Anda di halaman 1dari 19

PERSIAPAN PASIEN PRE DAN POST

KATETERISASI JANTUNG

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Disusun oleh:

Afifah Salsabila P1337420618001

Fazanisa Zulfa Izzati P1337420618047

2A3 RKI 2019

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN NERS

JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG


BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan data yang ada pada Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 lebih
dari 36 juta orang yang meninggal dikarenakan spenyakit tidak menular (PTM).
Secara global penyebab kematian nomor satu tiap tahunnya adalah penyakit
kardiovaskular seperti Penyakit Jantung Koroner (PJK), Penyakit Gagal Jantung atau
Payah Jantung, Hipertensi dan Stroke. Di tahun 2008 kurang lebih sebanyak 17,3 juta
kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.

Hal tersebut mendorong perhatian besar terhadap penyediaan pelayanan


kesehatan di bidang kardiovaskular dan salah satu wujudnya adalah dengan
menambah jumlah kateterisasi jantung di rumah sakit yang memadai di seluruh
Indonesia. Di satu pihak, meningkatnya jumlah kateterisasi jantung diharapkan
mampu memperbaiki akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jantung dan
pembuluh darah yang berkualitas, namun di lain pihak perlu diingat bahwa teknologi
ini perlu dipantau dan diatur dengan baik dan berkesinambungan.
Tindakan kateterisasi yang dilakukan sesuai kaidah dapat menolong nyawa dan
memperbaiki kualitas hidup seseorang yang memiliki penyakit kardiovaskular, tetapi
tindakan kateterisasi jantung juga memiliki risiko serius bahkan dapat menyebabkan
kematian. Dengan jaminan kualitas yang baik, angka kejadian risiko dapat ditekan
sampai di bawah 2%.
Segala tindakan yang melibatkan jantung didalamnya tentu harus dilakukan
dengan hati hati. Proses tindakan sejak sebelum, saat dan setelah tindakan penting
untuk selalu terkontrol. Kualitas tenaga medis, fasilitas dan keadaan umum pasien
berbanding lurus dengan angka keberhasilan tindakan yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian

Kateterisasi (berasal dari kata cardiac catheterization, atau kateterisasi jantung


dan disingkat menjadi kateterisasi) adalah tindakan memasukkan selang kecil
(kateter) secara perkutan ke dalam pembuluh darah arteri dan atau vena dan
menelusurinya hingga ke jantung, pembuluh darah lainnya dan atau organ lain yang
dituju dengan bantuan sinar-X. Bertujuan untuk diagnostik (mencari gangguan
struktur dan atau fungsi pada pembuluh darah jantung, pembuluh darah lainnya, dan
atau organ lain) dan atau terapetik (memperbaiki gangguan struktur dan atau fungsi
pembuluh darah jantung, pembuluh darah lainnya, dan atau organ lain). Untuk tujuan
terapetik, tindakan ini lazim disebut disebut prosedur intervensi invasif non-bedah
atau intervensi kateterisasi perkutan. (Isman Firdaus, 2017)

