Anda di halaman 1dari 8

1.

Latar Belakang

Indonesia sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu negara penghasil minyak
dan gas bumi terbesar di dunia. Hal ditersebut didukung dengan wilayah
Indonesia yang terdiri atas laut dan daratan. Pada tahun 1970, perekonomian
Indonesia bergantung pada sektor migas sebab mendapat penerimaan negara yang
besar dari kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract atau PSC) dengan
bentuk usaha tetap (kontraktor) minyak multinasional, seperti Exxon Mobil, Shell,
dan lain sebagainya

Saat ini, meskipun industri minyak dan gas bumi di Indonesia sudah tidak menjadi
sumber utama penerimaan negara, akan tetapi industri minyak dan gas bumi tetap
menyumbang penerimaan negara terbesar kedua setelah pajak. Selain dari
penerimaan pajak pada industri minyak dan gas bumi, penerimaan negara bukan
pajak yang berasal dari minyak dan gas bumi juga cukup besar. Penerimaan itu
berasal dari kontrak bagi hasi (PSC) dengan kontraktor kontrak kerjasama .

Industri minyak dan gas bumi terdiri dari dua kegiatan usaha yakni Kegiatan
usaha Hulu dan kegiatan usaha Hilir. Kegiatan usaha hulu merupakan kegiatan
yang berkaitan dengan kegiatas eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan eksplorasi
merupakan kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi
geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas
Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.

Industri hulu migas selalu menghadapi tantangan dalam operasionalnya. Kali ini,
tantangan yang mengemuka terkait dengan penerapan pajak bumi dan bangunan
(PBB) pada kegiatan eksplorasi terutama kegiatan eksplorasi offshore. Isu ini
menucul setelah adanya penerapan kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 79
tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak
penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi.

Dikutip dari BUMI (Buletin SKK Migas) No. 10 Edisi 1 November 2013, pada
akhir Juni 2013, Direktur Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan tagihan PBB tahun
2012 dan 2013 sebesar Rp 2,6 triliun. Tagihan itu ditujukan kepada 15 perusahaan
hulu migas yang mengoperasikan 20 wilayah kerja eksplorasi lepas pantai.
Besaran PBB berkisar antara Rp 40 miliar hingga Rp 190 miliar per wilayah kerja.
Uniknya jumlah tersebut melebihi anggaran untuk kegiatan eksplorasi di blok itu
sendiri.

Berdasarkan hal diatas sesungguhnya seperti apa pengenaan pajak bumi dan
bangunan pada wilayah kerja eksplorasi lepas pantai (offshore) atas diterapkannya
PP Nomor 79 Tahun 2010 tersebut.

Dalam paper ini penulis akan menganalisa pengenaan pajak bumi dan bangunan
pada kegiatan ekslporasi offshore indutri minyak dan gas bumi sesuai dengan PP
Nomor 79 Tahun 2010.

2. Kerangka Teori
2.1 Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung

Pembagian Pajak berdasarkan golongannya dibagi menjadi 2 jenis yaitu :

a. Pajak langsung
b. Pajak tidak langsung

Pajak langsung adalah pajak yang langsung dibayar atau dipikul oleh Wajib
Pajak dan pajak ini langsung dipungut oleh pemerintah dari Wajib Pajak.1
Contoh pajak langsung antara lain Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan
Bangunan,

Pajak tidak langsung adalah pajak yang hanya ipungut kalau ada pada suatu
ketika terdapat peristiwa atau perbuatan seperti pergerakan barang tidak
bergerak, pembuatan akta dan lain – lain, dan pajak ini tidak mempergunakan
surat ketetapan pajak atau dapat dialihkan pada orang lain. Jenis pajak tidak
langsung adalah pajak yang tidak langsung dipungut oleh pemerintah kepada
Wajib Pajak, dan pajak ini mengalihkan pembayarannya pada pihak ketiga.2
Contoh pajak tidak langsung adalah Pajak Pertambahan Nilai.

1
Tulis S. Meliala dan Francisca Widianti, Perpajakan dan Akuntansi Pajak, (Jakarta : Semesta
media), hlm 19.
2
Ibid.
Beberapa kriteria yang dapat dijadikan pembeda antara pajak langsung dan
pajak tidak langsung yaitu3 :

1) Dasar penentuan beban pajak


2) Pengalihan beban pajak
3) Sistem pelaporan
4) Periodisasi penghitungan, pembayaran dan pelaporan pajak terutang.

Ada 2 aspek pembeda antara pajak langsung dan pajak tidak langsung yaitu

a. Aspek Ekonomis
Secara ekonomi, pajak langsung dibebankan berdasarkan kemampuan
membayar (ability to pay). Kondisi atau keadaan wajib pajak menjadi
dasar pertimbangan untuk menentukan beban pajak. Pada umumnya
kondisi atau keadaan individu bukan hanya ditentukan berdasarkan
penghasilan yang diterima, pengeluaran atau konsumsi,serta kekayaan
yang dimiliki, tetapi juga jumlah dan keadaan individu yang menjadi
tanggungan wajib pajak bersangkutan. Beban pajak langsung tidak dapat
dialihkan, sebaliknya dalam pajak tidak langsung beban pajak dapat
dialihkan.
b. Aspek Administratif
Secara administratif, pajak langsung terdapat periodisasi pemungutan
pajak, serta dibayar langsung oleh wajib pajak, sedangkan pajak tidak
langsung bisa terutang setiap saat tidak menunggu sampai akhir bulan atau
akhir tahun.
2.2 Asas – asas Pemungutan Pajak

Dalam memungut pajak, terdapat asas – asas atau prinsip – prinsip yang harus
diperhatiak dalam sistem pemungutan pajak tersebut. Menurut Adam Smith,
pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat asas yaitu equity,
certainty, convenience dan economy. (Rosdiana, 2013)

3
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak : Kebijakan dan Implementasi di
Indonesia, (Jakarta : Rajawali pers, 2013), hlm 53.
Dalam reformasi perpajakan Indonesia pada tahun 1984 ditetapkan enam
sasaran utama. Dasar pijakan penentuan sasaran – sasaran reformasi tersebut
adalah asas – asas perpajakan yaitu revenue productivity, equity/equality dan
ease of administration.

Berikut adalah beberapa asas yang penting untuk diperhatiakn dalam


mendesain sistem pemungutan pajak yaitu

a. Asas Equity / Equality


Asas Equity / equality berarti keadilan. Asas keadilan menyatakan bahwa
pajak harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang – orang pribadi
sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan
juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara.
Ada dua pendekatan dalam asas keadilan ini yaitu Benefits Received
Principles dan Ability To Pay Principle. Benefits Received Principle
merupakan prinsip yang menyatakan bahwa pajak dipungut atas manfaat
yang diperoleh, contohnya pengenaan PBB di Indonesia. Para pemilik
tanah dan bangunan dikenakan PBB atas Tanah dan atau bangunan yang
dimiliki karena manfaat yang diperoleh oleh pemilik tanah dan bangunan
tersebut. Sehingga mereka dikenakan PBB.
Keadilan dalam pajak penghasilan terdiri dari keadilan horizontal dan
keadilan vertikal. Menurut Mansury yang dikutip dalam Rosdiana,
Keadilan horizontal adalah suatu pemungutan pajak dikatakan memenuhi
keadilan horizontal apabila wajib pajak yang berada dalam kondisi yang
sama diperlakukan sama (equal treatment for the equals).
Sementara itu, asas keadilan vertikal terpenuhi apabila wajib pajak yang
mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda diperlakukan
tidak sama. (Rosdiana, 2013).
b. Asas Revenue Productivity
Revenue productivity merupakan asas yang lebih mementingkan
kepentingan pemerintah. Pajak mempunyai fungsi utama sebagai
penghimpun dana dari masyartakat untuk membiayai kegiatan pemerintah,
baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan. Jumlah pajak
yang dipungut hendaklah memadai untuk keperluan menjalankan roda
pemerintahan. Pemungutan pajak yang optimal adalah yang menghasilkan
jumlah penerimaan yang memadai sekaligus memenuhi asas keadilan.
c. Asas ease of administration
Asa ease of administration merupakan asas pemungutan pajak yang terdiri
atas beberapa asas didalamnya yaitu :
1) Asas certainty
Asas certainty (kepastian) menyatakan bahwa harus ada kepastian
dalam pemungutan pajak baik bagi petugas pajakmaupun wajib apajak
dan seluruh masyarakat. Peraturan pajak harus pasti dan jelas
mengenai subjek pajak, objek pajak, besar jumlah pajak serta prosedur
pemenuhan kewajiban perpajakan.
2) Asas convinience
Asas convinience (kemudahan) menyatakan bahwa saat pembayaran
pajak hendaklah disaat yang mudah bagi wajib pajak. Asas
convinience lebih berkaitan dengan kemudahan dalam pembayaran
pajak sehngga tidak membebani bagi wajib pajak.
3) Asas Eficiency (Economic in collection)
Asas efficiency dapat dilihat dari dua sisi : sisi fiskus , pemungutan
pajak dikatakan efisien apabila biaya pemungutan lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah pajak yang dipungut. Dari sisi wajib
pajak, pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang dikeluarkan
oleh wajib pajak untuk memnuhi kewajiban perpajakannya bisa
seminimal mungkin.
4) Asas simplicity
Asas simplicity menyatakan bahwa peraturan pajak harus dibuat
sederhana sehingga dapat mudah dimengerti oleh wajib pajak.
2.3 Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak bumi dan bangunan diatur dalam undang – undang nomor 12 tahun
1994. Prinsip pemungutan pajak bumi dan bangunan adalah bnefit received
principle. Dimana pajak bumi dan bangunan dipungut berdasarkan manfaat
yang diperoleh wajib pajak.
Objek pajak bumi dan bnagunan adalah bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di dalamnya. Permukaan bumi
meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan
adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat yang
diusahakan.

Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

1. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kelompk bangunan


2. Jaln tol
3. Kolam renang
4. Pagar mewah
5. Tempat olahraga
6. Galangan kapal, dermaga
7. Taman mewah
8. Tempat penampungan kilang minyak, air, gas, dan pipa minyak
9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Dalam menentukan nilai jual bumi dan bangunan dibuat klasifikasi dengan
memperhatikan faktor – faktor berikut :

a. Letak
b. Peruntukan
c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkungan dan lain – lain.

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor – faktor sebagai


berikut :

a. Badan yang digunakan


b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkungan dan lain – lain
Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara langsung nyata mempunyai
suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau
memiliki, menguasasi, dan atau memperoleh manfaat bangunan.

Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak. Besarnya nilai jual
objek pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk
untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan
daerahnya.

Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang
ditetapkan serendah – rendahnya 20% dan setinggi – tingginya 40% dari Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP).

Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2002, besarnya NJKP


ditetapkan sebagai berikut :

a. Objek Pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40% dari


Nilai Jual Objek Pajak.
b. Objek Pajak lainnya :
1) Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak aoabila Nilai Jual Objek
Pajaknya Rp. 1.000.000.000 atau lebih
2) Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek
Pajak kurang dari Rp. 1.000.000.000 .

NJKP ditentukan sebesar NJOP Bumi + NJOP Bangunana – NJOPTKP.

Berdasarkan Peraturan Meneteri keuangan Nomor 23 Tahun 2014, besarnya


NJOPTPK yang sebelumnya sebesar Rp. 12.000.000 diubah menjadi

3. Ketentuan Peraturan Perundang – undangan


3.1 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
3.2 Undang – undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan
Bangunan
3.3 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi
3.4 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang
Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi
3.5 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 45 /PJ/2013 Tentang Tata
Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk
Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi.
3.6 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 21/PJ/2012 Tentang
Tata Cara Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan
untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi.

4. Analisis Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Pada Kegiatan


Eksplorasi Offshore Industri Minyak dan Gas Bumi
4.1 Pengenaan PBB Kegiatasn Eksplorasi Offshore sebelum berlakunya PP
Nomor 79 Tahun 2010
4.2 Pengenaan PBB Kegiatan Eksplorasi Offshore setelah berlakunya PP
Nomor 79 Tahun 2010
4.3 Analisis Pengenaan PBB berdasarkan Asas – asas Pemungutan Pajak

5. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai