Anda di halaman 1dari 261

Kebijakan & Program HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Penyusun
Ignatius Praptoraharjo; Satiti Retno Pudjiati; Ita Perwira; Swasti Sempulur;
M. Suharni; Hersumpana; Eviana Hapsari Dewi

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD)


Kebijakan dan Program HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia/
Ignatius Praptoraharjo; Satiti Retno Pudjiati; Ita Perwira; Swasti Sempulur; M.
Suharni; Hersumpana; Eviana Hapsari Dewi

Yogyakarta: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran


Universitas Gadjah Mada (PKMK FK UGM)
xxiv + 234 halaman
ISBN 978-602-0857-18-3

Cetakan pertama, September 2016


1. Kebijakan 2. HIV dan AIDS 3. Indonesia 4. Sistem Kesehatan
I. Kebijakan dan Program HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia

Desain buku:
Kotasis Kamar Desain 3x3x3

Afiliasi penerbitan dengan:


INSISTPress
Jl. Raya Kaliurang Km. 18
Dusun Sambirejo, Dukuh Sempu, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia
Telp/SMS: +62851 0259 4224 | Telp/Fax: +62274 896 403
Email: press@insist.or.id

Disusun dengan dukungan dari Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT),
Pemerintah Australia melalui PKMK FK UGM. Tulisan yang diungkapkan dalam
laporan ini tidak mencerminkan pandangan Pemerintah Australia, maupun
Pemerintah Indonesia.

Laporan ini bisa dikutip, disalin, dan digandakan dengan menyebutkan


sumbernya dan dipergunakan untuk kepentingan pendidikan masyarakat, bukan
untuk kepentingan komersial.

Sitasi yang disarankan:


PKMK FK UGM. 2016. Kebijakan dan Program HIV dan AIDS dalam Sistem
Kesehatan di Indonesia.

Copyright @2016
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
D a ft a r Is i

Daftar Isi

Daftar Tabel viii Daftar Akronim &


Daftar Gambar ix Singkatan x

01. 02. 03.


Tinjauan Historis Kebijakan dan Program Pembiayaan Program
Kebijakan dan Program Pencegahan HIV di Pencegahan HIV di
Penanggulangan HIV & Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia - 88
AIDS di Indonesia - 8 Indonesia - 46
A. Pendahuluan - 89
A. Pendahuluan - 9 A. Pendahuluan - 47 B. Pembiayaan Program Pencegahan
B. Perkembangan Kebijakan B. Metode - 51 HIV dan AIDS - 94
Penanggulangan HIV dan AIDS di C. Situasi Program Pencegahan HIV C. Integrasi Pembiayaan Program
Indonesia - 13 dan AIDS - 51 Pencegahan HIV dan AIDS ke
C. Kebijakan Tata Kelola - 17 dalam Skema Pembiayaan
D. Desentralisasi dan Pelaksanaan Kesehatan - 101
D. Kebijakan Teknis dalam Kebijakan dan Program HIV dan
Penanggulangan HIV dan AIDS - AIDS di Daerah - 58 D. Diskusi - 107
28 E. Integrasi Program Pencegahan E. Simpulan - 110
E. Kontestasi dalam HIV dan AIDS ke Sistem F. Rekomendasi - 111
Penanggulangan HIV dan AIDS - Kesehatan di Tingkat Kabupaten/
32 Kota - 67
F. AIDS sebagai Permasalahan
Multisektoral - 35
F. Tantangan dalam Melakukan
Integrasi Program Pencegahan - 04.
G. Tantangan Integrasi - 39 76

H. Simpulan - 41 G. Memperkuat Kapasitas Daerah Layanan Antiretroviral


I. Rekomendasi - 42
dalam Penanggulangan HIV dan Treatment (ART) Pada
AIDS - 80
Fasilitas Layanan
H. Simpulan - 83
Kesehatan Primer di
Indonesia - 116
A. Pendahuluan - 122
B. Metode - 122
C. Tingkat Integrasi Layanan ART
di Layanan Kesehatan Primer
(Puskesmas) - 124
D. Efektivitas Layanan ART - 133
E. Diskusi - 134
F. Simpulan - 136
G. Rekomendasi - 137

vi
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

Pengantar Kementrian Kesehatan xiii Ringkasan Eksekutif xviii


Pengantar xiv Pendahuluan 1

05. 06. 07.


Pusat Kesehatan Model Pencegahan Melalui Peran Organisasi
Reproduksi (PKR): Model Transmisi Seksual di Masyarakat Sipil (Oms)
Awal Layanan Terintegrasi Tingkat Pelayanan Primer Dalam Penanggulangan HIV
Pencegahan Melalui Puskesmas dan Jejaringnya & AIDS - 188
Transmisi Seksual (PMTS) - 164
A. Pendahuluan - 189
di Tingkat Kabupaten - 142
A. Pendahuluan - 165 B. Peran Organisasi Masyarakat Sipil
A. Situasi HIV dan AIDS dan Respons B. Kerangka Kerja Penyusunan dalam Penanggulangan HIV dan
Pemerintah Daerah Merauke - 143 Model - 166 AIDS - 191

Da f t a r Is i
B. Inisiasi PKR sebagai Unit Penyedia C. Pendekatan Pengembangan C. Gambaran Organisasi Masyarakat
Layanan PMTS di Kabupaten Model (metode) - 169 Sipil di Indonesia - 193
Merauke - 148 D. Desk Review Model Integrasi D. Kegiatan OMS pada era
C. Tata Kelola dan Mobilisasi Sumber PMTS ke Dalam Layanan Primer - penanggulangan HIV & AIDS -
Daya - 150 170 203

D. Operasionalisasi PMTS di E. Pengembangan Konsensus Model E. Kemitraan dalam OMS - 207


Kabupaten Merauke - 152 Melalui Studi Delphi - 172 F. Keberlangsungan Peran OMS -
E. Tingkat Integrasi Layanan PMTS F. Usulan Model PMTS di Tingkat 212
Kabupaten Merauke ke Sistem Layanan Primer Puskesmas - 173 G. Simpulan - 213
Kesehatan - 154 G. Simpulan - 185 H. Rekomendasi - 214
F. Efektivitas PMTS di Merauke - 156
G. Diskusi - 158
H. Simpulan - 161
I. Rekomendasi - 162

Penutup - 218 Kontributor - 232

vii
D a ft a r Tabe l

Daftar Tabel

20 75 184
Tabel 1. Distribusi dana untuk Tabel 6. Ringkasan Tingkat Integrasi Tabel 11. Integrasi Unsur Sub-
program HIV dan AIDS tahun 2011 Program PMTS dan LASS ke Dalam Sistem Upaya Kesehatan Layanan
dan 2012 Sistem Kesehatan Berdasarkan PMTS dengan Sub-Sistem Upaya
Dimensi-dimensi Subsistem Kesehatan Puskesmas Saat Ini dan
Model yang Diusulkan

24 98
Tabel 2. Perbandingan nomenklatur
tenaga kesehatan yang tersedia Tabel 7. Alokasi Dana Pencegahan
196
dengan kebutuhan tenaga untuk HIV dan AIDS Tabel 12. Sumber Pendanaan OMS
penanggulangan HIV dan AIDS untuk Penanggulangan HIV dan AIDS

100
36 Tabel 8. Pembelanjaan LASS
199
Tabel 3. Daftar kebijakan Tabel 13. Jenis Kegiatan OMS
Kemenkokesra terkait respons HIV
dan AIDS sebagai tanggung jawab
130
Ta b e l

multisektoral
Tabel 9. Jumlah layanan ARV
208
mandiri di DKI Jakarta Tabel 14. Peran OMS dalam

52 Penanggulangan HIV dan AIDS

Tabel 4. Prevalensi kasus AIDS


tahun 2015 di provinsi wilayah
168
penelitian Tabel 10. Kategori Integrasi Unsur
Sub-Sistem Upaya Kesehatan pada
Definisi Level Integrasi Layanan

57 Kesehatan Menurut Continuum of


Integration
Tabel 5. Prevalensi, program dan
kinerja Program Pencegahan HIV
dan AIDS pada LSL, WPS, dan
Penasun

viii
D af tar G am bar

Daftar Gambar

10 119 144
Gambar 1. Sepuluh provinsi yang Gambar 8. Alur perawatan ARV dan Gambar 14. Proporsi Persentase
melaporkan jumlah kasus HIV tempat layanannya Kasus HIV dan AIDS di Kabupaten
terbanyak tahun 2015 Merauke

123
21 Gambar 9. Kerangka Penilaian
146
Gambar 2. Perbandingan Kontribusi Tingkat Integrasi di Layanan Gambar 15. Gambaran kasus HIV,
GF dengan Kontribusi Pemerintah Kesehatan Primer Kasus AIDS dan Meninggal Akibat
Pusat dan Daerah, 2009-2012 AIDS di Merauke

125
30 Gambar 10. Jenis layanan HIV dan
149
Gambar 3. Proporsi Penasun yang AIDS yang dibutuhkan di layanan Gambar 16. Koordinasi PKR dan
Berbagi Jarum dalam Minggu kesehatan primer Stakeholder Terkait PMTS
Terakhir Berdasarkan Kota pada