2. Klasifikasi
A. Klasifikasi berdasarkan struktur rongga jantung yang dituju:
1) Left heart catheterization (Kateterisasi jantung Kiri)
Kateter dimasukkan ke dalam arteri (arteri femoralis atau radialis atau
brakialis) dan berakhir di ventrikel kiri.
Termasuk dalam kelompok ini:
a. Arteriography (sering disebut angiography) arteri femoralis, radialis,
brakialis, koroner atau arteri lain yang dituju.
b. Aortography
c. LV-graphy (Left Ventriculography)
2) Right heart catheterization (Kateterisasi jantung Kanan)
Kateter dimasukkan ke dalam vena (vena femoralis atau subclavia atau
jugularis) dan berakhir di arteri Pulmonalis.
Termasuk dalam kelompok ini:
a. Venography
b. RV-graphy (Right Ventriculography)
c. PA-graphy (Pulmonary Arteriography)
d. Transeptal catheteterization
e. Electrophysiologic studies (EPS)
f. Temporary and Permanent Pacemaker Insertion: Pemasangan pacu
jantung sementara dan menetap
B. Klasifikasi berdasarkan tujuan kateterisasi:
1. Kateterisasi untuk diagnostik (Diagnostik invasif)
Meliputi:
a. Peripheral vascular angiography (arteri dan vena)
b. Selective vessel and heart chamber pressure recording (imaging and
physiology)
c. Oximetry
d. Drug response studies
e. Cardiac output studies
f. Shunt detection studies
g. Electrophysiologic studies (EPS)
h. Selective contrast angiography
i. Fractional Flow Reserve (FFR)
j. Selective heart chamber and vessel studies for congenital heart
disease
k. Biopsi miokard.
l. Intravascular Ultrasound (IVUS)
m. Optical Coherence Tomography (OCT)
2. Kateterisasi untuk terapetik (Intervensi Invasif Non-Bedah), meliputi:
a. Pemasangan pacu jantung sementara dan menetap.
b. Ablasi pada aritmia jantung
c. Pericardiocentesis
d. Balloon atrial septostomy
e. Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) yang saat
ini lebih lazim disebut sebagai Percutaneous Coronary Intervention
(PCI) baik menggunakan stent maupun balon
f. Percutaneous Transluminal Peripheral Arteries Angioplasty (PTA):
baik menggunakan stent maupun balon
g. Percutaneous Transluminal Venoplasty (PTV): baik menggunakan
stent maupun balon
h. Pemasangan Vena Cava Filter
i. Balloon Valvuloplasty
j. Pemasangan Intraaortic Balloon Pump Counterpulsation (IABP)
k. Thrombolytic intraarterial dan/ atau intravena (direct catheter
trombolysis)
l. Evakuasi benda asing di pembuluh darah atau jantung
m. Tindakan embolisasi, oklusi defek, ablasi septum
n. Endovaskular Terapetik
o. TAVR (Transcatheter Aortic Valve Replacement)/ TAVI
(Transcatheter Aortic Valve Implantation), reparasi atau penggantian
katup mitral perkutan.
3. Indikasi
Adapun indikasi dilakukan tindakan kateterisasi jantung pada pasien menurut
Gray et al, 2002 adalah sebagai berikut:
a. Memiliki gejala penyakit arteri koroner meskipun telah mendapat terapi
