Anda di halaman 1dari 7

Faktor internal

Faktor Eksternal: ACTH dependent: ACTH independent :


Sering konsumsi jamu pegel Penyakit cushing Adenoma adrenal
linu
Ektopik hipeersekresi ACTH Karsinoma adrenal

Dexametason, prednisone Ektopik hipersekresi CRG PPND, AIMAH


tanpa dosis tetap

Hypersekresi glukokortikoid

otot
Hati Lemak
Supresi imun, anti-
Menghambat inflamasi
pemasukan glukosa & Glukoneogenesis Lipolisis
metabolisme
Glukosa 6 phoshat Mengurangi sirkulasi
Asam lemak
Glikolisis limfosit,monosit,eosinofil,
bebas
Kadar gula plasma basofil

ATP Moon face, buffalo Menghambat produksi


hump, interleukin 2
hyperglikemia
Tungkai lemah & Mengurangi migrasi monocit
lemas, dan limfosit pada injury sites
BB naik Menghambat suplai
darah (kesemutan)
Proses penyembuhan luka
Syaraf opticus  lama
Sintesis protein
pandangan kabur
Infasi pantogen (jamur,
Katabolisme bakteri, vitus) tinea
protein di sel inguinalis

Atrofi otot, striae, Hypersekresi androgen

Pengeluaran asam amino & Haid terganggu


laktat Hiperpigmentasi  amenore sekunder
kulit kering
Hairsutisme
Cardiovaskular ability of 11𝛽-HSD2
to rapidly inactivate
cortisol to cortisone Mineralcorticoid
Sekresi sebum ke kel.
Cardiac output actions Sebaccea  Jerawat
inInactive
the kidney,
thereby exerting
cortisol (aldosteron)
takikardi mineralocorticoid
Hipernatrium dan
actions
hipokalium

Reabsorpsi usus

Konstipasi
Patofisologi Cushing Syndrome

Faktor eksternal

Cushing syndrome merupakan penyakit yang disebabkan karena kadar hormon kortisol yang berlebihan. Hal
ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor eksternal seperti konsumsi jamu pegel linu. Kebanyakan
jamu di Indonesia diberi campuran obat jenis dexametason dan prednisone tanpa dosis tetap. Pemberian obat
yang belebihan memberikan efek segar dan menghilangkan linu-linu pada tubuh secara cepat karena obat in
merupakan golongan obat glukokortikoid yang berfungsi sebagai anti-inflamasi yang biasa digunakan untuk
mengobati peradangan, namun konsumsi jamu yang belebihan dapat meningkatkan hormon kortisol tubuh.
Hormon kortisol mempengaruhi banyak organ sehingga sekresi berlebihan hormon tersebut dapat berakibat
ketidakseimbangan organ yang dipengaruhi oleh hormon tersebut.

Gambar : kortikosteroid sistesis (Katzung, Susan, & Trevor, 2012)

Faktor internal

Faktor internal syndroma cushing yang bergantung pada etiologi penyakit. Terbagi menjadi 2 yaitu

1. ACTH Dependent

Etiologi akibat ACTH dependent disebabkan karena kenaikan dari hormon ACTH yang di produksi oleh
hipofisis anterior sehingga menyebabkan kenaikan hormon kortisol secara berlebihan di korteks adrenal.
Kenaikan ACTH dapat disebabkan oleh :

o Cushing disease
o Ektopik hipersekresi ACTH
o Ektopik Hipersekresi CRH
(Jameson, 2013)
2. ACTH independent

Kenaikan kortisol akibat dari ACTH independent karena adanya kerusakan pada kelenjar adrenal. Sehingga
kadar hormon ACTH normal namun, kadar hormon kortisol naik. ACTH independent disebabkan oleh :

o Adenoma kelenjar adrenal


o Karsinoma kelenjar adrenal
o PPNAD (Primary Pigmented Nodular Adrenocortical Disease)
o AIMAH (ACTH Independent Macronodular Adrenal Hyperplasia)

(Setiati, et al., 2014)

Akibat dari faktor internal dan eksternal tersebut terjadi kenaikan hormon kortisol yang berlebihan. Hal
ini berpengaruh pada fungsi kerja organ target hormon kortisol. Berikut organ target dari hormon kortisol

Gambar : Efek glukokortikoid pada organ target (Hammer, 2014)

