Anda di halaman 1dari 10

KEUNTUNGAN SEBAGAI TUJUAN PERUSAHAAN

Dosen Pengampu : Tri Mardiana, Dra, M.Si

Disusun oleh:
Kelompok 5
Kelas : EM-A

Mursal Amir 141170034


Riko santoso 141170

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
PEMBAHASAN

A. Pengertian keuntungan sebagai tujuan perusahaan


Keuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab apa itu bisnis? Dengan cara sederhana
tapi cukup jelas, bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or servoces for a
profit”. Menyedikana suatu produk atau jasa secara percuma tidak menawarkan sesuatu
dengan percuma masih bisa dianggap bisnis, selama terjadi dalam rangka promosi, untuk
memperkenalkan sebuah produk baru atau untuk mengiming- imingi public. Tetapi,
tetaplah tujuannya mencari calon pembeli dan karena itu tidssk terlepas dari pencarian
keuntungan. Dalam rangka bisnis, pemberian dengan gratis hanya dilakukan untuk
kemudian mencual barang itu dengan cara besar- besaran.
Tidak semua kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan,. Keuntungan atau
profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai system keuangan. Dalam
penukaran barang dengan barang (barter), tidak diperoleh profit, walaupun kegiatan itu
saling menguntungkan kedua belah pihak. Bisa dikatakan, disinilah letak perbedaan
perdagangan (trade) dengan bisnis. Perdagangan mempunyai arti lebih luas, hingga
meliputi juga kegiatan ekonommis seperti barter. Bisnis merupakan perdagangan yang
bertujuan khusus memperoleh keuntungan finansial,
Profit diperoleh tidak kebetulan tetapi berkat upaya khusus dari orang yang
menggunakan uang. Uang yang diperoleh berdasarkaan kupon undian atau karena main
judi tidak disebut profit, berbeda uang yang yang dihasilkan dengan perdagangan saham.
Profit berkonotasi ganjaran bagi upaya yang berhasil. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa
profit seluruhnya tergantung juga pada factor mujur atau sial.
Keterkaitan dengan keuntungan itu agaknya menjadi juga alasan utama mengapa
bisnis di masalampau sering kali dilihat dengan cara negatif. Dan sekarang pun pencarian
keuntungan menjadi factor terpenting yang mengakibatkan bnayk orang memandang
dengan syak wasangka permainan big money oleh korporasi korporasi internasionalyang
raksasa pada taraf global. Jika meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa batas menjadi
upaya pertama dari bisnis, tidak dapat dielakkan keberatan ari pihak etika.
1. Maksimalisasi keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal
Profit maximization atau maksimilasi keuntungan merupakan tema penting dalam
ilmu manajemen ekonomi. Metode kuantitatif yang dipakai dalam manajemen ekonomi
mengandaikan keuntungan sebagai tujuan perusahaan.
Kalau memaksimalkan keuntungan menjadin satu-satunya tujuan perusahaan,
dengan sendirinya akan timbulkeadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Sekurang-
kurangnya karena alasan bahwa dalam keadaan semacam itu karyawan diperalat begitu
saja, maka dengan tujuan itu semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demmi
tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan
tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka
sebagai manusia. Dengan itu dilanggar maka suatu prinsip etis yang paling mendasar:
kita selalu harus menghormati martabat manusia. Menurut Imanuel Kant, telah melihat
bahwa menghormati martabat manusia sama saja memoerlakukan dia sebagai tujuan.
Menurut dia, prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut
:”Hendaklah mereka memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya
dan tidak pernah sebagai saran belaka”.
Stuid sejarah menunjukan bahwa maksimilasi keuntungan sebagai tujuan usaha
ekonomis memang bisa menjadi kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam
kapitalisme liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-
negara barat lainnya. Maksimilasisasi keuntungan sebagai sebuah model ekonomis
abstrak bisa saja mengakibatkan ketidakberesan etis baru. Bahwa kualitas etisnya di sini
tidak selalu gampang dinilai degan tepat, data kita pelajari dengan meninjau masalah
buruh anak.

2. Masalah pekerja anak


Tak bisa dihindari, pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan
topik dengan banyak implikasi etis, tetapi masalah ini sekaligus juga sangat kompleks,
karena factor – factor budaya dan social. Penilaian etiks berlaku simplitis, kalau bersifat
negative begitu saja, sambil mengabaikan kompleksitas tersebut.
Dalam convention on the rights of the child yang diteria dalam siding umum PBB
pada 1989 diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk “menetapkan usia
minimum atau usia-usia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [Pasal
32,3(a)]. Organisasi ketenagakerjaan Internasional (ILO) pada 1973 mengeluarkan
konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Di situ negara-negara
ILO dianjurkan untu meningkatkan batas minimum usia. Sebagaipatokan dikatakan
mereka harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan
16 tahun untuk pekerjaan ringan.
Ada dua alasan mengapa pekerjaan itu ditolak, yang pertama, adalah bahwa
pekerjaan itu melanggar hak para anak. Hal itu berkaitan dengan apa yang baru saja
dijelaskan. Masa anak adalah periode pertama dalam hidup seorang manusia dengan
segala ciri khasnya. Oleh sebab itu pekerjaan yang dilakukan oleh anak melanggar juga
hak anak, karena meng eksploitasi tenaga mereka. Dengan mempekerjakan anak ,
mereka disalah gunakan. Hal itu secara jelas bertentangan dengan hak anak, mereka
berhak untuk dilindungi terhadap segala upaya eksploitasi, karena merek belum
mampumembela dirinya sendiri. Yang kedua, adalah menegaskan bahwa
mempekerjakan anak merupakan cara berbisnis tidak fair. Sebab, dengan cara itu
pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian melibatkan diri dalam
kompetisi kurang fair terhadap rekan rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan
tenaga anak, karena menganggap hal itu caara berproduksi yang tidak etis.

3. Relativasi keuntungan

Pertimbangan etis maupun tidak mau membatasi peranan keuntungan dalam bisnis,
seandainya keuntungan merupakan fktor satu- satunya yang menentukan suksses dalam
bisnis, perdagangan heroin, kokain, atau obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai
good businessm karena sempat membawa untung yang amat banyak. Dan dalam
manajemen ekonomi salah unsur terpenting adalah cost benefit analysis. Supaya dapat
mencapai sukses, hasil dalam suatu usaha bisnis melebihi biaya yang dikeluarkan.
Usaha ekonomis baru bisa dianggap berhasil bila memuungkinkan laba. Semuanya ini
bisa diterima, asalkan tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis menjadi tidaak etis jika
keuntungan dijadikan satu satunya objective atau benefit dimenegerti sebagai laba
belaka dengan mengorbankan semua factor lain. Sekali lagi harus diingatkan bagaimana
sejarah industriaalisasi menunjukkan kemungkinan itu sebagai bahaya yang bbukan
imajiner saja.

Dengan demikian dan dengan bbanyak cara lain lagi dapat dijelskan relativitas
keuntungan dalam usaha bisnis. Tetapi, bagaimanapun juga, keuntungan dalam bisnis
perlu. Hanya tidak bisa dikatakan bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan
bisnis. Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis,
sambil tidak mengabaikan perlunya, adalah sebagai beriku :

 Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan


atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;
 Keuntungan adalaah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya
dihargai oleh masyarakat;
 Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
 Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
 Keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha.