medis yang adekuat
b. Penentuan prognosis pada pasien dengan penyakit arteri koroner
c. Nyeri dada stabil dengan perubahan iskemik bermakna pada tes latihan
d. Pasien dengan nyeri dada tanpa etiologi yang jelas
e. Sindrom koroner tidak stabil (terutama dengan peningkatan Troponin T atau
I).
f. Pasca infark miokard nongelombang Q
g. Pasca infark miokard gelombang Q pada pasien risiko tinggi (ditentukan
dengan tes latihan atau pemindaian perfusi miokard).
h. Pasien dengan aritmia berlanjut atau berulang
i. Gejala berulang pasca coronary artery bypass Graft (CABG) atau
percutaneus coronary intervention (PCI)
j. Pasien yang menjalani pembedahan katup jantung
k. Pasien gagal jantung dengan etiologi yang tidak jelas
l. Menentukan penyebab nyeri dada pada kardiomiopati hipertropi
4. Kontraindikasi
Adapun kontra indikasi dalam pemeriksaan kateterisasi jantung menurut
Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001) tidak ada yang mutlak, hanya bergantung
pada kondisi saat itu, yaitu ibu hamil dengan usia kehamilan kurang dari 3 bulan,
infeksi, gagal jantung yang tidak terkontrol dan alergi berat terhadap zat kontras
(mungkin menjadi mutlak).
Menurut Halim Wijaya dalam skripsi yang ditulisnya dengan judul “Identifikasi
Kategori Resiko Terjadinya Contrast Induced Nephropathy (CIN) pada Pasien yang
Dilakukan Kateterisasi Jantung di RSI Aisyiyah Malang” berdasarkan (Wangko,
Budiono & Lefrandt, 2016) menyebutkan kontraindikasi tindakan kateterisasi jantung
dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Kontraindikasi Absolut : ketidaktersediaan peralatan atau fasilitas
kateterisasi
2. Kontraindikasi relative :
a. Perdarahan saluran cerna akut
b. Pada pasien yang mengalami perdarahan akan dapat menjadi syok dan
akan menyebabkan ke tidakstabilan hemodinamik
c. Ketidakseimbangan elektrolit
d. Ketidakseimbangan elekrolit menyebabkan gangguan metabolisme
tubuh dan akan mengalami gangguan fungsi jantung
e. Infeksi dan demam.
f. Pasien demam dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan
perubahan hemodinamik, sehingga harus di stabilkan terlebih dahulu
g. Alergi berat terhadap zat kontras
h. Alergi kontras dapat mempengaruhi metabolisme dan hemodinamik,
pemilihan kontras dan profilaksis bisa di sarankan di berikan sebelum
tindakan apabila dibutuhkan
i. Kehamilan.
j. Paparan radiasi sangat berbahaya pada ibu dengan kondisi hamil
k. Gagal ginjal.
l. Penggunaan media kontras pada tindakan kateterisasi bisa menyebabkan
kondisi ginjal lebih parah
m. Hipertensi, CHF tidak terkontrol, aritmia.
n. Perubahan hemodinamik akan menyebabkan kesulitan tindakan
kateterisasi jantung
o. Pasien yang tidak kooperatif.
p. Akan mempersulit operator untuk melakukan tindakan
5. Persiapan Pre Tindakan