Otot

Glukokortikoid pada sel otot dapat mengakibatkan pemasokan glukosa ke sel sehingga dapat menghambat
glikolisis. Fungsi utama glikolisis untuk menghasilkan ATP yang dipelukan dalam kontraksi otot. Akibatnya,
berkurangnya ATP meneyebabkan penurunan kontaksi otot. Hal ini menyebabkan pasien akan mengalami
kontipasi dan tungkai lemah dan lemas (Hammer, 2014 )

Selain menghambat pemasokan glukosa, glukokortikoid dapat meningkatkan katabolisme protein. Hal ini
dapat menyebabkan penurunan kadar protein pada sel otot. Kadar protein pada sel otot berguna untuk
repairing sel otot yang rusak. Sehingga penurunan kadar protein sel otot dapat menimbulkan atrofi pada otot.
Kekurangan protein juga mempengaruhi kulit karena menyebabkan penipisan kulit dan menjadi teregang
berlebihan oleh endapan lemak dan tibul striae berupa garis-garis irregular bewarna ungu kemerahan
(Sherwood, 2014). Terjadi peningkatan asam amino dan laktat. Hal ini kibat dari penurunan glikolisis dan
penigkatan katabolisme protein. (Hammer, 2014 )

Lemak

Glukokortikoid merangsang terjadinya lipolisis sehingga terjadi peningkatan asam lemak bebas di darah.
Asam lemak bebas tersebut dimobilisasi sebagai bahan bakar metabolik alternatif bagi jaringan yang dapat
digunakan sebagai pengganti glukosa sehingga glukosa dapat digunakan untuk otak. Namun asam lemak
berelbihan di darah dapat menumpuk di daerah tertentu sehingga megakibatkan timbulnya moon face dan
buffalo hump. (Sherwood, 2014)

Hati

Glukokortikoid memiliki efek menaikkan kadar gula darah. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan
glukoneogenesis dihati. Kenaikan ini diimbangi dengan kenaikan asam amino akbibat katabolisme protein di
otot yang diperluka hati sebagai bahan glukoneogenesis. Efek hiperglikemi dapat memicu peningkatan nafsu
makan sehingga terjadi peningkatan berat badan. Efek lain hiperglikemi dapat menimbulkan diabetes yang
ditandai degan polidipsi, polifagi, dan poliuria. (Sherwood, 2014)

Sistem imun

Obat jenis glukokortikoid memiliki efek anti-inflamasi, sehinggaa sering diberikan pada campuran jamu agar
nyeri, capek, linu-linu dapat hilang. Selain campuran jamu obat ini diberikan pada pasien penderita
autoimmune disease. Kerja glukokortikoid alami dan sintesis dalam sistem imun adalah :

Mengurangi jumlah limfosit monosit, oesinophil, basofil dalam darah dan menghambat produksi intereukin-
2

Mengurangi perpindahan meutrofil,monosit, dan limfosit pada daerah terinfeksi

Menstimulasi pengeluaran neutrofil dari sum-sum tulang

Menggang kerja antigen, produksi antibodi

(Hammer, 2014)
Akibat efek anti inflamasi ini, sistem imun tubuh menurun sehingga infasi pantogen baik berupa jamur,bakteri,
dan virus akan lebih mudah terjadi. Pada pasien ini timbul tinea inguinalis akibat infasi dari jamur di daerah
selankangan.

Sistem kardiovaskular

Glukokortikoid dapat merangsang peningkatan cardiac output sehingga dapat menimbulkan efek berdebar-
debar dan takikardia. Selain itu glukokortikoin juga daoat meningkatkan tekanan darah perifer. Bila
pengeluaran kortisol meningkat berebihan maka tekanan darah perifer meningkat dan mempengaruhi kenaikan
heart rate. (Hammer, 2014)

11𝛽-HSD2 ( Corticosteroid 11- beta- dehydrogenase isozyme 2)

Saat terjadi kenaaikan kortisol, timbul aktivitas 11𝛽-HSD2 yang berupa enzim dengan fungsi mengakatalis
cortisol menjadi cortison di ginjal. Selain itu 11𝛽-HSD2 mengaktifkan aktivitas mineralkortikoid yaitu
aldosteron. Hiperaldosteron dapat mengakibatkan hipernatrium dann hipokalium karena fungsi aldosteron
meningakatkan reabsorpsi 𝑁𝑎+ dan 𝐾 + .(harisson) Akibat aktifitas aldosteron berlebihan maka akan terjadi
ketidakseimbangan elektrolit. Tubuh melakukan hemostatis dengan meningkatkan penyerapan pada usus
besar sehingga timbul konstipasi (Jameson, 2013)

Hiperpigmentasi

ACTH merukan hormon yang disintesis dari prekursor besar bernama Pro-opiome-lanokortin (POMC).
POMC selain menjadi prekursor ACTH juga menjadi pekursor dari melanocyte stimulating hormone (MSH)
dan endorfin. Karena berasal dari prekursor sama, maka kenaikan ACTH juga menimbulkan kenaikan MSH.
Akibat kenaikan melanosit maka hiperpigmentasi tejadi. (Sherwood, 2014)

Hipersekresi androgen

Sel target ACTH ada pada korteks adrenal bagian fasikulata dan renticularis. Zona fasikulata mensekresi
hormon glukokortikoid (kortisol) dan zona renticularis mensekresi hormon adrogen. Faktor ACTH dependent
dapat membuat peningkatan ACTH. Sehingga selain hipersekresi kortisol ACTH juga dapat mebuat
hipersekresi androgen.

Akibat dari hiperandrogen

o Hirsutisme

Sirkulasi hormon androgen pada wanita tergantung pada sekresi dari ovarium dan kelenjar adrenalin.
Beberapa hormon androgen yang berperan penting pada terjadinya hirsutisme, antara lain 5a-
dihydrotestosteron (DHT) yang 2–3 kali lebih poten dari testosteron (T), 5–10 kali lebih poten dari
adrostenedione (A) dan 20 kali lebih poten dibanding dihydroepiandrosterone (DHEA), androstenedione (A),
dihydroepiandrosterone (DHEA), dan dihydroepiandrosterone – sulfat (DHEA-S). (Atmojo & Indramaya,
2010)
Pada wanita yang tidak hamil, testosteron dalam sirkulasi 98% lebih terikat pada plasma protein yang spesifik,
antara lain: sex hormone binding globulin (SHBG 78%); cortisol binding globulin (CBG 1%); albumin (20%),
sedangkan testosteron bebas yang tidak terikat pada protein dalam sirkulasi kadarnya sebesar 1%. Di intrasel,
testosteron mengalami reduksi menjadi 5a-DHT (dihydrotestosteron) oleh enzim 5a-reduktase.

Sel target dari hormon androgen adalah sel dari papila dermis, keratinosit, melanosit, dan sel endotel. Reseptor
androgen yang spesifik diperlukan supaya folikel rambut dapat memberikan respons terhadap hormon
androgen, reseptor ini terletak pada sel papila dermis. Setelah hormon androgen terikat pada reseptor tersebut
pertumbuhan rambut mulai dikontrol. (Atmojo & Indramaya, 2010)

Pada pasien dengan hirsutisme, perubahan dari testosteron ke 5α-DHT mengalami peningkatan secara
signifikan yang hampir mencapai kadar rata-rata seperti pada laki-laki. Interleukin-1 juga memiliki peranan
ikut mengontrol siklus pertumbuhan rambut sebagai penghambat pertumbuhan folikel rambut secara in vivo
maupun in vitro. Selanjutnya pada konsentrasi yang rendah sekitar 0,1 𝑚𝑔/𝑚𝑙 −1 𝐼𝐿 − 1𝑎 secara in vitro
mempunyai pengaruh memperpanjang batang rambut dan akar rambut sebelah luar serta mendegradasi bulbus
rambut (hair bulb). (Atmojo & Indramaya, 2010)

o Amenore sekunder
Hipersekresi kortisol memberikan negative feedback terhadap CRH dan ACTH agar terjadi penurunan
pada hormon tersebut. Hipersekresi androgen tidak menghambat ACTH namun menghambat
gonadotropin yang berpengaruh pada reprosuksi pria dan wanita. Sehingga dapat menimbulkan amenore
sekunder. (Sherwood, 2014)
o Acne

Sel target dari hormon androgen adalah sel dari papila dermis, keratinosit, melanosit, dan sel endotel.
Hipesekresi androgen kontrol sebum pada sel target. (Sherwood, 2014)

Bibliography :
Atmojo, U., & Indramaya, D. M. (2010). Patogenesis dan Penegakan Diagnosis Hirsutisme pada Bidang
Dermatologi. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 189-193.
Hammer, G. D. (2014). Pathophysiology of Disease : An Introduction of Clinical Medicine. United States:
McGraw-Hill Education.
Jameson, L. J. (2013). Harrison's Endocrinology. United States: McGraw-Hill Education.
Katzung, B. G., Susan, B. M., & Trevor, A. J. (2012). Famakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: McGraw-Hill
Companies, Inc.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadribrata, M., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. (2014). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: Interna Publishing.
Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai