5 6113935651512516784 PDF
5 6113935651512516784 PDF
Penyusun
Ignatius Praptoraharjo; Satiti Retno Pudjiati; Ita Perwira; Swasti Sempulur;
M. Suharni; Hersumpana; Eviana Hapsari Dewi
Desain buku:
Kotasis Kamar Desain 3x3x3
Disusun dengan dukungan dari Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT),
Pemerintah Australia melalui PKMK FK UGM. Tulisan yang diungkapkan dalam
laporan ini tidak mencerminkan pandangan Pemerintah Australia, maupun
Pemerintah Indonesia.
Copyright @2016
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
D a ft a r Is i
Daftar Isi
vi
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
Da f t a r Is i
B. Inisiasi PKR sebagai Unit Penyedia C. Pendekatan Pengembangan C. Gambaran Organisasi Masyarakat
Layanan PMTS di Kabupaten Model (metode) - 169 Sipil di Indonesia - 193
Merauke - 148 D. Desk Review Model Integrasi D. Kegiatan OMS pada era
C. Tata Kelola dan Mobilisasi Sumber PMTS ke Dalam Layanan Primer - penanggulangan HIV & AIDS -
Daya - 150 170 203
vii
D a ft a r Tabe l
Daftar Tabel
20 75 184
Tabel 1. Distribusi dana untuk Tabel 6. Ringkasan Tingkat Integrasi Tabel 11. Integrasi Unsur Sub-
program HIV dan AIDS tahun 2011 Program PMTS dan LASS ke Dalam Sistem Upaya Kesehatan Layanan
dan 2012 Sistem Kesehatan Berdasarkan PMTS dengan Sub-Sistem Upaya
Dimensi-dimensi Subsistem Kesehatan Puskesmas Saat Ini dan
Model yang Diusulkan
24 98
Tabel 2. Perbandingan nomenklatur
tenaga kesehatan yang tersedia Tabel 7. Alokasi Dana Pencegahan
196
dengan kebutuhan tenaga untuk HIV dan AIDS Tabel 12. Sumber Pendanaan OMS
penanggulangan HIV dan AIDS untuk Penanggulangan HIV dan AIDS
100
36 Tabel 8. Pembelanjaan LASS
199
Tabel 3. Daftar kebijakan Tabel 13. Jenis Kegiatan OMS
Kemenkokesra terkait respons HIV
dan AIDS sebagai tanggung jawab
130
Ta b e l
multisektoral
Tabel 9. Jumlah layanan ARV
208
mandiri di DKI Jakarta Tabel 14. Peran OMS dalam
viii
D af tar G am bar
Daftar Gambar
10 119 144
Gambar 1. Sepuluh provinsi yang Gambar 8. Alur perawatan ARV dan Gambar 14. Proporsi Persentase
melaporkan jumlah kasus HIV tempat layanannya Kasus HIV dan AIDS di Kabupaten
terbanyak tahun 2015 Merauke
123
21 Gambar 9. Kerangka Penilaian
146
Gambar 2. Perbandingan Kontribusi Tingkat Integrasi di Layanan Gambar 15. Gambaran kasus HIV,
GF dengan Kontribusi Pemerintah Kesehatan Primer Kasus AIDS dan Meninggal Akibat
Pusat dan Daerah, 2009-2012 AIDS di Merauke
125
30 Gambar 10. Jenis layanan HIV dan
149
Gambar 3. Proporsi Penasun yang AIDS yang dibutuhkan di layanan Gambar 16. Koordinasi PKR dan
Berbagi Jarum dalam Minggu kesehatan primer Stakeholder Terkait PMTS
Terakhir Berdasarkan Kota pada
Ga mb a r
Tahun 2004, 2007, 2011
128 157
50 Gambar 11. Kerangka kerja dan aktor
yang terlibat dalam LKB
Gambar 17. Kecenderungan
penggunaan kondom pada
Gambar 4. Kerangka Konseptual kelompok resiko tinggi di Merauke
Tahun 2008-2011
133
92
Gambar 5. Kerangka Konseptual
Gambar 12. Cascade Program ART di
Indonesia sampai dengan Desember
159
Pembiayaan Kesehatan/AIDS 2015 Gambar 18. Jumlah klien di KTS/KTIP
dan HIV positif tahun 2007-2011
96 139
Gambar 6. Proporsi Kontribusi Gambar 13. Komponen dan
192
Pemerintah untuk Pencegahan Alur Layanan Kesehatan yang Gambar 19. Kerangka Konseptual
Terintegrasi Peran OMS dalam Penanggulangan
HIV dan AIDS
102
Gambar 7. Skema Pembiayaan
Program Pencegahan HIV dan AIDS
ix
D a ft a r A k r onim & S ingk atan
ADB Asian Development Bank DfID The Department KDS Kelompok Dukungan
ADD Alokasi Dana Desa for International Sebaya
Development Kemenkes Kementerian Kesehatan
AIDS Acquired
Immunodeficiency Dinkes Dinas Kesehatan Kepmenkes Keputusan Menteri
Syndrome Dinsos Dinas Sosial Kesehatan
AIPH The Australia–Indonesia DKAI Dana Kemitraan AIDS Kepres Keputusan Presiden
Partnership for HIV Indonesia KIA Kesehatan Ibu dan Anak
APBN/D Anggaran Pendapatan DKI Daerah Khusus Ibukota KIE Komunikasi, Informasi
dan Belanja Nasional/ Fasyankes Fasilitas dan Layanan dan Edukasi
Daerah Kesehatan KPA (N/P/D) Komisi Penanggulangan
ART Antiretroviral Treatment FHI Family Health AIDS (Nasional/Provinsi/
ARV Antiretroviral International Daerah)
AS Amerika Serikat FK Fakultas Kedokteran KPP Komunikasi Perubahan
ASA Aksi Stop AIDS FKTP Fasilitas Kesehatan Perilaku
BKKBN Badan Kependudukan GWL-INA Jaringan Gaya Warna KTP Kartu Tanda Penduduk
dan Keluarga Berencana Lentera - Indonesia KTS Konseling Tes Sukarela
Nasional HAART Highly Active LAJSS Layanan Jarum dan Alat
BLUD Badan Layanan Umum Antiretroviral Therapy Suntik Steril
Daerah HAM Hak Asasi Manusia Lapas Lembaga
BNN Badan Narkotika HAPP HIV/AIDS Prevention Pemasyarakatan
Nasional Program LASS Layanan Alat Suntik
BOK Bantuan Operasional HCPI The HIV Cooperation Steril
Kesehatan Program for Indonesia LBH Lembaga Bantuan
BP2KB Badan Pemberdayaan HIV Human Hukum
Perempuan dan Keluarga Immunodeficiency Virus LBT Lelaki Berisiko Tinggi
Berencana
HPTN HIV Prevention Trial LKB Layanan Komprehensif
BPJS Badan Penyelenggara Network dan Berkelanjutan
Jaminan Sosial
HR Harm Reduction LSL Lelaki berhubungan seks
BPS Badan Pusat Statistik dengan lelaki
ICA Investment Case Analysis
CATS Community Access to LSM Lembaga Swadaya
Treatment Services Study IDF Institutional Development
Framework Masyarakat
CCM Country Coordinating MDGs Millenium Development
Mechanism IHPCP Indonesia HIV/AIDS
Prevention and Care Goals
CFR Case Fatality Rate Project Mendagri Menteri Dalam Negeri
CSR Corporate Social IMS Infeksi Menular Seksual MK Manajer Kasus
Responsibility
IO Infeksi Oportunistik MMDP Majelis Masyarakat Desa
DAU Dana Alokasi Umum Pakaraman
IPF Indonesian Partnership
Depkes Departemen Kesehatan Fund Monev Monitoring dan Evaluasi
(sekarang menjadi
Kementerian Kesehatan) IU Implementing Unit MoU Memorandum of
JKN Jaminan Kesehatan Understanding
DFAT Department of Foreign
Affairs and Trade, Nasional MPI Mitra Pembangunan
Government of Australia K3 Keselamatan dan Internasional
Keamanan Kerja Musrenbang Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan
x
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
NAPZA Narkoba, Psikotropika PMTS Pencegahan Melalui SRAN Strategi dan Rencana
dan Zat Aditif lainnya Transmisi Seksual Aksi Nasional
NASA National AIDS Spending PNS Pegawai Negeri Sipil SRAN/D Strategi dan Rencana
Assessment PP Peraturan Pemerintah Aksi Nasional/Daerah
NGO Non-Government PPIA Pencegahan Penularan SSP Survei Surveilans
Organization Ibu dan Anak Perilaku
NU Nadhatul Ulama PPK Pusat Penelitian SSR Sub Sub-Recipient
OAT Obat Anti Tuberkulosis Kependudukan STBP Survei Terpadu Biologi
OBM Organisasi Berbasis PR Principal Recipient dan Perilaku
Masyarakat PSK Pekerja Seks Komersial Stranas Strategi nasional
OCAT Organizational Capacity PTRM Program Terapi Rumatan SUFA Strategic Use of ARV
Assessment Tool Metadon SUM Scaling Up For Most-At-
ODHA Orang dengan HIV dan Puskesmas Pusat Kesehatan Risk Populations
AIDS Masyarakat TB Tuberkulosis
OMS Organisasi Masyarakat Renja Rencana Kerja TNI Tentara Nasional
Sipil Indonesia
RI Republik Indonesia
OPSI Organisasi Perubahan UGM Universitas Gadjah Mada
Sosial Indonesia RKA Rencana Kerja dan
Akro n i m
Anggaran UHC Universal Health
Otsus Otonomi Khusus Coverage
RPJMD Rencana Pembangunan
P2 Pengendalian Penyakit Jangka Menengah UKM Upaya Kesehatan
PBB Perserikatan Bangsa- Daerah Masyarakat
Bangsa RS Rumah sakit UKP Upaya Kesehatan
PBR Perawatan Berbasis RSCM Rumah Sakit Cipto Perorangan
Rumah Mangunkusumo UN United Nations
PDP Perawatan, Dukungan RSU Rumah Sakit Umum UNAIDS Joint United Nations
dan Pengobatan Programme on HIV/AIDS
RSUD Rumah Sakit Umum
PELITA Pembangunan Lima Daerah UNGASS United Nations General
Tahun Assembly Special
RUK Rencana Usulan
Penasun Pengguna Napza Suntik Kegiatan Session
PEPFAR President’s Emergency Rutan Rumah Tahanan UNODC United Nations Office on
Plan for AIDS Relief Drugs and Crime
Satpol PP Satuan Polisi Pamong
Perda Peraturan Daerah Praja UPT Unit Pelaksana Teknis
Permendagri Peraturan Menteri Dalam SDKI Survei Demografi dan US United States
Negeri Kependudukan Indonesia USAID United States Agency
Permenkes Peraturan Menteri SDM Sumber Daya Manusia for International
Kesehatan Development
SIHA Sistem Informasi HIV dan
Permenkokesra Peraturan AIDS UU Undang-Undang
Menteri Koordinator WHO World Health
Kesejahteraan Rakyat SIMPUS Sistem Informasi
Manajemen Puskesmas Organization
Perpres Peaturan Presiden WPSL Wanita Pekerja Seks
SK Surat Keputusan
Perwakos Persatuan Waria Kota Langsung
Surabaya SKN Sistem Kesehatan
Nasional WPSTL Wanita Pekerja Seks
PKBI Perkumpulan Keluarga Tidak Langsung
Berencana Indonesia SKPD Satuan Kerja Perangkat
Daerah YMM Yayasan Mitra
PKNI Persaudaraan Korban Masyarakat
Napza Indonesia SOP Standard of Procedures
xi
xii
xiii
Pe n ga nt a r
Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia 2015-2019:
Kembali Ke Persoalan
Mendasar
xiv
I rwa nto, Ph .D .
Pe n ga nt a r
stigmatisasi dan diskriminasi. Prioritas (Perpres No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi
kesehatan di dunia banyak sekali, dari Penanggulangan AIDS Nasional [KPAN] serta
persoalan kesehatan dasar, pemenuhan Permenkokesra No. 33 Tahun 2013 tentang
gizi, dan masalah kesehatan lain terkait Tim Pelaksana KPAN). Kelompok yang
gaya hidup masyarakat (diabetes, kanker, tadinya tersingkir dari masyarakat, sekarang
adiksi, jantung, dll.). Dalam kontes mempunyai kedudukan yang setara, ruang
sumberdaya, tentu HIV dan AIDS tidak kerja yang sama, dan mempunyai kekuatan
memperoleh prioritas. Pembentukan komite yang sama dalam menentukan program dan
khusus secara global memungkinkan strategi nasional.
pengambilan keputusan yang lebih terfokus,
Langkah maju lainnya dalam
penggunaan sumberdaya yang lebih
penanggulangan epidemi HIV dan AIDS
efisien, dan pembangunan sumberdaya
adalah peranan organisasi berbasis
yang terarah dan memenuhi urgensi strategi
masyarakat diperkuat dengan tanggung
penanggulangannya.
jawab yang besar untuk mengelola program.
Komite khusus ini juga memungkinkan Melalui model pendanaan Global Fund,
mengatasi stigma dan diskriminasi secara organisasi berbasis masyarakat bermitra
head to head dengan berbagai pihak, disertai dengan pemerintah untuk bertanggung
dengan reformasi hukum positif. Dalam jawab atas keberhasilan mencapai tujuan
sejarah birokrasi di Indonesia dan dunia, yang dicanangkan dalam strategi nasional.
baru 10 tahun belakangan ini kelompok yang Mekanisme dialog, kontrol, dan kerjasama
distigma di masyarakat seperti homoseks, yang dibangun telah membuat hal ini
pelacur, dan pemakai narkoba diberi menjadi suatu yang “biasa”, yang normatif.
mandat hukum sebagai mitra pemerintah Perjuangan kesamaan hak dan kesempatan
xv
Pe n g a n tar
bagi kelompok marjinal, yang disebut kunci sebagai mitra pemerintah, bahkan
kelompok kunci, menjadi lebih mudah perlu diberikan akses ke Musyawarah
disuarakan. Subsidi pemerintah yang alot Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
perlahan mulai mengucur lantaran kelompok dan Badan Perencanaan Pembangunan
marjinal memperoleh representasi yang kuat Nasional (Bappenas). Ketika mandat
dalam komite khusus dan mampu berperan KPAN sebagai lembaga adhoc selesai,
sebagai kelompok pejuang dan penekan. maka kehadiran populasi kunci di dalam
Panitia Ahli dan Kelompok kerja (Pokja)
Ketika semuanya terasa sudah maju
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV-
seperti yang kita harapkan, ternyata ki
AIDS di Kemenkes merupakan upaya
ta belum memenuhi target Millenium
untuk mempertahankan mereka sebagai
Development Goals (MDGs). Semua pihak
mitra strategis pemerintah. Bagi populasi
berpikir keras, berbagai kajian dilakukan
kunci sendiri, Jika mereka dihadirkan dan
dan muncullah pendapat yang kuat bahwa
diberi mandat yang sama seperti pada
selama ini penanggulangan HIV dan AIDS
saat di KPAN, maka mereka akan mampu
belum berhasil memperkuat sistem kese
memperkaya dan memperkuat respons
hatan nasional karena hidup dan berkiprah
karena mereka akan terus berjuang
dalam telurnya sendiri. Kajian dalam laporan
“di dalam” untuk kesamaan hak dan
ini memberikan bukti empirik atas kenyataan
kesempatan. Kajian keterkaitan HIV dan AIDS
tersebut. Pendekatan kedaruratan harus
dengan hukum nasional menunjukkan masih
segera diakhiri dan kita masuk ke dalam
banyaknya hambatan hukum yang dialami
respons terhadap HIV dan AIDS sebagai pe
oleh kelompok kunci sehingga mereka masih
nyakit kronis (Praptoraharjo, dokumen ini).
berperilaku berisiko (Santika & Asa, 2013).
Berbagai persiapan telah dilakukan, Kajian ini didukung berbagai kajian nasional
mulai terbentuknya sistem informasi terpadu, maupun regional (Heywood & Budiharsono,
penggalangan para pakar dalam kelompok 2013; UNDP & UNFPA, 2015; PPH, 2016) dan
ahli dan kelompok kerja nasional, sampai memberi input yang sama bahwa selama
pengalihan yang pelan berbagai tanggung kelompok kunci termarjinalisasi, sehingga
jawab kunci KPAN kepada Kementerian tidak mungkin memperoleh rezeki dari
Kesehatan (Kemenkes). Sebagai juru kunci pekerjaan dalam arus utama masyarakat,
Sistem Kesehatan Nasional, Kemenkes maka tujuan bertahan hidup akan menjadi
harus siap menjalankan mandatnya motivasi utama dan menggiring mereka
merespons situasi HIV dan AIDS yang masih tetap berperilaku berisiko. Kegagalan dalam
menunjukkan peningkatan infeksi baru. menghapus stigma dan diskriminasi akan
menggagalkan tujuan meniadakan infeksi
Kemenkes diharapkan semua pihak
baru (zero new infection).
akan mampu mendobrak kebekuan birokrasi
yang lebih luas, sehingga semua lini Persoalan ini menjadi lebih krusial
dalam kebijakan pemerintah benar-benar beberapa bulan terakhir ketika terjadi reaksi
melangkah dalam irama dan nada yang fobia nasional terhadap kelompok Lesbian
sama demi mengatasi HIV dan AIDS. Untuk Gay Biseksual Transgender (LGBT) yang
itu, saya melihat beberapa unsur potensial dihembuskan oleh media massa secara
yang jika tidak ditangani dengan bijaksana, tidak bertanggung jawab. Jika stigma
akan menghambat upaya-upaya yang dan diskriminasi ini menguat kembali dan
diharapkan mendobrak respons yang tumpul. menjadi barrier kultural dan politik program
pencegahan HIV dan AIDS maka kita akan
Pertama, dan bagi saya adalah yang
kembali ke titik awal lagi (Irwanto, 2016).
utama – yaitu mempertahankan kelompok
xvi
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
Hal yang sama juga penting dilakukan dapat diakses oleh anggota masyarakat
terhadap komunitas umum, terutama yang miskin dan termarjinalisasi.
laki-laki, tatkala membicarakan kondom.
Keempat, kemampuan Kemenkes
Kondom sangat efektif mencegah penularan
mengakomodasi dan memberikan payung
HIV. Oleh karena itu, tugas Kemenkes
perlindungan bagi pegiat dan pekerja
adalah memastikan pandangan umum
berbasis komunitas yang telah terlatih. Ini
bahwa kondom hanya merupakan sarana
akan mengefisienkan biaya karena tidak
pencegahan kehamilan dan penularan
perlu biaya peningkatan kapasitas yang
penyakit, tidak ada hubungannya dengan
besar dan tidak tergantung dari lulusan
kesetiaan perkawinan atau perselingkuhan.
pendidikan profesional yang mahal. Tenaga-
Kerjasama dengan kementerian terkait
tenaga ini telah teruji dengan waktu dan
[terutama Kementerian Pendidikan Nasional
terbukti mempunyai dedikasi tinggi. Dengan
(Kemendiknas) dan Badan Koordinasi
berakhirnya model pembiayaan melalui
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)]
Global Fund nantinya, maka tenaga-tenaga
sangat diperlukan untuk mempromosikan
terlatih ini menjadi aset yang sangat
penggunaan kondom pada anak, remaja,
berharga untuk menjadi bagian dari sistem
dan pemuda serta pada laki-laki berisiko.
kesehatan nasional.
Informasi seks yang sehat, terlindungi, dan
bertanggung jawab perlu dapat diakses
oleh kaum muda. Lebih ideal jika terdapat
layanan informasi kesehatan reproduksi
untuk remaja dan pemuda yang kreatif dan D af t ar Pust aka
Heywood, P. & N. Budiharsana (2013). Institutional analysis
Pe n ga nt a r
inovatif.
of HIV Control Program in Indonesia. Monograf report
for NAC and HIV Cooperation Program for Indonesia.
Kedua, Kemenkes siap dan mampu
Irwanto (2016). Media dan Konspirasi. Harian KOMPAS, 27
melakukan leverage kebijakan untuk
Februari 2016.
mempertahankan dan memperluas program
Santika & S. Asa (2015), Kajian perundang-undangan
Harm Reduction, terutama dengan pihak nasional dalam rangka implementasi program HIV di
kepolisian dan Badan Narkotika Nasional Indonesia. Laporan untuk UNFPA dan KPAN.
(BNN). Infeksi HIV di komunitas pengguna PPH (2016), Survei Kualitas Hidup Waria. Laporan
Penelitian untuk UNDP. Jakarta: Pusat Penelitian HIV
napza suntik (penasun) memang mengalami dan AIDS, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya,
penurunan sangat signifikan, tetapi Jakarta.
komunitas ini masih menjadi penyumbang UNDP & UNFPA (2015), The Rights Evidence Sex work,
infeksi baru yang sangat besar. Kebijakan HIV and Violence in Asia. A Multy Country Qualitative
Study: Summary Report. Bangkok: UNDP, UNFPA,
yang menyebar rasa takut untuk berobat APNSW, CARAM.
atau mencari jalan keluar, merawat
serta memulihkan tubuh dari adiksi akan
menjadi faktor pemelihara perilaku berisiko
menggunakan jarum suntik.
Ketiga, Kemenkes melalui peraturan
menteri atau pengembangan Standard
of Procedures (SOP) kerja harus benar-
benar mampu menghapuskan stigma
dan diskriminasi dalam institusi layanan
kesehatan dan layanan lain yang relevan
(perlindungan sosial–BPJS). Layanan yang
tersedia harus bersifat inklusif, terutama
xvii
Ringkasan
Eksekutif
xviii
Laporan final penelitian ini merupakan kesehatan di Indonesia dan seberapa jauh
penutup dari rangkaian penelitian yang penanganan HIV dan AIDS telah terintegrasi
dimulai dan dilaksanakan oleh Pusat kedalamnya. Penelitian ini menjadi relevan
Kebijakan dan Manajemen Kesehatan karena sebenarnya konsep integrasi telah
(PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas dijadikan strategi utama oleh pemerintah
Gadjah Mada. Penelitian ini dilaksanakan untuk meningkatkan efektifitas penanganan
berdasarkan pemikiran bahwa respons HIV HIV dan AIDS termasuk pelibatan pemerintah
dan AIDS dinegara-negara berkembang daerah yang lebih besar.
sebenarnya merupakan bagian yang tidak
Penelitian yang dilaksanakan oleh
dapat dipisahkan dari dukungan Global
PKMK selama kurun waktu 2013 – 2015
Health Initiatives (GHI) yang memberikan
telah menghasilkan beberapa keluaran
dukungan teknis dan keuangan dalam
diantaranya: Tinjauan Pustaka, Penelitian
memperkuat sistem pelayanan kesehatan
Lapangan di delapan provinsi, Policy Brief
bagi penanganan epidemi HIV dan
dan Laporan Final. Secara keseluruhan,
AIDS. Sayangnya bagi beberapa negara
R i n g ka s a n
penelitian ini mencoba menjawab empat
berkembang dukungan GHI tersebut
pertanyaan substantif, yaitu (1) ‘mengapa
dianggap menggantikan peran pemerintah
integrasi dilakukan?’; (2) ‘apa yang
dalam penanganan HIV dan AIDS. Hal
diintegrasikan?’; (3) ‘bagaimana integrasi
ini berdampak pada munculnya sistem
bisa dilakukan?’; dan (4) ‘seperti apa model
pelayanan kesehatan paralel yang
integrasi yang diharapkan?’. Masing-masing
memisahkan pelayanan khusus untuk HIV
artikel dalam buku ini berupaya menjawab
dan AIDS (yang didanai oleh GHI) dengan
keempat pertanyaan tersebut dengan
pelayanan kesehatan lainnya yang didanai
fokus analisis pada tingkat kabupaten/
pemerintah. Akibatnya terdapat kesenjangan
kota yang mencakup (a) integrasi program
dan pemisahan sistem kesehatan yang
pencegahan; (b) pembiayaan program
mendorong pindahnya tenaga kesehatan ke
pencegahan; (c) integrasi program perawatan;
program-program penanganan HIV dan AIDS.
(d) inisiatif daerah dalam mengintegrasikan
Mempertimbangkan pentingnya program penanggulangan HIV dan AIDS;
keberlanjutan penanganan HIV dan AIDS (e) peran organisasi masyarakat sipil dalam
di Indonesia, yang masih menggantungkan penanggulangan HIV dan AIDS dan (f) model
pendanaan dari GHI, diperlukan pemahaman integrasi pada tingkat layanan primer.
yang lebih baik mengenai sejauh mana Analisis difokuskan pada tingkat kabupaten/
dukungan GHI ini telah memperkuat sistem kota dengan pertimbangan bahwa pelayanan
xix
R i n g k a s an Ek s e k utif
kesehatan merupakan urusan wajib yang menganalisa peran LSM dalam penanganan
diselenggarakan oleh pemerintah daerah HIV dan AIDS di Indonesia terutama karena
dalam rangka pemenuhan pelayanan dasar LSM telah cukup lama terlibat dan berhasil
bagi masyarakat. menjangkau kelompok-kelompok kunci
secara efektif.
Kegiatan penelitian ini melibatkan 9
universitas di 8 provinsi di Indonesia yaitu:
1. Universitas Cenderawasih (Uncen), Papua;
TEMUAN PENELITIAN
2. Universitas Papua (Unipa), Papua Barat; 3.
Universitas Nusa Cendana (Undana), Nusa Secara garis besar, semua bab di dalam
Tenggara Timur; 4. Universitas Udayana laporan ini sepakat bahwa hingga saat
(Unud), Bali; 5. Universitas Hasanuddin ini program-program penanganan HIV
(Unhas), Sulawesi Selatan; 6. Universitas dan AIDS masih bersifat vertikal dimana
Airlangga (Unair), Jawa Timur; 7. Universitas peran mitra pembangunan internasional
Katolik Atma Jaya, Jakarta dan 8. Pokdiksus sebagai bagian dari GHI, baik yang bekerja
Rumah Sakit Cipto Mangunkusmo, Jakarta; melalui pemerintah maupun LSM, masih
dan 9. Universitas Sumatera Utara (USU). mendominasi arah dan strategi penanganan
Pelibatan 9 universitas tersebut merupakan HIV dan AIDS di tingkat nasional dan daerah.
bagian dari upaya untuk membentuk Selain itu dengan keterbatasan kapasitas
Knowledge hub for HIV and AIDS. Melalui baik pada pemerintah maupun LSM di tingkat
knowledge hub tersebut telah lahir website pusat dan daerah berakibat pada terbatasnya
Kebijakan AIDS Indonesia dan Blended kemampuan dalam penanganan HIV dan
Learning serta Diskusi Kultural yang AIDS. Beberapa temuan kunci dari ketujuh
memberikan kesempatan bagi peneliti yang bab dalam laporan ini adalah sebagai berikut:
berkecimpung dalam dunia HIV dan AIDS dan
masyarakat secara umum untuk mempelajari
isu-isu terkait HIV dan AIDS. Mengapa Integrasi dilakukan? – Isu
persaingan dalam penanganan HIV dan AIDS
Laporan final ini merupakan kulminasi
di Indonesia
dari keseluruhan proses penelitian yang
menelaah tingkatan integrasi antara Penanggulangan HIV dan AIDS
penanganan HIV dan AIDS dan sistem merupakan arena persaingan antar pelaku
kesehatan serta dinamika proses kebijakan yang membawa prioritas, kepentingan dan
dan pendanaan oleh pemerintah. Laporan pendekatan yang berbeda-beda. Di dalam
final ini terdiri dari tujuh Bab dimana masing- arena tersebut terdapat dua isu persaingan
masing Bab ditulis secara terpisah. Tiga bab yang teridentifkasi yaitu: (1) Isu antara
pertama mendiskusikan isu-isu integrasi pendekatan vertikal yang bertumpu pada
dalam konteks pembuatan kebijakan dimana pengendalian teknis dari pusat, dengan
setiap bab menggambarkan alur pembahasan pendekatan horizontal yang bertumpu pada
mulai dari latar belakang, perkembangan, cara pikir multi sektoral dan terdesentralisasi;
kebijakan lain yang terkait, tantangan- dan (2) isu yang terkait dengan pelaksanaan
tantangan, serta analisa mengenai isu-isu program dimana pihak-pihak yang memiliki
pendanaan dan teknis baik ditingkat nasional sumberdaya besar bekerja berdasarkan
maupun daerah. Tiga bab berikutnya lebih pendekatan masing-masing. Kedua isu
mendalami isu-isu terkait penyediaan layanan tersebut merupakan tantangan tersendiri
serta langkah langkah pencegahan untuk HIV terhadap integrasi penanganan HIV dan AIDS
dan AIDS. Bab terakhir didedikasikan untuk kedalam sistem kesehatan karena pihak-pihak
xx
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
R i n g ka s a n
dan kelembagaan di daerah daripada
politik yang menentang program HIV
memecahkan permasalahan terkait dengan
dan AIDS telah menyulitkan pelaksanaan
pelaksanaan program HIV dan AIDS.
program PMTS. Contohnya, kebijakan dan
Terkait dengan program ARV, integrasi pelaksanaan penutupan lokalisasi di Surabaya
yang lebih tinggi terjadi pada tingkat layanan sebagai salah satu lokasi penelitian ini telah
seperti di Puskesmas, dan dinas kesehatan merugikan program PMTS didaerah tersebut.
kabupaten karena dalam sistem kesehatan
kedua institusi ini adalah ujung tombak
layanan kesehatan. Namun integrasi layanan Keberhasilan pelaksanaan integrasi: Program
pengobatan ARV tidak mengindikasikan ARV
bahwa kedua insititusi tersebut memiliki
Program ARV memperlihatkan hasil
kewenangan untuk mengelola program baik
yang menarik dimana cakupan programnya
dari segi teknis maupun administrasi. Hal ini
mencapai 80%, walau tidak sepenuhnya
terjadi karena perencanaan dan manajemen
terintegrasi kedalam sistem kesehatan.
program ARV telah ditentukan dari pusat,
Namun integrasi yang parsial dan hanya
sedangkan Puskesmas dan Dinkes hanya
terjadi di layanan kesehatan ini secara relatif
melaksanakan layanannya.
lebih baik dibandingkan dengan program
pencegahan HIV lainnya. Hal ini dapat
dipahami karena lebih banyak unsur yang
Sejauh mana integrasi sudah dilakukan? –
memudahkan integrasi ditemukan pada
Mengidentifikasi
layanan Puskesmas dan RSUD. Puskesmas dan
Pencegahan HIV melalui program Fasilitas dan Layanan Kesehatan (fasyankes)
Pencegahan Melalui Transmisi Seksual lainnya telah diarahkan unutk menjadi
(PMTS) untuk pekerja seks perempuan dan pusat layanan pengobatan dan perawatan.
xxi
R i n g k a s an Ek s e k utif
Namun dalam konteks pendanaan dan ini berarti bahwa integrasi penanggulangan
penyediaan obat dan peralatan medis, serta HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan
pengelolaan/manajemen informasi strategis perlu disesuaikan dengan kebutuhan
terkait program ARV tetap dibawah kendali pengguna layanan, kebutuhan organisasi
pemerintah pusat dan dilaksanakan secara penyedia layanan, situasi epidemi, dan sistem
paralel dengan sistem kesehatan. Penelitian kesehatan yang ada.
ini menganalisa bahwa keberhasilan capaian
80% cakupan pengobatan ARV adalah karena:
(1) perawatan dan pengobatan adalah fokus KESIMPULAN DAN REKOMENDASI AKHIR
sektor kesehatan saat ini; (2) pasien yang
Seluruh bab pada laporan ini tidak
memperoleh pengobatan ARV adalah mereka
hanya menggambarkan hambatan dan
yang telah mengikuti tes HIV di fasyankes
tantangan dalam upaya integrasi tetapi
tersebut sehingga lebih mudah untuk
juga memperlihatkan hal-hal penting yang
didorong untuk memperoleh perawatan dan
dapat dilaksanakan untuk mengoptimalkan
pengobatan; (3) dilain pihak, target perawatan
upaya integrasi kebijakan dan program
dan pengobatan ARV sebenarnya cukup
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
rendah karena penghitungannya hanya
sistem kesehatan. Beberapa hal yang
berdasarkan pada jumlah Orang dengan HIV
direkomendasikan dalam laporan ini dibuat
dan AIDS (ODHA) yang mengikuti tes HIV
dengan latar belakang situasi program yang
bukan pada jumlah ODHA yang sebenarnya
masih bergantung pada dukungan finansial
(fenomena gunung es).
dan teknis dari GHI. Rekomendasi utama
menyarankan integrasi sebagai strategi
yang tepat untuk meningkatkan efektivitas,
Belajar dari pelaksanaan PMTS
efisiensi, dan keberlanjutan program HIV
Model layanan terintegrasi seperti yang dan AIDS. Namun, hal penting yang perlu
terlihat pada program Pencegahan Melalui dipertimbangkan adalah tingkat integrasi
Transmisi Seksual (PMTS) di Puskesmas dan pada setiap level layanan/intervensi serta
RSUD direkomendasikan sebagai bentuk memastikan bentuk integrasi yang tepat.
ideal dari integrasi. Model PMTS tersebut
Hambatan dan tantangan utama biasanya
mencakup (1) pengadaan dan distribusi
terletak pada pendekatan solusi yang bersifat
kondom; (2) manajemen IMS termasuk
institusional, misalnya pembentukan institusi
sirkumsisi/sunat; (3) pencegahan berbasis
baru seperti KPAD dan aturan-aturan
pengobatan ARV termasuk perluasan tes HIV;
pemerintah terkait. Pada pelaksanaannya
(4) penguatan peran lintas sektor di tingkat
solusi yang bersifat institusional tersebut
layanan primer; (5) pendidikan kesehatan dan
terbentur oleh persaingan antar pelaku HIV
pemberdayaan komunitas. Setiap komponen
dan AIDS serta kebijakan yang cenderung
tersebut diperlengkapi dengan skenario
berdiri sendiri-sendiri dan beberapa
tingkat integrasi tertentu (coordinated, co-
diantaranya justru bertentangan. Laporan
located, integrated) yang disesuaikan dengan
ini merekomendasikan pendanaan yang
konteks dimana intervensi ini dilaksanakan.
lebih baik melalui sistem desentralisasi
Model yang direkomendasikan pada dasarnya
pemerintahan daerah serta dana Jaminan
tidak memandang integrasi sebagai sebuah
Kesehatan Nasional (JKN) sebagai sumber
tujuan, melainkan sebagai metode untuk
pendanaan utama untuk mengurangi
menghasilkan layanan yang mudah diakses,
ketergantungan pada dukungan donor. Untuk
berkeadilan, dan juga memenuhi kebutuhan
itu, memperbesar porsi peran pemerintah
dasar semua pihak, serta berkelanjutan. Hal
xxii
Kebijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
R i n g ka s a n
serta mensinkronkannya dengan dana-dana pemerintah daerah juga dapat memberikan
pusat. Proses ini akan memberikan solusi kontrak kerja kepada para LSM sesuai dengan
terpadu bagi pembiayaan program HIV dan bidangnya dan menumbuhkan kreatifitas LSM
AIDS di Indonesia. Selain itu, perlu diciptakan terkait untuk menjangkau komunitas yang
lingkungan yang lebih kondusif di daerah agar lebih tepat sasaran serta komunitas yang
penanganan HIV dan AIDS dapat terintegrasi termarginalisasi.
dengan penanganan penyakit menular
Pada akhirnya diperlukan kerjasama
lainnya.
lintas sektoral dan penguatan lembaga
Terkait dengan solusi langsung untuk pemerintah maupun non-pemerintah yang
pendanaan lokal, yang tentunya perlu ada untuk menentukan keberlanjutan
mendapat dukungan pemerintah pusat program – program penanganan HIV dan
misalnya penghasilan dari pajak makanan AIDS di Indonesia. Semua keterbatasan dan
dan minuman mengandung alkohol dan solusi yang telah dianalisa dan ditawarkan
mengandung unsur aditif dapat diterapkan dalam laporan ini dapat bermanfaat jika
dan pemanfaatannya langsung dikhususkan kemauan antara satu pemangku kepentingan
untuk penanganan HIV dan AIDS. Dana sosial dengan pemangku kepentingan lainnya dapat
perusahaan (CSR) dari industri terkait juga berkolaboraasi dan seluruh kegiatannya
direkomendasikan untuk dapat digunakan terfokus pada penanganan HIV dan AIDS
sebagai dana alternatif penanganan HIV yang lebih baik lagi setiap saat.
dan AIDS jika dikelola dengan baik dan
dikoordinasikan dengan pemerintah daerah
setempat. Namun semua itu membutuhkan
pendanaan silang antar sektor yang baik
dan perencanaan perkuatan SDM yang
xxiii
Pendahuluan
xxiv
Pengantar
Pe nda hu l u a n
Hingga Desember 2015, telah tersedia kebutuhan dari populasi kunci atau ODHA,
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) ternyata masih perlu penambahan jumlah
di 92 Rumah Sakit (RS), Pusat Kesehatan layanan. Selain itu, sebagian besar layanan
Masyarakat (PKM), rumah tahanan (Rutan)/ yang disebutkan di atas terkonsentrasi pada
lembaga pemasyarakatan (Lapas); Layanan daerah tertentu, terutama daerah yang
Jarum dan Alat Suntik Steril (LJASS) di 194 mendapat banyak kucuran dana dari MPI.
PKM dan Lembaga Swadaya Masyarakat Sebagai catatan, untuk PTRM dan LASS
(LSM); Layanan infeksi menular seksual (IMS) memang terkonsentrasi di kota-kota besar
di 1643 RS dan PKM; Layanan Konseling dan dengan jumlah penasunnya memang tinggi.
Tes HIV di 2221 tempat baik RS, PKM, LSM,
maupun Rutan/Lapas; Layanan Perawatan,
Dukungan dan Pengobatan (PDP) di 528 Meskipun perluasan respons melalui
RS Pengampu dan RS Satelit; dan Layanan kebijakan-kebijakan penanggulangan HIV
Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak dan AIDS yang dikembangkan di tingkat
(PPIA) di 261 RS dan PKM (Januari, 2016). pusat maupun daerah menghasilkan
Sebanyak 141 kabupaten/kota dari total 507 perubahan situasi epidemi dan pelayanan
kabupaten di 33 provinsi telah ditetapkan HIV yang berarti, yang ditunjukkan dengan
sebagai wilayah prioritas program, yang meningkatnya angka cakupan program
ditargetkan 80% populasi kunci yang serta peningkatan jumlah layanan HIV di
berada di berbagai wilayah tersebut bisa berbagai wilayah, tetapi perkembangan ini
dijangkau dan mengakses layanan HIV dan belum merata di beberapa wilayah dan jenis
AIDS yang tersedia (KPAN, 2015). Data yang intervensi yang dilakukan (World Health
menunjukkan jumlah layanan yang tersebar Organization, 2011). Upaya pencegahan,
di Indonesia bila dibandingkan dengan perawatan, dukungan dan pengobatan
1
Pe n d a h ul uan
tetap menjadi tantangan yang besar demi AIDS di Indonesia membantu mendorong
menurunkan insiden penularan HIV dan ketersediaan pendanaan program sehingga
meningkatkan kualitas hidup orang hidup mampu meningkatkan cakupan layanan
dengan HIV dan AIDS (ODHA). Hal ini dapat HIV dan AIDS. Saat ini, sekitar 60% biaya
dilihat dari masih tingginya perilaku berisiko penanggulangan HIV dan AIDS bersumber
dan prevalensi HIV di kalangan populasi dari dana hibah bilateral dan multilateral
kunci. Berdasarkan hasil Survei Terpadu (Nadjib, 2013). Harus diakui bahwa sebagian
Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011, besar proporsi yang telah disediakan MPI
prevalensi HIV pada kelompok populasi ini telah menginisiasi dan mendukung
kunci dilaporkan masing-masing sebagai perluasan respons penanggulangan HIV
berikut: penasun (pengguna Napza suntik) dan AIDS di berbagai wilayah di Indonesia,
42%, WPSL (Wanita Pekerja Seks Langsung) karena terbatasnya kapasitas pemerintah
10%, WPSTL (Wanita Pekerja Seks Tidak mengembangkan intervensi dalam skala
Langsung) 3%, waria 22%, dan LSL (Lelaki yang lebih luas.
berhubungan seks dengan lelaki) 8%.
Konsekuensi dari model pendanaan
Prevalensi ini tidak jauh berbeda dengan
seperti ini adalah penanggulangan HIV
hasil STBP tahun 2007, bahkan cenderung
dan AIDS cenderung dilaksanakan secara
meningkat dua hingga tiga kali lipat pada
vertikal dan sesuai dengan target dan fokus
populasi LSL (Kemenkes, 2012b). Tingginya
dari mitra pembangunan internasional
prevalensi HIV, terutama pada kelompok
(Dudley & Garner, 2011). Ini berarti bahwa
waria dan LSL, mengkhawatirkan karena
layanan HIV dikembangkan semata-mata
sebagian besar (81%) dari waria dan hampir
untuk memenuhi kebutuhan khusus HIV,
setengah (49%) LSL adalah pekerja seks
dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
(Kemenkes, 2012b). Sementara kesenjangan
yang secara khusus melakukan pelayanan
dalam tahap-tahap perawatan HIV
HIV. Pelaksanaan layanan ini disertai
(cascade of care) juga masih menunjukkan
perencanaan mobilisasi sumber daya
kesenjangan yang cukup besar (Kemenkes,
yang terpusat, supervisi yang ketat baik
2016). Permasalahan stigma dan diskriminasi
teknis maupun administratif, monitoring
juga masih dialami oleh ODHA baik di
dan evaluasi yang sentralistik, juga sistem
masyarakat maupun di layanan kesehatan
pengadaan yang ditangani langsung oleh
(Butt, 2005; Jothi & BPS, 2010; Spritia, 2005).
pusat.
Kecenderungan pengembangan
Respons Penanggulangan HIV intervensi vertikal ini tak bisa dilepaskan
& AIDS dan Inisiatif Kesehatan dari sistem kesehatan yang berlaku, di
mana sistem kesehatan yang lemah akan
Global ‘memaksa’ program HIV dilaksanakan secara
vertikal untuk memastikan keberhasilan
Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
dari dana yang diinvestasikan di wilayah
tidak dapat dipisahkan dari inisiatif
atau negara tersebut, misalnya di Indonesia,
kesehatan global yang disokong berbagai
Nepal, Laos, atau Papua Nugini (Conseil,
program dan skema pendanaan tersendiri
Mounier-Jack, Rudge, & Coker, 2013; Desai,
(misalnya Global Fund [GF], bantuan
Rudge, Adisasmito, Mounier-Jack, & Coker,
dari pemerintah Amerika Serikat melalui
2010; Rudge, Phuanakoonon, Nema,
USAID dan pemerintah Australia melalui
Mounier-jack, & Coker, 2010; Shrestha
DFAT, dll). Kehadiran inisiatif kesehatan
& Tragard, 2010). Dengan demikian,
global melalui program yang didukungnya
penanggulangan HIV dan AIDS cenderung
sejak awal penanggulangan HIV dan
2
I g n ati u s P rap to raharj o
Pe nda hu l u a n
2010b; Atun, Lazarus, Van Damme, & Coker, Upaya menyikapi berbagai konsekuensi
2010; A. Conseil, Mounier-Jack, & Coker, negatif pendekatan vertikal dan kebutuhan
2010; Kawonga, Fonn, & Blaauw, 2013; Yu, untuk memperkuat kepemilikan pemerintah
Souteyrand, Banda, Kaufman, & Perriëns, negara penerima bantuan terhadap
2008). Dengan demikian, berbagai hasil inisiatif-inisiatif yang telah dilakukan oleh
yang impresif dalam jangka panjang mitra pembangunan internasional adalah
tampaknya cenderung tidak memberikan dengan mendorong terjadinya integrasi dari
dampak yang positif terhadap sistem intervensi vertikal ke dalam sistem kesehatan
kesehatan yang lemah. Hal ini terjadi, yang ada dan memberikan perhatian yang
khususnya di negara-negara berkembang, lebih pada kontribusi intervensi spesifik
karena hasil-hasil impresif ini hanya bagi penguatan sistem kesehatan (Atun &
akan bertahan selama inisiatif dari mitra Kazatchkine, 2009; Olmen et al., 2012).
pembangunan internasional ini berada di
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
negara yang menjadi penerima bantuan
integrasi penanggulangan penyakit tertentu
(Biesma, Harmer, Walsh, Spicer, & Walt, 2009;
ke dalam sistem kesehatan memiliki dampak
Yu et al., 2008).
positif terhadap keberlanjutan dan efektivitas
Selain itu konsekuensi lebih jauh intervensi dan memperkuat sistem kesehatan
atas berkembangnya intervensi vertikal yang ada (Grépin, 2011; Kawonga, Blaauw,
adalah adanya kecenderungan layanan & Fonn, 2012; Maher, 2010; Shigayeva,
kesehatan di negara-negara tersebut Atun, Mckee, & Coker, 2010). Sebaliknya,
menjadi terfragmentasi (Dudley & Garner, sejumlah bukti juga menunjukkan bahwa
2011). Sementara dari sisi pendanaan, dalam konteks negara yang memiliki sistem
bantuan dari MPI membuat pemerintah tidak kesehatan yang kurang kuat, integrasi
mengalokasikan dana kesehatan untuk dengan sistem kesehatan justru akan
penanggulangan HIV dan AIDS, melainkan membahayakan, baik bagi intervensi spesifik
3
Pe n d a h ul uan
maupun bagi sistem kesehatan yang ada, kesehatan meningkatkan status kesehatan
karena sumber daya yang ada lantas secara keseluruhan, kepuasan pengguna,
dialokasikan untuk memperkuat upaya dan kenyamanan bagi semua pihak,
kesehatan yang lain. Sebaliknya, integrasi khususnya para peserta/penerima manfaat/
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam keluarga yang dilayani.
sistem kesehatan juga berimplikasi terhadap
Oleh karena integrasi menyangkut
adanya alokasi pendanaan untuk HIV dan
paling tidak dua kepentingan, yaitu ke
AIDS yang berasal dari pemerintah harus
pentingan program penanggulangan
bersaing dengan pendanaan bagi penyakit
HIV dan AIDS dan kepentingan sistem
yang lain (Dudley & Garner, 2011; Godwin &
kesehatan, maka seberapa jauh tingkat
Dickinson, 2012).
integrasi yang bisa dicapai akan sangat
Konsep integrasi ini telah didefinisikan tergantung pada (1) karakteristik dari
secara berbeda oleh berbagai peneliti permasalahan HIV dan AIDS; (2) interaksi
sesuai dengan konteks penelitiannya berbagai pelaku dalam lingkup sistem
masing-masing. Akibatnya, ada berbagai kesehatan dan penanggulangan HIV dan
pemahaman dan definisi mengenai AIDS; (3) implementasi fungsi-fungsi sistem
integrasi (Atun, Jongh, Secci, Ohiri, & Adeyi, kesehatan dan interaksinya antara satu
2010a; Coker et al., 2010; Grépin, 2011; dengan yang lain; (4) faktor lingkungan
Olmen et al., 2012; Shigayeva et al., 2010). yang mencakup konteks politik, ekonomi,
Pemahaman yang beragam tentang konsep hukum dan regulasi di mana sistem kese
integrasi telah membatasi analisis empiris hatan dan penanggulangan HIV dan AIDS
atas integrasi di dalam sistem kesehatan, berlangsung (Atun, Jongh, et al., 2010b;
terutama dalam konteks analisis komparatif. Coker et al., 2010). Secara substantif,
Dalam kajian sistematik mereka, Shigayeva Shigayeva et al, (2010) merekomendasikan
et al. (2010) mengidentifikasi bahwa bahwa ada tiga pertanyaan dasar yang bisa
konsep integrasi secara intrinsik terkait digunakan untuk melihat tingkat integrasi
dengan gagasan kerja sama, kemitraan, dan mekanisme integrasi yaitu (1) ‘mengapa
kolaborasi, perawatan yang terkoordinasi integrasi dilakukan?’ Pertanyaan ini merujuk
dan berkelanjutan, keselarasan, dan pada rasionalisasi atas pentingnya integrasi
jaringan. Mirip dengan simpulan Shigayeva dilakukan dan tujuan yang diharapkan
pada istilah ‘integrasi’, Coker et al. (2010) dari integrasi tersebut; (2) ‘apa yang diinte
mendefinisikan istilah integrasi sebagai grasikan?’ Pertanyaan ini merujuk pada
spektrum pengaturan organisasi yang fungsi-fungsi sistem kesehatan yang bisa
terkait dengan pendanaan, administrasi, diintegrasikan (tata kelola, pembiayaan,
pengorganisasian, pelayanan, dan skenario sumber daya, logistik, informasi strategis dan
klinis yang dirancang untuk menciptakan partipasi masyarakat); dan (3) ‘bagaimana
konektivitas, keselarasan, dan kolaborasi. integrasi bisa dilakukan?’ Pertanyaan ini
pada dasarnya ingin mengidentifikasi
Dari sisi manfaat, integrasi yang lebih
bagaimana interaksi antar pemangku
tinggi ke dalam sistem kesehatan akan
kepentingan dalam sistem kesehatan dan
memungkinkan terjadinya pengurangan
penanggulangan HIV dan AIDS dalam
fragmentasi, penghematan melalui
menegosiasikan kepentingannya.
penggabungan pendanaan, meningkatkan
upaya/sumber daya (Atun, Jongh, et al., Tujuan dari integrasi penanggulangan
2010a), dan penggabungan keahlian. Oleh HIV dan AIDS ke dalam sistem kese
karena itu, tingkat integrasi yang lebih tinggi hatan adalah untuk memperkuat efek
akan mengarah kepada kemampuan sistem tivitas, efisiensi, dan keberlanjutan dari
4
I g n ati u s P rap to raharj o
Pe nda hu l u a n
ini belum ada kesimpulan yang
jack, & Coker, 2010). Sementara terhadap pasti tentang dampak integrasi
itu, Coker et al. (2010) lebih efektivitas intervensi spesifik ke dalam
menyoroti bahwa mekanisme
penanggulangan sistem kesehatan terhadap
yang memungkinkan intervensi
HIV dan AIDS.” status kesehatan masyarakat
agar berdampak pada efektivitas
karena studi yang ada masih
dan keberlanjutan adalah
terbatas pada lingkup integrasi
melalui bekerjanya fungsi sistem
dan terbatasnya metodologi
kesehatan yang mencakup (1)
yang memadai (lihat Coker et
pengawasan dan tata kelola; (2)
al., 2010; Dudley & Garner, 2011;
pembiayaan; (3) perencanaan;
Kawonga et al., 2012; Olmen
(4) pemberian layanan; (5)
et al., 2012; Sweeney et al.,
monitoring dan evaluasi; dan
2012). Oleh karena itu, menjadi
(6) mendorong munculnya
penting untuk menguji secara
permintaan.
substantif dan metodologis
Secara empirik, integrasi, keterkaitan antara integrasi
sebagai bentuk adopsi dan dan kontribusinya terhadap
asimilasi intervensi tertentu efektivitas dan keberlanjutan
ke dalam fungsi dasar dari intervensi spesifik, seperti halnya
sistem kesehatan, dapat penanggulangan HIV dan AIDS.
tecermin dalam pengintegrasian Secara metodologis, Olmen
layanan spesifik HIV dan AIDS (2012) merekomendasikan
ke dalam layanan kesehatan perlu desain dan metodologi
umum, keterlibatan antar yang kuat dalam penelitian
program dan sektor lain tentang integrasi dan efektivitas.
dalam penanggulangan HIV
5
Pe n d a h ul uan
Bahkan jika memungkinkan dengan kelom buku ini secara substantif mencoba men
pok intervensi dan kontrol, untuk melihat jawab empat pertanyaan dasar dalam me
kejelasan dan keutuhan dari definisi lakukan analisis integrasi intervensi spesifik
integrasi, karena selama ini integrasi di ke dalam sistem kesehatan: (1) ‘mengapa
maknai secara bebas oleh para peneliti. integrasi dilakukan?’; (2) ‘apa yang
Penting untuk menunjukkan secara jelas diintegrasikan?’; (3) ‘bagaimana integrasi
hasil yang diharapkan dari integrasi, oleh bisa dilakukan?’ dan (4) ‘model integrasi
karena itu, perlu penelitian jangka panjang seperti apa yang diperlukan?’
sehingga berbagai dampak yang mungkin
Buku ini menyajikan pokok-pokok hasil
dihasilkan dari proses integrasi ini bisa
penelitian yang diharapkan bisa menjadi
dideteksi.
dasar merekomendasikan kebijakan pe
Dengan melihat mitra pembangunan merintah untuk memperkuat integrasi
internasional sebagai pemain utama penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sistem kesehatan. Bagi mitra pembangunan
melalui penyediaan dana besar, maka internasional, hasil-hasil penelitian ini
penting menelisik seberapa jauh pro bisa digunakan untuk menyesuaikan
gram penanggulangan HIV dan AIDS ini dukungannya dalam memperkuat sistem
terintegrasi ke dalam sistem kesehatan atau kesehatan agar lebih maksimal menanggapi
telah mampu memperkuat sistem kese permasalahan HIV dan AIDS di Indonesia.
hatan. Ini menjadi sangat relevan karena Sementara bagi organisasi masyarakat sipil
pemerintah telah menjadikan integrasi ke atau organisasi komunitas yang terdampak
dalam sistem kesehatan sebagai strategi dengan HIV dan AIDS, hasil penelitian ini
utama peningkatan efektivitas program, diharapkan bisa menjadi referensi atas
dengan pelibatan pemerintah daerah yang peran-peran yang bisa dimainkan dalam
lebih besar dan menjamin keberlanjutan penanggulangan HIV dan AIDS, khususnya
program pasca semakin berkurangnya untuk meningkatkan efektivitas program
dukungan dari mitra pembangunan inte penanggulangan serta keberlanjutan peran
rnasional (KPAN, 2015). Untuk memahami mereka di masa yang akan datang.
seberapa jauh tingkat integrasi penang
gulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem
kesehatan, penting pula memahami berbagai
permasalahan yang relevan dengan proses D a f t ar Pust aka
integrasi yang terjadi, serta seberapa jauh Atun, R., & Bataringaya, J. (2011). “Building a Durable
upaya ini berkontribusi terhadap efektivitas Response to HIV / AIDS : Implications for Health
Systems”. J Acquir Immune Defic Syndr, 57, 91–95.
penanggulangan HIV dan AIDS.
Atun, R., Jongh, T. De, Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O.
Buku ini pada dasarnya disusun ber (2010a). “A systematic review of the evidence on
integration of targeted health interventions into health
dasarkan hasil penelitian Pusat Kebijakan
systems”. Health Policy and Planning, (December
dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas 2009), 1–14. http://doi.org/10.1093/heapol/czp053
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Atun, R., Jongh, T. De, Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O.
(UGM) selama kurun waktu 2013-2015, (2010b). “Integration of targeted health interventions
into health systems : a conceptual framework for
yang bertujuan memetakan berbagai ke
analysis”. Health Policy and Planning, (November
bijakan dan program HIV dan AIDS, dan 2009), 104–111. http://doi.org/10.1093/heapol/czp055
implementasinya dalam kerangka integrasi Atun, R., & Kazatchkine, M. (2009). “Promoting country
dengan sistem kesehatan serta implikasinya ownership and stewardship of health programs: The
global fund experience”. Journal of Acquired Immune
terhadap efektivitas penanggulangan HIV
Deficiency Syndromes (1999), 52 Suppl 1, S67–S68.
dan AIDS. Semua artikel yang ada dalam http://doi.org/10.1097/QAI.0b013e3181bbcd58
6
I g n ati u s P rap to raharj o
Atun, R., Lazarus, J. V, Van Damme, W., & Coker, R. (2010). Central, 10, 2. http://doi.org/10.1186/1478-4505-10-2
“Interactions between critical health system functions Kawonga, M., Fonn, S., & Blaauw, D. (2013). “Administrative
and HIV/AIDS, tuberculosis and malaria programmes”. integration of vertical HIV monitoring and evaluation
Health Policy and Planning, 25 Suppl 1, i1–3. http://doi. into health systems: a case study from South Africa”.
org/10.1093/heapol/czq062 Global Health Action, 6, 19252.
Biesma, R. G., Harmer, A., Walsh, A., Spicer, N., & Walt, G. Kemenkes RI. (2016). Situasi Penanggulangan AIDS di
(2009). “The effects of global health initiatives on Indonesia, Laporan triwulan IV 2015
country health systems : a review of the evidence
from HIV / AIDS control”, 239–252. http://doi. KPA, (2015), Draf Strategi dan Rencana Aksi Nasional
org/10.1093/heapol/czp025 Penanggulangan AIDS 2015-2019
Butt, L. (2005). “‘Lipstick Girls’ and ‘Fallen Women’: AIDS Maher, D. (2010). “Re-thinking global health sector
and Conspiratorial Thinking in Papua, Indonesia”. efforts for HIV and tuberculosis epidemic control:
Cultural Anthropology, 20, 412–442. http://doi. promoting integration of programme activities within a
org/10.1525/can.2005.20.3.412 strengthened health system”. BMC Public Health, 10,
394. http://doi.org/10.1186/1471-2458-10-394
Coker, R., Balen, J., Mounier-jack, S., Shigayeva, A.,
Lazarus, J. V, Rudge, J. W., … Atun, R. (2010). “A Olmen, J. Van, Criel, B., Bhojani, U., Marchal, B., Belle, S.
conceptual and analytical approach to comparative Van, Chenge, M. F., … Kegels, G. (2012). “The Health
analysis of country case studies : HIV and TB control System Dynamics Framework: The introduction of an
programmes and health systems integration”. Health analytical model for health system analysis and its
Policy and Planning, 25, 21–31. http://doi.org/10.1093/ application to two case-studies”. Health, Culture and
heapol/czq054 Society. http://doi.org/10.5195/hcs.2012.71
Conseil, a, Mounier-Jack, S., Rudge, J. W., & Coker, R. Rasschaert, F., Philips, M., Van Leemput, L., Assefa, Y.,
(2013). “Assessing the effects of HIV/AIDS and TB Schouten, E., & Van Damme, W. (2011). “Tackling
disease control programmes on health systems in Health Workforce Shortages During Antiretroviral
low- and middle-income countries of Southeast Asia: Treatment Scale-up-Experiences From Ethiopia and
a semi-systematic review of the literature”. Public Malawi”. Journal of Acquired Immune Deficiency
Health, 127(12), 1063–73. http://doi.org/10.1016/j. Syndromes (1999), 57 Suppl 2, S109–S112. http://doi.
puhe.2013.09.013 org/10.1097/QAI.0b013e31821f9b69
Pe nda hu l u a n
Conseil, A., Mounier-Jack, S., & Coker, R. (2010). Rudge, J. W., Phuanakoonon, S., Nema, K. H., Mounier-
“Integration of health systems and priority health jack, S., & Coker, R. (2010). “Critical interactions
interventions: a case study of the integration of HIV between Global Fund-supported programmes and
and TB control programmes into the general health health systems: a case study in Papua New Guinea”.
system in Vietnam”. Health Policy and Planning, 25 Health Policy and Planning, 25, 48–52. http://doi.
Suppl 1, i32–36. http://doi.org/10.1093/heapol/czq055 org/10.1093/heapol/czq058
Desai, M., Rudge, J. W., Adisasmito, W., Mounier-Jack, S., & Shigayeva, A., Atun, R., Mckee, M., & Coker, R. (2010).
Coker, R. (2010). “Critical interactions between Global Health systems , communicable diseases and
Fund-supported programmes and health systems: a integration. Health Policy and Planning, 25, 4–20.
case study in Indonesia”. Health Policy and Planning, http://doi.org/10.1093/heapol/czq060
25 Suppl 1, i43–47. http://doi.org/10.1093/heapol/ Shrestha, I. B., & Tragard, A. (2010). “System-wide effects
czq057 of Global Fund investments in Nepal”. Health Policy
Dudley, L., & Garner, P. (2011). “Strategies for integrating and Planning, 25, 58–62. http://doi.org/10.1093/
primary health services in low- and middle-income heapol/czq061
countries at the point of delivery”. The Cochrane Sweeney, S., Obure, C. D., Maier, C. B., Greener, R.,
Database of Systematic Reviews, (7), CD003318. http:// Dehne, K., & Vassall, A. (2012). “Costs and efficiency
doi.org/10.1002/14651858.CD003318.pub3 of integrating HIV/AIDS services with other health
Godwin, P., & Dickinson, C. (2012). “HIV in Asia- services: a systematic review of evidence and
Transforming the agenda for 2012 and beyond. Final experience”. Sexually Transmitted Infections, 88(2),
Report,” AusAid Health Resource Facility, (June). 85–99. http://doi.org/10.1136/sextrans-2011-050199
Retrieved from http://www.dfat.gov.au/about-us/ Tudor Car, L., Brusamento, S., Elmoniry, H., van Velthoven,
publications/Documents/hiv-strategic-assessment- M. H. M. M. T., Pape, U. J., Welch, V., … Atun, R. (2013).
report.pdf “The Uptake of Integrated Perinatal Prevention
Grépin, K. A. (2011). “Leveraging HIV Programs to Deliver of Mother-to-Child HIV Transmission Programs in
an Integrated Package of Health Services: Some Low- and Middle-Income Countries: A Systematic
Words of Caution.” Journal of Acquired Immune Review”. PLoS ONE. http://doi.org/10.1371/journal.
Deficiency Syndromes (1999), 57 Suppl 2, S77–S79. pone.0056550
http://doi.org/10.1097/QAI.0b013e31821f6afa Yu, D., Souteyrand, Y., Banda, M. a, Kaufman, J., & Perriëns,
Kawonga, M., Blaauw, D., & Fonn, S. (2012). “Aligning J. H. (2008). Investment in HIV/AIDS programs: does
vertical interventions to health systems: a case study it help strengthen health systems in developing
of the HIV monitoring and evaluation system in South countries?”. Globalization and Health, 4, 8. http://doi.
Africa”. Health Research Policy and Systems / BioMed org/10.1186/1744-8603-4-8
7
01
Tinjauan Historis
Kebijakan & Program
Penanggulangan
HIV & AIDS
di Indonesia
8
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
A.
Pendahuluan
Dari sisi kebijakan, pemerintah pusat seks tidak aman (KPAN, 2010). Di tingkat 01
dan daerah telah mengeluarkan berbagai populasi, prevalensi HIV pada populasi kunci
kebijakan, baik yang sifatnya normatif masih tinggi, sebesar 42% untuk penasun,
(Keputusan Presiden No. 36/1996 tentang waria pekerja seks (22%), perempuan pekerja
pembentukan KPAN, dan beberapa seks langsung 10%, perempuan pekerja
Perda HIV dan AIDS di berbagai daerah) seks tidak langsung 3%, dan lelaki yang
maupun yang berniat menjadi terobosan1 berhubungan seks dengan lelaki (LSL) 3%
regulasi, seperti Keppres No. 75/2006 (Kemenkes RI, 2013).
yang merevitalisasi kewenangan KPAN,
Di sisi lain, potensi penularan HIV di
Permenkes No. 567/2006 dan Permenko
Indonesia masih sangat tinggi, mengingat
Kesra No. 2/2007 tentang distribusi jarum
besarnya populasi yang berisiko (sekitar
suntik.
8,7 juta orang estimasi populasi kunci)2
Respons berbagai pihak tampaknya dan perilaku mereka yang masih berisiko
belum cukup membantu pencapaian target tinggi di mana pemakaian kondom secara
pemerintah untuk penanggulangan HIV dan konsisten dalam seks komersial masih
AIDS tahun 2014, yaitu pencegahan 294,000 rendah (32%) dan satu dari tiga penasun
infeksi baru, terjangkaunya 80% populasi masih berbagi jarum (STBP 2007). Selain
kunci dengan program komprehensif, dan itu di tingkat populasi umum, dalam hal
60% pemakaian kondom pada hubungan ini orang muda (usia 15-24 tahun), tingkat
pemahaman yang komprehensif mengenai
1) Keppres no. 75/2006 adalah mengubah struktural KPA
yang berada di Kemenkokesra yang bertanggung jawab
HIV dan AIDS masih rendah, yaitu 20.7%.
langsung ke Presiden. Sementara regulasi untuk distribusi Selain tingginya populasi rawan penularan,
jarum suntik termasuk kebijakan yang cukup kontroversial
di awal penerapannya di Indonesia. 2) Estimasi Kementerian Kesehatan 2012.
9
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
DKI
39.347
Jateng Bali
12.835 12.216
Jabar Jatim
17.679 24.916
10
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
Sulsel Papua
5.303 20.859
01
11
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
12
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
13
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
14
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
15
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
16
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
risiko, merupakan rujukan yang digunakan “apakah manusia bebas untuk memilih
untuk membangun sebuah pemahaman yang bagaimana berpikir dan bertindak, ataukah
menyeluruh tentang dampak dan efektivitas sebenarnya ada kekuatan di luar mereka
program pendidikan HIV dan AIDS yang ada. yang mengatur cara berpikir dan bertindak
Konstruksi penanggulangan HIV dan AIDS mereka?” (Nugroho, K. 2008). Implikasi
di Indonesia menggunakan dasar konsep kebijakan dari masing-masing pendekatan di
‘perilaku berisiko’ yang cukup rigid sehingga atas akan berbeda. Jika manusia dianggap
mengalami banyak tantangan dalam bebas memilih, maka cara mengurangi
konteks sosial dan budaya yang mendorong perilaku berisiko HIV adalah menyerahkan
munculnya stigma dan diskriminasi terkait kepada populasi kunci dengan cara
dengan HIV dan AIDS. Contohnya dapat kita memberikan bekal yang cukup (pengetahuan
lihat pada program promosi dan pencegahan dan ketrampilan) untuk mampu mengambil
menggunakan kondom dalam hubungan keputusan. Pendekatan yang kedua akan
seks berisiko. Studi-studi ini melihat bahwa berfokus pada variabel di luar individu yang
terdapat kesenjangan antara konsep ‘risiko’ dianggap mampu mempengaruhi tindakan
pada pelaksana program dengan kelompok individu.
yang menjadi ‘target’ program.
Secara umum, studi-studi di atas dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama adalah studi etik
yang mengaitkan tingginya risiko suatu
C.
populasi terhadap IMS/HIV dengan Kebijakan Tata Kelola
karakteristik individu (persepsi, konsepsi
dan pengetahuan). Studi-studi dengan Regulasi dan Manajemen 01
pendekatan etik yang mencoba melihat Program Penanggulangan HIV
subjective meaning perilaku berisiko dari dan AIDS
sudut pelaku juga sering terjebak dalam
model penjelasan yang masih mengaitkan Sejak 1987 sampai 2013 terdapat 10 kebijak
antara perilaku berisiko dengan kurangnya an internasional, 66 kebijakan nasional, dan
pengetahuan dan nilai-nilai yang diberikan 55 perda (17 Perda Provinsi dan 38 Perda
subjek dalam tindakannya. Kelompok yang Kabupaten/Kota) terkait HIV dan AIDS. Seca
kedua adalah studi yang melihat pengaruh ra garis besar, pembuatan kebijakan HIV dan
struktural (setidaknya struktur sosial dalam AIDS semakin diperkuat dan dipertajam agar
populasi sasaran) kepada perilaku anggota- dapat merespons kondisi sosial politik yang
anggotanya dan menyarankan bahwa sudah berubah dari peralihan era Orde Baru
perilaku berisiko itu adalah produk situasi (1987-1998) yang sentralistik ke era otonomi
struktural. Studi-studi di atas menempatkan yang desentralistik (1999-2013). Kebijakan
dirinya dalam posisi yang saling HIV dan AIDS yang ada kebanyakan bersifat
berhadapan. Kelompok studi yang pertama teknis terkait pengobatan dan perawatan,
menekankan peran individu dalam kontrol misalnya melalui program antiretroviral
terhadap perilaku berisiko, sedangkan treatment (ART). Di sisi yang lain, kebijakan
kelompok kedua adalah sebaliknya, melihat HIV dan AIDS di daerah belum mengikuti
perilaku berisiko sebagai produk struktural. perubahan tata kelola pemerintahan yang
desentralistik, sehingga program penang
Dua pandangan di atas mencerminkan gulangan HIV dan AIDS di daerah belum
inti dari perdebatan tentang agensi (agency) mampu menjawab permasalahan setempat.
dan struktur, yaitu pertanyaan tentang Hal ini ditunjukkan dengan masih minimnya
17
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
18
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
19
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
Pemerintah
Pemerintah
MPI
MPI
% % % %
Insentif untuk 1.545.311 16.09 8.059.063 83.91 1.252.748 11.77 9.392.122 88.23
SDM
20
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
30.000.000
25.000.000
20.000.000
15.000.000
10.000.000
5.000.000
01
Sumber: Laporan NASA 2013
penyumbang terbesar) dengan dana APBN berasal dari MPI, dana APBN dan APBD.
dan APBD dapat dilihat pada gambar 2. Pada tahun 2012, pendanaan dari MPI
yang berhasil dicatat dalam NASA (2013),
Bila melihatnya dalam konteks yang
mayoritas (49.57%) dari dana multinasional
lebih kecil, yaitu program yang lebih spesifik,
(GF), Australia (32.89%), Amerika Serikat
misalnya pada struktur pembiayaan program
(11.42%), Belanda (0.38%), Badan PBB (5.63%),
harm reduction (HR), secara keseluruhan
dan World Bank (0.11%).
pembiayaan HR bersumber dari:
Pemerintah menyadari sepenuhnya
a. Bilateral funding (2009: 1,194 juta USD;
bahwa pendanaan dari MPI bukanlah
2010: 1,437 juta USD)
sumber dana yang berkelanjutan,
b. Multilateral funding (2009: 193 juta
meskipun di satu sisi ketergantungan akan
USD; 2010: 228 juta USD)
pendanaan dari luar negeri masih tinggi.
c. APBN dan APBD (2009: 173 juta USD;
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia
2010: 68.7 juta USD).
telah menyiapkan kebijakan “exit strategy”,
Secara rutin KPAN telah melakukan salah satunya adalah Keputusan Dirjen
analisis tentang pembiayaan untuk P2PL selaku pimpinan Principal Recipient
penanggulangan HIV dan AIDS berdasarkan hibah GF-ATM No. HK.03.05/D/I.4/532/2012
sumber-sumber pendanaan, baik yang tentang Pedoman Exit Strategi dana hibah
21
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
GF-ATM. Tapi pedoman tersebut kembali Pada tingkat daerah, ada 19 provinsi dan
dihadapkan pada implementasinya. Meski 73 kabupaten/kota yang menganggarkan
ada regulasi seperti ini, tampaknya upaya dana penanggulangan HIV dan AIDS
merealisasikan exit strategy ini belum bisa pada tahun 2006. Tahun 2010 kemudian
diwujudkan hingga tahun ini, karena dana meningkat menjadi 33 provinsi dan 166
penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2014 kabupaten/kota (KPAN, 2011). Namun
turun cukup signifikan, khususnya untuk biasanya rencana pendanaan masih jauh
pengadaan obat ARV yang selama ini dari kebutuhan program. Permendagri yang
seluruhnya ditanggung oleh APBN. dikeluarkan tahun 2007 dianggap oleh
pemerintah daerah kurang berkekuatan
Terkait operasional KPA Nasional
hukum untuk mendorong daerah dalam
dan Daerah (KPAN/D), sebagai lembaga
mengupayakan pendanaan lokal. Untuk
koordinatif yang bersifat ad hoc dan bukan
itu, masih perlu upaya yang lebih lagi
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
untuk meningkatkan proporsi pendanaan
memerlukan sumber dana dan mekanisme
local, sehingga secara perlahan kelak bisa
tertentu. Mayoritas pendanaan untuk
mengimbangi proporsi bantuan internasional.
kesekretariatan KPAN dan KPAD berasal dari
pihak lain yang tidak mengikat, termasuk
dari MPI dan dana hibah.
Pengelolaan Data HIV & AIDS
Mobilisasi sumber daya finansial
dikoordinasikan oleh KPAN. Dana dari sektor Sebelum tahun 1996, informasi tentang HIV
pemerintah dan bantuan MPI digunakan dan AIDS terbatas pada laporan kasus dari
untuk mendanai penyelenggaraan upaya rumah sakit. Mulai tahun 1996, kegiatan
penanggulangan, mulai dari tingkat pusat sentinel survei HIV pada kelompok-kelompok
sampai daerah. Mobilisasi dana dari kunci mulai dilakukan dan dikompilasi oleh
sektor pemerintah mengikuti mekanisme Kementerian Kesehatan. Namun informasi
penggunaan anggaran pemerintah. tidak dapat dibandingkan dari waktu ke
Sedangkan mobilisasi dana dari MPI, baik waktu dan masih banyak daerah yang tidak
bilateral maupun multilateral, diperoleh melakukan pelaporan rutin ke pusat pasca-
KPAN melalui proposal pengajuan bantuan. sentralisasi. Ketersediaan dana menjadi
Penentuan program yang akan didanai oleh kendala pelaksanaan survei sehingga sering
MPI bilateral disepakati kedua belah pihak tidak lagi memenuhi kaidah standar yang
dalam pertemuan konsultatif. ditetapkan oleh Kemenkes. Pada era tahun
2000-an, kegiatan survei perilaku pada
Bantuan finansial lainnya dihimpun KPAN berbagai populasi kunci dan dilengkapi
dalam satu sistem manajemen keuangan, dengan survei biologis mulai dilakukan.
yakni Dana Kemitraan AIDS Indonesia Survei ini dikelola secara terpusat walaupun
(DKAI). Penggunaan dana himpunan ini saat pelaksanaan melibatkan penuh staf
sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPS dan dinas kesehatan di tingkat provinsi
KPAN dan pengelolaannya dilakukan oleh dan kabupaten. Data survei ini kemudian
Sekretariat KPAN atau lembaga lain yang dimanfaatkan oleh Kementerian Kesehatan,
ditunjuk. Di tingkat daerah, dana yang KPAN, atau MPI untuk mengembangkan
diperoleh dari masyarakat sipil seperti dari berbagai kebijakan dan program. Pemerintah
pihak swasta sebagai perwujudan corporate daerah juga mulai menggunakan data untuk
social responsibility (CSR) dihimpun oleh KPA menyusun rencana aksi daerah, dengan
di daerah yang bersangkutan dan digunakan segala keterbatasan kemampuan analisis
untuk penyelenggaraan program yang data.
tertuang dalam rencana aksi daerah.
22
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
23
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
24
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
mendapatkan kompensasi (honor atau gaji) pemerintah pusat atau melalui MPI. Secara
yang berasal dari bantuan internasional umum, kebijakan terkait sediaan farmasi
(MPI), misalnya gaji untuk petugas lapangan diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
masih mengandalkan bantuan luar negeri. 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan
Hanya petugas kesehatan yang ditempatkan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran
oleh pemerintah dan tenaga koordinasi di Negara Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan
beberapa kota/kabupaten yang didanai oleh Lembaran Negara 3781) yang menyebabkan
negara. Dengan demikian, tantangan yang pengadaan metadon dan ARV masih
masih acapkali ditemui terkait dengan SDM terpusat. Pengadaan material pencegahan
untuk penanggulangan HIV dan AIDS antara dan penanggulangan HIV dan AIDS
lain: rekrutmen, peningkatan kapasitas, dan harusnya mengikuti kebijakan ini. Kondom
sistem renumerasi untuk tenaga yang non misalnya, selain sebagai alat pencegahan
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Staf sekretariat HIV dan AIDS, juga berfungsi sebagai alat
KPAN dan KPAD saat ini terdiri dari sekretaris kontrasepsi. Ini kemudian memunculkan
dan beberapa staf purnawaktu. Sedangkan pertanyaan apakah pengadaan kondom dan
di KPAD, ada staf yang purnawaktu dengan pelicin dalam pengadaan alat kesehatan
pendanaan dari MPI. Untuk wilayah yang sudah termasuk dalam pengadaan alat
tidak ada pendanaan dari lembaga mitra kontrasepsi atau ada pengadaan khusus
internasional, staf purnawaktu tidak tersedia, untuk pencegahan HIV? Sebagai contoh,
namun memanfaatkan SDM dari pemerintah pada tahun anggaran 2012, Kemenkes
daerah (PNS). melakukan pengadaan alat kontrasepsi
kondom dengan pagu mencapai Rp
25.231.735.000. Padahal ketika itu,
Ketersediaan Logistik bagi pengadaan kondom dan alat suntik sudah 01
Penanggulangan HIV dan AIDS didanai oleh bantuan luar negeri dan
dilakukan secara terpusat oleh KPAN serta
Pengelolaan logistik program didistribusikan langsung ke KPAD, OMS atau
penanggulangan HIV dan AIDS meliputi puskesmas.
perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
distribusi, penggunaan, dan pengawasan Di tingkat lapangan, ketersediaan
obat dan perlengkapan medik untuk alat dan cara pendistribusiannya agar
pencegahan, diagnostik, dan terapi. sampai pada penggunanya, juga masih
Pengelolaan logistik dalam sistem kesehatan merupakan masalah tersendiri, terutama
dilakukan oleh kementerian kesehatan di untuk pendistribusian jarum suntik. Walaupun
tingkat pusat dan dinas kesehatan di tingkat sudah ada kebijakan di tingkat nasional
sub-nasional. Sistem manajemen logistik tentang pengaturan dan pendistribusian
yang handal diharapkan bisa menjamin jarum suntik sebagai alat pencegahan,
bahwa logistik untuk pelaksanaan program namun di tingkat lapangan, khususnya
harus sampai kepada penerima manfaat di LSM atau di Puskesmas, masih ditemui
secara tepat waktu, mencukupi kebutuhan adanya masalah. Di awal penerapan
dengan kualitas yang terjaga. program ini, petugas lapangan secara aktif
mempromosikan dan membagikan jarum
Penyediaan obat dan perlengkapan suntik steril kepada para penasun. Namun,
medik pencegahan dan terapi HIV dan AIDS saat ini penasun didorong untuk mengambil
selama ini masih bergantung, terutama sendiri jarum suntik steril yang disediakan di
dari bantuan luar negeri, kecuali ARV dan puskesmas. Dengan demikian, ketersediaan
beberapa reagen. Pengadaan kebutuhan jarum steril di beberapa puskesmas yang
tersebut sepenuhnya dilakukan oleh ditunjuk semestinya mudah diakses oleh
25
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
penasun. Sementara untuk pendistribusian HIV dan AIDS, masyarakat sipil berperan
kondom seringkali masih mendapatkan resis dan mendukung pemerintah dalam upaya
tensi dari masyarakat umum. Untuk meng penanggulangan HIV dan AIDS. Kelompok-
atasi hal ini, upaya yang dilakukan adalah kelompok masyarakat yang terorganisir,
dengan penyediaan outlet kondom sebagai antara lain orang yang terinfeksi HIV dan
pilot project di beberapa tempat di Indonesia. populasi kunci, LSM, lembaga kemasya
rakatan, tenaga profesional, organisasi
Dari ulasan di atas, ternyata kebijakan
profesi, dan lembaga pendidikan tinggi,
sentralisasi pengadaan ARV, kondom,
dapat menjadi penggerak utama dan
dan jarum suntik yang masih terpusat
berperan aktif, baik dalam proses perumusan
telah menimbulkan beberapa akibat
kebijakan, perencanaan, implementasi
yang merugikan bagi penerima manfaat,
setiap program yang dilakukan, serta
khususnya apabila terjadinya stock-out di
monitoring dan evaluasi. Keterlibatan aktif ini
beberapa daerah. Sebagai contoh pada
diharapkan akan memungkinkan masyarakat
pengadaan jarum suntik yang dilakukan
secara mandiri bisa mengakses layanan-
secara terpusat tanpa melihat kebutuhan
layanan kesehatan yang dibutuhkan dan
di lapangan menyebabkan tidak efisiennya
yang tersedia di wilayahnya.
intervensi tersebut. Ketidaksesuaian
kebutuhan ini disebabkan adanya variasi Keterlibatan aktif masyarakat dalam
tentang preferensi jenis jarum suntik yang implementasi kebijakan dan program HIV
digunakan oleh penasun di berbagai daerah. dan AIDS tidak bisa dilepaskan dari ada
Ketidaksesuaian logistik yang disediakan nya pemahaman bahwa kesehatan meru
dengan kebutuhan penasun mengakibatkan pakan hak dari warga negara tanpa me
jarum yang sudah dibeli tidak diakses oleh mandang status sosial dan ekonomi yang
penasun. wajib dipenuhi oleh negara. Oleh karena
itu, kebijakan HIV dan AIDS tidak bisa
Dari sisi pemanfaatan, pendistribusian
dilepaskan dari kebijakan yang mengede
alat suntik steril dan kondom oleh petugas
pankan hak kesehatan sebagai hak asasi
puskesmas atau yang dilakukan di dalam
manusia. Promosi Hak Asasi Manusia (HAM)
puskesmas memang menjadi lebih kondusif
dan respons HIV dan AIDS tidak boleh
karena sangat jarang ditentang oleh
terpisah, agar hambatan hak asasi manusia
masyarakat, tokoh agama dan penegak
tersebut dapat teratasi dan tidak meng
hukum. Namun jaminan ketersediaan alat
halangi pengguna layanan untuk meng
suntik di beberapa puskesmas terkadang
akses baik layanan pencegahan, maupun
masih kurang. Ini pun masih dihadapkan
pengobatan dan dukungan HIV dan AIDS
pada cara pandang pada sebagian besar
secara efektif. Kebijakan ditetapkan untuk
pasien yang hanya mendatangi puskesmas
memastikan bahwa program-program HIV
karena membutuhkan pengobatan, bukan
dan AIDS tidak berpotensi maupun tidak
demi pencegahan suatu penyakit.
melanggar HAM.
Populasi kunci dan ODHA merupakan
Keterlibatan Masyarakat bagian dari masyarakat yang memiliki
dan Populasi Kunci dalam kepentingan sangat tinggi dalam penang
gulangan HIV dan AIDS. Semestinya
Penanggulangan HIV & AIDS
kelompok ini yang paling banyak terlibat,
Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) baik dalam tahapan perencanaan hingga ke
Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014 tahapan evaluasi dan monitoring program.
menggarisbawahi bahwa dalam konteks Tidak ada peraturan secara khusus yang
26
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
mengatur tentang keterlibatan mereka dalam Dukungan dari luar lingkaran penggiat
penanggulangan HIV dan AIDS. Namun HIV dan AIDS juga telah dirintis beberapa
secara umum ada mekanisme keterlibatan tahun terakhir. Salah satunya adalah adanya
masyarakat dalam perencanaan dan dukungan terkait permasalahan hukum ter
pelaksanaan pembangunan, yakni melalui hadap penasun. Pelibatan lembaga bantuan
musyawarah perencanaan pembangunan hukum (LBH) masyarakat mulai dilakukan
(musrenbang). Pelaksanaan musrenbang dan untuk memberi masukan serta pendamping
partisipasi masyarakat termasuk populasi an untuk menggerakkan paralegal dalam
kunci ini dapat mengacu pada UU No 23 usaha menyadarkan sistem dan penegak
tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang hukum yang seringkali mengabaikan atau
mengamanatkan pelaksanaan perencanaan tidak mengenali kondisi kecanduan penasun
pembangunan dilaksanakan dari bawah saat proses hukum berlangsung. Kurangnya
secara partisipatif. Dalam konteks program pemahaman dari penegak hukum dan juga
HIV dan AIDS, peran dan partisipasi aktif sistem yang ada seringkali mengakibatkan
populasi kunci dan ODHA merupakan hal penularan HIV yang lebih luas selama
yang krusial, karena mereka yang paling proses hukum berlangsung. Untuk itu,
mengetahui dan memahami kebutuhan LBH Masyarakat dilibatkan dalam proses
mereka sendiri. rancangan SRAN HIV dan AIDS 2015-2019.
Dalam satu dekade terakhir ini, program Meskipun demikian, monitoring
penanggulangan HIV dan AIDS pada ke terhadap implementasi kebijakan dan
lompok pengguna napza suntik mendorong program penanggulangan HIV dan AIDS
terjadinya pergeseran cara pandang pene tidak dimungkiri masih menemui berbagai
gak hukum terhadap hak asasi penasun, pelanggaran yang dialami oleh populasi
termasuk dukungan kesehatan dan sosial kunci ketika mengakses layanan kesehatan. 01
saat proses hukum dijalankan, maupun Jenis pelanggaran yang sering dihadapi
penempatan posisi pecandu sebagai antara lain ketidakadilan ketika pengguna
pengguna, bukan pengedar napza. Hal ini disamakan dengan pengedar narkoba;
bisa dilihat pada UU No. 35/2009 tentang pemerasan, penindasan dan pelecehan
Narkotika Pasal 54 sebagai wujud peru pekerja seks ketika berhadapan dengan
bahan cara pandang yang telah terjadi penegak hukum (saat razia) atau penyedia
terhadap kejahatan yang harus diikuti aparat layanan, hak-hak (memperoleh pengobatan,
penegak hukum, termasuk jaksa. Undang- mendapatkan jaminan sosial dan jaminan
undang tersebut kemudian ditindaklanjuti kesehatan, hak atas pendidikan [bagi anak
dengan PP No. 25/2011 tentang Pelaksanaan ODHA] dan hak atas pekerjaan). Ini misalnya
Wajib Lapor Pecandu Narkoba. Regulasi ini bisa dilihat dari studi Community Access to
memungkinkan pecandu yang telah menjadi Treatment Services Study (CATS) in Indonesia
terdakwa, direhabilitasi secara medis dan tahun 2013, disebutkan hampir seperlima
sosial. Hal ini membuktikan bahwa tidak (18%) dari ODHA pernah mengalami
hanya terjadi perubahan cara pandang ter perlakuan yang tidak menyenangkan
hadap pelaku kejahatan, tetapi juga sebagai karena status HIV-nya, termasuk stigma dan
wujud adanya komitmen dari negara dalam diskriminasi. ODHA perempuan dua kali
penanganan pecandu. Secara hukum, lebih mungkin mengalami itu. Pelaku stigma
penerapan diskresi melalui rehabilitasi dan diskriminasi cukup beragam. Bahkan,
dimungkinkan berdasarkan Pasal 54 UU seperti yang diungkapkan oleh survei CATS
Narkotika, pasal yang mewajibkan pecandu bahwa pelaku stigma dan diskriminasi
dan korban penyalahgunaan narkotika 10%-nya adalah petugas kesehatan. Bentuk
direhabilitasi secara medis dan sosial. perlakuan ini biasanya adalah penolakan
27
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
memberikan pertolongan medis terhadap mitra internasional KPAN. Strategi promosi ini
ODHA. bertumpu pada petugas penjangkauan dan
kader masyarakat sebagai penyampai pesan
Partisipasi masyarakat dalam penang
dan alat pencegahan kepada kelompok po
gulangan HIV dan AIDS juga mengalami
pulasi kunci, melalui beberapa event seperti
tantangan terkait dengan stigma dan
pekan kondom nasional, edutainment, dan
diskriminasi yang muncul dari nilai sosial
iklan layanan masyarakat. Hasil evaluasi
di masyarakat. Masih cukup banyak per
terhadap strategi ini menunjukkan bahwa
tentangan nilai di masyarakat tingkat lokal,
tidak ditemukan adanya rasa memiliki atau
seperti yang ditemukan dalam ketentuan
ownership dari pemerintah daerah atas pro
perda. Kontradiksi dalam pengaturan tentang
gram tersebut. Anggapan lain yang muncul
kondom, penyebutan (pengakuan) yang
dari aktor-aktor yang terlibat dalam penye
samar-samar mengenai lokasi/lokalisasi
diaan produk komunikasi ini, bahwa pro
pelacuran dan tempat-tempat hiburan (cafe,
gram promosi ini merupakan suatu stimulan,
bar, diskotik, night club), hubungan seks pra/
dan untuk selanjutnya diharapkan KPAN
di luar nikah, merupakan kendala utama
mampu melakukan pendampingan terhadap
dalam memberi makna terhadap efektif
pelaksanaan strategi komunikasi ini kepada
tidaknya penegakan ketentuan pidana
pemerintah daerah karena ada alokasi dana
dalam perda tentang pencegahan dan
dari pemerintah daerah.
penanggulangan HIV dan AIDS. Berbagai
nilai sosial masyarakat tersebut menjadi Desentralisasi menjadikan kantong-
salah satu faktor penghambat pelibatan kantong dana tidak hanya dari pusat,
masyarakat khususnya masyarakat umum. namun juga co-sharing dengan provinsi
dan kabupaten/kota, sementara tingkat
“buy in” dan kapasitas pemerintah daerah
terhadap strategi komunikasi masih sangat
28
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
rumatan metadon, distribusi alat suntik steril, masyarakat yang masih resisten terhadap
pelibatan komunitas pengguna napza suntik penggunaan kondom untuk pencegahan HIV.
di dalam pengambilan keputusan strategis
Dengan dorongan dari WHO dan dukung
di KPA Nasional, serta pendanaan lokal
an teknis dari berbagai mitra, pendekatan ini
puskesmas untuk program harm reduction.
dikembangkan secara serius di Indonesia.
Dampak kebijakan-kebijakan ini terhadap Kebijakan ini terus dikembangkan hingga
penyebaran HIV di kalangan penasun bisa munculnya konsep penanggulangan HIV
dilihat pada hasil STBP 2004, 2007 dan dan AIDS secara komprehensif dimulai dari
2011 yang menunjukkan adanya penurunan wilayah kecamatan di bawah koordinasi
pemakaian jarum secara bergantian di Puskesmas. Penetapan kerangka kerja kom
kalangan penasun. Perubahan perilaku prehensif diinisasi oleh FHI/USAID (2008-
ini dapat mengurangi risiko tertular/ 2010) dan direplikasi oleh KPAN melalui
menularkan HIV lewat jarum suntik. Temuan dana GF (2010-2015), kemudian diadopsi
ini menunjukkan keberhasilan program oleh konsep Layanan Komprehensif Berke
pengurangan dampak buruk melalui jarum sinambungan (LKB) yang dirumuskan dalam
suntik di kalangan penasun. Data STBP 2011 Permenkes No. 21/2013 tentang Penanggu
juga menunjukkan penurunan prevalensi HIV langan HIV dan AIDS.
di kalangan penasun dibandingkan STBP
Capaian program pencegahan HIV
tahun 2007 (lihat gambar 3).
melalui transmisi seksual (PMTS) belum
Program pencegahan penularan HIV menunjukkan hasil yang menggembirakan,
melalui transmisi seksual (PMTS) kegiatan walau ada tren meningkat. Masalah utama
pokoknya menargetkan 80% populasi adalah terkait dengan perubahan perilaku
kunci terjangkau program yang efektif tentang konsistensi pemakaian kondom 01
dan 60% populasi kunci berperilaku hidup hampir di semua populasi kunci, termasuk
sehat yang menggunakan kondom setiap lelaki berisiko tinggi yang masih rendah.
hubungan seks berisiko. Tujuan utamanya Hasil tes HIV, baik melalui konseling dan
adalah menurunkan prevalensi IMS dengan tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan
pemakaian kondom secara konsisten dan kesehatan (KTIP) maupun konseling dan tes
pengobatan IMS. HIV sukarela (KTS), juga belum memadai di
seluruh populasi kunci yang menjadi target
Pada dasarnya, intervensi penularan
program PMTS. Ini hanya mencakup 14,8%
HIV melalui transmisi seksual diarahkan
pekerja seks atau sebesar 3,3% pelanggan
pada tingkat komunitas dibandingkan
pekerja seks.
tingkat individu (pekerja seks). Sejak tahun
2006, Indonesia mengadopsi “Program
Penggunaan Kondom 100%” (PPK 100%)
yang mengikuti “model” yang sangat Perawatan, Dukungan dan
sukses di Thailand. Sayangnya di Indonesia, Pengobatan (PDP)
program kondom sebagai salah satu cara Kegiatan pokok PDP dalam SRAN 2010-2014
pencegahan untuk IMS, termasuk HIV, belum adalah penguatan dan pengembangan
bisa berjalan maksimal. Salah satunya layanan kesehatan serta koordinasi antar
disebabkan Kementerian Kesehatan sebagai layanan dengan target tersedianya layanan
penanggung jawab utama permasalahan kesehatan yang berkualitas dan sesuai
kesehatan nasional belum menjadikannya dengan kebutuhan masyarakat; pencegahan
sebagai prioritas strategi dalam respons dan pengobatan infeksi oportunistik
penanggulangan HIV. Hal ini berkaitan juga (IO) dengan target 100% ODHA yang
dengan kondisi sosial budaya yang ada di
29
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
75
63
52 56
37
33
24 27
16
18
14 8
12
9
9 7
0/0
30
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
31
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
E.
dengan cara menyediakan kesempatan bagi
ODHA dan yang terdampak, misalnya anak
yatim, orang tua tunggal, dan janda untuk
mendapatkan akses dukungan peningkatan Kontestasi dalam
pendapatan, pelatihan keterampilan, dan Penanggulangan HIV & AIDS
program pendidikan peningkatan kualitas
hidup. Hal ini sejalan dengan upaya Ada beberapa kontestasi yang bisa diiden
Kementerian Sosial yang juga memberikan tifikasi dalam penanggulangan HIV dan
layanan berupa bantuan/penyediaan shelter AIDS. Pertama, kontestasi dalam hal pen
bagi ODHA dan orang yang terdampak AIDS. dekatan, yaitu antara pendekatan vertikal,
Dalam pelaksanaannya, mitigasi yang mengandalkan pengendalian teknis
dampak ini terasa masih terbatas, baik yang terpusat dan ketat, dengan pendekatan
dilihat dari aktor yang berperan maupun horizontal yang bertumpu pada pendekatan
dari sumber pembiayaannya. Dari sumber multisektoral dan terdesentralisasi,
pembiayaannya dapat kita lihat pada sebagaimana yang terjadi pada KPA.
Tabel 1 di bagian pembiayaan sebelumnya, Secara kelembagaan, KPA merupakan
bahwa jumlah dana yang digunakan untuk inisiatif pemerintah pusat, yang kemudian
mitigasi dampak masih sangat kecil bila mengalami penyesuaian lantaran adanya
dibandingkan alokasi dana untuk program kebijakan desentralisasi pemerintahan di
lainnya, seperti untuk program promosi Indonesia tahun 2001. Secara struktural,
pencegahan dan PDP. Dari sini pula kita KPA provinsi dan kabupaten/kota memang
bisa melihat bahwa ternyata pemerintah tidak secara langsung di bawah KPAN.
lebih banyak berperan dibanding MPI, Namun dari sisi program, desain dan agenda
berdasarkan perkiraan tahun 2012 bahwa program KPA daerah merupakan refleksi dari
dana yang dikeluarkan pemerintah untuk kebijakan program KPAN. Dengan minim
program mitigasi dampak sebesar 3.1%, nya dana (yang sebagian besar untuk biaya
dibanding MPI hanya 0.026%.8 non-program) serta terbatasnya sumber
Dari penelitian PKMK tahun 2015 daya manusia di tingkat KPA daerah, ke
tentang ‘Tinjauan Respons Sektor Komunitas bergantungan KPA daerah akan program
terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS’ dari KPAN masih besar. Adanya program
menunjukkan, tidak banyak OMS yang GF-ATM dan Indonesia Partnership Fund (IPF)
melakukan program mitigasi dampak. misalnya, semakin memperkuat relasi pusat-
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya ini daerah ini.
biasanya bersifat pemberdayaan jangka Kontestasi juga terjadi dalam hal
panjang pada populasi kunci, misalnya penganggaran antara program HIV dan AIDS
kegiatan peningkatan keterampilan dan dengan program kesehatan lain. Regulasi
pemberdayaan ekonomi, dan ada bantuan Kementerian Dalam Negeri mengenai
yang berjangka pendek seperti bantuan penganggaran untuk KPA daerah sudah
asupan gizi bagi ODHA. Beberapa OMS juga dilaksanakan, namun mayoritas alokasi
menyediakan rumah singgah bagi ODHA anggaran tersebut dipergunakan untuk
untuk mendapatkan perawatan sampai biaya kesekretariatan. Di tingkat provinsi,
kondisi tubuhnya lebih stabil atau tinggal mekanisme penganggaran untuk sekretariat
sementara agar bisa mengakses rumah sakit KPAP cukup beragam. Sebagian melalui
dengan mudah bila rumah mereka jauh. anggaran sekretaris daerah, dinas terkait,
dan bantuan sosial serta hibah dari donor.
Pengelolaan dana hibah donor (GF-ATM
8) Data diolah dari NASA, 2013.
32
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
dan IPF misalnya) dilakukan oleh KPAN. prioritas program kepada penasun dan
Dengan struktur dana yang demikian, warga binaan di lembaga pemasyarakatan,
KPA daerah secara kelembagaan (dalam lantaran rekomendasi yang disusun dari data
hal ini sekretariat) bisa dikatakan relatif surveilans yang dikelola pemerintah pusat.
berkelanjutan. Namun dari sisi program, Program di daerah kemudian menyesuaikan
ketergantungan pada KPAN dan hibah pergeseran ini, tanpa didasari data yang
program masih tinggi. Dana program cukup berarti dari daerah, karena mereka
dan pelayanan yang dikelola oleh dinas memang tidak mempunyai data yang
kesehatan disatukan dalam mata anggaran memadai.
penyakit menular di bawah bagian
Praktik “top down” seperti ini terus
pengendalian penyakit (P2), yang tentu
berlanjut karena secara teknis mempunyai
saja bukan hanya untuk penanggulangan
basis argumen yang kuat. Namun banyak
HIV dan AIDS. Mekanisme ini sebenarnya
kritik, terutama dalam hal kontekstualisasi
di satu sisi memberikan keuntungan yaitu
dengan agenda stakeholder lokal.9 Pende
ketersediaan dana untuk program HIV dan
katan vertikal cenderung membawa agen
AIDS lebih terjamin. Tapi di sisi yang lain,
da dan gagasan dari “luar”, dengan akibat
ada persaingan pendanaan dengan program
rendahnya rasa kepemilikan (dan berim
lainnya yang ada di P2.
plikasi pada dukungan sumber daya lokal
Kontestasi lainnya yang terjadi dalam akan rendah pula) jika kurang melibatkan
hal kebijakan, baik berupa Permenkokesra, stakeholder lokal,. Risiko lainnya adalah
Permenkes, Permendagri, dan rencana ketidaksesuaian dengan program dan prio
strategi nasional, yang kesemuanya menun ritas daerah.
jukkan bahwa peran pemerintah pusat
Mengingat semakin luasnya cakupan 01
cukup dominan. Kebijakan dan program
wilayah epidemi HIV di Indonesia, pelibatan
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah
stakeholder daerah menjadi semakin
hampir semuanya merupakan turunan dari
penting. Pemerintah pusat (dalam hal ini
program nasional. Dengan demikian, dapat
Kementerian Kesehatan) mengeluarkan
dikatakan bahwa program penanggulangan
regulasi mengenai Layanan Komprehensif
HIV dan AIDS di Indonesia selama ini
dan Berkelanjutan (Permenkes No.
masih bersifat vertikal. Sebagai sebuah
21/2013) sebagai upaya untuk menjamin
respons atas situasi emergensi, pendekatan
keberlanjutan program. Konsep ini me
sentralistik memang diperlukan. Namun,
ngedepankan integrasi fungsi-fungsi pro
saat ini sudah masuk pada situasi yang
gram penanggulangan HIV dan AIDS ke
tidak darurat lagi, maka pendekatan sesuai
dalam sistem kesehatan yang ada, se
dengan konteks lokal sangat diperlukan.
hingga diharapkan akan terjamin keber
Selain anggaran, salah satu penyebab langsungannya.
dominannya kebijakan pusat, adalah akses
Kontestasi yang lain juga terjadi akibat
terhadap data. Sebagian besar data yang
mazhab (school of thoughts) masing-masing
digunakan sebagai dasar penyusunan
lembaga yang bergerak dalam penang
program yang dikelola pemerintah pusat, se
gulangan HIV dan AIDS, misalnya antara
hingga apa yang disebut sebagai “evidence-
USAID dan AusAID (sekarang DFAT),
based programming” terkesan menjadi hak
GFATM, serta NGO internasional lainnya.
istimewa pusat. Inisiatif stakeholder daerah
Bantuan Australia yang dimulai tahun 1995,
dalam membuat rencana daerah tidak cu
melalui Indonesia HIV/AIDS Prevention and
kup kuat dalam penggunaan data sebagai
basisnya. Sebagai contoh kasus, pergeseran 9) Lihat Rifat. A.Atun, Sara Bennett and Antonio Duran,
2010. h.7
33
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
Care Project (IHPCP), mengusung program (ATM). Khusus untuk AIDS, Indonesia men
pencegahan HIV dan AIDS di kalangan dapat dana Ronde 1 dan Ronde 4 dengan
penasun melalui program Harm Reduction penerima hibah primer (Principal Recipient)
dan mengintegrasikannya ke dalam sistem adalah Dirjen Pengendalian Penyakit dan
pemerintahan Indonesia. Dengan kontribusi Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes.
dana dari The Indonesia Partnership Fund Indonesia kembali menerima hibah dana
for HIV/AIDS (IPF) dan pemerintah daerah, Global Fund untuk Ronde 8 (2009–2014),
IHPCP memperluas aktivitasnya terutama untuk 12 provinsi di Indonesia, serta Ronde
di Jawa Barat, Papua, dan Papua Barat. 9 (2010–2015) untuk 21 provinsi. Pendanaan
Pendanaan dari Australia itu kian diperluas ini untuk mendorong perluasan program
dengan adanya kerjasama baru, The penanggulangan HIV dan AIDS jumlahnya
Australia–Indonesia Partnership for HIV cukup besar, termasuk untuk penyediaan
(AIPH), sejak Februari 2008-Juni 2016. Tuju obat ARV bagi ODHA di Indonesia. GFATM
an utama kerjasama ini ialah mendorong juga memberikan pendanaan bagi LSM yang
tercapainya penanggulangan HIV dan menjalankan program pencegahan HIV dan
AIDS, yakni pencegahan penularan HIV, AIDS yang menjangkau kelompok berisiko
meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan seperti penasun, WPS, LSL, dan waria.
mengurangi dampak sosial ekonomi karena
Adanya kontestasi antar lembaga donor
HIV dan AIDS.
besar ini juga terjadi di negara-negara
Lain halnya dengan pemerintah Amerika berkembang lainnya, terutama pada empat
Serikat, melalui USAID, memberikan bantuan agenda yang cukup besar, yaitu HIV dan
pendanaan melalui FHI dengan program AIDS, kependudukan, perkembangan
HIV dan AIDS prevention project (HAPP), aksi sektor kesehatan, dan penyakit menular.
stop AIDS (ASA) fase I dan II, serta program Ada keprihatinan yang cukup tinggi bahwa
scaling up the HIV response among most-at- pemberian dana yang cukup besar pada
risk population (SUM). Bantuan ini difokuskan program HIV dan AIDS seringkali untuk
pada wilayah Jakarta Utara, DKI Jakarta; memenuhi kebutuhan para donor itu sendiri,
Surabaya, Jawa Timur; Manado/Bitung, bukan mengedepankan kebutuhan lokal
Sulawesi Utara; Papua, dan Papua Barat (Shiffman, 2008). Hal ini terjadi karena
melalui Program for Appropriate Technology biasanya tiap-tiap lembaga donor ataupun
in Health (PATH). Program ini difokuskan kontraktor sudah memiliki visi dan misi
pada pelayanan sebagai strategi dasar da masing-masing serta pedoman pelaksanaan
lam bentuk KIE (komunikasi, informasi dan dan targetnya, yang seringkali berbeda
edukasi) dan KPP (komunikasi perubahan dengan kebutuhan di lapangan, bahkan
perilaku) serta elemen pendukung untuk berbeda dengan sistem kesehatan yang ada.
pelayanan IMS dan HIV dan AIDS. Elemen Mekanisme pendanaan yang diterapkan
pendukung berupa pendampingan penyu tiap MPI sering tidak cukup fleksibel untuk
sunan kebijakan, bantuan teknis, pendidikan mengakomodir kebutuhan lapangan.
dan pelatihan, administrasi dan manajemen, Umumnya mereka sudah membuat aturan
kapasitasi kelembagaan, penelitian sendiri untuk penggunaan dananya, mulai
biomedical/applied, penguatan sistem bentuk laporannya sampai targetnya.
surveilans, serta monitoring dan evaluasi. Bahkan kadang Kementerian Kesehatan
pun tidak memiliki kekuatan untuk menawar
Pendonor lainnya adalah Global Fund-
(‘bargaining power’) atas pemanfaatan
AIDS, TB dan Malaria (GF-ATM), lembaga
pendanaan tersebut, sesuai dengan strategi
pendanaan multilateral yang berfokus
dan rencana nasional/daerah yang sudah
mengatasi epidemi AIDS, TB dan Malaria
disusun ataupun dengan sistem kesehatan
34
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
yang sudah ada. Hal ini dapat terlihat jelas rapannya, dengan membentuk KPA, peli
dari pendekatan yang dilakukan oleh GF. batan lintas sektor dapat terwujud untuk
Mekanisme pendanaan penanggulangan pencegahan dan penanggulangan HIV dan
HIV dan AIDS melalui Country Coordinating AIDS di Indonesia secara menyeluruh, terpa
Mechanism (CCM), yang kemudian memben du, dan terkoordinasi. Respons pemerintah
tuk dan memilih Principal Recipient sendiri itu ditunjukkan dengan mengeluarkan Kepu
dengan struktur bawahnya di tingkat daerah. tusan Presiden Republik Indonesia (Keppres
nomor 36 tahun 1994) tentang Komisi
Akibat banyaknya mazhab tadi,
Penanggulangan AIDS (KPA).
selain rasa kepemilikan program yang
rendah karena dianggap dari pihak “luar”, Keppres tersebut muncul karena di
pelaksanaan program juga tidak bisa sadari bahwa HIV dan AIDS bukanlah
maksimal umumnya berdurasi pendek. Hal sekadar permasalahan kesehatan. Ini
ini dihadapkan juga pada keterbatasan juga melibatkan permasalahan sosial,
kapasitas pelaksana program, dengan pendidikan, tenaga kerja, dan sebagainya.
berbagai variasi dan target yang sering Keppres ini bertujuan mendorong respons
kurang masuk akal. Ini mengakibatkan dari multisektor untuk menjawab kebutuhan
program penanggulangan HIV dan AIDS dalam upaya penanggulangan HIV dan
yang telah diberikan alokasi pendanaan AIDS. Ini tercermin dalam struktur organisasi
yang cukup besar itu sekadar dilaksanakan KPA; Ketua KPA adalah Menteri Koordinator
tanpa memberikan hasil yang sesungguhnya. Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra),
Contoh dapat kita lihat dalam program dengan Wakil Ketua I Bidang Kesehatan
pencegahan HIV dan AIDS di kalangan WPS dijabat oleh Menteri Kesehatan; Wakil
yang belum mampu mendorong pemakaian Ketua II Bidang Agama dijabat oleh Menteri
kondom secara konsiten pada setiap kali Agama; Wakil Ketua III Bidang Sosial 01
melakukan hubungan seks berisiko. dijabat oleh Menteri Sosial; Wakil Ketua IV
Bidang Kependudukan dijabat oleh Menteri
Negara Kependudukan/Kepala Badan
F.
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
Sedangkan anggota KPA terdiri dari berbagai
kementerian dan lembaga lainnya yang
AIDS sebagai Permasalahan dianggap berhubungan erat dengan usaha
Multisektoral penanggulangan HIV dan AIDS, antara lain
Menteri Dalam Negeri; Menteri Kehakiman;
Permasalahan HIV dan AIDS sebagai Menteri Penerangan; Menteri Pariwisata, Pos
permasalahan multisektoral banyak dibahas dan Telekomunikasi; Menteri Pendidikan dan
dalam berbagai wacana penanggulangan Kebudayaan; Menteri Tenaga Kerja; Menteri
HIV dan AIDS secara global, yang bermula Negara Pemuda dan Olahraga; Menteri
adanya strategi global yang disepakati Negara Urusan Peranan Wanita;
Menteri/
PBB melalui sidang umumnya tahun 1987, Pimpinan instansi pemerintah yang
lantas disahkan sebagai ‘WHO Global AIDS dipandang perlu.
Strategy’ tahun 1991. Berlandaskan hal Menkokesra pada saat itu sebagai ke
tersebut, pemerintah Indonesia juga mulai tua KPAN segera menindaklanjuti dengan
menyadari tentang kebutuhan merespons mengeluarkan beberapa regulasi terkait
penanggulangan HIV dan AIDS yang lebih dengan tugas dan kewajiban KPA, yakni SK
komprehensif, dengan melibatkan pihak Menkokesra No. 8/V/1994 mengenai Su
lintas sektor di luar sektor kesehatan. Ha sunan Tugas Fungsi Keanggotaan Komisi
35
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
Penanggulangan HIV dan AIDS yang secara nyesuaikan dengan perkembangan situasi
jelas menyebutkan tugas dan kewajiban epideminya, seperti tercantum pada tabel 3.
masing-masing anggota dalam KPA; SK
Awal pembentukan KPAN tersebut diikuti
Menkokesra No.9/VI/1994 mengenai Strategi
dengan pembentukan KPA di daerah di
Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS
tingkat provinsi/kabupaten/kota dengan
(STRANAS-1994) yang merupakan salah
struktur organisasi yang sama; mengikuti
satu respons dan dokumen penting pada
cara pusat, yaitu pelibatan multisektoral
periode tersebut; SK Menkokesra No.12/
dari berbagai dinas dan institusi di daerah.
VII/1994 mengenai pembentukan Kelompok
Regulasi pembentukan KPA di tingkat daerah
Kerja Penanggulangan HIV dan AIDS; SK
didasarkan melalui Permendagri No.20/2007
Menkokesra No.05/II/1995 mengenai Strategi
mengenai Pedoman Umum Pembentukan
Penanggulangan AIDS Nasional untuk
KPA Daerah, Pedoman Umum Pembentukan
PELITA VI.
Komisi Penanggulangan AIDS dan Pember
Seiring berjalannya waktu, terdapat be dayaan Masyarakat Dalam Rangka Penang
berapa perubahan regulasi di atas untuk me gulangan HIV dan AIDS di Daerah.
Tabel 3. Daftar
kebijakan
Kemenkokesra PERMENKOKESRA
terkait respons
HIV & AIDS sebagai
tanggung jawab
multisektoral
Kebijakan Tentang
36
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
37
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
38
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
lembaga penggiat harm reduction sangat jaksa untuk tidak mempidanakan pecandu
menolong dalam melindungi pekerja mereka yang tertangkap oleh polisi. Berdasarkan
dari kriminalisasi,10 termasuk kegiatan harm Undang-Undang Narkotika No. 3/2009
reduction di lapas. yang menyebutkan bahwa pecandu wajib
menjalani rehabilitasi medis atau rehabilitasi
Contoh lain pada program PMTS di
sosial karena mereka dianggap sebagai
tingkat kabupaten/kota adalah integrasi HIV
korban yang perlu dipulihkan kembali,
dan AIDS ditunjukkan melalui pembentukan
seperti laiknya orang sakit yang perlu
pokja PMTS yang melibatkan pengelola
dipulihkan di rumah sakit. Selanjutnya
tempat hiburan, mucikari, kepolisian, satuan
pemerintah mengeluarkan PP No. 25/2011
polisi Pamong Praja (Satpol PP). Bentuk
tentang wajib lapor bagi pecandu atau
pelaksanaan kerjasama di lapangan
penyalahguna narkoba. Di sini pecandu
ditunjukkan saat pelaksanaan mobile clinic
diharapkan untuk mau melaporkan dirinya
di lokalisasi atau hot spot, polisi dan satpol
kepada institusi penerima wajib lapor bagi
PP tidak melakukan razia, sehingga populasi
mereka yang cukup umur, bagi yang belum
kunci yang menjadi target program merasa
cukup umur bisa dilaporkan oleh orang
aman dalam mengakses layanan. Di wilayah
tuanya, sehingga mereka akan segera
Bantul, Yogyakarta, sudah ada Momerandum
mendapatkan rehabilitasi. Dalam PP ini,
of Understanding (MoU) antara Dinkes Bantul
pasal 13 disebutkan penyidik ataupun hakim
dan Satpol PP untuk penyediaan layanan
bisa menempatkan sementara pecandu di
KTS dan IMS di lokasi yang menjamin WPS
tempat rehabilitasi sesuai pada tingkatan
bisa mengakses layanan dengan aman.
proses hukum yang sedang berlangsung.11
Kesepakatan tersebut diperbaharui setiap
Adanya kebijakan dekriminalisasi penasun
tahunnya.
ini memungkinkan mereka untuk mengakses 01
Upaya pemerintah memadukan layanan pencegahan HIV (Harm Reduction)
penanggulangan HIV dan AIDS dengan seperti program LASS, rumatan metadon,
penanggulangan narkotika berjalan termasuk KTS dan layanan lainnya.
sangat dinamis, dalam kepentingan
tertentu (misalnya advokasi anggaran).
G.
Dua hal ini beriringan, namun dalam hal
perlakuan terhadap pengguna seringkali
berseberangan. Untuk mengatasi hal ini,
beberapa kebijakan sudah dikeluarkan Tantangan Integrasi
seperti MoU Menkokesra dan BNN tetang HR
Tahun 2003 dan Permenkokesra No. 2/2007 Salah satu tantangan utama dalam
tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan integrasi adalah kebutuhan sumber daya
HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak manusia yang kompeten, baik pada level
Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika manajerial maupun pada level pelaksana
dan Zat Adiktif Suntik. di lapangan. Beberapa tenaga teknis di
Beberapa kebijakan juga melihat lapangan misalnya petugas penjangkau
pengguna narkoba sebagai korban, yaitu dan pendamping, konselor HIV dan AIDS,
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4/2010 manajer kasus (MK), dan buddies masih
soal anjuran bahwa pengguna narkotika dirasakan kurang dalam hal jumlah maupun
yang terkena sanksi hukum dapat dirujuk 11) Dalam wawancara pecandu melaporkan bahwa kalau
ke pusat rehabilitasi. Kejaksaan Agung tertangkap tangan dan proses hukum tetap berlangsung
juga telah menerbitkan edaran kepada dan ditahan di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan,
bukan perawatan rehabilitasi seperti yang ada di BNN
10) LIhat hasil SSP dan STBP tentang Penasun. ataupun tempat lain.
39
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
40
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
H. Respons kelembagaan
atau pembentukan lembaga
Simpulan dan kebijakan merupakan dua
respons yang paling banyak
Respons terhadap epidemi dilakukan, dengan anggapan
HIV dan AIDS di Indonesia bahwa keduanya akan
mencerminkan kontestasi menjamin keberlangsungan
yang rumit dalam sebuah program, karena melalui
konteks kemasyarakatan yang pembentukan lembaga dan
dinamis. Kontestasi ini terjadi kebijakan, pemerintah pusat
karena banyaknya aktor yang dan pemerintah daerah akan
terlibat dan masing-masing mengambil alih investasi
memiliki kepentingan yang yang telah dilakukan oleh
berbeda terhadap upaya donor. Peraturan-peraturan
penanggulangan HIV dan AIDS, yang dikaji dalam penelitian
41
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
ini menunjukkan bahwa peraturan dan penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
kelembagaan mengandalkan efektivitas program kesehatan yang ada di tingkat
implementasinya pada sistem kesehatan daerah. Demikian pula berlakunya JKN bisa
dan tata kelola pemerintahan yang ada menjadi peluang dalam mendorong integrasi
atau dengan kata lain, mengasumsikan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS
kapabilitas sektor di luar HIV dan AIDS, dan ke dalam sistem kesehatan, khususnya
sektor kesehatan pada khususnya dalam dalam upaya pengobatan, dukungan dan
memberikan respons yang komprehensif. perawatan serta mitigasi dampak.
Namun dalam banyak kasus di wilayah
penelitian, kedua jenis respons ini lebih
mencerminkan hal-hal yang normatif karena
kualitas implementasinya yang rendah.
Hampir semua provinsi telah membentuk
KPAD. Namun dengan berbagai alasan,
I.
peran lembaga ini cenderung terbatas
Rekomendasi
dalam memenuhi mandatnya. Peraturan
Untuk kontestasi antara pusat dan daerah,
daerah terkait HIV dan AIDS juga tidak
perlu dijelaskan dalam road map tentang
efektif di tingkat lapangan, karena tanpa
pembagian wewenang, peran serta
sumberdaya dan sanksi yang memadai dan
tanggung jawab yang jelas antara aktor
seringkali tumpang tindih atau berlawanan
yang ada di pusat dan daerah yang disusun
dengan peraturan di sektor publik lainnya.
oleh pemerintah daerah. Dinas kesehatan
Contohnya kebijakan tentang kondom, pada
dan KPAD sebagai penanggung jawab utama
satu sisi kondom diwajibkan sebagai alat
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah
pencegahan perilaku berisiko, namun di sisi
perlu melakukan pemetaan program yang
lain seringkali keberadaannya digunakan
sudah dilaksanakan selama ini dan potensi
sebagai bukti adanya praktik prostitusi dan
sumber daya yang tersedia. Pemetaan ini
dilakukan penangkapan kepada pelaku
meliputi jenis program (pencegahan, PDP,
yang terlibat. Hal ini membuat intervensi
mitigasi dampak), status program saat ini
kondom menjadi tidak maksimal.
(lingkup program dan aktivitas), dan kinerja
Peran masyarakat sipil yang program. Selain itu, pemetaan sumber
direpresentasikan oleh Komunitas Populasi daya termasuk sumber dana dan sumber
Kunci belum optimal dalam penanggulangan daya manusia, serta layanan yang ada.
HIV dan AIDS di Indonesia. Kelompok ODHA Hasil pemetaan ini akan menunjukkan
dan pecandu diterima keberadaannya dalam kesenjangan dan apa yang dibutuhkan
penyebutan identitas diri sebagai komunitas, daerah dalam penanggulangan HIV dan
sedangkan PSK, waria, LSL dan gay tidak AIDS. Dalam pelaksanaannya, pemerintah
mendapat tempat untuk menunjukkan pusat memberikan dukungan dana (APBN)
identitasnya dalam masyarakat dan sebagai dan bantuan teknis pada pemerintah daerah.
stakeholder.
Untuk mengurangi kontestasi antar MPI,
Dari sisi pembiayaan, Undang-Undang perlu dilakukan koordinasi antar MPI sendiri
Pemerintahan Daerah Otonomi Daerah serta antara MPI dengan pemerintah serta
yang mengamanatkan pembagian urusan lembaga yang menjadi mitra dalam rangka
pemerintahan antara pemerintah pusat, menyinergikan tujuan, sasaran, target dan
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah strategi yang digunakan agar memperkuat
daerah kabupaten/kota dapat menjadi sistem kesehatan yang ada. Di tingkat
peluang untuk mengintegrasikan program nasional, fungsi ini seharusnya dilakukan
42
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra
oleh Bappenas sebagai badan perencanaan evaluasi atas program yang telah dibuat
nasional dan untuk daerah dilakoni oleh untuk mengetahui status pelaksanaan
Bappeda sebagai badan perencanaan program sehingga bisa diterapkan
daerah. Seluruh MPI yang masuk seharusnya mekanisme “performance-based financing”.
berkoordinasi, mulai dari perencanaan
KPAD dan Dinkes perlu secara aktif
dan pengembangan bantuan yang akan
melakukan advokasi kepada kepala daerah,
dilakukan, demi menghindari adanya
DPRD, Bappeda, OMS dan lembaga lain
overlapping dengan program lain. Selain itu,
yang terkait dengan isu HIV dan AIDS di
program dari MPI harus diselaraskan dengan
daerah. Advokasi ini bertujuan memberikan
rencana dan strategi nasional, sehingga
pemahaman terhadap aktor-aktor tersebut
dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk
tentang pentingnya penanggulangan HIV
memenuhi kesenjangan yang ada.
dan AIDS, sehingga permasalahan ini bisa
Pemerintah daerah melalui Dinkes perlu menjadi salah satu prioritas daerah yang
menguatkan layanan kesehatan primer kasusnya sudah tinggi. Dinkes dan KPAD
(puskesmas dan jaringannya), mulai dari melakukan komunikasi intensif sebagai
tata kelola, pembiayaan, sistem informasi, bagian advokasi tersebut dengan kepala
SDM, logistik dan partisipasi masyarakat daerah, DPRD dan Bappeda. Proses
melalui bimbingan teknis (bimtek) rutin serta advokasi dilakukan secara terus-menerus
melakukan monitoring dan evaluasi untuk serta mempertimbangkan waktu yang tepat
memberikan layanan kesehatan dasar, terkait dengan penyusunan perencanaan
termasuk HIV dan AIDS. OMS dan populasi pembangunan dan anggaran daerah.
kunci dapat berperan sebagai kontrol dalam Advokasi harus disusun berdasarkan
mengevaluasi akses serta kualitas layanan, evidence base dan situasi epidemi daerah.
yang kemudian hasilnya dapat dijadikan 01
OMS dan populasi kunci perlu
bahan advokasi kepada Dinkes untuk
mendorong pemerintah untuk melakukan
melakukan peningkatan kualitas. Dinkes juga
peninjauan ulang berbagai kebijakan
harus memperluas jaringan layanan HIV,
yang menstigma dan mendiskriminasikan
tidak hanya pada layanan kesehatan milik
populasi kunci, agar tidak menghambat
pemerintah namun juga layanan swasta.
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Untuk mendukung program yang sudah Contohnya peninjauan ulang penerapan
dilaksanakan oleh OMS, maka pemerintah Perda tentang penutupan lokalisasi, agar
daerah, melalui Dinkes, harus menyediakan populasi yang terdampak langsung dari
pembiayaan khusus yang dapat diakses oleh program ini mempunyai akses terhadap
OMS. Mekanisme mengakses pembiayaan layanan kesehatan terutama tatalaksana
diatur dalam kebijakan daerah, misalnya IMS dan tes HIV. Selain itu, OMS dan
melalui peraturan Gubernur/Bupati dalam populasi kunci perlu terus mengadvokasi dan
bentuk Surat Keputusan (SK) . berpartisipasi aktif dalam perumusan dan
evaluasi kebijakan.
Pemerintah daerah harus mampu
menyediakan informasi dan data epidemi Perguruan tinggi atau lembaga
untuk membuat perencanaan program akademik adalah aktor yang seharusnya
dan penganggaran yang sesuai dengan terlibat dan bisa memberikan peran yang
kebutuhan daerah. Dinkes bertanggung lebih besar dalam penanggulangan HIV
jawab untuk mengumpulkan, memproduksi, dan AIDS. Peran kalangan ini yang perlu
mendiseminasikan informasi strategis untuk ditingkatkan adalah melakukan kajian
perencanaan program dan penganggaran. terkait pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Perlu juga melaksanakan monitoring dan di era BPJS untuk layanan HIV dan AIDS,
43
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a
khususnya bagi populasi kunci dan Prichett, Lant., Woolcock, Michael., Andrews, Matt. (2012).
“Looking Like a State: Techniques of Persistent Failure
kelompok yang termarjinalkan agar mereka
in State Capability for Implementation”. CID Working
dapat mengakses layanan tersebut. Mereka Paper No. 239, Juni 2012.
perlu diajak bekerjasama baik oleh OMS, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan
pemerintah atau bahkan lembaga donor. Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI bekerjasama
dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional,
Indonesian HIV/AIDS and STD Prevention and Care
Project-AusAID, 2005. Kajian penelitian sosial dan
perilaku yang berkaitan dengan infeksi menular
seksual, HIV/AIDS di Indonesia, 1997-2003.
D af ta r P u st ak a Shiffman, J. (2008). Has donor prioritization of HIV/AIDS
displaced aid for other health issues? Health Policy
Basuki, E., I. Wolffers, W. Deville, N. Erliaini, D. Luhpuri,
and Planning, 23(2), 95–100. http://doi.org/10.1093/
R. Hargono, N. Maskuri, N. Suesen, dan N.v. Beelen.
heapol/czm045
2002. “Reasons for not using condoms among female
sex workers in Indonesia.” AIDS Education Preview Trisnantoro, L. (2007). Pelaksanaan Desentralisasi
14(2): 102–1. Kesehatan di Indonesia 2000 – 2007.
Crisovan, P. L. 2006. “‘Risky’ Business: Cultural WHO, 2008. WHO Country Cooperation Strategy
Conceptions of HIV/AIDS in Indonesia.” Disertasi. 2007–2011 Indonesia
University of Pittsburgh. Wolffers, I. (1999). Pacar and Tamu: Indonesian women sex
Kemenkes RI. (2013). “Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di workers’ relationships with men. Culture, Health &
Indonesia Tahun 2010–2016.” Sexuality, 1(1), 39-53.
KPAN. (2010). Strategi dan Rencana Aksi Nasional World Bank (2005). “Document of The World Bank
Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 – 2014. Report No.32572 Project Performance Assement
Report Indonesia HIV/AIDS dan STDs Prevention
KPAN. (2015). Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Manajement Project (LOAN No 3981).” June 13, 2005
Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 – 2014
(draft).
KPAN, 2011. Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia 2006 -2011: Laporan 5 Tahun Pelaksanaan
Perpres No 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan
AIDS.
KPAN. (2003). SRAN Penanggulangan HIV/AIDS 2003-
2007
Nadjib, M., Megraini, A., Ishardini, L., & Rosalina, L. (2013).
Final Report National AIDS Spending Assessment
2011-2012.
Nugroho, K. (2008). “Sosioseksualitas dan HIV/AIDS di
Indonesia.” Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia.
Ogden, J., & Nyblade, L. (2005). Common at Its Core:
HIV-Related Stigma Across Contexts. Washington,
DC: ICRW
PEPFAR. (2011). “Indonesia Operational Plan Report FY
2011.”
Pisani, E. (2008). The Wisdom of Whores: Bureaucrats,
Brothels and the Business of Aids, New York, W.W.
Norton.
PKMK FK UGM. (2015). ‘Tinjauan respons sektor komunitas
terhadap penanggulangan HIV dan AIDS’
PKMK FK UGM. (2009). Pelaksanaan Desentralisasi
Kesehatan di Indonesia 2000-2007: Mengkaji
Pengalaman dan Membahas Skenario Masa Depan
Praptoraharjo et al, (2013). NSP Review in Indonesia,
UNODC Indonesia.
Prichett, Lant. (2014). It is all about MeE. Presentasi dalam
MCC M&E College, 5 Februari 2014. Washington DC.
44
01
45
02
Kebijakan & Program
Pencegahan HIV
di Tingkat Kabupaten/Kota
di Indonesia
Muh am m ad Suharni
46
M u ham m ad Su harn i
A.
Pendahuluan
47
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
mandat kepada pemerintah daerah agar mengidentifikasi perlu ada dua kondisi
berperan aktif dalam pencegahan HIV penting. Pertama, integrasi harus dilakukan
dan AIDS adalah Permenkes No 21 tahun di pelayanan kesehatan pemerintah
2014 serta mandat dari Perda HIV dan (general health care). Hal ini dikarenakan
AIDS di tingkat kabupaten/kota. Peran aktif akses terhadap layanan swasta dengan
pemerintah daerah dalam penanggulangan pembiayaan oleh pemanfaat layanan di
HIV dan AIDS meliputi penyelenggaraan low income countries sangat memberatkan;
berbagai upaya penggalian dan penang usaha untuk mengubah perilaku penyedia
gulangan HIV dan AIDS, penetapan situasi layanan swasta berdasarkan panduan
epidemik, menjamin ketersediaan pela nasional di negara berkembang sangat
yanan kesehatan tingkat primer dan rujuk sulit dan cenderung mendapat penolakan
an serta penyelenggaraan sistem pen dari praktisi pemberi layanan swasta;
catatan, pelaporan dan evaluasi dengan dan kapasitas otoritas kesehatan dalam
memanfaatkan sistem informasi.14 mengatur dan mengontrol fasilitas layanan
kesehatan swasta masih menjadi batu
Dengan demikian, perubahan sistem
sandungan di negara berkembang. Kedua,
pemerintahan dari sentralisasi ke desentra
integrasi administratif dan operatif15 harus
lisasi berpengaruh terhadap kebijakan dan
dilakukan secara simultan, karena program
program pencegahan HIV dan AIDS. Hal ini
vertikal seringkali tidak cocok dengan
dikuatkan oleh beberapa hasil penelitian
perencanaan desentralisasi di daerah. Ketika
yang dilakukan di beberapa negara bahwa
kegiatan di fasyankes merupakan program
desentralisasi merupakan jawaban yang
vertikal, maka peluang untuk pembuatan
memungkinkan untuk menyelesaikan per
kebijakan lokal sangat terbatas dan
masalahan terkait operasional dan koor
keputusan strategis akhirnya akan banyak
dinasi program HIV dan AIDS, terutama
dipegang oleh pemerintah pusat.
dalam hal layanan Perawatan, Dukungan
dan Pengobatan (PDP) (Boyer, et al., 2012; Integrasi ini tidak mudah dilakukan ka
Fronczak, et.al., 2015; Hollister, R.,M.,(n.d); rena ada beberapa tantangan dari global
Kelly, 2003; Zang, et.al., 2011 ). Desentralisasi agency dan pemangku kepentingan subna
juga memberikan peluang bagi pemerintah sional yang cenderung mendorong program
daerah untuk mengintegrasikan upaya vertikal untuk intervensi spesifik, seperti HIV
pencegahan HIV dan AIDS ke dalam sistem dan AIDS (Conceil et.al, 2010). Tantangan
pencegahan penyakit menular umum di lain dalam mengintegrasikan program
daerah. Integrasi intervensi spesifik seperti vertikal adalah minimalnya upaya advokasi
upaya pencegahan HIV dan AIDS ke dalam pencegahan pada kelompok berisiko, tidak
pencegahan penyakit menular umumnya imbangnya pendanaan preventif, lemahnya
agar terjadi efektivitas dan keberlanjutan kapasitas pengambilan keputusan pada
program. Hal ini dapat dilakukan dengan
15) Terkait dengan program, Unger, et.al. (2003)
pengaturan atau adopsi pada tata kelola, mengategorikan tiga jenis program, yakni: program
pembiayaan, perencanaan, pemberian la verikal adalah program yang dilaksanakan berbeda
dengan sistem kesehatan yang ada, program terintegrasi
yanan, monitoring evaluasi serta demand
(administratif dan operasional) dan program tidak
generation (Atun, et.al., 2010; Coker, et. al., langsung (indirect integration/integrasi operational).
2010) . Integrasi administratif adalah tatakelola program yang
sesuai atau tidak sesuai dengan tatakelola fungsi-fungsi
Untuk mengintegrasikan program pe sistem kesehatan di pelayanan kesehatan yang ada.
nanggulangan penyakit tertentu ke dalam Integrasi operasional berupa pelaksanaan fungsi-
fungsi program di tingkat pelayanan kesehatan umum.
sistem kesehatan, Unger, J.P,. et.al. (2003) Penjelasan tentang program vertikal juga dibahas oleh
Atun, R., Bennett, S., & Duran,A. (2008). When do Vertical
14) Permenkes 21 tahun 2013 pasal 8. (stand-alone) programmes have a place in health system.
48
M u ham m ad Su harn i
49
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
Permasalahan
Ekonomi Politik Hukum
Kesehatan
Sistem Kesehatan
Aktor
Manajemen & Penyediaan Informasi Partisipasi
Pembiayaan SDM
Regulasi Farmasi & Alkes Strategis Masyarakat
Dalam tulisan ini, seberapa jauh integrasi kesehatan, dan (4) konteks politik, ekonomi,
upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke hukum dan permasalahan kesehatan di
dalam sistem kesehatan akan dipengaruhi tahap mana penanggulangan HIV dan AIDS
oleh (1) karakteristik permasalahan, ini dilaksanakan, termasuk desentralisasi
kebijakan, dan program HIV dan AIDS (Atun et al., 2010; Coker et al., 2010).
(misalnya PDP, dampak mitigasi), (2) interaksi
Model konseptual dalam tulisan ini
berbagai aktor yang berkepentingan
dikembangkan dengan mengasumsikan
di dalam sistem kesehatan dan upaya
bahwa keempat komponen tersebut
penanggulangan HIV dan AIDS, (3)
saling berinteraksi secara bersama-sama,
karakteristik sistem kesehatan dan interaksi
berpengaruh terhadap tingkat integrasi, dan
antar fungsi-fungsi pokok dalam sistem
menentukan kinerja sistem kesehatan yang
50
M u ham m ad Su harn i
51
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
pada tahun 2007 prevalensi pada penasun daerah, yang dilakukan oleh PKMK
paling tinggi yakni 52,4 %; waria 24,4 %; WPS FK UGM bekerjasama dengan 9
langsung 10,4 %; WPS tidak langsung 4,6 % universitas di 8 provinsi, pelaksanaan
(Kemenkes, 2007). Kemudian pada tahun pencegahan HIV dan AIDS melalui
2008-2014, tren ini berubah ketika pevalensi Program PMTS di Medan, Kupang dan
penularan heteroseksual menjadi 57%, Merauke mengacu pada pedoman
homoseksual sebesar 15%, dan penasun nasional yang dikeluarkan KPAN tahun
sebesar 4% (Kemenkes, 2014). Untuk melihat 2014, yakni pedoman PMTS paripurna
efektivitas program pencegahan, digunakan dengan komponen program terdiri dari:
kinerja program dan tulisan ini hanya akan peningkatan peran positif pemangku
memfokuskan pada program PMTS dan LASS kepentingan, komunikasi perubahan
saja. perilaku, manajemen pasokan kondom
dan pelicin, serta penatalaksanaan IMS
1. Pencegahan Penularan Melalui
dan HIV.
Transmisi Seksual - WPS
Gambaran pelaksanaannya sebagai
Dari hasil studi kasus tentang integrasi
berikut:
penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam sistem kesehatan dan efektifitas Peningkatan peran positif pemangku
penanggulangan HIV dan AIDS di kepentingan dalam PMTS WPS dirancang
52
M u ham m ad Su harn i
53
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
penjangkau dari LSM. Salah satu upaya diperlukan. Puskesmas dan rumah
KPAN untuk mendistribusikan kondom sakit bertanggungjawab melaporkan
agar mudah diakses oleh WPS adalah kepada dinas kesehatan kota tentang
dengan membuat outlet kondom seperti berapa pasien yang dilayaninya, tetapi
yang terdapat di Merauke ada 89 outlet puskesmas tidak melapor kepada KPAK.
kondom, di Medan 158 outlet, dan di Di Merauke dan Medan, puskesmas pun
Kupang sebanyak 28 outlet kondom. melakukan kegiatan mobile clinic untuk
Untuk memudahkan akses, outlet kon pengobatan IMS, KTS mobile ke lokasi-
dom ini dibuat di dekat hot spot agar WPS lokasi hot spot bekerjasama dengan
dan pelanggannya mudah mendapatkan petugas penjangkau dari LSM.
kondom yang bersubsidi.
Di Medan, selama 2014, jumlah
Selain kondom bersubsidi, di WPS yang berkunjung ke layanan
Merauke ditemukan penyediaan kon IMS sebanyak 2.034, yang dites sifilis
dom mandiri yang dikelola dalam 1.233, ditemukan kasus IMS sebanyak
bentuk koperasi, yang pengadaannya 1.127, dan yang diobati 891 (Dinkes Kota
dilakukan secara mandiri oleh pokja Medan, 2014). Dinas kesehatan menar
lokalisasi. Pengelolaan kondom mandiri getkan pengobatan 100% bagi kasus
ini dilakukan untuk mengurangi ketergan yang ditemukan. Dengan demikian,
tungan WPS pada kondom subsidi. kesenjangan antara yang diobati dengan
“Kita ada punya program kondom mandiri di kasus yang ditemukan menunjukkan
lokalisasi Yobar, artinya bahwa itu kita diskusi, bahwa target belum tercapai. Tes dan
kita sepakatkan bahwa ada pendistribusian perawatan IMS juga menjadi pintu un
kondom, terus kemudian ada salah satu wisma
di sana kita beri tanggung jawab, dia yang tuk merujuk pasien ke klinik KTS. Ada
akan menjual kondom sutra, dengan harga 1.648 atau 81% dari WPS yang datang
sesuai dengan di apotek, lebih murah dari itu. ke layanan IMS yang kemudian dirujuk
Kita mengantisipasi supaya kebutuhan kondom
yang diinginkan mereka tetap ada di lokalisasi untuk mendapatkan tes HIV (Dinkes Kota
Yobar. Kedua mereka tidak keluar dari Yobar. Medan, 2014).
Dan juga yang ketiga, bahwa dengan adanya
kondom mandiri dengan mereka beli kita punya Dilihat dari sisi efektivitasnya, pro
cadangan mengantisipasi kalau nanti program gram WPS di Sumatera Utara telah
kondom dari KPA nasional ini hilang.” (Sekretaris
KPA Kabupaten Merauke – Tim Peneliti Uncen, mencakup 48% populasi WPS yang
Juli 2015). dipetakan. Sementara itu di Merauke
sebesar 97% dan di Kupang sebesar
75,3% (STBP, 2007). Sedangkan cakupan
Penatalaksanaan IMS dan HIV menjadi program berdasarkan data dari sistem
tanggung jawab dinas kabupaten/ informasi PKBI di Sumatera Utara sebesar
kota untuk menyediakan layanan 61,4%. Dilihat dari perubahan perilaku,
pemeriksaan dan pengobatan IMS dan indikasinya bisa dilihat dari WPS yang
layanan tes HIV sesuai kebutuhan WPS. melaporkan selalu menggunakan
Kader atau petugas lapangan berperan kondom di minggu terakhir 65,6 % di
sebagai pendamping dan merujuk WPS Papua dan 16% di Deli Serdang, Sumatera
yang memerlukan layanan. Di Medan, Utara (STBP, 2007). Rendahnya cakupan
kader dan petugas lapangan merujuk ke program di Sumatera Utara dan dise
Puskesmas Padang Bulan. Puskesmas babkan oleh sulitnya menjangkau WPS
menerima rujukan pasien WPS dari LSM karena tidak ada lokalisasi, sedangkan
dan puskesmas juga merujuk ke rumah di Merauke dan Kupang masih tersisa
sakit untuk layanan lanjutan apabila sejumlah lokalisasi.
54
M u ham m ad Su harn i
55
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
56
M u ham m ad Su harn i
Perubahan perilaku
Selalu menggunakan kondom 13,6%
dalam hubungan seks anal
insertif dalam bulan terakhir
Selalu menggukan kondom di 65,6% 1 Papua
minggu terakhir (%) 16%4 Sumut
Menggunakan jarum umum1 16,1%
Penasun berbagai jarum1 20.1 %
Menggunakan kondom 40%
konsisten pada hubungan seks
komersial 1 bulan terakhir1
Keterangan:
1. Sumber STBP 2011. *) Data Provinsi Sumut **) data DKI Jakarta ***) data Kota Surabaya
2. Sumber + SI PKBi. ++ SI NU;
3. Persentase penasun yang dijakau berdasarkan dari penasun yang dijakangkau/
pemetaan KPA DKI Jakarta di kali 100 %
4. Sumber STBP 2007.
57
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
Surabaya dapat dikatakan tidak efektif dari menjadikan HIV sebagai program prioritas.
segi cakupannya, hal yang dikarenakan Untuk program LASS, puskesmas telah
masih di bawah target nasional yang menganggarkan dana pertemuan bagi
menetapkan 80% populasi kunci terjangkau penasun berdasarkan Surat Edaran Kepala
oleh program. Tabel 5 menggambarkan Dinas Kesehatan tentang Kemandirian
prevalensi HIV dan kinerja program pada Program Harm Reduction. Sebaliknya,
kelompok LSL, WPS, dan penasun. ada pula pemerintah daerah yang tidak
menindaklanjuti regulasi yang telah
dibuatnya ke dalam kebijakan operasional
D.
untuk mendukung program pencegahan HIV
dan AIDS. Misalnya, di Medan dan Kupang,
pemerintah daerah belum melihat Progam
Desentralisasi dan PMTS WPS sebagai program prioritas.
Pelaksanaan Kebijakan dan “Jadi, kalau dulu pemerintah dari atas itu lebih mudah
Program HIV & AIDS di Daerah dicerna... gambarannya kalau dulu kan dari tingkat
pusat kalau ada perintah, ada Permendagri itu semua
ikut langsung. Kalau sekarang, e kepala daerah kan
Salah satu bentuk perwujudan pelaksanaan bisa punya kajian macem-macem. Istilahnya, ‘ah ini
belum perlu kali.” (KPA Kota Medan – Tim Peneliti
desentralisasi adalah kewenangan USU, September 2015).
menentukan prioritas kesehatan yang
tampak dalam komitmen dan regulasi Seberapa jauh komitmen pemerintah
pemerintah daerah untuk melaksanakan daerah menanggulangi HIV dan AIDS tidak
perencanaan, penganggaran dan bisa dilepaskan dari interaksi dan komunikasi
implementasi penanggulangan HIV dan antar pemangku kepentingan di daerah
AIDS di daerah. Komitmen pemerintah tersebut, baik dari sektor pemerintah maupun
daerah terhadap kebijakan dan program non-pemerintah. Ini perlu menjadi perhatian
pencegahan HIV dan AIDS bervariasi. karena komitmen dan kebijakan pemerintah
Secara umum sudah menunjukkan adanya daerah ini pada dasarnya merupakan hasil
komitmen dari pemda, yang ditandai proses komunikasi atas permasalahan HIV
tercantumnya isu penanggulangan HIV dan dan AIDS yang dihadapi di daerah tersebut
AIDS dalam RPJMD, perda penanggulangan oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
HIV dan AIDS, serta kebijakan teknis di Oleh karena proses komunikasi politik
tingkat kabupaten/kota. Namun, dari sisi melibatkan kepentingan dan kekuasaan,
pelaksanaannya, komitmen ini variasi di maka kebijakan HIV dan AIDS di suatu
beberapa daerah. daerah perlu dianalisis lebih jauh
melalui peran masing-masing pemangku
Pemerintah di tingkat kabupaten/kota kepentingan di dalam penanggulangan HIV
yang memaknai desentralisasi secara positif dan AIDS, baik yang bergerak di bidang
dapat membuat kebijakan dengan mendanai teknis seperti fasyankes, LSM, kelompok
program pencegahan HIV dan AIDS secara populasi kunci, maupun bidang administratif
mandiri, seperti di Jayapura, Merauke, seperti Bappeda, Dinas Kesehatan, KPAD
dan Manokwari yang mengalokasikan dan lain-lain.
pembiayaan untuk program pencegahan
HIV dan AIDS dari APBD dan dana otonomi Seperti disebutkan di atas bahwa
khusus di Papua. Contoh lain, komitmen kepentingan dan kekuasaan pada
politik Pemda DKI dalam program HIV hakikatnya yang akan menentukan
tampak dengan adanya peran dan kebijakan bentuk kebijakan dan pelaksanaan
Gubernur DKI yang diikuti oleh SKPD dengan kebijakan penanggulangan HIV dan
58
M u ham m ad Su harn i
AIDS dari pemerintah daerah. Analisis yang memasukkan isu HIV dan AIDS sebagai
isu strategis dalam hal new emerging disease.
tentang kepentingan dalam tulisan ini Selain itu, Dinkes Kota Denpasar membuat dan
difokuskan untuk melihat posisi atau peran melaksanakan program serta menganggarkan
yang diinginkan atau diharapkan agar dana penanggulangan HIV dan AIDS.” (Tim
Peneliti Unud, 2014)
memberikan manfaat bagi stakeholder
dalam pencegahan HIV dan AIDS di Pada tataran yang lebih operasional,
daerah. Sedangkan kekuasaan dilihat dari Dinas Kesehatan Surabaya dan Denpasar
kemampuan baik secara politik maupun telah mengalokasikan pendanaan yang
sumber daya untuk memengaruhi atau bersumber dari APBD untuk mendukung
mengontrol pelaksanaan perubahan penyediaan layanan HIV di puskesmas
kebijakan. bagi populasi kunci termasuk LSL.
Demikian pula Dinas Kesehatan di Kota
Di bawah ini digambarkan tentang peran
Kupang, Kota Medan, dan Kabupaten
para pemangku kepentingan kunci dalam
Merauke yang rutin mensupervisi untuk
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat
memastikan bahwa layanan kesehatan
daerah.
di daerahnya menyediakan layanan
a. Dinas Kesehatan terkait PMTS dalam bentuk layanan
Meski permasalahan HIV dan AIDS penatalaksanaan IMS. Bahkan Dinas
merupakan permasalahan lintas sektor, Kesehatan Merauke telah sepenuhnya
tetapi pada hakikatnya tetap merupakan menggunakan sumber dayanya sendiri
permasalahan kesehatan. Untuk dan menetapkan target sendiri untuk
itu dinas kesehatan, sesuai dengan layanan IMS dan KTS.
mandatnya sebagai penanggung jawab Sebagian peran memang sudah
utama pembangunan kesehatan di dilakukan, tetapi ada peran strategis 02
kota/kabupaten,17 harus merumuskan lain yang belum dilakukan oleh
kebijakan teknis, menetapkan dan dinas kesehatan untuk mendukung
melaksanakan program, serta melakukan penanggulangan HIV dan AIDS di
pembinaan dalam penanggulangan HIV daerahnya. Sebagai contoh, Dinkes
dan AIDS. Beberapa upaya yang telah Kupang dan Medan belum mengalo
dilakukan oleh dinas kesehatan untuk kasikan dana dan sumber daya untuk
melaksanakan mandatnya dalam bidang program PMTS WPS karena masih
penanggulangan HIV dan AIDS, misalnya mengacu pada dukungan dari pusat
Dinkes DKI Jakarta yang memasukkan (donor), termasuk penentuan target IMS
HIV dan AIDS ke dalam Renstra dan KTS. Peran lain yang belum optimal
Kesehatan dan merumuskan surat tampak pada upaya pembinaan yang
edaran tentang kemandirian program masih lebih banyak memberikan fokus
HR di puskesmas. Sementara itu Dinas pada kegiatan-kegiatan kuratif daripada
Kesehatan Kota Denpasar memasukkan yang bersifat pencegahan. Peran ini
penanganan masalah HIV dan AIDS justru lebih banyak dilakukan oleh KPAK
menjadi isu prioritas dalam rencana yang sebenarnya merupakan lembaga
strategisnya. koordinasi bukan pelaksana.
“Dinkes Kota Denpasar dalam membuat rencana
strategis Dinkes Kota Denpasar 2010–2015
Fungsi lain yang belum optimal
dilaksanakan dinas kesehatan adalah
17) Lihat: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2007
fungsi monitoring dan evaluasi program
tentang Organisasi Perangkat Daerah, Dinkes merupakan
pemegang otoritas tertinggi dalam bidang kesehatan di pencegahan HIV dan AIDS. Dinkes hanya
Kabupaten, sebagaimana diatur juga dalam UU Nomor monitoring dan evaluasi ke fasilitas
23/2014 Lampiran B.
59
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
layanan kesehatan yang ada di bawah Mekanisme yang dijalankan oleh KPAD
strukturnya, seperti puskesmas dan ialah pertemuan-pertemuan perenca
Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) di naan, pelaksanaan, dan pengawasan
Papua Barat. Belum ada mekanisme program dengan melibatkan dinkes,
monitoring terhadap lembaga lain yang SKPD anggota, LSM, ODHA, dan populasi
melakukan program pencegahan, seperti kunci. Dalam pelaksanaan program
kegiatan-kegiatan penjangkauan yang pencegahan, KPAD telah melakukan
dilakukan oleh LSM. Bahkan dalam fungsi koordinatifnya dengan para
pelaksanaannya, untuk monev, program penyedia layanan lain, misalnya pada
pencegahan di LSM dilakukan oleh KPAD program PMTS di Medan, Kupang dan
dalam bentuk pertemuan-pertemuan Merauke, KPAD mengoordinir kompo
dengan LSM dan pelaporan kegiatan nen komunikasi perubahan perilaku,
LSM ke KPAD. Pada program LASS di peningkatan peran positif pemangku
Jakarta misalnya, walau program LASS kepentingan, dan manajemen pasokan
ada di puskesmas tetapi monitoring kondom dan pelicin melalui pertemuan
kinerja program dilakukan oleh staf koordinasi berkala setiap tiga bulan.
teknis dari HIV Cooperation Program for Selain itu, KPA Kota Medan juga mengo
Indonesia (HCPI) sebagai pemberi dana ordinasi LSM dalam melakukan penjang
program LASS. kauan WPS, membentuk pokja PMTS
dengan nama Pokja Kota dengan
Dari sisi kepentingan dinkes terhadap
anggota terdiri dari personil-personil dari
program PMTS sebenarnya cukup tinggi
dinas kesehatan, dinas perhubungan,
karena program ini menjadi tolok ukur
dinas sosial dan tenaga kerja, satpol
kinerja dinkes sebagai penanggung ja
PP, dinas kebudayaan dan pariwisata,
wab utama kesehatan di daerah. Dalam
puskesmas dan LSM Medan Plus. Dalam
praktiknya, dinkes melakukan investasi
kapasitasnya sebagai penanggung jawab
terhadap PMTS berupa penyediaan SDM
perencanaan program penanggulangan
untuk PMTS di puskesmas. Demikan ju
AIDS di daerah, KPAD Denpasar mampu
ga dengan kekuasaan dinkes terhadap
mendorong dan memobilisasi SKPD
program PMTS tinggi karena, dalam
yang lain untuk mengalokasikan dana
praktiknya, dinkes yang menentukan
pencegahan AIDS melalui APBD.
penyediaan layanan yang dibutuhkan
oleh populasi kunci, seperti menentukan “Dana APBD II yang dikelola oleh KPAK dan
Bidang P2 Dinkes, dalam tiga tahun terakhir
puskesmas yang menyediakan LASS di mengalami peningkatan yaitu pada tahun
DKI. 2012, 2013 dan 2014 berturut-turut sebesar
Rp. 1.286.082.700, Rp. 1.084.480.650, dan Rp.
1.604.228.100. Pada tahun 2014, sebesar 1,2
milyar rupiah dikelola oleh KPAK Denpasar dan
b. Komisi Penanggulangan AIDS Kota sekitar 400 juta dikelola oleh Bidang P2 Dinkes
Kota Denpasar.” (Laporan Tim Peneliti Udaya,
Mandat yang diberikan kepada KPA kota/ 2015)
kabupaten adalah sebagai lembaga
Meski demikian, ada kecenderungan
yang mengoordinasikan semua upaya
dalam program pencegahan HIV dan
penanggulangan HIV dan AIDS yang
AIDS bahwa, selain bertindak sebagai
dilakukan oleh SKPD anggotanya.18
koordinator, KPAD juga menjadi pelak
18) Pembentukan KPA Kota/Kabupaten adalah sana, misalnya dalam hal pengelolaan
pelaksanaan Permendagri Nomor 20/2007 Pasal 2 dan kondom dan pelicin, mendistribusikan
Perpres Nomor 75/2006 Pasal 8. Permendagri Nomor kondom dan pelicin ke LSM atau outlet
20/2007 menegaskan bahwa KPA Kabupaten/Kota
memiliki sembilan tugas dan dua kewenangan. kondom yang ada di daerah tersebut
60
M u ham m ad Su harn i
karena pengadaannya dilakukan oleh sebagai alat pencegahan HIV dan AIDS,
KPAN. masih sering mendapat tantangan.
Peran lain yang belum dilakukan
KPAD adalah advokasi pelaksanaan
c. Badan Perencanaan dan Pembangunan
perda di daerah, seperti mengadvokasi
Daerah (Bappeda)
anggaran penanggulangan HIV dan
AIDS dan penciptaan lingkungan yang Bappeda kota/kabupaten dalam struktur
kondusif. Advokasi anggaran oleh KPAD pemerintahan daerah mempunyai
ke Bappeda dan kepala daerah belum tugas melaksanakan penyusunan
optimal, sehingga seringkali usulan dan pelaksanaan kebijakan daerah di
anggaran penanggulangan HIV dan bidang perencanaan pembangunan
AIDS dari SKPD dicoret oleh Bappeda. daerah. Posisi ini memberi kewenangan
Informasi yang didapat dari lapangan, Bappeda menyetujui atau menolak
peran ini belum optimal karena posisi usulan dari SKPD. Peran Bappeda lebih
KPAD berada di luar struktur pemerintah berfokus pada masalah administratif
daerah dan juga karena masih adanya daripada teknis, sehingga lembaga ini
dana dari pusat. Posisi KPAD sebagai tidak bersentuhan langsung secara
lembaga ad hoc dan di luar struktur teknis dengan program pencegahan HIV
pemerintahan daerah, menempatkan dan AIDS. Oleh karena fungsi vitalnya
posisi tawar KPAD ke Bappeda menjadi dalam administrasi di tingkat daerah,
lemah. Di sisi lain, saat ini KPAD peran dukungan Bappeda terhadap
mendapatkan dukungan dana untuk kebijakan program penanggulangan
pencegahan dari pusat melalui KPAN HIV dan AIDS menjadi sangat penting,
yang peruntukannya sudah ditentukan karena lembaga ini memastikan bahwa 02
oleh KPAN. Dana dari pusat ini membuat perencanaan dan penganggaran yang
KPAD abai melakukan advokasi diusulkan oleh SKPD di kabupaten/kota
pendanaan ke pemerintah daerah. sesuai dengan pedoman penyusunan
anggaran dan mengacu pada pagu
Terkait dengan kepentingan dan
anggaran yang telah ditentukan serta
kekuasaan KPAD terhadap pencegahan
berdasarkan pada tupoksi SKPD
HIV dan AIDS, ditemukan bahwa
masing-masing. Meski permasalahan
kepentingan KPAD tinggi karena hal
HIV dan AIDS perlu dilakukan secara
ini menjadi tugas pokok utama KPAD
lintas sektor, tetapi merupakan domain
tetapi kekuasaannya rendah. Hal ini
utama dan tupoksi dinas kesehatan. Ini
bisa dilihat dari ketidakmampuannya
menyebabkan SKPD lain, yang biasanya
melakukan advokasi ke Bappeda dan
membuat anggaran pencegahan HIV dan
mengoordiniasi tokoh agama dan
AIDS, tidak memungkinkan mengajukan
tokoh masyarakat untuk terlibat dalam
usulan anggaran tersebut karena bukan
penanggulangan HIV dan AIDS. KPA Kota
tupoksinya. Hal ini bisa dilihat dari
Denpasar misalnya, belum melakukan
pengalaman Bappeda di Medan:
komunikasi intensif dengan Majelis
“...pekerjaan itu bukan bagian mereka, ga ada
Masyarakat Desa Pakaraman (MMDP)
tupoksinya untuk penyuluhan, kecuali tanda
tentang upaya ini, sehingga majelis rambu lalu lintas bolehlah [Dinas] Perhubungan
ini belum mendukung sepenuhnya buat seperti itu, tapi kalo HIV walaupun
sasarannya supir angkot, kan itu kerjaannya
program pencegahan HIV dan AIDS di
Dinas Kesehatan...” (Wawancara mendalam
kota ini. Akibatnya, beberapa kegiatan Tim USU dengan Kabid Sosbud Bappeda Kota
pencegahan, seperti promosi kondom Medan, September 2015).
61
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
62
M u ham m ad Su harn i
63
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
64
M u ham m ad Su harn i
terhadap upaya pencegahan HIV dan harusnya melekat erat pada kerja-
AIDS yang mampu berkontribusi pada kerja LSM, ternyata belum terlalu
capaian kinerja layanan yang efektif. kelihatan. Semestinya LSM sebagai
Gambaran di atas menunjukkan bahwa mitra kritis pemerintah daerah mampu
PKR mempunyai kepentingan dan melakukan advokasi kebijakan dan
kekuasaan tinggi dalam program PMTS. mendorong pembiayaan dari daerah
untuk penanggulangan HIV dan AIDS
di wilayahnya. Keikutsertaannya dalam
e. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)/ berbagai pertemuan di KPAD dan dinkes
Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) lebih diikat dalam kerangka pertemuan
rutin program yang dilaksanakannya.
Dalam konteks penanggulangan HIV
Bahkan, LSM daerah cenderung kurang
dan AIDS, OMS/LSM berfungsi dan
memperkuat jaringan dengan LSM lain
mampu melakukan pendekatan kepada
yang tidak bergerak di isu ini. Mereka
kelompok populasi kunci, seperti
cenderung memperkuatnya dengan
WPS, penasun, dan LSL yang relatif
jaringan populasi kunci tingkat nasional,
cukup sulit untuk dijangkau. Peran
seperti GWL-Ina untuk LSM LSL dan
LSM ini diakui keberadaannya oleh
Persaudaraan Korban Napza Indonesia
stakeholder lain, seperti dinkes dan
(PKNI) untuk LSM yang bekerja di
KPA. Keahlian ini menjadi sumberdaya
program LASS.
LSM dalam memengaruhi stakeholder
lainnya. Namun, hingga saat ini, untuk Dari hasil analisis pemangku
melaksanakan peran-peran tersebut, LSM kepentingan, LSM yang bergerak di isu
masih sangat tergantung pada dukungan HIV dan AIDS mempunyai kepentingan
MPI untuk penyediaan infrastruktur, tinggi dalam penanggulangan HIV dan 02
operasional, dan peningkatan kapasitas AIDS. Program ini merupakan kegiatan
SDM-nya. Ini ditemui dalam program utama mereka dan menjadi kekuatan
PMTS WPS di Medan, Kupang, dan LSM, khususnya dalam hal penjangkauan
Merauke. Dalam melaksanakan kelompok populasi kunci. Adanya
programnya, LSM mendapat bimbingan program seperti ini menjadikan LSM
teknis dari MPI dan pemerintah. mempunyai kegiatan dan memperoleh
pendanaan. Sebagai pelaksana program,
Di DKI Jakarta, LSM cenderung
LSM mempunyai kekuasaan yang rendah
menjadi pelaksana program LASS yang
dibanding dengan MPI yang mampu
sudah direncanakan dan didukung
merencanakan program dan memberikan
sumber dayanya baik SDM dan dana
pendanaan.
yang berasal dari MPI. Hal ini berbeda
dengan LSM LSL di Surabaya yang
keberadaannya dibentuk berdasarkan
f. Populasi Kunci (WPS, LSL dan penasun)
kebutuhan LSL. LSM LSL di Surabaya
sebagai wadah bagi LSL berkiprah Populasi kunci merupakan stakeholder
meningkatkan kapasitas, mendapatkan utama penerima manfaat program-
layanan, dan berjejaring dengan LSM LSL program penanggulangan HIV dan
lainya. Mereka menjadi pemain utama AIDS. Ini tampak dari program LSL di
dalam pembentukan jaringan Gay, Waria, Surabaya dan Denpasar yang mampu
Lesbian Indonesia (GWL-Ina). mendorong dinkes menyediakan layanan
Puskesmas ramah LSL. Penasun di DKI,
Peran advokasi dalam upaya
dengan program LASS, memudahkan
penanggulangan HIV dan AIDS yang
65
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
66
M u ham m ad Su harn i
67
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
68
M u ham m ad Su harn i
69
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
untuk pengadaan dan distribusi kondom Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
dan pelicin pada WPS dan LSL serta alat Untuk program LSL, selain dari sumber
suntik steril untuk penasun, sepenuhnya dana JKN dan Jamkesda, LSL di
masih bergantung pada pusat yang Denpasar bisa mengakses layanan dan
didukung oleh donor. Dengan demikian, pengobatan dari Rainbow Community,
dapat dikatakan bahwa kontribusi daerah OMS dengan target pemberian layanan
untuk pembiayaan alat pencegahan HIV dan AIDS pada kelompok LSL.
penularan HIV, baik melalui transmisi
Dari pemaparan di atas, dapat
seksual maupun melalui jarum suntik,
disimpulkan bahwa pembiayaan upaya
belum sepenuhnya berjalan.
pencegahan HIV dan AIDS di tingkat
kabupaten/kota di wilayah penelitian
tidak terintegrasi ke dalam sistem
Mekanisme Pembayaran Layanan
pembiayaan kesehatan, walaupun ada
Mekanisme pembayaran layanan alokasi dan untuk itu. Namun alokasi
pencegahan HIV dan AIDS berbeda pembiayaan untuk pencegahan masih
dibanding mekanisme pembayaran mengandalkan dana donor yang dikelola
pencegahan penyakit menular umumnya. berbeda dengan sistem pembiayaan
Pada fasilitas layanan yang telah dibiayai penyakit menular lainnya, begitu juga
oleh MPI, layanan bisa gratis seperti dengan sistem penggratisan lantaran
jarum suntik pada layanan LASS, kondom adanya dana program.
dan pelicin di intervensi PMTS WPS dan
LSL. Kondisi ini sangat berbeda dengan
mekanisme layanan pada penyakit b. Sumber Daya Manusia (SDM)
umum yang untuk mendapatkannya bisa
Sumber Daya Manusia dalam upaya
melalui mekanisme JKN atau membayar
penanggulangan HIV dan AIDS terdiri
sendiri. Pemerintah Kupang dan Medan
dari tenaga kesehatan dan non kesehat
menyediakan skema pembayaran
an. Tenaga kesehatan berperan membe
layanan gratis hanya sampai tingkat
rikan layanan PMTS pada WPS dan LSL,
puskesmas yang bisa diakses oleh
seperti penatalaksanaan IMS. Pelayanan
WPS non anggota JKN untuk periksa
tersebut tidak berbeda dengan yang dila
dan pengobatan IMS. Pemerintah
kukan pada sistem pencegahan penyakit
Kota Merauke membuat mekanisme
menular umumnya. SDM ini terdiri dari
pembayaran layanan dalam bentuk
dokter, perawat, petugas laboratorium
layanan gratis untuk penduduk asli ber-
dan tenaga administasi dengan status
KTP dan penduduk pendatang tanpa
PNS atau tenaga kontrak. Mereka direkrut
kelengkapan persyaratan administrasi
melalui jalur formal pengadaan tenaga
kependudukan (akan dibantu oleh dinas
kesehatan berdasarkan kebutuhan
sosial untuk dibuatkan Nomor Induk
dan mekanisme perekrutan pegawai di
Kependudukan pengganti KTP). Di DKI
daerah.
Jakarta, penasun mendapat layanan
LASS gratis karena program ini di DKI Di Denpasar rekrutmen ini diumumkan
masih didanai oleh MPI. Tidak ada skema secara luas melalui website dan
JKN yang memberikan dana untuk seleksinya dilaksanakan oleh pemerintah
LASS. Sampai penelitan ini dilakukan, daerah. Sedangkan SDM program PMTS
pembiayaan program LASS masih dari WPS, LSL dan LASS non kesehatan
MPI, walaupun pembelian jarum suntik diatur dengan regulasi dan kebijakan
memungkinkan dari dana Puskesmas berbeda dengan tenaga medis yang
70
M u ham m ad Su harn i
ada. Aturannya ditetapkan oleh masing- SDM non tenaga kesehatan yang
masing lembaga yang mempekerjakan bekerja di program pencegahan HIV
mereka, sehingga ada perbedaan antara dan AIDS ada yang bekerja di LSM.
satu lembaga dengan lainnya. SDM non Perekrutan staf LSM dilakukan oleh
tenaga kesehatan dalam program PMTS masing-masing lembaga dan tidak
WPS, LSL dan LASS terdiri dari petugas dikoordinasikan oleh dinas kesehatan.
lapangan yang melakukan penjangkauan Dinkes tidak merekrut dan pengelolaan
ke populasi kunci, manajer kasus, dan SDM AIDS di LSM, seperti mengatur
konselor. Pemenuhan kebutuhan SDM kompetensi, pengembangan kapasitas,
ini untuk tenaga di luar tata laksana dan penempatan SDM tersebut.
IMS masih terpisah dan belum menjadi Pengembangan kapasitas SDM AIDS dari
bagian dari kebijakan kesehatan di LSM dilakukan oleh LSM sendiri dengan
daerah. Petugas kesehatan yang terlibat sumber pembiayaan dari MPI atau
dalam layanan pencegahan HIV dan dana APBD melalui mekanisme hibah
AIDS juga memiliki tugas untuk layanan dari KPAD. Dengan demikian kebijakan
kesehatan lainnya. Tidak ada rekrutmen pengadaan dan pembiayaan SDM
khusus yang dilakukan untuk SDM non kesehatan masih mengacu pada
kesehatan yang terlibat dalam program kebijakan lembaga pelaksana program,
pencegahan HIV dan AIDS. Peningkatan sehingga SDM dalam upaya pencegahan
kapasitas keterampilan dilakukan HIV dan AIDS juga tidak terintegrasi
melalui pelatihan spesifik, misalnya dengan SDM yang ada pada upaya
pelatihan memberi konseling HIV dan pencegahan penyakit menular umumnya
AIDS, penatatalaksanaan IMS pada di daerah.
WPS dan LSL, pelatihan pengambilan 02
dan pemeriksaan sampel darah,
sebagaimana yang dilakukan di Medan, c. Penyediaan Farmasi dan Alat
Kupang, dan Merauke. Kesehatan
Semua SDM yang bekerja di program Penyediaan logistik farmasi dan alat
AIDS mendapat kompensasi berupa kesehatan untuk program pencegahan
insentif atau gaji. Hanya petugas HIV dan AIDS tidak terintegrasi dengan
kesehatan yang ditempatkan oleh sistem penyediaan logistik farmasi dan
pemerintah dan tenaga koordinasi alat kesehatan (alkes) di pencegahan
di KPAK yang dibiayai oleh negara. penyakit menular umumnya di tingkat
Ada kebijakan yang mendukung kabupaten/kota yang masih didukung
bagi penempatan SDM kesehatan di dana MPI. Sedangkan di daerah yang
program pencegahan tingkat lapangan tidak ada donor, penyediaan logistik ini
dengan pembiayaan dari negara, yakni terintegrasi dengan sistem penyediaan
Permenkes 1199/Menkes/PER/X/2004 logistik dan alat kesehatan umum
yang mendasari Pedoman Pengadaan di daerah. Regulasi20 penyediaan,
Tenaga Kesehatan dengan perjanjian penyimpanan, diagnostik dan terapi
kerja di sarana kesehatan milik untuk program pencegahan HIV dan
pemerintah. Pelaksanaan pedoman ini AIDS berbeda dengan regulasi logistik
dilakukan pemerintah daerah, seperti di kesehatan umumnya. Penyediaan dan
Surabaya dan Denpasar, dalam bentuk
mengangkat tenaga kontrak untuk 20) Secara nasional kebijakan logistik dan farmasi diatur
dalam PP Nomor 72/1998 tentang pengamanan sediaan
petugas lapangan program pencegahan
farmasi dan alat kesehatan (Lembar Negara Tahun 1998
pada LSL dengan biaya dari APBD. No 138, tambahan Lembar Negara No. 3781).
71
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
72
M u ham m ad Su harn i
73
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
74
M u ham m ad Su harn i
Dimensi
Dimensi
Dimensi
Fungsi
Fungsi
Fungsi
1 Regulasi
Manajemen dan
regulasi
2 Formulasi kebijakan
3 Akuntabilitas
Pengelolaan sumber
4
pembiayaan
Penganggaran,
Pembiayaan 5 proporsi, distribusi
dan pengeluaran 02
Mekanisme
6
pembayaran layanan
Kebijakan dan sistem
7
manajemen SDM
Sumber daya
manusia 8 Pembiayaan SDM
9 Kompetensi SDM
Regulasi penyediaan,
Penyediaan 10 penyimpanan,
farmasi dan alat diagnostik dan terapi
kesehatan
11 Sumber daya
Sinkronisasi Sistem
12
Informasi
Informasi
strategis
Diseminasi dan
13
Pemanfaatan
Partisipasi Partisipasi
Masyarakat
14
Masyarakat
Ketersediaan
15
layanan
Upaya Koordinasi dan
kesehatan
16
rujukan
Jaminan kualitas
17
layanan
75
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
ini tiga bulan sekali di wilayah penelitian. infrastruktur layanan kesehatan yang ada
Dinkes melakukan supervisi SDM untuk memungkinkan untuk menyediakan layanan
memastikan tenaga kesehatan yang pencegahan HIV dan AIDS di puskesmas
melayani program HIV sudah terlatih. dan rumah sakit. Hanya saja, inisiasi layanan
Dinkes juga memastikan logistik (e.g. ini dilakukan atas inisiatif pemerintah
reagen untuk tes IMS dan HIV, obat pusat dengan dukungan MPI. Sehingga
IMS), pelaksanaan pelayanan, capaian perencanaan awalnya masih didominasi oleh
program, dan kelengkapan administratif pusat yang kemudian tanggung jawabnya
(e.g. buku pedoman dan pencatatan diambil alih oleh pemerintah daerah dengan
untuk pelaporan). variasinya, seperti Merauke yang dibentuk
PPKR untuk layanan IMS dan tes HIV.
Kegiatan pencegahan yang dilakukan
oleh LSM tidak secara langsung melibat Hasil ini mempertegas, PMTS WPS, LSL
kan dinkes sebagai pembina upaya dan LASS adalah program vertikal dengan
kesehatan masyarakat setempat. Kinerja peran pusat dan MPI yang sangat dominan.
SDM di luar sektor kesehatan tidak Pemerintah daerah baru mengadopsi
menjadi bagian yang disupervisi oleh kebijakan dan ketersediaan layanannya.
dinkes, tetapi menggunakan mekanisme Ketersediaan layanan pencegahan di
internal di LSM. Peningkatan kapasitas fasilitas kesehatan yang sudah ada, seperti
LSM dilakukan oleh yang bersangkutan di rumah sakit dan puskesmas. Perencanaan
dengan dukungan dana MPI. dan penganggaran program PMTS WPS,
LSL dan LASS dibuat oleh pusat, dengan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan,
dukungan sumber daya dan sumber dana
upaya kesehatan program pencegahan
dari GF untuk PMTS dan HCPI untuk LASS.
HIV dan AIDS belum terintegrasi ke dalam
Di lain sisi, partisipasi masyarakat, yang
sistem pencegahan penyakit menular umum
direpresentasikan oleh LSM dan populasi
di daerah. Hal ini dibuktikan dengan hanya
kunci, belum maksimal untuk mendorong
dua dari 18 dimensi subsistem program
perencanaan program berdasarkan situasi
yang terintegrasi penuh ke dalam sistem
epidemi, konteks pemerintah daerah, dan
pencegahan penyakit menular umumnya.
karateristik populasi kunci di daerah.
Dimensi yang terintegrasi penuh itu
adalah regulasi dan penyediaan layanan
untuk WPS, LSL dan penasun. Artinya,
program ini telah mengacu pada regulasi
penanggulangan penyakit menular yang
ada seperti RPMJD, perda, pedoman PMTS,
F.
renstra, dan kebijakan teknis lainnya. Tantangan dalam Melakukan
Namun, dari sisi formulasi kebijakan dan Integrasi Program Pencegahan
akuntabilitas program, belum terjadi dalam
manajemen dan regulasi program PMTS Gambaran program pencegahan HIV dan
WPS, LSL dan LASS. AIDS yang belum terintegrasi penuh ke
dalam skema pelayanan kesehatan di
Dari sisi ketersediaan layanan, tingkat daerah tidak lepas dari sejumlah
pemerintah daerah telah menyediakan faktor yang menjadi tantangan, baik dari
layanan pencegahan HIV, seperti layanan penanggung jawab penanggulangan
KTS dan tes IMS untuk WPS, LSL dan LASS HIV dan AIDS maupun dari pihak otoritas
untuk penasun di tempat layanan kesehatan kesehatan daerah, termasuk pimpinan
yang telah ada (puskesmas dan rumah sakit). daerah. Demikian pula bahwa integrasi ini
Pemerintah daerah mengadopsi ini karena
76
M u ham m ad Su harn i
77
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
78
M u ham m ad Su harn i
d. Kapasitas KPAD dan dinas kesehatan pencegahan HIV dan AIDS. Di tingkat
untuk melakukan advokasi kebijakan nasional, regulasi ini berupa Keputusan
dan anggaran yang masih terbatas. Presiden No 75 Tahun 2006, Permendagri
No 20 Tahun 2007, Permenkes No 21
Kapasitas dinkes mengelola
Tahun 2013 dan di tingkat daerah berupa
penanggulangan HIV dan AIDS sebagai
perda penanggulangan HIV dan AIDS.
bagian dari bidang pelayanan kesehatan
Namun kenyataannya, kebijakan ini tidak
yang rutin dilakukan menjadi dasar
dilaksanakan karena dinkes dan KPAD
agar integrasi bisa terjadi. Kapasitas ini
yang menjadi penanggung jawab utama
mencakup kapasitas manajemen dan
daerah upaya penanggulangan HIV dan
operasional.
AIDS belum memainkan perannya secara
Seperti yang telah diuraikan di optimal. Bahkan dua lembaga ini menjadi
atas, bahwa secara manajemen pelaksana program yang direncanakan
program pencegahan HIV dan AIDS di dan dibiayai oleh pemerintah pusat.
daerah, dinkes masih mengandalkan Dinkes belum membuat perencanaan
perencanaan, penganggaran, dan dan penganggaran berdasarkan analisis
penentuan target program dari situasi epidemi dan ketersediaan
pemerintah pusat dan MPI. Akibatnya, pendanaan di daerah. Di sisi lain,
kapasitas manajerial pemerintah daerah pencegahan HIV dan AIDS belum
dalam upaya penanggulangan HIV dan menjadi komitmen politik pemda, karena
AIDS menjadi sangat terbatas. Yang hanya berfokus pada penyediaan
dominan justru kapasitas operasional layanan pengobatan perawatan terkait
yang ada pada pemerintah daerah, AIDS. Advokasi anggaran semakin sulit
dalam hal ini dinkes dan KPAD. dilakukan manakala kepala daerah yang 02
sekaligus Ketua KPAD kurang memiliki
Kesenjangan kapasitas manajerial
komitmen terhadap permasalahan HIV
dan operasional ini menjadi tantangan
dan AIDS di wilayahnya.
pengintegrasian pencegahan HIV dan
AIDS ke dalam sistem pencegahan
penyakit menular umum di daerah.
e. Kapasitas fiskal daerah yang terbatas.
Peran KPAD dan dinkes masih terbatas
sebagai pelaksana program yang sudah Salah satu dimensi dalam desentralisasi
direncanakan dan dibiayai oleh KPAN adalah desentralisasi secara fiskal.
dan kemenkes. Akibatnya, advokasi Desentralisasi mewajibkan pemerintah
anggaran kedua lembaga ini tidak daerah meyediakan layanan kesehatan
berjalan optimal karena alasan sudah termasuk layanan untuk pencegahan HIV
ada dana dari pusat. Hal ini diperburuk dan AIDS. Desentralisasi juga diharapkan
lagi oleh sistem informasi strategis akan mendekatkan layanan pada
program pencegahan HIV dan AIDS yang pemanfaat layanan.
kepemilikannya ada di pemerintah pusat.
Untuk dapat mewujudkan hal
Ini membuat dinkes kesulitan membuat
tersebut, ketersediaan pembiayaan
perhitungan kebutuhan penganggaran
menjadi mutlak ada di pemda dalam
berdasarkan situasi epidemi yang ada di
skema APBD atau sumber lain seperti
daerah.
yang diamanatkan undang-undang.
Sudah ada berbagai regulasi yang Pemerintah daerah mempunyai otoritas
menjadi dasar pemerintah daerah untuk merencanakan dan menyediakan
untuk menggali sumber dana lokal bagi anggaran pencegahan HIV dan AIDS
79
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
G.
sesuai kebutuhan daerah. Secara tek
nis, perencanaan pembiayaan sesuai
kebutuhan daerah memerlukan du
kungan informasi strategis daerah. Saat Memperkuat Kapasitas Daerah
ini, pemda belum mengintegrasikan dalam Penanggulangan HIV &
informasi strategis pencegahan HIV dan
AIDS
AIDS dalam sistem informasi pencegahan
penyakit menular di daerah. Akibatnya,
pemda masih tergantung pada data dan Gambaran di atas menunjukkan, program
informasi yang dibuat oleh pemerintah pencegahan HIV dan AIDS tidak terintegrasi
pusat sehingga menyulitkannya meren dengan sistem pencegahan penyakit me
canakan besaran kebutuhan pembiayaan nular umum yang ada di wilayah penelitian.
untuk masing-masing komponen Program di wilayah penelitian didominasi
pencegahan di tingkat daerah. program perencanaan, penganggaran, dan
penentuan target dari pusat dan MPI. Temuan
Bervariasinya jumlah anggaran dari
ini sejalan dengan penelitian Desai, M. et.al
APBD untuk upaya pencegahan HIV dan
(2010) bahwa program yang didukung oleh
AIDS serta masih bertumpunya anggaran
MPI di Indonesia sangat sentralistik dan
ke pusat (APBN dan MPI) menunjukkan
vertical, yang seringkali berbeda dan bahkan
gejala kurangnya ownership pemda
konflik dengan desentralisasi kesehatan.
terhadap program pencegahan HIV
Fungsi-fungsi programatik pencegahan HIV
dan AIDS. Pemerintah daerah merasa
dan AIDS masih berjalan paralel dengan
bahwa upaya pencegahan HIV dan
fungsi sistem pencegahan penyakit menular
AIDS termasuk penyediaan layanan,
umum di daerah, karena kapasitas daerah
pembiayaan SDM, pembiayaan untuk
yang terbatas dalam melakukan adopsi.
menyediakan informasi strategis me
rupakan urusan pemerintah pusat. Oleh karena itu, untuk mengintegrasikan
Dengan adanya dana pemerintah nya ke dalam sistem pencegahan penyakit
pusat, daerah merasa tidak perlu menular umum, perlu penguatan kapasitas
memberikan anggaran untuk upaya pemda agar berbagai tantangan yang
pencegahan HIV dan AIDS. Proporsi sudah dijelaskan di atas dapat dicarikan
anggaran APBD untuk program HIV solusinya. Penguatan kapasitas itu berupa
dan AIDS melalui dinas kesehatan lebih penguatan peran dan fungsi pemangku
fokus kepada pengobatan, sementara kepentingan terkait HIV dan AIDS dalam
proporsi anggaran APBD melalui KPA perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan
digunakan untuk kegiatan koordinasi dan fungsi-fungsi program hingga monitoring
administratif sekretariat KPAD, sedangkan evaluasi program. Salah satu tujuannya
dana dari SKPD di luar dinas kesehatan adalah menciptakan lingkungan kondusif
lebih banyak digunakan untuk kegiatan seperti yang telah ditentukan dalam SRAN
penyuluhan dan sosialisasi. 2014-201921 sebagai arah penguatan pemda
80
M u ham m ad Su harn i
dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS lintas sektor menjadi tanggung jawab
di tingkat kabupaten/kota. KPAD di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota dalam membangun kemitraan
Bagian ini menjelaskan berbagai upaya
lintas semua sektor pemerintahan yang
yang bisa dilakukan untuk memperkuat ka
berkaitan dengan HIV dan AIDS.
pasitas daerah dalam penanggulangan HIV
dan AIDS di tingkat kota/kabupaten agar Penelitian ini menemukan bahwa
terintegrasi dengan upaya pencegahan pe secara politik dan kelembagaan
nyakit menular umumnya. kapasitas KPAD rendah. Ada beberapa
stakeholder daerah yang secara politik
dan posisi kelembagaan mempunyai
1. Memperkuat pemerintah daerah untuk kekuasaan sumber daya tinggi untuk
melaksanakan progam pencegahan HIV menentukan program pembangunan
dan AIDS yang konsisten dengan prinsip di daerah. Contoh Bappeda yang
desentraliasi. merupakan instansi yang berwenang
menyinkronkan perencanaan dan
Konteks desentralisasi harusnya menjadi
penganggaran program pembangunan
salah satu faktor pendorong pemda untuk
di daerah. Dengan demikian, penguatan
mengambil alih tanggung jawab program
kemitraan di daerah tidak cukup
yang sudah diinisiasi oleh pemerintah
dengan penguatan KPAD saja, tetapi
pusat dan MPI. Namun, hal ini tidak ter
penguatan SKPD lain mutlak juga
jadi karena syaratnya, seperti yang disa
dilakukan. Peningkatan kemampuan
rankan Unger et.al ( 2003), tidak dipenuhi.
SKPD dan lembaga non struktural
Unger et.al (2003) menyebutkan bahwa
untuk merencanakan program dan
program pencegahan penyakit menular
penganggaran upaya pencegahan 02
yang vertikal dapat terintegrasi jika
HIV dan AIDS di lembaganya masing-
desentralisasi administrasi dan ope
masing menjadi sangat strategis agar
rasional terjadi secara simultan. Artinya,
mendapat dukungan dalam perencanaan
kewenangan pemda dalam penang
pembiayaan Bappeda. Penguatan lintas
gulangan HIV dan AIDS perlu diikuti
sektor ini perlu dukungan komitmen
dengan implementasinya yang sejalan
politik yang kuat serta pembagian peran
dengan prinsip desentralisasi. Pemda
dan fungsi yang tegas antara masing-
memegang kendali otoritas dalam hal
masing SKPD, lembaga non struktural,
perencanaan, penentuan prioritas pro
sektor komunitas (LSM, KDS dan
gram, target, dan pembiayaan penanggu
populasi kunci). Penguatan kemitraan
langan HIV dan AIDS di tingkat dae
dengan sektor non pemerintah ini dapat
rah. Tanggung jawab langsung upaya
optimal jika ada perencanaan program
pencegahan HIV dan AIDS ada di pemda
yang akuntabel dan transparan pada
dan pemerintah pusat melaksanakan
pemerintah dan masyarakat, dalam hal
kewenangannya sebagai pengawas dan
ini populuasi kunci dan ODHA.
pembina.
Penelitian ini menunjukkan sektor non
pemerintah seperti LSM terbatas pada
2. Penguatan kemitraan lintas sektor. kemitraan pelaksanaan program, belum
Hal ini dimaksudkan agar terjadi pada perencanaan dan penyusunan
sinkronisasi kepentingan para aktor kebijakan dan program. Oleh karena
dalam program pencegahan HIV dan itu, untuk mendorong adanya adopsi
AIDS. Dalam SRAN 2014-2019 kemitraan program pencegahan HIV dan AIDS di
81
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
82
M u ham m ad Su harn i
H.
sehingga partisipasi publik dalam
penyusunan kebijakan dan program
HIV dan AIDS belum berjalan. Untuk
meningkatkan partisipasi public, ketiga Simpulan
mekanisme ini perlu disosialisasikan ke
publik dan populasi kunci agar mereka Berdasarkan bukti dan analisis, dapat
dapat terlibat dalam penyusunan disimpulkan bahwa kebijakan dan program
kebijakan dan program HIV dan AIDS di pencegahan HIV dan AIDS tidak terintegrasi
daerah. ke dalam sistem kesehatan nasional di
tingkat kabupaten/kota. Dari 7 subsistem
kesehatan, hanya dimensi regulasi dan
5. Penguatan kapasitas KPAD dan dinas penyediaan layanan yang sudah diadopsi
kesehatan untuk melakukan advokasi oleh pemda ke dalam sistem pencegahan
kebijakan dan anggaran. penyakit menular umum di daerah.
Dikarenakan kedua lembaga ini Sedangkan dimensi lain (pembiayaan,
mempunyai mandat sebagai penanggung penyediaan farmasi dan alat kesehatan,
jawab utama mengoordinasi dan sistem informasi strategis, dan partisipasi
melaksanakan upaya pencegahan HIV masyarakat) berjalan paralel dengan
dan AIDS di tingkat kota/kabupaten, subsistem pencegahan penyakit menular
maka penguatan kapasitas lembaga umum.
83
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
84
M u ham m ad Su harn i
pencegahan HIV dan AIDS. Komunikasi KPAD informasi strategis untuk program
dan dinkes dengan lembaga perencanaan pencegahan HIV dan AIDS di daerah sebagai
pemda belum efektif. Mekanisme yang dasar perencanaan dan penganggaran dan
disediakan pemerintah untuk menjaring partisipasi publik dalam hal perencananan,
usulan dari masyarakat seperti musrenbang pembiayaan, dan monitoring evaluasi
belum menyentuh isu pencegahan HIV program pencegahan di tingkat daerah.
dan AIDS. Dinas kesehatan sebagai
regulator bidang kesehatan cenderung
berpihak pada peran penyediaan layanan
kesehatan di fasyankes. Peran pendukung D af t ar Pust aka
program pencegahan seperti informasi Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., Adeyi, O. 2010.
“Integration of targeted health interventions into
strategis, berupa penyediaan data melalui
health systems: A conceptual framework for analysis”.
surveilans, survei, pemetaan dan estimasi Health Policy and Planning, 25:104-111.
populasi kunci, masih di tangan pemerintah Boyer, S., Protopopescu, C., Marcellin, F., Carrieri, M. P.,
pusat. Selain itu, KPAD belum optimal Koulla-Shiro, S., Moatti, J.-P., Spire, B. & Group, t. E.
S. (2012). “Performance of HIV care decentralization
melakukan peran koordinasi dan advokasi
from the patient’s perspective: health-related quality
ke pemangku kepentingan daerah, sehingga of life and perceived quality of services in Cameroon”.
dukungan pembiayaan dari APBD untuk Health Policy and Planning, 27(4): 301-315.
pencegahan HIV dan AIDS masih kurang. Conseil A, Mounier-Jack S, Coker R. 2010. “Integration of
health systems and priority health interventions: a
Ketidakoptimalan peran ini dipengaruhi
case study of the integration of HIV and TB control
oleh posisi politik dan kelembagaan KPAD programmes into the general health system in
sebagai lembaga ad hoc yang tidak masuk Vietnam”. Health Policy Plan. 2010 Nov;25 Suppl
1:i32-36. doi: 10.1093/heapol/czq055.
dalam struktur pemda.
Desai, M., Rudge, J.M., Adisasmito, W., Mounier-Jack, S.,
Pemda belum menyediakan pembiayaan Coker, R. 2010. “Critical interactions between global 02
fund-supported programmes & health systems: a
yang cukup untuk upaya pencegahan
case study in Indonesia”. Health Policy and Planning,
HIV dan AIDS di wilayahnya. Pendanaan 25:i43-i47.
untuk intervensi PMTS WPS, LSL dan LASS Ditjen PPM & PLP Depkes RI. 1996. Statistik kasus HIV
ini berbeda dengan skema pembiayaan dan AIDS di Indonesia hingga Desember 1996.
pencegahan penyakit menular secara ______________________. 2014. Statistik kasus HIV dan
AIDS di Indonesia hingga Desember 2014
umum di tingkat kabupaten/kota karena
______________________. 2015. Statistik kasus HIV dan
pemda tidak menjalankan fungsinya
AIDS di Indonesia hingga Desember 2015
mengoordinasikan dan menyinkronkan
Dinas Kesehatan Kota Medan 2014. Rekap SSR: Laporan
sumber-sumber pembiayaan, seperti Infeksi Menular Seksual. Dinkes Kota Medan.
pembiayaan dari pusat (APBN dan MPI). Dinkes Kota Denpasar. 2015. Data Sistem informasi HIV &
AIDS di Kota Denpasar. Denpasar: Dinas Kesehatan
Untuk memperkuat kapasitas pemda, Kota Denpasar.
maka beberapa hal yang perlu dilakukan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, 2014. Sistem Inforamasi HIV
adalah meningkatkan komitmen politik dan AIDS 2014.
daerah untuk menciptakan lingkungan Dinkes Kota Surabaya, 2015. Profil kesehatan kota
Surabaya Tahun 2014.
yang kondusif agar terjadi adopsi program
Fronczak, N., Oyediran, K. A., Mullen, S. & Kolapo, U.
pencegahan HIV dan AIDS ke dalam sistem M. 2015. “Dual indices for prioritizing investment in
pencegahan penyakit menular umum di decentralized HIV services at Nigerian primary health
daerah. Pemberian wewenang administratif care facilities”. Health Policy and Planning.
dari pusat ke pemda dalam upaya Hollister,R.M. n.d. Decentralization in National AIDS
Control and Prevention Programs. https://rti.org/pubs/
penanggulangan HIV dan AIDS sejalan Decen_Natl_Aids.pdf, diakses 21 Maret 2016.
dengan mandat UU otoda. Peningkatan Kawonga, M., Blaauw, D., Fonn, S. 2012. “Aligning vertical
kapasitas daerah untuk menyediakan interventions to health systems: a case study of
85
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a
the HIV monitoring and evaluation system in South Zhang, Z. Miege,P. dan Zhang, Y., 2011. Decentralization
Africa”. Health Research Policy and Systems, 10:2. of the provision of health services to people living
Kelly, K, 2003. Supporting Local Government Response to with HIV/AIDS in rural China: the case of three
HIV/AIDS: Posisiton,Priorities, Possibilities. Centre for counties.
AIDS Development, Research and Evaluation. Institute
of Social and Economic Research Rhodes University. Unda ng-und a ng d a n Pe r a tur a n
Kementerian Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian Penyakit Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
dan Penyehatan Lingkungan. 2007. Survailans Pemerintahan Daerah. Lampiran Undang-Undang
Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 207. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
_______________. 2011. Survailans Terpadu Biologis dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Perilaku (STBP) 2011. Pengamanan sedian farmasi dan alat kesehatan.
Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik 2006: Lembar Negara tahun 1998 No 138, Tambahan
Risk behaviour and HIV prevalence in Tanah Papua: Lembar Negara nomor 3781.
Result of the IBBS 2006 in Tanah Papua. Jakarta: Peraturan Presiden No 75 Tahun 2006 tentang Komisi
National Ministry of Health and Statistics. Penanggulangan AIDS Nasional.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Strategi dan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan Kesehatan Nasional.
AIDS tahun 2010-2014. Jakarta: KPAN
Permendagri No 20 Tahun 2007 tentang Pedoman
_________________. 2014. Pedoman PMTS Paripurna. Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS
KPAN. Jakarta dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka
KPAK Denpasar. 2014. Laporan Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah.
LSL KPAK Denpasar Mei 2014, Denpasar: Komisi Permenkes No 21 Tahun 2014 tentang Penanggulangan
Penanggulangan AIDS Kota Denpasar. HIV dan AIDS.
KPAP DKI Jakarta. 2014 Laporan Hasil Pemetaan Populasi Permenkes No 1199/Menks/PER/X/2004 tentang Pedoman
Kunci Provinsi DKI Jakarta. Pengadaan Tenaga Kesehatan.
Unger, J.P. Paepe, P.D. and Green A. 2003. A code of Kepmenkes Nomor 567/2006 tentang Pedoman
best practice for diesese control program to avoid Pelaksanaan Dampak Buruk Napza.
damaging helath care services in developing
countries. Int. J.Health Plann Mgmt. 18: S27-S39.
Publish online in Wiley InterScience (www.
interscience.wiley.com) DOI:10.1002/hpm.273
Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2014.
Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Mearauke.
Tim Peneliti Universitas Udayana. 2015. Studi Kasus:
Integrasi Respons HIV dan AIDS ke dalam Sistem
Kesehatan dan Efektivitas Penanggulangan HIV &
AIDS di Kota Denpasar. Laporan Penelitian Kerja
sama Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali
dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
(PKMK), Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Tim Peneliti Universitas Airlangga. 2015. Studi Kasus:
Integrasi Respons HIV dan AIDS ke dalam Sistem
Kesehatan dan Efektivitas Penanggulangan HIV &
AIDS di Tingkat Daerah. Laporan Penelitian Kerja
sama Universitas Airlangga dengan Pusat Kebijakan
dan Manajemen Kesehatan (PKMK), Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Tkatchenko-Schmidt, E., Atun, R., Wall, M., Tobi, P.,
Schmidt, J., and Renton, A. 2010. “Why do health
system matter? Exploring lingks between health
systems and HIV response: a case study from Russia”.
Health Policy and Planning. 25: 283-291. Doi:10.1093/
healthpol/czq001
86
02
87
03
Pembiayaan Program
Pencegahan HIV
di Indonesia
88
Ig n ati u s He rsu m p an a
A.
Pendahuluan
Pembiayaan penanggulangan HIV dan aksi bersama. Hal tersebut juga diyakini bisa
AIDS di negara-negara berpendapatan ren diterapkan ke depan untuk penggalangan
dah dan menengah antara tahun 2001-2006 kekuatan bagi pencegahan HIV.
mengalami peningkatan enam kali lipat,
Secara keseluruhan terjadi peningkatan
akan tetapi lebih fokus pada pengobatan,
pembiayaan pada HIV dan AIDS di negara-
sedangkan untuk mengurangi infeksi HIV
negara yang berpendapatan rendah dan
belum kuat. Untuk setiap individu yang
menengah mulai dari $ 1.4 miliar pada tahun
mendapatkan ARV pada tahun 2006,
2000 sampai $ 13 miliar pada 2008 (WHO,
enam yang lain terinfeksi oleh HIV. Apabila
Unaids, & UNICEF, 2010). Peningkatan tajam
kecenderungan ini berlanjut, diproyeksikan
pengeluaran untuk penanggulangan HIV dan
60 juta lebih orang yang terinfeksi HIV pada
AIDS tersebut menghasilkan capaian penting.
2015, atau setiap tahun akan mengalami
Kurang lebih 4 juta orang dengan infeksi
peningkatan sebesar 20% lebih infeksi baru
HIV positif telah mengakses ARV.22 Secara
pada tahun 2012, kecuali apabila jumlah
global, kasus HIV telah berkurang sebesar
infeksi baru tersebut dapat dikurangi (Global
30% dari puncak epidemi pada pertengahan
HIV Prevention Working Group, 2007).
1990.23 Beberapa negara seperti Kamboja,
Peningkatan dramatis cakupan ARV tersebut
dengan cakupan akses global antara 8% 22) WHO/UNAIDS/Unicef (2010). Toward universal access:
scaling up priority HIV/AIDS intervention in the health
sampai 28% antara tahun 2003-2006 sector. Progress report 2009. http://www.who.int/hiv/pub/
menggambarkan komitmen global yang tuapr_2009/en_pdf
kuat dalam peningkatan pembiayaan dan 23) UNAIDS.AIDS epidemic update: November 2009http://
www.data.unaids.org/pub/2009_epidemic_update_en.pdf
89
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
Republik Dominica, Tanzania, dan menyasar pada kelompok penasun dan LSL
Uganda mengalami penurunan kasus yang mencapai dua per tiga dari jumlah
HIV dan AIDS secara substansial. Di populasinya (UNAIDS, 2007; Global Working
samping capaian tersebut, peningkatan Group on HIV Prevention, 2007).
pembiayaan pencegahan dan pengobatan
Prioritas pembiayaan untuk pencegahan
HIV diperlukan untuk mengontrol epidemi
seperti Thailand dilakukan dengan
ke depan (Hecht et al., 2010). Lebih lanjut
memanfaatkan model pembiayaan HIV
menurut Hecht, skema peningkatan
dan AIDS dari pendanaan internasional
pembiayaan pencegahan diperlukan untuk
untuk memperkuat sistem pembiayaan
pengembangan teknologi pencegahan
kesehatan yang ada. Model pembiayaan
seperti vaksin dan metode pencegahan yang
yang dikembangkan oleh inisiatif global
efektif (e.g. sirkumsisi lelaki, penggunaan
saat ini berkecenderungan mendorong
kondom, jarum steril, dan pencegahan
pemerintah penerima bantuan global supaya
penularan dari ibu ke anak (PPIA)).
meningkatkan dukungan pembiayaan yang
Komitmen pencegahan telah ditunjukkan bersumber dari pendanaan domestik sebagai
dengan keberhasilan sejumlah negara ‘dukungan’ pembiayaan penanggulangan
dalam menyikapi epidemi, dengan mela HIV dan AIDS dari negara tersebut, selain
kukan investasi prioritas pembiayaan dana dari bantuan luar negeri (Desai,
pada pencegahan. Namun, secara global Rudge, Adisasmito, Mounier-Jack, & Coker,
negara-negara berpendapatan rendah dan 2010; Hanvoravongchai, Warakamin, &
menengah masih menghadapi tantangan Coker, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa
pembiayaan untuk pencegahan HIV dan pengintegrasian pembiayaan program
AIDS. Beberapa negara berkembang telah penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
membuktikan hasil efektif dari kebijakan pembiayaan sistem kesehatan menjadi
peningkatan prioritas pembiayaan pada pro penting untuk keberlanjutan program
gram pencegahan. Contohnya, pemerintah ke depan, dengan mempertimbangkan
Thailand meningkatkan dukungan 72% dari semakin menurunnya dukungan dari luar
total alokasi penanggulangan HIV dan AIDS negeri dan meningkatnya anggaran belanja
dan menginvestasikan lebih dari setengah sektor kesehatan. Di samping itu, efektivitas
anggaran untuk pembiayaan pencegahan pembiayaan pencegahan ini mendapatkan
dari US$ 1 juta pada tahun 1988 menjadi US$ dukungan banyak pihak, khususnya dari
10 juta pada tahun 1991. Adanya komitmen sektor komunitas dan berbagai pemangku
untuk memrioritaskan pembiayaan program kepentingan lain sebagai sebuah upaya
pencegahan tersebut, Thailand mencapai bersama. Dukungan berbagai pihak ini dapat
hasil dramatis dengan penurunan insiden mengurangi stigma dan diskriminasi yang
HIV tahunan dari 143.000 pada 1991 menjadi masih cukup kuat di berbagai kalangan
19.000 pada 2003 (Ravenga et al., 2006). khususnya petugas layanan (Ainsworth,
Contoh negara berpendapatan rendah lain Beyrer, & Soucat, 2003).
di Asia Pasifik adalah Kamboja yang mampu
Untuk itu, inisiatif global mengembangkan
mengoptimalkan pembiayaan dari donor
roadmap untuk melakukan pengintegrasian
internasional sebesar $ 30 juta per tahun
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS
untuk pengembangan program pencegahan
yang selama ini cenderung didominasi oleh
HIV yang fokus melakukan kampanye
negara donor ke skema pembiayaan sistem
penggunaan kondom untuk pekerja seks
kesehatan di negara berkembang (Desai et
di lokalisasi. Dengan pendanaan inter
al., 2010; Global Fund, 2015). Alasan utama
nasional tersebut, Kamboja memperluas
untuk mendukung upaya integrasi ini adalah
adaptasi strategi intervensi pencegahan
90
Ig n ati u s He rsu m p an a
91
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
Pengumpulan Pengumpulan
Dana (Collecting Dana (Collecting Pencegahan
Revenue) Revenue)
Pengelompokan Pengelompokan
PDP
Dana (Pooling) Dana (Pooling)
Pembelian Pembelian
Layanan Layanan Mitigasi Dampak
(Purchasing) (Purchasing)
92
Ig n ati u s He rsu m p an a
reseources dan purchasing. Pertama, yang ada. Terintegrasi penuh jika sumber
pengumpulan dana (collecting revenue) pendanaan menggunakan mekanisme
didefinisikan sebagai pengumpulan dana yang sama, semisal dana bantuan luar
untuk tujuan pembiayaan kesehatan (HIV negeri masuk dalam APBN/APBD yang
dan AIDS) yang berasal dari berbagai jenis selanjutnya digunakan untuk pembiayaan
pajak yang menjadi sumber pendapatan kesehatan. Tidak terintegrasi apabila
pemerintah. Pajak pendapatan dan pajak mekanisme penarikan sumber pendanaan
lain yang diperuntukkan bagi pendanaan berjalan paralel di luar sistem keuangan
kesehatan khusus seperti iuran dari yang berlaku, bantuan luar negeri tidak
perusahaan dan rumah tangga; dan dana dimasukkan dalam APBN atau dikelola
donor luar seperti Global Fund (GF), U.S. langsung oleh pemberi dana secara terpisah.
President’s Emergencey Plan for AIDS Terintegrasi sebagian apabila ada koordinasi
Relief (PEPFAR), HIV Cooperation Program penarikan sumber dana antara pusat dan
for Indonesia (HCPI), dan Indonesian daerah atau dari donor tetapi masing-masing
Partnerhsip Fund for HIV (IPF). Kedua, berjalan dengan mekanismenya sendiri.
pengumpulan dana (pooling) merujuk pada
Sementara itu untuk pengelompokan
akumulasi pembiayaan yang diperoleh
dana (pooling) dinilai terintegrasi penuh
untuk mengkover biaya pra-bayar (pre-
apabila sesuai dengan mekanisme
paid) perawatan kesehatan (terkait HIV atau
pengelompokan pendanaan yang berasal
yang lain) pada populasi tertentu, mulai
dari publik, donor maupun privat lalu
dari pengelompokkan dana jenis terbatas
didistribusikan melalui sistem pelayanan
hingga biaya besar, maupun pengelompokan
kesehatan yang berlaku. Tidak terintegrasi
secara nasional yang mencakup manfaat
bila pengelompokan dan pendistribusiannya
kesehatan dalam lingkup yang luas. Ketiga, 03
untuk mengakses layanan HIV dan
pembelian layanan (purchasing) melibatkan
non HIV berjalan paralel. Sedangkan
berbagai mekanisme ketika pendanaan yang
terintegrasi sebagian jika skema cakupan
dikumpulkan dibayarkan untuk penyedia
pembagian dana di mana pembiayaan
fasilitas dan layanan kesehatan, mulai gaji,
pencegahan HIV dan AIDS secara resmi
pembayaran bebas jasa layanan untuk
melakukan perencanaan dan koordinasi
terapis dan perawat, harga yang tetap untuk
nasional dan penggelolaan dana terdapat
obat-obatan, sampai anggaran umum untuk
kerjasama antara donor dengan komisi
fasilitas kesehatan.
penanggulangan AIDS atau dinkes.
Sementara mekanisme untuk memahami Misalnya, pembiayaan publik membentuk
seberapa jauh tingkat integrasi pembiayaan pengalokasian dana yang luas untuk
HIV dan AIDS ke dalam skema pembiayaan pembiayaan layanan HIV dan AIDS sebagai
kesehatan nasional dilakukan dengan anggaran terpisah dari sistem kesehatan
melihat seberapa jauh proses pembiayaan umum dan dikelola secara vertikal untuk
dalam penanggulangan HIV dan AIDS ini pembelian alat dan layanan kesehatan
menjadi bagian dari proses pembiayaan yang dirancang donor.
kesehatan, baik di tingkat nasional maupun
Untuk pembelian layanan (purchasing)
daerah. Secara lebih rinci tingkat integrasi
dinilai dari bagaimana layanan HIV
dalam pengumpulan dana (revenue
tersebut disediakan oleh pemerintah
collection) untuk pencegahan HIV dan
sehingga bisa diakses oleh masyarakat
AIDS yang bersumber dari dana-dana yang
yang membutuhkannya. Terintegrasi penuh
sama dengan mekanisme pengelolaan
apabila terjadi pembelian layanan HIV dan
sumber pendanaan untuk kegiatan promotif
AIDS ke penyedia layanan yang merupakan
dan pencegahan pada sektor kesehatan
93
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
paket secara publik atau privat dari pembiayaan kesehatan, yaitu 1) informasi
pengalokasian pendanaan untuk kesehatan, dan data collecting revenue pembiayaan
yang meliputi cakupan luas melalui skema pencegahaan HIV dan AIDS untuk melihat
JKN, mekanisme pembelian lain seperti variasi asal-usul pendanaannya dan
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), tugas mekanismenya, 2) informasi dan data
pembantuan, maupun dekonsentrasi. Tidak pooling pembiayaan pencegahan untuk
terintegrasi apabila mekanisme pembelian mendapatkan gambaran pengalokasian
dan pembayaran layanan pencegahaan HIV akumulasi dana untuk disampaikan ke
dan AIDS khususnya WPS, LSL dan penasun penyedia layanan, dan 3) informasi dan data
menggunakan mekanisme pembayaran purchasing untuk mengetahui mekanisme
bersumber dari kantong sendiri (out of pembelian layanan pencegahan oleh sistem
pocket) atau layanan disediakan gratis kesehatan dan mekanisme pembayarannya
kepada mereka yang membutuhkan, tetapi oleh pemanfaat. Analisa data menggunakan
itu dibeli oleh MPI dengan mekanisme pendekatan deskriptif analitik untuk
yang berbeda dengan pemanfaatan menggambarkan struktur pembiayaan HIV
layanan kesehatan lainnya. Terintegrasi dan AIDS dan tingkat integrasinya dengan
sebagian apabila mekanisme pembelian skema pembiayaan kesehatan di tingkat
layanan kesehatan merupakan kombinasi daerah atau nasional. Oleh karena ada
antara pembelian dan pembayaran untuk keterbatasan data pembiayaan di beberapa
layanan kesehatan dengan skema JKN dan daerah maka digunakan data nasional
pembayaran sendiri atau dibeli oleh MPI. NASA 2011-2012 sebagai dasar untuk melihat
situasi pembiayaan di daerah secara umum.
Tulisan ini merupakan kajian lebih lanjut
dari hasil serangkaian penelitian integrasi
program penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam sistem kesehatan yang dilakukan oleh
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
(PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas
B.
Gadjah Mada.25 Data terkait dengan Pembiayaan Program
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS ini Pencegahan HIV & AIDS
berdasarkan data primer yang berasal dari
enam kabupaten yang mengembangkan Pada dasarnya, program pencegahan HIV
pembiayaan program pencegahan untuk dan AIDS di Indonesia selama ini menarget
PMTS WPS di tiga kabupaten (Medan, kan kelompok populasi kunci yang menca
Kupang dan Merauke), pembiayaan program kup pekerja seks, LSL, waria, laki-laki yang
PMTS LSL di dua kabupaten (Surabaya dan menjadi klien pekerja seks, dan penasun.
Bali), dan pembiayaan program LASS (DKI Kelompok populasi kunci ini dijangkau
Jakarta). Data sekunder menggunakan melalui program PMTS dan pengurangan
data NASA (2011-2012) tentang pembiayaan dampak buruk penggunaan narkoba (e.g.
pencegahan dan STPB tahun 2007 dan 2011 LASS, PTRM, dan rehabilitasi NAPZA).
mengenai prevalensi HIV. Data yang ada Intervensi program pencegahan pada
disusun dalam bentuk matrik berdasarkan populasi kunci tersebut di atas meliputi be
fokus kajian ini yang mencakup tiga aspek berapa kegiatan pokok, seperti (1) kegiatan
25) (1) Kajian dokumen Kebijakan HIV-AIDS Indonesia penjangkauan yang dilakukan oleh tenaga
dan Sistem Kesehatan di Indonesia 2) Integrasi Upaya penjangkau umumnya dari LSM karena
Penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan, 3)
kelompok populasi kunci membutuhkan
Hubungan Integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam sistem kesehatan dan kontribusinya terhadap strategi tersendiri; (2) kegiatan sosialisasi dan
efektivitas kinerja layanan.
94
Ig n ati u s He rsu m p an a
95
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
47,32%
41,26%
12,54%
9,89%
*) Proporsi kontribusi pemerintah daerah ini dilihat dari peningkatan pengeluaran AIDS berdasarkan kategori dan sumber pendanaannya.
Perlu dicatat bahwa angka 47% kontribusi daerah untuk pencegahan diperoleh dari total kontribusi daerah sejumlah 8,7 juta dollar pada 2012.
Sedangkan proporsi 9,9% kontribusi pusat dari total kontribusi untuk penanggulangan tahun 2012 senilai 28,2 juta dollar.
mencapai 8,7 juta US (7,5 %).29 AIDS yang digambarkan pada grafik
di atas. Sehingga gambaran anggaran
Sumber pendanaan untuk
pencegahan HIV dan AIDS untuk
pencegahan HIV dan AIDS di sebagian
beberapa daerah didapat seperti tertera
daerah yang menjadi fokus studi ini
pada tabel 7.
diperoleh dari total anggaran HIV
dan AIDS yang dibagi menggunakan Pada tingkat daerah, sumber
asumsi dari rerata proporsi kontribusi pendanaan untuk pembiayaan
daerah untuk pembelanjaan upaya pencegahan untuk PMTS-WPS dapat
pencegahan, seperti disebutkan dalam dibedakan menjadi tiga variasi, yaitu
laporan NASA 2011-2012 yaitu sebesar daerah-daerah yang masih mendapatkan
44% (nilai rerata 41.26%-47.32%) dari dukungan pembiayaan dari GF, daerah
total dana penanggulangan HIV dan yang tidak mendapatkan dukungan
pembiayaan dari GF, dan kombinasi
29) Ibid.
96
Ig n ati u s He rsu m p an a
97
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
Total Dana AIDS 6.785.000.000 Total Dana AIDS 15.100.000.000 Total Dana AIDS 4.620.000.000
Total Dana AIDS 5.188.343.691 Total Dana AIDS 1.604.228.100 Total Dana AIDS 800.375.000
Sumber: APBD DKI (2012); APBD Kupang, Merauke, Medan, Surabaya, Denpasar (2014)
lebih banyak didukung oleh dana dari pada tahun 2012 adalah sebesar 23,7
mitra pembangunan internasional juta dolar untuk pembiayaan bagi
yang disalurkan melalui kontraktor populasi kunci (WPS, LSL dan penasun).32
atau principal recipient-nya yang juga
Pada tingkat daerah, sesuai
bisa berasal dari kementerian atau
dengan variasi sumber pendanaannya
lembaga negara dengan alokasi untuk
maka dana yang berasal dari mitra
program-program pencegahan yang
pembangunan internasional untuk
spesifik. Adapun jumlah total dana yang
dibelanjakan oleh para principal recipient
32) Ibid.
98
Ig n ati u s He rsu m p an a
99
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
Merauke berasal dari APBD, tetapi di DKI yang belum masuk dalam skema
mekanisme penyediaan layanannya jaminan kesehatan nasional. Layanan ini
tetap menggunakan mekanisme sepenuhnya ditanggung pembayarannya
program di mana populasi kunci yang oleh donor (MPI), meliputi pembelian
mengakses layanan pencegahan HIV jarum suntik steril untuk penasun. Semua
dijamin oleh pemda secara gratis dan alat pencegahan LASS diberikan gratis
tidak menggunakan mekanisme JKN atau dan disalurkan melalui puskesmas-
Kartu Papua Sehat (KPS). Situasi yang puskesmas yang memiliki layanan
sama juga bisa dilihat dari program LASS alat suntik steril. Pembelanjaan untuk
100
Ig n ati u s He rsu m p an a
C.
pencegahan, masih kurang terintegrasi.
Dengan alasan terbentur pengaturan
teknis anggaran, pengelola dana tingkat
Integrasi Pembiayaan Program puskesmas tidak berani mengambil
Pencegahan HIV & AIDS ke langkah untuk mengembangkan ruang bagi
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS.
dalam Skema Pembiayaan
Sehingga pengelolaan dana untuk kapitasi
Kesehatan bagi pencegahan tidak bisa mendukung
pengadaan alat-alat pencegahan, seperti
Skema alur fungsi komponen sistem pembia
kondom, pelicin dan jarum suntik. Hal ini
yaan HIV dan AIDS, berikut menggambarkan
dipengaruhi juga oleh karakter program
hasil analisis mekanisme interaksi antar
pencegahan HIV dan AIDS untuk populasi
komponen utama dari analisis tingkat inte
kunci yang sepenuhnya ditanggung oleh
grasinya, secara ringkas dapat dilihat dalam
pusat dengan pembiayaan dari MPI.
gambar 7.
Pembuat kebijakan merasa sudah terpenuhi
Pada dasarnya, analisis tentang oleh dukungan MPI. Akibat lanjutannya
integrasi pembiayaan pencegahan HIV adalah mekanisme pembelian layanan yang
dan AIDS ke dalam skema pembiayaan dilakukan oleh donor tidak sesuai dengan
kesehatan diarahkan untuk menilai seberapa mekanisme pembiayaan melalui JKN, seperti
jauh sumber daya, pengalokasian, dan halnya layanan kesehatan pada tingkat
penyediaan layanan dalam program primer lainnya. 03
pencegahan HIV dan AIDS menjadi bagian
Beberapa pertimbangan yang bisa
yang tidak terpisahkan dari upaya kesehatan
digunakan sebagai dasar untuk menilai
pada umumnya. Berdasarkan aspek-aspek
tidak terintegrasinya program pencegahan
pembiayaan kesehatan seperti digambarkan
ini ke dalam pembiayaan kesehatan, baik di
di atas, secara ringkas bisa disimpulkan
tingkat nasional maupun daerah, antara lain:
bahwa pembiayaan pencegahan HIV
dan AIDS pada populasi kunci kurang a. Tidak adanya tata kelola dan koordinasi
terintegrasi ke dalam upaya kesehatan dari pemerintah pusat maupun daerah
pada umumnya. Simpulan tersebut atas sumber-sumber dana yang
menggambarkan adanya dua varian utama digunakan untuk membiayai program
dari tiga aspek pembiayaan pencegahan pencegahan HIV dan AIDS.
pada tiga program pencegahan PMTS WPS, Gambaran tentang sumber dana program
PMTS LSL dan LASS. Kurang terintegrasinya pencegahan HIV dan AIDS berasal
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS dari banyak sumber, baik dari donor,
pada pengumpulan sumber dana di daerah pemerintah pusat, maupun pemda.
dipengaruhi oleh lemahnya kapasitas Tetapi sejauh ini, dana tersebut dikelola
teknis dalam menerjemahkan kebutuhan langsung secara mandiri oleh lembaga-
bagi kelompok yang sulit dijangkau lembaga yang memiliki akses ke sumber
pada kelompok populasi kunci karena daya tersebut dan pengalokasiannya
keterbatasan bukti dalam mengembangkan tergantung dari kepentingan dan
perencanaan strategis. komitmen dari masing-masing sumber
Demikian pula pada pengelompokan dana tersebut.
dan pengalokasian akumulasi sumber
101
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
APBN Donor
Fasilitas
Kementrian
Lain
Kemkes KPA Kesehatan
Puskesmas
LSM
Pencegahan
SKPD/
APBD UPT
dll
102
Ig n ati u s He rsu m p an a
yang bersumber dari dalam negeri (APBN kesehatan yang kompleks dan
dan APBD) cenderung kurang terlihat penanganannya membutuhkan banyak
karena KPAN atau Kemenkes melihat pemain, sehingga upaya ini memerlukan
masih ada jaminan dari donor, paling koordinasi dan pembiayaan yang
tidak sampai tahun 2017. mahal. Kompleksitas respons HIV dan
AIDS, selain meliputi aspek medis,
Di tingkat daerah, fungsi koordinasi
juga membutuhkan penanganan dari
dan sinkronisasi juga tidak bisa
aspek sosial dan kultural. Kepentingan
berjalan dengan benar karena program
politik dan situasi kapasitas fiskal
yang terlaksana di wilayah-wilayah,
daerah memengaruhi pemda menjadi
pada dasarnya, merupakan program
pragmatis. Pemda terkesan memberikan
nasional yang dikelola secara nasional.
perhatian sekadarnya untuk memenuhi
Peran KPAD dan dinkes lebih sebagai
kewajiban formal sebagai kebijakan
pelaksana teknis dari KPAN dan
yang didorong oleh pusat. Akibatnya,
Kemenkes daripada sebagai penanggung
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS
jawab penanggulangan HIV dan AIDS
dari pemprov dan kabupaten/kota masih
dan kesehatan di tingkat daerah.
sangat terbatas jika dibanding dengan
Program yang dijalankan kedua lembaga
besaran untuk alokasi pembiayaan
di tingkat daerah ini merupakan bagian
pengobatan secara umum. Ini merupakan
pembiayaan program pencegahan di
konsekuensi masih lemahnya komitmen
tingkat nasional. Kontribusi daerah pada
politik untuk memberikan alokasi dana
dasarnya sangat minim. Ini disebabkan
yang memadai untuk upaya pencegahan
tidak ada alasan yang kuat untuk
HIV pada lembaga-lembaga yang
menggali sumber-sumber pendanaan di
menjadi anggota KPA yang memiliki 03
tingkat daerah karena program sudah
mandat melakukan pendidikan dan
ditentukan di tingkat nasional, termasuk
kampanye penanggulangan HIV dan
alokasi untuk hal-hal yang bersifat teknis.
AIDS pada SKPD atau lembaga di luar
Meski sudah ada perda penanggulangan
dinkes. Akibatnya di beberapa daerah,
HIV dan AIDS di beberapa wilayah yang
rencana pembiayaan untuk HIV dan
seharusnya bisa menjadi dasar hukum
AIDS yang diusulkan dari multisektor
bagi penggalian dana lokal, dalam
non kesehatan, tidak mendapatkan
kenyataannya, belum ditindaklanjuti
alokasi anggaran dari Bappeda, seperti
dengan advokasi yang kuat oleh
di Kota Kupang dan Medan. Hal ini
KPAD dan dinkes untuk memperoleh
mencerminkan adanya kecenderungan
pendanaan dari pemda. Situasi ini
pengintegrasian pembiayaan program
semakin sulit dilakukan jika pimpinan
HIV dan AIDS di berbagai SKPD tidak
daerah kurang memiliki komitmen
optimal dengan posisi tawar yang
terhadap permasalahan HIV dan AIDS di
lemah. Di beberapa daerah, pembiayaan
wilayahnya. Kebijakan terkait ini masih
penanggulangan HIV dan AIDS juga
di atas kertas, kecuali di Kabupaten
mengalami permasalahan serupa.
Merauke yang telah memiliki komitmen
Fokus pembiayaan pencegahan HIV
untuk membiayai pencegahan melalui
dan AIDS dialokasikan pada SKPD yang
APBDnya.
dianggap menjadi tupoksinya memberi
b. Kegiatan pencegahan HIV dan AIDS layanan kesehatan. KPA, sebagai
pada populasi kunci belum dialokasikan lembaga multisektor yang dibentuk
pada mata anggaran pemerintah dengan regulasi Peraturan Presiden dan
Permendagri, hanya di atas kertas, tanpa
HIV dan AIDS sebagai masalah
103
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
104
Ig n ati u s He rsu m p an a
105
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
106
Ig n ati u s He rsu m p an a
menunjukkan bahwa biaya yang dibutuh AIDS di atas secara umum menunjukkan
kan untuk menangani ODHA per tahun belum terjadinya integrasi dengan skema
untuk setiap orang mencapai USD 995,38 pembiayaan kesehatan umum. Salah satu
sementara biaya pencegahan diper penjelasannya adalah masih tingginya
kirakan 2/3 dari angka tersebut39 atau pembiayaan pencegahan HIV dari MPI.
sekitar 663 dolar/tahun atau 55 dolar/ Dukungan MPI pada satu sisi positif
bulan (setara dengan Rp 561,000).40 sebagai upaya mengatasi situasi darurat
(emergency) untuk mendorong percepatan
Dilihat dari kebutuhan advokasi, maka
penanggulangan epidemi penyakit menular
besarnya nilai estimasi pembiayaan
(e.g. HIV dan AIDS) melalui mekanisme yang
yang harus diinvestasikan oleh peme
lebih fleksibel dengan mengembangkan
rintah agar mampu mendukung pro
jalur-jalur kerjasama non pemerintah
gram pencegahan semacam itu. Ten
(LSM) dan pemangku kepentingan lainnya.
tunya, untuk mengembangkan program
Akan tetapi, peningkatan partisipasi yang
pencegahan menjadi sesuatu yang
lebih luas dalam penyediaan layanan
akan sangat bergantung dengan ke
HIV dan AIDS tersebut, pada saat yang
mampuan fiskal dari pemda jika daerah
bersamaan, berdampak negatif terhadap
menginginkan hal tersebut. Dengan
sistem yang berlaku dengan terbentuknya
terbatasnya kapasitas fiskal di berba
lembaga yang paralel, proses yang tidak
gai kabupaten/kota di Indonesia, maka
terkoordinasi dengan baik, harmonis dan
mahalnya biaya pencegahan itu men
terkait dengan sistem nasional (Biesma
dorong pemda memilih prioritas pem
et al., 2009). Pembiayaan yang cukup
bangunan kesehatan yang lebih mampu
besar dari donor menjadikan pemerintah
didukung oleh kemampuan fiskalnya.
merasa tidak harus memberi perhatian 03
Misalnya, Kabupaten Badung yang
pada pembiayaan karena sudah ada yang
merupakan daerah dengan pertum
mendanai. Ini menciptakan ketergantungan
buhan ekonomi yang tinggi dari sektor
terhadap pihak lain, sehingga berdampak
pariwisata, telah mampu meningkat
pada ketidaksiapan pemerintah di tingkat
kan anggaran melalui Alokasi Dana
pusat dan daerah dalam mengambil alih
Desa (ADD) untuk pencegahan HIV dan
peran yang lebih besar untuk pembiayaan
AIDS di tingkat desa. Namun demikian
pencegahan. Contohnya, alokasi
daerah lain seperti Kupang, dengan
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS
fiskal daerahnya rendah, akan memiliki
dari pemerintah pusat hanya kurang lebih
prioritas berbeda.
seperempat dari total pengeluaran untuk HIV
dan AIDS. Alokasi pembiayaan pencegahan
di daerah jauh lebih baik karena hampir
107
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
108
Ig n ati u s He rsu m p an a
seperti STBP, menjadi prasyarat. Hal ini dan AIDS membutuhkan kapasitas sumber
sejalan dengan hasil sistematik review yang daya perencanaan di tingkat daerah untuk
dilakukan oleh Biesma et al (2009) terkait mengelola sistem informasi yang terpadu
mekanisme monitoring yang berjalan paralel. meliputi mekanisme pengumpulan, pengo
lahan dan pemanfaatan untuk perencanaan
Peningkatan kapasitas untuk tenaga
pembiayaan yang diyakini menjadi salah
monev di tingkat daerah diperlukan untuk
satu prasyarat penting. Di samping itu,
mengatasi kesenjangan terhadap keterse
untuk perencanaan pembiayaan yang lebih
diaan data. Namun demikian, penguatan
baik dibutuhkan strategi yang praktis untuk
kapasitas di tingkat lokal yang didukung
melakukan koordinasi dengan pemegang
oleh donor tidak diintegrasikan dengan
data strategis, yakni MPI.
sistem nasional. Karena peningkatan
kapasitas hanya untuk memenuhi kebutuhan Satu kontribusi penting dari kajian ini
target pendonor, sehingga daerah tidak adalah pengalaman lebih terintegrasinya
memiliki kapasitas yang memadai membuat pembiayaan di Merauke dengan sumber
perencanaan yang rasional. Hal ini juga di pembiayaan lokal dan program pencegahan
kuatkan dengan hasil kajian integrasi oleh tetap berjalan, meski donor sudah mundur.