Perawatan pasien sebelum prosedur kateterisasi jantung perlu dilakukan untuk


mempersiapkan pasien baik secara fisik maupun psikologis agar pasien siap
menjalani prosedur ini. Persiapan fisik yang dilakukan meliputi puasa selama 4-6
jam, membersihkan area puncture (penusukan), mengkaji allent tes jika menggunakan
arteri radialis, meminum obat-oabatan sebelum prosedur, serta membuka segala jenis
perhiasan yang menggangu hasil angiogram. Selain itu, persiapan administrasi juga
diperlukan seperti: hasil elektrokardiografi 12 lead, hasil labaroatorium dan
informedconsent. Persiapan psikologis berupa pendidikan kesehatan tentang prosedur
dan pemberian terapi relaksasi bertujuan untuk mempersiapkan mental pasien agar
pasien tenang, tidak cemas serta kooperatif selama prosedur ini berlangsung
(Underhill, 2005; Huddak & Gallo, 2006)
Persiapan pasien sebelum dilakukan dilakukan tindakan antara lain:

a. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dokumentasi data penunjang, dan informed


consent.
Hal-hal tersebut merupakan hal yang wajib dilakukan sebelum pasien menjalani
tindakan kateterisasi dan harus tercatat dalam rekam medis. Kadar kalium sangat
penting diperhatikan, karena apabila kadarnya rendah akan mengakibatkan
peningkatan sensitifitas dan eksitabilitas miokard sehingga dapat meningkatkan
disritmia ventrikel yang mengancam pasien. Peningkatan kadar kreatinin serum,
Blood Urea Nitrogen atau keduanya dapat mengindikasikan masalah pada fungsi
ginjal. Fungsi ginjal yang baik sangat dibutuhkan, karena pada prosedur ini
menggunakan zat kontras radioopaque yang bersifat hiperosmotik. Sehingga
ginjal harus menfilter zat tersebut dalam darah dan mengeluarkannya.
b. Checklist yang memuat nama, nomor rekam medis, tanggal lahir, rencana
tindakan yang akan dilakukan, indikasi dilakukannya tindakan, ASA
classification, lokasi akses yang akan digunakan, medikasi, riwayat alergi,
temuan laboratorium, dan batas maksimal penggunaan media kontras.
c. Pasien dengan riwayat tindakan kateterisasi jantung atau pembuluh darah perifer
atau bypass sebelumnya, harus dilakukan tinjauan ulang tentang data
sebelumnya, termasuk hasil angiogram.
d. Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dilakukan dalam 24 jam.
e. Laboratorium (tidak melebihi 4 minggu) mencakup darah rutin, gula darah,
Ureum, kreatinin, dan pemeriksaan lain sesuai indikasi.
f. EKG baseline harus dilakukan sebelum tindakan kateterisasi.
g. Chest X Ray sesuai indikasi.
h. Informasi yang menyatakan bahwa pasien tidak hamil.
i. Riwayat alergi terhadap lateks, kontras, dan obat-obatan harus ditanyakan dan
dicatat.
j. Pasien yang menggunakan heparin, LMWH, glycoprotein IIb/ IIIa inhibitor dapat
menjalani kateterisasi jantung dengan peningkatan kecil risiko perdarahan.
k. Activated clotting time (ACT) diperiksa sesuai dengan indikasi.
l. Informed consent yang diberikan meliputi risiko tindakan.
m. Puasa makan dan minum minimal 3 jam (untuk tindakan tanpa sedasi) dan
minimal 5 jam (untuk tindakan dengan sedasi).
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung ke saluran
pernafasan bila pasien mengalami mual dan muntah selama prosedur
berlangsung.
n. Pasien pada umumnya puasa sebelum tindakan setidaknya 2 jam setelah
konsumsi cairan bening atau setidaknya 6 jam setelah makan.
o. Sesaat sebelum dimulainya tindakan, operator dan staf medis harus memastikan:
nama pasien benar, rencana tindakan benar, informed consent sudah
ditandatangani, konfirmasi alergi, administrasi antibiotik, rencana lokasi akses,
dan ketersediaan alat yang diperlukan selama tindakan.
p. Pasien akan mendapatkan anestesi local sebelum prosedur dimulai.
Obat anestesi lokal bekerja dengan memblok saraf perifer tanpa menimbulkan
efek kehilangan kesadaran. Ada sejumlah abat anastesi lokal yaitu novocain,
lidocaine, propoxycaine, tetracaine, prilocaine and etidocaine. Efek sampingnya
adalah rasa gatal, bengkak dan kemerahan pada kulit. Anastesi lokal pada
prosedur kateterisasi jantung berfungsi untuk menghilangkan perasaan tidak
nyaman pada area insersi pada saat kateter dimasukkan.
q. Pencegahan contrast induced nephropathy (CIN) dan reaksi media kontras harus
diperhatikan.
r. Premedikasi dengan H2 blocker dan steroid direkomendasikan pada pasien yang
dicurigai alergi kontras.
Medikasi yang dapat diberikan adalah prednisone 50 mg PO 13 jam, 7 jam, dan 1
jam sebelum tindakan atau sebagai alternatif dapat diberikan 60 mg prednisone
malam dan pagi sebelum tindakan atau 200 mg hidrokortison IV 2 jam sebelum
tindakan dengan atau tanpa H2 blocker. 50 mg Difenhidramine dapat diberikan
per oral 1 jam sebelum tindakan

Pengaturan pemberian sedatif dan relaksan:

1. Sedasi biasanya tidak diperlukan pada kebanyakan tindakan, dapat diberikan


sesuai indikasi.
2. Anestesi umum diperlukan sesuai indikasi.

Pada pasien hamil maka paparan radiasi harus dihindari sebisa mungkin dengan
cara menggunakan setting fluoroskopi rendah, mengurangi waktu paparan,
mengurangi frame rate, mengurangi jumlah kontras, menghindari angulasi atau
magnifikasi gambar sebisa mungkin, dan penggunaan apron.