Ga mb a r
Tahun 2004, 2007, 2011

128 157
50 Gambar 11. Kerangka kerja dan aktor
yang terlibat dalam LKB
Gambar 17. Kecenderungan
penggunaan kondom pada
Gambar 4. Kerangka Konseptual kelompok resiko tinggi di Merauke
Tahun 2008-2011

133
92
Gambar 5. Kerangka Konseptual
Gambar 12. Cascade Program ART di
Indonesia sampai dengan Desember
159
Pembiayaan Kesehatan/AIDS 2015 Gambar 18. Jumlah klien di KTS/KTIP
dan HIV positif tahun 2007-2011

96 139
Gambar 6. Proporsi Kontribusi Gambar 13. Komponen dan
192
Pemerintah untuk Pencegahan Alur Layanan Kesehatan yang Gambar 19. Kerangka Konseptual
Terintegrasi Peran OMS dalam Penanggulangan
HIV dan AIDS

102
Gambar 7. Skema Pembiayaan
Program Pencegahan HIV dan AIDS

ix
D a ft a r A k r onim & S ingk atan

Daftar Akronim & Singkatan

ADB Asian Development Bank DfID The Department KDS Kelompok Dukungan
ADD Alokasi Dana Desa for International Sebaya
Development Kemenkes Kementerian Kesehatan
AIDS Acquired
Immunodeficiency Dinkes Dinas Kesehatan Kepmenkes Keputusan Menteri
Syndrome Dinsos Dinas Sosial Kesehatan
AIPH The Australia–Indonesia DKAI Dana Kemitraan AIDS Kepres Keputusan Presiden
Partnership for HIV Indonesia KIA Kesehatan Ibu dan Anak
APBN/D Anggaran Pendapatan DKI Daerah Khusus Ibukota KIE Komunikasi, Informasi
dan Belanja Nasional/ Fasyankes Fasilitas dan Layanan dan Edukasi
Daerah Kesehatan KPA (N/P/D) Komisi Penanggulangan
ART Antiretroviral Treatment FHI Family Health AIDS (Nasional/Provinsi/
ARV Antiretroviral International Daerah)
AS Amerika Serikat FK Fakultas Kedokteran KPP Komunikasi Perubahan
ASA Aksi Stop AIDS FKTP Fasilitas Kesehatan Perilaku

Bappeda Badan Perencanaan Tingkat Pertama KPS Kartu Papua Sehat


Pembangunan Daerah GF Global Fund KTIP Konseling dan Tes HIV
Bappenas Badan Perencanaan GF-ATM Global Fund AIDS, TB atas Inisiatif Pemberi
Pembangunan Nasional
 dan Malaria Pelayanan Kesehatan

BKKBN Badan Kependudukan GWL-INA Jaringan Gaya Warna KTP Kartu Tanda Penduduk
dan Keluarga Berencana Lentera - Indonesia KTS Konseling Tes Sukarela
Nasional HAART Highly Active LAJSS Layanan Jarum dan Alat
BLUD Badan Layanan Umum Antiretroviral Therapy Suntik Steril
Daerah HAM Hak Asasi Manusia Lapas Lembaga
BNN Badan Narkotika HAPP HIV/AIDS Prevention Pemasyarakatan
Nasional Program LASS Layanan Alat Suntik
BOK Bantuan Operasional HCPI The HIV Cooperation Steril
Kesehatan Program for Indonesia LBH Lembaga Bantuan
BP2KB Badan Pemberdayaan HIV Human Hukum
Perempuan dan Keluarga Immunodeficiency Virus LBT Lelaki Berisiko Tinggi
Berencana
HPTN HIV Prevention Trial LKB Layanan Komprehensif
BPJS Badan Penyelenggara Network dan Berkelanjutan
Jaminan Sosial
HR Harm Reduction LSL Lelaki berhubungan seks
BPS Badan Pusat Statistik dengan lelaki
ICA Investment Case Analysis
CATS Community Access to LSM Lembaga Swadaya
Treatment Services Study IDF Institutional Development
Framework Masyarakat
CCM Country Coordinating MDGs Millenium Development
Mechanism IHPCP Indonesia HIV/AIDS
Prevention and Care Goals
CFR Case Fatality Rate Project Mendagri Menteri Dalam Negeri
CSR Corporate Social IMS Infeksi Menular Seksual MK Manajer Kasus
Responsibility
IO Infeksi Oportunistik MMDP Majelis Masyarakat Desa
DAU Dana Alokasi Umum Pakaraman
IPF Indonesian Partnership
Depkes Departemen Kesehatan Fund Monev Monitoring dan Evaluasi
(sekarang menjadi
Kementerian Kesehatan) IU Implementing Unit MoU Memorandum of
JKN Jaminan Kesehatan Understanding
DFAT Department of Foreign
Affairs and Trade, Nasional MPI Mitra Pembangunan
Government of Australia K3 Keselamatan dan Internasional
Keamanan Kerja Musrenbang Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan

x
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

NAPZA Narkoba, Psikotropika PMTS Pencegahan Melalui SRAN Strategi dan Rencana
dan Zat Aditif lainnya Transmisi Seksual Aksi Nasional
NASA National AIDS Spending PNS Pegawai Negeri Sipil SRAN/D Strategi dan Rencana
Assessment PP Peraturan Pemerintah Aksi Nasional/Daerah
NGO Non-Government PPIA Pencegahan Penularan SSP Survei Surveilans
Organization Ibu dan Anak Perilaku
NU Nadhatul Ulama PPK Pusat Penelitian SSR Sub Sub-Recipient
OAT Obat Anti Tuberkulosis Kependudukan STBP Survei Terpadu Biologi
OBM Organisasi Berbasis PR Principal Recipient dan Perilaku
Masyarakat PSK Pekerja Seks Komersial Stranas Strategi nasional
OCAT Organizational Capacity PTRM Program Terapi Rumatan SUFA Strategic Use of ARV
Assessment Tool Metadon SUM Scaling Up For Most-At-
ODHA Orang dengan HIV dan Puskesmas Pusat Kesehatan Risk Populations
AIDS Masyarakat TB Tuberkulosis
OMS Organisasi Masyarakat Renja Rencana Kerja TNI Tentara Nasional
Sipil Indonesia
RI Republik Indonesia
OPSI Organisasi Perubahan UGM Universitas Gadjah Mada
Sosial Indonesia RKA Rencana Kerja dan

Akro n i m
Anggaran UHC Universal Health
Otsus Otonomi Khusus Coverage
RPJMD Rencana Pembangunan
P2 Pengendalian Penyakit Jangka Menengah UKM Upaya Kesehatan
PBB Perserikatan Bangsa- Daerah Masyarakat
Bangsa RS Rumah sakit UKP Upaya Kesehatan
PBR Perawatan Berbasis RSCM Rumah Sakit Cipto Perorangan
Rumah Mangunkusumo UN United Nations
PDP Perawatan, Dukungan RSU Rumah Sakit Umum UNAIDS Joint United Nations
dan Pengobatan Programme on HIV/AIDS
RSUD Rumah Sakit Umum
PELITA Pembangunan Lima Daerah UNGASS United Nations General
Tahun Assembly Special
RUK Rencana Usulan
Penasun Pengguna Napza Suntik Kegiatan Session
PEPFAR President’s Emergency Rutan Rumah Tahanan UNODC United Nations Office on
Plan for AIDS Relief Drugs and Crime
Satpol PP Satuan Polisi Pamong
Perda Peraturan Daerah Praja UPT Unit Pelaksana Teknis
Permendagri Peraturan Menteri Dalam SDKI Survei Demografi dan US United States
Negeri Kependudukan Indonesia USAID United States Agency
Permenkes Peraturan Menteri SDM Sumber Daya Manusia for International
Kesehatan Development
SIHA Sistem Informasi HIV dan
Permenkokesra Peraturan AIDS UU Undang-Undang
Menteri Koordinator WHO World Health
Kesejahteraan Rakyat SIMPUS Sistem Informasi
Manajemen Puskesmas Organization
Perpres Peaturan Presiden WPSL Wanita Pekerja Seks
SK Surat Keputusan
Perwakos Persatuan Waria Kota Langsung
Surabaya SKN Sistem Kesehatan
Nasional WPSTL Wanita Pekerja Seks
PKBI Perkumpulan Keluarga Tidak Langsung
Berencana Indonesia SKPD Satuan Kerja Perangkat
Daerah YMM Yayasan Mitra
PKNI Persaudaraan Korban Masyarakat
Napza Indonesia SOP Standard of Procedures

PKR Pusat Kesehatan SPM Standar Pelayanan


Reproduksi Minimum
SR Sub Recipient

xi
xii
xiii
Pe n ga nt a r
Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia 2015-2019:

Kembali Ke Persoalan
Mendasar

Setelah 27 tahun Indonesia menanggulangi epidemi HIV dan AIDS,


kita seolah baru disadarkan kembali bahwa ada persoalan mendasar
yang belum selesai. Pada periode awal merespons epidemi ini, satu
hal sangat disadari oleh otoritas kesehatan di seluruh dunia kesulitan
memobilisasi sumberdaya apapun untuk menanggulangi epidemi HIV
dan AIDS karena sumber permasalahannya adalah “perilaku seksual
yang tidak diterima norma umum di masyarakat” dan subjeknya adalah
orang-orang yang memang telah terpinggirkan, yaitu homoseks,
pelacur, dan pemakai narkoba.