Coker et al. (2010) di lima negara (Indonesia,41 Hal ini dipengaruhi oleh adanya kebijakan
Laos PDR,42 Vietnam,43 Papua Nugini,44 otonomi khusus yang berimplikasi pada
dan Thailand45) yang menunjukkan bahwa peningkatan anggaran daerah untuk sektor
sebagian besar fungsi sistem kesehatan kesehatan. Dengan adanya komitmen
meliputi pembiayaan, logistik alkes, sumber daerah untuk mewujudkan anggaran
daya manusia kesehatan, dan sistem sektor kesehatan dari APBD sebesar 15 %
informasi tidak terintegrasi kecuali Thailand. (UU Otsus), berpengaruh terhadap pe
Contoh pengelolaan sistem informasi HIV ningkatan ketersediaan dana untuk alo 03
kasi pencegahan HIV dan AIDS. Oleh
41) Desai, M., Rudge, J. W., Adisasmito, W., Mounier-Jack, karena itu, melalui penguatan intervensi
S., & Coker, R. (2010). Critical interactions between Global penanggulangan HIV dan AIDS dengan
Fund-supported programmes and health systems: a case
study in Indonesia. Health Policy and Planning, 25 Suppl 1, mengintegrasikan pembiayaan di daerah
i43–47. http://doi.org/10.1093/heapol/czq057 akan menjamin keberlanjutan dan efektivitas
42) Sandra Mounier-Jack, James W Rudge, Rattanaxay program, hal yang sejalan dengan beberapa
Phetsouvanh, Chansouk Chanthapadith, and Richard hasil kajian yang menegaskan dengan pe
Coker, “Critical interactions between Global Fund-
supported programmes and health systems: a case study nguatan sistem kesehatan yang baik akan
in Lao People’s Democratic Republic”. Health Policy meningkatkan integrasi dan efektivitas
Planning. (2010) 25 (suppl 1): i37-i42 doi:10.1093/heapol/ program (Atun & Kazatchkine, 2009; Olmen
czq056
et al., 2012). Dengan adanya penguatan
43) Conseil, A., Mounier-Jack, S., & Coker, R. (2010).
“Integration of health systems and priority health komitmen lokal untuk pembiayaan melalui
interventions: a case study of the integration of HIV and APBD membuktikan adanya jaminan ke
TB control programmes into the general health system in berlanjutan program pada tingkat layanan
Vietnam”. Health Policy and Planning, 25 Suppl 1, i32–36.
http://doi.org/10.1093/heapol/czq055 meskipun tidak lagi mendapatkan dukungan
44) James W Rudge, Suparat Phuanakoonon, K Henry dari donor.
Nema, Sandra Mounier-Jack, and Richard Coker, “Critical
interactions between Global Fund-supported programmes Jaminan pembiayaan pencegahan di
and health systems: a case study in Papua New Guinea”. daerah ditentukan oleh kapasitas fiskal
Health Policy Planning. (2010) 25 (suppl 1): i48-i52 nya. Lemahnya kapasitas daerah membuat
doi:10.1093/heapol/czq058
komitmen pemda menghadapi tantang
45) Hanvoravongchai, P., Warakamin, B., Coker, R. 2010.
“Critical Interactions between Global Fund-Supported an untuk memenuhi ketersediaan dan
Programmes and Health Systems: a Case Study in ketercukupan pembiayaan tersebut yang di
Thailand”. Health Policy and Planning, 25:i53-57.
109
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
setiap daerah sangat ditentukan “... pendanaan yang disebut “debt swap” untuk
oleh kemampuan fiskalnya. program pembiayaan HIV dan AIDS dari
Hal ini sejalan Galarraga et al negara pemberi kredit, Jerman
pencegahan
(2013) yang menyatakan, un dan Australia (Atun, Knaul,
HIV dan AIDS
tuk keberlanjutan pendanaan Akachi, & Frenk, 2012). Demikian
program HIV dan AIDS, kontribusi dalam bentuk juga dengan perluasan pelibatan
negara-negara berpendapatan intervensi PMTS partisipasi sektor swasta dalam
rendah dan menengah perlu pada kelompok upaya penanggulangan HIV
ditingkatkan yang dihitung WPS dan LSL, dan AIDS menjadi alternatif
berdasarkan pendapatan untuk pengembangan sumber
serta LASS
per kapita penduduk dan pembiayaan di masa depan,
pada kelompok
beban utang. Implikasinya, sehingga bisa menjamin
perlu dikembangkan inovasi penasun, pada ketersediaan dan kecukupan
penggalian sumber pembiayaan dasarnya, kurang pembiayaan selanjutnya.
secara kreatif untuk pembiayaan terintegrasi
HIV dan AIDS, seperti dengan skema
E.
pelibatan sektor swasta untuk pembiayaan
membiayainya melalui CSR.
kesehatan pada
Pembiayaan yang umumnya.”
menargetkan sektor swasta Simpulan
ini bisa langsung menyentuh
melalui pendidikan dan Hasil analisis studi ini
penyebaran informasi ba mendapatkan simpulan
gi para pekerja yang rentan bahwa pendanaan program
dengan perilaku seks berisiko. pencegahan HIV dan AIDS
Mekanisme lain adalah pengem dalam bentuk intervensi PMTS
bangan sumber pembiayaan pada kelompok WPS dan LSL,
alternatif dari ‘penarikan serta LASS pada kelompok
pajak dari produk yang dapat penasun, pada dasarnya,
menimbulkan risiko yang disebut kurang terintegrasi dengan
‘sin taxes’ seperti pajak minuman skema pembiayaan kesehatan
keras yang dapat berdampak pada umumnya. Kurang
keuntungan ganda yakni terintegrasinya ini tampak
pengurangan perilaku berisiko pada tidak adanya koordinasi
dan peningkatan pendapatan dan sinkronisasi di tingkat
(Obure et al., 2012; Vassall et al., nasional dan daerah berbagai
2013). Selain itu, sebagai negara sumber dana yang digunakan
yang memiliki beban utang untuk pembiayaan program
luar negeri, Indonesia dapat pencegahan di daerah.
mengembangkan upaya untuk Selain itu, perhatian
melakukan negosiasi lebih luas pemerintah terhadap program
dengan negara pemberi utang pencegahan HIV dan AIDS yang
(lainnya) seperti yang berhasil sangat minim menyebabkan
dilakukan oleh Indonesia, tidak adanya anggaran
Pakistan, Mesir, Pantai Gading, pemerintah untuk program
dan Ethiopia yang mendapatkan pencegahan bagi populasi
mekanisme pengalihan utang
110
Ig n ati u s He rsu m p an a
F.
Beberapa hal yang menyebabkan
tidak terintegrasinya pembiayaan
program pencegahan ke dalam sistem
pembiayaan kesehatan, antara lain: 1) Rekomendasi
dominannya peran MPI sebagai sumber
pembiayaan untuk pencegahan HIV dan Berikut adalah langkah-langkah strategis
AIDS berdampak pada kurang kuatnya pada aspek collecting, pooling dan
komitmen pemerintah pusat dan daerah purchasing yang dapat dilakukan untuk 03
untuk menggali sumber-sumber pembiayaan mengatasi kendala-kendala yang
domestik yang memadai; 2) lemahnya ke menyebabkan kurang terintegrasinya
wenangan administratif keuangan daerah pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS ke
untuk menentukan perencanaan dan dalam sistem pembiayaan kesehatan umum,
penganggaran untuk pencegahan HIV antara lain:
dan AIDS. Ada pengecualian pada daerah
yang sudah ditinggalkan oleh GF seperti 1. Pemerintah Indonesia secara nasional
Merauke, di mana pemerintah daerah me perlu meningkatkan komitmen
miliki keleluasaan untuk mengembangkan pembiayaan pencegahan yang
sumber pembiayaan; 3) lemahnya dukungan bersumber dari pendanaan domestik dan
operasional bagi SDM non kesehatan yang pemerintah lokal hingga mencapai target
memiliki kapasitas penjangkauan kelompok minimal 70% dari total anggaran yang
marginal yang tidak bisa dilakukan oleh dibelanjakan untuk penanggulangan HIV
tenaga kesehatan umum; 4) desentralisasi dan AIDS selama ini. Mekanisme yang
urusan kesehatan di daerah tidak diikuti oleh ditempuh untuk mewujudkan pembiayaan
petunjuk teknis operasionalisasi fungsi yang pencegahan tersebut dapat dilakukan
kuat dan kewenangan finansial daerah untuk dengan mengembangkan inovasi
dapat melakukan perencanaan pembiayaan penggalian sumber pembiayaan melalui
pencegahan secara leluasa dan memadai optimalisasi pemasukan dari sumber
dari sumber lokal; 5) kapasitas perencanaan
daerah yang kurang didukung dengan bukti
(evidence based) yang kuat memengaruhi
kemandirian daerah dalam mengembangkan
111
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
pajak produk-produk yang mengandung tenaga non kesehatan. Hal ini dapat
risiko bagi kesehatan, seperti minuman dilakukan dengan mekanisme contracting
keras dan produk sejenisnya. Selain itu, out yang terintegrasi pada fasilitas
pelibatan sektor swasta untuk turut serta layanan kesehatan di tingkat primer yang
membiayai pencegahan HIV dan AIDS memiliki BLUD.
dapat menggunakan kewajiban CSR
4. Adanya kewenangan administratif
yang diintegrasikan dalam mekanisme
untuk pengelolaan finansial perlu
Keselamatan dan Keamanan Kerja (K3).
dikuatkan dengan peningkatan kapasitas
Hal ini dapat dilakukan dengan kebijakan
perencanaan daerah. Ini dapat dilakukan
insentif pengurangan pajak dan sertifikasi
dengan menyediakan data lokal. Oleh
rating bonafiditas perusahaan oleh
karena itu, kepemilikan terhadap data-
pemerintah. Di samping itu, Indonesia
data hasil surveilans yang dikembangkan
sebagai salah satu negara yang
oleh pusat yang didukung donor selama
memiliki beban utang luar negeri, dapat
ini harus menjadi hak kepemilikan
melakukan lobi bilateral kepada negara
data (ownership) dari daerah untuk
kreditor untuk pengalihan pembayaran
memanfaatkan data bagi kebutuhan
utang dengan pembiayaan pencegahan
perencanaan pembiayaan HIV dan AIDS
HIV dan AIDS.
secara lebih rasional. Untuk ini perlu
2. Pemerintah pusat perlu memberikan adanya koordinasi dengan pusat dan
kewenangan pengelolaan administrasi donor untuk mendukung kebutuhan
finansial melalui penegasan kebijakan peningkatan kapasitas daerah, mulai
operasional dari desentralisasi urusan dari proses pengumpulan, kemampuan
kesehatan daerah. Dengan demikian, analisis, dan pemanfaatan untuk
daerah memiliki legitimasi dan panduan perencanaan tersebut.
aturan pelaksanaan yang jelas untuk
5. Pemda perlu mengembangkan
merencanakan dan mengelola keuangan
mekanisme koordinatif yang efisien
bagi alokasi pencegahan HIV dan AIDS
dengan Bappeda dalam pengintegrasian
secara lebih leluasa melalui mekanisme
pooling dan distribusi pembiayaan
penganggaran di APBD. Dengan adanya
HIV dan AIDS dalam kerangka sistem
peningkatan alokasi APBN untuk sektor
kesehatan. Beberapa mekanisme
kesehatan, pemda diberi kewenangan
yang bisa ditempuh untuk hal ini
mengelola dan mengatur penggunaan
adalah peningkatan untuk alokasi
keuangan dengan proporsi yang lebih
pembiayaan pencegahan melalui
besar untuk pencegahan HIV dan AIDS,
penguatan kapasitas teknis staf di tingkat
yang menjadi bagian dalam prioritas
puskesmas, sehingga mampu membuat
pembiayaan sektor kesehatan daerah
perencanaan pembiayaan pencegahan
sebagai operasionalisasi mekanisme
HIV dan AIDS dengan mengoptimalkan
kontrol terhadap penyebaran penyakit.
dana kapitasi. Contohnya pengalokasian
3. Dengan adanya legitimasi pendanaan untuk pembelian alat
kewenangan dan prosedur petunjuk kesehatan pencegahan seperti kondom
teknis implementasi bagi daerah dan jarum suntik di fasilitas layanan
untuk mengelola pembiayaan kesehatan primer (puskesmas).
sektor kesehatan, pemda dapat
6. Untuk mengatasi kebijakan yang
mengembangkan kebijakan untuk
kontraproduktif, pemerintah perlu
mendukung perluasan pembiayaan bagi
mengembangkan komitmen dan
optimalisasi penyediaan peran tenaga-
penciptaan lingkungan kondusif untuk
112
Ig n ati u s He rsu m p an a
meminimalkan stigma dan diskriminasi Conseil, A., Mounier-Jack, S., & Coker, R. (2010).
“Integration of health systems and priority health
pada kelompok populasi kunci (WPS, interventions: a case study of the integration of HIV
LSL, dan penasun). Hal ini dapat and TB control programmes into the general health
dilakukan dengan memastikan adanya system in Vietnam”. Health Policy and Planning, 25
Suppl 1, i32–36. http://doi.org/10.1093/heapol/czq055
pembiayaan pencegahan pada populasi
Desai, M., Rudge, J. W., Adisasmito, W., Mounier-Jack, S., &
kunci yang dikoordinasikan oleh KPAD Coker, R. (2010). “Critical interactions between Global
dan SKPD terkait. Di samping itu, pada Fund-supported programmes and health systems: a
tingkat internal dinas kesehatan di case study in Indonesia”. Health Policy and Planning,
25 Suppl 1(suppl_1), i43–47. doi:10.1093/heapol/
daerah perlu melakukan koordinasi dan czq057
kerjasama lintas unit bidang-bidang Galarraga, O., Wirtz, J.V., Tellez, Y.S.A., Korenromp, K.
terkait penanggulangan HIV dan AIDS, E., (2013). “Financing HIV Programming: How Much
sehingga dapat mengembangkan Should Low-And Middle-Income Countries and their
Donors Pay?”. PLOS ONE: Juni 2013: Volume 8: Issue
linking untuk pembiayaan lintas bidang 7 www.plosone.orgGlobal Fund, (2015). Result Report.
(cross-financing) untuk pembiayaan Gumani et al., “An integrated structural intervention to
pencegahan HIV dan AIDS dan bidang reduce vulnerability to HIV and sexually transmitted
lainnya di bawah Dinas Kesehatan. infections among female sex workers in Karnataka
state, South India”. BMC Public Health 2011, 11:755
http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/755
Halmshaw, C., & Hawkins, K. (2004). “Capitalising
on global HIV/AIDS funding: The challenge for
civil society and government”. Reproductive
Da f t ar P u st ak a Health Matters, 12(24), 35–41. doi:10.1016/S0968-
Ainsworth, M., Beyrer, C., & Soucat, A. (2003). “AIDS 8080(04)24154-4
and public policy: The lessons and challenges of Hanvoravongchai, P., Warakamin, B., & Coker, R. (2010).
“success” in Thailand”. Health Policy. doi:10.1016/ “Critical interactions between Global Fund-supported
S0168-8510(02)00079-9 programmes and health systems: a case study in
Atun, R., De Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O. (2010). Thailand”. Health Policy and Planning, 25 Suppl 1,
03
“Integration of targeted health interventions into i53–i57. doi:10.1093/heapol/czq057
health systems: A conceptual framework for analysis”. Hecht, R., Stover, J., Bollinger, L., Muhib, F., Case, K., &
Health Policy and Planning, 25, 104–111. doi:10.1093/ Ferranti, D. De. (2010). Review Financing of HIV / AIDS
heapol/czp055 programme scale-up in low-income, 376.
Atun, R., & Kazatchkine, M. (2009). “Promoting country KPAN, 2014. Final Report Indonesia HIV Control Program:
ownership and stewardship of health programs: The An Institusional Analysis.
global fund experience”. Journal of Acquired Immune
McIntyre D. and Kutzin, J., 2016. Health financing country
Deficiency Syndromes (1999), 52 Suppl 1, S67–S68.
diagnostic: a foundation for national strategy
doi:10.1097/QAI.0b013e3181bbcd58
development. WHO
Atun, R., Knaul, F. M., Akachi, Y., & Frenk, J. (2012).
Merson, M. H., O’Malley, J., Serwadda, D., & Apisuk, C.
“Innovative financing for health: What is truly
(2008). “The history and challenge of HIV prevention”.
innovative?”. The Lancet, 380(9858), 2044–2049.
The Lancet, 372(9637), 475–488. doi:10.1016/S0140-
doi:10.1016/S0140-6736(12)61460-3
6736(08)60884-3
Biesma, R. G., Brugha, R., Harmer, A., Walsh, A., Spicer,
Mounier-Jack,S., Rudge, J. W., Phetsouvanh,R.,
N., & Walt, G. (2009). “The effects of global health
Chanthapadith,C. , and Coker, R., “Critical
initiatives on country health systems: A review of the
interactions between Global Fund-supported
evidence from HIV/AIDS control”. Health Policy and
programmes and health systems: a case study in
Planning, 24(4), 239–252. doi:10.1093/heapol/czp025
Lao People’s Democratic Republic”. Health Policy
Bovbjerg, R. R., Eyster, L., Ormond, B. a, Anderson, T., & Planning. (2010) 25 (suppl 1): i37-i42 doi:10.1093/
Richardson, E. (2013). Opportunities for Community heapol/czq056
Health Workers in the Era of Health Reform, (2012), 47.
National AIDS Commission (NAC), (2015).The Case for
Coker, R., Balen, J., Mounier-jack, S., Shigayeva, A., Increased The Case for Increased and More Strategic
Lazarus, J. V, Rudge, J. W., … Atun, R. (2010). “A Investment in HIV in Indonesia.
conceptual and analytical approach to comparative
Nadjib, M., Megraini, A., Ishardini, L. and Rosalina, L. 2013.
analysis of country case studies : HIV and TB control
National AIDS Spending Assessment 2011-2012.
programmes and health systems integration”. Health
Policy and Planning, 25, 21–31. http://doi.org/10.1093/ Obure, C. D., Vassall, A., Michaels, C., Terris-Prestholt, F.,
heapol/czq054 Mayhew, S., Stackpool-Moore, L., … Watts, C. (2012).
“Optimising the cost and delivery of HIV counselling
113
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia
114
03
115
04
Layanan Antiretroviral
Treatment (ART) Pada
Fasilitas Layanan
Kesehatan Primer di
Indonesia
116
I ta Pe rw i ra
A.
Pendahuluan
Salah satu terobosan besar dalam sejarah HIV dan AIDS adalah
ditemukannya kelompok baru obat-obatan pada sekitar tahun 1995-1996,
yang disebut dengan antiretroviral (ARV) dan standar pengobatan yang
menggunakan kombinasi sedikitnya tiga jenis obat ARV yang dikenal dengan
Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) (Palmisano & Vella, 2011).
Keberadaan obat ARV ini telah berkontribusi penting dalam penanggulangan
HIV dan AIDS, meskipun obat ini sampai sekarang belum mampu
menyembuhkan, namun ARV membantu menurunkan angka kematian,
kesakitan, serta meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA). Oleh karena itu, perkembangan pengobatan ini mulai menjadi fokus
perhatian global, termasuk pemerintah Indonesia, sehingga kebutuhan ARV
global menjadi semakin meningkat.
117
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
bungan (LKB). Layanan ini merupakan bentuk Penelitian ini dianggap memberikan
desentralisasi layanan kesehatan melalui perubahan yang cukup besar terkait
layanan kesehatan primer, yang di dalamnya efektivitas pengobatan ARV sebagai
termasuk akses layanan perawatan dan HIV treatment as prevention (Cohen,
pengobatan ARV. Untuk mendukung McCauley, & Gamble, 2012). Penelitian ini
pelaksanaan pengobatan ini, pemerintah pun membuktikan bahwa pengobatan ARV
Indonesia juga membuat kebijakan dan lebih dini memberikan manfaat ganda, yaitu
menyusun pedoman ART yang diadaptasi selain menurunkan angka kematian dan
dari pedoman pengobatan ART WHO tahun meningkatkan kualitas hidup, juga mampu
2002 (Green & Nagar, 2013; Kemenkes RI, menjadi pilihan perlindungan bagi pasangan
2004). Sementara terkait dengan pengadaan serodiskordan, karena dapat menurunkan
obat ARV, Indonesia menunjukkan komitmen risiko penularan melalui transmisi seksual
nya dengan Keputusan Menteri Kesehatan pada kelompok heteroseksual sebesar 96%
Republik Indonesia (RI) Nomor 1190/MENKES/ (Cohen et al., 2012). Hal ini menjadi dasar
SK/X/2004 tentang Pemberian Obat Anti perkembangan dan perluasan pengobatan
Tuberkulosis (OAT) dan Obat Antiretroviral ARV di Indonesia, diikuti dengan adanya
(ARV) untuk HIV dan AIDS. Masih tahun komitmen pemerintah terkait pembiayaan
yang sama, Kementerian Kesehatan juga dan penyediaan obat ARV yang semakin
memberikan kuasa kepada Kimia Farma meningkat dari tahun ke tahun oleh
melalui Keputusan Menteri Kesehatan pemerintah pusat, meski sampai saat ini
Republik Indonesia Nomor 1237/Menkes/SK/ masih mendapatkan dukungan dana dari
VI/2004 tentang Penunjukan PT. Kimia Farma luar negeri (Nadjib, Megraini, Ishardini, &
(PERSERO) TBK untuk melaksanakan paten Rosalina, 2013).
obat antiretroviral atas nama pemerintah
Walau sudah mengalami peningkatan
Indonesia.
yang signifikan untuk cakupan ART, namun
Peningkatan penggunaan ARV di masih terdapat kesenjangan sekitar 45%
Indonesia menunjukkan dampak yang antara jumlah orang yang mendapatkan
cukup signifikan, dengan penurunan angka dengan jumlah orang yang semestinya
kematian yang disebabkan oleh HIV dan mendapatkan pengobatan ARV. Berdasarkan
AIDS (case fatality rate/CFR) dari 21.39% data laporan perkembangan HIV dan
di tahun 2000 menjadi hanya 1.22% di AIDS yang dikeluarkan Kemenkes secara
tahun 2014.49 Oleh karena itu, pemerintah rutin, jumlah yang pernah mendapatkan
Indonesia semakin mendorong percepatan ARV sebanyak 120.677 orang. Sementara
perluasan tes HIV dan pengobatan ARV, jumlah orang yang positif HIV sebanyak
selaras dengan dukungan bukti-bukti ilmiah 268,185 (Kemenkes, 2015). Namun demikian
yang kuat, salah satunya hasil penelitian cakupan ini telah melampaui 19.8% dari
HPTN 052.50 target nasional yang ditetapkan dalam
SRAN 2010-2014, yakni sebesar 60% (KPAN,
49) Kemenkes, 2015, Laporan perkembangan HIV/AIDS
2010). Meskipun secara nasional telah
TW 2 tahun 2015
melampaui target, namun untuk mencapai
50) HIV Prevention Trial Network (HPTN) adalah jaringan
kolaborasi global yang melakukan penelitian klinis yang target global 90-90-90 sampai dengan tahun
menyatukan penyidik , ahli etik , masyarakat dan mitra 2020, masih sangat jauh. Global Report
lain untuk mengembangkan dan menguji keamanan serta
oleh UNAIDS (2013), melaporkan bahwa
kemanjuran intervensi yang dirancang untuk mencegah
akuisisi dan penularan HIV. Kode HPTN 052 adalah kode Indonesia merupakan salah satu negara di
untuk penelitian: A Randomized Trial to Evaluate the mana kebutuhan pengobatan ARV belum
Effectiveness of Antiretroviral Therapy Plus HIV Primary
terpenuhi dan cukup tinggi. Secara global
Care versus HIV Primary Care Alone to Prevent the Sexual
Transmission of HIV-1 in Serodiscordant Couples target ARV adalah 15 juta orang tahun 2015
118
I ta Pe rw i ra
dan telah dicapai. Hal ini menunjukkan CD4, dengan prioritas pada dewasa dengan
pencapaian yang sangat baik dari beberapa gejala klinis HIV yang berat (WHO stadium
negara, namun perkembangan tersebut klinis 3 atau 4) dan dewasa yang CD4-nya
belum merata di sejumlah negara, termasuk di bawah 350 sel/mm3 (Kemenkes RI, 2011;
Indonesia (UNAIDS, 2013, 2014). WHO, 2015).
Program ART di Indonesia menjadi Program ART sebagai program nasional
salah satu program nasional yang mengacu dilakukan dan dikendalikan sepenuhnya
pada Permenkes No. 21 Tahun 2013 tentang oleh Kementerian Kesehatan, dengan
penanggulangan HIV dan AIDS serta pelaksanaan layanan memanfaatkan
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi perpanjangan tangan layanan kesehatan
HIV dan Terapi Antiretroviral untuk dewasa di daerah, yaitu dinas kesehatan provinsi/
(tahun 2011) dan untuk anak (tahun 2014). kabupaten/kota, RSUD, dan puskesmas.
Alur perawatan ARV dijelaskan secara detail Namun saat ini belum semua RS mampu
dalam pedoman tersebut yang dirangkum memberikan pelayanan ART karena
dalam gambar 8. keterbatasan sumber daya. Sementara
melalui layanan primer seperti puskesmas
Penatalaksanaan pemberian pengobatan
dan klinik juga masih sangat terbatas
ARV juga sudah mengalami perubahan;
dan belum maksimal pemberdayaannya.
sebelumnya ada syarat CD4 minimal
Padahal dalam upaya memenuhi kebutuhan
<350 sel/mm3 untuk memulai pengobatan
pengobatan ARV perlu percepatan
(Kemenkes RI, 2011), saat ini sudah diubah
penyediaan layanan, terutama di tingkat
mengikuti pedoman pengobatan ARV dari
layanan primer karena di tingkat ini
WHO tahun 2015. Pengobatan ARV dapat
cakupannya akan lebih luas dan lebih
dimulai lebih dini tanpa melihat jumlah sel 04
Pelaksanaan ART
Diagnosis HIV Pra ART RS dan Puskesmas yang
menyediakan layanan ARV
di Puskesmas, RS, Klinik, RS atau Puskesmas yang
atau fasyankes setelit ART
Mobile VCT menyediakan layanan ARV
(Puskesmas atau klinik
swasta)
Sumber: disusun berdasarkan alur tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi ART pada orang dewasa (Kemenkes RI, 2011)
119
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
mudah diakses. Hal tersebut telah cukup dan akses untuk permasalahan kesehatan
banyak dibahas pada beberapa penelitian yang dibutuhkan pertama kali oleh
yang dilakukan di berbagai negara di dunia masyarakat; (2) Layanan kesehatan yang
dan hasilnya menunjukkan bahwa integrasi berkelanjutan yaitu pemanfaatan sumber
layanan HIV dan AIDS memang perlu daya perawatan atau layanan kesehatan
dilakukan pada tingkat layanan kesehatan secara longitudinal dari waktu ke waktu,
primer (Bedelu, Ford, Hilderbrand, & Reuter, terlepas dari ada atau tidaknya penyakit
2007; Price, Leslie, Welsh, & Binagwaho, atau cedera; (3) Layanan yang komprehensif
2009; Schull et al., 2011). yaitu ketersediaan berbagai macam jenis
layanan kesehatan yang sesuai dengan
Pertanyaannya sekarang adalah
kebutuhan umum populasi; dan (4) Layanan
‘bagaimana untuk mencapai integrasi
yang terkoordinasi dengan baik yaitu adanya
sebuah layanan kesehatan ke dalam
sistem yang menghubungkan adanya
sistem kesehatan agar mencapai hasil
kejadian yang terkait kesehatan dengan
yang maksimal?’. Perkembangan jumlah
ketersediaan layanan kesehatan sehingga
layanan ART di layanan kesehatan primer ini
pasien dapat memperoleh perawatan atau
membutuhkan koordinasi di tingkat nasional,
layanan kesehatan yang sesuai dengan
khususnya dengan Kemenkes untuk
permasalahan kesehatannya baik secara
pengadaan dan distribusi obat ARV. Selain
fisik maupun mental dan juga sosial
itu juga perlu kriteria khusus dan standar
(Valentijn, Schepman, Opheij, & Bruijnzeels,
layanan minimal yang harus dimiliki oleh
2013). Pemenuhan layanan kesehatan primer
fasyankes agar bisa melaksanakan layanan
ini dapat dilakukan baik oleh pemerintah
ART baik dari sisi infrastruktur maupun
maupun oleh swasta. Di Indonesia, layanan
sumber dayanya.51
kesehatan primer dilakukan melalui
Agar memiliki pemahaman yang sama puskesmas, sedangkan untuk layanan
tentang permasalahan di atas, perlu dilihat kesehatan primer yang dikembangkan oleh
terlebih dahulu tentang definisi dan konteks swasta melalui Dokter Praktik Swasta (DPS)
dari layanan kesehatan primer. Berdasarkan ataupun klinik swasta.
Deklarasi Alma Ata tahun 1978, definisi
Usaha menerapkan sebuah inovasi
layanan kesehatan primer adalah layanan
ke dalam pelayanan kesehatan yang
kesehatan yang esensial yang berbasis
ada seringkali menggunakan hasil dari
metode yang praktis, berdasarkan ilmu
best practices global maupun nasional,
pengetahuan dan dapat diterima secara
tanpa disertai penyesuaian atau perhatian
sosial serta teknologinya dibuat agar dapat
terhadap peningkatan kapasitas sistemik
diakses oleh seluruh masyarakat melalui
lokal dan budaya organisasi lokal. Padahal
partisipasi penuh masyarakat dengan
keberhasilan yang terjadi di satu wilayah
biaya yang terjangkau oleh masyarakat
belum tentu akan berhasil bila diterapkan
dan negara secara mandiri (WHO, 1978).
di wilayah lainnya. Hal yang sama banyak
Sementara elemen kunci dari layanan
terjadi di Indonesia, termasuk untuk program
kesehatan primer yang diadaptasi dari
ART.
Starfield (1992 dan 2005) dijabarkan menjadi
empat kunci pokok yang idealnya dipenuhi, Sebagai program yang terpusat,
yaitu (1) Layanan kesehatan terdepan (kontak sesungguhnya banyak penyesuaian yang
pertama), yang berarti kemudahan layanan perlu dilakukan di tingkat daerah (provinsi/
kabupaten/kota). Hal ini disebabkan
51) Surat pemberitahuan proses aktivasi layanan ARV, dari kondisi daerah serta sumber daya lokal
Kementrian Kesehatan RI kepada seluruh Dinkes Provinsi, yang berbeda-beda. Penerapan program
Nomor: BN 01.01/III.2/2482/2013.
120
I ta Pe rw i ra
berdasarkan best practice saja, dengan bukan semata layanan khusus terkait HIV
menyamaratakan semua wilayah tanpa yang bersifat eksklusif yang hanya bisa
ada penyesuaian dengan keadaan lokal, diakses pada layanan kesehatan tertentu
maka pelaksanaannya tidak akan berhasil. saja, namun termasuk di dalamnya layan
Kalaupun berjalan hanya akan menghasilkan an pencegahan dan layanan kesehatan
integrasi yang semu (Freedman, 2011). primer lainnya (Tolle, 2009). Sistem layanan
kesehatan primer bila dikaji kembali berda
Deskripsi di atas sejalan dengan
sarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
pendapat bahwa ‘one size doesn’t fit
75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan
all’ yang perlu menjadi pertimbangan
Masyarakat serta konsep yang digagas da
bahwa pelaksanaan program nasional
lam program LKB meliputi peningkatan akses
seperti program ART, seharusnya juga
dan cakupan terhadap seluruh layanan
memperhatikan keadaan lokal (kondisi
kesehatan, bukan hanya pengobatan saja
ekonomi, sumber daya manusia, geografis,
tetapi juga upaya promotif, pencegahan dan
budaya, dll). Sehingga penting adanya
rehabilitatif (Kemenkes RI, 2012).
penyesuaian pelaksanaan dari pemda
untuk mendapatkan hasil yang maksimal 52 Saat ini, sistem layanan HIV dan AIDS
(Prichett, Woolcock, & Andrews, 2010). Untuk pada kesehatan primer (puskesmas) yang
itu sangat penting untuk mengetahui ‘what berjalan di Indonesia masih berfokus pada
works’ dan ‘what does not work’ dalam suatu usaha pengobatan saja dan terbatas pada
sistem yang adaptif yaitu sistem kesehatan aspek promotif, pencegahan, dan rehabilitatif.
nasional. Dalam hal ini, perlu dilihat lagi lebih Meskipun puskesmas juga melakukan layan
mendalam faktor-faktor yang memungkinkan an promotif dan pencegahan, namun sejauh
integrasi dapat terjadi, baik dari aspek tata ini belum optimal. Peran layanan promotif,
kelola layanan maupun aspek eksternalnya pencegahan dan rehabilitatif lebih banyak 04
seperti konteks politik, ekonomi, hukum dan diambil oleh organisasi masyarakat sipil
regulasi, serta permasalahan kesehatan (OMS) melalui peran tradisional mereka
yang ada di daerah tersebut. yakni memberikan edukasi, layanan dan
dukungan terhadap kebutuhan masyarakat.
Dasar utama yang perlu diperhatikan
Dalam konteks layanan ARV, peran OMS
dalam meningkatkan layanan kesehatan
tampak nyata dalam outreach dan link to
yang kompleks dan berkelanjutan adalah
care bagi masyarakat ke layanan kesehatan
sistem kesehatan yang kuat dalam sistem
yang tersedia (UNAIDS, 2005). Peran ini men
layanan kesehatan primer (Freedman, 2011).
jadi sangat penting dalam meningkatkan ca
Freedman menyebut, sistem kesehatan yang
kupan dan kinerja program ART dan Pengo
kuat sebagai suatu sistem yang kompleks
batan, Dukungan dan Perawatan (PDP).
dan adaptif, yang tersusun dari berbagai
Contohnya dengan memberikan dukungan
sub sistem fungsi kesehatan yang bekerja
pada Kelompok Dukungan Sebaya (KDS),
di dalamnya sehingga mampu menjalan
dan sebagai pendamping (e.g. Manajer Kasus
kan fungsi layanan kesehatan dengan baik.
[MK]). Sayangnya, peran ini masih belum
Dengan adanya pengobatan ARV yang
mendapatkan perhatian dan dukungan dari
membantu mengurangi morbiditas dari
pemerintah. Peran OMS banyak dilakukan
infeksi HIV, maka kebutuhan untuk meng
di luar sistem yang ada di pemerintah
akses layanan kesehatan juga semakin
daerah baik dari segi pembiayaan
meningkat. Akses layanan yang dibutuhkan
maupun koordinasi dan pelaporan. Hal ini
52) One Size Doesn’t Fit All: Lant Pritchett on Mimicry dikarenakan OMS tidak dianggap bagian
in Development, http://www.cgdev.org/blog/one-
dari layanan kesehatan karena lebih banyak
size-doesn%E2%80%99t-fit-all-lant-pritchett-mimicry-
development, diakses: 21 April 2016 bergerak di area promotif, pencegahan dan
121
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
rehabilitatif. Peran OMS sangat terbatas Nomor 75 Tahun 2014, bahwa upaya kese
dalam hal layanan kesehatan. Umumnya hatan dilakukan sesuai dengan prioritas
OMS ini bekerja dengan mendapatkan masalah kesehatan, kekhususan wilayah
dukungan dana dari Mitra Pembangunan kerja, dan potensi sumber daya yang ter
Internasional (MPI). Keadaan ini seharusnya sedia di masing-masing puskesmas dan
dapat dilihat sebagai suatu kesempatan pembiayaan pelaksanaan upaya kesehatan
untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya, bersumber dari
yang telah dideskripsikan di atas. APBD.
Adanya desentralisasi dan pembagian Berdasarkan situasi yang digambarkan
kewenangan antara pusat dan daerah, di atas, maka pertanyaan yang ingin dijawab
yang memasukkan kesehatan sebagai dalam tulisan ini adalah 1) sejauh mana inte
salah satu urusan wajib daerah, termasuk grasi ART telah dicapai di tingkat layanan
di dalamnya adalah pengelolaan Upaya kesehatan primer (e.g. puskesmas) saat
Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya ini?; 2) seberapa jauh fungsi manajerial dan
Kesehatan Masyarakat (UKM) daerah melalui fungsi operasional dimiliki oleh puskesmas
puskesmas, maka implementasi program untuk mendukung layanan ART di tingkat
ART di daerah juga perlu disesuaikan layanan primer?; 3) apakah tingkat integrasi
dengan konteks lokal. tersebut berimplikasi positif terhadap
efektifitas program ART di tingkat kabupaten/
Selanjutnya perlu adanya kesadaran
kota?; 4) sejauh mana peran pemda dalam
dan komitmen politik akan kebutuhan
layanan ART di tingkat layanan primer?;
integrasi layanan ART di layanan kesehatan
dan 5) bagaimana dan seberapa jauh peran
primer dari pemerintah. Penyusunan
OMS dalam mendukung layanan ART pada
kebijakan terkait integrasi di layanan
layanan kesehatan primer?
kesehatan primer dan rekomendasi praktis
pelaksanaan program di daerah disusun
berdasarkan kebutuhan dan berbasis bukti,
sehingga akan lebih bermanfaat dibanding
sekadar menyesuaikan kebijakan nasional
pelaksanaan program ART tanpa melihat
B.
situasi dan sumber daya lokal (Friedland, Metode
Harries, & Coetzee, 2007). Daerah dapat
menunjuk dan mempersiapkan layanan Tulisan ini merupakan sebuah analisis, yang
kesehatan primer sesuai dengan kriteria secara khusus melihat tentang integrasi
yang berlaku untuk dapat menjadi puskes layanan ART ke dalam pelayanan primer
mas layanan ART (Kementerian Kesehatan dengan memanfaatkan data yang telah
RI53). Diperlukan komitmen politik dan diperoleh dari dua sumber: 1) penelitian
penyesuaian terhadap pembiayaan, serta yang dilakukan oleh PKMK sebelumnya54
sumber daya manusia dalam rangka tentang integrasi upaya penanggulangan
memenuhi kebutuhan layanan kesehatan
54) Kajian Dokumen Kebijakan HIV & AIDS dan Sistem
primer (Bedelu et al., 2007). Kewenangan Kesehatan di Indonesia, tahun 2015; Laporan Penelitian
pemda dalam pengelolaan puskesmas Operasional Implementasi Strategi LKB pada Prosedur
sebagai layanan kesehatan primer juga Pengobatan HIV-IMS di Kota Yogyakarta dan Kota
Semarang, 2015; Integrasi Upaya Penanggulangan HIV
secara jelas disebutkan dalam Permenkes dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan, 2015; Laporan
Penelitian: Tinjauan Respons Sektor Komunitas terhadap
Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, 2015;
53) Surat pemberitahuan proses aktivasi layanan ARV, Laporan Penelitian: Studi Kasus penanggulangan HIV dan
dari Kementerian Kesehatan RI kepada seluruh Dinkes AIDS ke dalam Sistem Kesehatan, 2016.
Provinsi, Nomor: BN 01.01/III.2/2482/2013.
122
I ta Pe rw i ra
Koordinasi
1 Kolaborasi minimal
2
Elemen kunci: komunikasi
Kolaborasi dasar di layanan
kesehatan yang berbeda
Ko-Lokasi
3 Kolaborasi dasar di satu
lokasi layanan kesehatan
4
Elemen kunci: jarak fisik
Kolaborasi yang kuat dengan
integrasi sebagian
04
Integrasi
5 Kolaborasi kuat menuju ke
integrasi penuh
6
Elemen kunci: perubahan layanan Kolaborasi penuh dan
perubahan di layanan
kesehatan primer
Sumber: diadaptasi dari kerangka standar untuk tingkat integrasi pada layanan kesehatan yang digunakan SAMHSA (Blount, 2003; Doherty,
McDaniel, & Baird, 1996; Heath B, Wise Romero P, 2013)
HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan tema-tema yang relevan dengan kerangka
di 16 kota di sembilan provinsi; dan 2) hasil konseptual yang digunakan, untuk mem
evaluasi program LKB di Kota Yogyakarta bantu memahami isu tentang integrasi
dan Kota Semarang. Data sekunder terkait sebuah layanan spesifik ke layanan primer.
dengan kebijakan dan layanan ART juga Penelitian ini menggunakan kerangka
dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan untuk konseptual integrasi yang diadaptasi dari
mendukung data yang ada. kerangka konseptual Doherty, et al. (1996)
yang dikembangkan kembali oleh Blount,
Analisis data dilakukan dengan mengi
et al. (2003) dan Heath, et al. (2013), yang
dentifikasi informasi di atas ke dalam
123
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
di dalamnya kriteria integrasi ditentukan HIV (ART) dan layanan kesehatan umum
berdasarkan tiga kategori, yaitu koordinasi, lainnya di puskesmas sudah menjadi satu
ko-lokasi dan integrasi penuh, yang masing- kesatuan layanan dengan komunikasi antara
masing kategori memiliki sub-kategori seperti keduanya yang cukup baik, sehingga terjadi
tampak dalam gambar 9. efisiensi dan efektivitas layanan kesehatan,
meskipun masih ada beberapa sistem seperti
Penjelasan untuk penilaian tingkat
sistem pelaporan atau rekam medis pasien
integrasi ART pada layanan kesehatan
yang belum dapat diintegrasi dengan baik.
primer berdasarkan kerangka konseptual di
Sedangkan untuk tingkat 6, merupakan
atas, sebagai berikut:
tingkat integrasi yang paling tinggi, di mana
Tingkat integrasi pada kategori seluruh layanan HIV (ART) sudah terintegrasi
koordinasi terbatas hanya pada adanya secara penuh dan menjadi bagian dari
komunikasi antara penyedia layanan layanan kesehatan yang ada di puskesmas.
kesehatan primer (puskesmas atau klinik), Prinsip layanan berlaku untuk semua individu
masing-masing layanan berjalan terpisah, tanpa ada perbedaan bagi kelompok atau
baik secara fisik maupun sistem. Pada tingkat individu tertentu.
1, komunikasi antara layanan kesehatan
Berdasarkan variasi sifat dan jenis
primer yang terjadi dengan layanan HIV
kategori di atas, sebuah analisis disusun
(layanan ART) sangat jarang dan terbatas,
untuk menjawab seberapa jauh tingkat
hanya dilakukan apabila ada kasus terkait
integrasi layanan ART ke dalam layanan
HIV. Sementara pada tingkat 2, komunikasi
primer, seberapa jauh tingkat integrasi ini
yang sama terjadi, namun dilakukan lebih
berimplikasi terhadap efektivitas layanan
sering atau secara periodik untuk membahas
ART, dan faktor-faktor apa yang memung
pasien ODHA yang datang ke layanan
kinkan terjadinya tingkat integrasi tersebut.
kesehatan primer.
Sementara untuk tingkat integrasi
C.
pada kategori ko-lokasi sudah didapatkan
kolaborasi yang lebih dekat dikarenakan
layanan HIV (layanan ART) dan layanan
kesehatan umum lainnya sudah berada Tingkat Integrasi Layanan ART
di satu lokasi fasilitas layanan kesehatan di Layanan Kesehatan Primer
(fasyankes). Perbedaannya pada tingkat 3,
meskipun komunikasi menjadi lebih reguler
(Puskesmas)
melalui sistem rujukan antar layanan, namun
Konsep layanan HIV yang terintegrasi
masing-masing masih berjalan dengan
di layanan kesehatan mulai dari tingkat
sistem yang terpisah. Sementara pada
layanan primer sudah dikembangkan
tingkat 4, layanan sudah mulai ada integrasi
di Indonesia, melalui LKB yang
dan sistem yang mulai digabung sehingga
mengedepankan layanan kesehatan yang
mempermudah akses pasien saat layanan
komprehensif dan berbasis komunitas. LKB
kesehatan dari dua belah pihak (program
meningkatkan akses dan cakupan terhadap
HIV dan layanan kesehatan umum).
upaya promosi, pencegahan, pengobatan
Tingkat integrasi yang paling tinggi HIV dan IMS serta rehabilitasi yang
adalah pada kategori integrasi 5 dan 6. berkualitas dengan memperluas jejaring
Pada kategori integrasi tingkat 5, sudah layanan kesehatan (Kemenkes RI, 2012).
ada kolaborasi dan integrasi layanan Layanan LKB di layanan primer ini berusaha
yang cukup tinggi, di mana antara layanan memberikan layanan kesehatan primer
124
I ta Pe rw i ra
04
Perawatan paliatif
Pencegahan
Tata laksana IMS, PDB, KPP, KIE, Kewaspadaan Standar
125
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
komprehensif yang berkesinambungan; (5) Hasil analisis data primer dan sekunder
akses layanan terjamin; dan (6) keterlibatan yang dilakukan PKMK menunjukkan bahwa
ODHA dan keluarga. faktor-faktor penghambat pelaksanaan
layanan ART dalam LKB, antara lain:
Penerapan layanan HIV dan AIDS
yang komprehensif di layanan primer 1. Layanan ART dengan menggunakan
dalam bentuk LKB ini menunjukkan pendekatan LKB belum berjalan dengan
adanya pergeseran paradigma tata kelola baik.
penanggulangan HIV dan AIDS, dari respons
Data dari puskesmas Kota Yogyakarta
darurat menjadi lebih programatik jangka
dan Kota Semarang menunjukkan bahwa
panjang, di dalam sistem layanan kesehatan
fungsi layanan ART, baik sebagai satelit
primer yang berkelanjutan. Pergeseran
maupun inisiasi, belum terlaksana
tata kelola penanggulangan ini terjadi
sepenuhnya. Padahal layanan ini
mengikuti perubahan, baik yang dipengaruhi
semestinya menjadi bagian dari layanan
oleh sosio-ekonomi maupun kemajuan
LKB-SUFA. Hal ini menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi, terkait
pendekatan LKB belum menjadi jaminan
pengobatan HIV dan AIDS.
bahwa layanan ART dapat dilaksanakan
Salah satu contoh yang terlihat jelas di puskesmas.
adalah fokus penanggulangan yang
Lebih jauh, situasi ini mengindikasikan
bergeser dari promosi dan pencegahan
bahwa komponen layanan lainnya belum
ke arah PDP sejak ditemukannya ARV.
bisa berjalan karena fokus utama LKB
Pelaksanaan ART juga mengalami
adalah pelayanan ART. Penyediaan
pergeseran, yang tadinya hanya bertujuan
layanan ART pada layanan kesehatan
meningkatkan kualitas hidup ODHA,
primer puskesmas pada awalnya lebih
sekarang juga menjadi pencegahan
diarahkan sebagai layanan satelit, yaitu
(treatment for prevention) bagi pasangan
bagian dari LKB yang mampu untuk
serodiskordan. Bahkan saat ini sudah mulai
merawat ODHA sebelum dan sesudah
digunakan sebagai profilaksis khususnya
memulai terapi ARV. Namun proses
bagi kelompok LSL (WHO, 2015).
inisiasi masih merujuk pada fasyankes
Di Indonesia, penerapan LKB ini terus pengampu, yaitu layanan kesehatan
diperluas oleh Kemenkes, hingga pada tahun sekunder (RS), seperti yang dijelaskan
2013 sudah ada 225 puskesmas dan klinik dalam Permenkes RI No. 21 tahun 2013
serta 53 RS yang tersebar di 46 kabupaten/ tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
kota di 20 provinsi (Kemenkes RI, 2012). dan pedoman LKB.
Strategic use of ARV (SUFA) merupakan
Beberapa tantangan lainnya yang
layanan pengobatan HIV dan AIDS yang
ditemukan pada pelaksanaan LKB di dua
seharusnya menjadi bagian dari kerangka
kota di atas adalah peran dan kapasitas
konsep LKB. Upaya pemberian ARV dini,
SDM, terutama tenaga kesehatan
perluasan cakupan pengobatan serta usaha
yang terkait dengan layanan LKB,
untuk meningkatkan kepatuhan semuanya
masih kurang. Salah satu contohnya
dilakukan dengan menggunakan kerangka
adalah untuk layanan PPIA atau KTIP
layanan kesehatan komprehesif berbasis
yang membutuhkan keahlian dan
komunitas, yang mengedepankan layanan
kesensitifan tenaga kesehatan untuk
di tingkat puskesmas. Konsep layanan
meningkatkan cakupan tes HIV, masih
kesehatan primer ini dimaksudkan untuk
sangat bervariasi pada puskesmas yang
mendorong perluasan cakupan layanan ART
ditunjuk melaksanakan LKB. Padahal, tes
agar lebih mudah diakses oleh masyarakat.
126
I ta Pe rw i ra
HIV ini merupakan salah satu komponen membahas kasus per kasus, yaitu
dasar dari layanan ART untuk menjaring komunikasi antar fasyankes dari primer
ODHA. Selain itu juga, ditemukan belum ke sekunder atau bahkan tersier bila
adanya standar operasional di tingkat dibutuhkan. Sementara komunikasi
puskesmas menjadi salah satu alasan untuk program yang lebih luas dilakukan
dari para petugas kesehatan yang melalui pertemuan koordinasi reguler
dianggap menghambat mereka dalam oleh KPA di masing-masing daerah.
melaksanakan layanan LKB.
Fungsi koordinasi yang terpisah ini
2. Belum adanya koordinasi yang baik di sebenarnya masih menjadi kendala
antara para penyedia layanan. di lapangan. Ini dikarenakan dinkes
sama sekali tidak memiliki kekuasaan
Koordinasi antar unit layanan sebagai
maupun fungsi koordinasi dengan OMS.
satu pilar utama yang memungkinkan
Sementara layanan ART tidak dapat
terjadinya kerja sama dan rujukan antar
berdiri sendiri, tanpa ada dukungan
komponen layanan ART di lapangan
OMS, khususnya dukungan untuk ODHA
masih belum berjalan dengan baik.
selama pengobatan. Namun di lapangan
Hal ini terlihat dengan masih adanya
pada tingkat puskesmas, hal ini dapat
permasalahan proses rujukan dari
diatasi melalui komunikasi dan kolaborasi
puskesmas ke RS atau sebaliknya
non formal yang muncul dari inisiatif
lantaran sebab-sebab semisal masalah
OMS maupun puskesmas. Komunikasi
administratif. Padahal, koordinasi yang
dan kolaborasi yang terjadi masih sangat
baik sangat diperlukan mengingat
terbatas berkaitan dengan mekanisme
cukup banyak aktor atau pemangku
pengobatan ARV, misalnya mengatasi
kepentingan yang terlibat. Contohnya 04
stock out atau untuk kepentingan
KPA kabupaten/kota, fasyankes primer
mempermudah proses pengobatan.
(Puskesmas), fasyankes sekunder dan
Bentuk kolaborasi misalnya melalui
tersier (RS kabupaten/kota/provinsi), OMS
MoU antara OMS dengan puskesmas
(berbagai LSM, OBM, dll), Perawatan
terkait dengan kerjasama untuk akses
Berbasis Rumah/PBR (ODHA dan
layanan dan memberikan pendampingan
keluarga), dan masyarakat termasuk di
terhadap populasi kunci dan ODHA.
dalamnya ada populasi kunci. Gambar
11 menjelaskan kompleksnya hubungan
yang terjadi antar berbagai aktor yang
3. Tarik menarik antara integrasi
terlibat dalam LKB, termasuk layanan
fungsional dan integrasi struktural.
ART.
Upaya kesehatan dalam LKB ditujukan
Saat ini sudah ada komunikasi yang
pada bentuk layanan yang terintegrasi
terjadi antara aktor-aktor yang terlibat,
dan terdesentralisasi sesuai kondisi
meskipun masih terjadi pemisahan
setempat. Konsep layanannya lebih
antara program dan layanan umum.
mengedepankan integrasi fungsional
Misalnya, secara umum koordinasi
untuk dapat memaksimalkan layanan
untuk penanggulangan HIV dan AIDS
kesehatan primer dibandingkan integrasi
di koordinasi oleh KPA, sementara
struktural. Integrasi layanan, terutama
untuk layanan kesehatan umum di
di layanan primer (puskesmas), terus
koordinasikan oleh dinkes, termasuk
diupayakan untuk dapat dilakukan ‘satu
di dalamnya layanan HIV dan AIDS.
atap dan satu hari’. Namun saat ini,
Komunikasi yang terjadi sudah cukup
pelaksanaannya masih secara bertahap
reguler pada tataran klinis, khususnya
127
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
Gambar 11. Kerangka kerja dan aktor yang terlibat dalam LKB
Fasyankes Fasyankes
Sekunder RS Primer
Kab/Kota Puskesmas
Kader
Masyarakat
Kelompok LSM,
Dukungan Ormas,
PBM Orsos,
Fasyankes Relawan
Tersier RS
Keluarga
Provinsi
PBR ODHA
Community Organizer
Sumber: Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Pedoman penerapan layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan, 2012
128
I ta Pe rw i ra
Oleh karena itu, usaha integrasi lebih pembentukan 475 puskesmas satelit
didorong pada upaya ketersediaan yang dapat memberikan layanan ART,
layanan dengan mengedepankan dengan monitoring dari RS pengampu,
integrasi fungsional. Namun ketersediaan di mana sampai saat ini sudah ada
layanan ini berpengaruh pada hambatan sekitar 333 puskesmas yang melayani
akses yang dialami beberapa populasi ART (gabungan antara layanan satelit
kunci dikarenakan masalah administrasi, dan inisiasi ART). Sementara untuk
seperti yang digambarkan oleh salah layanan kesehatan yang sudah mampu
satu populasi kunci di Kota Makasar di memberikan layanan inisiasi ART
bawah ini: (layanan ARV mandiri), baru tersedia
“Pertama-tama yang paling penting itu bunda, sekitar 398 pusat layanan kesehatan,
kalau yang dari Puskesmas, seumpama di 354 di antaranya adalah RS dan
Puskesmas kita ambil rujukan dulu, tergantung sisanya adalah puskesmas atau balai
lagi kalau rumah sakit yang tempat kita tinggal
itu tipenya tipe B, nah harus alurnya dari Pus pengobatan lainnya dan klinik (36).55
kesmas langsung ke tipe B, kecuali kita mau Jumlah ini masih di bawah dari target RS
mengaksesnya ke tipe A artinya pengobatan yang diharapkan bisa menjadi layanan
yang lebih besar yang tidak ada dirumah sakit
di tipe B itu contohlah di Wahidin, tidak harus rujukan untuk HIV dan AIDS berdasarkan
melalui langsung Wahidin kita harus melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan
dulu Puskesmas dulu mengambil rujukan di rujuk Republik Indonesia (Kepmenkes RI)
ke rumah sakit terdekat contoh Labuang Baji,
Labuang Baji yang merujuk ke Wahidin, seperti Nomor 481/MENKES/SK/XII/2013, yaitu
itu. Mekanismenya itu harus ada KTP kartu ke diharapkan 408 RS yang ada dalam
luarga untuk dapat itu supaya bisa mengakses daftar sudah mampu menjadi layanan
layanan di situ... karena waria itu kan dia kan
berpindah-pindah jadi sangat sulit untuk memiliki rujukan untuk ODHA.
kartu yang seperti itu, makanya sangat sedikit 04
memiliki kartu tanda pengenal itu, sangat sedikit, Berdasarkan situasi epidemi saat ini
kecuali mereka yang tinggal menetap di suatu yang semakin meningkat di beberapa
daerah yang lama baru mereka memiliki kartu daerah, membuat kebutuhan layanan
tanda penduduk itu.” (Wawancara mendalam
Universitas Hasanuddin dengan perwakilan Po ARV semakin meningkat. Sistem
pulasi Kunci di Kota Makassar, September 2015). desentralisasi yang ada memberi
ruang bagi daerah untuk mengatasi
Pengalaman populasi kunci di atas
permasalahan tersebut, yang salah satu
dikarenakan layanan mengacu pada
caranya adalah dengan memperluas
struktur layanan yang dibuat JKN saat
layanan ART melalui peningkatan
ini mengharuskan akses kesehatan
kapasitas layanan primer (puskesmas)
dilakukan secara berjenjang, dimulai
dan mengintegrasikan layanan ART
dari layanan kesehatan primer, yang
tersebut ke dalam layanan di puskesmas.
kemudian dapat dirujuk bila diperlukan
Layanan ART mandiri ini sudah mulai
ke layanan yang lebih lengkap.
dikembangkan misalnya di wilayah DKI
4. Cerminan desentralisasi kesehatan Jakarta dengan inisiasi ART di sepuluh
yang belum berjalan dengan baik. puskesmas. Namun untuk daerah lainnya
seperti Kota Makassar, Semarang,
Tingkat desentralisasi layanan, seperti
Yogyakarta, Puskesmas baru berperan
pengobatan ARV dalam konsep LKB,
sebagai layanan satelit saja.
sangat tergantung pada situasi epidemi
daerah yang akan menentukan target Proses seperti ini membutuhkan
cakupan dan layanan serta kebutuhan komitmen dari pemda yang didasari
kapasitas petugas kesehatan. Dalam
SRAN 2015-2019 dinyatakan mengenai 55) Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan IV tahun
2015.
