternak.

3.3.2. Pakan

Pakan yang digunakan berupa jerami padi sebanyak 60% dan konsentrat
40%. Jerami padi dan konsentrat diberikan pada domba dalam bentuk komplit feed,

10
dimana pemberian jerami padi fermentasi di campur dengan konsentrat terlebih
dahulu sebelum diberikan. Level Produfer@Plus untuk fermentasi jerami padi yang
merupakan perlakuan penelitian, terdiri dari: P0= Jerami padi + Produfer@Plus
0%, P1= jerami padi + Produfer@Plus 2%, P2= jerami padi + Produfer@Plus 4%.
Jerami padi di fermentasi selama 21 hari. Pakan konsentrat terdiri dari dedak,
bungkil inti sawit, tepung ikan, kapur, urea dan topmix.Pemberian pakan
berdasarkan bobot badan yaitu 3% dari bobot badan berdasarkan bahan kering.

3.4 Cara Kerja


Identifikasi awal dilakukan dengan penentuan umur domba dengan melihat
gigi dan catatan dari peternak, dan jenis kelamin. Domba diseleksi dengan kriteria
jantan, bobot awal domba (kg), tingkah laku normal dan sehat. Perawatan yang
diberikan terhadap domba sebelum penelitian berlangsung antara lain pembersihan
bulu, pemberian obat cacing dan pemberian identitas (kalung). Domba berumur 1
tahun dipelihara secara intensif selama ± 2 bulan. Pakan dan minum diberikan ad
libitum.
Domba yang telah dipelihara ± 2 bulan kemudian dipotong untuk
mendapatkan karkas dan potongan komersialnya. Ternak dipuasakan terlebih
dahulu sebelum dipotong selama 12 jam untuk mengurangi jumlah digesta dalam
saluran pencernaan. Aberle et al., (2001) menyatakan bahwa ternak yang tidak
diistirahatkan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap, bertekstur keras,
kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya ikat air tinggi. Domba ditimbang sebelum
dipotong untuk mengetahui bobot potongnya. Domba dipotong pada persendian
tulang atlas, memotong vena jugularis, oseophagus dan trachea, selanjutnya domba
digantung pada tendon achilesnya (Naibaho, 2012).
Karkas diperoleh setelah pemotongan kepala, kaki, pengulitan serta
eviserasi. Karkas dipotong kemudian daging dan tulang dipisahkan untuk
memperoleh sampel. Masing-masing daging domba yang telah diberi tanda diambil
100 g pada bagian paha belakang untuk dijadikan sampel pada penelitian, sehingga
daging domba yang dibutuhkan untuk dijadikan sampel penelitian ± 1.200 g dan
terbagi sebanyak 12 potong. Kemudian lakukan uji fisik sesuai dengan peubah yang
diamati.

11
3.5 Rancangan Penelitian

Model rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini seperti


terlihat pada tabel dibawah.
Tabel 1. Model Rancangan Percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
ULANGAN
Perlakuan 1 2 3 4 ∑i
P0 P0.1 P0.2 P0.3 P0.4 P0.i.4
P1 P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P1.i.4
P2 P2.1 P2.2 P2.3 P2.4 P2.i.4
∑j ∑j.1 ∑j.2 ∑j.3 ∑j.4 ∑ij

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)


dengan 3 perlakuan (kelompok) dan 4 ulangan., dengan perlakuan sebagai berikut:
a) P0: Pemberian pakan Jerami padi + Produfer@Plus 0%
b) P1: Pemberian pakan Jerami padi + Produfer@Plus 2%
c) P2: Pemberian pakan Jerami padi + Produfer@Plus 4%

3.6. Peubah yang Diamati


3.6.1. pH Daging
Pengukuran pH dilakukan menurut pedoman (AOAC, 1995) menyatakan
bahwa pengukuran pH dilakukan dengan alat pH meter. Alat pH meter mula-mula
dikalibrasi dengan larutan buffer pada pH 4 dan 7. Elektroda dibilas menggunakan
aquades dan dikeringkan. Sampel produk sebanyak 8 g dihaluskan menggunakan
blender dengan menambahkan aquades sebanyak 80 ml sampai homogen selama
satu menit. Setelah itu elektroda dicelupkan kedalam sampel dan nilai pH dapat
terbaca pada layar pH meter.

3.6.2. Daya Ikat Air


Pengukuran daya mengikat air dilakukan dengan metode tekan menurut
Hamm (1972) yang dikutip oleh Soeparno (1998), yaitu dengan membebani atau
mengepres 0,3 gram sampel daging dengan beban 35 kg pada kertas saring
Whatman-I dengan alat pressure gauge selama 5 menit. Area yang tertutup sampel
daging yang telah menjadi pipih, dan luas area basah di sekelilingnya pada kertas

12
saring beserta sampel daging ditandai dan setelah pengepresan selesai, dapat diukur
(digambar dengan kertas grafik). Area basah diperoleh dengan mengurangkan area
yang tertutup daging dari area total yang meliputi pula area basah pada kertas
saring. Jumlah air daging yang keluar dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝑐𝑚2)
Mg H2O = − 8,0
0,0948
𝑚𝑔 𝐻2𝑂
% Air Bebas = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100 %

Daya Mengikat Air = Kadar air total (%) – Kadar air bebas (%)

3.6.3. Uji Susut Masak


Susut masak adalah perbedaan antara berat daging sebelum dan sesudah
dimasak, dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging seberat 100 gram yang
telah ditancapkan termometer bimetal direbus dalam air mendidih hingga mencapai
suhu internal 800 C. Sampel daging diangkat dan didinginkan selama 1 jam, setelah
itu ditimbang dan catat berat daging setelah di rebus (Priyanto et al., 1995 dalam
Kusumastuti, 2006). Susut masak dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(bobot sebelum dimasak−bobot setelah dimasak)


% susut masak= x 100%
bobot sebelum dimasak

3.7. Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA).
Apabila terdapat pengaruh yang nyata terhadap hasil yang diamati dilanjutkan
dengan uji lanjut Polinomial Ortogonal (Steel and Torrie 1997).
Model rancangan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah::
Yij=µ+αi+βj+εij
Keterangan:
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
i = Taraf perlakuan (P0, P1, P2)
j = Kelompok 1, 2, 3, 4
εij = Pengaruh galat dari satuan percobaan dari perlakuan ke-i pada
kelompok ke-j
µ = Rataan umum

13
αi = Pengaruh taraf perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j

14

Anda mungkin juga menyukai