Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA


DENGAN GANGGUAN AKTIVITAS & MOBILISASI
DI RUANG BUOGENVILLE 2 SMC RS TELOGOREJO SEMARANG

Disusun oleh :
Ulfah Yunita Putri
1.15.110

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO

SEMARANG

2019
1. KONSEP DASAR

A. Pengertian

Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah dan

teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi diperlukan

untuk meninngkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit

degeneratif dan untuk aktualisasi (Mubarak, 2008, hlm.56). Mobilisasi menyebabkan

perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan menstimulasi kembali fungsi

gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera

mungkin, biasanya dalam waktu 12 jam.

Imobilisasi adalah keadaan dimana penderita harus istrahat di tempat tidur atau

dibatasi aktivitas yang dilakukan pasien, tidak bergerak secara aktif akibat penyakit

atau gangguan pada fisik ekstremitas atau lainya ( Mubarak, 2008, hlm. 220).

B. Klasifikasi

Secara umum ada beberapa macam keadaan imobilitas antara lain (Mubarak, 2008,

hlm.56) :

1) Imobilitas fisik : kondisi ketika seseorang mengalami keterbatasan fisik yang

disebabkan oleh faktor lingkungan maupun kondisi orang tersebut.

2) Imobilitas intelektual : kondisi ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan

untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya pada kasus kerusakan

otak
3) Imobilitas emosional : kondisi ini bisa terjadi akibat proses pembedahan atau

kehilangan seseorang yang dicintai

4) Imobilitas sosial : kondisi ini bisa menyebabkan perubahan interaksi sosial yang

sering terjadi akibat penyakit.

Rentang Gerak dalam mobilisasi

Dalam mobilisasi menurut Alimul, (2008, hlm. 55) dibagi menjadi tiga rentang

gerak yaitu :

1) Rentang gerak pasif

Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan

persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat

mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.

2) Rentang gerak aktif

Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara

menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien menggerakkan

kakinya.

3) Rentang gerak fungsional

Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang

diperlukan.

C. Etiologi

Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah kekakuan otot,

ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan


dapat menyebabkan orang lanjut usia terus menerus berbaring di tempat tidur.

Penyebab secara umum gangguan mobilisasi yaitu (Maghfuroh, 2014, hlm. 8) :

1) Kelainan Postur

2) Gangguan perkembangan otot

3) Kerusakan sistem syaraf pusat

4) Trauma langsung pada muskuloskeletal dan neuromuskular

5) Kekakuan otot

Sedangkan faktor yang dapat mempengaruhi mobilisasi yaitu :

1) Gaya hidup

Mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-nilai yang dianut,

serta lingkungan tempat ia tinggal (masyarakat).

2) Ketidakmampuan

Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi seseorang untuk melakukan

aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum ketidakmampuan dibagi menjadi dua

yaitu :

a) Ketidakmampuan primer yaitu disebabkan oleh penyakit atau trauma (misalnya :

paralisis akibat gangguan atau cedera pada medula spinalis).

b) Ketidakmampuan sekunder yaitu terjadi akibat dampak dari ketidakmampuan

primer (misalnya : kelemahan otot dan tirah baring). Penyakit-penyakit tertentu

dan kondisi cedera akan berpengaruh terhadap mobilitas.

3) Tingkat energi
Energi dibutuhkan untuk banyak hal, salah satunya mobilisasi. Dalam hal ini

cadangan energi yang dimiliki masing-masing individu bervariasi.

4) Usia

Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan mobilisasi.

Pada individu lansia, kemampuan untuk melakukan aktifitas dan mobilisasi

menurun sejalan dengan penuaan

D. Patofisiologi

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot,

skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan

tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja

sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada

kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek.

Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi

tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya, menganjurkan klien

untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi dari kontraksi isotonik

dan isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot memendek,

namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus mengenal adanya peningkatan

energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan darah)

karena latihan isometrik. Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit

(infark miokard atau penyakit obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot

merefleksikan kepribadian dan suasana hati seseorang dan tergantung pada ukuran

skeletal dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan dari kelompok
otot tergantung dari tonus otot dan aktifitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan

otot yang melawan gravitasi. Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang

seimbang.

Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang

bergantian melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan posisi fungsional tubuh

dan mendukung kembalinya aliran darah ke jantung.

Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang. Skeletal

adalah rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek,

pipih, dan ireguler (tidak beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan,

melindungi organ vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam

pembentukan sel darah merah.

Sendi adalah hubungan di antara tulang, diklasifikasikan menjadi:

 Sendi sinostotik mengikat tulang dengan tulang mendukung kekuatan dan

stabilitas. Tidak ada pergerakan pada tipe sendi ini. Contoh: sakrum, pada sendi

vertebra.

 Sendi kartilaginous/sinkondrodial, memiliki sedikit pergerakan, tetapi elastis dan

menggunakan kartilago untuk menyatukan permukaannya. Sendi kartilago

terdapat pada tulang yang mengalami penekanan yang konstan, seperti sendi,

kostosternal antara sternum dan iga.

 Sendi fribrosa/sindesmodial, adalah sendi di mana kedua permukaan tulang

disatukan dengan ligamen atau membran. Serat atau ligamennya fleksibel dan
dapat diregangkan, dapat bergerak dengan jumlah yang terbatas. Contoh:

sepasang tulang pada kaki bawah (tibia dan fibula) .

 Sendi sinovial atau sendi yang sebenarnya adalah sendi yang dapat digerakkan

secara bebas dimana permukaan tulang yang berdekatan dilapisi oleh kartilago

artikular dan dihubungkan oleh ligamen oleh membran sinovial. Contoh: sendi

putar seperti sendi pangkal paha (hip) dan sendi engsel seperti sendi interfalang

pada jari.

 Ligamen adalah ikatan jaringan fibrosa yang berwarna putih, mengkilat, fleksibel

mengikat sendi menjadi satu sama lain dan menghubungkan tulang dan kartilago.

Ligamen itu elastis dan membantu fleksibilitas sendi dan memiliki fungsi

protektif. Misalnya, ligamen antara vertebra, ligamen non elastis, dan ligamentum

flavum mencegah kerusakan spinal kord (tulang belakang) saat punggung

bergerak.

 Tendon adalah jaringan ikat fibrosa berwarna putih, mengkilat, yang

menghubungkan otot dengan tulang. Tendon itu kuat, fleksibel, dan tidak elastis,

serta mempunyai panjang dan ketebalan yang bervariasi, misalnya tendon

akhiles/kalkaneus.

 Kartilago adalah jaringan penghubung pendukung yang tidak mempunyai

vaskuler, terutama berada disendi dan toraks, trakhea, laring, hidung, dan telinga.

Bayi mempunyai sejumlah besar kartilago temporer. Kartilago permanen tidak

mengalami osifikasi kecuali pada usia lanjut dan penyakit, seperti osteoarthritis.

 Sistem saraf mengatur pergerakan dan postur tubuh. Area motorik volunteer

utama, berada di konteks serebral, yaitu di girus prasentral atau jalur motorik.
 Propriosepsi adalah sensasi yang dicapai melalui stimulasi dari bagian tubuh

tertentu dan aktifitas otot. Proprioseptor memonitor aktifitas otot dan posisi tubuh

secara berkesinambungan. Misalnya proprioseptor pada telapak kaki berkontribusi

untuk memberi postur yang benar ketika berdiri atau berjalan. Saat berdiri, ada

penekanan pada telapak kaki secara terus menerus. Proprioseptor memonitor

tekanan, melanjutkan informasi ini sampai memutuskan untuk mengubah posisi

(Magfuroh, 2014, hlm. 24).


E. Pathway

Faktor resiko atau Infeksi patogen


pencetus, trauma, cedera

Rusaknya integrasi system Merusak dan menyerang


muskoloskeltal dan system sel-sel diotak kecil/
persyarafan serebelum
Faktor resiko/ pencetus,
trauma, cedera

Koordinasi dan
keseimbangan motorik
terganggu

Hambatan mobilitas fisik Nyeri akut Intoleransi Aktivitas


F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis gangguan mobilisasi yaitu (Tarwoto & Wartonah, 2010, hlm 42)

yaitu :

