Anda di halaman 1dari 10

HAND, FOOT, AND MOUTH DISEASE

(HFMD)
11.07.2016

Hand, foot, and mouth disease (HFMD) atau penyakit tangan kaki mulut adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dari genus Enterovirus. Spesies enterovirus yang paling sering
menyebabkan HFMD adalah Coxsackievirus dan Human Enterovirus 71 (HEV 71).

HFMD umumnya diawali dengan demam, nyeri tenggorokan/menelan, nafsu makan yang
menurun, dan nyeri/tidak enak badan. Setelah demam satu sampai dua hari, timbul bintik-
bintik merah di rongga mulut (umumnya berawal di bagian belakang langit-langit mulut) yang
kemudian pecah menjadi sariawan. Kemudian, 1-2 hari timbul juga ruam-ruam kulit dan
bintik-bintik merah di telapak tangan dan kaki. Meskipun kelainan selaput lendir dan kulit
pada HFMD terutama melibatkan rongga mulut, telapak tangan dan kaki, namun ruam dapat
juga timbul di tungkai, lengan, bokong dan kulit sekitar kemaluan. Orang dewasa dan orang
dengan sistem kekebalan tubuh baik mungkin saja terinfeksi virus HFMD namun tidak
menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik). Kelompok ini bukanlah kelompok penderita
namun potensial sebagai pembawa (carrier) virus HFMD dan menyebarkan virus ini.

Meskipun umumnya menunjukkan gejala yang ringan, namun pada beberapa kasus HFMD
dapat menyebabkan komplikasi yang berat. Lesi di daerah mulut dapat menyebabkan
kesulitan minum dan makan sehingga anak mengalami dehidrasi. Beberapa laporan
menyebutkan kasus HFMD berat seperti meningitis (radang selaput otak) dan ensefalitis
yang mengakibatkan pasien harus dirawat intensif atau bahkan mengakibatkan kematian.
Beberapa penelitian menunjukkan HEV 71 merupakan strain tersering penyebab HFMD
berat. Beberapa laporan kasus lainnya menunjukkan HFMD dapat menyebabkan komplikasi
berupa lepasnya kuku jari tangan dan kaki dan terjadi beberapa minggu setelah fase akut
HFMD. Meskipun demikian, kelainan ini bersifat sementara dan kuku dapat tumbuh kembali.

Penderita HFMD dapat menyebarkan virus HFMD melalui sekret/cairan hidung (ingus),
tenggorokan (ludah, dahak), lesi kulit yang pecah, dan dari kotorannya. Penyebaran ini
mudah terjadi bila terdapat kontak erat dengan penderita (berbicara, memeluk, mencium),
melalui udara (bersin, batuk), kontak dengan kotoran pasien, dan kontak dengan objek atau
permukaan yang tercemar oleh virus HFMD (memegang gagang pintu, permukaan meja,
perabotan yang tercemar virus tersebut, dll). Penderita HFMD umumnya sangat menularkan
virus pada minggu pertama sakit. Beberapa pasien bahkan masih menularkan virus
beberapa hari atau minggu setelah gejala dan tanda infeksi hilang.

Tidak ada pengobatan khusus untuk HFMD, pengobatan bersifat simptomatik untuk
mengatasi keluhan yang ditimbulkannya. Parasetamol dapat diberikan untuk mengatasi
demam dan nyeri. Kompres hangat dan pemberian minum yang lebih sering juga membantu
menurunkan demam anak. Pada anak yang lebih besar, kumur-kumur dengan obat kumur
dapat mengurangi nyeri akibat luka-luka di mulut.
Sampai saat ini, belum ditemukan vaksin untuk mencegah HFMD. Oleh karena itu, penderita
HFMD sebaiknya diisolasi untuk mencegah penularan lebih lanjut. Kejadian luar biasa/KLB
(outbreak) dapat terjadi di berbagai negara dan lebih sering ditemukan di beberapa negara
di Asia Tenggara, terutama di lingkungan tertutup dan padat seperti sekolah, panti asuhan,
asrama, pondok pesantren, dan tempat penitipan anak. Perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) perlu dipraktekkan untuk mencegah penularan. Upaya untuk mencegah infeksi
HFMD dapat dilakukan dengan cara tidak membuang ludah dan menyentuh mulut dan mata
sembarang, membiasakan menutup hidung dan mulut saat batuk dan bersin, serta
membersihkan tangan setiap kali setelah menyentuh permukaan yang kotor dan sebelum
makan.

Penulis : Dr. Esther Iriani Hutapea, Sp.A

Reviewer : Dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A(K)

Ikatan Dokter Anak Indonesia


Poliomyelitis (Penyakit Virus Polio)

Selayang pandang
Virus Polio adalah Virus yang termasuk dalam golongan Human Enterovirus yang
bereplikasi di usus dan dikeluarkan melalui tinja. Virus Polio terdiri dari 3 strain yaitu
strain-1 (Brunhilde), strain-2 (Lansig), dan strain-3 (Leon), termasuk family
Picornaviridae. Penyakit ini dapat menyebabkan kelumpuhan dengan kerusakan motor
neuron pada cornu anterior dari sumsum tulang belakang akibat infeksi virus.
Virus polio yang ditemukan dapat berupa virus polio vaksin/sabin, Virus polio liar/WPV
(Wild Poliovirus) dan VDPV (Vaccine Derived Poliovirus). VDVP merupakan virus polio
vaksin/sabin yang mengalami mutasi dan dapat menyebabkan kelumpuhan.
VDPV diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu 1). Immunodeficient-related VDPV (iVDPV)
berasal dari pasien imunodefisiensi, 2). Circulating VDPV (cVDPV) ketika ada bukti
transmisi orang ke orang dalam masyarakat, dan 3). Ambiguous VDPV
(aVDPV) apabila tidak dapat diklasifikasikan sebagai cVDPV atau iVDPV. Penetapan
jenis virus yang dimaksud, ditentukan berdasarkan pemeriksaan laboratorium.
Identifikasi VDPV berdasarkan tingkat perbedaan dari strain virus OPV. Virus polio
dikategorikan sebagai VDPV apabila terdapat perbedaan lebih dari 1% (>10 perubahan
nukleotida) untuk virus polio tipe 1 dan 3, sedangkan untuk virus polio tipe 2 apabila
ada perbedaan lebih dari 0,6% (>6 perubahan nukleotida).
Polio dapat menyerang pada usia berapa pun, tetapi polio terutama menyerang anak-
anak di bawah usia lima tahun. Pada awal abad ke-20, polio adalah salah satu penyakit
yang paling ditakuti di negara-negara industri, melumpuhkan ratusan ribu anak setiap
tahun. Pada tahun 1950an dan 1960an polio telah terkendali dan praktis dihilangkan
sebagai masalah kesehatan masyarakat di negara-negara industry. Hal ini setelah
pengenalan vaksin yang efektif.
Pada 1988, sejak Prakarsa Pemberantasan Polio Global dimulai, lebih dari 2,5 miliar
anak telah diimunisasi polio. Sekarang masih terdapat 3 negara endemis yang
melaporkan penularan polio yaitu Afganistan, Pakistan dan Nigeria.
Pada Juni 2018, dilaporkan adanya kasus polio di negara tetangga Papua New Guinea,
sehingga diperlukan adanya peningkatan kewaspadaan dini terhadap masuknya virus
polio ke Indonesia.

Gejala, Tanda dan Masa Inkubasi


Masa inkubasi virus polio biasanya memakan waktu 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi
dalam waktu 7-21 hari.
Kebanyakan orang terinfeksi (90%) tidak memiliki gejala atau gejala yang sangat
ringan dan biasanya tidak dikenali. Pada kondisi lain, gejala awal yaitu demam,
kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan di leher dan nyeri di tungkai.
Adapun gejala Penderita polio dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Polio non-paralisis dapat mnyebabkan muntah, lemah otot, demam, meningitis,
letih, sakit tenggorokan, sakit kepala serta kaki, tangan, leher dan punggung terasa
kaku dan sakit
2. Polio paralisis menyebabkan sakit kepala, demam, lemah otot, kaki dan lengan
terasa lemah, dan kehilangan refleks tubuh.
3. Sindrom pasca-polio menyebabkan sulit bernapas atau menelan, sulit
berkonsentrasi, lemah otot, depresi, gangguan tidur dengan kesulitan bernapas,
mudah lelah dan massa otot tubuh menurun.

Cara Transmisi (Penularan)


Polio menyebar melalui kontak orang ke orang. Ketika seorang anak terinfeksi virus
polio liar, virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan berkembang biak di usus. Ini
kemudian dibuang ke lingkungan melalui faeces di mana ia dapat menyebar dengan
cepat melalui komunitas, terutama dalam situasi kebersihan dan sanitasi yang buruk.
Virus tidak akan rentan menginfeksi dan mati bila seorang anak mendapatkan imunisasi
lengkap terhadap polio. Polio dapat menyebar ketika makanan atau minuman
terkontaminasi oleh feses. Ada juga bukti bahwa lalat dapat secara pasif memindahkan
virus polio dari feses ke makanan. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus polio tidak
memiliki tanda-tanda penyakit dan tidak pernah sadar bahwa mereka telah terinfeksi.
Orang-orang tanpa gejala ini membawa virus dalam usus mereka dan dapat “diam-
diam” menyebarkan infeksi ke ribuan orang lain.

Penegakan Diagnosis
1. Kasus AFP : semua anak kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya
flaccid (layuh), proses terjadi kelumpuhan secara akut (<14 hari), serta bukan
disebabkan oleh ruda paksa.
2. Hot case adalah kasus-kasus yang sangat menyerupai polio yang ditemukan <6
bulan sejak kelumpuhan dan spesimennya tidak adekuat perlu dilakukan
pengambilan sample kontak. Kategori hot case dibuat berdasarkan kondisi specimen
yang tidak adekuat pada kasus yang sangat menyerupai polio.
3. Hot case cluster adalah 2 kasus AFP atau lebih, berada dalam satu lokasi (wilayah
epidemologi), beda waktu kelumpuhan satu dengan yang lainnya tidak lebih dari 1
bulan.
4. VDPV (vaccine derived polio virus) adalah kasus polio (confirmed polio) yag
disebabkan virus polio vaksin yang telah bermutasi
5. Kasus polio pasti (confirmed polio case) : kasus AFP yang pada hasil
laboratorium tinjanya ditemukan virus polio liar (VPL), cVDPV, atau hot case dengan
salah satu specimen kontak VPL/VDPN
6. Kasus polio kompatibel : kasus polio yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan
sebagai kasus non polio secara laboratoris (virologis) yang dikarenakan antara lain
a) specimen tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60
hari setelah terjadinya kelumpuhan, b) specimen tidak adekuat dan kasus meninggal
atau hilang sebelum dilakukan kunjungan ulang 60 hari. Kasus polio kompatibel
hanya dapat ditetapkan oleh kelompok kerja ahli surveilans AFP nasional
berdasarkan kajian data/dokumen secara klinis atau epidemologis maupun
kunjungan lapangan.
Informasi Laboratorium
1. Specimen AFP berupa tinja yang diambil pada kasus AFP yang lama lumpuhnya
belum lebih dari 2 bulan
2. Specimen adekuat adalah 2 spesimen dapat dikumpulkan dengan tenggang waktu
minimal 24 jam
3. Waktu pengumpulan ke 2 spesimen tidak lebih dari 14 hari sejak terjadi kelumpuhan
4. Masing-masing spsimen minimal 8 gram (sebesar satu ruas ibu jari orang dewasa),
atau 1 sendok makan bila penderita diare.
5. Specimen pada saat diterima di laboratorium dalam keadaan :
 2 spesimen tidak bocor
 2 spesimen volumenya cukup
 Suhu dalam speseimen karier 2-8⁰C
 2 spesimen tidak rusak (kering,dll)

Treatment/penatalaksanaan
Tidak ada obat untuk polio, yang ada hanya perawatan untuk meringankan gejala.
terapi fisik digunakan untuk merangsang otot dan obat antispasmodic diberikan untuk
mengendurkan otot-otot dan meningkatkan mobilitas. Meskipun ini dapat
meningkatkan mobilitas, tapi tidak dapat mengobati kelumpuhan polio permanen.
Apabila sudah terkena Polio, tindakan yang dilakukan yaitu tatalaksana kasus lebih
ditekankan pada tindakan suportif dan pencegahan terjadinya cacat, sehingga anggota
gerak diusahakan kembali berfungsi senormal mungkin dan penderita dirawat inap
selama minimal 7 hari atau sampai penderita melampaui masa akut.
Penemuan dini dan perawatan dini untuk mempercepat kesembuhan dan mencegah
bertambah beratnya cacat. Kasus polio dengan gejala klinis ringan di rumah, bila gejala
klinis berat diruju ke RS.