CEK LIST PRE KATERISASI JANTUNG

Nama Pasien Tanggal Tindakan


Rencana Tindakan: Kateterisasi Diagnostik
(Lingkari semua yang Jantung (L, R, simultan)
sesuai) Angiografi coroner
Ventrikulografi kiri
Pencitraan
Intravaskular / Penilaian
hemodinamik (IVUS,
Oktober, FFR)
Kemungkinan PCI
Rencana PCI
Lainnya
» Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik:
Prosedur Elektif Rawat Jalan: H & P
didokumentasikan dalam waktu 30 hari?
Prosedur rawat inap: H & P
didokumentasikan dalam waktu 24 jam
setelah admisi?
Riwayat PCI sebelumnya atau CABG: Jika
ya, laporan diperoleh?
Stress test/ Penilaian LVSF: Jika ya,
laporan diperoleh? alergi:
1. Kontras: Jika ya, itu pasien telah
diberikan obat?
2. Aspirin: Jika ya, itu pasien desensitisasi?
3. Heparin (HIT) ya, pertimbangkan
alternatif agen antitrombotik
4. Lateks: Jika ya, hapus semua produk
lateks dari penggunaan prosedural

Obat:
1. Apakah pasien minum aspirin dalam 24
jam terakhir?
2. Apakah pasien minum clopidogrel,
prasugrel, atau ticagrelor dalam 24 jam
terakhir?
3. Apakah pasien minum metformin dalam
24 jam terakhir?
4. Apakah pasien minum sildenafil (atau
inhibitor PDE5 lainnya) dalam 24 jam
terakhir?
5. Apakah pasien diberikan LMWH dalam
12 jam terakhir? Jika ya untuk LMWH,
waktu pemberian dosis terakhir apakah
dilakukan dalam 30 hari?

____________________
Informed consent

6. Prosedur selama tindakan


A. Tugas tenaga medis selama tindakan
1. Setelah pasien tiba di kamar tindakan, seorang perawat, teknologis, atau
dokter harus meninjau ceklis pra-tindakan, tinjauan rekam medis dengan teliti
termasuk mengenai status dan lama pasien puasa, lokasi akses tindakan,
riwayat alergi, data penunjang, informed consent, dan lain – lain.
2. Tanda vital hemodinamik dan oksimetri pasien harus dipantau secara rutin.
Bantalan / pads defibrilator harus melekat pada semua pasien STEMI. Risiko
yang timbul terkait akses harus dipertimbangkan dengan tujuan memilih situs
akses yang optimal sehingga komplikasi dapat diminimalisir. Sebelum
tindakan dimulai, staf kateterisasi jantung harus memastikan setidaknya satu
akses intravena yang berfungsi.
3. Pemilihan obat yang sesuai harus didasarkan pada individu pasien dan kondisi
klinis.
4. Pada saat prosedur dilakukan, obat-obat seperti obat sedasi, obat vasoaktif,
obat vasodilator (nitrogliserin, nitroprusida, verapamil, nicardipin, adenosin
dan vasodilator intrakoroner lainnya), antikoagulan, antiplatelet tambahan dan
obat-obatan darurat dapat digunakan.
5. Apabila terjadi hipertensi selama prosedur berlangsung dapat diberikan bolus
IV hidralazin, labetalol, nicardipin atau metoprolol, infus kontinu nitroprusida
dan nitrogliserin.
6. Hipotensi selama prosedur berlangsung harus didiagnosis dan ditatalaksana
secara agresif, tatalaksana sangat tergantung pada etiologi dengan pemberian
lini pertama Bolus cairan IV dengan normal salin dan apabila resusitasi cairan
tidak berhasil, dopamin, norepinefrin dan fenilefrin dapat digunakan untuk
mempertahankan TD adekuat.
7. Lokasi steril harus dipertahankan selama tindakan, kepatuhan ketat terhadap
teknik aseptik diwajibkan pada saat alat akan diimplantasi dan pembuangan
semua material harus mengikuti panduan keamanan.
8. Semua obat harus dicatat dalam data tindakan atau catatan elektronik dan
ditandatangani oleh dokter yang hadir.