Disadari atau tidak, stigmatisasi pada kedaruratan, tetapi sekaligus menampakkan


apapun yang terkait dengan HIV dan AIDS ketidaksiapan sistem yang ada untuk aktif
menjadi hambatan serius untuk membangun dan proaktif memobilisasi sumberdaya
respons yang konstruktif dan efisien. Secara intelektual, finansial, dan politik dalam
pribadi, saya menduga ada semacam wishful menyelesaikan masalah ini secepatnya dan
thinking yang menganggap epidemi ini sekaligus memperkuat sistem kesehatan
sebagai campur tangan Sang Pencipta untuk yang ada.
“membersihkan dunia” dari kemaksiatan.
Di seluruh dunia, respons terhadap HIV
Pembentukan “Komite” melalui Keputusan
dan AIDS terkesan perlahan, flegmatik,
Presiden (Keppres) mencerminkan situasi
karena menghadapi masalah yang sama:

xiv
I rwa nto, Ph .D .

Guru Besar Fakultas Psikologi dan Peneliti Senior di Pusat


Penelitian HIV & AIDS, Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya, Jakarta.

Pe n ga nt a r
stigmatisasi dan diskriminasi. Prioritas (Perpres No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi
kesehatan di dunia banyak sekali, dari Penanggulangan AIDS Nasional [KPAN] serta
persoalan kesehatan dasar, pemenuhan Permenkokesra No. 33 Tahun 2013 tentang
gizi, dan masalah kesehatan lain terkait Tim Pelaksana KPAN). Kelompok yang
gaya hidup masyarakat (diabetes, kanker, tadinya tersingkir dari masyarakat, sekarang
adiksi, jantung, dll.). Dalam kontes mempunyai kedudukan yang setara, ruang
sumberdaya, tentu HIV dan AIDS tidak kerja yang sama, dan mempunyai kekuatan
memperoleh prioritas. Pembentukan komite yang sama dalam menentukan program dan
khusus secara global memungkinkan strategi nasional.
pengambilan keputusan yang lebih terfokus,
Langkah maju lainnya dalam
penggunaan sumberdaya yang lebih
penanggulangan epidemi HIV dan AIDS
efisien, dan pembangunan sumberdaya
adalah peranan organisasi berbasis
yang terarah dan memenuhi urgensi strategi
masyarakat diperkuat dengan tanggung
penanggulangannya.
jawab yang besar untuk mengelola program.
Komite khusus ini juga memungkinkan Melalui model pendanaan Global Fund,
mengatasi stigma dan diskriminasi secara organisasi berbasis masyarakat bermitra
head to head dengan berbagai pihak, disertai dengan pemerintah untuk bertanggung
dengan reformasi hukum positif. Dalam jawab atas keberhasilan mencapai tujuan
sejarah birokrasi di Indonesia dan dunia, yang dicanangkan dalam strategi nasional.
baru 10 tahun belakangan ini kelompok yang Mekanisme dialog, kontrol, dan kerjasama
distigma di masyarakat seperti homoseks, yang dibangun telah membuat hal ini
pelacur, dan pemakai narkoba diberi menjadi suatu yang “biasa”, yang normatif.
mandat hukum sebagai mitra pemerintah Perjuangan kesamaan hak dan kesempatan

xv
Pe n g a n tar

bagi kelompok marjinal, yang disebut kunci sebagai mitra pemerintah, bahkan
kelompok kunci, menjadi lebih mudah perlu diberikan akses ke Musyawarah
disuarakan. Subsidi pemerintah yang alot Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
perlahan mulai mengucur lantaran kelompok dan Badan Perencanaan Pembangunan
marjinal memperoleh representasi yang kuat Nasional (Bappenas). Ketika mandat
dalam komite khusus dan mampu berperan KPAN sebagai lembaga adhoc selesai,
sebagai kelompok pejuang dan penekan. maka kehadiran populasi kunci di dalam
Panitia Ahli dan Kelompok kerja (Pokja)
Ketika semuanya terasa sudah maju
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV-
seperti yang kita harapkan, ternyata ki­
AIDS di Kemenkes merupakan upaya
ta belum memenuhi target Millenium
untuk mempertahankan mereka sebagai
Development Goals (MDGs). Semua pihak
mitra strategis pemerintah. Bagi populasi
ber­pikir keras, berbagai kajian dilakukan
kunci sendiri, Jika mereka dihadirkan dan
dan muncullah pendapat yang kuat bahwa
diberi mandat yang sama seperti pada
selama ini penanggulangan HIV dan AIDS
saat di KPAN, maka mereka akan mampu
belum berhasil memperkuat sistem kese­
memperkaya dan memperkuat respons
hat­an nasional karena hidup dan berkiprah
karena mereka akan terus berjuang
dalam telurnya sendiri. Kajian dalam laporan
“di dalam” untuk kesamaan hak dan
ini memberikan bukti empirik atas kenyataan
kesempatan. Kajian keterkaitan HIV dan AIDS
tersebut. Pendekatan kedaruratan harus
dengan hukum nasional menunjukkan masih
se­gera diakhiri dan kita masuk ke dalam
banyaknya hambatan hukum yang dialami
res­pons terhadap HIV dan AIDS sebagai pe­
oleh kelompok kunci sehingga mereka masih
nyakit kronis (Praptoraharjo, dokumen ini).
berperilaku berisiko (Santika & Asa, 2013).
Berbagai persiapan telah dilakukan, Kajian ini didukung berbagai kajian nasional
mulai terbentuknya sistem informasi terpadu, maupun regional (Heywood & Budiharsono,
penggalangan para pakar dalam kelompok 2013; UNDP & UNFPA, 2015; PPH, 2016) dan
ahli dan kelompok kerja nasional, sampai memberi input yang sama bahwa selama
pengalihan yang pelan berbagai tanggung kelompok kunci termarjinalisasi, sehingga
jawab kunci KPAN kepada Kementerian tidak mungkin memperoleh rezeki dari
Kesehatan (Kemenkes). Sebagai juru kunci pekerjaan dalam arus utama masyarakat,
Sistem Kesehatan Nasional, Kemenkes maka tujuan bertahan hidup akan menjadi
harus siap menjalankan mandatnya motivasi utama dan menggiring mereka
merespons situasi HIV dan AIDS yang masih tetap berperilaku berisiko. Kegagalan dalam
menunjukkan peningkatan infeksi baru. menghapus stigma dan diskriminasi akan
menggagalkan tujuan meniadakan infeksi
Kemenkes diharapkan semua pihak
baru (zero new infection).
akan mampu mendobrak kebekuan birokrasi
yang lebih luas, sehingga semua lini Persoalan ini menjadi lebih krusial
dalam kebijakan pemerintah benar-benar beberapa bulan terakhir ketika terjadi reaksi
melangkah dalam irama dan nada yang fobia nasional terhadap kelompok Lesbian
sama demi mengatasi HIV dan AIDS. Untuk Gay Biseksual Transgender (LGBT) yang
itu, saya melihat beberapa unsur potensial dihembuskan oleh media massa secara
yang jika tidak ditangani dengan bijaksana, tidak bertanggung jawab. Jika stigma
akan menghambat upaya-upaya yang dan diskriminasi ini menguat kembali dan
diharapkan mendobrak respons yang tumpul. menjadi barrier kultural dan politik program
pencegahan HIV dan AIDS maka kita akan
Pertama, dan bagi saya adalah yang
kembali ke titik awal lagi (Irwanto, 2016).
utama – yaitu mempertahankan kelompok

xvi
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

Hal yang sama juga penting dilakukan dapat diakses oleh anggota masyarakat
terhadap komunitas umum, terutama yang miskin dan termarjinalisasi.
laki-laki, tatkala membicarakan kondom.
Keempat, kemampuan Kemenkes
Kondom sangat efektif mencegah penularan
mengakomodasi dan memberikan payung
HIV. Oleh karena itu, tugas Kemenkes
perlindungan bagi pegiat dan pekerja
adalah memastikan pandangan umum
berbasis komunitas yang telah terlatih. Ini
bahwa kondom hanya merupakan sarana
akan mengefisienkan biaya karena tidak
pencegahan kehamilan dan penularan
perlu biaya peningkatan kapasitas yang
penyakit, tidak ada hubungannya dengan
besar dan tidak tergantung dari lulusan
kesetiaan perkawinan atau perselingkuhan.
pendidikan profesional yang mahal. Tenaga-
Kerjasama dengan kementerian terkait
tenaga ini telah teruji dengan waktu dan
[terutama Kementerian Pendidikan Nasional
terbukti mempunyai dedikasi tinggi. Dengan
(Kemendiknas) dan Badan Koordinasi
berakhirnya model pembiayaan melalui
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)]
Global Fund nantinya, maka tenaga-tenaga
sangat diperlukan untuk mempromosikan
terlatih ini menjadi aset yang sangat
penggunaan kondom pada anak, remaja,
berharga untuk menjadi bagian dari sistem
dan pemuda serta pada laki-laki berisiko.
kesehatan nasional.
Informasi seks yang sehat, terlindungi, dan
bertanggung jawab perlu dapat diakses
oleh kaum muda. Lebih ideal jika terdapat
layanan informasi kesehatan reproduksi
untuk remaja dan pemuda yang kreatif dan D af t ar Pust aka
Heywood, P. & N. Budiharsana (2013). Institutional analysis

Pe n ga nt a r
inovatif.
of HIV Control Program in Indonesia. Monograf report
for NAC and HIV Cooperation Program for Indonesia.
Kedua, Kemenkes siap dan mampu
Irwanto (2016). Media dan Konspirasi. Harian KOMPAS, 27
melakukan leverage kebijakan untuk
Februari 2016.
mempertahankan dan memperluas program
Santika & S. Asa (2015), Kajian perundang-undangan
Harm Reduction, terutama dengan pihak nasional dalam rangka implementasi program HIV di
kepolisian dan Badan Narkotika Nasional Indonesia. Laporan untuk UNFPA dan KPAN.
(BNN). Infeksi HIV di komunitas pengguna PPH (2016), Survei Kualitas Hidup Waria. Laporan
Penelitian untuk UNDP. Jakarta: Pusat Penelitian HIV
napza suntik (penasun) memang mengalami dan AIDS, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya,
penurunan sangat signifikan, tetapi Jakarta.
komunitas ini masih menjadi penyumbang UNDP & UNFPA (2015), The Rights Evidence Sex work,
infeksi baru yang sangat besar. Kebijakan HIV and Violence in Asia. A Multy Country Qualitative
Study: Summary Report. Bangkok: UNDP, UNFPA,
yang menyebar rasa takut untuk berobat APNSW, CARAM.
atau mencari jalan keluar, merawat
serta memulihkan tubuh dari adiksi akan
menjadi faktor pemelihara perilaku berisiko
menggunakan jarum suntik.
Ketiga, Kemenkes melalui peraturan
menteri atau pengembangan Standard
of Procedures (SOP) kerja harus benar-
benar mampu menghapuskan stigma
dan diskriminasi dalam institusi layanan
kesehatan dan layanan lain yang relevan
(perlindungan sosial–BPJS). Layanan yang
tersedia harus bersifat inklusif, terutama

xvii
Ringkasan
Eksekutif

xviii
Laporan final penelitian ini merupakan kesehatan di Indonesia dan seberapa jauh
penutup dari rangkaian penelitian yang penanganan HIV dan AIDS telah terintegrasi
dimulai dan dilaksanakan oleh Pusat kedalamnya. Penelitian ini menjadi relevan
Kebijakan dan Manajemen Kesehatan karena sebenarnya konsep integrasi telah
(PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas dijadikan strategi utama oleh pemerintah
Gadjah Mada. Penelitian ini dilaksanakan untuk meningkatkan efektifitas penanganan
berdasarkan pemikiran bahwa respons HIV HIV dan AIDS termasuk pelibatan pemerintah
dan AIDS dinegara-negara berkembang daerah yang lebih besar.
sebenarnya merupakan bagian yang tidak
Penelitian yang dilaksanakan oleh
dapat dipisahkan dari dukungan Global
PKMK selama kurun waktu 2013 – 2015
Health Initiatives (GHI) yang memberikan
telah menghasilkan beberapa keluaran
dukungan teknis dan keuangan dalam
diantaranya: Tinjauan Pustaka, Penelitian
memperkuat sistem pelayanan kesehatan
Lapangan di delapan provinsi, Policy Brief
bagi penanganan epidemi HIV dan
dan Laporan Final. Secara keseluruhan,
AIDS. Sayangnya bagi beberapa negara

R i n g ka s a n
penelitian ini mencoba menjawab empat
berkembang dukungan GHI tersebut
pertanyaan substantif, yaitu (1) ‘mengapa
dianggap menggantikan peran pemerintah
integrasi dilakukan?’; (2) ‘apa yang
dalam penanganan HIV dan AIDS. Hal
diintegrasikan?’; (3) ‘bagaimana integrasi
ini berdampak pada munculnya sistem
bisa dilakukan?’; dan (4) ‘seperti apa model
pelayanan kesehatan paralel yang
integrasi yang diharapkan?’. Masing-masing
memisahkan pelayanan khusus untuk HIV
artikel dalam buku ini berupaya menjawab
dan AIDS (yang didanai oleh GHI) dengan
keempat pertanyaan tersebut dengan
pelayanan kesehatan lainnya yang didanai
fokus analisis pada tingkat kabupaten/
pemerintah. Akibatnya terdapat kesenjangan
kota yang mencakup (a) integrasi program
dan pemisahan sistem kesehatan yang
pencegahan; (b) pembiayaan program
mendorong pindahnya tenaga kesehatan ke
pencegahan; (c) integrasi program perawatan;
program-program penanganan HIV dan AIDS.
(d) inisiatif daerah dalam mengintegrasikan
Mempertimbangkan pentingnya program penanggulangan HIV dan AIDS;
keberlanjutan penanganan HIV dan AIDS (e) peran organisasi masyarakat sipil dalam
di Indonesia, yang masih menggantungkan penanggulangan HIV dan AIDS dan (f) model
pendanaan dari GHI, diperlukan pemahaman integrasi pada tingkat layanan primer.
yang lebih baik mengenai sejauh mana Analisis difokuskan pada tingkat kabupaten/
dukungan GHI ini telah memperkuat sistem kota dengan pertimbangan bahwa pelayanan

xix
R i n g k a s an Ek s e k utif

kesehatan merupakan urusan wajib yang menganalisa peran LSM dalam penanganan
diselenggarakan oleh pemerintah daerah HIV dan AIDS di Indonesia terutama karena
dalam rangka pemenuhan pelayanan dasar LSM telah cukup lama terlibat dan berhasil
bagi masyarakat. menjangkau kelompok-kelompok kunci
secara efektif.
Kegiatan penelitian ini melibatkan 9
universitas di 8 provinsi di Indonesia yaitu:
1. Universitas Cenderawasih (Uncen), Papua;
TEMUAN PENELITIAN
2. Universitas Papua (Unipa), Papua Barat; 3.
Universitas Nusa Cendana (Undana), Nusa Secara garis besar, semua bab di dalam
Tenggara Timur; 4. Universitas Udayana laporan ini sepakat bahwa hingga saat
(Unud), Bali; 5. Universitas Hasanuddin ini program-program penanganan HIV
(Unhas), Sulawesi Selatan; 6. Universitas dan AIDS masih bersifat vertikal dimana
Airlangga (Unair), Jawa Timur; 7. Universitas peran mitra pembangunan internasional
Katolik Atma Jaya, Jakarta dan 8. Pokdiksus sebagai bagian dari GHI, baik yang bekerja
Rumah Sakit Cipto Mangunkusmo, Jakarta; melalui pemerintah maupun LSM, masih
dan 9. Universitas Sumatera Utara (USU). mendominasi arah dan strategi penanganan
Pelibatan 9 universitas tersebut merupakan HIV dan AIDS di tingkat nasional dan daerah.
bagian dari upaya untuk membentuk Selain itu dengan keterbatasan kapasitas
Knowledge hub for HIV and AIDS. Melalui baik pada pemerintah maupun LSM di tingkat
knowledge hub tersebut telah lahir website pusat dan daerah berakibat pada terbatasnya
Kebijakan AIDS Indonesia dan Blended kemampuan dalam penanganan HIV dan
Learning serta Diskusi Kultural yang AIDS. Beberapa temuan kunci dari ketujuh
memberikan kesempatan bagi peneliti yang bab dalam laporan ini adalah sebagai berikut:
berkecimpung dalam dunia HIV dan AIDS dan
masyarakat secara umum untuk mempelajari
isu-isu terkait HIV dan AIDS. Mengapa Integrasi dilakukan? – Isu
persaingan dalam penanganan HIV dan AIDS
Laporan final ini merupakan kulminasi
di Indonesia
dari keseluruhan proses penelitian yang
menelaah tingkatan integrasi antara Penanggulangan HIV dan AIDS
penanganan HIV dan AIDS dan sistem merupakan arena persaingan antar pelaku
kesehatan serta dinamika proses kebijakan yang membawa prioritas, kepentingan dan
dan pendanaan oleh pemerintah. Laporan pendekatan yang berbeda-beda. Di dalam
final ini terdiri dari tujuh Bab dimana masing- arena tersebut terdapat dua isu persaingan
masing Bab ditulis secara terpisah. Tiga bab yang teridentifkasi yaitu: (1) Isu antara
pertama mendiskusikan isu-isu integrasi pendekatan vertikal yang bertumpu pada
dalam konteks pembuatan kebijakan dimana pengendalian teknis dari pusat, dengan
setiap bab menggambarkan alur pembahasan pendekatan horizontal yang bertumpu pada
mulai dari latar belakang, perkembangan, cara pikir multi sektoral dan terdesentralisasi;
kebijakan lain yang terkait, tantangan- dan (2) isu yang terkait dengan pelaksanaan
tantangan, serta analisa mengenai isu-isu program dimana pihak-pihak yang memiliki
pendanaan dan teknis baik ditingkat nasional sumberdaya besar bekerja berdasarkan
maupun daerah. Tiga bab berikutnya lebih pendekatan masing-masing. Kedua isu
mendalami isu-isu terkait penyediaan layanan tersebut merupakan tantangan tersendiri
serta langkah langkah pencegahan untuk HIV terhadap integrasi penanganan HIV dan AIDS
dan AIDS. Bab terakhir didedikasikan untuk kedalam sistem kesehatan karena pihak-pihak

xx
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

tersebut memiliki pendekatannya masing- laki-laki yang berhubungan seks dengan


masing yang mungkin tidak sejalan dengan laki-laki (MSM), serta program Layanan
hasil dari integrasi. Alat Suntik Steril (LASS) memperlihatkan
bahwa program ini tidak mencapai target
capaian 80%. Penelitian ini menemukan
Apa yang diintegrasikan? – Integrasi pada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu:
tingkat pelayanan. (1) Karakteristik intervensi yang berfokus
pada perubahan perilaku dan norma sosial
Pelaksanaan program penanganan
menjadi faktor penghambat pelaksanaan
HIV dan AIDS berjalan paralel dengan
program di lapangan; (2) Sejumlah peraturan
pelaksanaan ketujuh fungsi sistem kesehatan
atau kesepakatan di tingkat daerah yang tidak
secara umum. Penelitian ini menilai tingkatan
kondusif terhadap penjangkauan kelompok
integrasi program HIV dan AIDS pada setiap
populasi kunci; (3) Seperti halnya tantangan
fungsi sistem kesehatan diatas seperti yang
pada layanan kesehatan umumnya, terdapat
terlihat pada Tabel 6 di halaman 75. Dari
ketidak-seimbangan antara pencegahan
ke 18 program promosi dan pencegahan
dan pengobatan, dimana komponen
tersebut hanya 2 program, yaitu regulasi
pengobatan biasanya mendapat perhatian
dan penyediaan layanan yang menunjukan
serta pendanaan terbesar; (4) Stigma
tingkat integrasi yang lebih tinggi daripada
terhadap perilaku populasi kunci sering
program lain. Walaupun demikian, bisa
menjadi hambatan untuk menemukenali dan
dilihat bahwa kedua program tersebut
meningkatkan cakupan program. Namun
lebih terfokus pada pembuatan kebijakan
perlu dicatat bahwa gerakan-gerakan

R i n g ka s a n
dan kelembagaan di daerah daripada
politik yang menentang program HIV
memecahkan permasalahan terkait dengan
dan AIDS telah menyulitkan pelaksanaan
pelaksanaan program HIV dan AIDS.
program PMTS. Contohnya, kebijakan dan
Terkait dengan program ARV, integrasi pelaksanaan penutupan lokalisasi di Surabaya
yang lebih tinggi terjadi pada tingkat layanan sebagai salah satu lokasi penelitian ini telah
seperti di Puskesmas, dan dinas kesehatan merugikan program PMTS didaerah tersebut.
kabupaten karena dalam sistem kesehatan
kedua institusi ini adalah ujung tombak
layanan kesehatan. Namun integrasi layanan Keberhasilan pelaksanaan integrasi: Program
pengobatan ARV tidak mengindikasikan ARV
bahwa kedua insititusi tersebut memiliki
Program ARV memperlihatkan hasil
kewenangan untuk mengelola program baik
yang menarik dimana cakupan programnya
dari segi teknis maupun administrasi. Hal ini
mencapai 80%, walau tidak sepenuhnya
terjadi karena perencanaan dan manajemen
terintegrasi kedalam sistem kesehatan.
program ARV telah ditentukan dari pusat,
Namun integrasi yang parsial dan hanya
sedangkan Puskesmas dan Dinkes hanya
terjadi di layanan kesehatan ini secara relatif
melaksanakan layanannya.
lebih baik dibandingkan dengan program
pencegahan HIV lainnya. Hal ini dapat
dipahami karena lebih banyak unsur yang
Sejauh mana integrasi sudah dilakukan? –
memudahkan integrasi ditemukan pada
Mengidentifikasi
layanan Puskesmas dan RSUD. Puskesmas dan
Pencegahan HIV melalui program Fasilitas dan Layanan Kesehatan (fasyankes)
Pencegahan Melalui Transmisi Seksual lainnya telah diarahkan unutk menjadi
(PMTS) untuk pekerja seks perempuan dan pusat layanan pengobatan dan perawatan.

xxi
R i n g k a s an Ek s e k utif

Namun dalam konteks pendanaan dan ini berarti bahwa integrasi penanggulangan
penyediaan obat dan peralatan medis, serta HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan
pengelolaan/manajemen informasi strategis perlu disesuaikan dengan kebutuhan
terkait program ARV tetap dibawah kendali pengguna layanan, kebutuhan organisasi
pemerintah pusat dan dilaksanakan secara penyedia layanan, situasi epidemi, dan sistem
paralel dengan sistem kesehatan. Penelitian kesehatan yang ada.
ini menganalisa bahwa keberhasilan capaian
80% cakupan pengobatan ARV adalah karena:
(1) perawatan dan pengobatan adalah fokus KESIMPULAN DAN REKOMENDASI AKHIR
sektor kesehatan saat ini; (2) pasien yang
Seluruh bab pada laporan ini tidak
memperoleh pengobatan ARV adalah mereka
hanya menggambarkan hambatan dan
yang telah mengikuti tes HIV di fasyankes
tantangan dalam upaya integrasi tetapi
tersebut sehingga lebih mudah untuk
juga memperlihatkan hal-hal penting yang
didorong untuk memperoleh perawatan dan
dapat dilaksanakan untuk mengoptimalkan
pengobatan; (3) dilain pihak, target perawatan
upaya integrasi kebijakan dan program
dan pengobatan ARV sebenarnya cukup
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
rendah karena penghitungannya hanya
sistem kesehatan. Beberapa hal yang
berdasarkan pada jumlah Orang dengan HIV
direkomendasikan dalam laporan ini dibuat
dan AIDS (ODHA) yang mengikuti tes HIV
dengan latar belakang situasi program yang
bukan pada jumlah ODHA yang sebenarnya
masih bergantung pada dukungan finansial
(fenomena gunung es).
dan teknis dari GHI. Rekomendasi utama
menyarankan integrasi sebagai strategi
yang tepat untuk meningkatkan efektivitas,
Belajar dari pelaksanaan PMTS
efisiensi, dan keberlanjutan program HIV
Model layanan terintegrasi seperti yang dan AIDS. Namun, hal penting yang perlu
terlihat pada program Pencegahan Melalui dipertimbangkan adalah tingkat integrasi
Transmisi Seksual (PMTS) di Puskesmas dan pada setiap level layanan/intervensi serta
RSUD direkomendasikan sebagai bentuk memastikan bentuk integrasi yang tepat.
ideal dari integrasi. Model PMTS tersebut
Hambatan dan tantangan utama biasanya
mencakup (1) pengadaan dan distribusi
terletak pada pendekatan solusi yang bersifat
kondom; (2) manajemen IMS termasuk
institusional, misalnya pembentukan institusi
sirkumsisi/sunat; (3) pencegahan berbasis
baru seperti KPAD dan aturan-aturan
pengobatan ARV termasuk perluasan tes HIV;
pemerintah terkait. Pada pelaksanaannya
(4) penguatan peran lintas sektor di tingkat
solusi yang bersifat institusional tersebut
layanan primer; (5) pendidikan kesehatan dan
terbentur oleh persaingan antar pelaku HIV
pemberdayaan komunitas. Setiap komponen
dan AIDS serta kebijakan yang cenderung
tersebut diperlengkapi dengan skenario
berdiri sendiri-sendiri dan beberapa
tingkat integrasi tertentu (coordinated, co-
diantaranya justru bertentangan. Laporan
located, integrated) yang disesuaikan dengan
ini merekomendasikan pendanaan yang
konteks dimana intervensi ini dilaksanakan.
lebih baik melalui sistem desentralisasi
Model yang direkomendasikan pada dasarnya
pemerintahan daerah serta dana Jaminan
tidak memandang integrasi sebagai sebuah
Kesehatan Nasional (JKN) sebagai sumber
tujuan, melainkan sebagai metode untuk
pendanaan utama untuk mengurangi
menghasilkan layanan yang mudah diakses,
ketergantungan pada dukungan donor. Untuk
berkeadilan, dan juga memenuhi kebutuhan
itu, memperbesar porsi peran pemerintah
dasar semua pihak, serta berkelanjutan. Hal

xxii
Kebijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

daerah dalam penyediaan layanan (pada terkoordinasi dan tepat sasaran.


program-program pencegahan, PDP, dan
Keterbatasan kapasitas LSM adalah
mitigasi dampak), penentuan program
isu lain yang juga ditemukan penelitian
dan evaluasi pelaksanaannya serta
ini. Dengan keterbatasan pada inovasi dan
pengembangan SDM menjadi penekanan
kreatifitas, kebanyakan LSM ini kurang
utamanya.
menyadari kebutuhan perkuatan apa yang
Laporan ini juga mengidentifikasi mereka perlukan. Selain itu mereka juga
kebutuhan pemanfaatan institusi pemerintah sangat tergantung pada dana pembangunan
yang sudah ada saat ini misalnya KPAD serta luar negeri sehingga kegiatannya
organisasi non pemerintah dan universitas mengabaikan keberlanjutan program.
yang dapat berkolaborasi untuk layanan Untuk itu direkomendasikan agar kegiatan
penanganan HIV dan AIDS yang lebih LSM jangan hanya berfokus pada atau
baik. KPAD perlu memperkuat diri dengan mengandalkan satu komunitas saja. Dengan
bantuan KPAN dalam hal administrasi dan demikian para LSM ini akan mendapatkan
politik pendanaan dan pemrograman. peluang pendanaan yang lebih luas dengan
Dengan mengikuti proses desentralisasi posisi tawar yang lebih besar juga. Untuk
pemerintahan dalam perencanaan dan memperlancar hal tersebut pemerintah
pemrograman, proses penganggaran untuk daerah perlu menyediakan lingkungan kerja
penanganan HIV dan AIDS bisa lebih cermat yang lebih kondusif bagi para LSM untuk
memanfaatkan alokasi dana dari berbagai berkontribusi pada keberhasilan penanganan
kegiatan pembangunan terkait di daerah HIV dan AIDS didaerahnya. Selain itu

