Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

1. Bayi Baru Lahir

a. Definisi

Bayi baru lahir (neonatus) adalah bayi yang berusia 0-28 hari

(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Bayi baru lahir adalah bayi

berusia satu jam yang lahir pada usia kehamilan 37-42 minggu dan

berat badannya 2.500-4000 gram (Dewi, 2010).

b. Ciri-ciri

Bayi baru lahir normal mempunyai ciri-ciri berat badan lahir

2500-4000 gram, umur kehamilan 37-40 minggu, bayi segera

menangis, bergerak aktif, kulit kemerahan, menghisap ASI dengan

baik, dan tidak ada cacat bawaan (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

Bayi baru lahir normal memiliki panjang badan 48-52 cm,

lingkar dada 30-38 cm, lingkar lengan 11-12 cm, frekuensi denyut

jantung 120-160 x/menit, pernapasan 40-60 x/menit, lanugo tidak

terlihat dan rambut kepala tumbuh sempurna, kuku agak panjang dan

lemas, nilai APGAR >7, refleks-refleks sudah terbentuk dengan baik

(rooting, sucking, morro, grasping), organ genitalia pada bayi laki-

laki testis sudah berada pada skrotum dan penis berlubang, pada bayi

perempuan vagina dan uretra berlubang serta

6
7

adanya labia minora dan mayora, mekonium sudah keluar dalam

24 jam pertama berwarna hitam kecoklatan (Dewi, 2010)

c. Klasifikasi Neonatus

Bayi baru lahir atau neonatus di bagi dalam beberapa

kasifikasi menurut Marmi (2015) , yaitu :

1) Neonatus menurut masa gestasinya :

a) Kurang bulan (preterm infant) : < 259 hari (37 minggu)

b) Cukup bulan (term infant) : 259-294 hari (37-42 minggu)

c) Lebih bulan (postterm infant) : > 294 hari (42 minggu atau

lebih)

2) Neonatus menurut berat badan lahir :


a) Berat lahir rendah : < 2500 gram

b) Berat lahir cukup : 2500-4000 gram

c) Berat lahir lebih : > 4000 gram


3) Neonatus menurut berat lahir terhadap masa gestasi (masa

gestasi dan ukuran berat lahir yang sesuai untuk masa

kehamilan) :

a) Nenonatus cukup/kurang/lebih bulan (NCB/NKB/NLB)

b) Sesuai/kecil/besar untuk masa kehamilan (SMK/KMK/BMK)

d. Penatalaksanaan Bayi Baru Lahir Normal

Semua bayi diperiksa segera setelah lahir untuk mengetahui

apakah transisi dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterine

berjalan dengan lancar dan tidak ada kelainan. Pemeriksaan medis

komprehensif dilakukan dalam 24 jam pertama kehidupan.

Pemeriksaan rutin pada bayi baru lahir harus dilakukan, tujuannya


8

untuk mendeteksi kelainan atau anomali kongenital yang muncul

pada setiap kelahiran dalam 10-20 per 1000 kelahiran, pengelolaan

lebih lanjut dari setiap kelainan yang terdeteksi pada saat antenatal,

mempertimbangkan masalah potensial terkait riwayat kehamilan

ibu dan kelainan yang diturunkan, dan memberikan promosi

kesehatan, terutama pencegahan terhadap sudden infant death

syndrome (SIDS) (Lissauer, 2013).

Tujuan utama perawatan bayi segera sesudah lahir adalah

untuk membersihkan jalan napas, memotong dan merawat tali

pusat, mempertahankan suhu tubuh bayi, identifikasi, dan

pencegahan infeksi (Saifuddin, 2008).

Asuhan bayi baru lahir meliputi :

1) Pencegahan Infeksi (PI)

2) Penilaian awal untuk memutuskan resusitasi pada bayi

Untuk menilai apakah bayi mengalami asfiksia atau tidak

dilakukan penilaian sepintas setelah seluruh tubuh bayi lahir

dengan tiga pertanyaan :

a) Apakah kehamilan cukup bulan?

b) Apakah bayi menangis atau bernapas/tidak megap-megap?

c) Apakah tonus otot bayi baik/bayi bergerak aktif?

Jika ada jawaban “tidak” kemungkinan bayi mengalami

asfiksia sehingga harus segera dilakukan resusitasi. Penghisapan

lendir pada jalan napas bayi tidak dilakukan secara rutin

(Kementerian Kesehatan RI, 2013)


9

3) Pemotongan dan perawatan tali pusat

Setelah penilaian sepintas dan tidak ada tanda asfiksia pada

bayi, dilakukan manajemen bayi baru lahir normal dengan

mengeringkan bayi mulai dari muka, kepala, dan bagian tubuh

lainnya kecuali bagian tangan tanpa membersihkan verniks,

kemudian bayi diletakkan di atas dada atau perut ibu. Setelah

pemberian oksitosin pada ibu, lakukan pemotongan tali pusat

dengan satu tangan melindungi perut bayi.

Perawatan tali pusat adalah dengan tidak membungkus tali

pusat atau mengoleskan cairan/bahan apa pun pada tali pusat

(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Perawatan rutin untuk tali

pusat adalah selalu cuci tangan sebelum memegangnya, menjaga

tali pusat tetap kering dan terpapar udara, membersihkan dengan

air, menghindari dengan alkohol karena menghambat pelepasan

tali pusat, dan melipat popok di bawah umbilikus (Lissauer,

2013).

4) Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Setelah bayi lahir dan tali pusat dipotong, segera letakkan

bayi tengkurap di dada ibu, kulit bayi kontak dengan kulit ibu

untuk melaksanakan proses IMD selama 1 jam. Biarkan bayi

mencari, menemukan puting, dan mulai menyusu. Sebagian

besar bayi akan berhasil melakukan IMD dalam waktu 60-90

menit, menyusu pertama biasanya berlangsung pada menit ke45-

60 dan berlangsung selama 10-20 menit dan bayi cukup

menyusu dari satu payudara (Kementerian Kesehatan RI, 2013).


10

Jika bayi belum menemukan puting ibu dalam waktu 1 jam,

posisikan bayi lebih dekat dengan puting ibu dan biarkan kontak

kulit dengan kulit selama 30-60 menit berikutnya. Jika

bayi masih belum melakukan IMD dalam waktu 2 jam, lanjutkan

asuhan perawatan neonatal esensial lainnya (menimbang,

pemberian vitamin K, salep mata, serta pemberian gelang

pengenal) kemudian dikembalikan lagi kepada ibu untuk belajar

menyusu (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

5) Pencegahan kehilangan panas melalui tunda mandi selama 6

jam, kontak kulit bayi dan ibu serta menyelimuti kepala dan

tubuh bayi (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

6) Pemberian salep mata/tetes mata

Pemberian salep atau tetes mata diberikan untuk pencegahan

infeksi mata. Beri bayi salep atau tetes mata antibiotika

profilaksis (tetrasiklin 1%, oxytetrasiklin 1% atau antibiotika

lain). Pemberian salep atau tetes mata harus tepat 1 jam setelah

kelahiran. Upaya pencegahan infeksi mata tidak efektif jika

diberikan lebih dari 1 jam setelah kelahiran (Kementerian

Kesehatan RI, 2013).

7) Pencegahan perdarahan melalui penyuntikan vitamin K1dosis

tunggal di paha kiri

Semua bayi baru lahir harus diberi penyuntikan vitamin K1

(Phytomenadione) 1 mg intramuskuler di paha kiri, untuk

mencegah perdarahan BBL akibat defisiensi vitamin yang dapat


11

dialami oleh sebagian bayi baru lahir (Kementerian Kesehatan

RI, 2010). Pemberian vitamin K sebagai profilaksis melawan

hemorragic disease of the newborn dapat diberikan dalam

suntikan yang memberikan pencegahan lebih terpercaya, atau

secara oral yang membutuhkan beberapa dosis untuk mengatasi

absorbsi yang bervariasi dan proteksi yang kurang pasti pada

bayi (Lissauer, 2013). Vitamin K dapat diberikan dalam waktu

6 jam setelah lahir (Lowry, 2014).

8) Pemberian imunisasi Hepatitis B (HB 0) dosis tunggal di paha

kanan

Imunisasi Hepatitis B diberikan 1-2 jam di paha kanan

setelah penyuntikan vitamin K1 yang bertujuan untuk mencegah

penularan Hepatitis B melalui jalur ibu ke bayi yang dapat

menimbulkan kerusakan hati (Kementerian Kesehatan

RI, 2010).

9) Pemeriksaan Bayi Baru Lahir (BBL)

Pemeriksaan BBL bertujuan untuk mengetahui sedini

mungkin kelainan pada bayi. Bayi yang lahir di fasilitas

kesehatan dianjurkan tetap berada di fasilitas tersebut selama 24

jam karena risiko terbesar kematian BBL terjadi pada 24 jam

pertama kehidupan. saat kunjungan tindak lanjut (KN) yaitu 1

kali pada umur 1-3 hari, 1 kali pada umur 4-7 hari dan 1 kali

pada umur 8-28 hari (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

10)Pemberian ASI eksklusif


12

ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan

minuman tambahan lain pada bayi berusia 0-6 bulan dan jika

memungkinkan dilanjutkan dengan pemberian ASI dan

makanan pendamping sampai usia 2 tahun. Pemberian ASI

ekslusif mempunyai dasar hukum yang diatur dalam SK

Menkes Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian

ASI Eksklusif pada bayi 0-6 bulan. Setiap bayi mempunyai hak

untuk dipenuhi kebutuhan dasarnya seperti Inisiasi Menyusu

Dini (IMD), ASI Ekslusif, dan imunisasi serta pengamanan dan

perlindungan bayi baru lahir dari upaya penculikan dan

perdagangan bayi.

2. Makrosomia

a. Definisi

Bayi baru lahir makrosomia adalah bayi baru lahir dengan

berat 4000 atau lebih (Trisnasiwi, 2012). Semua bayi dengan berat

badan 4000 gram atau lebih tanpa memandang umur kehamilan

dianggap sebagai makrosomia (Cunningham, 2006). Bayi berat lahir

besar atau BBLB adalah berat badan lahir lebih sama dengan

4000 gram atau sama dengan makrosomia (Stoll, 2007). Makrosomia

digambarkan sebagai bayi baru lahir dengan berat lahir lebih.

Makrosomia didefinisikan dalam beberapa cara yang berbeda, termasuk

berat lahir 4000-4500 gram (Martin, 2007).

b. Etiologi

Penyebab terjadinya makrosomia dikaitkan dengan


13

beberapa faktor, yaitu :

1) Bayi dari ibu yang mempunyai diabetes atau IDM (infant of a

diabetic mother) berisiko tinggi mengalami sejumlah

komplikasi, khususnya hipoglikemia. Kadar glukosa maternal

yang tinggi mengakibatkan peningkatan respon insulin janin.

Peningkatan kadar insulin ini mendorong pertumbuhan

intrauteri yang mengakibatkan makrosomia. Makrosomia

terjadi pada 20% hingga 30% IDM (Green, 2012).

2) Bayi yang lahir setelah masa gestasi 42 minggu (postmatur,

lewat waktu, lewat tanggal) sebagian besar lahir dengan berat

badan lebih dari 4000 gram (Green, 2012). Kehamilan postterm

mempunyai hubungan erat dengan mortalitas, morbiditas

perinatal, ataupun makrosomia (Prawirohardjo, 2009).

3) Bayi besar (berat badan melebihi 4000 gram) dapat

diperkirakan disebabkan oleh orang tua bayi yang juga besar

(keturunan) (Mochtar, 2012). Faktor yang memperbesar

kemungkinan bayi makrosomia adalah orang tua yang

berperawakan besar, khususnya obesitas pada ibu

(Cunningham, 2006)

4) Bayi besar (berat badan melebihi 4000 gram) dapat diperkirakan

disebabkan oleh kenaikan berat badan selama kehamilan yang

berlebihan pada ibu dan bukan disebabkan oleh sebab lain

misalnya edema (Mochtar, 2012)

5) Ibu yang pada kehamilan pertama melahirkan


bayi
14

makrosomia berpeluang besar melahirkan anak kedua dengan

kondisi yang sama pada kehamilan berikutnya bahkan

berpeluang lebih besar dari anak terdahulu (Mochtar, 2012).

6) Multiparitas disebut sebagai salah satu faktor penyebab

makrosomia. Ada kecenderungan berat badan lahir anak ke dua

dan seterusnya lebih besar daripada anak pertama

(Cunningham, 2006).

7) Bayi berat lahir besar (makrosomia) berisiko lahir dari ibu yang

memiliki indeks massa tubuh (IMT) ≥30 kg/m2 (Rahmah, 2014).

8) Kondisi lain seperti kondisi lingkungan, nutrisi, dan hormonal

kehamilan yang secara potensial diatur oleh gen, usia ibu, serta

ras dan etnik juga merupakan beberapa faktor penyebab

terjadinya makrosomia pada bayi baru lahir.

c. Patofisiologi

Selama masa kehamilan terdapat sejumlah perubahan

hormonal yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan glukosa pada

janin. Pada trimester I kehamilan, mulai terjadi peningkatan human

placental lactogen dan prolaktin yang mencapai puncaknya pada

akhir trimester III (minggu ke-35). Human placental lactogen (hPL)

memiliki struktur kimia yang mirip dengan prolaktin dan growth

hormone. Efek utama hPL adalah terhadap insulin dan metabolisme

glukosa (Prawirohardjo, 2009).

Kombinasi hPL dan prolaktin memicu semacam resistensi

insulin yang dapat dideteksi dengan adanya hiperinsulinemia 2 jam


15

pos prandial. Sebagai akibat mekanisme resistensi insulin tersebut,

pada sebagian ibu hamil akan terjadi hiperglikemia relatif (diabetes

mellitus gestasional). Keadaan hiperglikemia pada ibu tentu sangat

berpengaruh pada janin, karena transfer glukosa dari darah ibu ke

sirkulasi janin terjadi secara difusi melalui placenta, sehingga janin

juga mengalami hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia janin tersebut

selanjutnya akan memicu hiperinsulinemia pada janin dengan akibat

semakin banyak glikogen janin yang disintesis, sehingga

terbentuklah makrosomia (Current, 2007).

d. Faktor Predisposisi

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2013) adalah :

1) Riwayat melahirkan bayi besar (>4000 gram) sebelumnya

2) Orangtua bertubuh besar, terutama obesitas pada ibu

3) Multiparitas

4) Kehamilan lewat waktu

5) Usia ibu yang sudah tua

6) Janin laki-laki

7) Ras dan suku

Menurut Current (2007) faktor predisposisi makrosomia adalah :

1) Faktor ibu

a) Diabetes Melitus

Ibu dengan diabetes melitus gestasional pada janin akan

meningkatkan resiko makrosomia (Prawirohardjo, 2009).

Ibu yang mempunyai diabetes sebelum hamil, baik diabetes


16

tipe 1 atau tipe 2 juga merupakan salah satu faktor

predisposisi makrosomia (Current, 2007).

b) Obesitas

Makrosomia dapat diperkirakan disebabkan oleh orang tua

bayi yang juga besar (keturunan) (Saifuddin, 2012). Faktor

yang memperbesar kemungkinan bayi makrosomia adalah

orang tua yang berperawakan besar, khususnya obesitas pada

ibu (Cunningham, 2006)

c) Pertambahan berat badan berlebih selama kehamilan.

Makrosomia dapat diperkirakan disebabkan oleh kenaikan

berat badan selama kehamilan yang berlebihan pada ibu

(Mochtar, 2012). Perempuan hamil dengan obesitas atau

dengan kenaikan berat badan waktu hamil berlebihan,

merupakan faktor resiko utama terjadinya preeklamsi,

seksio sesarea, kelahiran prematur, makrosomia janin, dan

kematian janin (Saifuddin, 2009).

d) Faktor genetik

Bayi besar (berat badan melebihi 4000 gram) dapat

diperkirakan disebabkan oleh orang tua bayi yang juga besar

(keturunan) (Mochtar, 2012). Faktor yang memperbesar

kemungkinan bayi makrosomia adalah orang tua yang

berperawakan besar, khususnya obesitas pada ibu

(Cunningham, 2013).
e) Multiparitas
17

Ada kecenderungan berat badan lahir anak ke dua dan

seterusnya lebih besar daripada anak pertama (Cunningham,

2013).

f) Riwayat melahirkan bayi makrosomia.

Ibu yang pada kehamilan pertama melahirkan bayi

makrosomia berpeluang besar melahirkan anak kedua

dengan kondisi yang sama pada kehamilan berikutnya

bahkan berpeluang lebih besar dari anak terdahulu

(Mochtar, 2012).

g) Usia kehamilan.

Zwerdling menyatakan bahwa rata-rata berat janin lebih dari

3600 gram sebesar 44,5 % pada kehamilan posterm,

sedangkan pada kehamilan genap bulan term sebesar 30,6%.

Resiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram

pada kehamilan posterm meningkat 2 – 4 kali lebih besar dari

kehamilan term (Prawirohardjo, 2009).

h) Usia ibu

Hasil dari penelitian di Korea menunjukkan bahwa semakin

tua usia ibu, semakin tinggi peluang untuk melahirkan bayi

makrosomia (Kang, 2012).

2) Faktor janin

a) Kelainan genetik

Terjadinya kelainan pertumbuhan dari janin itu sendiri

yang disebabkan oleh gen yang dibawa oleh kromosom.


18

b) Jenis kelamin

Bayi berjenis kelamin laki-laki memiliki hubungan

yang signifikan dengan kejadian makrosomia. Bayi lakilaki

lebih mungkin dilahirkan dalam keadaan makrosomia

daripada bayi perempuan.

e. Faktor Risiko

Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya bayi

besar/makrosomia diantaranya, yaitu :

1) Diabetes pada ibu

Diabetes pada ibu merupakan salah satu faktor risiko yang

penting dalam terbentuknya makrosomia (Cunningham, 2006).

2) Riwayat melahirkan makrosomia

Ibu yang pada kehamilan pertama melahirkan bayi makrosomia

berpeluang besar melahirkan anak kedua dengan kondisi yang

sama pada kehamilan berikutnya bahkan berpeluang lebih besar

dari anak terdahulu (Mochtar, 2012).

3) Faktor genetik

Bayi besar (berat badan melebihi 4000 gram) dapat diperkirakan

disebabkan oleh orang tua bayi yang juga besar (keturunan)

(Mochtar, 2012). Faktor yang memperbesar kemungkinan

makrosomia adalah orang tua yang berperawakan besar,

khususnya obesitas pada ibu (Cunningham, 2006).

4) Usia kehamilan.
19

Rata-rata berat janin lebih dari 3600 gram sebesar 44,5 % pada

kehamilan posterm, sedangkan pada kehamilan genap bulan term

sebesar 30,6%. Resiko persalinan bayi dengan berat lebih dari

4000 gram pada kehamilan posterm meningkat 2 – 4 kali lebih

besar dari kehamilan term (Prawirohardjo, 2009).

f. Tanda Klinis

Bayi baru lahir makrosomia adalah bayi baru lahir dengan

berat 4000 atau lebih (Perry, 2010). Semua bayi dengan berat badan

4000 gram atau lebih tanpa memandang umur kehamilan dianggap

sebagai makrosomia (Cunningham, 2006). Bayi berat lahir besar

atau BBLB adalah berat badan lahir lebih sama dengan

4000 gram atau sama dengan makrosomia (Stoll, 2007).

Makrosomia digambarkan sebagai bayi baru lahir dengan berat lahir

lebih. Makrosomia didefinisikan dalam beberapa cara yang berbeda,

termasuk berat lahir 4000-4500 gram (Martin, 2007).

Perkiraan akurat berat janin berlebih tidak mungkin

dilakukan sehingga diagnosis makrosomia seringkali baru dapat

ditegakkan sewaktu bayi sudah lahir dan dilakukan penimbangan

berat badan. Untuk memastikan adanya makrosomia pada bayi baru

lahir terdapat tanda seperti wajah bulat, sembab, dan menggembung,

badan gemuk montok, kulit tampak flushed atau kemerahan,

peningkatan lemak tubuh, dan plasenta serta tali pusat lebih besar

dari normal (Green, 2012).

g. Prognosis
20

Makrosomia yang tidak ditangani secara adekuat berisiko

menimbulkan beberapa komplikasi seperti hipoglikemia,

hipokalsemia, hiperbilirubinemia (Cunningham, 2013). Bayi

makrosomia juga memiliki kecenderungan komplikasi seperti

trombositopenia, policitemia, dan sindrom gangguan pernapasan

(Perry, 2010).

Kematian bayi akibat makrosomia disebabkan oleh

komplikasi-komplikasi pada saat keluaran perinatal seperti distosia

bahu, Apgar skor rendah, dan asfiksia (Ezegwui, 2011). Janin

dengan berat 4000-4500 gram pada panggul normal umumnya tidak

menimbulkan kesukaran persalinan. Distosia akan diperoleh pada

janin besar dengan berat 4500-5000 gram atau pada kepala yang

sudah keras (postmaturitas) dan pada bahu yang lebar (bayi

kingkong) (Mochtar, 2012).

Bayi yang memiliki berat badan lebih dari sama dengan 4000

gram juga meningkatkan risiko beberapa penyakit ketika dewasa

misalnya kanker payudara pada wanita dan diabetes

mellitus tipe 2 (Rode, 2007).

h. Penatalaksanaan

1) Jika bayi terlalu besar untuk lahir pervaginam akibat disproporsi

sefalopelvik, kelahiran sesar dapat dipertimbangkan untuk

melindungi janin dari trauma lahir dan kemungkinan cedera

serius (Green, 2012).


21

2) Pada kelahiran bahu yang mengalami kesulitan dilakukan

episiotomi yang cukup lebar untuk mengusahakan janin lahir atau

bahu dilakukan kleidotomi unilateral atau bilateral. Cedera akibat

kleidotomi dikonsulkan pada bagian bedah (Mochtar, 2012).

3) Apabila janin meninggal dilakukan embriotomi (Mochtar, 2012)

4) Penatalaksanaan pada bayi makrosomia menurut Wiknjosastro

(2009) antara lain :

a) Menjaga kehangatan

b) Membersihkan jalan nafas.

c) Memotong tali pusat dan perawatan tali pusat.

d) Melakukan inisiasi menyusu dini .

e) Membersihkan badan bayi dengan kapas baby oil/minyak.

f) Memberikan salep mata/tetes mata.

g) Memberikan injeksi vitamin K.

h) Membungkus bayi dengan kain hangat.

i) Mengkaji keadaan kesehatan pada bayi dengan makrosomia

dengan mengobservasi keadaan umum dan vital sign serta

memeriksa kadar glukosa darah pada usia 1 jam, 2 jam, dan 4

jam, kemudian setiap 4 jam selama 24 jam hingga stabil

(Davies, 2011).

j) Memantau tanda gejala komplikasi yang mungkin terjadi.

k) Memberikan terapi sesuai komplikasi yang dialami oleh bayi.

i. Komplikasi
22

Komplikasi yang mungkin akan dialami oleh bayi dengan

makrosomia adalah :

1) Hipoglikemia

Hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar gula darah (blood

sugar level/BSL) <2,6 mmol/L ketika diukur dengan glukometer

bedside atau mesin gas darah (1 mmol/L = 18 mg/dl). Untuk bayi

makrosomik penilaian dilakukan pada usia 1 jam, 2 jam, dan 4

jam, kemudian setiap 4 jam selama 24 jam hingga stabil

(Davies, 2011).

2) Hipokalsemia

Hipokalsemia disebabkan ketidaknormalan pada kadar kalsium

ibu yang disalurkan pada janin. Kadar kalsium dalam darah ibu

yang tinggi selama kehamilan (diabetes) direspon oleh janin

berupa hipoparatiroid yang kemudian menyebabkan

hipokalsemia.

3) Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia adalah naiknya kadar bilirubin serum

melebihi normal. Pada neonatus terdiri dari hiperbilirubin tidak

terkonjugasi (indirek) dan terkonjugasi (direk). Gejala yang

paling mudah diidentifikasi adalah kulit selaput lendir menjadi

kuning. Dikatakan ikterus bila bilirubin serum >5mg/dl.

4) Polisitemia

Polisitemia adalah keadaan ketika jumlah sel darah merah

(eritrosit) yang terkandung dalam darah melampaui batas normal


23

sehingga darah menjadi lebih kental. Biasanya didefinisikan

sebagai hematokrit (Ht) vena di atas 0,65. Polisitemia dapat

terjadi pada bayi yang terlahir dari ibu dengan diabetes melitus

(Green, 2012). Bayi yang berisiko (pertumbuhan janin terhambat,

makrosomia, kembar) harus diperiksa hematokritnya

(Lissauer, 2009).

5) Trombositopenia

Trombositopenia adalah penurunan kadar trombosit dalam darah

akibat hemodilusi. Kadar trombosit dalam darah adalah <100.000

sel/uL jika dinyatakan mengalami trombositopenia.

6) Asfiksia

Makrosomia dapat menyebabkan distosia bahu yang berakibat

pada komplikasi salah satunya gangguan pada medula oblongata

dengan pusat vitalnya sehingga menimbulkan asfiksia ringan,

berat, sampai berujung pada kematian (Manuaba, 2007).

7) Distosia bahu

Makrosomia dapat menyebabkan terjadinya distosia pada

persalinan pervaginam yang dapat berakibat pada fraktur

klavikula (Prawirohardjo, 2009).

B. Teori Manajemen Kebidanan

Tujuh Langkah proses manajemen kebidanan menurut Hellen Varney

yaitu :

1. Langkah I : Pengumpulan Data Dasar Secara Lengkap


24

Pada langkah ini dilakukan pengkajian dengan mengumpulkan data

yang diperlukan untuk mengevaluasi bayi baru lahir dengan

makrosomia meliputi data subjektif dan objektif sehingga diperoleh data

yang lengkap.

a. Data Subjektif

Adapun data subjektif yang dikumpulkan untuk kasus bayi baru

lahir dengan makrosomia adalah :

1) Identitas pasien

Identitas yang perlu dikaji meliputi nama, umur, jenis

kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, dan alamat

lengkap (Varney, 2008).

Makrosomia diduga disebabkan oleh adanya glukosa janin

yang berlebihan akibat hiperglikemi pada ibu, selain faktor

lainnya seperti ibu yang gemuk, ras, dan etnis (Saifuddin, 2009).

2) Riwayat kehamilan ibu

Ibu yang pada kehamilan pertama melahirkan bayi

makrosomia berpeluang besar melahirkan anak kedua dengan

kondisi yang sama pada kehamilan berikutnya bahkan

berpeluang lebih besar dari anak terdahulu (Mochtar, 2012).

3) Riwayat kesehatan ibu

Riwayat kesehatan perlu diketahui karena keadaan ibu

selama hamil sangat berpengaruh terhadap bayi yang dilahirkan.

Dalam kasus bayi baru lahir dengan makrosomia, perlu

diketahui beberapa riwayat kesehatan ibu, yaitu:


25

a) Diabetes Mellitus

Bayi dari ibu yang mempunyai diabetes berisiko tinggi

mengalami sejumlah komplikasi, khususnya hipoglikemia.

Kadar glukosa maternal yang tinggi mengakibatkan

peningkatan respon insulin janin. Peningkatan kadar insulin ini

mendorong pertumbuhan intrauteri yang mengakibatkan

makrosomia. Makrosomia terjadi pada 20% hingga 30% IDM

(Green, 2012).

b) Kenaikan berat badan selama hamil

Makrosomia dapat diperkirakan disebabkan oleh kenaikan

berat badan selama kehamilan yang berlebihan pada ibu

(Saifuddin, 2009). Perempuan hamil dengan obesitas atau

dengan kenaikan berat badan waktu hamil berlebihan,

merupakan faktor resiko utama terjadinya preeklamsi, seksio

sesarea, kelahiran prematur, makrosomia janin, dan kematian

janin (Saifuddin, 2009).