1) Respon fisiologis, perubahan dari:

a) Muskuloskeletal sepert kehilangan daya tahan, penurunan masa otot, artropi

otot dan kontraktur sendi

b) Kardiovaskuler seperti peningkatan beban kerja jantung dan pembentukan

trombus

c) Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia, hipostastik, dispnea setelah

beraktivitas

d) Metabolisme dan nutrisi seperti laju metabolik, keseimbangan cairan dan

elektroli ketidakseimbangan kalsium dan gangguan pencernaan

e) Eliminasi urin seperti statis urin meningkatkan risiko infeksi saluran

perkemihan dan batu ginjal

f) Integument seperti ulkus dekubitus akibat anoksia dan iskemia jaringan

2) Respon psikososial, antara lain : meningkatkan respon emosional intelektual dan

sosiokultural

3) Keterbatasan rentan pergerakan sendi

4) Pergerakan tidak terkoordinasi

5) Penurunan waktu reaksi atau lambat

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang yang dilakukan pada gangguan mobilisasi yaitu (Maghfuroh,

2014, hlm.18) :

1) Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan

hubungan tulang.

2) CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang tertentu tulang

yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cidera ligament

atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang

didaerah yang sulit dievaluasi.

3) MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus, noninvasive,

yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer untuk

memperlihatkan abnormalitas (mis: tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak

melalui tulang. Dll.

4) Pemeriksaan Laboratorium: Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali

Fospat ↑, kreatinin dan SGOT ↑ pada kerusakan otot.

H. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi akibat gangguan mobilitas yaitu (Mubarak, 2008, hlm. 59)

yaitu :

1) Trombosis

Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskuler perifer yang

menyebabkan bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan.


2) Emboli paru

Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu reflek tertentu

yang dapat menyebbakan panas yang menyakibatkan napas berhenti tiba-tiba.

3) Kelemahan otot

Embolisasi lama akan mengakibatkan atropi otot dengan penurunan ukuran dan

kekuatan otot, untuk mengetahui penurunan kekuatan otot dapat juga dilihat dari

ukuran lingkar otot yang biasanya akan menurun sebanyak 2,1 sampai 21%.

4) Kontraktur otot dan sendi

Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko akan mengalami fraktur karena

sendi-sendi tidak digerakan akibatnya timbul rasa nyeri yang menyebabkan

sesorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.

5) Osteoporosis

Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara reresopsi tulang

dan pembentukan tulang. Imobiliasi mengakibatkan peningkatan resopsi tulang,

meningkatkan kadar kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi

vitamin D3 AKTIF.

6) Ulkus dekubitus

Pasien imobilisasi umumnya tidak bergerak malam hari karena tidak ada gerakan

aktif pasif tekanan dakan memberikan pengaruh pada daerah kulit ketika dalam

posisi berbaring dan aliran darah akan terhambat di daerah kulit yang tertekan

dan menghasilkan anoksia jaringan dan nekrosis.


I. Penatalaksanaan

Penatalasanaan yang dapat dilakukan pada gangguan mobilisasi antara lain Puspita

(2012, hlm.21):

1) Non farmakologi

Memegang peran penting dalam mencegah terjadinya komplikasi akibat

immobilisasi upaya yang dapat dilakukan adalah dengan terapi fisik dan latihan

jasmani secara teratur.

a) Latihan isometris secara 10-20% dari tekanan maksimal selama beberapa kali

dalam sehari dapat dilakukan memperthankan kekuatan isometri untuk

mencegah terjadnya kontraktur otot dapat dilakukan latihan-latihan gerak pasif

sebanyak 1 atau 2 kali dalam 20 menit.

b) Program latihan jasmani dilakukan harus sesuai dengan kondisi pasien,

berdasarkan ada tidaknya penyakit status mobilisasinya, tingkat aktivitas dan

lainnya.

2) Farmakologi

Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya pencegahan

kompliasi akibat immobilisasi, terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis.

Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologi yang dapat diberikan untuk

mencegah terjadinya trombosis pada pasien geriatri dengan immobilisasi


J. Anantomi dan Fisiologi
Sistem muskuloskletal merupakan system tubuh yang terdiri dari, otot (muskula) dan

tulang-tulang yang membentuk rangka (skeletal). Yaitu menurut Alimul (2008,

hlm.57)

1. Tulang

Tulang merupakan organ yang memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi mekanis

untuk membentuk rangka dan tempat melekatnya berbagai otot, fungsi sebagai

tempat penyimpanan mineral khususnya kalsium dan fosfor yang bisa dilepaskan

setup saat susuai kebutuhan, fungsi tempat sumsum tulang dalam membentuk sel

darah, dan fungsi pelindung organ-organ dalam.

Terdapa tiga jenis tulang, yaitu tulang pipih seperti tulang kepala dan pelvis,

tulang kuboid seperti tulang vertebrata dan tulang tarsalia, dan tulang panjang

seperti tulang femur dan tibia. Tulang panjang umumnya berbentuk lebar pada

kedua ujung dan menyempit di tengah. Bagian ujung tulang panjang dilapisi

kartilago dan secara anatomis terdiri dari epifisis, metafisis, dan diafisis. Epifisis

dan metafisis terdapat pada kedua ujung tulang dan terpisah dan lebih elastic pada

masa anak-anak serta akan menyatu pada masa dewasa.

2. Otot dan Tendon

Otot memiliki kemampuan berkontraksi yang memungkinkan tubuh bergerak

sesuai dengan keinginan. Otot memiliki origo dan insersi tulang, serta

dihubungkan dengan tulang melalui tendon yang bersangkutan, sehingga

diperlukan penyambungan atau jahitan agar dapat berfungsi kembali.


3. Ligamen

Ligamen merupakan bagian yang menghubungkan tulang dengan tulang.

Ligament bersifat elastic sehingga membantu fleksibilitas sendi dan mendukung

sendi. Ligamen pada lutut merupakan struktur penjaga stabilitas, oleh karena itu

jika terputus akan mengakibatkan ketidakstabilan.

4. Sistem Saraf

Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat (otak dan modula spinalis) dan sistem

saraf tepi (percabangan dari sistem saraf pusat). Setiap saraf memiliki somatic dan

otonom. Bagian somatic memiliki fungsi sensorik dan motorik. Terjadinya

kerusakan pada sistem saraf pusat seperti pada fraktur tulang belakang dapat

menyebabkan kelemahan secara umum, sedangkan kerusakan saraf tepi dapat

mengakibatkan terganggunya daerah yang diinervisi, dan kerusakan pada saraf

radial akan mengakibatkan drop hand atau gangguan sensorik pada daerah radial

tangan.

5. Sendi

Sendi merupakan tempat dua atau lebih ujung tulang bertemu. Sendi membuat

segmentasi dari rangka tubuh dan memungkinkan gerakan antar segmen dan

berbagai derajat pertumbuhan tulang. Terdapat beberapa jenis sendi, misalnya

sendi synovial yang merupakan sendi kedua ujung tulang berhadapan dilapisi oleh

kartilago artikuler, ruang sendinya tertutup kapsul sendi dan berisi cairan

synovial. Selain itu, terdapat pula sendi bahu, sendi panggul, lutut, dan jenis sendi

lain sepertii sindesmosis, sinkondrosis dan simpisis.


2. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1) Aspek biologis

a) Usia. Faktor usia berpengaruh terhadap kemampuan melakukan aktifitas,

terkait dengan kekuatan muskuloskeletal. Hal yang perlu dikaji diantaranya

adalah postur tubuh yang sesuai dengan tahap pekembangan individu.

b) Riwayat keperawatan. Hal yang perlu dikaji diantaranya adalah riwayat

adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal, ketergantungan terhadap orang

lain dalam melakukan aktivitas, jenis latihan atau olahraga yang sering

dilakukan klien dan lain-lain.

c) Pemeriksaan fisik, meliputi rentang gerak, kekuatan otot, sikap tubuh, dan

dampak imobilisasi terhadap sistem tubuh.

2) Aspek psikologis

Aspek psikologis yang perlu dikaji di antaranya adalah bagaimana respons

psikologis klien terhadap masalah gangguan aktivitas yang dialaminya,

mekanisme koping yang digunakan klien dalam menghadapi gangguan aktivitas

dan lain-lain.

3) Aspek sosial kultural

Pengkajian pada aspek sosial kultural ini dilakukan untuk mengidentifikasi

dampak yang terjadi akibat gangguan aktifitas yang dialami klien terhadap

kehidupan sosialnya, misalnya bagaimana pengaruhnya terhadap pekerjaan, peran

diri baik dirumah, kantor maupun sosial dan lain-lain


4) Aspek spiritual

Hal yang perlu dikaji pada aspek ini adalah bagaimana keyakinan dan nilai yang

dianut klien dengan kondisi kesehatan yang dialaminya sekarang, seperti apakah

klien menunjukan keputusasaannya? Bagaimana pelaksanaan ibadah klien dengan

keterbatasan kemampuan fisiknya? Dan lain-lain (Asmadi, 2008).

5) Perubahan-perubahan integument

Indikator cedera iskemia terhadap jaringan yang pertama adalah reaksi inflamasi.

Perubahan awal terlihat pada permukaan kulit sebagai daerah eritema yang tidak

teratur dan didefinisikan sangat buruk di atas tonjolan tulang yang tidak hilang

dalam waktu 3 menit setelah tekanan dihilangkan

B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

Dx 1 : Hambatan mobilitas fisik b/d muskucoskeletal

Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3 x 7 jam di harapkan


pasien dapat peningkatan aktivitas dan latihan
Kriteria Hasil :
1. mampu mengerakakan ekstremitas atas
2. mampu mengerakkan ekstremitas bawah
3. terjadi peningkatan kekuatan otot
Intervensi:
1. Mengatur posisi ( Positioning )
a. Monitor kemampuan gerak pasien
Rasional : untuk mngetahui perkembangan pergerakkan yang dapat di lakukan
pasien
b. Observasi kekuatan otot pasien
Rasional : untuk mengetahui skala kekuatan otot pasien
c. Latih ROM
Rasional : melancarkan peredaran darah dan mencegah kekauan sendi
d. Intruksikan pasien dan keluarga untuk monitor posisi tubuh
Rasional : menghindari terjadinya luka decubitus

Dx 2 : . Nyeri akut b/d agen cidera fisik


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x7 jam di harapkan
nyeri berkurang skala 0-2
KH :
1. Pasien dapat mengontrol nyeri dengan teknik rekalsasi
2. Skala nyeri berkurang jadi skala 0-2
3. TTV normal TD:120/80 mmHg HR:80-100x/mnt RR:20x/mnt S:36-37 C
Intervensi :
a. Manajemen lingkungan
1. Ciptakan lingkungan nyaman dan mendukung
2. Sesuaikan suhu ruang yang nyaman
3. Beri waktu untuk istirahat
b. Manajemen nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri.
2. Atur posisi nyaman.
3. Ajarkan relaksasi
4. Pemberian analgesik..
c. Kolaborasi Pemberian analgesic
1. Cek adanya alergi obat
2. .Beri dosis analgesik sesuai resep
Dx 3 : . Intoleransi Aktivitas b/d agen cidera fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x7 jam di harapkan
intoleransi aktivitas teratasi dengan KH:
1. Pasien dapat melakukan aktivitas mandiri
2. Pasien dapat aktivitas tanpa alat bantuan
Intervensi :
1. Monitoe respon emosional pasien
2. Kaji kekuaatan otot pasien
3. Ajarkan mengenai alat bantu
4. Kolaborasi dengan fisioterapi untuk terapi
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A.H.A, (2008), Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Keperawatan buku 2. Jakarta: Salemba Medika
Hedrman, T. H. (2015). Diagnosis keperawatan : definisi dan klasifikasi. Jakarta : EGC

Maghfuroh, N. (2014). Laporan pendahuluan asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan dasar


manusia gangguan mobilisasi.
www.academia.edu/9895600/LAPORAN_PENDAHULUAN_ASUHAN_KEPERAW
ATAN_PEMENUHAN_KEBUTUHAN_DASAR_MANUSIA_GANGGUAN_MOIL
ISASI, diakses tanggal 6 Agustus 2018

Mubarak, W. I. (2008). Buku ajar kebutuhan dasar manusia teori dan aplikasi praktik. Jakarta:
EGC

Puspitasi, N. (2012). Gangguan mobilisasi. www.


Academia.edu/7699098/GANGGUAN_MOBILISASI, diakses tanggal 6 Agustus
2018

Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan edisi 4.
Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai