Anda di halaman 1dari 4

Saya Fendi Widiantoro Ade Putra, lahir di Jepara tanggal 6 Februari 1999.

Saya merupakan
anak ke dua dari dua bersauadara, saya memiliki seorang kakak laki-laki. Sejak kecil saya
dibesarkan di Jepara. Saya lahir dalam keluarga yang sangat sederhana, ayah saya adalah seorang
petani dan ibu saya hanya lah ibu rumah tangga namun seringkali juga membantu ayah di sawah
menyelesaikan pekerjaannya. Sejak kecil saya tidak pernah dekat dengan ayah atau pun ibu, saya
lebih senang melakukan dan membahas banyak hal dengan kakak saya dari pada dengan orang
tua. Sejak kecil kakak saya sudah menjadi seperti panutan dan inspirasi saya. Kakak saya
merupakan sosok hangat, tipe orang yang mudah bergaul dan disukai banyak orang, dia pun selalu
mendapatkan nilai terbaik di kelasnya, berhasil masuk dalam sekolah favorit, diterima dan
berkuliah di Undip dengan mendapatkan beasiswa sepenuhnya, sampai berhasil lulus dan
mendapatkan gelar sarjana dari sana. Saya sangat bangga dan senang punya sosok kakak yang
demikian, namun kadang muncul rasa iri dan tidak layak ketika saya mencoba membandingkan
diri atau dibandingkan diri dengn kakak saya. Sejak kecil terkadang saya melihat perhatian dan
kasih sayang benar-benar tertuju pada kakak saya dan itu membuat saya iri, itu sempat membuat
saya berpikir dan terobsesi untuk dapat menjadi sama seperti kakak saya.

Saya mulai bersekolah sejak umur sekitar 5 tahun. Saat itu saya sudah mulai masuk Taman
Kanak-kanak. Saya tidak mengalami kesulitan apa pun di sana perihal dalam belajar atau pun
dalam membangun hubungan dengan teman-teman. Namun saat itu orang tua saya memutuskan
untuk mebiarkanku berada di TK selama 2 tahun. Saya merasa sangat marah dan kesal saat itu.
Kenapa? Ketika saya melihat teman-teman saya yang sudah masuk ke Sekolah Dasar saya merasa
seperti ditinggalkna sendirian karena pada saat saat itu Cuma saya yang tetap tingggal. Saya
merasa iri, bahkan saya merasa malu dan takut ketika bertemu dengan teman-teman saya yang
mendahlui saya masuk SD.

Di tahun pertama masuk Sekolah Dasar semuanya berjalan lancar, saya menjadi siswa yang
tergolong mudah dalam belajar, nialiku pun menjadi salah satu yang terbaik. Namun hal ini
perlahan mulai berubah. Sahabat saya mengalami kasus kekerasan dalam rumahnya, lalu dia
pindah rumah karena kedua orang tuanya yang bercerai. Mungkin tak lazim bagi seorang anak
yang masih berumur kurang dari 7 tahun untuk dapat memahami situasi pada saat itu, yang saya
pahami hanyalah jika sahabat saya itu akan pergi meninggalkan saya. Kejadian ini menjadi
masalah karena di yang sering membantu saya dalam belajar, setiap hari kami bermain bersama,
dia benar-benar manjadi sosok yang penting bagi saya pada saat itu. Kejadian itu terjadi begitu
cepat dan mendadak untuk saya dapat memahami situasi apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba
saja dia dan ibunya dating ke rumahku untuk berpamitan sangat jelas ku ingat merek dating sambil
berlinang air mata. Dan pergilah sosok sahabat tersebut, entah ke mana perginya.

Entah mengapa semenjak kejadian ini saya mulai menjadi malas-malasan. Mulai tidak
pernah mendengarkan pelajaran, tidak pernah mengerjakan PR, mulai sering bolos sekolah,
bahkan pernah saya hampir tinggal kelas karenanya. Suatu ketika saya pernah seperti dimusuhi
oleh teman-teman mungkin karena kerja saya yang hanya sering minta contekan PR pada mereka,
pada suatu ketika mereka jenuh dan kesala terhadap saya. Sekitar beberapa hari saya benar-benar
sendirian, bahkan beberapa kali saya diajak untuk berkelahi, saya yang mulai tidak tahan dengan
situasi itu memberanikan diri untuk membolos sekolah dan menentang ibu saya. Kurang lebih
selama seminggu saya benar-benar tidak keluar rumah dan berangkat ke sekolah. Mungkin karena
saking jengkelnya ibu saya, belai sampe turun tangan pergi ke sekolahku, bertanya dan berbicara
dengan teman-temanku. Entah apa yang dilakukannya sampe tiba pada akhirnya ketika saya mulai
berani bernagkat sekolah lagi karena dorongan dari ibu saya, di sana tiba-tiba mereka meminta
maaf entah untuk alasan yang tidak jelas.

Suatu ketika saya pernah kecanduan bermain Play Station. Sudah bukan hamper namun
setiap hari saya pergi ke tempat rental PS dan seharian menghabiskan waktu di sana. Dari sepulang
sekolah sampai sore, bahkan jika saat liburan dari pagi buta bahkan sampai tempatnya belum buka
saya sudah berada di sana dan itu pun akan sampai sore saya berada di sana. Ada satu orang yang
melaporkan saya ke guru saya saat itu, saya dituduh mengambil uang ibu saya tanpa
sepengetahuan. Tiba-tiba saja seorang guru mendatangi kelas dan memanggil nama saya, dengan
nada tinggi dan membentak tiba-tiba dia memarahi saya, bahkan belum sempat untuk dapat
memahami situasi karen saking mendadaknya kejadian itu dia sudah menjewer, memukul, dan
menendang saya. Saya dipaksa menyebutkan teman-teman saya yang juga sering ikut bermain di
sana, saya bahkan dipaksa untuk mengakui jika saya telah mencuri uang ibu saya hanya untuk
bermain PS, saya hanya terdiam, dia pun pergi begitu saja setelah puas memaki kami. Semenjak
itu saya bahkan tidak berani untuk pergi ke tempat rental PS lagi.

Singkat cerita ketika kelas saya mengalami kemajuan yang luar biasa dalam belajar di
masa-masa akhir berada di SD. Sudah menjajdi semacam tradisi di sana bagi siswa yang dianggap
paling pandai harus bersedia membantu semua temannya ketika ujian berlangsung. Hingga
datanglah seorang guru dan berkata intinya bahwa semua bergantung pada saya, untuk berbaik hati
dan membantu teman-temanku. Pada awalnya saat mendengar itu rasanya biasa-biasa saja, namun
pada akhirnya aku sadar bahwa semua beban yang menentukan nila kami semua ternyata
dilimpahkan begitu saja pada saya. Sampai pengumuman nilai UN tiba dan ternyata nilai kami
semua tidak memenuhi harapan, bukan nilai yang buruk memang tapi tetap saja beban itu sudah
dilimpahkan pada saya secara tidak langsung. Tentu orang-orang akan membicarakan saya yang
seharusnya menjadi penentu nilai semua orang yang ada di kelas. Penyelasan yang sangat terasa,
hasilnya adalah nilaiku malah berada lebih rendah dari semua orang di kelas.

Saya membuat keputusan yang cukup bodoh untuk memilih SMP, saya masuk ke SMP
yang cukup dekat dengan rumah saya, karena di sana juga banyak teman-teman yang ke sana.
Sekolah itu cukup terkenal, bukan dengan prestasinya namun dengan kenakalan para anak-
anaknya. Di sana dikenal dengan anak-anaknya yang nakal, merokok, terjadi pemalakan,
kebiasaan minum. Untuk pertama kalinya di sana saya belajar untuk bergaul dan berinteraksi
dengan orang-orang yang memiliki predikat nakal. Di sana saya mulai melihat secara perlahan
bahwa teman-teman saya mulaii terseret oleh arus dan masuk ke dalam lingkungan yang kurang
baik. Saya memang tidak terpengaruh dan ikut jalan yang mereka pilih, namun di sisi lain saya
merasa sedih karena merasa tidak mampu menolong mereka untuk menjaga diri, terasa sepi saat
mereka mulai memiliki dunia yang berbeda.

Semasa SMA saya sampai pada titik jenuh yang sangat berat. Benar-benar tidak ada niatan
untuk belajar dan berkembang di sana, tidak ada ketertarikan sedikitpun tentang kehidupan
sekolah di sana. Sama sekali tidak mengikuti ekstrakuliker dan kegiatan organisasi di sana, sama
sekali tidak ada yang berkesan di sana kecuali rasa sendirian yang saya alami. Mungkin karena
saya yang terlalu acuh saya menjadi sosok yang tidak menarik. Tidak ada orang yang dapat saya
sebut sebagai teman dekat, sosok yang dapat diandalkan. Bahkan tidak ada yang mengenal bahkan
sekedaar tahu nama saya di luar kelas. Sering kali saya berpikir bahwa saya berada di tempat yang
salah, bahwa saya mengambil jalan yag keliru, selama tiga tahun masa ini hanya dipenuhi
penyelasan dan rasa marah.

Untuk pertama kalinya saya memberanikan diri berada sendirian di suatu tempat secara
sengaja. Saya masuk UKSW benar atas ajakan teman saya, namun saya memberanikan diri
mengambil jurusan Psikologi. Mungkin diriku yang dulu akan berpikir dan mengkhawatirkan
tentang fakta bahwa tidak ada teman di sana. Di tahun pertama saya merasa sangat kesulitan untuk
dapat berbaur dan berteman dengan banyak orang. Karena semenjak SMA saya mulai terbiasa
untuk mengacuhkan orang dan hanya diam. Mungkin saat ini jauh lebih baik, namun kebiasaan ini
kadang masih terbawa sampai saat ini. Saya yang terbiasa diam menjadi kesulitan untuk
menyampaikan pendapat di depan banyak orang, bahkan untuk bertanya dan menanggapi di kelas
tidak cukup hanya sekali atau dua kali saya berpikir terlebih dahulu, tak jarang pula memilih hanya
untuk diam.
TUGAS PSIKOLOGI KONSELING

“AUTOBIOGRAFI”

Disusun oleh:

Fendi Widiantoro Ade P (802017188)

Anda mungkin juga menyukai