B. Mengenai paparan radiasi


1. Semua tindakan di kateterisasi jantung yang dilakukan harus dengan tujuan
agar dosis radiasi yang dicapai adalah serendah mungkin. Semua personil di
kamar tindakan harus memakai alat pelindung diri, termasuk apron &
pelindung tiroid serta lencana radiasi.
2. Anggota tim yang paling dekat dengan sumber radiasi harus memakai
kacamata bertimbal. Paparan radiasi harus dipantau dan dipaparkan di area
pusat.
3. Metode untuk mengurangi paparan radiasi adalah mengurangi frame rate (15
fps atau 7,5 fps), menggunakan “ fluoro store “ bila memungkinkan, menutupi
dan menjaga detektor panel datar agar dekat dengan pasien.
4. Dengan menggunakan berbagai sudut dalam melakukan pencitraan dapat
mengurangi paparan radiasi ke tubuh pasien. Dengan menjaga intensifier
gambar lebih jauh dari operator dapat meminimalkan paparan radiasi terhadap
dokter.
5. Kateterisasi jantung harus mencatat total dosis radiasi (Gy) secara real time,
dan menginformasikan dan merujuk operator ketika ambang potensi
kerusakan akibat radiasi telah tercapai.
6. Untuk paparan yang lebih besar dari 5 Gy, pasien harus diinformasikan
mengenai potensi adanya perubahan kulit (misalnya, eritema). Untuk paparan
yang lebih besar dari 10 Gy, seorang ahli fisika medis yang kompeten harus
segera menghitung dosis puncak pada kulit yang diperiksa di minggu 2-4.
7. Komisi Bersama (The Joint Commission) menganggap suatu paparan lebih
dari 15 Gy sebagai suatu sentinel dan pihak manajemen risiko rumah sakit dan
badan pengatur harus dihubungi dalam waktu 24 jam.
8. Kecurigaan adanya cedera jaringan harus dirujuk kepada dokter spesialis dan
dilakukan biopsi apabila diperlukan.
C. Pemberian Kontras Angiografi
1. Kontras yang non-ionik dengan osmolaritas yang rendah seperti, iohexol,
iopamidol, ioversol harus digunakan untuk sebagian besar kasus.
2. Jumlah total kontras yang diberikan kepada pasien harus dipantau secara real
time dan dibatasi jika secara klinis memungkinkan. Volume kontras
maksimum: (BB x Creatinin)/4 dapat digunakan sebagai batas atas dosis
kontras yang dapat diterima selama prosedur tunggal dengan tujuan
membatasi risiko CIN. Staf KATETERISASI JANTUNG harus memberitahu
dokter ketika batas tersebut telah tercapai.
D. Protokol Universal dan Prosedur “Time Out”
Semua anggota tim harus memahami tindakan yang akan dilakukan beserta
urutannya. Hal ini harus dilakukan selama protokol “ Time Out “ dan dilakukan
sebelum akses vaskular atau sedasi sedang dimulai ketika semua tim telah hadir

Contoh ceklist sebelum tindakan

• Semua anggota tim harus hadir pada saat “Time Out”


• Time Out harus dilakukan sebelum tindakan akses vaskular
• Dokter yang bertanggung jawab penuh terhadap tindakan tersebut sebaiknya
memimpin “Time out” dan memastikan masing – masing komponen telah dibacakan,
yaitu :
1. Nama pasien dan nomor rekam medis
2. Jenis tindakan yang akan dilakukan
3. Memastikan ketersediaan peralatan yang dibutuhkan atau peralatan cadangan,
termasuk tipe stent untuk PCI
4. Riwayat alergi pasien dan premedikasi yang sesuai
5. Kondisi laboratoris atau medis yang khusus

7. Prosedur setelah dilakukan tindakan


Setelah prosedur kateterisasi jantung, pasien di transfer ke unit observasi,
telemetry unit, atau ke intensive care unit, tergantung pada kondisi pasien dan tipe
prosedur yang dilakukan. Biasanya pasien ditransfer ke unit observasi selama 6 jam,
setelah itu bila kondisi stabil, pasien boleh pulang. Pasien yang menjalani
percutaneus coronary intervention (PCI), biasanya di rawat inap selama semalam di
telemetry unit atau interventional cardiology unit, karena akan dirawat dan diawasi
oleh perawat yang punya keahlian dan telah berpengalaman dalam perawatan pasien
postprocedural serta mempunyai pengetahuan tentang obat-obat jantung, interpretasi
aritmia, ACLS skills, serta manajemen area kateterisasi jantung. Pasien akan di
observasi secara terus menerus atau di transfer ke ruang ICU jika mengalami status
hemodinamik yang tidak stabil atau terjadi komplikasi setelah prosedur seperti
miocardial infark, tamponade jantung, distres sistem pernafasan serta aritmia yang
tidak stabil.
Adapun perawatan pasien setelah menjalani prosedur kateterisasi jantung adalah
sebagai berikut:
a. Pasien dipantau keadaan umum setelah prosedur selesai sampai dipindahkan
ke ruang perawatan.
b. Mengkaji keluhan yang dirasakan pasien
Adanya nyeri dada memerlukan tindakan segera karena hal tersebut dapat
merupakan indikasi adanya vasospasme atau penyumbatan secara tiba-tiba.
Pasien dapat menggambarkan angina seperti perasaan terbakar, tertekan benda
berat atau rasa nyeri seperti di tusuk-tusuk pada daerah midsternal. Jika
perubahan itu merupakan episode vasospasme sementara, maka akan segera
membaik dengan pemberian terapi vasodilatasi.
c. Menganjurkan terapi nyeri melalui tindakan non-farmakologis
Manajemen nyeri non farmakologik yang dapat digunakan untuk mengatasi
nyeri adalah terapi musik, relaksasi, terapi bermain, terapi aktivitas, kompres
dan pijat.Teknik ini dapat membantu pasien mencapai rasa kontrol atas rasa
sakit (Van Kouten, M.E., 1999).
Salah satu yang sudah diteliti adalah mengenai penggunaan musik dan
relaksasi nafas dalam. Pada salah satu penelitian menyebutkan pasien yang
diberi perlakuan kombinasi terapi musik dan relaksasi nafas dalam yang
dilakukan 2 jam dan 3 jam setelah kateterisasi jantung masingmasing
dilaksanakan selama 15 menit dan evaluasi setelah 30 menit dari intervensi
kedua atau 3,5 jam post kateterisasi jantung terjadi penurunan intensitas nyeri
pada pasien penyakit jantung. Jenis musik yang dipakai adalah pain relief
maupun natural healing tentang suara alam dan instrumental dengan frekuensi
40-60 Hz dan tempo 61-80 beat/menit, diputar minimal satu kali sehari. Musik
yang direkomendasikan untuk terapi musik adalah klasik, musik
instrumentalia, musik unsur suara alam, musik jazz (Nilson, 2009).
d. Monitor tanda-tanda vital 1 jam pertama selama 15 menit, 1 jam kedua selama
30 menit sampai keadaan umum baik
e. Monitor lokasi akses vaskular selama pemulihan
f. Monitor adanya perdarahan, hematoma dan bengkak disekitar area penusukan
dengan cara:
1) Penekanan dengan bantal pasir dan imobilisasi pada daerah penusukan
selama 6 jam
2) Jelaskan pentingnya mempertahankan tungkai tetap lurus dengan posisi
kepala tidak lebih dari 45°C.
3) Bila perlu bekerjasama dengan keluarga pasien untuk mengamati