4) Riwayat persalinan

Riwayat persalinan sebelumnya merupakan hal yang

ditanyakan untuk mengetahui komplikasi yang mungkin akan

terjadi. Riwayat melahirkan bayi besar (>4000 gram) pada

persalinan sebelumnya merupakan salah satu faktor predisposisi

terjadinya bayi makrosomia (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Pada bayi ibu penderita diabetes (infants of diabetic mothers,

IDM) beresiko mengalami cedera lahir dan hipoglikemia. Bayi


26

ini mungkin juga mengalami makrosomia atau mengalami

hambatan pertumbuhan, bergantung pada beratnya diabetes

(Varney, 2008).

b. Data Objektif

1) Pemeriksaan Umum

Pemeriksaan umum dilakukan untuk mengetahui keadaan

umum dan kesadaran, pengukuran tanda-tanda vital yang

meliputi suhu, nadi dan pernafasan (Kementerian Kesehatan RI,

2010).

2) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mengetahui karakteristik

bayi dengan makrosomia. Untuk memastikan adanya

makrosomia pada bayi baru lahir, terdapat tanda seperti wajah

bulat, sembab, dan menggembung, badan gemuk montok, kulit

tampak flushed atau kemerahan, peningkatan lemak tubuh, dan

plasenta serta tali pusat lebih besar dari normal (Green,

2012).

3) Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan penunjang, perlu dilakukan pemeriksaan

kadar gula darah, kadar kalsium dan magnesium, hematokrit dan

kadar serum bilirubin harus diperiksa apabila bayi tampak

kuning. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat bayi

makrosomia rentan terhadap kondisi hipoglikemia maupun


27

hipokalsemia. Bayi yang berisiko (pertumbuhan janin terhambat,

makrosomia, kembar) harus diperiksa hematokritnya

(Lissauer, 2009).

2. Langkah II : Interpretasi Data Dasar

a. Diagnosa Kebidanan

Diagnosa kebidanan untuk Bayi baru lahir dengan

makrosomia adalah Bayi Baru Lahir Ny. D Umur 2 jam dengan

makrosomia.

b. Masalah

Masalah yang paling mungkin timbul dari bayi makrosomia

pada jam- jam pertama kehidupannya adalah hipoglikemi (Green,

2012)

c. Kebutuhan

Kebutuhan untuk masalah hipoglikemi tersebut adalah

dengan memberi asupan gula agar gula darah terjaga. Untuk

kebutuhan masalah ini bayi bisa segera dianjurkan untuk disusui

ibunya.

3. Langkah III : Mengidentifikasi Diagnosa


atau Masalah

Potensial/Diagnosa Potensial dan Mengantisipasi Penanganannya.

a. Diagnosa potensial pada kasus makrosomia antara lain:

1) Hipoglikemia, langkah antisipasinya dengan melakukan

pengukuran glukosa darah sewaktu.


28

2) Hipokalsemia, langkah antisipasinya dengan melakukan

pemeriksaan kadar kalsium dalam serum darah

3) Hiperbilirubinemia, polisitemia, dan trombositopenia

antisipasinya dengan pantau Hb darah tiap 6-12 jam tanpa gejala

(Cunningham, 2013).

b. Penanganan antisipasi bidan : Supaya tidak terjadi hipoglikemi,

hiperbilirubinemia dan hipokalsemi yaitu dengan cara memberikan

nutrisi pada bayi terutama ASI serta berkolaborasi dengan

laboratorium untuk pemeriksaan darah (Green, 2012).

4. Langkah IV : Menetapkan Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera

Mengevaluasi kebutuhan akan intervensi dan/atau konsultasi bidan

atau dokter yang dibutuhkan dengan segera, serta manajemen

kolaborasi dengan anggota tim tenaga kesehatan lain, sesuai dengan

kondisi yang diperlihatkan ibu dan bayi yang baru lahir (Varney,

2008). Penatalaksanaan medis untuk bayi besar masa kehamilan jika

mengalami komplikasi salah satunya adalah terapi cairan yang perlu

dilakukan kolaborasi dengan dokter spesialis anak (Green, 2012).

5. Langkah V : Menyusun Rencana Asuhan Yang Menyeluruh

Penatalaksanaan pada bayi makrosomia menurut Wiknjosastro dkk

(2009) antara lain:

a. Jaga kehangatan

b. Bersihkan jalan nafas.

c. Potong tali pusat dan perawatan tali pusat.

d. Lakukan inisiasi menyusui dini .


29

e. Bersihkan badan bayi dengan kapas baby oil/minyak.

f. Berikan obat mata.

g. Berikan injeksi vitamin K.

h. Bungkus bayi dengan kain hangat.

i. Kaji keadaan kesehatan pada bayi dengan makrosomia dengan

mengobservasi keadaan umum dan vital sign serta memeriksa

kadar glukosa darah sewaktu darah pada usia 1 jam, 2 jam, dan 4

jam, kemudian setiap 4 jam selama 24 jam hingga stabil (Davies,

2011).

j. Pantau tanda gejala komplikasi yang mungkin terjadi.

k. Berikan terapi sesuai komplikasi yang dialami oleh bayi.

6. Langkah VI : Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan

Aman

Pelaksanaan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan makrosomia

dan hipoglikemia dikerjakan sesuai dengan rencana asuhan yang telah

dibuat kecuali jika ada masalah baru (Varney, 2008).

7. Langkah VII : Evaluasi

Pada langkah ini melakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang

sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan, apakah

benar-benar terpenuhi sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah

diidentifikasi di dalam diagnosa dan masalah. Evaluasi yang diharapkan

pada kasus bayi baru lahir dengan makrosomia adalah kondisi bayi

sudah baik, kadar glukosa dan kalsium dalam darah normal (Varney,

2008).
30

C. Follow Up Catatan Perkembangan Kondisi Klien

Asuhan yang telah dilakukan harus dicatat secara benar, jelas,

singkat, logis dalam suatu metode pendokumentasian. Menurut Varney, alur

berpikir logis bidan saat merawat klien meliputi tujuh langkah. Agar orang

lain mudah mengerti maka dibuat SOAP yang merupakan sari dari tujuh

langkah Varney (Varney, 2008). SOAP disarikan dari proses pemikiran

penatalaksanaan kebidanan sebagai perkembangan catatan kemajuan

keadaan klien. Sistem pendokumentasian ini mempunyai dasar

hukum Kepmenkes RI No : 936/MenKes/SK/VII/2007. Follow up

dilakukan selama 3 hari.

1. S = Subjektif

Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien

melalui anamnesis sebagai langkah I Varney.

Data subjektif pada kasus bayi baru lahir dengan makrosomia

didapatkan dari hasil pemantauan bidan karena bayi belum dapat

berbicara.

2. O = Objektif

Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien,

hasil laboratorium, dan uji diagnostik lain yang dirumuskan dalam data

fokus untuk mendukung asuhan sebagai Langkah 1 Varney.

Data obyektif meliputi pemeriksaan umum yang terdiri dari data

pemeriksaan keadaan umum bayi, kesadaran, vital sign (nadi, suhu, dan

respirasi), pemeriksaan khusus yang terdiri dari data hasil inspeksi, palpasi,

perkusi serta auskultasi melalui pemeriksaan head to toe, refleks iritabilitas,


31

keaktifan gerak, pola nutrisi dan eliminasi, serta data penunjang yang dapat

berupa pemeriksaan laboratorium.

3. A = Assessment

Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa yaitu bayi Ny D

Umur 2 jam dengan Makrosomia. Assesment merupakan

pendokumentasian hasil analisa dan intepretasi data subjektif dan objektif

dalam suatu identifikasi yang merupakan langkah 2, 3, dan 4 Varney.

4. P = Plan

Menggambarkan penatalaksanaan, mencatat seluruh perencanaan

dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan. Tahap ini merupakan

pendokumentasian dari tindakan dan evaluasi perencanaan berdasarkan

Asessment sebagai langkah 5, 6, dan 7 Varney, yaitu:

a. Mengevaluasi hasil tindakan yang telah diberikan

Hasil : Diharapkan kesehatan anak bertambah baik dan tidak terjadi

komplikasi makrosomia.

b. Memonitor keadaan umum bayi dari tanda – tanda vital, serta

memantau kadar glukosa, kalsium, bilirubin, dan hematokrit dalam

darah normal untuk menghidari komplikasi bayi makrosomia antara

lain hipoglikemi, hipokalsemia, polisitemia dan

hiperbilirubin (Varney, 2008).

Hasil : Diharapkan keadaan umum baik sadar, tanda-tanda vital

dalam keadaan normal, dan kadar glukosa, kalsium, bilirubin, dan

hematokrit dalam darah normal.


32

c. Mempertahankan suhu tubuh bayi dengan cara membungkus bayi

menggunakan selimut bayi hangat (Wiknjosastro, 2008). Hasil :

Diharapkan bayi berada dalam suhu yang normal dan tidak

mengalami hipotermi.

Anda mungkin juga menyukai