129
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
atas kebutuhan dan permasalahan yang kapasitas SDM dan juga infrastruktur
ada di daerahnya sendiri. Pemda harus lainnya.
mampu memperkuat sumber daya dan
5. Dukungan pembiayaan masih bersifat
kapasitas dari layanan primer masing-
parsial.
masing agar dapat memaksimalkan
fungsi dan perannya dalam layanan Selain menjamin akses layanan melalui
kesehatan di tingkat primer. Hal ini ketersediaan layanan terutama di tingkat
tentunya juga diikuti dengan dukungan primer, perlu juga mempertimbangkan
dari segi pembiayaan terkait peningkatan keterjangkauan ekonomi atas layanan
sumber daya baik untuk peningkatan yang disediakan. Saat ini, pembiayaan
Tabel 9.
Jumlah
Layanan ARV
Mandiri di
DKI Jakarta
(10)
Sumber: Data sekunder dari KPAP DKI Jakarta (KPAP DKI Jakarta,
Agustus 2015, http://kpap.jakarta.go.id/news/read/193/daftar-layanan-
kth-dinkes-2015.
130
I ta Pe rw i ra
131
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
132
I ta Pe rw i ra
Pernah ART
120.677 81,14%
On ART
63.066 52,26%
Sumber: Kemenkes - Final Laporan Perkembangan HIV/AIDS TW IV, 2015 dan Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2015
pasien dari layanan primer ke layanan ini sejalan dengan cakupan ART nasional 04
sekunder. Lebih lanjut, sudah ada komunikasi yang juga sudah memenuhi target, yaitu
di antara komponen-komponen lainnya mes mencapai 82.57%.59 Sementara gambaran
kipun masih berjalan terpisah. lebih lengkap dari cakupan layanan program
ART secara nasional dapat dilihat pada gam
bar cascade program ART di bawah ini. Per
D.
sentase cakupan ART sudah melebihi target
yang ditetapkan dalam SRAN yakni 81.14%.
Namun angka cakupan yang ditunjukkan
Efektivitas Layanan ART pada gambar 12 di atas bila dibandingkan
dengan target global yang 90-90-90,
Efektivitas layanan ART secara sederhana capaiannya saat ini masih sangat jauh dari
bisa dilihat dari seberapa jauh target ca target. Bila dilihat dari 90% dari target yang
kupan yang ditentukan. Berdasarkan SRAN pertama, yaitu untuk menilai jumlah positif
tahun 2014, target nasional cakupan pengo ODHA di Indonesia, agak sulit dinilai karena
batan ARV adalah 60%.58 Sebagai contoh, data yang ada hanya merupakan laporan
Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan IV jumlah kasus kumulatif. Persentase perlu
tahun 2015 menunjukkan cakupan layanan dihitung dari jumlah kumulatif tes HIV yang
ART di Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta dilakukan dengan mempertimbangkan juga
sudah melebihi target, yaitu cakupan pengo estimasi jumlah populasi kunci yang ada di
batan yang berkesinambungan dari mereka Indonesia. Namun data ini tidak tersedia.
yang memenuhi syarat mencapai 80.9%. Hal
59) Data yang diperoleh dari Laporan Perkembangan HIV-
58) Angka ini dihitung cakupan angka yang pernah ART AIDS Triwulan IV tahun 2015 dibandingkan dengan target
dari yang memenuhi syarat ART saja dari SRAN 2010-2014
133
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
Untuk target 90% yang kedua, yaitu program layanan ART yang baik diperlukan
jumlah ODHA yang pernah ART, angkanya kondisi layanan kesehatan primer yang kuat.
akan cukup tinggi bila dihitung hanya Demikian sebaliknya bila integrasi dapat
dari yang memenuhi syarat ART, yaitu dilaksanakan dengan baik maka akhirnya
81.14%. Angka tersebut merupakan capaian akan memberikan dampak juga yaitu
fasyankes yang melaksanakan layanan menguatkan sistem kesehatan yang ada
ART, termasuk capaian dari 333 puskesmas (Price et al., 2009).
dan balai pengobatan yang melaksanakan
Konsep integrasi melalui LKB yang terjadi
layanan ART (satelit dan inisiasi). Namun
pada layanan ART di layanan kesehatan
target sesungguhnya adalah untuk mencapai
primer di Indonesia, saat dilihat melalui riset
pengobatan ARV bagi semua ODHA. Ini
operasional LKB di Kota Semarang dan Kota
berarti bila dibandingkan dengan jumlah
Yogyakarta menunjukkan, beberapa fungsi
ODHA yang diketahui capaiannya baru
dasar dari layanan primer seperti fungsi
setengah dari target global, yaitu sekitar
koordinasi dan rujukan serta kapasitas dari
45% saja. Sementara untuk target 90% yang
staf puskesmas (tenaga kesehatan) masih
ketiga belum ada data di Indonesia yang
belum tercukupi. Hal ini menyebabkan
bisa dinilai capaiannya.
proses integrasi program layanan HIV dan
AIDS ke layanan primer menjadi terhambat.
Perlu dilakukan penguatan pada sistem
134
I ta Pe rw i ra
jerial yang baik akan menjamin berjalannya yang baik dari masing-masing aktor yang
fungsi operasional dengan baik (Unger, De terlibat akan peran dan tanggung jawab
Paepe, & Green, 2003). Fungsi operasional masing-masing, kolaborasi dan koordinasi
termasuk upaya kesehatan masyarakat menjadi jelas, dengan adanya pembagian
(UKM), upaya kesehatan perorangan (UKP), kerja, tugas dan kewajiban masing-masing
perawatan kesehatan ibu dan anak dan organisasi maupun profesional, serta pelak
pengobatan untuk berbagai macam penyakit sanaan monitoring dan evaluasi bersama
termasuk di dalamnya layanan ART. Kedua (Belani et al., 2012; Kemenkes RI, 2012; PKMK
fungsi ini harus dijalankan dengan baik untuk FK UGM, 2015). Selain itu, kapasitas daerah
mencapai layanan kesehatan masyarakat dan kapasitas masing-masing puskesmas
yang optimal. Untuk integrasi fungsional ini juga menjadi salah satu pertimbangan
juga harus berjalan selaras dengan integrasi penting dalam usaha integrasi. Sejauh
normatif yang merupakan perkembangan mana integrasi perlu dan dapat dilakukan
dan pemeliharaan kerangka umum sebagai akan sangat bergantung pada kebutuhan
referensi seperti visi, misi, nilai, dan budaya serta kondisi dan kemampuan daerah.
yang dianut antara organisasi, grup profesio Oleh karena itu, peran dari pemda dalam
nal dan individu yang terlibat di dalam sistem melakukan penilaian kebutuhan dan juga
kesehatan (Valentijn et al., 2013). perencanaan menjadi penting.
Pendekatan layanan komprehensif di Sektor komunitas seperti LSM dan KDS
tingkat layanan primer, baik melalui pus merupakan bagian dari sistem kesehatan
kesmas atau klinik di lokasi penelitian lain, yang penting dan tidak boleh ditinggalkan
menunjukkan keberhasilan dalam pening dalam perubahan dan proses integrasi. Ini
katan secara cepat cakupan serta mengu merupakan salah satu bentuk partisipasi
rangi angka putus obat dalam ART yang masyarakat secara aktif, mulai dari pence 04
banyak terjadi di RS (Bedelu et al., 2007; gahan, deteksi dan pengobatan. Seringkali
Price et al., 2009). Beberapa kekurangan sektor komunitas dan partisipasi masyarakat
yang terjadi pada layanan di RS dapat dia terlewatkan dan tidak menjadi perhatian
tasi melalui layanan primer seperti lokasi bagi pemda. Bahkan salah satu penelitian
yang lebih dekat dengan tempat tinggal, yang dilakukan di Afrika Selatan secara
cakupan yang lebih dini untuk mencegah jelas menunjukkan adanya keraguan dari
tingginya tingkat mortalitas, serta follow up para petugas kesehatan bahwa masyarakat
yang lebih efektif dengan memanfaatkan du akan mampu berperan dan membantu dalam
kungan dari sektor komunitas yang tersedia layanan kesehatan primer. Namun setelah
di layanan primer. Bahkan di salah satu hasil menunjukkan hasil yang baik, petugas kese
penelitian di tingkat kabupaten juga me hatan menjadi lebih terbuka dan merasa
nunjukkan bahwa integrasi layanan ART ke banyak terbantu dengan pelaksanaan task
dalam layanan primer ini telah mendorong shifting60 yang dilakukan (Bedelu et al.,
tercapainya Universal Health Coverage 2007).
(UHC) di tingkat kabupaten (Bedelu et al.,
Sejalan dengan itu, Tolle (2009), menun
2007).
jukkan bahwa sektor komunitas memperli
Pencapaian integrasi hanya dapat terjadi
60) Penelitian yang dilakukan Bedelu, et al, 2007 di
bila pemahaman tentang layanan yang Lusikisiki menerapkan task shifting yaitu melatih dan
komprehensif berkelanjutan sudah dipahami memberdayakan tenaga non kesehatan untuk mem
oleh semua pihak atau aktor yang terlibat, bantu perawat dalam melakukan tugasnya, terutama
di luar area keperawatan, sehingga mereka lebih fokus
khususnya para pengambil kebijakan, dalam melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kepe
hal ini adalah pemda. Dengan pemahaman rawatan. Hal ini membantu karena keterbatasan SDM
kesehatan
135
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
F.
hatkan peran penting pada wilayah yang
memiliki keterbatasan sumber daya tenaga
kesehatan, dengan menunjukkan dukungan
serta mengembangkan hubungan yang Simpulan
baik dengan masyarakat melalui layanan
berbasis masyarakat. Dukungan melalui Integrasi layanan ART yang telah dicapai
masyarakat ini terbukti telah menurunkan di tingkat layanan kesehatan primer di
angka putus obat dan juga meningkatkan lokasi penelitian saat ini hanya terjadi
kondisi kesehatan dan kesejahteraan pasien pada tingkat koordinasi (tingkat 2). Saat ini
secara umum. hanya terjadi kolaborasi dasar di antara
Lembaga-lembaga yang berasal dari layanan kesehatan yang berbeda. Meskipun
komunitas merupakan sumber daya yang ada beberapa daerah yang sudah mulai
sangat berarti, baik dilihat secara teknis meningkatkan integrasi sampai pada ko-
maupun sumber daya keuangan. Namun lokasi (tingkat 3), namun jumlahnya masih
kelebihan itu tidak boleh dilihat sebagai sangat terbatas (contoh di DKI Jakarta).
satu-satunya kelebihan. Kelebihan itu diba Dampak integrasi yang ada untuk program
tasi oleh waktu dan merupakan sumber ART adalah peningkatan cakupan mencapai
yang tidak terjamin keberlanjutannya. (80.9%) yang bila dibandingkan dengan
Keterlibatan sektor komunitas yang utama target cakupan nasional di SRAN sudah
dan yang paling penting adalah kontribusi memenuhi target. Namun bila dilihat lebih
mereka dalam menyuarakan kepentingan luas lagi, target yang dicapai ini masih jauh
dan kebutuhan masyarakat, serta kebebasan dari target global.
politik untuk mempromosikan inovasi Sementara terkait peran aktor yang
dalam layanan kesehatan primer. Inovasi terlibat, dalam hal ini pemda, dalam upaya
tersebut mendorong mobilisasi keahlian integrasi sangat dibutuhkan. Hal ini dapat
teknis dan menjalin kemitraan dalam berupa komitmen pemda untuk membantu
mengembangkan pendekatan yang inovatif. menciptakan lingkungan yang kondusif
Hal ini dapat memberikan layanan HIV dalam proses integrasi. Misalnya: adanya
yang mudah, terjangkau, dan berkualitas, peraturan atau regulasi yang mendorong
serta secara umum memperkuat sistem integrasi layanan di puskesmas, dukungan
kesehatan (Bedelu et al., 2007). Pemerintah pembiayaan yang mencukupi untuk
bertanggung jawab dan juga kepentingan pengembangan infrastruktur, kapasitas dan
dalam menjaga keberlanjutan OMS karena juga koordinasi, dan dukungan terhadap
perannya yang cukup krusial dalam res OMS. Peran OMS adalah mengisi peran-
pons penanggulangan HIV. Dukungan me peran yang tidak dapat dilakukan oleh
lalui peningkatan kapasitas SDM dan juga pemerintah, seperti penjangkauan kepada
penjaminan pembiayaan melalui contracting populasi kunci, dukungan sosial selama
out menggunakan dana daerah menjadi pengobatan melalui manajer kasus,
salah satu alternatif pemda dalam mem pendamping, KDS dan juga dukungan
pertahankan fungsi dukungan OMS dalam lainnya melalui masyarakat. Dalam
layanan ART. melaksanakan perannya, koordinasi yang
baik antara OMS dengan puskesmas dan
juga aktor lainnya yang sudah ada saat ini
perlu ditingkatkan dan dijaga sebagai bagian
dari integrasi layanan kesehatan primer.
136
I ta Pe rw i ra
G.
Pembiayaan daerah juga
harus mempertimbangkan
pembiayaan kepada sektor
Rekomendasi komunitas (OMS) terkait
LKB ini, karena mereka
Berdasarkan hasil diskusi serta merupakan salah satu
simpulan di atas, kebutuhan komponen penting dalam
akan integrasi layanan ART LKB. Salah satu alternatif
ke dalam sistem layanan adalah melalui contracting
kesehatan primer muncul out dari pemda terhadap LSM
sebagai kebutuhan yang harus sebagai lembaga.
segera dipenuhi demi pemberian 3. Kapasitas dan ketercukupan
layanan kesehatan yang lebih SDM merupakan salah satu
137
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
138
I ta Pe rw i ra
04
Koordinasi
Sumber: Diadaptasi dari WMWR November 9, 2012 by CDC tentang integrasi layanan pencegahan (Belani et al., 2012)
139
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a
kelompok termarjinalkan. Bila layanan belum Freedman, L. P. (2011). “Integrating HIV and maternal
health services: will organizational culture clash sow
masuk dalam JKN atau pembiayaan program the seeds of a new and improved implementation
nasional, maka pemda harus menjamin practice?”. Journal of Acquired Immune Deficiency
layanan tersebut melalui jaminan kesehatan Syndromes (1999), 57 Suppl 2, S80–2. http://doi.
org/10.1097/QAI.0b013e31821dba2d
daerah, semisal melalui Jamkesda atau
Friedland, G., Harries, A., & Coetzee, D. (2007).
lainnya (contoh di Jakarta dengan KJS) untuk “Implementation issues in tuberculosis/HIV program
melengkapi jaminan yang diberikan JKN. collaboration and integration: 3 case studies”. The
Journal of Infectious Diseases, 196 Suppl (Suppl 1),
S114–S123. http://doi.org/10.1086/518664
Green, B. C. W., & Nagar, K. (2013). Care , Support &
Treatment for PLHIV in Indonesia. Retrieved from
http://spiritia.or.id/
Heath B, Wise Romero P, and R. K. A. (2013). A Standard
Framework for Levels of Integrated Healthcare.
Washington, D.C.SAMHSA-HRSA Center for Integrated
Health Solutions.
Kemenkes RI. (2004). Pedoman Nasional Terapi
Antiretroviral. Retrieved from http://spiritia.or.id/li/
bacali.php?lino=403
Kemenkes RI. (2011). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang
Dewasa.
Kemenkes RI. (2012). Pedoman Penerapan: Layanan
Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan.
KPAN. (2005). Country Report mengenai Tindak Lanjut
Deklarasi Komitmen HIV/AIDS (UNGASS).
KPAN. (2010). STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010 -
2014, 110.
140
I ta Pe rw i ra
141
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
05
Pusat Kesehatan
Reproduksi (PKR): Model
Awal Layanan Terintegrasi
Pencegahan Melalui
Transmisi Seksual (PMTS)
di Tingkat Kabupaten
Ign atiu s Hersump ana & Swast i S e m p ul ur
142
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
A.
Situasi HIV & AIDS dan Respons Pemerintah Daerah Merauke
05
Lebih lanjut hasil STBP 2013 menunjuk fasilitas layanan kesehatan di tingkat dis
kan bahwa prevalensi HIV lebih tinggi pada trik. Sedangkan proporsi penduduk yang
laki-laki (2,3%); kelompok umur 15-24 tahun berpengetahuan komprehensif HIV di Papua
(3,1%); laki-laki yang tidak disunat (2,4%); masih rendah, mencapai 9,2%. Penduduk
suku Papua (5,7%); dan dataran tinggi (3%). yang tinggal di dataran rendah memiliki
Hasil survei tersebut juga menemukan, faktor tingkat pengetahuan komprehensif HIV yang
perilaku berisiko melalui jalur penularan lebih baik dibanding mereka yang tinggal di
seksual menjadi faktor utama penularan HIV pegunungan.
di Papua. Minum alkohol sebelum mela
Sementara itu, perkembangan epidemi
kukan hubungan seks juga merupakan faktor
HIV dan AIDS di Kabupaten Merauke mem
risiko dengan proporsi 13% pada perempuan
perlihatkan bahwa jumlah kasus HIV dan
dan 9,1% pada laki-laki. Perilaku seks
AIDS sejak tahun 1992 sampai dengan Maret
dengan pasangan tidak tetap paling banyak
2012 sebanyak 1433 kasus; sampai dengan
dilaporkan pada laki-laki sebesar 11%.
Maret 2013 sebanyak 1564 kasus; dan sam
Faktor perilaku seks berisiko di Papua pai Maret 2014 adalah 1676 kasus (Laporan
dipengaruhi oleh konteks sosio budaya lokal Dinas Kesehatan, 2014). Pada 2012, kasus
dan serta faktor tingkat keterpaparan dengan terbanyak yang ditemukan pada WPS yaitu
program penanggulangan HIV dan AIDS. 15%, ibu rumah tangga 14,7%, dan petani
Hal ini dikarenakan aksesibilitas daerah 12,8%. Namun pada Maret 2013, kasus
yang terbatas, khususnya untuk daerah terbanyak terjadi pada ibu rumah tangga
dengan geografis yang sulit dijangkau oleh 16,6%, WPS 13,8%, dan petani 12,2% (Laporan
tenaga penjangkauan maupun keterbatasan Dinkes Kabupaten Merauke, 2014).
143
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
35%
30%
25%
20%
2013
15%
10%
5%
2012
0%
WPS IRT Petani
Selain itu, peningkatan kasus HIV dari Karena perkembangan kasus HIV dan
2012-2013 juga terlihat pada kelompok AIDS di Kabupaten Merauke semakin tinggi,
berikut ini: siswa/mahasiswa dari 3,3% pemda menyikapi dengan pembentukan
menjadi 3,5%; pekerja swasta dari 7,8% Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) pada
menjadi 8,4 %; dan PNS dari 5,9% menjadi 7% tahun 2002. PKR dibentuk sebagai usaha
(Laporan Dinkes Kabupaten Merauke, 2014). menangani penularan HIV dan IMS, seba
gai inisiatif pemda jauh sebelum adanya
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa
PMTS. Inisiatif mengembangkan PKR meru
epidemi AIDS di Merauke cenderung menga
pakan salah satu upaya untuk penguatan
lami perluasan pada ibu rumah tangga dan
sistem kesehatan di tingkat lokal, dengan
dikategorikan sebagai generalisata, karena
pembentukan secara struktural kelemba
penularan HIV baru sudah mengarah ke po
gaan yang khusus menangani HIV dan
pulasi umum melalui transmisi seksual. Jika
IMS. Karena memiliki kewenangan sebagai
dilihat dinamika kasus HIV dan AIDS dan
lembaga yang fokus menangani HIV dan
kematian akibat AIDS dalam dua dekade di
IMS, maka PKR menjadi unit yang mengo
Merauke, seperti terlihat dalam gambar 15.
144
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
145
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
250
200
150
100
50
0
92 - 98
2000
2002
2004
2003
2001
1999
Meninggal 72 8 17 13 18 11 26
AIDS 56 15 71 56 64 54 57
HIV 104 10 57 31 69 20 36
146
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
05
2005
2006
2009
2008
2007
2010
2011
32 27 18 20 18 40 35
46 28 13 27 29 66 80
57 57 68 32 67 67 54
147
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
148
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
Pokja Biro
Dinkes
Lokasi Hukum
Pokja
KPA PKR HIV
RSUD
LSM BPJS
Puskesmas
149
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
menjalankan fungsi koordinasi untuk mening untuk pendanaan yang langsung turun ke la
katkan peran pemangku kepentingan dan yanan, seperti dana kapitasi BPJS dan BOK.
penatalaksanaan IMS. Sementara kom
Sementara itu, mekanisme perencanaan
ponen manajemen pasokan kondom dan
anggaran yang diajukan oleh PKR mengikuti
komunikasi perubahan perilaku memiliki
pola perencanaan anggaran kesehatan
kesamaan dengan konsep yang dikembang
pada umumnya, yakni melalui dinkes. PKR
kan oleh KPAN, yakni LSM dan KPAD.
membuat perencanaan anggaran dengan
mengacu pada kebutuhan tahun sebelumnya
C.
kemudian diajukan kepada dinkes untuk
mendapatkan persetujuan. Dalam mela
kukan perencanaan, PKR mendapatkan
Tata Kelola dan Mobilisasi pengawasan dari Bidang P2PL dan kefar
Sumber Daya masian, khususnya untuk pengadaan
pengobatan IMS seperti IO, reagen, dan alat
Program PMTS secara umum merupakan kesehatan lainnya
bagian dari upaya penanggulangan HIV “Kami menyusun kegiatan kami, lalu serahkan ke
dinas. Nanti dinas akan cek lagi, mana yang bisa.
dan AIDS yang mengacu pada Perda No. 5
Dinas juga tidak terlalu banyak intervensi dalam
Tahun 2005 dan diperbaharui menjadi Perda perencanaan. Mungkin beliau mengaggap saya
No. 3 Tahun 2013 tentang pencegahan dan sudah lama dan tahu permasalahan, jadi intinya
beliau kepala dinas mendukung. Tapi sekali lagi,
penanggulangan HIV dan AIDS dan IMS,
kepala dinas kan dananya tidak bisa 100% beliau
serta kebijakan penggunaan kondom 100%. yang menentukan, karena dari pemda juga jadi
Perda tersebut salah satunya mengatur sebagian ada yang dicoret juga. Dan juga pak,
mungkin saya ingatkan bahwa kami ini di bawah
upaya pencegahan HIV dan IMS, di mana
dinas kesehatan, jadi dana yang kami terima itu
pekerja seks yang baru di lokasi harus bukan hanya untuk PKR saja, tapi untuk program IMS
melalui tahap pemeriksaan HIV dan IMS se-kabupaten Merauke…” (Wawancara tim peneliti
Unversitas Cenderawasih dengan staf PKR, Juli 2015)
dan mendapatkan surat keterangan bebas
penyakit ini dari PKR. Sayangnya, dalam perencanaan kegiat
“…..kita sepakat bahwa setiap pekerja baru yang an dan penganggaran ini PKR belum meli
datang ke Merauke sebelum di dunia tenaga kerja, batkan masyarakat atau populasi kunci.
yaitu bar, diskotek, panti pijet berarti ini ada di dunia
tenaga kerja. Sebelum mereka mendapatkan surat
Namun demikian, untuk mendapatkan
ijin bekerja, baik ijin kerja dan kerja malam harus gambaran kebutuhan populasi kunci, PKR
ada surat dari PKR, ada surat yang mengatakan berkoordinasi dan meminta pendapat LSM.
bahwa dia bersih. Bersih dalam IMS dan HIV AIDS…”
(Wawancara tim peneliti Universitas Cenderawasih
Keterlibatan populasi kunci terbatas pada
dengan Sekretaris KPA Kab. Merauke, Juli 2015) penerima informasi saja, terkait dengan
cakupan kegiatan yang dilakukan oleh
Sejak berakhirnya pendanaan dari Global
PKR. Informasi ini disampaikan dalam forum
Fund pada 2013, seluruh pendanaan untuk
sosialiasi yang diselenggarakan setiap
PKR bersumber dari dana APBD serta dana
semester.
Otsus Dinkes Kabupaten Merauke. Sumber
“….sebetulnya, mereka [masyarakat dan populasi
pendanaan APBD yang dialokasikan ke PKR
kunci] tidak terlalu banyak terlibat, paling adalah
sebanyak Rp 410 juta untuk pelayanan dan pendapat, tapi saya kadang dengan LSM, kita
pencegahan HIV dan AIDS kemudian Rp 300 suka sharing. Saya menyusun perencanaan lebih
banyak pada kenyataan sehari-hari misalnya seperti
juta untuk IMS. Di samping itu, dana APBD
program tahun sebelumnya, kita merencanakan ini.
untuk layanan IMS juga diberikan ke Pokja Tapi ternyata pada kenyataannya ada hal-hal yang
HIV dan AIDS RSUD Kabupaten Merauke. saya belum kepikir begitu, nah itu biasanya akan
saya tuangkan di perencanaan tahun berikutnya…
Secara umum, pengelolaan sumber penda
Terus untuk populasi kelompok kunci yang terutama
naan dalam koordinasi Bappeda, kecuali tadi saya bilang, pekerja seks. Itu setahun 2 kali kita
150
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
kumpulkan, jadi pertengahan tahun dan akhir tahun. untuk tahun 2015. Anggaran untuk PKR
Kalau tidak desember, januari, kita paparkan hasil
cakupan kita.” (Wawancara tim peneliti Unversitas
tersebut meningkat lebih dari 50% dari tahun
Cenderawasih dengan staf PKR, Juli 2015) 2014 sebesar Rp 160.435.000. Alokasi di PKR
untuk belanja pegawai termasuk honor dan
Sama dengan bidang yang lain,
transport pegawai sebesar Rp 160.435.000
perencanaan yang diajukan belum tentu
untuk tahun 2014. Anggaran ini relatif besar
akan disetujui oleh dinkes, karena anggaran
dibanding dengan anggaran untuk Pokja HIV
penangulangan HIV dan AIDS tidak hanya
RSUD sebesar Rp 60 juta.
untuk PKR saja, tetapi juga terdapat
pada unit dan bidang yang lain, seperti Layanan IMS dan KTS di PKR dapat
puskesmas dan Pokja HIV di RSUD, KIA, diperoleh secara gratis di PKR. Namun ha
serta gizi. Komponen pembiayaan untuk nya layanan IMS saja yang dapat dibiayai
penanggulangan IMS juga lebih besar di melalui JKN, sementara untuk HIV meru
PKR dibanding di Pokja HIV RSUD, karena pakan biaya program yang ditanggung
PKR tidak hanya sebatas pengobatan saja oleh pemerintah sebagaimana program TB.
akan tetapi ada upaya pencegahan melalui Layanan IMS di PKR dengan pembiayaan
kegiatan penyuluhan dan pendampingan JKN menginduk pada puskesmas, karena
kepada pasien. Sementara Pokja HIV RSUD PKR tidak menerima dana kapitasi. Oleh
begitu pula dengan Puskesmas lebih pada karenanya, PKR memberikan layanannya
fungsi pengobatan IMS. secara gratis mengabaikan apakah pasien
“…mereka [Pokja RSUD dan Puskesmas] tidak
tersebut merupakan kepesertaan JKN atau
melakukan program IMS. Pengobatan iya tapi kan tidak.
kalo Puskesmas dan rumah sakit hanya sekedar
“…ya hampir semua, tapi kita yang berobat ke sini
mengobati tapi tidak melakukan program IMS. Kalo
sebagian besar itu tidak bayar, karena apalagi putra
saya kan merencanakan kita mau penyuluhan ni
atau apa, mereka tidak, mereka mengobati saja.
daerah, mereka mau berobat saja sudah bagus. 05
Intinya kita dapat sih dana BPJS, tapi itu sih lari ke
Jadi misalnya ada pasien IMS datang ya diobati, tapi
Puskesmas, tapi itu baru-baru saja...” (Wawancara tim
tidak merencanakan kegiatan yang berkaitan dengan
peneliti Unversitas Cenderawasih dengan staf PKR,
program IMS…” (Wawancara tim peneliti Unversitas
Juli 2015)
Cenderawasih dengan staf PKR, Juli 2015)
151
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
D.
seperti begitu, cuma yang kita lihat ini nanti. Karena
begini, kelompok yang terkoordinir itu dampak
positifnya ada karena memang mereka butuh cari
makan lewat café. Mereka cukup loyal dengan
Operasionalisasi PMTS di aturan. Dampak positif tadi itu. Cuma kalau dampak
negative, ini yang kita jadi dilema juga. Karena
Kabupaten Merauke misalnya mereka yang IMS (+) di luar kelompok
terkoordinir ini. Masyarakat umum misalnya mereka
jadi takut, bisa mereka jadi takut lapor diri bahwa dia
Setiap bulan PKR melakukan pemeriksaan IMS. Jadi dia harus sembunyi-sembunyi. Kalau ODHA
IMS kepada WPS dan ditindaklanjuti pe misalnya, ODHA PSK itu nanti arahnya kalau dia PSK
dan ODHA (+) dia sudah tidak boleh praktik. Cuma
meriksaan seminggu sekali bagi WPS yang kadang-kadang kan kita bahayanya begitu. Kalau
terdeteksi IMS. Pemeriksaan rutin ini dila PSK ODHA sanksi. Itu bisa denda 50 juta penjara 6
kukan melalui koordinasi dan kerjasama bulan. Bisa saja dia melarikan diri sembunyi dalam
masyarakat karena sanksi itu. Dia tidak ada pilihan
dengan penanggung jawab lokasi dan cari uang, harus jual diri…” (Wawancara tim peneliti
biro hukum. Pelibatan biro hukum ini untuk Unversitas Cenderawasih dengan Kepala Dinas
memberikan sanksi bagi WPS yang tidak Kesehatan Kabupaten Merauke, Juli 2015)
152
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
peraturan tersebut bertentangan dengan setelah Global Fund tidak lagi mendanai
upaya untuk memberikan perlindungan program-program penjangkauan yang
hukum bagi WPS. Meski demikian, PKR dilakukan oleh LSM, mereka mendapatkan
sebagai lembaga yang terkait dengan dukungan sumber daya (pembiayaan) dari
upaya penanggulangan HIV dan AIDS APBD, sebagaimana KPAD, PKR, dinkes, dan
menegaskan bahwa adanya sanksi yang pemangku kepentingan terkait lainnya.
dimaksudkan merupakan upaya memberikan
Jejaring lain dalam penerapan program
perlindungan kesehatan bagi WPS dan
PMTS adalah memastikan adanya
pencegahan penularan HIV dan IMS kepada
ketersediaan kondom, terutama di lokalisasi.
masyarakat yang lebih luas. Untuk ini, perlu
Pendistribusian kondom dikoordinasikan
pemikiran bagi pengembangan kebijakan
oleh KPAD bekerjasama dengan LSM, outlet
yang tidak merugikan secara etis dan
kondom, dan penyedia layanan. Mekanisme
psikologis bagi WPS dalam mendapatkan
pelaporan distribusi kondom terpusat di
layanan kesehatan. Mekanisme alternatif
KPA, sehingga pendistribusian lewat outlet,
pengurangan stigma dengan pengakuan
LSM, dan PKR serta Badan Pemberdayaan
terhadap profesi WPS patut menjadi
Perempuan dan Keluarga Berencana (BP2KB)
pemikiran bagi pengambil kebijakan.
dilaporkan kepada KPAD. Selanjutnya, KPAD
Sementara itu, rujukan dilakukan akan melaporkan secara online ke KPAN.
oleh PKR dan puskesmas kepada Pokja Terdapat 89 outlet kondom yang dikelola
HIV di RSUD dilakukan bagi pasien yang oleh KPAD. Pendistribusian lain dilakukan
terdiagnosa HIV. Setelah mendapatkan melalui LSM dan Puskesmas serta BP2KB
tindakan lanjutan dari RSUD, rujukan yang mendistribusikan kondom melalui
selanjutnya adalah kepada LSM untuk posyandu.
mendampingi ODHA dalam menjalani 05
Ada tiga jenis sumber pendanaan
terapi. Keberadaan puskesmas satelit
kondom di Kabupaten Merauke: 1) bersumber
ARV memudahkan pasien ODHA untuk
dari KPA yang dibagikan secara gratis
mengakses perawatan lanjutan di
kepada populasi kunci; 2) kondom KPA
puskesmas. Sementara untuk pembiayaan
yang dijual dengan harga Rp 72 ribu/dos
pada komponen layanan kesehatan
isi 144 buah; dan 3) kondom mandiri yang
dalam program PMTS berupa KTS dan IMS
dibeli dari hasil penjualan kondom KPAN.
ditanggung oleh biaya program, sehingga
Ketiga jenis pengadaan kondom tersebut
layanan ini dapat diakses secara gratis oleh
dikelola langsung KPAD. Kondom mandiri
populasi WPS.
dikembangkan sebagai antisipasi tidak
Keterlibatan LSM dalam melakukan ada lagi pendanaan kondom dari Global
penjangkauan untuk pencegahan Fund. Oleh karena itu sejak 2014, PKR tidak
penyakit berwujud memberikan edukasi memberikan kondom gratis; WPS membeli
dan kampanye kepada populasi kunci, sehingga terkumpul sejumlah dana yang
masyarakat di tingkat distrik, dan anak-anak kemudian dimanfaatkan untuk pengadaan
sekolah menjadi bagian dari kegiatan PMTS kondom mandiri yang langsung dibeli sendiri
di Merauke. Kelompok-kelompok yang sulit dari Jakarta. Kondom mandiri tersebut
dijangkau dari sisi sosial, seperti WPS dan dikembangkan dengan asumsi pemda belum
masyarakat yang secara geografis berada mampu menyediakan pendanaan untuk
jauh dari pusat-pusat layanan kesehatan, pengadaan kondom seperti pernyataan
dilakukan oleh kader-kader yang bertindak informan berikut:
sebagai pendidik sebaya (peer educator) “…rencananya kita akhir 2015 kondom bantuan tidak
dan konselor. Di Kabupaten Merauke, ada sutra putih, kita berencana jadikan uang itu
153
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
sebagai modal pengadaan kondom mandiri. Karena berjalan secara terpadu dan terpusat pada
kita menganggap pemerintah belum mampu untuk
satu unit layanan saja.
menyediakan kondom gratis terus menerus. Yang
ketiga kondom sutra merah yang saya beli atas
inisiatif kita sendiri, kita beli itu di Jakarta 84 ribu
E.
kita jual di sini 85 ribu, sebetulnya saya jual 90 ribu
karena kita anggap ongkosnya, tapi kita di lokalisasi
Yobar saya tunjuk lagi salah satu distributor nanti
dia yang men-drop ke outlet-outlet, karena pernah
kejadian malam-malam butuh dan kita malas juga
untuk drop kesana, akhirnya ada teman yang mau Tingkat Integrasi Layanan
ditunjuk, jadi istilahnya sebagai jerih payah dia untuk PMTS Kabupaten Merauke ke
mengurusi kondom, ya kita kasih 5 ribu/dosnya,
itu ya sama dengan harga disana, terus terang ini Sistem Kesehatan
kita tidak mencari untung dari mereka karena saya
lihat penggunaan kondom merah lebih banyak
peminatnya, mungkin dari itu juga sebagai daya Secara keseluruhan dapat disimpulkan,
tarik pelanggan atau tamu..” (Wawancara tim peneliti
layanan PKR sudah terintegrasi secara
Universitas Cenderawasih dengan Sekretaris KPAD
Merauke, Juli 2015) struktural ke dalam sistem kesehatan umum.
Beberapa fungsi sistem yang terintegrasi
Layanan HIV dan IMS di Kabupaten meliputi:
Merauke merupakan layanan yang mudah
diakses yang tersedia di 24 puskesmas Pertama, manajemen dan tata kelola.
dan PKR. Dari jumlah tersebut terdapat Kebijakan struktural dari pemerintah
6 puskesmas satelit yang memberikan daerah untuk membentuk PKR dalam
layanan HIV dan IMS. Keseluruhan layanan merespons peningkatan epidemi di Merauke
kesehatan ini menjadi tanggung jawab pada tahun 2002 merupakan komitmen
dinkes. Sebagai pusat layanan PMTS, konkret pemda untuk menginterasikan
PKR berkoordinasi dengan dinkes yang layanan PMTS sebagai bagian dari urusan
menjadi payung dan bidang-bidang terkait kesehatan daerah. Hal ini diperkuat
seperti bagian pengendalian penyakit dengan kebijakan Perda No. 5 tahun 2003
(P2) kabupaten, dan bidang farmasi untuk tentang Pencegahan dan Penanggulangan
melakukan perencanaan kebutuhan AIDS sebagai dasar hukumnya. Kedua,
logistik obat terkait HIV dan IMS yang pembiayaan untuk program PMTS.
mencakup seluruh kabupaten. PKR dalam Sejak awal PKR mendapatkan alokasi
pendistribusian alat pencegahan (kondom pembiayaan yang bersumber dari APBD
dan pelicin) berkoordinasi dengan KPA, untuk dan ketika pendanaan Global Fund berakhir,
pendistribusian kondom dan mekanisme keseluruhan pembiayaan ditanggung oleh
pelaporannya. APBD. Pengelolaan sumber pembiayaan
untuk sektor kesehatan, termasuk PMTS,
Dinkes menggunakan laporan dari dikoordinasikan langsung melalui dinkes.
PKR sebagai salah satu dasar untuk Perencanaan pembiayaan PKR menjadi
mengembangkan perencanaan kesehatan. bagian dari RKA melalui budget dari dinkes.
Mekanisme laporan penanggulangan IMS, Ketiga, pembiayaan SDM kesehatan
HIV dan AIDS adalah berpusat pada PKR untuk memberikan layanan PMTS di PKR
dalam artian seluruh layanan kesehatan merupakan tenaga kesehatan dari dinkes
yang memberikan layanan HIV dan IMS baik yang berstatus PNS maupun honorer
harus melaporkan kegiatannya kepada dan tenaga kontrak. Semua gaji dan insentif
PKR. PKR selanjutnya akan mengolah dan untuk tenaga PKR dibiayai sepenuhnya
meneruskan data tersebut ke dinkes. Oleh dari sumber APBD. Begitu halnya dengan
karenanya, dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan SDM kesehatan di PKR
informasi terkait HIV dan IMS dikembangkan dikoordinasikan sepenuhnya oleh dinkes.
154
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
Keempat, logistik untuk PMTS direncanakan terintegrasi karena populasi kunci lebih
bersama dengan P2 dan bidang farmasi menjadi pemanfaat dan penunjang dalam
dan bidang terkait yang dituangkan proses perencanaan sehingga belum secara
dalam RKA. Pengadaan obat IMS serta optimal berkontribusi untuk menyampaikan
reagen ini dilakukan oleh dinkes kemudian pemikiran dan kebutuhan untuk pencegahan
didistribusikan ke seluruh pusat layanan penularan HIV dan IMS melalui transmisi
kesehatan tingkat primer di Kabupaten seksual dari mereka. Selama ini peran
Merauke oleh PKR. Kelima, mekanisme tersebut dilakukan melalui keterwakilan oleh
sistem informasi untuk IMS dan HIV dikelola masyarakat sipil atau kelompok pendidik
oleh PKR, dalam artian sistem informasi sebaya. Implikasinya, komunitas populasi
terpusat di PKR. PKR mengoordinasikan kunci masih pada posisi sebagai penerima
pengumpulan informasi yang berupa laporan manfaat yang belum terlibat secara aktif
dari puskesmas, KPA, dan pokja lokasi. dan bermakna untuk memberikan kontribusi
Laporan tersebut diolah untuk selanjutnya pemikiran dan kebutuhannya dalam
disampaikan ke dinkes yang memiliki mekanisme perencanaan yang dibuat oleh
kewenangan untuk memublikasikan melalui PKR. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor
mekanisme satu pintu. Bagi dinkes, laporan rutinitas dan tidak mau repot dari dinkes
ini menjadi dasar untuk perencanaan untuk melakukan proses diskusi yang
program penanggulangan HIV dan IMS. panjang, seperti mandat perencanaan
ideal yang perlu melibatkan secara aktif
Kelima fungsi sistem tata kelola,
masyarakat melalui mekanisme musrenbang.
pembiayaan, SDM, logistik, dan sistem
informasi secara fungsional semua Berdasarkan simpulan gambaran di
mekanisme tersebut telah melekat dalam atas, integrasi layanan PKR ke dalam sistem
PKR sebagai UPT yang mengurusi PMTS di kesehatan di Kabupaten Merauke tersebut 05
Kabupaten Merauke. Proses integrasinya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
pada tahap awal terjadi secara informal
1. Adanya komitmen politik dari
melalui komitmen dan sensitivitas dari
pemerintah daerah.
kepala dinas untuk mengembangkan satu
organisasi yang mengurusi PMTS secara Kepemimpinan daerah yang cukup
khusus diintegrasikan sebagai bagian sensitif dalam mencermati dinamika
dari satuan kerja dinkes. Komitmen ini peningkatan epidemi HIV dan AIDS di
kemudian diperkuat dengan adanya perda Kabupaten Merauke sebagai daerah
penanggulangan dan pencegahan HIV yang rentan penularan HIV melalui
dan IMS yang menjadi dasar hukum kuat jalur seksual mendorong kepala dinkes
bagi daerah untuk memberikan komitmen mengambil inisiatif yang progresif
pendanaan yang bersumber dari APBD. untuk membentuk PKR. Dengan adanya
Di samping itu, sumber daya dan tenaga PKR yang melekat di bawah dinkes
kesehatan yang semua menjadi bagian dari menjadikan program PMTS terintegrasi
sistem kesehatan menjadikan layanan PKR dari aspek struktural sehingga membuka
menjadi lebih cepat terintegrasi dengan ruang untuk pengelolaan program PMTS
sistem yang berlaku. yang terintegrasi dan terkoordinasikan
dengan unit-unit layanan yang sudah
Namun terdapat satu komponen yang
ada, seperti puskesmas dan RSUD
terintegrasi secara parsial, yaitu partisipasi
sebagai unit yang memberikan
masyarakat dalam proses perencanaan
layanan untuk pengobatan (UKP).
program PMTS di Kabupaten Merauke.
Bappeda sebagai lembaga pemda
Fungsi sistem kesehatan ini kurang
yang bertanggungjawab terhadap
155
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
F.
memegang kendali mengoordinasikan
semua program PMTS yang ada,
misalnya dengan KPA, dinkes, LSM,
dan puskesmas, Pokja HIV RSUD Efektivitas PMTS di Merauke
62) Berdasarkan hasil analisis Alokasi APBD 2015 untuk
sektor kesehatan dibandingkan dengan alokasi untuk Lebih terintegrasinya layanan PKR ke dalam
sektor lain yang dilakukan oleh Tim Peneliti Universitas sistem kesehatan memengaruhi efektivitas
Cenderawasih (2015).
156
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
kinerja PMTS di Kabupaten Merauke. Hal dinya perubahan perilaku. Sementara untuk
ini bisa dibuktikan dengan mengacu pada mengetahui perubahan perilaku maka data
strategi yang dikembangkan dalam program yang dipergunakan adalah konsistensi
PMTS, yang terdiri dari 4 komponen, yaitu penggunaan kondom. Sumber data yang
peningkatan peran positif pemangku dipergunakan untuk mengukur efektivitas ini
kepentingan, manajemen dan distribusi menggunakan data STBP 2007, serta data
kondom, komunikasi perubahan perilaku, cakupan kegiatan yang bersumber dari PKR.
dan penatalaksanaan IMS.
Gambaran pemakaian kondom pada
Untuk mengukur efektivitas ini digunakan kelompok risiko tinggi, menurut hasil
data cakupan penjangkauan pada populasi pemantauan oleh PKR melalui kartu isian
WPS dan jumlah cakupan layanan IMS. Ca kondom yang dibagikan dan diambil setiap
kupan data penjangkauan dipergunakan un bulan menunjukkan, bahwa pemakaian
tuk mengetahui sejauh mana keterpaparan kondom rata-rata meningkat dibanding tahun
informasi tentang IMS dan penularan HIV sebelumnya, walau masih belum mencapai
sehingga dapat mengarahkan untuk terja target, yaitu 100% penggunaan kondom
05
157
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
pada setiap hubungan seks berisiko. Meski fluktuasi sebanyak 6.233 klien pada 2011
demikian, data STBP 2007 menunjukkan dibanding cakupan jumlah klien yang
adanya kecenderungan positif jika dilihat tes dan konseling pada tahun 2010 yaitu
dari tahun 2008 sampai 2011. Akan tetapi 7.578 klien. Meskipun jumlah kasus yang
berdasarkan laporan PKR kurun waktu ditemukan HIV positif ditemukan semakin
terakhir, tercatat jumlah distribusi kondom meningkat sebesar 2.15% atau mencapai 134
tahun 2014 adalah 47.183 dan pada tahun orang terinfeksi HIV seperti digambarkan
2015 (Januari sampai Oktober) adalah 37.439 dalam gambar 18.
yang diberikan kepada 280 kelompok WPS.
Sementara dari data STBP 2007
Terkait perubahan perilaku dari data PKR
menunjukkan bahwa cakupan penjangkauan
untuk konsistensi penggunaan kondom pada
populasi WPS sebesar 97%, angka yang
hubungan seks terakhir untuk kalangan WPS
melebihi target nasional sebesar 80%.
di lokalisasi mencapai 98,30% dari jumlah
Sementara untuk mengukur perubahan
WPS yang melaporkan diri sebesar 76,84%
perilaku WPS adalah konsistensi
(Laporan PKR, Oktober 2015).
penggunaan kondom dalam hubungan seks
Kemudian data cakupan seperti jumlah dalam seminggu terakhir sebesar 65%, juga
perempuan dan laki-laki yang melakukan melebihi target nasional sebesar 60% untuk
hubungan seks dengan lebih dari satu terjadinya perubahan perilaku pada WPS.
pasangan dalam 12 bulan terakhir yang Dari kedua data ini dapat menunjukkan
melaporkan penggunaan kondom dalam bahwa program PMTS cukup efektif, dengan
hubungan seks terakhir totalnya di tahun cakupan melebihi target nasional.
2014 adalah 64.320 orang. Khusus untuk
pekerja seks, jumlah pekerja seks yang
G.
melaporkan penggunaan kondom dengan
pelanggan paling akhir total di tahun 2014
adalah 2359. Pada tahun 2014 persentase
pekerja seks yang melaporkan penggunaan Diskusi
kondom dengan pelanggan seks yang paling
akhir adalah 76.8% (Laporan PKR, 2015). Jika Studi kasus PMTS di Kabupaten Merauke ini
dilihat persentase tersebut, ini mengalami menyimpulkan bahwa tata kelola intervensi
penurunan dibanding dengan data cakupan program PMTS relatif terintegrasi dengan
penggunaan kondom dari tahun 2008 sistem kesehatan umum. Integrasi tata
hingga 2011. Penurunan cakupan tahun kelola secara struktural terjadi melalui
2014 ini dipengaruhi oleh belum efektifnya kebijakan penanggulangan HIV dan
pelaksanaan dari perubahan kebijakan IMS yang dikeluarkan oleh pemda yang
penanggulangan HIV dan AIDS yang baru mengalami pembaharuan dan perluasan
No. 3 Tahun 2013 tentang pencegahan (scale-up) layanan tidak hanya fokus pada
dan penanggulangan HIV dan AIDS yang kelompok populasi kunci, akan tetapi juga
diperluas dari prioritas pada populasi menyasar pada populasi umum sesuai
kunci ke sasaran yang lebih luas, yakni dengan situasi perkembangan epidemi di
masyarakat umum untuk melakukan tes Kabupaten Merauke (Perda No. 3 Tahun 2013
HIV dan penggunaan kondom 100% secara dan Perbub No. 16 Tahun 2015). Komitmen
konsisten untuk pencegahan penularan HIV kebijakan untuk program PMTS ini secara
dan IMS melalui transmisi seks. khusus diwujudkan dalam pembentukan
Kecenderungan jumlah klien yang unit layanan teknis (PKR) dengan mobilisasi
melakukan test KTS/KTIP mengalami sumber daya lokal untuk penyediaan
layanan bagi populasi kunci dan masyarakat
158
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
7578
7182
6233
4481 4639
VCT
HIV
81 96 133 134 05
59
159
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
160
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
161
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n
I. Pengembangan kapasitas
sumber daya kesehatan daerah
melalui berbagai pelatihan
Rekomendasi untuk peningkatan kapasitas
dan peningkatan jumlah SDM
Agar dapat direplikasi di kesehatan tingkat puskesmas
daerah lain, faktor-faktor yang oleh dinkes dengan mekanisme
memengaruhi efektifitas PMTS pendanaan yang jelas
di Kabupaten Merauke adalah bersumber dari pembiayaan
sebagai berikut: daerah. Kemampuan teknis ini
Pengembangan kebijakan termasuk dalam melakukan
PMTS diintegrasikan ke dalam pencatatan dan pelaporan yang
sistem kesehatan di berbagai standar untuk pemantauan
daerah melalui pembentukan perkembangan PMTS di daerah
unit alternatif oleh dinas sebagai bagian dari mekanisme
kesehatan yang secara dalam sistem kesehatan umum.
162
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r
163
06
Model Pencegahan
Melalui Transmisi Seksual
di Tingkat Pelayanan
Primer Puskesmas dan
Jejaringnya
164
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
A.
Pendahuluan
Epidemi HIV yang telah berlangsung lebih dari dua dekade di Indonesia
memperlihatkan pergeseran epidemi yang cukup berarti, setelah ledakan
epidemi pada pengguna napza suntik (penasun), epidemi berikutnya pada
kelompok wanita penjaja seks (WPS) yang dikhawatirkan berperan sebagai
jembatan epidemi ke populasi yang lebih umum (NAC of Indonesia, 2012;
Riono & Jazant, 2004). Belum reda kekhawatiran kita akan potensi pergeseran
epidemi yang didorong oleh penularan pada kelompok WPS, berbagai data
surveilans dan juga pemodelan matematika menunjukkan peningkatan yang
bermakna kejadian infeksi HIV pada kelompok laki-laki seks dengan laki-
laki (LSL) (MOH of Indonesia, 2008, 2013). Jika dilihat dari akumulasi jumlah
penderita HIV-AIDS dan faktor risikonya yang didominasi oleh kelompok WPS
dan LSL, termasuk waria, jelas terlihat bahwa upaya penanggulangan epidemi
HIV pada kelompok ini adalah kunci keberhasilan menanggulangi epidemi
HIV di Indonesia. 06
165
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
166
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
167
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
Pembiayaan
Manajemen
Level Integrasi
Informasi
Layanan
Regulasi
Sarana
SDM
Level 4: Kolaborasi
erat dengan beberapa
komponen sistem
terintegrasi
Level 5: Pendekatan
kolaborasi dan terintegrasi
Level 6: Transformasi
kolaborasi penuh
168
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
169
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
D.
yang digunakan dalam survei Delphi. Studi
Delphi dilakukan untuk mendapatkan
dukungan atau konsensus dari praktisi dan
pakar dalam PMTS terhadap model yang Desk Review Model Integrasi
dikembangkan. Pendekatan pengumpulan
PMTS ke Dalam Layanan
data secara berurutan di mana hasil
sebelumnya menginformasikan langkah
Primer
selanjutnya dikenal sebagai squential design
Hasil penelusuran artikel perkembangan
(Creswell, 2008) dengan salah satu tahapan
epidemi di Indonesia yang dipublikasikan
berperan lebih dominan dalam memberikan
dalam jurnal peer reviewed internasional
arahan pada hasil kajian. Dalam penelitian
memang tidak menemukan kajian terkait
ini desk review merupakan bagian utama
intervensi untuk mengintegrasikan kegiatan
dari keseluruhan metode pengumpulan data.
PMTS ke dalam pelayanan kesehatan
Kajian pustaka terhadap model integrasi dasar atau primer. Hal ini terjadi karena
PMTS dilakukan untuk memperoleh informasi memang penelusuran dibatasi pada
terhadap empat hal pokok. Pertama, database internasional berbahasa Inggris.
terkait peran transmisi seksual dalam Sesungguhnya terdapat cukup banyak
perkembangan epidemi HIV and AIDS di laporan penelitian atau evaluasi kegiatan
Indonesia serta berbagai upaya yang telah PMTS, tetapi memang lebih banyak
dilakukan untuk menanggulangi dampak tersimpan sebagai kelompok grey literature
dari epidemi HIV dan AIDS. Kedua, tinjauan yang memang tidak dicari dalam kajian
pustaka dimaksudkan untuk memperoleh literatur ini.
gambaran terhadap berbagai model PMTS
Secara umum, hasil penelusuran
yang dilakukan di berbagai negara di dunia.
pada kelompok publikasi internasional ini
Ketiga, mengkaji bagaimana peran integrasi
memperkuat asumsi dasar peneliti bahwa
di dalam keberhasilan pelaksanaannya.
transmisi seksual memegang peranan
Keempat, bagaimana perkembangan
utama dalam perkembangan epidemi HIV
kebijakan PMTS di Indonesia yang diakhiri
di Indonesia, yang memerlukan strategi dan
dengan keempat kajian model praktis PMTS
intervensi berbasis bukti serta efektif untuk
di Indonesia dengan segala keunggulan dan
mengendalikannya. Berbagai intervensi
kelemahannya.
yang dilaporkan dan dievaluasi hasilnya
Untuk dapat menyajikan empat pokok juga mendukung asumsi peneliti bahwa
kajian di atas, pencarian dan analisis diperlukan peningkatan kapasitas dan
diarahkan untuk menemukan literatur kualitas layanan primer dalam program
terkait kegiatan dan dampak PMTS di penangulangan HIV di Indonesia. Keber
Indonesia, model PMTS di berbagai hasilan program edukasi melalui penjang
negara, dan faktor-faktor yang berkaitan kauan, diagnosis, dan pengobatan infeksi
dengan keberhasilannya dilihat dari menular seksual (IMS) serta distribusi kon
pengorganisasian pelayanan, termasuk dom di akar rumput menunjukkan pentingnya
peran integrasi dalam sistem pelayanan penguatan pelayanan kesehatan primer
kesehatan, serta strategi kajian dokumen dalam menyelenggarakan kegiatan PMTS.
kebijakan PMTS di Indonesia.