4. Manfaat bagi Stakeholders


Istilah stakeholders muncul pada tahun 1963 dalam sebuah memorandu internal
dari Stanford Research Institute, California. Sekarang istilah itu sudah lazim dipakai
dalam teori manajemen dan juga dalam etika bisnis. Stakeholders adalah semua pihak
yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Stokeholders tentu termasuk
Stakeholders. Kadang kadang stakeholders dibagi menjadi dua yaitu internal dan
eksternal. Internal ialah “orang dalam” dari suatu perusahaan:orang atau instansi yang
secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan seperti para pemegang saham,
manajer, karyawan. Eksternal ialah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang atau
instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan seperti para
konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan
perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua
stakeholders. Sekaligus juga disini kita mempnyai kemungkinan baru untuk membahas
segi etis dari sesuatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan
bisnis hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Keputusan bisnis
hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Keputusan untuk atau
memindahkan suatu unit produksi seperti pabrik boleh disebut sebagai contoh.
Keputusan mengandung implikasi etis yang penting. Bukan saja kepentingan para
pemegang saham harus dipertimbangkan,tapi juga kepentingan dari semua pihak lain,
khuususnya oara karyawan dan masyarakat disekitar pabrik. Tidak mengherankan jika
sudah ada beberapa buku etikas bisnis yang mwngusahakan pendekatan stakeholders
sebagai kerangka penguraiannya.

B. Studi Kasus
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah perusahaan pemerintah yang
bergerak di bidang pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini, PT. PLN masih
merupakan satu-satunya perusahaan listrik sekaligus pendistribusinya. Dalam hal ini
PT. PLN sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat, dan
mendistribusikannya secara merata.
Usaha PT. PLN termasuk kedalam jenis monopoli murni. Hal ini ditunjukkan
karena PT. PLN merupakan penjual atau produsen tunggal, produk yang unik dan tanpa
barang pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk menerapkan harga berapapun
yang mereka kehendaki.
Contoh kasus monopoli yang dilakukan oleh PT. PLN adalah:
1. Fungsi PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik mulai
dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga
listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat
ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk
Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy, Edison
Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke Energy,
Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga
listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
2. Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN)
memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah
termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini
diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan
Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi
bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN
berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah
karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem
kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2,
serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa
untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan
PLTGU Muara Karang.

Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik


masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara
merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering
terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh diatas. Kejadian ini
menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan
untuk berinvestasi.

C. Analisis Kasus
Jika dilihat dari teori etika deontologi : Dalam kasus ini, PT. Perusahaan Listrik
Negara (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan atau
tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara adil
dan merata. Jadi menurut teori etika deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.
Jika dilihat dari teori etika teleologi : Dalam kasus ini, monopoli di PT. PLN
terbentuk secara tidak langsung dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945, dimana pengaturan,
penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta
pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat
dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka PT. PLN dinilai etis bila ditinjau dari teori
etika teleologi.
Jika ditinjau dari teori utilitarianisme : Tindakan PT. PLN bila ditinjau dari teori
etika utilitarianisme dinilai tidak etis, karena mereka melakukan monopoli. Sehingga
kebutuhan masyarakat akan listrik sangat bergantung pada PT. PLN.
KESIMPULAN

Pengambilan keuntungan sebagai tujuan perusahaa harus memiliki etika dalam


mendapatkan keuntungan tersebut, keuntungan merupakan buah hasil suatu transaksi
moneter, dan dalam mendapatkan keuntungan harus memahami etika dalam bisnis,
apabila melanggar etika dalam bisnis, maka perusahaan tersebut dipandang menjadi
perusahaan yang melakukan tindakan tidak etis dalam bisnis, dan juga apabila
perusahaan ingin mendapatkan keuntungan yang maksimal maka perusahaan tersebut
harus meperhatikan beberapa tindakan yang apabila dilanggar bisa menyebabkan
tindalan tidak etis, seoerti memaksimalisasi keuntungan, ketenagakerjaan anak,
relativasi keuntungan dan juga manfaat bagi stakeholders, maka dari itu dibutuhkan
ketelitian dalama meningkaatkan keuntungan dengan etika bisnis yamg baik.

Anda mungkin juga menyukai