Faktor Risiko Kejadian Polio

1. Data cakupan imunisasi polio, di tingkat puskesmas, desa terjangkit dan desa sekitar
beresiko selama 3-5 tahun terakhir, dan tata laksana rantai dingin vaksin
2. Frekuensi pelayanan imunisasi masyarakat setempat
3. Ketenagaan, ketersediaan vaksin dan kualitas vaksin diantaranya penyimpanan
vaksin dan control suhu penyimpanan
4. Daerah kumuh atau padat atau daerah pengungsi
5. Mobilitas penduduk dari dan ke daerah endemis poliomyelitis
6. Kontak adalah anak usia < 5 tahun yang berinteraksi serumah atau sepermainan
dengan kasus sejak terjadi kelumpuhan sampai 3 bulan kemudian.
Faktor Risiko terhadap Kelumpuhan
Tidak ada yang tahu mengapa hanya sebagian kecil infeksi menyebabkan kelumpuhan.
Beberapa faktor risiko utama yang diidentifikasi yang meningkatkan kemungkinan
kelumpuhan pada seseorang yang terinfeksi polio, seperti diantaranya defisiensi imun,
kehamilan, pengangkatan amandel (tonsilektomi), suntikan intramuscular misalnya
obat-obatan, olahraga berat dan cedera.

Situasi di Indonesia
Setelah dilaksanakan PIN Polio tiga tahun berturut-turut pada tahun 1995, 1996 dan
1997, virus polio liar asli Indonesia (indigenous) sudah tidak ditemukan lagi sejak tahun
1996. Namun pada tanggal 13 Maret 2005 ditemukan kasus polio importasi pertama di
Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasus polio tersebut berkembang
menjadi KLB yang menyerang 305 orang dalam kurun waktu 2005 sampai awal 2006.
KLB ini tersebar di 47 kabupaten/kota di 10 provinsi. Selain itu juga ditemukan 46
kasus Vaccine Derived Polio Virus (VDPV) yaitu kasus Polio yang disebabkan oleh virus
dari vaksin, yang terjadi apabila banyak anak yang tidak di imunisasi, dimana 45 kasus
di antaranya terjadi di semua kabupaten di Pulau Madura dan satu kasus terjadi di
Probolinggo, Jawa Timur. Setelah dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI),
dua kali mop-up, lima kali PIN, dan dua kali Sub-PIN, KLB dapat ditanggulangi
sepenuhnya. Kasus Virus Polio Liar (VPL) terakhir yang mengalami kelumpuhan
ditemukan pada tanggal 20 Februari 2006 di Aceh. Sejak saat itu hingga sekarang tidak
pernah lagi ditemukan kasus Polio di Indonesia.

Situasi Global
Kasus polio pertama kali pada 1580 – 1350 SM, Inskripsi Mesir kuno menggambarkan
pendeta muda dengan kaki sebelah kiri yang memendek dan mengecil, telapak kaki
pada posisi equinus, yang merupakan gambaran keadaan klinik lumpuh layu.
Total kasus kumulatif tahun 2018 sebanyak 50 kasus, 12 kasus WPV1 di Afganistan, 3
Kasus WPV1 di Pakistan, 13 kasus cVDPV2 di Republik Demokratik Kongo, 8 Kasus
cDVDPV2 di Nigeria, 5 kasus cVDPV di Somalia dan 9 kasus cVDPV1 di Papua New
Guinea. Jumlah kumulatif kasus polio tahun 2017 hingga tahun 2018 sebanyak 168
kasus. (Sumber: http://polioeradication.org/polio-today/polio-now/this-week/ per
tanggal 4 September 2018).

Cara Pencegahan
Imunisasi merupakan tindakan yang paling efektif dalam mencegah
penyakit polio. Vaksin polio yang diberikan berkali-kali dapat melindungi seorang anak
seumur hidup. Pencegahan penyakit polio dapat dilakukan dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya pemberian imunisasi polio pada anak-anak.
Pencegahan penularan ke orang lain melalui kontak langsung (droplet) dengan
menggunakan masker bagi yang sakit maupun yang sehat. Selain itu mencegah
pencemaran lingkungan (fecal-oral) dan pengendalian infeksi dengan menerapkan
buang air besar di jamban dan mengalirkannya ke septic tank.

Pencegahan dengan Vaksin Polio


Ada 4 jenis vaksin Polio, yaitu :

1. Oral Polio Vaccine (OPV), untuk jenis vaksin ini aman, efektif dan memberikan
perlindungan jangka panjang sehingga sangat efektif dalam menghentikan penularan
virus. Vaksin ini diberikan secara oral. Setelah vaksin ini bereplikasi di usus dan
diekskresikan, dapat menyebar ke orang lain dalam kontak dekat.
2. Monovalent Oral Polio Vaccines (mOPV1 and mOPV3), sebelum pengembangan tOPV,
OPV Monovalen (mopVs) dikembangkan pada awal tahun 1950an. Vaksin polio ini
memberikan kekebalan hanya pada satu jenis dari tiga serotipe OPV, namun tidak
memberikan perlindungan terhadap dua jenis lainnya. OPV Monovalen untuk virus
Polio tipe 1 (mopV1) dan tipe 3 (mOPV3) dilisensikan lagi pada tahun 2005 dan
akhirnya mendapatkan respon imun melawan serotipe yang lain.
3. Bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV), setelah April 2016, vaksin virus Polio Oral
Trivalen diganti dengan vaksin virus Polio Oral Bivalen (bOPV). Bivalen OPV hanya
mengandung virus serotipe 1 dan 3 yang dilemahkan, dalam jumlah yang sama
seperti pada vaksin trivalen. Bivalen OPV menghasilkan respons imun yang lebih
baik terhadap jenis virus Polio tipe 1 dan 3 dibandingkan dengan OPV trivalen,
namun tidak memberikan kekebalan terhadap serotipe 2.
4. Inactivated Polio Vaccine (IPV), sebelum bulan April 2016, vaksin virus Polio Oral
Trival (topV) adalah vaksin utama yang digunakan untuk imunisasi rutin terhadap
virus Polio. Dikembangkan pada tahun 1950 oleh Albert Sabin, tOPV terdiri dari
campuran virus polio hidup dan dilemahkan dari ketiga serotipe tersebut. tOPV tidak
mahal, efektif dan memberikan perlindungan jangka panjang untuk ketiga serotipe
virus Polio. Vaksin Trivalen ditarik pada bulan April 2016 dan diganti dengan vaksin
virus Polio Oral Bivalen (bOPV), yang hanya mengandung virus dilemahkan vaksin
tipe 1 dan 3.
Rubela

Fakta

 Rubela adalah penyakit menular, umumnya berupa infeksi virus ringan yang sering
terjadi pada anak dan dewasa muda
 Infeksi rubela pada wanita hamil kemungkinan dapat menyebabkan kematian janin
atau kelainan kongenital yang dikenal sebagai Sindrom Rubela Kongenital (SRK)
 Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 100 000 bayi yang lahir dengan SRK setiap
tahunnya
 Tidak ada perawatan yang spesifik untuk rubela tetapi penyakit ini dapat dicegah
dengan vaksinasi

Rubela adalah penyakit akut, menular akibat infeksi virus. Biasanya penyakit ini ringan pada
anak, pada wanita hamil penyakit ini dapat berbahaya karena menyebabkan kelainan
kongenital yang dikenal sebagai Sindrom Rubela Kongenital (SRK).

Virus rubela dapat menular melalui percikan droplet di udara ketika orang yang terinfeksi
bersin atau batuk.

Gejala

Pada anak, umunya penyakit ini ringan, dengan gejala seperti ruam, demam ringan (<39OC),
mual dan konjungtivitis yang ringan. Ruam ditemukan pada 50-80% kasus, biasanya diawali
dari wajah dan leher sebelum menyebar ke badan, dan berlangsung selama 1-3 hari.
Pembesaran kelenjar limfa dibelakang kedua telinga dan leher merupakan gejala klinis yang
paling terlihat. Orang dewasa yang terinfeksi, lebih sering pada wanita, kemungkinan akan
timbul artritis dan nyeri pada persendian yang biasanya berlangsung selama 3-10 hari.

Setelah seseorang terinfeksi, virus menyebar ke seluruh tubuh sekitar 5-7 hari. Gejala
biasanya baru akan muncul 2 sampai 3 minggu setelah terinfeksi. Periode paling menular
biasanya infeksi biasanya pada hari ke 1-5 setelah mulcul gejala ruam.

Ketika seorang wanita terinfeksi virus rubela pada awal kehamilan, ia memiliki 90%
kemungkinan menularkan virus ke janinnya. Kejadian ini dapat menyebabkan keguguran,
kematian saat lahir atau kelainan kongenital berat yang dikenal sebagai SRK. Bayi dengan
SRK kemungkinan menularkan virus selama satu tahun atau lebih.