R i n g ka s a n
serta mensinkronkannya dengan dana-dana pemerintah daerah juga dapat memberikan
pusat. Proses ini akan memberikan solusi kontrak kerja kepada para LSM sesuai dengan
terpadu bagi pembiayaan program HIV dan bidangnya dan menumbuhkan kreatifitas LSM
AIDS di Indonesia. Selain itu, perlu diciptakan terkait untuk menjangkau komunitas yang
lingkungan yang lebih kondusif di daerah agar lebih tepat sasaran serta komunitas yang
penanganan HIV dan AIDS dapat terintegrasi termarginalisasi.
dengan penanganan penyakit menular
Pada akhirnya diperlukan kerjasama
lainnya.
lintas sektoral dan penguatan lembaga
Terkait dengan solusi langsung untuk pemerintah maupun non-pemerintah yang
pendanaan lokal, yang tentunya perlu ada untuk menentukan keberlanjutan
mendapat dukungan pemerintah pusat program – program penanganan HIV dan
misalnya penghasilan dari pajak makanan AIDS di Indonesia. Semua keterbatasan dan
dan minuman mengandung alkohol dan solusi yang telah dianalisa dan ditawarkan
mengandung unsur aditif dapat diterapkan dalam laporan ini dapat bermanfaat jika
dan pemanfaatannya langsung dikhususkan kemauan antara satu pemangku kepentingan
untuk penanganan HIV dan AIDS. Dana sosial dengan pemangku kepentingan lainnya dapat
perusahaan (CSR) dari industri terkait juga berkolaboraasi dan seluruh kegiatannya
direkomendasikan untuk dapat digunakan terfokus pada penanganan HIV dan AIDS
sebagai dana alternatif penanganan HIV yang lebih baik lagi setiap saat.
dan AIDS jika dikelola dengan baik dan
dikoordinasikan dengan pemerintah daerah
setempat. Namun semua itu membutuhkan
pendanaan silang antar sektor yang baik
dan perencanaan perkuatan SDM yang

xxiii
Pendahuluan

Ign atiu s Prap toraharjo

xxiv
Pengantar

Perluasan respons penanggulangan HIV dan AIDS pada dasarnya merupakan


respons kegawatdaruratan yang biasanya diarahkan untuk memperoleh hasil
dengan segera (Atun, R., Jongh, T. De, Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O., 2010a).
Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini, perluasan respons HIV dan AIDS di
Indonesia telah mencakup berbagai jenis layanan dan sekaligus menjangkau
wilayah-wilayah yang sangat luas.

Pe nda hu l u a n
Hingga Desember 2015, telah tersedia kebutuhan dari populasi kunci atau ODHA,
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) ternyata masih perlu penambahan jumlah
di 92 Rumah Sakit (RS), Pusat Kesehatan layanan. Selain itu, sebagian besar layanan
Masyarakat (PKM), rumah tahanan (Rutan)/ yang disebutkan di atas terkonsentrasi pada
lembaga pemasyarakatan (Lapas); Layanan daerah tertentu, terutama daerah yang
Jarum dan Alat Suntik Steril (LJASS) di 194 mendapat banyak kucuran dana dari MPI.
PKM dan Lembaga Swadaya Masyarakat Sebagai catatan, untuk PTRM dan LASS
(LSM); Layanan infeksi menular seksual (IMS) memang terkonsentrasi di kota-kota besar
di 1643 RS dan PKM; Layanan Konseling dan dengan jumlah penasunnya memang tinggi.
Tes HIV di 2221 tempat baik RS, PKM, LSM,
maupun Rutan/Lapas; Layanan Perawatan,
Dukungan dan Pengobatan (PDP) di 528 Meskipun perluasan respons melalui
RS Pengampu dan RS Satelit; dan Layanan kebijakan-kebijakan penanggulangan HIV
Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak dan AIDS yang dikembangkan di tingkat
(PPIA) di 261 RS dan PKM (Januari, 2016). pusat maupun daerah menghasilkan
Sebanyak 141 kabupaten/kota dari total 507 perubahan situasi epidemi dan pelayanan
kabupaten di 33 provinsi telah ditetapkan HIV yang berarti, yang ditunjukkan dengan
sebagai wilayah prioritas program, yang meningkatnya angka cakupan program
ditargetkan 80% populasi kunci yang serta peningkatan jumlah layanan HIV di
berada di berbagai wilayah tersebut bisa berbagai wilayah, tetapi perkembangan ini
dijangkau dan mengakses layanan HIV dan belum merata di beberapa wilayah dan jenis
AIDS yang tersedia (KPAN, 2015). Data yang intervensi yang dilakukan (World Health
menunjukkan jumlah layanan yang tersebar Organization, 2011). Upaya pencegahan,
di Indonesia bila dibandingkan dengan perawatan, dukungan dan pengobatan

1
Pe n d a h ul uan

tetap menjadi tantangan yang besar demi AIDS di Indonesia membantu mendorong
menurunkan insiden penularan HIV dan ketersediaan pendanaan program sehingga
meningkatkan kualitas hidup orang hidup mampu meningkatkan cakupan layanan
dengan HIV dan AIDS (ODHA). Hal ini dapat HIV dan AIDS. Saat ini, sekitar 60% biaya
dilihat dari masih tingginya perilaku berisiko penanggulangan HIV dan AIDS bersumber
dan prevalensi HIV di kalangan populasi dari dana hibah bilateral dan multilateral
kunci. Berdasarkan hasil Survei Terpadu (Nadjib, 2013). Harus diakui bahwa sebagian
Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011, besar proporsi yang telah disediakan MPI
prevalensi HIV pada kelompok populasi ini telah menginisiasi dan mendukung
kunci dilaporkan masing-masing sebagai perluasan respons penanggulangan HIV
berikut: penasun (pengguna Napza suntik) dan AIDS di berbagai wilayah di Indonesia,
42%, WPSL (Wanita Pekerja Seks Langsung) karena terbatasnya kapasitas pemerintah
10%, WPSTL (Wanita Pekerja Seks Tidak mengembangkan intervensi dalam skala
Langsung) 3%, waria 22%, dan LSL (Lelaki yang lebih luas.
berhubungan seks dengan lelaki) 8%.
Konsekuensi dari model pendanaan
Prevalensi ini tidak jauh berbeda dengan
seperti ini adalah penanggulangan HIV
hasil STBP tahun 2007, bahkan cenderung
dan AIDS cenderung dilaksanakan secara
meningkat dua hingga tiga kali lipat pada
vertikal dan sesuai dengan target dan fokus
populasi LSL (Kemenkes, 2012b). Tingginya
dari mitra pembangunan internasional
prevalensi HIV, terutama pada kelompok
(Dudley & Garner, 2011). Ini berarti bahwa
waria dan LSL, mengkhawatirkan karena
layanan HIV dikembangkan semata-mata
sebagian besar (81%) dari waria dan hampir
untuk memenuhi kebutuhan khusus HIV,
setengah (49%) LSL adalah pekerja seks
dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
(Kemenkes, 2012b). Sementara kesenjangan
yang secara khusus melakukan pelayanan
dalam tahap-tahap perawatan HIV
HIV. Pelaksanaan layanan ini disertai
(cascade of care) juga masih menunjukkan
perencanaan mobilisasi sumber daya
kesenjangan yang cukup besar (Kemenkes,
yang terpusat, supervisi yang ketat baik
2016). Permasalahan stigma dan diskriminasi
teknis maupun administratif, monitoring
juga masih dialami oleh ODHA baik di
dan evaluasi yang sentralistik, juga sistem
masyarakat maupun di layanan kesehatan
pengadaan yang ditangani langsung oleh
(Butt, 2005; Jothi & BPS, 2010; Spritia, 2005).
pusat.
Kecenderungan pengembangan
Respons Penanggulangan HIV intervensi vertikal ini tak bisa dilepaskan
& AIDS dan Inisiatif Kesehatan dari sistem kesehatan yang berlaku, di
mana sistem kesehatan yang lemah akan
Global ‘memaksa’ program HIV dilaksanakan secara
vertikal untuk memastikan keberhasilan
Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
dari dana yang diinvestasikan di wilayah
tidak dapat dipisahkan dari inisiatif
atau negara tersebut, misalnya di Indonesia,
kesehatan global yang disokong berbagai
Nepal, Laos, atau Papua Nugini (Conseil,
program dan skema pendanaan tersendiri
Mounier-Jack, Rudge, & Coker, 2013; Desai,
(misalnya Global Fund [GF], bantuan
Rudge, Adisasmito, Mounier-Jack, & Coker,
dari pemerintah Amerika Serikat melalui
2010; Rudge, Phuanakoonon, Nema,
USAID dan pemerintah Australia melalui
Mounier-jack, & Coker, 2010; Shrestha
DFAT, dll). Kehadiran inisiatif kesehatan
& Tragard, 2010). Dengan demikian,
global melalui program yang didukungnya
penanggulangan HIV dan AIDS cenderung
sejak awal penanggulangan HIV dan

2
I g n ati u s P rap to raharj o

mengembangkan mekanisme pelayanan, dialihkan untuk pembiayaan kesehatan


perencanaan, pendanaan, monitoring prioritas lainnya, sehingga dalam jangka
dan evaluasi secara terpisah dari sistem panjang pendanaan bagi penanggulangan
kesehatan umum. HIV dan AIDS sulit memperoleh perhatian
dari pemerintah, seperti yang terjadi di Laos,
Model penanggulangan HIV dan
Papua Nugini, dan Nepal (Mounier-jack, 2010;
AIDS yang bersifat vertikal seperti ini
Rudge 2010; Shrestha & Tragard, 2010). Dari
mengakibatkan berbagai konsekuensi
sisi pembiayaan kesehatan, masalahnya
positif dan negatif pada sistem kesehatan.
menjadi bertambah berat karena terjadi
Berbagai penelitian mencatat konsekuensi
pergeseran dalam respons HIV, yaitu respons
negatif pada sistem kesehatan seperti
kegawatdaruratan berubah menjadi respons
pengembangan sistem ganda, yaitu sistem
yang bersifat kronis, khususnya ketika ARV
penanggulangan HIV dan AIDS serta sistem
terbukti efektif mampu mempertahankan
kesehatan secara umum; minimnya insentif
kesehatan orang dengan HIV (Atun &
sistem kesehatan untuk mendukung upaya
Bataringaya, 2011).
penanggulangan HIV dan AIDS; kurangnya
integrasi antara layanan HIV dan AIDS
serta pelayanan kesehatan lainnya; dan
memicu perpindahan sumber daya manusia Integrasi Respons
yang tersedia untuk mengatasi masalah Penanggulangan HIV & AIDS
kesehatan lainnya. (Atun & Bataringaya, ke dalam Sistem Kesehatan
2011; Atun, Jongh, Secci, Ohiri, & Adeyi,

Pe nda hu l u a n
2010b; Atun, Lazarus, Van Damme, & Coker, Upaya menyikapi berbagai konsekuensi
2010; A. Conseil, Mounier-Jack, & Coker, negatif pendekatan vertikal dan kebutuhan
2010; Kawonga, Fonn, & Blaauw, 2013; Yu, untuk memperkuat kepemilikan pemerintah
Souteyrand, Banda, Kaufman, & Perriëns, negara penerima bantuan terhadap
2008). Dengan demikian, berbagai hasil inisiatif-inisiatif yang telah dilakukan oleh
yang impresif dalam jangka panjang mitra pembangunan internasional adalah
tampaknya cenderung tidak memberikan dengan mendorong terjadinya integrasi dari
dampak yang positif terhadap sistem intervensi vertikal ke dalam sistem kesehatan
kesehatan yang lemah. Hal ini terjadi, yang ada dan memberikan perhatian yang
khususnya di negara-negara berkembang, lebih pada kontribusi intervensi spesifik
karena hasil-hasil impresif ini hanya bagi penguatan sistem kesehatan (Atun &
akan bertahan selama inisiatif dari mitra Kazatchkine, 2009; Olmen et al., 2012).
pembangunan internasional ini berada di
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
negara yang menjadi penerima bantuan
integrasi penanggulangan penyakit tertentu
(Biesma, Harmer, Walsh, Spicer, & Walt, 2009;
ke dalam sistem kesehatan memiliki dampak
Yu et al., 2008).
positif terhadap keberlanjutan dan efektivitas
Selain itu konsekuensi lebih jauh intervensi dan memperkuat sistem kesehatan
atas berkembangnya intervensi vertikal yang ada (Grépin, 2011; Kawonga, Blaauw,
adalah adanya kecenderungan layanan & Fonn, 2012; Maher, 2010; Shigayeva,
kesehatan di negara-negara tersebut Atun, Mckee, & Coker, 2010). Sebaliknya,
menjadi terfragmentasi (Dudley & Garner, sejumlah bukti juga menunjukkan bahwa
2011). Sementara dari sisi pendanaan, dalam konteks negara yang memiliki sistem
bantuan dari MPI membuat pemerintah tidak kesehatan yang kurang kuat, integrasi
mengalokasikan dana kesehatan untuk dengan sistem kesehatan justru akan
penanggulangan HIV dan AIDS, melainkan membahayakan, baik bagi intervensi spesifik

3
Pe n d a h ul uan

maupun bagi sistem kesehatan yang ada, kesehatan meningkatkan status kesehatan
karena sumber daya yang ada lantas secara keseluruhan, kepuasan pengguna,
dialokasikan untuk memperkuat upaya dan kenyamanan bagi semua pihak,
kesehatan yang lain. Sebaliknya, integrasi khususnya para peserta/penerima manfaat/
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam keluarga yang dilayani.
sistem kesehatan juga berimplikasi terhadap
Oleh karena integrasi menyangkut
adanya alokasi pendanaan untuk HIV dan
paling tidak dua kepentingan, yaitu ke­
AIDS yang berasal dari pemerintah harus
pentingan program penanggulangan
bersaing dengan pendanaan bagi penyakit
HIV dan AIDS dan kepentingan sistem
yang lain (Dudley & Garner, 2011; Godwin &
ke­sehatan, maka seberapa jauh tingkat
Dickinson, 2012).
inte­grasi yang bisa dicapai akan sangat
Konsep integrasi ini telah didefinisikan ter­gantung pada (1) karakteristik dari
secara berbeda oleh berbagai peneliti permasalahan HIV dan AIDS; (2) interaksi
sesuai dengan konteks penelitiannya ber­bagai pelaku dalam lingkup sistem
masing-masing. Akibatnya, ada berbagai kese­hatan dan penanggulangan HIV dan
pemahaman dan definisi mengenai AIDS; (3) implementasi fungsi-fungsi sistem
integrasi (Atun, Jongh, Secci, Ohiri, & Adeyi, kesehatan dan interaksinya antara satu
2010a; Coker et al., 2010; Grépin, 2011; de­ngan yang lain; (4) faktor lingkungan
Olmen et al., 2012; Shigayeva et al., 2010). yang mencakup konteks politik, ekonomi,
Pemahaman yang beragam tentang konsep hu­kum dan regulasi di mana sistem ke­se­
integrasi telah membatasi analisis empiris hat­an dan penanggulangan HIV dan AIDS
atas integrasi di dalam sistem kesehatan, berlangsung (Atun, Jongh, et al., 2010b;
terutama dalam konteks analisis komparatif. Coker et al., 2010). Secara substantif,
Dalam kajian sistematik mereka, Shigayeva Shigayeva et al, (2010) merekomendasikan
et al. (2010) mengidentifikasi bahwa bah­wa ada tiga pertanyaan dasar yang bisa
konsep integrasi secara intrinsik terkait digunakan untuk melihat tingkat integrasi
dengan gagasan kerja sama, kemitraan, dan mekanisme integrasi yaitu (1) ‘mengapa
kolaborasi, perawatan yang terkoordinasi integrasi dilakukan?’ Pertanyaan ini merujuk
dan berkelanjutan, keselarasan, dan pada rasionalisasi atas pentingnya integrasi
jaringan. Mirip dengan simpulan Shigayeva dilakukan dan tujuan yang diharapkan
pada istilah ‘integrasi’, Coker et al. (2010) dari integrasi tersebut; (2) ‘apa yang diinte­
mendefinisikan istilah integrasi sebagai gra­sikan?’ Pertanyaan ini merujuk pada
spektrum pengaturan organisasi yang fungsi-fungsi sistem kesehatan yang bisa
terkait dengan pendanaan, administrasi, diintegrasikan (tata kelola, pembiayaan,
pengorganisasian, pelayanan, dan skenario sumber daya, logistik, informasi strategis dan
klinis yang dirancang untuk menciptakan partipasi masyarakat); dan (3) ‘bagaimana
konektivitas, keselarasan, dan kolaborasi. integrasi bisa dilakukan?’ Pertanyaan ini
pada dasarnya ingin mengidentifikasi
Dari sisi manfaat, integrasi yang lebih
bagaimana interaksi antar pemangku
tinggi ke dalam sistem kesehatan akan
kepentingan dalam sistem kesehatan dan
memungkinkan terjadinya pengurangan
penanggulangan HIV dan AIDS dalam
fragmentasi, penghematan melalui
menegosiasikan kepentingannya.
penggabungan pendanaan, meningkatkan
upaya/sumber daya (Atun, Jongh, et al., Tujuan dari integrasi penanggulangan
2010a), dan penggabungan keahlian. Oleh HIV dan AIDS ke dalam sistem kese­
karena itu, tingkat integrasi yang lebih tinggi ha­tan adalah untuk memperkuat efek­
akan mengarah kepada kemampuan sistem tivitas, efisiensi, dan keberlanjutan dari