perdarahan
Metode yang dilakukan untuk menghindari adanya perdarahan yaitu kompresi
manual, kompresi mekanikal, jahitan vaskular perkutaneus, dan staples atau
klips, vascular plugs, dan topical hemostatic pads.
g. Monitor adanya tanda-tanda dari efek samping zat kontras
Perawat perlu mengenali tanda dan gejala hipersensitifitas terhadap zat
kontras seperti: adanya urtikaria, menggigil, mual, muntah, ansietas dan
spasme laring.
h. Observasi volume cairan yang masuk dan keluar
Hidrasi yang baik dengan terapi intravena sangat penting pasca prosedur
kateterisasi jantung.Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk minum yang
banyak, hal ini bertujuan untuk mengeliminasi zat kontras yang terdapat
dalam tubuh pasien.
i. Monitor adanya tanda infeksi
Melakukan observasi terhadap adanya perubahan warna, suhu pada area
sekitar puncture.Selalu mengganti balutan dengan memperhatikan prinsip
septik dan antiseptik.
j. Pasien dengan risiko CIN (Contrast Induce Nephropathy) harus memeriksakan
serum kreatininnya dalam waktu 3 -5 hari.
k. Monitor tanda-tanda gangguan sirkulasi ke perifer
Melakukan palpasi pada arteri poplitea, dorsalis pedis kanan dan kiri setiap 15
menit sekali bila nadi lemah konfirmasi dokter untuk pemberian obat anti
koagulan
l. Hipertensi postprosedural harus ditatalaksana secara agresif, pasien dapat
diberikan dosis sesuai dengan medikasi rawat jalan maupun diberikan secara
antihipertensi IV. Hydralazine, labetalol, nicardipine, atau metoprolol,infus
nitrogliserin dengan target tekanan darah 140/80mmHg
m. Pasien di informasikan untuk membatasi aktivitas fisik sesuai dengan SOP di
Rumah Sakit. Beberapa ada yang membatasi aktivitas fisik selama 4 jam, 6
jam, bahkan 12 jam setelah dilakukan kateterisasi jantung.
n. Melakukan ambulasi dini
Ambulasi dini yang dilakukan setelah prosedur pemasangan kateter jantung
dapat mempercepat pemulihan aktivitas, memberikan rasa nyaman dan
mengurangi rasa nyeri. Berdasarkan penelitian Chair (2012) menunjukkan
ambulasi dini 4 jam paska kateterisasi jantung secara signifikan mengurangi
nyeri punggung dan mempercepat pemulihan pasien.
Ambulasi dini yang dilakukan dengan beberapa tahapan seperti mengatur
posisi post kateterisasi jantung, alih baring setiap 2 jam sekali, mobilitas
diatas tempat tidur, latihan berupa ROM selama 30 menit dilakukan 1 kali
sehari , breathing exercise, latihan turun dari tempat tidur, dan pengenalan
progam berjalan menggunakan walker.
DAFTAR PUSTAKA

Argstatter, H., & Haberbosch, W., Bolay, H V. (2006).Study of the effectivenessof


musical stimulation duringintracardiac catheterization.Clin ResCardiol, 95(10),
511-3.
Darialana, Devi. 2012. Treatment of Patients Undergoing Cardiac Catheterization
Procedures. Idea Nursing Journal.Vol. III No. 3.Medical Surgical Nursing
Department, School of Nursing, Faculty of Medicine,Syiah Kuala University,
Banda Aceh.
Firdaus, Isman. 2018. PEDOMAN LABORATORIUM KATETERISASI JANTUNG
DAN PEMBULUH DARAH. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia
Widiyanto, Budi dkk. 2016. PENGARUH AMBULASI DINI TERHADAP
PENINGKATAN ACTIVITY OF DAILY LIVING PADA PASIEN POST
KATETERISASI JANTUNG DI RS TELOGOREJO SEMARANG. Jurnal
Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)

Anda mungkin juga menyukai