Anda di halaman 1dari 24

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sindrom Koroner Akut (SKA)


3.1.1 Definisi
Sindrom koroner akut merupakan suatu istilah yang menggambarkan
kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jantung, sindrom ini meliputi unstable
angina pectoris sampai perkembangan menjadi miokard infark akut. Lebih dari
90% ACS disebabkan oleh gangguan plak aterosklerosis dengan diikuti agregasi
trombosit dan pembentukan thrombus intrakoroner.4
Istilah sindroma koroner akut (SKA) telah dikembangkan untuk
menggambarkan kumpulan kondisi-kondisi iskemik yang meliputi spektrum
diagnosis dari angina tak stabil (UA/unstable angina) sampai infark miokard non
elevasi ST (Non ST elevation miokard infarction/NSTEMI). Pasien yang
mengalami SKA dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok menurut gambaran
elektrokardiogram (EKG) yaitu: mereka dengan STEMI dan NSTEMI/UAP.
Perawatan STEMI memerlukan restorasi darurat aliran darah dalam arteri koroner
yang tersumbat total. Pasien dengan NSTEMI hal yang sering muncul dalam
perubahan EKG meliputi inversi gelombang T, depresi ST atau elevasi ST yang
bersifat sementara, dan kadangkala EKG normal secara keseluruhan. Kelompok
NSTEMI dapat diklasifikasi lebih lanjut mengikuti peningkatan enzim-enzim
protein jantung yang dapat terdeteksi dengan kadar troponin positif pada serum
pasien. Sedangkan, pasien UA ditemukan kadar troponin jantung negatif dan hal
ini dibedakan dari NSTEMI yang memiliki iskemia miokard dengan nekrosis
miokardial, sehingga mengakibatkan peningkatan pelepasan kadar troponin dalam
sirkulasi..4
3.1.2 Etiologi
Sindrom koroner akut disebabkan oleh ketidak seimbangan antara
kebutuhan dan pasokan oksigen miokard yang menyebabkan kematian sel dan
nekrosis miokard. Penyebab utama hal ini terjadi karena adanya faktor yang
mempengaruhi arteri karoner, tetapi juga dapat terjadi sebagai akibat dari proses
sekunder seperti hipoksemia atau hipotensi dan faktor-faktor yang meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard. Penyebab yang paling umum adalah pecah atau erosi
plak aterosklerotik yang mengarah pada penyelesaian oklusi arteri atau oklusi
parsial dengan embolisasi distal dari bahan trombotik. 4

3.1.3 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus
ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun
parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti
selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total
pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung
(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang),
distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan
di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal
dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri
koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak
atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor
ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat
menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis.9

3.1.4 Manifestasi Klinis12


NO Manifestasi Klinis SKA Patogenesis
1 Angina Pektoris Tidak Stabil Pada angina pektoris tidak stabil
terjadi erosi atau fisur pada plak
aterosklerosis yang relatif kecil
dan menimbulkan oklusi trombus
yang transien. Trombus biasanya
labil dan menyebabkan oklusi
sementara yang berlangsung
antara 10-20 menit
2 NSTEMI Pada NSTEMI kerusakan pada
(Non-ST Elevation Myocardial plak lebih berat dan menimbulkan
Infarction) oklusi yang lebih persisten dan
berlangsung sampai lebih dari 1
jam. Pada kurang lebih ¼ pasien
NSTEMI, terjadi oklusi trombus
yang berlangsung lebih dari 1 jam,
tetapi distal dari penyumbatan
terdapat koleteral. Trombolisis
spontan, resolusi vasikonstriksi
dan koleteral memegang peranan
penting dalam mencegah
terjadinya STEMI
3 STEMI Pada STEMI disrupsi plak terjadi
(ST Elevation Myocardial pada daerah yang lebih besar dan
Infarction) menyebabkan terbentuknya
trombus yang fixed dan persisten
yang menyebabkan perfusi
miokard terhenti secara tiba-tiba
yang berlangsung lebih dari 1
(satu) jam dan menyebabkan
nekrosis miokard transmural
Tabel 1. Manifestasi Klinis SKA

3.1.4 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut9


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST
segment elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

3.1.5 Diagnosis9
Diagnosis SKA dapat ditegakkan dari 3 komponen utama, yaitu dari
anamnesis, EKG, dan pengukuran enzim-enzim jantung (cardiac marker).
1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering
dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa
lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai
pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai
angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi
nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA. Mempunyai faktor
risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK
dini dalam keluarga.

2. Elektrokardiografi
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera
mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien diruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (=20 menit) maupun
tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan
tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika
STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi
segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru / persangkaan
baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi
reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Lokasi Lead Perubahan EKG

Anterios ekstensif V1-V6 ST elevasi, gelombang Q

Anteroseptal V1-V4 ST elevasi, gelombang Q

Anterolateral V4-V6 ST elevasi, gelombang Q

Posterior V1-V2 ST depresi, Gelombang R tinggi

Lateral I, aVL, V5, V6 ST elevasi, gelombang Q

Inferior II, III, aVF ST elevasi, gelombang Q

Ventrikel kanan V4R, V5R ST elevasi, gelombang Q

Tabel 2. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Selama infark miokard akut, EKG berkembang melalui tiga stadium:


1) Gelombang T runcing diikuti dengan inverse gelombang T
 Secara akut, gelombang T meruncing (peaking), kemudian inverse
(simetris). Perubahan gelombang T menggambarkan iskemia
miokardium. Jika terjadi infark sejati, gelombang T tetap inverse
selama beberapa bulan sampai beberapa tahun.
2) Elevasi segmen ST
 Secara akut, segmen ST mengalami elevasi dan menyatu dengan
gelombang T. elevasi segmen ST menggambarkan jejas miokardium.
Jika terjadi infark, segmen ST biasanya kembali ke garis iso elektrik
dalam beberapa jam.
3) Muncul gelombang Q baru
 Gelombang-gelombang Q baru bermunculan dalam beberapa jam
sampai beberapa hari. Gelombang ini menandakan infark miokard,
syarat: lebar ≥ 0,04 detik, dalam ≥ 4mm atau ≥ 25% tinggi R. Pada
kebanyakan kasus, gelombang ini menetap seumur hidup pasien.

3. Cardiac Marker 4,9


Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan
menggunakan test enzim jantung. Pemeriksaan troponin I dan troponin T adalah
standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka
jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I
dan troponin T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain
yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of
normal, ULN). Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut.
Troponin jantung: 

- Troponin I dan troponin T merupakan protein struktural jantung tertentu
yang biasanya tidak terdeteksi dalam serum. Pasien dengan peningkatan
tingkat troponin memiliki peningkatan beban trombus dan embolisasi
mikrovaskular 

- Biomarker pilihan untuk diagnosis infark miokard. Sensitivitas meningkat
dibandingkan dengan CKMB 

- Mendeteksi kerusakan miokard minimal pada pasien dengan UA/STEMI

30% pasien yang dinyatakan tanpa elevasi segmen ST akan di diagnosis
dengan UA yang memiliki sejumlah kecil kerusakan miokard saat
digunakan 
uji troponin (misalnya CKMB negatif)
- Berguna dalam stratifikasi risiko karena pasien dengan elevasi konsentrasi
troponin 
serum berada pada peningkatan risiko infark miokard non fatal
dan kematian 
jantung mendadak 

- Juga dapat digunakan untuk mendeteksi reinfark 

- Tetap tinggi selama 7-14 hari setelah infark
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat
digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai
puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.
Creatine Kinase Isoenzime (CKMB)
- Hadir dalam otot rangka dan serum, kurang spesifik dibandingkan
troponin

- Penanda untuk reinfark dan penilaian non invasif dari reperfusi 

- Peningkatan nilai enzim CKMB atau troponin I dan troponin T >2x nilai
batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard).
Pemeriksaan enzim jantung sebaiknya dilakukan secara serial.

3.1.6 Diagnosis (APTS/UAP) dan (NSTEMI)9


Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard
non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang
dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan
marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika
tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan
mengalami evolusi menjadi infark miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan
dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di mana pasien-pasien
biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu,
mortalitas awal NSTEMI lebih rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6
bulan, mortalitas keduanya berimbang dan secara jangka panjang, mortalitas
NSTEMI lebih tinggi.
Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan NSTEMI dan UAP
adalah perawatan dalam Coronary Care Units, mengurangi iskemia yang sedang
terjadi beserta gejala yang dialami, serta mengawasi EKG, troponin dan/atau
CKMB.
Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:
- Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%)
- Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.
- Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau
kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat 15
minimal kelas III klasifikasi CCS.
- Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah
infark miokard
EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
- Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan
elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit)
- Gelombang Q yang menetap
- Nondiagnostik
- Normal
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis
NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam
waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus
digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui
nilai normal atas (upper limit of normal, ULN).

3.1.7 Tatalaksana dan Terapi Awal9

Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien
dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di
ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin
(disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

1. Tirah baring.
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi .
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Efek samping penggunaan
aspilet jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya tukak lambung,
perdarahan lambung, dan gangguan pada fungsi hati dan ginjal.
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
- Dosis awal tikagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI
yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau
- Dosis awal klopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari. Klopidogrel juga memiliki efek samping
yang meningkatkan risiko perdarahan pada saluran cerna atas.
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat, jika nyeri dada
tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit
sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai
sebagai pengganti.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
3.2 Gagal Jantung
3.2.1 Definisi
Gagal jantung (heart failure) adalah suatu sindroma klinis yang kompleks
yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsional jantung. Pada keadaan ini
jantung tidak lagi mampu memompa darah secara cukup ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung akut (acute heart failure)
adalah serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung
yang abnormal.
Gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal
jantung akut tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari
gagal jantung kronik. Disfungsi yang terjadi pada gagal jantung dapat berupa
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Gagal jantung kronis (chronic heart
failure) juga didefinisikan sebagai sindroma klinik yang komplek disertai keluhan
gagal jantung berupa sesak, fatigue baik dalam keadaan istirahat maupun
beraktifitas.10
Gagal jantung adalah sindrom dimana pasien harus memilki gambaran
sebagai berikut: gejala gagal jantung, biasanya sesak nafas saat istirahat atau
selama aktivitas, dan atau kelelahan; tanda – tanda retensi cairan seperti kongesti
paru atau edema pergelangan kaki; serta bukti objektif dari kelainan struktur atau
fungsi jantung saat istirahat. 11

3.2.2 Etiologi6
Berbagai gangguan penyakit jantung yang mengganggu kemampuan
jantung untuk memompa darah menyebabkan gagal jantung yang biasanya
diakibatkan karena kegagalan otot jantung yang menyebabkan hilangnya fungsi
yang penting setelah kerusakan jantung, keadaan hemodinamis kronis yang
menetap yang disebabkan karena tekanan atau volume overload yang
menyebabkan hipertrofi dan dilatasi dari ruang jantung, dan kegagalan jantung
dapat juga terjadi karena beberapa faktor eksternal yang menyebabkan
keterbatasan dalam pengisian ventrikel.

3.2.3 Klasifikasi11

Tabel 2. Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan NYHA


3.2.4 Patofisiologi6
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu
gangguan mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau
bersamaan yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau kontriksi
perikard, jantung tidak dapat diastole, obstruksi pengisian ventrikel, aneurisme
ventrikel, disenergi ventrikel, restriksi endokardial atau miokardial) dan
abnormalitas otot jantung yang terdiri dari primer (kardiomiopati, miokarditis
metabolic (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika) dan sekunder
(iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltrative, dan korpulmonal).
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai
terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup
peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini
mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau
hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat.
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak
saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi
semakin kurang efektif.
Beban pengisian (preload) dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel
yang mengalami dilatasi atau hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya
kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat.
Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar
katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan
meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan dapat
mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan
elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer
dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous return) ke dalam
ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolic dan menaikkan kembali
curah jantung.
Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi
jantung tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam
badan belum juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung.
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri
menurun dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume
akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban
atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic,
dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan
dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya
darah dari vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut,maka bendungan
akan terjadi juga dalam paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan
segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang
meninggi.
Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang
menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada
ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan meransang ventrikel kanan untuk
melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas
kemempuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal
jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi akhirnya terjadi gagal jantung kiri-
kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan
pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa
didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel
kanan, tekanan dan volume akhir diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini
menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu
diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan
dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran
masuknya darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga
mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut
(bendungan pada vena jugularis dan bendungan hepar) dengan segala akibatnya
(tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus
berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan aakibat
timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites.
Manifestasi gagal jantung tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan
jantung dalam mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga
tergantung pada respon sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai
oksigen ke jaringan. Beberapa faktor yang menentukan cardiac output meliputi
heart rate dan stroke volume.
Stroke volume ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload.
Variabel-variabel ini penting diketahui dalam patofisiologis gagal jantung dan
potensi terapi. Selain itu interaksi kardiopulmonary penting juga untuk diketahui
dalam peranannya dalam kegagalan jantung.
Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh
jantung, kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jamtung, sedangkan
afterload merupakan kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk
memompa darah. Preload tidak hanya dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi
juga dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat pengisian ventrikel. Fungsi diastolic
ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel kiri, yang mana
merupakan fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses ini
merupakan proses yang aktif dan membutuhkan energi. Ketidaknormalan
ventrikel kiri untuk relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena structural (contoh:
hypertropi ventrikel kiri) atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia)
mempengaruhi juga pengisian ventrikel (preload).

Variable kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung, Pada


jantung normal fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-
55%. Infark myokard akan menyebabkan myokard tidak dapat bekerja dengan
baik, hal ini dikarenakan jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik. Jaringan
yang infark dapat diperbaiki dengan pembedahan atau dengan terapi obat-obatan.
Beberapa hal yang juga mempengaruhi kontraktilitas jantung adalah agent
farmakologik (calcium-channel blocker),hipoksemia, dan asidosis yang parah.
Variabel terakhir dari komponen stroke volume adalah afterload. Afterload
biasanya dilihat dengan pengukuran mean arterial pressure. Afterload dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal. Bersama-
sama ketiga komponen ini saling mempengaruhi dalam patofisiologi gagal
jantung. Pada kondisi dimana terjadi penurunan cardiac output, maka heart rate
atau stroke volume harus berubah untuk menjaga kelangsungan perfusi. Jika
stroke volume tidak dapat dirubah, maka heart rate harus ditingkatkan untuk
menjaga cardiac output.8

3.2.5 Manifestasi Klinis11

Tabel 4. Manifestasi Klinis Gagal Jantung


3.2.3 Diagnosis10

Pendekatan pada pasein dengan kecurigaan gagal jantung dibuat


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi/foto thorax,
ekokardiografi doppler dan keterisasi. Kriteria Framingham dapat pula dipakai
untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Diagnosis gagal jantung ditegakkan
minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
Kriteria Major :
- Paroksismal Nokturnal Dispnea
- Distensi Vena Leher
- Rhonki Paru
- Kardiomegali
- Edema Paru Akut
- Gallop S3
- Peninggian Tekanan Vena Jugularis
- Refluks Hepatojugular

Kriteria Minor :
- Edema Ekstremitas
- Batuk Malam Hari
- Dispnea d’effort
- Hepatomegali
- Efuis Pleura
- Penurunan Kapasitas vital 1/3 dari normal
- Takikardia (>120/menit)

Major atau Minor


Penurunan BB >4,5kg dalam 5 hari pengobatan
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang
paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.

3.2.4 Tatalaksana11

Tatalaksana Non-Farmakologi
 Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung.
 Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi
 Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
 Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua
pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.
 Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai
kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati.
 Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah.
Tatalaksana Farmakologi
 Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien
gagaljantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab
itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar
kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
- Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
- Riwayat angioedema
- Stenosis renal bilateral
- Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
- Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
- Stenosis aorta berat

 Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
Indikasi pemberian penyekat β
- Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
- Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
- ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
- Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β
- Asma
- Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa
pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)

 Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan
hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
- Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
- Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
- Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan
ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
- Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
- Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
- Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
- Kombinasi ACEI dan ARB

 Angiotensin Receptor Blockers (ARB)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI.
Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB
- Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
- Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai
berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI ARB dapat
menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
- Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
- Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
- Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI
Tabel 5. Dosis Obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung
 Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB.
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
- Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
- Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi
- Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI,
penyekat β dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
- Hipotensi simtomatik
- Sindroma lupus
- Gagal ginjal berat
 Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup.
Tabel 6. Indikasi dan Kontraindikasi pemberian Digoksin
 Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.

Anda mungkin juga menyukai