Sindrom rubela kongenital(SRK)

Anak dengan SRK dapat menderita gangguan pendengaran, kelainan mata dan jantung dan
cacat lainnya seumur hidup, termasuk autisme, diabetes mellitus, dan disfungsi tiroid – yang
membutuhkan biaya terapi cukup mahal, operasi dan perawatan mahal lainnya.
Resiko paling rentan yang dapat menyebabkan SRK adalah negara-negara di mana wanita
usia subur tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit (baik melalui vaksinasi atau telah
terinfeksi rubela). Sebelum mengenal vaksin, sebanyak 4 bayi dari 1000 kelahiran mengalami
sindrom rubela kongenital.

Vaksinasi rubela selama dekade terakhir telah mengeliminasi rubela dan SRK di beberapa
negara berkembang. Pada april 2015, WHO Amerika menjadi wilayah pertama di dunia yang
menyatakan bebas dari transmisi endemik rubela.Tingkat kejadian SRK sangat tinggi di WHO
wilayah Afrika dan Asia Tenggara di mana cakupan vaksin rendah.

Vaksinasi

Vaksin rubela adalah strain hidup yang dilemahkan yang telah digunakan lebih dari 40 tahun.
Dosis tunggal dapat memberikan kekebalan tubuh lebih dari 95%, sesuai dengan infeksi yang
didapatkan secara natural.

Vaksin rubela tersedia dalam sediaan monovalen (vaksin ditujukan hanya pada satu
patogen) atau lebih umum dalam sediaan kombinasi dengan vaksin lain seperti vaksin
campak atau measles (MR), measles dan gondongan atau mumps (MMR)
atau measles, mumps, dan varicela (MMRV).

Kejadian ikutan pasca imuniasi umumnya ringan. Beberapa kemungkinan seperti nyeri dan
kemerahan pada tempat suntikan, demam ringan, ruam, dan nyeri otot. Kampanye imunisasi
di wilayah Amerika melibatkan 250 juta remaja dan orang dewasa yang telah teridentifikasi
tidak mengalami reaksi serius yang berhubungan dengan vaksin.

Respons WHO

WHO merekomendasikan ke semua negara yang tidak memiliki vaksin rubela untuk
mempertimbangkan menggunakan vaksin yang ada, dengan mengadakan program
imunisasi campak. Saat ini, tiga wilayah WHO telah mengadakan eliminasi penyebab
kelainan saat lahir.

Pada April 2012, Measles Initiative – yang dikenal saat ini Measles & Rubella Initiative -
meluncurkan rencana strategi global campak dan rubela yang baru untuk periode 2012-2020.
Rencana tersebut juga mencakup tujuan baru secara global untuk tahun 2015 dan 2020.

Pada akhir 2015

 Mengurangi angka kematian akibat campak secara global paling sedikit 95%
dibandingkan angka kematian pada tahun 2000
 Mencapai tujuan eliminasi campak dan rubela/sindrom rubela kongenital
Pada akhir tahun 2020

 Mencapai eliminasi campak dan rubela paling sedikit 5 wilayah WHO

Terdapat strategi yang diimplementasikan berdasarkan 5 komponen:

1. Mencapai dan mempertahankan kualitas vaksin yang mengandung vaksin campak


dan rubela
2. Memantau dan mengevaluasi program untuk memastikan kemajuan dan dampak
positif dari vaksinasi
3. Mengembangkan dan mempertahankan kesiapan apabila terjadi wabah, respons
yang cepat terhadap wabah, dan terapi yang efektif
4. Menjelaskan dan melibatkan masyarakat untuk membangun kepercayaan dan
permintaan imunisasi

Menjalankan strategi yang sudah direncanakan dapat menjaga dan meningkatkan angka
hidup anak dan ibu di dunia secara cepat dan bertahan. Rencana yang diajukan berupa
stategi untuk negara yang mengurus imunisasi, bekerja dengan mitra dari dalam dan luar
negeri, untuk mencapai tujuan yaitu mengeliminasi campak dan rubela tahun 2015 dan 2020.
Dalam setahun membangun pengalaman dalam menjalankan program imunisasi dan
menggabungkan penjelasan untuk mengontrol campak dan eradikasi polio.

Salah satu anggota Measles & Rubella Initiative, WHO mengajukan dukungan teknis kepada
pemerintah dan komunitas yang meningkatkan program imunisasi secara rutin dan
mempertahankan target kampanye vaksinasi. Sebagai tambahan, WHO Global Measles and
Rubella Laboratory Network membantu mendiagnosis kasus rubela dan SRK dan mengikuti
penyebaran virus rubela.

Anda mungkin juga menyukai