Beralih ke hasil kajian artikel internasio
nal terkait PMTS, penelusuran menemukan
memang tidak banyak terdapat publikasi
internasional yang secara khusus menyaji
kan hasil suatu kegiatan atau strategi atau
170
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
171
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
dinas kesehatan kabupaten/kota. Kenyataan Selanjutnya, dari hasil survei dan diskusi
ini memperkuat asumsi dasar peneliti bahwa pasca Delphi juga dapat disimpulkan
diperlukan pengembangan model PMTS di terdapat 11 isu spesifik terkait pelaksanaan
tingkat layanan primer. kegiatan atau komponen PMTS yang
dijadikan pertimbangan dalam penentuan
model terutama dalam tingkatan integrasi
E.
layanan yang terjadi saat ini dan bagaimana
harapan tingkat integrasi layanan di masa
depan:
Pengembangan Konsensus 1. Terkait pengadaan kondom, diyakini
Model Melalui Studi Delphi bahwa pengadaan kondom di masa
depan dapat diambil alih oleh pemda
Dari kedua tahapan survei Delphi dan melalui dinkes, peran puskesmas lebih
diskusi pasca Delphi yang dilakukan pada pendistribusian kondom, baik
pada praktisi dan pakar terkait PMTS secara pasif di dalam layanan dalam
terhadap pendefinisian PMTS, dapat gedung maupun aktif, bekerjasama
disimpulkan bahwa dalam model PMTS yang dengan LSM penjangkau atau petugas
dikembangkan harus memperhatikan tiga hal lapangan. Dalam kondisi tertentu BKKBN
berikut: juga diharapkan menjadi lembaga yang
1. Salah satu kunci utama keberhasilan mendukung pengadaan kondom pada
program penanggulangan HIV dan populasi berisiko tinggi.
AIDS di Indonesia adalah berhasil 2. Terkait distribusi kondom diyakini bahwa
mengintegrasikan pelayanan PMTS ke terdapat hambatan sosial, politik, agama
dalam penyelenggaraan pelayanan dan budaya atau norma setempat dalam
kesehatan mainstream atau umum di pendistribusian kondom pada kelompok
tingkat layanan primer. berisiko tinggi sehingga peran LSM atau
2. Kegiatan PMTS perlu didefinisikan OMS penjangkau masih sangat besar,
secara komprehensif, melibatkan seluruh diharapkan puskesmas mampu menjadi
kelompok populasi berisiko tinggi di koordinator pelaksana kegiatan di
luar WPS dan pelanggannya, yaitu LSL wilayah kerja mereka. Di masa depan
dan waria. Lebih lanjut kegiatan PMTS diyakini bahwa petugas lapangan yang
harus disusun dengan memperhatikan bertugas mendistribusikan kondom dan
perbedaan kondisi epidemi, kemampuan penjangkauan populasi tinggi dapat
pemberi layanan, dan juga setting daerah dikontrak oleh dinkes dengan koordinasi
kelompok berisiko. puskesmas.
3. Dalam jangka pendek peran donor 3. Terkait diagnosis dan pengobatan IMS
internasional dalam pendanaan pada pelayanan perorangan di tingkat
kegiatan PMTS, terutama pengadaan puskesmas, diyakini bahwa kegiatan
kondom, distribusi kondom, kegiatan ini merupakan upaya kesehatan wajib
penjangkauan dan edukasi kelompok yang sudah diselenggarakan secara
berisiko tinggi masih cukup besar. mandiri dan terintegrasi dengan layanan
Pengintegrasian harus dilakukan secara lainnya, hanya saja masih terkendala
bertahap dengan melihat kemampuan keterbatasan sarana.
finansial dan komitmen penyelenggara 4. Terkait diagnosis dan pengobatan IMS
layanan. berupa upaya kesehatan masyarakat
172
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
(UKM), seperti skrining dan pengobatan 10. Terkait promosi kesehatan reproduksi
presumtif berkala, diyakini merupakan dan HIV dan AIDS pada masyarakat
upaya kesehatan wajib. Hanya saja umum diyakini belum maksimal
saat ini masih banyak bergantung pada dilakukan puskesmas, diharapkan dapat
bantuan donor dan penyelenggaraan diintegrasikan secara penuh mengingat
yang bersifat top down. kegiatan ini adalah salah satu dari tugas
dan fungsi pokok puskesmas.
5. Terkait sirkumsisi lelaki dewasa sebagai
layanan kesehatan perorangan diyakini 11. Terkait promosi kesehatan terkait HIV
bahwa puskesmas telah mampu menye dan AIDS pada kelompok berisiko
lenggarakannya secara terintegrasi. tinggi sebagai UKM, diyakini memang
masih dilakukan secara sporadis
6. Terkait sirkumsisi lelaki dewasa sebagai
oleh puskesmas dan umumnya
UKM diyakini hanya tepat dilakukan
diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya
pada daerah dengan epidemi yang
Masyarakat (LSM) atau Organisasi
meluas, seperti di Papua, dan saat ini
Masyarakat Sipil (OMS) penjangkauan. Di
Puskesmas belum memiliki dukungan
masa depan diharapkan ada koordinasi
regulasi, finansial, sarana, SDM dan
yang lebih baik antar puskesmas
sistem informasi yang menunjang
dan LSM/OMS penjangkau dalam hal
pelaksanaannya.
informasi, manajemen kegiatan, dan
7. Terkait kegiatan tes HIV di dalam gedung juga dukungan sarana prasarana serta
puskesmas, baik melalui klinik konseling pengaturan kegiatan di wilayah kerja
dan testing sukarela (KTS/VCT) maupun puskesmas.
provider-initiated counseling and testing
(PITC) diyakini telah diselenggarakan 06
F.
secara berkelanjutan oleh puskesmas,
meskipun sebagian pendanaan dan
sarana masih mendapat dukungan dana
donor maupun anggaran yang bersifat Usulan Model PMTS di Tingkat
sentralistis dari Kementerian Kesehatan. Layanan primer Puskesmas
Di masa depan besar harapan agar
kegiatan ini sudah merupakan kegiatan Dengan memperhatikan kondisi layanan
yang terintegrasi penuh termasuk dalam terkini dan kemudian hasil kajian terhadap
pendanaannya. berbagai permasalahan di tingkat sistem,
8. Terkait kegiatan mobile KTS sebagai organisasi, dan layanan PMTS, kajian
perwujudan UKM menyasar kelompok literatur internasional dan nasional terkait
risiko tinggi, meskipun telah dilakukan efektivitas layanan PMTS, serta hasil survei
secara berkelanjutan dukungan dari Delphi, model PMTS yang dapat diusulkan
donor, terutama untuk operasional dan untuk pelaksanaan di tingkat layanan primer
sarana masih diyakini cukup besar. serta bagaimana pengorganisasiannya
dalam kerangka kerja integrasi layanan
9. Terkait layanan ART, harus diakui bahwa
dan yang sesuai dengan tatanan sistem
masih terdapat variasi komitmen dan
kesehatan nasional (lihat model dalam
dukungan sarana dalam mewujudkan
bagan).
layanan ART di tingkat puskesmas, tetapi
hasil Delphi menunjukkan dukungan Secara ringkas model yang ditawarkan
yang cukup atas terselenggaranya per dimensi layanan PMTS di tingkat layanan
layanan di tingkat primer. primer dapat dipetakan ke dalam tabel 11.
173
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
Model layanan
pengadaan kondom
serta lubrikan 1
• Layanan pengadaan kondom dan lubrikan untuk pencegahan HIV dan IMS saat ini hampir
seluruhnya dilakukan oleh Sekretariat KPAN dengan mayoritas pendanaan berasal dari hibah
Global Fund (GF), sehingga tingkat integrasinya dengan layanan puskesmas masih pada
level 1 atau bahkan pra-integrasi kolaborasi minimal ( jika layanan dilakukan pihak lain, di luar
koordinasi puskesmas dan puskesmas hanya menerima informasi yang tidak rutin).
• Model integrasi layanan pengadaan kondom dan lubrikan untuk pencegahan HIV dan IMS
yang ideal menurut peneliti adalah level 4 (layanan dilakukan puskesmas bersama dengan
pihak lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas) sampai level 6 (fully
integrated).
• Mengingat pengalihan pengadaan/pembiayaan kondom oleh negara akan sulit selama masih
tersedianya dana hibah GF dan banyaknya hal lain yang lebih prioritas untuk didanai oleh
berbagai sumber dana puskesmas, maka model integrasi pengadaan kondom yang diusulkan
dalam studi ini adalah di level 4 (layanan dilakukan puskesmas bersama dengan pihak lain,
dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas). Layanan pengadaan kondom selain
mitra internasional, bisa juga dengan institusi pemerintah, BKKBN. Hal ini terungkap dalam
konsensul hasil Delphi antara praktisi dan pakar.
• Walaupun demikian, tidak ada peraturan yang menghambat maupun mewajibkan puskesmas
untuk mengadakan kondom dan lubrikan secara terintegrasi penuh. Beberapa peraturan teknis
penggunaan dana yang dikelola puskesmas memungkinkannya mengadakan kondom dan
lubrikan untuk pencegahan HIV dan IMS secara mandiri, bahkan beberapa pedoman secara
implisit telah memberikan ruang untuk pelaksanaannya (level 6, fully integrated) melalui
anggaran rutin dan BOK.
• Beberapa kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan untuk mewujudkan integrasi ini adalah:
• Diperlukan peraturan yang jelas dari tingkat dinkes kabupaten/kota yang disertai dengan
petunjuk pelaksanaan ( juklak) dan petunjuk teknis ( juknis) tentang cara estimasi kebutuhan
kondom dan lubrikan, perencanaan dan mekanisme pengadaan di tingkat puskesmas.
• Juklak dan juknis agar kondom dari sumber dana lain (BKKBN) dapat digunakan sebagai alat
pencegahan penularan HIV dan IMS.
• Kondom dan lubrikan perlu dimasukkan dalam standar bahan habis pakai yang disediakan
untuk layanan dalam maupun luar gedung di Permenkes tentang Puskesmas.
• Diperlukan revisi beberapa juklak dan juknis penggunaan dana dari beberapa sumber dana
yang dikelola puskesmas untuk mencantumkan secara eksplisit pengadaan kondom dan
lubrikan sebagai alat pencegahan penularan HIV dan IMS.
174
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
Model layanan
distribusi kondom
serta lubrikan 2
• Layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi kunci lebih banyak dilakukan oleh
petugas lapangan dari LSM sebagai bagian dari komponen intervensi perubahan perilaku
yang mayoritas didanai oleh hibah GF, dan juga sebagai bagian dari intervensi struktural yang
dikelola oleh Sekretariat KPAK, di mana sebagian besar puskesmas juga merupakan salah
satu outletnya, baik dalam bentuk layanan kesehatan individu di dalam gedung maupun ketika
menyelenggarakan layanan di luar gedung puskesmas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tingkat integrasi layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi kunci dengan layanan
puskesmas saat ini masih berada pada level 2.
• Model ideal integrasi layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi kunci dengan
layanan puskesmas yang menjadi konsensus responden Delphi praktisi maupun pakar serta
menurut peneliti adalah pada level 3 (layanan dilakukan pihak lain di dalam koordinasi penuh
06
puskesmas di mana puskesmas menyediakan sebagian sarana/prasarana). Hal ini didasarkan
realitas bahwa jumlah dan kapasitas sumber daya puskesmas untuk menjangkau populasi
kunci di luar gedung puskesmas yang masih terbatas serta sejalan dengan salah satu tugas
dan fungsinya mendorong UKM. Model ideal integrasi layanan distribusi kondom dan lubrikan
pada populasi kunci dengan layanan puskesmas membutuhkan beberapa hal sebagai berikut:
• Perlu juklak dan juknis untuk puskesmas melakukan koordinasi penuh layanan distribusi
kondom, baik yang dilakukan oleh petugas lapangan LSM maupun petugas lapangan yang
dikontrak oleh pemda.
• Layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi kunci perlu dimasukan dalam UKM
esensial di Permenkes tentang Puskesmas.
• Regulasi teknis penggunaan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) puskesmas
telah menetapkan pembiayaan distribusi kondom dan lubrikan sebagai salah satu prioritas
pendanaan, sehingga perlu ada penekanan pentingnya layanan ini untuk diselenggarakan
puskesmas melalui instrumen supervisi dan pembinaan dari dinas kesehatan kabupaten/
kota.
• Puskesmas perlu menganggarkan layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi
kunci melalui anggaran rutin, BOK maupun sumber pendanaan lainnya.
175
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
Layanan diagnosis
dan pengobatan IMS
dalam Pelayanan 3
Kesehatan
Perorangan Primer
(PKPP)
• Layanan ini sudah terintegrasi baik secara kebijakan, sistem maupun teknis pelayanan
ke dalam PKPP Puskesmas yang ditunjuk dan terlatih. Sarana, prasarana dasar untuk
menyediakan layanan ini juga sudah masuk dalam standar peralatan dan bahan habis pakai
di puskesmas, walaupun demikian penyediaan beberapa obat esensial masih disediakan
secara vertikal dan belum dapat disediakan langsung oleh puskemas mengingat obat tersebut
belum masuk sebagai daftar obat esensial di puskesmas. Sehingga dapat disimpulkan tingkat
integrasi UKP untuk layanan diagnosis dan pengobatan IMS dengan layanan puskesmas
berada pada level 5.
• Model integrasi ideal layanan ini dengan layanan puskesmas, berdasarkan konsensus
Delphi praktisi dan pakar serta menurut peneliti, adalah level 6 terintegrasi penuh termasuk
pembiayaan untuk obat esensial IMS, di mana diperlukan revisi daftar obat esensial nasional di
puskesmas sehingga obat esensial pengobatan IMS yang paling efisien dapat disediakan oleh
puskesmas.
176
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
Layanan penapisan
dan pengobatan IMS
pada pekerja seks 4
dalam Pelayanan
Kesehatan
Masyarakat Primer
(PKMP)
• Layanan ini sudah disediakan oleh banyak puskesmas yang ditunjuk dan terlatih dengan
dukungan pendanaan operasional sebagian besar bersumber dari dana hibah GF. Walaupun
demikian, belum ada regulasi dan juklak serta juknis penyediaan layanan penapisan dan
pengobatan IMS pada WPS sebagai PKMP, sehingga dapat disimpulkan tingkat integrasi
layanan ini masih berada di level 4 ( jika layanan dilakukan puskesmas bersama dengan pihak
lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas).
• Konsensus Delphi praktisi dan pakar mengindikasikan tingkat integrasi layanan ini perlu
ditingkatkan menjadi level 6 (fully integrated) dengan jaminan alokasi pembiayaan dari
anggaran rutin dana BOK, maupun sumber pendanaan lainnya. Penapisan dan pengobatan
harus menjadi bagian penuh puskesmas, mengingat penapisan dan pengobatan IMS berkala,
yang secara teori dapat mengurangi kemungkinan penularan HIV dan IMS, sering kali tidak
06
menimbulkan gejala klinis yang dapat dirasakan sebagai infeksi oleh WPS.
• Untuk mencapai model yang ideal menurut peneliti diperlukan hal-hal sebagai berikut:
• Perlu dibuat kebijakan program beserta juklak dan juknis dari tingkat nasional tentang
penapisan dan pengobatan IMS pada WPS
• Layanan penapisan dan pengobatan IMS pada WPS perlu cantumkan sebagai UKM esensial
untuk pengendalian IMS di Permenkes tentang Puskesmas
• Revisi daftar obat esensial nasional di puskesmas sehingga obat esensial pengobatan IMS
yang paling efisien dapat disediakan oleh puskesmas
• Puskesmas perlu menganggarkan operasional layanan penapisan dan pengobatan IMS
pada WPS secara berkala melalui anggaran rutin, BOK maupun sumber pendanaan lainnya.
177
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
Layanan sirkumsisi
medis sukarela laki-
laki dewasa (SMSL) 5
• Layanan SMSL sebagai UKP merupakan layanan yang secara standar wajib disediakan oleh
puskesmas sehingga tingkat integasinya sudah yang tertinggi (level 6) pada semua unsur
upaya kesehatan perorangan di puskesmas. Sementara SMSL sebagai UKM masih dalam tahap
penelitian operasional di Papua atau dalam tahap pra-integrasi.
• Model integrasi yang ideal untuk layanan SMSL sebagai UKM harus menunggu hasil penelitian
operasional terlebih dahulu.
178
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
• Saat ini, layanan VCT HIV dalam gedung sudah terintegrasi, baik secara kebijakan, sistem
maupun teknis pelayanan, ke dalam layanan puskesmas yang ditunjuk dan terlatih. Hampir
semua sarana, prasarana dasar untuk menyediakan layanan ini juga sudah masuk dalam
standar peralatan dan bahan habis pakai di puskesmas. Model integrasi yang ada saat ini
sudah memasuki level 5 (Jika layanan sudah menjadi layanan rutin puskesmas dengan
bantuan SDM dan pendanaan dari pihak lain diluar mekanisme pendanaan reguler puskesmas).
Hanya penyediaan reagensia yang belum disediakan secara lokal oleh sebagian puskesmas,
karena masih disediakan oleh Kemenkes walaupun tidak ada regulasi yang menghambatnya.
• Model integrasi layanan VCT HIV dalam gedung puskesmas yang ideal menurut konsensus
praktisi dan pakar adalah level 6, dan hanya kapasitas dana serta prioritas pendanaan di
sebagian puskesmas yang menjadi hambatannya. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah
06
penekanan melalui instrumen supervisi dan pembinaan dari dinas kesehatan kabupaten/kota
agar pembiayaan layanan KTS HIV menjadi salah satu prioritas pendanaan di puskesmas.
179
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
• Saat ini, layanan mobile KTS HIV sudah disediakan oleh banyak puskesmas yang ditunjuk
dan terlatih, tapi masih dengan dukungan pendanaan operasional sebagian besar bersumber
dari dana hibah GF. Kerjasama erat dengan pihak lain juga dilakukan puskesmas dalam hal
pemberian informasi pada populasi kunci saat mobile KTS HIV dilakukan dengan petugas
lapangan LSM, yang honornya mayoritas berasal dari mitra internasional. Sehingga dapat
disimpulkan tingkat integrasi layanan ini masih berada pada level 4 ( jika layanan dilakukan
puskesmas bersama dengan pihak lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas).
• Usulan integrasi unsur sub-sistem mobile KTS HIV dengan unsur sub-sistem upaya kesehatan
di puskesmas yang ditawarkan adalah level 5 ( jika layanan sudah menjadi layanan rutin
puskesmas dengan bantuan SDM dan pendanaan dari pihak lain di luar mekanisme pendanaan
reguler puskesmas).
• Konsensus Delphi praktisi dan pakar dan pendapat peneliti menyepakati bahwa layanan
mobile KTS HIV yang ada sekarang sudah pada tingkat integrasi yang ideal, mengingat
kapasitas dan sumber daya puskesmas sulit untuk bisa menyediakan layanan ini secara efektif.
Selain itu tingkat integrasi ini sesuai dengan tugas dan fungsi puskesmas dalam mendorong
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM).
180
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
• Saat ini, layanan ART sudah disediakan oleh puskesmas yang ditunjuk dan terlatih tetapi
masih terbatas perannya, hanya sebagai satelit melanjutkan ART yang sudah diinisiasi oleh
rumah sakit. Pengadaan dan distribusi juga masih menjadi domain Kemenkes yang belum bisa
didesentralisasikan. Pembagian tugas dan kewenangan antara Kemenkes, rumah sakit, dan
puskesmas sudah jelas. Oleh karena itu, status tingkat integrasi layanan ART dengan unsur
sub-sistem upaya kesehatan di puskesmas masih berada pada level 4 (Jika layanan dilakukan
puskesmas bersama dengan pihak lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas).
• Usulan integrasi unsur sub-sistem layanan ART dengan unsur sub-sistem upaya kesehatan
di puskesmas yang ditawarkan adalah level 5 ( jika layanan sudah menjadi layanan rutin
puskesmas dengan bantuan SDM dan pendanaan dari pihak lain diluar mekanisme pendanaan
reguler puskesmas), di mana puskesmas bisa melakukan inisiasi pemberian ART dan menjadi
06
fasilitas kesehatan yang melakukan manajemen ART secara penuh, kecuali pengadaannya
masih terpusat oleh Kemenkes. Usulan ini sejalan dengan hasil Delphi praktisi dan pakar.
• Untuk mencapai level 5, model integrasi tersebut membutuhkan beberapa hal seperti:
• Perlu peraturan, juklak, dan juknis yang mengatur tugas dan tanggung jawab puskesmas
sebagai fasilitas kesehatan penyedia layanan ART.
• Perlu pelatihan teknis manajemen dan teknis layanan ART bagi puskesmas yang ditunjuk.
• Perlu adanya SOP untuk perencanaan, manajemen dan teknis pemberian ART.
181
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
Layanan promosi
kesehatan HIV
dan IMS untuk 9
masyarakat umum
• Layanan promosi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat umum tentang cara
pencegahan dan penularan HIV secara komprehensif telah menjadi UKM esensial yang harus
direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi oleh puskesmas, menurut Permenkes tentang
Puskesmas.
• Saat ini, promosi kesehatan HIV dan IMS untuk masyarakat umum di puskesmas masih berada
pada level 3 (Jika layanan dilakukan pihak lain di dalam koordinasi penuh puskesmas di mana
puskesmas menyediakan sebagian sarana/prasarana). Kampanye publik kepada masyarakat
umum masih tersentralisasi di Kemenkes dengan tema yang terbatas untuk mendorong
masyarakat mengetahui status HIVnya. Belum semua puskesmas memasukkan layanan
informasi HIV dan IMS kepada masyarakat umum dalam tatalaksana promosi kesehatan yang
dimilikinya. Usulan model integrasi dari hasil Delphi praktisi dan pakar adalah terintegrasi
penuh (level 6) mengingat layanan ini sudah dicantumkan sebagai layanan UKM esensial
dalam Permenkes tentang Puskesmas.
• Agar dukungan yang diperoleh dikelola penuh oleh puskesmas baik dari segi SDM, sarana,
maupun pembiayaan untuk layanan informasi kepada masyarakat umum tersedia, maka perlu
adanya regulasi dan manajemen berupa juklak dan juknis yang mengatur tugas, tanggung
jawab, dan teknis pelaksanaan layanan ini oleh puskesmas yang terintegrasi dengan kegiatan
promosi kesehatan lainnya.
182
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
Layanan promosi
kesehatan HIV dan
IMS untuk populasi 10
kunci
• Layanan promosi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku untuk
menurunkan risiko penularan HIV pada populasi kunci merupakan UKM esensial yang harus
direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi oleh puskesmas menurut Permenkes tentang
Puskesmas, karena secara definisi populasi kunci di wilayah puskesmas adalah juga anggota
masyarakat yang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan masyarakat yang sesuai dengan
kebutuhannya.
• Saat ini, promosi kesehatan HIV dan IMS untuk populasi kunci melalui penjangkauan dan
sosialisasi masih berada pada level 1 ( jika layanan dilakukan pihak lain, di luar koordinasi
puskesmas dan puskesmas hanya menerima informasi yang tidak rutin) sampai level 2 ( jika
layanan dilakukan pihak lain yang berkoordinasi dengan puskesmas yang secara regulasi
dan manajemen puskesmas juga diminta terlibat aktif dalamnya). Selama ini informasi telah
06
diberikan oleh tenaga pelaksana OMS dan LSM yang menerima dana dari mitra internasional/
donor, tapi komunikasi yang dilakukan donor, OMS dan LSM dengan puskesmas sebagai
layanan mainstream tentang kelompok atau individu yang dilayani masih minimal sampai
dengan secara periodik.
• Hanya sedikit daerah dengan finansial APBD yang lebih kuat dikategorikan telah mencapai
level 3, yaitu ketika tenaga kontrak petugas lapangan mulai dikoordinasikan oleh puskesmas.
Petugas lapangan direkrut Dinkes dan ditempatkan di puskesmas, namun belum menjadi
bagian dalam struktur organisasi puskesmas, sehingga mekanisme kerja di antara staf dan
petugas lapangan belum terbangun secara formal. Hal ini disebabkan karena dari belum
tersedianya pedoman yang mengatur tatalaksana layanan promosi kesehatan HIV dan IMS di
puskesmas secara komprehensif.
• Untuk ke depannya, model yang diusulkan tidak terlalu muluk, yaitu hanya pada level 3 (Jika
layanan dilakukan pihak lain di dalam koordinasi penuh puskesmas, pihak penyedia sebagian
sarana/prasarana) sampai level 4 ( jika layanan dilakukan puskesmas bersama dengan pihak
lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas), mengingat sumber dana, beban
kerja serta ketersediaan SDM yang sangat terbatas dari pemerintah dalam menempatkan
petugas lapangan di tiap puskesmas. Model pada level 3 sampai 4 ini menginginkan terjadinya
kolaborasi, pembagian tugas, dan kewenangan yang jelas antara komponen petugas
kesehatan puskemas dan non kesehatan/petugas lapangan yang mungkin bersumber dari
institusi yang berbeda dengan puskesmas. Untuk itu diperlukan regulasi dan manajemen
layanan promosi kesehatan HIV dan IMS berupa juklak dan juknis yang mengatur tugas,
tanggung jawab, dan teknis pelaksanaan layanan pemberian informasi oleh puskesmas yang
terintegrasi dengan kegiatan promosi kesehatan lainnya.
• Usulan level model ini sejalan dengan hasil konsensus Delphi yang menyepakati kemungkinan
puskesmas untuk mengoordinasikan petugas lapangan yang bekerja di wilayahnya, meskipun
petugas tersebut masih dibiayai donor atau swasta, sehingga bisa memiliki informasi penuh
atas kegiatan penjangkauan yang terjadi di wilayah kerjanya.
183
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
Pembiayaan
Manajemen
Informasi
Layanan
Regulasi
Sarana
SDM
184
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i
G.
puskesmas adalah diagnosis dan
pengobatan IMS dalam Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP),
Simpulan penapisan dan pengobatan IMS pada
pekerja seks sebagai UKM, sirkumsisi
Dari keseluruhan rangkaian kegiatan desk lelaki dewasa dalam UKP serta
review dan juga survei Delphi serta diskusi terakhir, layanan promosi kesehatan
pasca Delphi dapat disimpulkan beberapa pada masyarakat umum.
hal berikut: e. Sirkumsisi lelaki dewasa dalam UKM
belum diusulkan sebagai kegiatan
1. Terdapat 11 kegiatan pelayanan yang
yang dilakukan puskesmas.
dapat diselenggarakan oleh puskesmas
dan jejaringnya terkait PMTS. Kesebelas 2. Model kebijakan operasional yang
kegiatan pelayanan tersebut diusulkan dibutuhkan untuk terselenggaranya
untuk memiliki variasi tingkat integrasi layanan di atas adalah:
ke layanan mainstream pada level 3
a. Peraturan yang jelas dari tingkat
terintegrasi sebagian dengan kolaborasi
dinkes kabupaten/kota terkait
yang mendasar di tempat pelayanan,
pengadaan dan distribusi kondom
hingga level tertinggi 6 atau terintegrasi
untuk populasi berisiko tinggi.
penuh.
b. Revisi daftar obat esensial nasional
a. Layanan yang terintegrasi sebagian di puskesmas sehingga obat esensial
(level 3) dilakukan pihak lain di dalam pengobatan IMS yang paling efisien
koordinasi penuh puskesmas sebagai dapat disediakan oleh puskesmas.
penyedia sebagian sarana/prasarana
c. Penekanan melalui instrumen 06
adalah distribusi kondom dan layanan
supervisi dan pembinaan dari dinkes
promosi kesehatan pada kelompok
kabupaten/kota agar pembiayaan
risiko tinggi.
layanan penapisan dan pengobatan
b. Layanan yang terintegrasi sebagian IMS serta KTS HIV menjadi salah satu
(level 4) dilakukan puskesmas prioritas pendanaan di puskesmas.
bersama dengan pihak lain, dengan
d. Perlu peraturan, petunjuk
pembagian tugas dan kewenangan
pelaksanaan, dan petunjuk teknis
yang jelas adalah penyediaan
yang mengatur tugas dan tanggung
kondom.
jawab puskesmas sebagai fasilitas
c. Layanan yang terintegrasi (level kesehatan penyedia layanan ART
5) ketika layanan sudah menjadi serta promosi kesehatan pada
layanan rutin puskesmas dengan kelompok berisiko tinggi.
bantuan SDM dan pendanaan
dari pihak lain di luar mekanisme
pendanaan reguler puskesmas
adalah mobile KTS dan layanan ART.
d. Sementara layanan yang terintegrasi
(level 6) penuh ketika layanan sudah
menjadi rutin puskesmas dengan
perencanaan, pendanaan, dan
layanan yang terintegrasi penuh
dengan mekanisme yang ada di
185
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as
D af ta r P u st ak a
Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O. (2010).
“A systematic review of the evidence on integration
of targeted health interventions into health systems”.
Health policy and planning, 25(1), 1-14.
Blount, A. (2003). “Integrated primary care: Organizing the
evidence”. Families, Systems, & Health, 21(2), 121.
Creswell, J. W. (2008). Research design: Qualitative,
quantitative, and mixed methods approaches: Sage
Publications, Incorporated.
Doherty, W., McDaniel, S., & Baird, M. (1996). Five Levels of
Primary Care/Behavioral Healthcare Collaboration.
Johnson, R. B., & Onwuegbuzie, A. J. (2004). “Mixed
methods research: A research paradigm whose time
has come”. Educational researcher, 33(7), 14-26.
MOH of Indonesia. (2008). Mathematic Model of HIV
Epidemic in Indonesia 2008-2014. Jakarta: Ministry of
Health Of Indonesia.
MOH of Indonesia. (2013). Estimation and Projection of HIV/
AIDS in Indonesia 2011-2016 (Estimasi dan Proyeksi
HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016). Retrieved
from Jakarta:
NAC of Indonesia. (2012). Indonesia country report on the
follow up to the declaration of commitment on HIV-
AIDS (UNGASS) (N. o. Indonesia Ed.). Jakarta: NAC of
Indonesia.
PKMK FK UGM. (2015). Kebijakan HIV-AIDS dan Sistem
Kesehatan di Indonesia. Retrieved from Yogyakarta:
Riono, P., & Jazant, S. (2004). “The Current Situation of
the HIV/AIDS Epidemic in Indonesia”. AIDS Education
and Prevention, 16(Supplement A), 78-78-90.
doi:abs101521aeap16357835531
Suharni, M., Hersumpana, K, C. L., Perwira, I., Safika, I.,
Praptoraharjo, I., . . . Dewi, E. H. (2015). Integrasi
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Ke Dalam
Sistem Kesehatan. Retrieved from Yogyakarta:
Yu, D., Souteyrand, Y., Banda, M. A., Kaufman, J., &
Perriëns, J. H. (2008). “Investment in HIV/AIDS
programs: Does it help strengthen health systems
in developing countries?”. Globalization and Health,
4(1), 8.
186
06
187
07
Peran Organisasi
Masyarakat Sipil (OMS)
dalam Penanggulangan
HIV & AIDS
188
Sw asti Se m p u lu r
A.
Pendahuluan
Dari beragam definisi tersebut, OMS dapat pelayanan kesehatan dan advokasi untuk 07
diartikan sebagai organisasi non-pemerintah, memperjuangkan hak kesehatan dasar dan
yang bekerja sukarela memperjuangkan akses terhadap sumber daya kesehatan
kepentingan masyarakat. OMS adalah (WHO, 2001).
bagian dari sektor komunitas, yakni
Dalam konteks penanggulangan
mencakup berbagai individu, kelompok dan
HIV dan AIDS, secara universal, respons
lembaga. Sektor ini bukan merupakan satu
pertama dari epidemi AIDS berasal dari
kesatuan melainkan kumpulan dari berbagai
individu, keluarga, dan komunitas yang
kepentingan, pendapat, kapasitas, sumber
terdampak. Mereka mengorganisir diri
daya dan prioritas yang terlibat dalam
sendiri untuk mendapatkan informasi dan
berbagai kegiatan mulai dari penyediaan
mencari pengobatan yang dibutuhkan.
layanan hingga advokasi. Sektor komunitas
Gerakan yang lebih luas muncul dari
dalam hal ini meliputi; OMS, organisasi
masyarakat yang memiliki kepedulian
berbasis agama, jaringan populasi kunci,
terhadap HIV dan AIDS melalui pemberian
organisasi non-pemerintah, dan jaringan
informasi untuk mengurangi stigma dan
LSM (Alliance, 2007). Kemunculan OMS
diskriminasi. OMS menjadi frontline dalam
dilatarbelakangi oleh ketimpangan
program pencegahan, perawatan dan
negara dengan masyarakat yang dipicu
dukungan pada populasi yang paling rawan
oleh berbagai hal, seperti ketidakpuasan
dan sulit dijangkau (WHO, 2006). Dalam
masyarakat terhadap pelayanan publik.
perkembangannya OMS menjadi aktor
Di kebanyakan negara miskin, masyarakat
utama dalam penanggulangan HIV dan
tidak mendapatkan pelayanan yang
AIDS, memberikan layanan yang cukup
efektif, sehingga mendorong banyak OMS
besar untuk populasi, seperti distribusi
membuat aksi baru, termasuk penyediaan
189
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
kondom atau penyediaan perawatan, baik terkait dengan kebijakan dan penelitian
secara langsung atau melalui organisasi (Mendizabal et al., 2006).
yang lebih kecil (Bonnel et al., 2013).
Seperti yang telah disebutkan di atas
Secara global OMS berperan penting bahwa akses terhadap sumber pendanaan
dan memberi kontribusi besar terhadap menjadi salah satu kendala utama bagi OMS,
pembangunan, pendidikan, kesejahteraan khususnya bagi yang tidak memiliki ruang
lingkungan, dan kesehatan. Sehingga OMS lingkup layanan yang luas. Sebaliknya,
selalu berada di garis depan memberikan OMS dengan lingkup layanan yang luas
alternatif dan sekaligus memengaruhi memiliki kemudahan akses terhadap sumber
kebijakan negara untuk mengambil tindakan pendanaan, karena memiliki posisi tawar
cepat terhadap kepentingan publik (WHO, yang lebih baik (Hossain, 2009). Sumber
2006). Dari berbagai kajian di beberapa pendanaan bagi OMS diperoleh melalui
negara menunjukkan bahwa OMS mampu berbagai saluran seperti yayasan, donor
memengaruhi kebijakan pemerintah melalui international, dan pemerintah. Beberapa
peran advokasinya. Semisal di Ukraina, OMS kajian di luar negeri menunjukkan bahwa
berhasil mendorong pemerintah dalam hal ketergantungan OMS terhadap sumber
pengadaan ARV dengan harga yang murah. pendanaan international cukup tinggi. Global
Di Kyrgyzstan, layanan HIV menjadi bagian fund merupakan sumber pendanaan yang
dari layanan kesehatan primer. Begitu pula paling besar bagi OMS (21%) dibandingkan
di Malawi, OMS memengaruhi pemerintah sumber pendanaan yang lain seperti dari
untuk memperbesar alokasi pendanaan dana pemerintah (15%), sektor swasta (16%),
sektor kesehatan, sehingga penyediaan serta sumber resmi lainnya (16%) (Bonnel
layanan kesehatan adalah peran lain yang et al., 2013). Dalam menjalankan perannya
melekat pada OMS seperti pemberian OMS meyakini bahwa sumber pendanaan
rujukan, pengobatan, dan perawatan bagi berasal dari hibah dan subsidi negara, telah
ODHA (Spicer et al.,2011). Karena itulah, memainkan peranan penting bagi OMS
keberlangsungan OMS diperlukan untuk (Reimann, 2006). Kemitraan OMS dengan
menunjang peran yang dilakukannya. donor mampu meningkatkan cakupan
layanan serta penyediaan layanan yang
Permasalahan yang sering dihadapi OMS
lebih luas (Dalberg, 2013). Namun di sisi
adalah sumber daya yang tidak memadai
yang lain, kemitraan ini menjadikan OMS
karena umumnya mereka menggunakan
kurang responsif terhadap populasi yang
relawan sebagai SDM untuk menjalankan
mereka layani dan dalam kenyataannya
kegiatannya, serta keterbatasan untuk
lebih akuntabel kepada donor internasional
mengakses sumber pendanaan (Birdsall
yang membiayai mereka dibanding
et al., 2007; Mendizabal et al., 2006). Oleh
dengan masyarakat yang dilayani dan
karenanya peningkatan kapasitas SDM
diperjuangkannya (WHO, 2001).
OMS diperlukan untuk menguatkan SDM
guna mencapai perubahan yang lebih positif Secara garis besar faktor–faktor yang
(Eade, 1997). Berbagai bentuk peningkatan memengaruhi keberlangsungan OMS adalah:
kapasitas yang banyak dilakukan OMS, (1) kapasitas lembaga, terkait dengan sumber
yakni melalui kegiatan pelatihan, workshop, daya manusia dan peningkatan kapasitas;
dan magang (Hartwig, 2008). Pelatihan (2) finansial, yang terkait adanya sumber
terkait dengan peningkatan kapasitas dana utama donor dan diversifikasi non-
individu dan kelembagaan merupakan donor; (3) penyediaan layanan, sejauh mana
kebutuhan yang paling banyak diperlukan OMS bisa selalu cepat tanggap dengan
oleh OMS daripada pelatihan yang kebutuhan dan kepentingan publik, sekaligus
190
Sw asti Se m p u lu r
mampu menjaga ketahanan sumber daya penanggulangan HIV dan AIDS dari waktu
mereka; dan (4) kemitraan, sejauh mana ke waktu. Data pendukung lain untuk melihat
OMS mampu bekerjasama dengan berbagai faktor eksternal yang memengaruhi tata
pihak dan memiliki akses yang luas (Claire kelola OMS merupakan data sekunder yang
Ehmann, 2008 dalam Bappenas 2010). bersumber dari desk review Kebijakan HIV
dan AIDS dan Sistem Kesehatan di Indonesia
Di Indonesia, pengakuan terhadap
serta hasil penelitian Integrasi Program
pentingnya peran OMS sudah dimulai sejak
Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
dilakukan upaya penanggulangan HIV dan
Sistem Kesehatan.
AIDS. Mereka berperan untuk mendukung
pemerintah, menjadi penggerak utama dan
berperan aktif dalam perumusan kebijakan,
perencanaan, implementasi serta monitoring
dan evaluasi (KPAN, 2010; 2015). B.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Peran Organisasi Masyarakat
dua pertanyaan penting yang ingin Sipil dalam Penanggulangan
dijawab dalam tulisan ini, adalah (1)
Bagaimana kapasitas OMS di Indonesia
HIV & AIDS
untuk memainkan dan melanjutkan peran
strategisnya dalam penanggulangan HIV Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) memiliki
dan AIDS? (2) Apa saja hambatan dan peran-peran yang strategis, peran tak
dukungan bagi OMS di Indonesia untuk tergantikan atau dilakukan oleh pemerintah.
menjawab tantangan keberlangsungan Hal ini tampak dari respons OMS dalam
peran dalam penanggulangan HIV dan menyikapi situasi epidemi HIV dan AIDS
di wilayahnya, melalui berbagai kegiatan 07
AIDS?
dalam bentuk pendidikan komunitas,
Tulisan ini merupakan kajian lanjutan penyediaan layanan, serta advokasi. OMS
atas hasil penelitian integrasi program menjadi ujung tombak dalam merespons
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam penanggulanan HIV dan AIDS, khususnya
sistem kesehatan dan hasil kajian tentang untuk menjangkau populasi kunci dan
peran OMS dalam penanggulangan HIV kelompok yang sulit dijangkau oleh
dan AIDS. Ruang lingkup yang dikaji dalam pemerintah. Peran ini hanya bisa dilakukan
tulisan ini, adalah (1) karakteristik OMS yang oleh OMS karena mereka sangat memahami
meliputi, struktur kelembagaan, otonomi, karakteristik konstituennya dan muncul
dan daya tanggap OMS; (2) tata kelola OMS dari kebutuhan konstituen. Hal ini semakin
yang terdiri dari manajemen sumber daya, memperkuat anggapan bahwa OMS
pengaturan SDM dan pengaturan keuangan; berperan dalam menjembatani kebutuhan
(3) pengaruh faktor eksternal terhadap tata yang masih belum dapat dipenuhi oleh
kelola OMS yang meliputi pemerintah, MPI, negara. Oleh karenanya, OMS memberi
jaringan serta konstituen; dan (4) bentuk dampak positif dalam hasil pembangunan
layanan OMS. (WHO, 2001). Secara ideal OMS dimaknai
Data yang digunakan terkait dengan sebagai organisasi yang muncul dari ranah
OMS dalam tulisan ini menggunakan data sipil, yang memperjuangkan hak-hak
primer dari 48 OMS di 12 provinsi. Analisis masyarakat sipil sebagai konstituennya
data dilakukan dengan menggunakan dan sebagai agen alternatif pembangunan
pendekatan historis agar mampu menyajikan (Fakih, 2000), sehingga dalam gerakannya
perkembangan bentuk layanan OMS dalam OMS seharusnya bersifat otonom, tidak
dipengaruhi oleh kepentingan tertentu.
191
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
OMS merupakan organisasi yang memiliki penguatan kapasitas bagi OMS, sehingga
daya tanggap tinggi, karena dekat mampu mendorong keberlangsungan
dengan konstituennya sehingga secara organisasi.
cepat mampu memperjuangkan aspirasi
Penelitian ini bermaksud untuk
konstituennya (Hossain et al, 2000). Dalam
mengetahui sejauhmana kapasitas OMS
konteks penanggulangan HIV dan AIDS,
dalam penanggulangan HIV dan AIDS
OMS memainkan peranan penting dalam
dan kemungkinan keberlangsungannya
aspek pencegahan, pengobatan, perawatan,
dalam peran tersebut. Kerangka
dan dukungan dan telah bekerja untuk
konseptual yang dipergunakan menjawab
menciptakan lingkungan sosial, politik,
pertanyaan tersebut diadaptasi dari
hukum, dan keuangan yang diperlukan untuk
kerangka yang dikembangkan oleh
secara efektif menanggapi epidemi (UNAIDS,
USAID, yakni Institutional Development
2011). Hal ini yang mendasari perlunya
Pemerintah
Jaringan
OMS
Mode of
Tata Kelola Kinerja Sustainability
Delivery
Konstituen/
Beneficiaries
MPI
Sumber: diadaptasi dari kerangka konsep Institutional
Development Framework (IDF) dan Organizational Capacity
Assessment Tool (OCAT)
192
Sw asti Se m p u lu r
C.
kerentanan dalam aspek keuangan dan
kecukupan keuangan (VanSant, J. 2000).
Sementara komponen dalam OCAT,
meliputi (1) tata kelola berupa kepengurusan,
Gambaran Organisasi
misi/tujuan, keterlibatan konstituen, Masyarakat Sipil di Indonesia
kepemimpinan, dan status pendirian,
(2) praktik manajemen meliputi struktur, Deskripsi OMS di Indonesia tidak dapat
manajemen informasi, prosedur administrasi, dilepaskan dari sejarah gerakan OMS yang
kepegawaian, perencanaan, pengembangan dipengaruhi oleh konteks politik. Gerakan
program, dan pelaporan, (3) SDM meliputi OMS di Indonesia diawali dari gerakan
kejelasan tugas dan tanggung jawab staf, filantropis yang sudah berkembang jauh
isu keberagaman, hubungan pelaporan, sebelum abad ke-20. Gerakan filantropis 07
dan sistem penggajian, (4) sumber daya dimaknai sebagai perpindahan sumber daya
keuangan meliputi sistem akuntansi, secara sukarela untuk tujuan sedekah, sosial,
penganggaran, sistem inventaris, dan dan kemasyarakatan (Bappenas, 2010). Bab
pelaporan keuangan (5) layanan meliputi ini mendeskripsikan bagaimana karakteristik
keahlian sektoral, pelibatan konstituen dan tata kelola OMS yang bergerak
dan penilaian dampak, (6) hubungan khususnya di bidang HIV dan AIDS yang ada
eksternal meliputi hubungan dengan mitra di Indonesia, berdasarkan hasil temuan dari
dan penerima manfaat, kerjasama antar analisa data yang telah dikumpulkan. Di sini
LSM, public relations dan media, serta juga digambarkan bagaimana pergeseran
(7) keberlangsungan meliputi program, atau perubahan yang terjadi dari beberapa
kelembagaan, pendanaan, dan sumber daya era yang memengaruhi perubahan bentuk
(Booth, W., & Morin, R. 1996). karakteristik maupun tata kelola OMS
sebagai bentuk respons dari perubahan
Secara umum kerangka kapasitas yang terjadi.
OMS mengacu pada kerangka yang
dikembangkan oleh Institutional Di era tahun 1970, fokus pendanaan
Development Framework (IDF), namun bagi kegiatan filantropis pada akhirnya
untuk mengidentifikasi peran kemitraan mengalami pergeseran dari pendanaan
dipergunakan kerangka dari Organizational yang bersifat lokal, swadaya dan gotong
Capacity Assessment Tool (OCAT). Kerangka royong berubah pada pola pendanaan
konseptual yang dipergunakan dalam yang bersumber dari donor. Hal ini terjadi
penelitian ini sebagai hasil adaptasi dari dua seiring dengan masuknya donor asing ke
kerangka tersebut adalah sebagai berikut: Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai
193
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
kawasan intervensi program mereka. Pada berikut: (1) memiliki struktur organisasi yang
era ini, OMS mulai banyak bermunculan di sederhana tidak birokratis; (2) bersifat
Indonesia, yang dimaknai sebagai era baru independen, berorientasi pada kepentingan
dalam gerakan filantropi. Pertumbuhan OMS masyarakat serta konstituennya; dan (3)
sangat cepat dan mengesankan ditinjau bersifat responsif, yakni memiliki daya
dari sisi jumlah, keragaman, dan letak tanggap terhadap kepentingan konstituen.
geografisnya (Fakih, 2000). Pertumbuhan Karakteristik OMS ini membedakannya dari
OMS ini akibat pola modernisasi dan karakteristik organisasi pemerintah yang
perkembangan pembangunan yang bersifat rigid, birokratis, dan tidak memiliki
memunculkan banyak persoalan baru seperti daya tanggap yang cepat (Hossain et al.,
persoalan lingkungan, hak asasi manusia, 2000; Pasha, 2003).
sosial, kesetaraan gender serta kesehatan, di
Oleh karenanya gambaran mengenai
mana persoalan tersebut tidak bisa ditangani
karakteritik OMS di Indonesia dijelaskan
oleh gerakan yang berbasis “kerelawanan”
dalam tiga aspek sebagaimana berikut:
semata yang cenderung pada pendekatan
karitatif, yang identik dengan kegiatan a. Struktur organisasi OMS
berbagi, memberi, dan menyumbang
Tinjauan terhadap struktur organisasi
(Bappenas, 2010). Kondisi ini memunculkan
OMS dapat dijelaskan melalui beberapa
peluang berdirinya OMS yang merespons
aspek yaitu: (1) jenis organisasi; (2)
situasi tersebut dengan pola pendekatan
bentuk organisasi; dan (3) keanggotaan
partisipasi, pemberdayaan masyarakat
organisasi. Dilihat dari jenis organisasi,
serta advokasi. Namun kemunculan OMS
terdapat berbagai bentuk OMS antara
ini tidak banyak mendapatkan dukungan
lain berbentuk yayasan, organisasi sosial,
dan bantuan dari masyarakat, sehingga
perkumpulan, serta jaringan. Organisasi
OMS menggalang pendanaan melalui
berbentuk yayasan dan organisasi sosial
donor-donor internasional, di mana pada
merupakan bentuk organisasi yang
perkembangan selanjutnya pendanaan
paling banyak ditemui, yakni 87% dari
bersumber dari donor ini menjadi sumber
48 OMS, sementara lainnya berbentuk
utama dukungan bagi program yang
perkumpulan dan jaringan. Organisasi
dijalankan oleh OMS. Pertumbuhan OMS
berbentuk yayasan memiliki struktur
semakin banyak dengan terbukanya peluang
organisasi yang relatif lengkap, yakni
pendanaan yang besar, sampai dengan
terdiri dari badan pengawas, pengurus,
tahun 2010, diperkirakan ada 2.293 OMS
staf program dan staf keuangan.
yang aktif dari 11.456 LSM yang terdaftar
Kelengkapan struktur ini tidak ditemui
sebagai LSM yang aktif dan terdaftar di
pada organisasi OMS yang berbentuk
pemerintah Indonesia (Alawiyah, Tuti, 2012).
perkumpulan serta jaringan yang pada
Kegiatan dan pola pendekatan serta tata
umumnya hanya memiliki struktur
kelola OMS secara umum merupakan bagian
organisasi terbatas seperti staf pelaksana
dari semangat kedermawanan (filantropi)
atau staf program saja.
yang sudah muncul sejak lama, dengan
kegiatan yang bersifat sederhana. Organisasi yang berbentuk
perkumpulan ataupun jaringan,
organisasinya bersifat cair dalam artian
1. Karakteristik keanggotaannya mudah berpindah
pada lembaga atau diperbantukan pada
Karakteristis OMS dimaknai sebagai ciri khas
lembaga lain yang tengah menjalankan
dan kualitas OMS, di mana secara ideal
program. Perpindahan ini pada umumnya
digambarkan memiliki karakteristik, sebagai
194
Sw asti Se m p u lu r
195
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
8 Nusa Tenggara Barat Global Fund, KPAN (IPF), KPA, Dinas Sosial
9 Jawa Barat Global Fund, KPAN (IPF), CSR, Dinas Sosial, APBD
196
Sw asti Se m p u lu r
(GF-ATM, World Bank, Asian Development Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2012,
Bank (ADB) dan Indonesia Partnership bahwa dana CSR merupakan komitmen
Funds (IPF). Di masing-masing daerah perseroan untuk berperan serta dalam
OMS memiliki beragam jenis dan jumlah pembangunan ekonomi berkelanjutan
MPI yang mendanai OMS, di mana guna meningkatkan kualitas kehidupan
pendanaan melalui Global Fund hampir dan lingkungan yang bermanfaat,
terdapat di seluruh wilayah penelitian ini. baik bagi perseroan sendiri, komunitas
setempat, maupun masyarakat pada
Hanya sedikit OMS yang dapat
umumnya. Namun sayangnya program
mengakses sumber pendanaan dari
HIV dan AIDS belum dianggap sebagai
pemerintah, meski sudah ada regulasi
isu yang menarik bagi sektor swasta
dan kebijakan yang mengatur tentang
(CSR) .
pembiayaan dari pemerintah untuk OMS.
Misalnya UU No. 39 Tahun 2012 yang “…..Nah sayangnya memang untuk program HIV
dan AIDS dan juga narkoba ini belum menjadi
mengatur tentang pemberian hibah barang yang menarik eee sektor swastanya
dan bantuan sosial yang bersumber untuk untuk mengeluarkan pendanaannya.
dari APBD. Namun demikian, regulasi Karena kan kalau kita berbicara sektor swasta
ini skema-skema CSR di Indonesia agak sedikit
untuk pendanaan yang berkelanjutan lain dengan skema CSR yang ada di luar
serta untuk operasionalisasi OMS belum negeri dimana lembaga-lembaga swasta juga
tersedia. Sumber pendanaan pemerintah memiliki organisasi sosial sendiri. Kemudian
sudah punya interest nya sendiri. Sementara
biasanya tidak dapat dipergunakan kalau di luar CSR ya sudah itu hanya kewajiban
sebagai dana operasional lembaga sosial mereka saja benefit dari perusahaan ya
namun diterimakan sebagai gaji/honor sudah dia sumbangkan ke masyarakat dalam
bentuk mungkin tidak tidak dianya sendiri gitu..”
dalam keterlibatannya pada kegiatan (Wawancara tim peneliti PKMK FK UGM dengan
bersama instansi pemerintah. Berbeda staf LSM di Sumatera Utara, Maret 2015) 07
dengan di Provinsi Papua, terdapat
Dari aspek sumber pendanaan,
pendanaan dari APBD dan dapat
penelitian ini menunjukkan bahwa
dipergunakan untuk fasilitasi kegiatan.
mayoritas OMS masih mengandalkan
“.....itu kami memang mendapatkan dukungan sumber pendanaan dari MPI,
dana selain dari donatur kita, baik dari USAID kami
juga dapat dari KPA Provinsi, dapat juga dari KPA sebagaimana terlihat pada tabel 12.
Kabupaten. Bagaimana cara kita mendapatkan
dukungan dana itu karena kami terlibat dan kami Akses OMS untuk mendapatkan
advokasi kepada mereka dan mereka juga melihat sumber pendanaan tersebut diperoleh
hasil kerja kami dan mereka bersedia untuk melalui pengajuan proposal baik untuk
memberikan dukungan dana dan fasilitas. Tahun 2014
ini dapat dukungan dana sebuah mobil Ford Ranger, sumber pendanaan dari MPI maupun dari
kami dapat seperti itu, itu bentuk dukungan dari dana APBD.
Pemda Jayawijaya” (Wawancara tim peneliti dengan
“…Kalau dukungan pendaaan kita dapet dari
staf LSM di Papua, Maret 2015)
Global Fund dalam tiga tahun terakhir ini juga
Jenis pendanaan lain bagi OMS dapet eee pendanaan APBN ada yang melalui
dinas kesehatan ada yang melalui KPA macem-
adalah bersumber dari perusahaan macem sih mas. Dinas sosial itu ada. Itu....
dalam bentuk Corporate Social eee... cara mendapatkannya kalau dari Global
Responsibility (CSR). Namun pendanaan Fund tentunya dengan proposal. Kalau dengan
SKPD kita biasanya menyusun bareng untuk
dari sektor swasta ini baru bisa diakses rencana APBD di tahun berikutnya” (Wawancara
oleh beberapa OMS di beberapa provinsi, tim peneliti PKMK FK UGM dengan staf LSM di
seperti di Papua, Jawa Barat, Sulawesi Yogyakarta, Maret 2015).
Selatan, Bali, dan Sumatera Utara. Namun demikian, OMS tidak memiliki
Peruntukan dana ini sangat bervariatif keleluasaan menentukan kegiatan
sebagaimana tertuang dalam Peraturan beserta targetnya, karena MPI telah
197
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
memiliki skema program, termasuk target- HIV Cooperation Program for Indonesia
target yang telah ditentukan. Beberapa (HCPI) juga memberikan pendanaan
target yang ditetapkan itu dianggap tidak bagi petugas penjangkau pada populasi
cukup realistis dan terlalu tinggi bagi penasun. Sementara itu Global Fund
OMS. Meskipun OMS sudah ada upaya mendanai hampir sebagian besar
menegosiasikan target tersebut, namun kegiatan penjangkauan pada populasi
biasanya tetap harus mengacu pada kunci waria, LSL, penasun, dan WPS.
skema dan target yang telah ditetapkan.. Sementara sumber pendanaan dari
“….Sesama teman LSM kan mengeluh itu Kemensos dan APBD lebih banyak
sehingga satu PR [Principle Recipient] itu digunakan untuk kegiatan rehabilitasi,
targetnya sampai enam ratus orang satu penguatan kapasitas ekonomi, dan
bulan, itu penduduk di Kabupaten Malang itu
sudah tidak cukup mbak hehehehe. Jadi kami pemberian gizi.
tidak punya independensi walaupun kami e
seluruh LSM di Jawa Timur itu sudah kumpul Situasi ini berbeda dengan OMS
bernegoisasi dengan PKBI tapi kan PKBI tidak dengan sumber pendanaan mandiri yang
bisa merubah target.” (Wawancara tim peneliti pada umumnya melakukan aksinya
PKMK FK UGM dengan staf LSM di Jawa Timur,
Maret 2015) atas dasar kepentingan konstituen dan
sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Ditinjau dari aspek kegiatan, Jenis kegiatan hingga bentuk monitoring
mayoritas OMS melakukan kegiatan dan evaluasi ditentukan sendiri tanpa
yang menyasar pada kegiatan untuk ada intervensi dari pihak mana pun.
kepentingan konstituennya. Penelitian Aksi yang dilakukan adalah aksi yang
ini menunjukkan bahwa sebagian besar bersifat strategis dan berjangka panjang,
OMS bekerja pada populasi kunci. sebagaimana ditunjukkan pada sumber
Kegiatan OMS dapat dibedakan menjadi penelitian yang lain.64
tiga kategori, yakni: (1) promosi dan
pencegahan; (2) pengobatan dukungan Dari dua aspek tersebut dapat
dan perawatan (PDP); dan (3) mitigasi disimpulkan bahwa sebagian besar OMS
dampak. Jenis-jenis kegiatan yang dalam penelitian ini tidak bisa mandiri
dilaksanakan digambarkan lebih jelas karena masih tergantung dananya dari
dalam tabel 13. MPI yang juga memiliki kepentingan
tertentu. Hal ini membatasi ruang
Kegiatan pada tabel di atas gerak OMS sehingga tidak mampu
menunjukkan bahwa sebagian besar lagi memperjuangkan kepentingan
kegiatan yang dilakukan oleh OMS di 12 konstituennya bahkan untuk sekadar
provinsi lebih banyak berfokus pada area menegosiasikan kepentingannya.
promosi dan pencegahan. Sementara
tidak banyak kegiatan yang berfokus
pada area PDP dan mitigasi dampak. c. Daya tanggap OMS
Dikaitkan dengan sumber pendanaan,
fokus pendanaan MPI bagi OMS juga OMS muncul sebagai bentuk respons
lebih banyak pada area promosi dan terhadap permasalahan yang dihadapi
pencegahan. Beberapa contoh kegiatan oleh konstituennya, sehingga OMS
yang didanai MPI antara lain USAID memiliki kewajiban moral untuk
dan Family Health International (FHI) merespons kebutuhan dan kepentingan
yang mengembangkan kerangka kerja konstituennya. Daya tanggap OMS dapat
dalam upaya perubahan perilaku dan
64) Lihat Hasil Penelitian Independensi LSM di Tengah
pemasaran sosial kondom. FHI dan The Kepentingan Donor, Assa, H., Dharmawan, A. H., &
Adiwibowo, S. (2009).
198
Sw asti Se m p u lu r
Pengobatan
Promosi Pencegahan Dukungan & Mitigasi Dampak
Perawatan
dilihat dari jenis kegiatan dan faktor berani. Jangankan keluar, ke keluarga sendiri
aja masih takut. Artinya situasinya masih seperti
yang melatarbelakangi terbentuknya itu latar belakang kita mendirikan yayasan.
OMS. Mayoritas OMS didirikan sebagai (Wawancara tim peneliti PKMK FK UGM dengan
respons terhadap permasalahan pada staf LSM di Bali, Maret 2015)
konstituennya, semisal perlakuan stigma “…Latar belakang pendirian lembaga karena
dan diskriminasi, keterbatasan akses masalahnya waktu itu eee kita melihat
pengetahuannya rendah di eee komunitas LSL
layanan, permasalahan kesehatan dan dan HRM itu pengetahuannya rendah. Kalau
sebagainya. dulu malah HRM itu tidak ada intervensinya
masalahnya. Jadi tidak ada program intervensi
“…jadi ada 5 temen ODHA yang kita kumpul,
kalau kita dulu bilangnya potential client tentang
kita merasa stigmanya cukup tinggi. Artinya
HRM. Gitu. Jadi potential client itu tidak ada
jangankan ngomong ke perusahaan itu nggak
199
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
200
Sw asti Se m p u lu r
201
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
202
Sw asti Se m p u lu r
Sementara dari kajian yang terkait, 66) Laporan penelitian Independensi LSM Di Tengah
Kepentingan Donor oleh Assa, H., Dharmawan, A. H., &
menunjukkan bahwa OMS yang tidak Adiwibowo, S. (2009).
203
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
berbagai daerah. Sebagai sebuah respons peran tersebut tidak bersifat mutlak, karena
nasional, penanggulangan HIV dan AIDS respons HIV di masing-masing daerah
dilakukan melalui upaya pencegahan berbeda.
dan pengendalian HIV dan AIDS yang
lebih intensif, menyeluruh, terpadu, dan
terkoordinasi. Pada tingkat daerah, upaya 1. Pendidikan komunitas sebagai awal
penanggulangan mulai dilakukan untuk gerakan penanggulangan HIV dan AIDS
menanggapi permasalahan yang muncul, oleh OMS.
atau sebagai bagian dari layanan kesehatan
Gerakan awal penanggulangan HIV
umum.
dan AIDS terjadi ketika isu HIV dan
Respons OMS dalam upaya AIDS dianggap belum sebagai prioritas
penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan masalah kesehatan yang tidak harus
melalui berbagai bentuk kegiatan, direspons luas. Tidak mengherankan
seperti ceramah, penyuluhan, konseling, jika kemudian permasalahan ini hanya
pendistribusian alat kontrasepsi, rujukan menjadi tanggung jawab pemerintah dan
dan pemeriksaan IMS, rujukan ARV, serta Kementerian Kesehatan. Di akhir tahun
pengorganisasian. Dari kegiatan yang 1980-an hingga awal 1990-an, mulai
dilakukan oleh OMS ada kecenderungan ada respons kelembagaan dari bidang
bahwa terdapat pola yang sama terhadap keilmuan yang memberikan perhatian
respons awal epidemi, yaitu berfokus pada pada isu HIV, dengan dibentuknya
pendidikan komunitas. Dalam perjalanan pusat kajian HIV di Rumah Sakit Cipto
waktu ada pergeseran fokus sebagai Mangunkusumo (RSCM) dan Fakultas
penyedia layanan dan selanjutnya peran Kedokteran Universitas Indonesia serta
advokasi. Tahapan antar daerah dalam National Institute of Health Research and
merespons epidemi cenderung sama tetapi Development (KPAN, 2014). Kegiatan
waktu di mana tahapan ini dimulai, berbeda survei pada populasi yang dianggap
antara daerah satu dengan daerah yang berisiko mulai dikembangkan, seperti
lain, sesuai dengan introduksi permasalahan survei yang dilakukan di beberapa
HIV di daerah tersebut. Di Bali, respons awal wilayah di Indonesia, seperti di Nusa
epidemi sudah dimulai sejak tahun 1987, Tenggara Barat, Surabaya, Jakarta, Bali,
sementara di Bangka Belitung respons baru Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa
pada tahun 2001 (PKMK, 2015). Perubahan Barat. Kemudian disusul oleh kegiatan
fokus peran yang dilakukan oleh OMS sero-survei pada populasi WPS dan
dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya populasi berisiko lainnya di Sumatera
adalah pola kemitraan dengan MPI. Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat,
Jambi, Lampung, Jakarta, Jawa Tengah,
Oleh karena itu, dalam bab ini
Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
digambarkan bagaimana peran OMS
Kalimantan Utara, Maluku, dan Papua.
dalam penanggulangan HIV hingga saat
ini yang menjelaskan bagaimana bentuk Sementara di level daerah, meski isu
dan peran umum OMS dalam berkontribusi HIV dan AIDS belum menjadi isu prioritas,
terhadap pembangunan sosial termasuk namun sudah ada kegiatan untuk
kesehatan. Informasi yang diperoleh mengintegrasikan isu tersebut ke dalam
digambarkan secara kronologis mulai dari isu kesehatan seksual dan reproduksi
bagaimana peran-peran tersebut muncul, remaja dan perempuan. Perkumpulan
berkembang, dan berkurang seiring dengan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
perkembangan permasalahannya. Kronologi adalah organisasi yang mengawali
204
Sw asti Se m p u lu r
205
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
yang tidak aman dan penggunaan dukungan sebaya bagi ODHA). Pada
bersama jarum suntik yang telah periode ini semakin banyak OMS yang
terkontaminasi virus HIV dalam terlibat dalam penanggulangan HIV dan
penggunaan napza. Pada rentang waktu AIDS sebagai bagian dari perluasan
ini sudah mulai dikembangkan sistem layanan dan semakin banyaknya
survei perilaku dan survei perilaku dukungan pendanaan dari MPI. Beberapa
biologis pada tahun 1996 dan 2007 OMS baru muncul pada periode ini
yang dapat dipergunakan sebagai dasar seperti di Yogyakarta (Kebaya dan Vesta),
pengembangan dan strategi program di Bali (Yakeba, Spirit Paramacita), dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Dari di Sumatera Utara (Galatea, Caritas
survei ini dapat diketahui perilaku Medan). Begitu pula dengan dengan
berisiko serta prevalensi HIV dan IMS OMS yang diinisiasi oleh komunitas baik
yang tinggi terdapat pada populasi kunci, penasun, WPS, LSL, mapun waria, seperti
seperti penasun, WPS dan LSL. Informasi di Bandung (Srikandi Pasundan), NTB
ini sangat bermanfaat sehingga fokus (Salut), Jawa Barat (Abiasa), dll.
kegiatan intervensi mulai beralih pada
Dari uraian ini dapat diartikan
populasi tersebut, yang selanjutnya
bahwa pada era 1994–2007 layanan
disebut sebagai populasi kunci (key
HIV semakin banyak tersedia dan
population). Survei yang dilakukan pada
semakin banyak pula populasi kunci
fase ini mendapatkan dukungan dari
yang terjangkau melalui kegiatan
USAID dan AusAID. Di awal periode
penjangkauan dan pendampingan
ini, program penanggulangan HIV dan
oleh OMS. Layanan HIV menjadi lebih
AIDS mulai lengkap dan terpadu yang
komprehensif dalam artian tidak hanya
diinisiasi oleh HIV and AIDS Prevention
pada aspek pencegahan, tetapi sampai
Programme (HAPP) melalui penguatan
aspek mitigasi dampak. Cakupan
pada komponen perubahan perilaku,
kegiatan, baik penjangkauan dan
dukungan kebijakan, pengendalian HIV
layanan kesehatan, menjadi meningkat
dan IMS, serta perluasan akses dan
pada era ini.
promosi kondom.
Kegiatan OMS di awal periode ini
masih berfokus pada upaya pencegahan, 3. Peran Advokasi.
terutama pada aspek komponen
Seiring dengan semakin luasnya peran
komunikasi perubahan perilaku dengan
penyediaan layanan yang sudah
dukungan pendanaan dari beberapa
diinisiasi pada periode sebelumnya,
MPI. FHI memberikan bantuan untuk
berbagai persoalan muncul seperti tidak
komponen ini karena menjadi bagian
dilibatkannya populasi kunci sebagai
yang penting dari program secara
bagian dari perencanaan program,
keseluruhan. Pengetahuan yang
kebijakan yang tidak mendukung pada
komprehensif menjadi awal untuk
populasi penasun, karena masih terdapat
terwujudnya kesadaran dan perubahan
tindak kekerasan dan kriminalisasi.
perilaku. Dukungan pendanaan
Persoalan ini mendorong munculnya
melalui Global Fund yang dimulai pada
kegiatan advokasi yang dilakukan
tahun 2003 menjadi awal kegiatan
oleh kelompok populasi tertentu untuk
OMS dengan kegiatan yang lebih
memperjuangkan hak mereka.
komprehensif mulai dari penjangkauan,
rujukan dan konseling tes HIV dan IMS, Perjuangan hak atas partisipasi dan
distribusi kondom, PDP (rujukan ARV dan pengakuan eksistensi pekerja seks,
206
Sw asti Se m p u lu r
E.
merupakan salah satu OMS yang terlibat
dalam jaringan tersebut.
Sementara di level daerah
terdapat pula kegiatan advokasi yang Kemitraan dalam OMS
dilakukan bertujuan untuk perubahan
kebijakan, seperti terbentuknya Perda Kemitraan dimaknai sebagai kegiatan
Penanggulangan AIDS di hampir bersama atau bekerja sama antara dua
sebagian besar daerah, seperti di Bali, atau lebih organisasi yang bertujuan untuk
berbagi sumber daya dan tanggung jawab 07
Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, dan Yogyakarta. Advokasi dalam mencapai cita-cita dan tujuan.
dilakukan pula untuk mengurangi Kemitraan merupakan aspek yang penting
hambatan dari kebijakan yang kurang bagi OMS dalam menjalankan kegiatan
mendukung upaya penanggulangan serta perannya. Dalam bab ini akan dibahas
HIV dan AIDS melalui negosiasi atau mengenai kemitraan OMS dengan pemangku
mengompromikan penerapan kebijakan kepentingan yang meliputi pemerintah, MPI,
tesebut, seperti penerapan perda jaringan OMS, serta konstituen.
anti prostitusi yang menghambat
layanan kesehatan bagi populasi
1. Pemerintah
kunci, khususnya di lokalisasi. Salah
satu bentuk hasil dari negosiasi ini Dukungan pemerintah dalam upaya penang
menghasilkan kesepakatan tertulis gulangan HIV dan AIDS yang dilakukan oleh
dalam bentuk MoU antara dinkes dengan OMS bersifat langsung dan tidak langsung.
satpol PP tentang layanan tes HIV Dukungan langsung adalah sokongan
dan pemeriksaan IMS di lokasi, seperti yang dampaknya dapat dirasakan secara
yang terdapat di Yogyakarta. Advokasi langsung oleh OMS, berupa kebijakan
dimaknai sebagai aksi strategis dan pemerintah dalam bentuk peraturan daerah,
terpadu yang dilakukan oleh individu peraturan menteri, kesepakatan bersama
maupun kelompok untuk memberi atau bentuk kebijakan yang lain. Salah satu
masukan terhadap isu ataupun masalah kebijakan pemerintah tentang OMS tertuang
dalam UU No. 17 Tahun 2013 menyebutkan,
67) Untuk lembaga-lembaga yang menjadi anggota PKNI pemerintah memiliki kewajiban melakukan
dapat dilihat di http://korbannapza.org/id/aboutus
207
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
208
Sw asti Se m p u lu r
untuk mendapatkan bantuan anggaran dan masyarakat, yang menghambat ruang gerak
fasilitas dari pemerintah provinsi melalui KPA. OMS untuk melakukan intervensi pada
Di daerah lain pembiayaan yang berasal dari populasi yang terlokasi.
pemerintah bagi OMS muncul dalam bentuk
Dari uraian tersebut di atas dapat
dana hibah. Namun hibah ini tidak dapat
disimpulkan, pemerintah memiliki kewajiban
digunakan untuk pembiayaan operasional,
mendukung upaya yang dilakukan oleh OMS
serta tidak berlangsung terus menerus.
serta berkepentingan untuk memelihara
Kebijakan ini mengacu pada Permendagri
keberlangsungan OMS. Meskipun secara
Nomor 32 Tahun 2011 yang mengatur tentang
regulasi sudah ada, namun dari sisi
pemberian dana hibah dan bantuan sosial
implementasi baik di daerah maupun
yang bersumber dari APBD.
nasional belum dilakukan secara optimal,
Sementara itu, strategi penguatan termasuk yang mengatur secara spesifik
SDM OMS dilakukan dalam bentuk kursus tentang keberlangsungan pendanaan bagi
peningkatan keterampilan. Sebagai contoh OMS. Kajian ini menunjukkan bahwa bantuan
dalam kajian ini bentuk penguatan SDM OMS pendanaan bagi OMS bersifat sementara
dalam peningkatan keterampilan bagi WPS dan berjangka pendek.
serta pemberdayaan ekonomi bagi ODHA,
seperti di Yogyakarta (Kebaya), Sulawesi
Utara (LKKNU), Jawa Timur (Paramitra), 2. Mitra Pembangunan Internasional
Sumatera Utara (GSM), dan Bali (Spirit
Peran pendanaan yang bersumber MPI
Paramacita). Kajian ini menunjukkan pula
dalam penanggulangan HIV dan AIDS
bahwa penguatan manajemen kelembagaan
dimulai sejak pertama kali kasus HIV
justru belum banyak ditemukan. Penguatan
dan AIDS ditemukan di Bali. Seperti yang
seperti ini justru dilakukan secara mandiri 07
telah disebutkan sebelumnya, kemitraan
oleh lembaga.
pemerintah dengan MPI dilakukan melalui
Bentuk kemitraan yang lain tercermin kerjasama bilateral dan melalui kerjasama
pula dalam bentuk koordinasi OMS dengan multilateral. Dana hibah luar negeri untuk
pemerintah, seperti dinas kesehatan, dinas program HIV dan AIDS di Indonesia tidak
sosial dan KPAD, yang merupakan bagian bisa dilepaskan dari peran Global Health
dari kewajiban pemerintah untuk melakukan Initiaves (GHI) yang muncul sebagai respons
peran tersebut. Bahwa pemda wajib atas permasalahan kesehatan, khususnya
mengembangkan kemitraan dengan ormas di negara-negara berkembang. Inisiasi
sebagai bagian dari penguatan kapasitas kesehatan global memberikan manfaat untuk
kelembagaan. penanggulangan penyakit tertentu dengan
memobilisasi sumber dana dalam jumlah
Kebijakan pemerintah yang secara tidak
besar baik privat maupun pemerintah global
langsung dirasakan manfaatnya oleh OMS
(Biesma et al., 2009). MPI mengalokasikan
tecermin melalui perda penanggulangan
dana bagi OMS, mengingat peran OMS yang
AIDS yang menjadikan OMS secara
strategis untuk memperluas cakupan serta
leluasa untuk menjalankan kegiatannya,
mengisi kesenjangan intervensi program
meski perda tersebut tidak secara spesifik
yang tidak dapat dilakukan oleh sektor
mengatur tentang peran OMS. Di sisi yang
pemerintah.
lain, terdapat pula kebijakan yang justru
tidak mendukung peran OMS, yang kontra Global Fund di Indonesia memfokuskan
produktif dengan upaya penanggulangan pada penanggulangan tiga penyakit yakni
HIV dan AIDS, seperti perda larangan AIDS, TB dan malaria yang lebih dikenal
prostitusi dan perda pengaturan penyakit dengan GF ATM. Kerja sama Pemerintah
209
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
Indonesia dengan Global Fund dimulai Australia berfokus untuk penguatan sistem
pada tahun 2003, dengan pendanaan kesehatan melalui penyediaan layanan,
diperuntukkan mendorong perluasan peningkatan SDM kesehatan, serta
program penanggulangan HIV dan AIDS, penguatan sistem informasi kesehatan.
termasuk pengadaan ARV. Global Fund Selanjutnya melalui HCPI menyediakan
merupakan MPI yang mengalokasikan layanan untuk program harm reduction,
dana paling besar dalam program penang melalui pengadaan LASS dan mendorong
gulangan HIV dan AIDS untuk program pen terbentuknya kebijakan pemerintah untuk
cegahan dan PDP dengan total pendanaan program harm reduction.
sebesar USD 292,560,997, dengan dana
Ketiga MPI di atas merupakan MPI
yang diperuntukkan untuk OMS sebesar
yang banyak mendanai program-program
USD 23,806,006.68 Fokus area pendanaan
yang dijalankan oleh OMS. Masing-masing
Global Fund berada di 141 kabupaten/kota
memiliki strategi sendiri untuk menyalurkan
di 32 provinsi untuk memastikan intervensi
dana bantuannya. Namun rata-rata
layanan HIV dan AIDS yang luas.
mereka menggunakan pihak ketiga untuk
Sementara itu, bantuan pendanaan dari pengelolaannya. Pengelola dana USAID dan
USAID di Indonesia untuk bidang kesehatan Pemerintah Australia mengajukan proposal
melalui HAPP, ASA dan SUM diperuntukkan dengan program dan target yang sudah
menurunkan ancaman penyakit menular ditetapkan. Sementara mekanisme hibah dari
dan kematian, karena penyebab yang Global Fund diperoleh melalui pengajuan
dapat dicegah, salah satunya, adalah HIV proposal oleh Country Coordinating
dan AIDS. Program USAID di Indonesia Mechanism (CCM), yang dibentuk pemerintah
meliputi program kesehatan ibu dan anak, berisi perwakilan pemangku kepentingan,
TB, HIV dan AIDS, penyakit yang berpotensi termasuk OMS dan kelompok terdampak.70
pandemi, penyakit tropis yang terabaikan Laporan kegiatan menjadi dasar bagi Global
dan sanitasi, dengan total pendanaan Fund untuk pencairan dan berikutnya.
sebesar USD 60 juta pada tahun 2015.69 Sehingga, mau tidak mau, penerima bantuan
Dukungan pendanaan USAID dialokasikan harus “belajar” memberikan laporan yang
untuk Kementerian Kesehatan berupa baik menggunakan bentuk yang sudah
bantuan teknis mempercepat respons ditetapkan. Efisiensi dan efektivitas menjadi
epidemik melalui kegiatan layanan HIV salah satu ukuran bagi MPI untuk melihat
dan IMS, penelitian, bantuan teknis untuk keberhasilan investasi mereka. Sementara
pengembangan kebijakan seperti layanan ukuran terhadap efisiensi dan efektivitas
HIV komprehensif. Sementara dukungan lebih mudah dilakukan dengan penghitungan
bagi OMS berupa peningkatan kapasitas angka target. Hal ini yang kemudian
teknis dan organisasi untuk memperluas menjadikan penerima bantuan “sibuk”
penjangkauan layanan HIV dan AIDS. dengan pencapaian angka-angka dari
target yang ditetapkan oleh MPI sehingga
Bantuan MPI lainnya yang cukup
mengabaikan kualitas program.
signifikan adalah dari pemerintah Australia
sejak tahun 1995. Bantuan ini tersebut
diberikan melalui Indonesia HIV and AIDS
3. Jaringan OMS
Prevention and Care Project (IHPCP). Di
sektor kesehatan, pendanaan Pemerintah Jaringan diartikan sebagai hubungan
antara orang atau lembaga untuk
68) http://www.theglobalfund.org/en/portfolio/country/
list/?loc=IDN 70) http://www.theglobalfund.org/en/portfolio/country/
69) https://www.usaid.gov/id/indonesia/health list/?loc=IDN
210
Sw asti Se m p u lu r
211
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
arah kegiatan OMS dan peran yang akan Asumsi tersebut memaknai pula bahwa
dimainkan oleh OMS. Sebagian besar OMS tata kelola yang baik berelasi secara
telah melibatkan konstituennya melalui positif terhadap kinerja, efektivitas dan
pertemuan koordinasi hingga terlibat keberlangsungan. Penelitian ini menemukan
dalam penyusunan rencana strategis bahwa peran pemerintah belum tampak
lembaga, seperti di Bali (Yakeba, YCUI, Spirit nyata, terutama untuk penguatan lembaga
Paramacita), Sulawesi Utara (Batamang Plus), dan pelaksanaan kebijakan sebagai bagian
dan Jawa Timur (Orbit, Paramitra). Namun dari keberlangsungan.
pelibatan konstituen belum benar-benar
Sementara itu, melalui pendanaan
dioptimalkan, dalam artian pelibatan mereka
MPI secara nyata menunjukkan perannya
berlangsung secara insidental saja. Misalnya
dalam mempercepat peningkatan dalam
sebagai informan dalam pelaksanaan
pemberian layanan HIV dan AIDS dan
monitoring dan evaluasi atau di awal
memperbesar partisipasi pemangku
perencanaan program saja. Hal ini dialami
kepentingan, termasuk OMS karena posisi
oleh Yakeba (Bali) dan Orbit (Jawa Timur).
strategisnya. Bantuan akan memberikan
manfaat yang optimal, manakala terjadi
relasi yang baik antara penerima dan
212
Sw asti Se m p u lu r
G.
dari aspek finansial, sumber keuangan 07
OMS menjadi sangat rentan dalam hal
keberlangsungan, karena mobilisasi
sumber pendanaan masih terbatas. Kajian Simpulan
ini menunjukkan pula bahwa sedikit OMS
yang memiliki sumber pendanaan yang Penelitian ini bertujuan mengetahui seberapa
banyak dan berkesinambungan atau jauh kapasitas OMS dalam melanjutan
mampu menjaring sumber pendanaan peran strategisnya dalam penanggulangan
bersumber dari pemerintah dan swasta. OMS HIV dan AIDS serta hambatan dan
menjadi lemah tanpa adanya sumber daya dukungan bagi OMS untuk menjawab
material yang mantap yang merupakan tantangan keberlangsungan peran dalam
hal kritis untuk memainkan peranan dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Dari uraian
pengembangan OMS (Reinman, 2006). di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Sebagian besar sumber pendanaan 1. Kapasitas OMS belum memadai, baik
OMS untuk program penanggulangan HIV dari sisi SDM maupun pengelolaan
dan AIDS berasal dari MPI, sementara kelembagaan. Hal ini menjadikan OMS
pendanaan ini tidak dapat memberikan tidak memiliki daya kreatif dan inovatif
jaminan keberlangsungan peran OMS. untuk mengembangkan organisasinya.
Adanya kecenderungan penurunan sumber Penguatan kapasitas individual lebih
pendanaan MPI ini belum diimbangi banyak dilakukan dalam rangka
dengan peran pemerintah pusat dan mendukung keberhasilan program
daerah mengantisipasi hal tersebut. Belum yang ditetapkan oleh MPI. Sementara
optimalnya peran pemerintah pusat dan penguatan kapasitas organisasional
213
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
justru belum mendapatkan perhatian dari sistem monitoring dan evaluasi; dan (4)
OMS. Landasan organisasi yang kuat belum ada koordinasi jaringan yang
menjadi dasar bagi OMS untuk memiliki tersistematis, sehingga menghambat
posisi tawar yang kuat dan membuka kemitraan.
peluang bagi kemandirian OMS untuk
Untuk menjawab tantangan tersebut
mengakses berbagai sumber pendanaan.
maka beberapa rekomendasi yang
2. Sebagian besar OMS memiliki diusulkan, sebagai berikut :
ketergantungan pada sumber pendanaan
1. Mengembangkan sumber-sumber
internasional (MPI) yang memberikan
pembiayaan bagi OMS melalui
pengaruh terhadap perubahan ideologi
penguatan kapasitas organisasi untuk
dan peran yang dilakukan oleh
mengembangkan desain program
OMS. Kepentingan pragmatis yang
yang tidak mengikat, semisal melalui
dilakukan oleh OMS semata-mata untuk
kemitraan dengan sektor swasta.
keberlangsungan lembaga, namun justru
Kemudian menggali dan memobilisasi
membuat mereka terjebak pada proyek
sumber pendanaan lain, baik lokal
yang sifatnya sementara dan kurang
maupun diversifikasi usaha, dengan
memperhatikan permasalahan konstituen
mengembangkan pola fundrising
yang sebenarnya. Kemitraan yang
melalui pengembangan unit usaha
terbangun semata-mata menempatkan
yang mendatangkan keuntungan bagi
OMS sebagai pelaksana proyek yang
lembaga, sehingga tidak tergantung
sudah ditetapkan desain dan target
dengan satu jenis sumber pendanaan
pencapaian programnya oleh MPI. Di sisi
lain, kebijakan pembiayaan dalam bentuk 2. Memperluas layanan, dalam arti bahwa
kemitraan pemerintah dengan OMS program yang dilakukan tidak terjebak
belum diimplementasikan optimal untuk pada kepentingan pragmatis, di mana
pembiayaan yang berkesinambungan, kepentingan kelompok yang lebih besar
terutama untuk pembiayaan program. tidak dapat dikompromikan dengan MPI.
OMS memiliki peran dan kontribusi Oleh karenanya, OMS perlu mengubah
yang besar dalam pembangunan strategi di mana program perlu
sektor kesehatan karena OMS adalah mendapatkan dukungan dan memberikan
bagian dari masyarakat yang dekat manfaat kepada banyak pihak, bukan
dengan masyarakat/konstituen/populasi hanya pada sekelompok tertentu,
kunci, sehingga sangat memahami dengan kata lain: program-program yang
permasalahan dan kebutuhan mereka. dilakukan tidak bersifat eksklusif. Hal ini
dilakukan dengan memperbesar cakupan
dan ruang lingkup OMS. Semakin besar
H.
cakupan dan ruang lingkupnya akan
membuka akses ke lembaga-lembaga
besar, implikasinya adalah memiliki posisi
Rekomendasi tawar dan akses dana.
3. Mengembangkan prinsip kesetaraan
Penelitian ini menunjukkan beberapa hal dalam kemitraan, dalam artian
yang masih menjadi tantangan bagi OMS masing-masing dapat menegosiasikan
untuk menjaga keberlangsungan, yakni (1) kepentingannya. MPI menempatkan OMS
kesulitan untuk mengakses pendanaan; (2) bukan hanya sebagai pelaksana program
kapasitas sumber daya yang tidak memadai; saja, akan tetapi memberikan ruang
(3) keterbatasan dalam mengembangkan
214
Sw asti Se m p u lu r
215
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S
Hossain, F., Ulvila, M., & Newaz, W. (Ed.). (2000). Learning Steiss, A. W. (Ed.). (2003). Strategic management for public
NGOs and the dynamics of development partnership. and nonprofit organizations. CRC Press.
Ahsania Books. VanSant, J. (2003, October). Challenges of local NGO
James, R., & Malunga, C. (2006). Organisational sustainability. In Keynote remarks prepared for the
challenges facing civil society networks in Malawi. USAID/PVC-ASHA Annual PVO Conference (Vol. 14).
KM4D Journal. VanSant, J. (2000). A composite framework for assessing
Lee, K. (2010). Civil society organizations and the functions the capacity of development organizations. Prepared
of global health governance: what role within for USAID. Available online at http://www. g-rap. org/
intergovernmental organizations? docs/ICB/USAid, 202000.
Mendizabal, E., Osborne, D., & Young, J. (2006). Policy World Health Organization. (2001). Strategic alliances: The
engagement: How civil society can be more effective. role of civil society in health. Civil Society Initiative,
Østergaard, L. R., & Nielsen, J. (2005). “ network or not to Discussion Paper, 1.
network: NGO experiences with technical networks”. World Health Organization.(2006) The Essential Role of
Aidsnet, Copenhagen, Denmark. Accessed, 16(03), Civil Society, Chapter 9 in Global 2006 Report. http://
2007. www.who.int/hiv/mediacentre/2006_GR_CH09_
PPH Atmajaya. (2015) Pengaruh Global Health Initiative en.pdf
Terhadap Keberadaan dan Peran Organisasi
Masyarakat Sipil dalam Pengendalian HIV di Web site
Indonesia.
http://www.theglobalfund.org/en/portfolio/country/
Reimann, K. D. (2006). “A view from the top: International list/?loc=IDN
politics, norms and the worldwide growth of NGOs”.
International Studies Quarterly, 50(1), 45-67. https://www.usaid.gov/id/indonesia/health
216
07
217
Penutup
218
yang telah dijawab oleh artikel-artikel Alasan Integrasi
yang disajikan dalam buku ini, yaitu: (1)
‘mengapa integrasi dilakukan?’; (2) ‘apa yang Oleh karena integrasi menuntut kesepakatan
diintegrasikan?’; (3) ‘bagaimana integrasi bisa pengaturan dari berbagai pihak dengan
dilakukan?’ dan (4) ‘model integrasi seperti kepentingan berbeda, maka interaksi antar
apa yang diharapkan?’ Masing-masing artikel pihak tersebut secara normatif menjadi
dalam buku ini telah berupaya menjawab penentu terjadinya integrasi antara
Pe nu t u p
ketiga pertanyaan tersebut dengan program penanggulangan HIV dan AIDS
fokus analisis yang berbeda-beda untuk dengan program kesehatan secara umum.
menyajikan perspektif yang lebih beragam. Bahkan di antara pihak di dalam program
penanggulangan ini juga terdapat interaksi
Secara garis besar, semua artikel yang mendukung atau menghambat
menyoroti bahwa hingga saat ini program pengintegrasiannya ke dalam sistem
penanggulangan HIV dan AIDS masih kesehatan. Dengan demikian respons
bersifat vertikal di mana peran mitra penanggulangan HIV dan AIDS pada
pembangunan internasional, yang bekerja dasarnya merupakan arena kontestasi antar
melalui pemerintah maupun organisasi aktor dan kepentingannya.
non-pemerintah, masih sangat dominan
dalam mengarahkan dan menentukan Ada beberapa kontestasi yang
strategi penanggulangan HIV dan AIDS bisa diidentifikasi dalam respons
di tingkat nasional dan daerah. Arsitektur penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu
penanggulangan HIV dan AIDS yang pertama, kontestasi antara pendekatan
demikian ini telah berimplikasi pada vertikal, yang mengandalkan pengendalian
kapasitas daerah yang terbatas baik pemda teknis yang terpusat dan ketat,
maupun organisasi non-pemerintah untuk dengan pendekatan horizontal, yang
menanggapi epidemi di daerahnya masing- mengandalkan pendekatan multisektoral
masing. Berikut ini disajikan beberapa topik dan terdesentralisasi. Kontestasi ini juga
pokok yang digambarkan oleh artikel- termasuk tentang kepemilikan informasi
artikel dalam buku ini terkait dengan tiga strategis dari program penanggulangan yang
pertanyaan mendasar tentang integrasi. terkonsentrasi pada pemain di tingkat pusat,
sementara pengumpulan datanya dilakukan
di tingkat daerah. Ini menjadi kontestasi
219
Pe n u t u p
yang umum terjadi jika program “... semua artikel menunjukkan situasi yang
tersebut diinisiasi oleh pusat menyoroti diharapkan karena respons
termasuk dalam pendanaannya. bahwa hingga kelembagaan dan kebijakan ini
Pusat yang memegang kendali memadai, hal yang bisa dilihat
saat ini program
administratif sementara daerah dari banyaknya peraturan
penanggulangan
berfungsi sebagai pelaksananya. pemerintah di tingkat daerah
Kontestasi yang juga tampak HIV dan AIDS dan pusat yang menginginkan
jelas adalah pada tingkat masih bersifat terjadinya integrasi. Beberapa
operasional di mana pihak yang vertikal di mana peraturan ini antara lain:
memiliki dana program memiliki peran mitra SRAN, Peraturan Kemenkes
school of thoughts berbeda, pembangunan tentang penanggulangan
yang seringkali bertentangan internasional, yang AIDS dan berbagai pedoman
satu dengan yang lain lantaran intervensi yang menjadi
bekerja melalui
perbedaan asumsi dasar turunannya seperti LKB atau
pemerintah
pendekatan yang dianutnya. SUFA, perda hingga regulasi
Implikasi dari hal ini adalah maupun organisasi yang bersifat administratif (e.g.
terjadinya kebingungan pada non-pemerintah, regulasi yang dikeluarkan oleh
tingkat pelaksana program masih sangat Kementerian Dalam Negeri,
di lapangan karena mereka dominan dalam Bappenas atau Kementerian
terikat dengan pendekatan mengarahkan Keuangan). Sayangnya,
dari sumber pendanaan dari dan menentukan respons kelembagaan dan
program yang dilaksanakan. kebijakan ini tidak didukung
strategi
Akibat beragamnya kontestasi oleh kapasitas implementasi
penanggulangan
ini jelas menjadi tantangan yang memadai, misalnya dalam
terjadinya kesepakatan yang HIV dan AIDS di hal mobilisasi pembiayaan dan
bisa mendorong integrasi tingkat nasional sumber daya manusia, kurang
penanggulangan HIV dan dan daerah. berjalannya koordinasi antar
AIDS ke dalam sistem Arsitektur pihak, tidak sinkronnya sistem
kesehatan secara penuh penanggulangan informasi, ketidaksesuaian
karena, secara ekonomi politik, HIV dan AIDS yang dalam penyediaan, distribusi
komitmen untuk berintegrasi dan pemanfaatan obat dan alat
demikian ini telah
akan menjadi berisiko dan kesehatan atau pelibatan yang
berimplikasi pada
merugikan pihak-pihak yang minimal dari populasi kunci
selama ini berkepentingan dan kapasitas daerah dan masyarakat sipil dalam
menguasai sumber daya dalam yang terbatas baik pengembangan kebijakan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. pemda maupun regulasi.
organisasi non-
Integrasi penanggulangan
HIV dan AIDS ke dalam sistem pemerintah untuk
kesehatan juga memungkinkan menanggapi Dimensi dan Tingkat
terjadi jika ada komitmen politik epidemi di Integrasi
baik di tingkat nasional maupun daerahnya masing- Integrasi kebijakan dan program
daerah, yang tampak dalam masing.” penanggulangan HIV dan AIDS
pengembangan kebijakan ke dalam sistem kesehatan
dan regulasi yang mendukung berfokus pada seberapa jauh
upaya integrasi tersebut. fungsi program HIV dan AIDS
Jika dilihat dari hal ini, maka bisa menyesuaikan dengan
komitmen politik tersebut sudah
220
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
pelaksanaan fungsi sistem kesehatan integrasi, antara lain: (1) Dominannya peran
di daerah tersebut. Hal ini bisa dilihat mitra pembangunan internasional sebagai
dari 18 dimensi pengukuran integrasi sumber pembiayaan pencegahan HIV
yang mencakup fungsi manajemen dan dan AIDS yang menyebabkan rendahnya
regulasi, pembiayaan, pengaturan sumber komitmen secara programatik maupun
daya manusia, penyediaan obat dan alat finansial dari pemerintah pusat dan daerah;
kesehatan, pengelolaan informasi strategis, (2) Lemahnya kewenangan administratif
penyediaan layanan dan pengelolaan dari penanggung jawab kesehatan
partisipasi masyarakat. daerah untuk menentukan perencanaan
dan penganggaran untuk pencegahan
Secara umum terlihat bahwa
HIV dan AIDS; (3) Desentralisasi hanya
pelaksanaan fungsi program
terjadi untuk pelaksanaan kegiatan
penanggulangan HIV dan AIDS berjalan
sementara desentralisasi pembiayaan
paralel dengan pelaksanaan fungsi sistem
belum terjadi karena domain pembiayaan
kesehatan secara umum. Pada program
penanggulangan HIV dan AIDS masih
promosi dan pencegahan, dari 18 dimensi,
urusan pusat (donor dan pemerintah pusat),
ternyata yang menunjukkan tingkat
sehingga mekanisme pembiayaan program
integrasi yang lebih tinggi hanya pada dua
menjadi sulit untuk diintegrasikan dengan
dimensi, yaitu dimensi regulasi dan dimensi
mekanisme pembiayaan kesehatan pada
penyediaan layanan. Tingkat integrasi yang
umumnya di daerah; (4) Lemahnya kapasitas
seperti ini konsisten dengan kecenderungan
perencanaan daerah karena tidak didukung
bahwa respons penanggulangan HIV dan
ketersediaan bukti (evidence) atau informasi
AIDS bersifat normatif, melalui respons
strategis di tingkat daerah dan kapasitas
Pe nu t u p
kelembagaan dan produksi kebijakan dari
SDM untuk perencanaan yang masih lemah;
pada respons yang bersifat implementatif.
(5) Adanya karakteristik dan mekanisme
Sementara itu pada program perawatan
pengelolaan SDM di program promosi dan
dan pengobatan ARV, integrasi yang lebih
pencegahan yang berbeda dari sistem
tinggi pada tingkat penyediaan pelayanan
kepegawaian yang ada di dalam sistem
karena, pada dasarnya, berbagai program
kesehatan, sehingga menjadi tantangan
penanggulangan HIV dan AIDS saat ini
besar dalam pengaturan, pembiayaan
bertumpu pada layanan kesehatan dasar,
dan memperkuat standar kompetensinya;
dengan puskesmas dan dinkes sebagai
(6) Munculnya berbagai kebijakan
ujung tombak pelayanan kesehatan
kontraproduktif terhadap HIV dan AIDS
masyarakat. Meski demikian, integrasi pada
seperti perda ketertiban umum, anti maksiat
tingkat layanan ini tidak berarti bahwa
atau prostitusi, pariwisata atau kebijakan
mereka memiliki kewenangan mengelola
penutupan lokalisasi/lokasi transaksi seks;
secara teknis dan administratif program yang
dan (7) Lemahnya partisipasi publik di
dikelolanya, karena desain dan manajemen
daerah dalam pengembangan kebijakan dan
program sudah ditentukan oleh pusat.
program di wilayahnya.
Integrasi tidak terjadi baik pada
program pencegahan maupun perawatan
dan pengobatan ARV pada fungsi-fungsi Hasil Integrasi
pembiayaan, penyediaan obat dan alat
kesehatan, pengelolaan sumber daya Artikel yang disajikan dalam buku ini belum
manusia, informasi strategis dan partisipasi memberikan simpulan yang konsisten
masyarakat. Beberapa hal yang diduga terhadap pengaruh integrasi terhadap
menjadi faktor yang menghambat terjadinya efektivitas program penanggulangan HIV
dan AIDS, baik intervensi promosi dan
221
Pe n u t u p
222
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
Pe nu t u p
penanggulangan epidemi HIV baik dari sisi
yang terintegrasi di tingkat layanan dasar efektivitas maupun keberlanjutannya.
(primer). Layanan primer dipilih sebagai
model layanan, karena dalam sejarahnya,
peran layanan primer di Indonesia, terutama
Rekomendasi
puskesmas dalam memberikan pelayanan
yang melibatkan masyarakat dan sektor Simpulan di atas telah menunjukkan integrasi
non-kesehatan telah berjalan cukup baik kebijakan dan program penanggulangan
dan berhasil memicu munculnya beberapa HIV dan AIDS belum sepenuhnya terwujud
best practice kerjasama lintas sektor dan dalam fungsi-fungsi utama sistem
integrasi layanan. Sementara itu, intervensi kesehatan. Dinamika faktor eksternal yang
Pencegahan Melalui Transmisi Seksual tampak dalam interaksi antar aktor dalam
(PMTS) dipilih sebagai model layanan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat
yang terintegrasi berdasarkan strategisnya nasional maupun daerah, komitmen politik
intervensi ini dalam menjawab tantangan yang berubah-ubah, hukum dan regulasi
epidemi HIV di Indonesia. yang seringkali berbenturan dengan
kepentingan penanggulangan HIV dan
Berdasarkan metode delphi dalam
AIDS serta karakteristik dari permasalahan
pengembangan modelnya maka diperoleh
HIV dan AIDS sendiri yang multisektoral,
kesepakatan bahwa komponen PMTS,
ternyata menjadi faktor-faktor penting yang
mencakup (1) pengadaan dan distribusi
perlu dipertimbangkan untuk mewujudkan
kondom; (2) manajemen IMS termasuk
integrasi tersebut. Konsep integrasi yang
sirkumsisi; (3) pencegahan berbasis ART
sudah dicita-citakan dalam berbagai
termasuk perluasan tes HIV; (4) penguatan
dokumen penanggulangan HIV dan AIDS
peran lintas sektor di tingkat layanan
selama ini ternyata masih bersifat normatif
primer; dan (5) pendidikan kesehatan dan
223
Pe n u t u p
224
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
Pe nu t u p
terhadap pelaksanaan kegiatan digunakan untuk melaksanakan
yang tercermin dalam pembiayaan, kegiatan penanggulangan HIV dan
penyediaan sumber daya manusia, dan AIDS di wilayah kerja perusahaan
infrastruktur. Regulasi ini bisa diwujudkan dalam sektor-sektor terkait menjadi
dalam kebijakan teknis yang dikeluarkan sumber yang tidak bisa diabaikan.
oleh Kepala Dinas Kesehatan atau
2. Memperkuat kapasitas dalam
Kepala KPA (Bupati/Wakil Bupati) jika
perencanaan dan penganggaran
menyangkut lintas sektor.
penanggulangan HIV dan AIDS sesuai
dengan Layanan Komprehensif dan
Berkelanjutan (LKB).
B. Fungsi pembiayaan
Perencanaan dan anggaran
1. Mengintegrasikan sumber-sumber
penanggulangan HIV dan AIDS selama
pendanaan penanggulangan HIV dan
ini didominasi oleh pusat (pemerintah
AIDS sebagai bagian sumber-sumber
pusat atau MPI), sehingga kapasitas
pembiayaan kesehatan pada umumnya.
daerah melakukan perencanaan menjadi
• Sumber pembiayaan sangat terbatas. Untuk itu, penguatan
penanggulangan HIV dan AIDS kapasitas dalam perencanaan dan
yang dikelola secara paralel penganggaran menjadi hal mendasar
dengan pembiayaan kesehatan bila mengharapkan pemda mampu
telah menimbulkan dampak mengalokasikan dan mendistribusikan
pada pengelolaan program yang dana yang tersedia untuk kebutuhan
paralel dengan program kesehatan penanggulangan HIV dan AIDS sesuai
secara umum. Untuk mengurangi dengan konsep LKB. Secara politik, hal
225
Pe n u t u p
ini akan terjadi jika ada regulasi yang status kependudukan mereka yang
mampu memberikan payung hukum dilematik.
bagi daerah untuk mengintegrasikan
• Sementara itu, upaya promosi dan
penganggaran penanggulangan HIV
pencegahan HIV diharapkan bisa
dan AIDS ke dalam anggaran sektor
menjadi bagian dari skema pelayanan
kesehatan daerah. Untuk itu, kebijakan
yang didanai secara rutin oleh
pemerintah pusat, melalui Bappenas,
puskesmas dari bidang kesehatan
Kementerian Keuangan, Kementerian
masyarakat, melalui skema BOK
Dalam Negeri dan Kementerian
atau kapitasi JKN. Oleh karena
Kesehatan, menjadi kunci mendukung
kelompok sasaran penanggulangan
upaya yang demikian.
HIV dan AIDS merupakan komunitas
3. Perluasan skema JKN untuk perawatan marjinal dan memiliki karakteristik
kesehatan ODHA dan skema pendanaan yang berbeda dengan masyarakat
kesehatan masyarakat untuk promosi umum, maka perlu ada lembaga
dan pencegahan penularan HIV dan mitra, dalam hal ini adalah organisasi
AIDS. masyarakat sipil (OMS), yang secara
khusus menjangkau mereka dengan
• Meski layanan untuk ODHA yang
pesan-pesan pencegahan dan
terkait infeksi opertunistiknya saat
rujukan ke layanan kesehatan. Untuk
ini bisa ditanggung oleh JKN, tetapi
mekanisme pembiayaan layanan
untuk obat dan tes diagnostiknya
perlu melakukan terobosan dengan
belum termasuk dalam jaminan
mekanisme kontrak pelayanan
tersebut. Obat ARV masih bagian
(contracting out). Untuk itu diperlukan
dari program yang disediakan
payung hukum yang memungkinkan
gratis oleh Kementerian Kesehatan
kontrak pelayanan ini bisa dilakukan
dan tes diagnostik masih melalui
di tingkat daerah.
pembayaran yang bersifat out
of pocket. Untuk meningkatkan
cakupan program dan efisiensi
C. Fungsi Pengelolaan Informasi Strategis
anggaran, direkomendasikan agar
perawatan dan pengobatan HIV bisa 1. Penguatan ketersediaan informasi
sepenuhnya menjadi skema manfaat strategis dalam penanggulangan AIDS
dari JKN, termasuk tes diagnostik di tingkat daerah sebagai bagian dari
dan obat-obatan terkait dengan desentralisasi kesehatan
perawatannya. Perlu diperhatikan
Pemda harus memiliki sistem mengelola
juga bahwa sasaran dari program
informasi terkait situasi epidemik, data
penanggulangan HIV dan AIDS
program, dan data hasil, atau dampak,
adalah populasi yang secara sosial
agar mampu membuat perencanaan
memiliki hambatan untuk memiliki
dan penganggaran program yang
identitas formal (KTP atau Kartu
sesuai dengan kebutuhan daerah.
Keluarga), misalnya waria, perempuan
Saat ini informasi strategis tersebut
pekerja seks atau penasun.
sepenuhnya dikelola oleh pusat, baik
Perlu ada skema di JKN yang
pemerintah maupun mitra pembangunan
memberikan ruang bagi kelompok
internasional. Untuk itu, perlu ada
ini untuk bisa menjadi peserta
kewenangan dan keleluasaan bagi
JKN dengan mempertimbangkan
pemda mengumpulkan, memproduksi,
memanfaatkan, dan mendiseminasikan
226
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
Saat ini, Sistem Informasi HIV dan Penyediaan logistik farmasi dan alat
AIDS (SIHA) telah digunakan sebagai kesehatan untuk program perawatan
platform bagi sistem informasi dan pengobatan sesuai dengan
penanggulangan AIDS, khususnya sistem penyediaan logistik farmasi
oleh sektor kesehatan. Sementara ada dan alat kesehatan pada umumnya
pula sistem informasi penanggulangan diatur dalam PP No. 72/1998. Tetapi
AIDS yang dikembangkan oleh KPAN, sebaliknya, regulasi penyediaan dan
Principal Recipient dari GF untuk sektor distribusi logistik dan alat kesehatan
komunitas dan MPI yang memiliki dalam program pencegahan seperti
program pelayanan di lapangan. Meski kondom, pelicin, dan alat suntik steril
telah dilakukan upaya koordinasi antar mengikuti aturan yang ditetapkan
Pe nu t u p
sistem informasi tersebut, tampaknya oleh KPAN untuk daerah yang menjadi
masing-masing berjalan paralel dan wilayah kerja MPI. Alat pencegahan
sulit memperoleh informasi yang yang didanai oleh MPI (GF ATM dan
menyeluruh tentang situasi kinerja Pemerintah Australia melalui DFAT)
penanggulangan AIDS di Indonesia. diadakan secara terpusat oleh KPAN
Selain itu, permasalahan kelengkapan, dan distribusikan ke KPAD kemudian
keakuratan, dan ketepatan waktu diteruskan ke fasyankes dan LSM.
masih menjadi kendala utama bagi Untuk itu, perlu adanya kesepakatan
sistem informasi yang ada. Demikian tentang pentingnya penyediaan dan
pula, pengelolaan sistem informasi distribusi logistik dan alat kesehatan bagi
ada di tingkat pusat, sehingga fungsi program pencegahan ini dikembalikan
daerah lebih sebagai pengumpul data. ke regulasi yang berlaku, di mana sektor
Sebagai dasar melakukan optimalisasi kesehatan yang menjadi penanggung
sistem informasi yang ada, maka jawab untuk menjamin keberlangsungan
sinkronisasi alur pelayanan dan data proses penyediaan dan distribusinya
menjadi penting dilakukan untuk di masa depan. Kesepakatan ini
memastikan kelengkapan, keakuratan, menjadi sangat penting, karena hingga
dan ketepatan waktu pengisian data saat ini ada keyakinan bahwa model
bagi sistem informasi tersebut. Hal distribusi tersebut merupakan model
ini hanya dimungkinkan jika pemda, yang praktis dan efektif dalam proses
terutama dinkes diberi kewenangan pengadaan dan distribusinya di saat
dan keleluasaan. Selain itu, dengan sektor kesehatan cenderung menghindari
kewenangan tersebut, pemda memiliki peran bagi pengelolaan penyediaan
basis data yang lebih lengkap yang dan distribusi material pencegahan ini.
227
Pe n u t u p
228
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
Pe nu t u p
masyarakat sipil. lainnya yang terkait, seperti OMS, kader
atau masyarakat umum dalam upaya
• Membuat layanan yang terintegrasi
memberikan dukungan sosial dalam
di tingkat frontline ini tidak hanya bisa
penyediaan layanan HIV di masyarakat.
dipandang sebagai sebuah integrasi
yang bersifat teknis, tetapi juga akan
mencakup pengembangan kapasitas
G. Fungsi Penggerakan Partisipasi
dalam merencanakan dan mengelola
Masyarakat
program, advokasi, dan mobilisasi sumber
daya yang dibutuhkan untuk penyediaan 1. Keterlibatan bermakna populasi kunci
layanan. Hal ini juga dilakukan dengan dan organisasi masyarakat sipil dalam
cara mengurangi kepentingan lembaga penanggulangan AIDS menjadi dasar
dan mengedepankan kepentingan untuk menuju zero diskriminasi.
program yang didasari oleh kepentingan
Meski keterlibatan organisasi populasi
alokasi dana donor dibanding pemikiran
kunci dan masyarakat sipil saat ini
mana program yg lebih efektif. Untuk
sangat tinggi dalam penanggulangan
itu, diperlukan pengembangan sebuah
AIDS. Namun demikian, keterlibatan
regulasi kabupaten/kota yang mengatur
ini lebih tampak pada proses
kerangka kerja yang memungkinkan
pelaksanaan program dari pada dalam
perencanaan program penanggulangan
pengembangan program, termasuk
HIV dan AIDS yang mampu
penentuan agenda strategis dalam
menyelaraskan berbagai layanan
kebijakan dan program penanggulangan
pencegahan dan perawatan HIV yang
AIDS. Hal ini semakin tampak jelas pada
di dalamnya, termasuk sistem informasi,
tingkat daerah, OMS tidak memiliki akses
keuangan, dan tata laksana program dari
229
Pe n u t u p
230
231
Pe nu t u p
Ko n t r i butor
232
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a
P ro f i l
dia bergabung di Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK),
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, sebagai peneliti
dalam penelitian Kebijakan dan Program HIV dan AIDS dalam
Kerangka Sistem Kesehatan di Indonesia, yang didanai oleh DFAT.
233
Ko n t r i butor
234
Diskusi tentang integrasi ini menjadi sangat relevan karena konsep integrasi telah
dijadikan strategi utama untuk peningkatan efektivitas respon HIV & AIDS, pelibatan
pemerintah daerah yang lebih besar dan menjamin keberlanjutan program pasca
semakin berkurangnya dukungan teknis dan finansial dari inisiatif kesehatan global
di masa-masa yang akan datang. Empat pertanyaan substantif analisis integrasi
menjadi dasar bagi pengembangan berbagai tulisan dalam buku ini (1) ‘mengapa
integrasi dilakukan?’; (2) ‘apa yang diintegrasikan?’; (3) ‘bagaimana integrasi bisa
dilakukan?’; dan (4) ‘seperti apa model integrasi yang diharapkan?’. Analisis difokuskan
pada intervensi spesifik (pencegahan dan perawatan HIV) yang dilaksanakan pada
tingkat kabupaten/kota dengan pertimbangan bahwa penanggulangan HIV & AIDS
merupakan urusan wajib yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dalam rangka
pemenuhan pelayanan dasar bagi masyarakat.
Buku ini menunjukkan bahwa saat ini program penanggulangan HIV & AIDS masih bersifat
vertikal dan tidak terintegrasi, di mana peran mitra pembangunan internasional sebagai
bagian dari inisiatif kesehatan global yang bekerja melalui pemerintah maupun organisasi
non-pemerintah masih sangat dominan dalam mengarahkan dan menentukan strategi
penanggulangan HIV & AIDS di tingkat nasional dan daerah. Arsitektur penanggulangan
HIV & AIDS yang demikian ini telah menyebabkan lemahnya kapasitas pemerintah
daerah maupun organisasi non-pemerintah dalam menanggapi epidemi di daerah
masing-masing. Dinamika faktor eksternal yang tampak dalam interaksi antar aktor dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional maupun daerah, komitmen politik yang
berubah-ubah, hukum dan regulasi yang seringkali berbenturan dengan kepentingan
penanggulangan HIV & AIDS serta karakteristik dari permasalahan HIV & AIDS sendiri
yang multi sektoral ternyata menjadi faktor-faktor yang belum dipertimbangkan dalam
upaya untuk mewujudkan integrasi tersebut. Sebuah model integrasi dalam program
pencegahan HIV melalui transmisi seksual (PMTS) yang mempertimbangkan karakteristik
dari permasalahan, kewenangan dan kapasitas daerah dan tingkat integrasinya dengan
sistem kesehatan yang berlaku telah dirokemendasikan oleh buku ini.