4
I g n ati u s P rap to raharj o

penanggulangan HIV dan “Untuk dan AIDS, pengintegrasian


AIDS, sehing­ga analisis tentang memahami sistem pembiayaannya ke
integrasi ini secara men­dasar dalam pembiayaan kesehatan
seberapa jauh
harus mencakup implikasi umum, dan lain-lain. Sejumlah
tingkat integrasi
integrasi tersebut ke dalam penelitian telah membuktikan
kinerja penanggulangan HIV dan penanggulangan bahwa pengintegrasian
AIDS, serta bagaimana penga­ HIV dan AIDS intervensi spesifik ke dalam
ruh­nya terhadap sistem yang ke dalam sistem sistem kesehatan berdampak
lebih luas (Coker et al., 2010). kesehatan, pada kinerja intervensi yang
Bagaimana integrasi ini bisa lebih baik misalnya cakupan,
penting pula
menghasilkan dampak yang aksesibilitas terhadap layanan
memahami
ber­pengaruh terhadap efektivitas dan keadilan seperti tampak
dan keberlanjutan program akan berbagai dalam program PPIA (Tudor Car
tergantung dari pengaturan permasalahan et al., 2013), tes HIV (An, et al,
individu atau lembaga termasuk yang relevan 2015) dan perluasan terapi ARV
dana, personil, keterlibatan dengan proses (Rasschaert et al., 2011).
yang lebih besar dari pemangku integrasi yang Sejumlah studi di atas te­lah
kepentingan, dan prosedur
terjadi, serta mengindikasikan tingkat inte­
pengetahuan dan teknologi
seberapa grasi memiliki hubungan yang
yang jelas (Biesma et al., 2009;
positif terhadap kinerja inter­
A. Conseil et al., 2010; Desai, jauh upaya ini
ven­si spesifik. Namun sejauh
Rudge, Adisasmito, Mounier- berkontribusi

Pe nda hu l u a n
ini belum ada kesimpulan yang
jack, & Coker, 2010). Sementara terhadap pasti tentang dampak integrasi
itu, Coker et al. (2010) lebih efektivitas intervensi spesifik ke dalam
menyoroti bahwa mekanisme
penanggulangan sistem kesehatan terhadap
yang memungkinkan intervensi
HIV dan AIDS.” sta­tus kesehatan masyarakat
agar berdampak pada efektivitas
karena studi yang ada masih
dan keberlanjutan adalah
terbatas pada lingkup integrasi
melalui bekerjanya fungsi sistem
dan terbatasnya metodologi
kesehatan yang mencakup (1)
yang memadai (lihat Coker et
pengawasan dan tata kelola; (2)
al., 2010; Dudley & Garner, 2011;
pem­biayaan; (3) perencanaan;
Kawonga et al., 2012; Olmen
(4) pemberian layanan; (5)
et al., 2012; Sweeney et al.,
monitoring dan evaluasi; dan
2012). Oleh karena itu, menjadi
(6) mendorong munculnya
penting untuk menguji secara
permintaan.
substantif dan metodologis
Secara empirik, integrasi, keterkaitan antara integrasi
sebagai bentuk adopsi dan dan kontribusinya terhadap
asimilasi intervensi tertentu efektivitas dan keberlanjutan
ke dalam fungsi dasar dari intervensi spesifik, seperti halnya
sistem kesehatan, dapat penanggulangan HIV dan AIDS.
tecermin dalam pengintegrasian Secara metodologis, Olmen
layanan spesifik HIV dan AIDS (2012) merekomendasikan
ke dalam layanan kesehatan perlu desain dan metodologi
umum, keterlibatan antar yang kuat dalam penelitian
program dan sektor lain tentang integrasi dan efektivitas.
dalam penanggulangan HIV

5
Pe n d a h ul uan

Bahkan jika memungkinkan dengan ke­lom­ buku ini secara substantif mencoba men­
pok intervensi dan kontrol, untuk melihat ja­wab empat pertanyaan dasar dalam me­
kejelasan dan keutuhan dari definisi lakukan analisis integrasi intervensi spesifik
integrasi, karena selama ini integrasi di­ ke dalam sistem kesehatan: (1) ‘mengapa
maknai secara bebas oleh pa­ra peneliti. integrasi dilakukan?’; (2) ‘apa yang
Penting untuk me­nunjukkan secara jelas diintegrasikan?’; (3) ‘bagaimana integrasi
hasil yang diharapkan dari integrasi, oleh bisa dilakukan?’ dan (4) ‘model integrasi
karena itu, perlu penelitian jang­ka panjang seperti apa yang diperlukan?’
sehingga berba­gai dampak yang mungkin
Buku ini menyajikan pokok-pokok hasil
di­ha­silkan dari proses integrasi ini bisa
penelitian yang diharapkan bisa menjadi
dideteksi.
dasar merekomendasikan kebijakan pe­
Dengan melihat mitra pem­­bangunan me­rintah untuk memperkuat integrasi
internasional se­­­bagai pemain utama pe­nanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
penang­gu­langan HIV dan AIDS di Indonesia sistem kesehatan. Bagi mitra pembangunan
melalui penyediaan da­na besar, maka inter­nasional, hasil-hasil penelitian ini
penting me­ne­lisik seberapa jauh pro­ bisa digunakan untuk menyesuaikan
gram penanggulangan HIV dan AIDS ini dukungannya dalam memperkuat sistem
terintegrasi ke dalam sis­tem kesehatan atau kesehatan agar lebih maksimal menanggapi
telah mampu memperkuat sistem ke­­­se­ permasalahan HIV dan AIDS di Indonesia.
hatan. Ini menjadi sangat relevan karena Sementara bagi organisasi masyarakat sipil
pemerintah te­­lah menjadikan integrasi ke atau organisasi komunitas yang terdampak
dalam sistem kesehatan sebagai strategi dengan HIV dan AIDS, hasil penelitian ini
utama peningkatan efektivitas program, diharapkan bisa menjadi referensi atas
dengan pe­libatan pemerintah daerah yang peran-peran yang bisa dimainkan dalam
lebih besar dan menjamin keberlanjutan penanggulangan HIV dan AIDS, khususnya
program pasca se­makin berkurangnya untuk meningkatkan efektivitas program
du­kung­­an dari mitra pem­ba­ngunan inte­ penanggulangan serta keberlanjutan peran
rnasional (KPAN, 2015). Untuk memahami mereka di masa yang akan datang.
sebe­ra­pa jauh tingkat integrasi penang­
gu­langan HIV dan AIDS ke da­lam sistem
kesehatan, penting pu­la memahami ber­ba­gai
per­ma­sa­lahan yang relevan de­ngan pro­ses D a f t ar Pust aka
integrasi yang terjadi, serta seberapa jauh Atun, R., & Bataringaya, J. (2011). “Building a Durable
upa­ya ini ber­kontribusi terhadap efektivitas Response to HIV / AIDS : Implications for Health
Systems”. J Acquir Immune Defic Syndr, 57, 91–95.
penanggulangan HIV dan AIDS.
Atun, R., Jongh, T. De, Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O.
Buku ini pada dasarnya disusun ber­ (2010a). “A systematic review of the evidence on
integration of targeted health interventions into health
da­sarkan hasil penelitian Pusat Kebijakan
systems”. Health Policy and Planning, (December
dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas 2009), 1–14. http://doi.org/10.1093/heapol/czp053
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Atun, R., Jongh, T. De, Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O.
(UGM) selama kurun waktu 2013-2015, (2010b). “Integration of targeted health interventions
into health systems : a conceptual framework for
yang bertujuan memetakan berbagai ke­
analysis”. Health Policy and Planning, (November
bi­jakan dan program HIV dan AIDS, dan 2009), 104–111. http://doi.org/10.1093/heapol/czp055
im­plementasinya dalam kerangka integrasi Atun, R., & Kazatchkine, M. (2009). “Promoting country
de­ngan sistem kesehatan serta implikasinya ownership and stewardship of health programs: The
global fund experience”. Journal of Acquired Immune
terhadap efektivitas penanggulangan HIV
Deficiency Syndromes (1999), 52 Suppl 1, S67–S68.
dan AIDS. Semua artikel yang ada da­lam http://doi.org/10.1097/QAI.0b013e3181bbcd58

6
I g n ati u s P rap to raharj o

Atun, R., Lazarus, J. V, Van Damme, W., & Coker, R. (2010). Central, 10, 2. http://doi.org/10.1186/1478-4505-10-2
“Interactions between critical health system functions Kawonga, M., Fonn, S., & Blaauw, D. (2013). “Administrative
and HIV/AIDS, tuberculosis and malaria programmes”. integration of vertical HIV monitoring and evaluation
Health Policy and Planning, 25 Suppl 1, i1–3. http://doi. into health systems: a case study from South Africa”.
org/10.1093/heapol/czq062 Global Health Action, 6, 19252.
Biesma, R. G., Harmer, A., Walsh, A., Spicer, N., & Walt, G. Kemenkes RI. (2016). Situasi Penanggulangan AIDS di
(2009). “The effects of global health initiatives on Indonesia, Laporan triwulan IV 2015
country health systems : a review of the evidence
from HIV / AIDS control”, 239–252. http://doi. KPA, (2015), Draf Strategi dan Rencana Aksi Nasional
org/10.1093/heapol/czp025 Penanggulangan AIDS 2015-2019

Butt, L. (2005). “‘Lipstick Girls’ and ‘Fallen Women’: AIDS Maher, D. (2010). “Re-thinking global health sector
and Conspiratorial Thinking in Papua, Indonesia”. efforts for HIV and tuberculosis epidemic control:
Cultural Anthropology, 20, 412–442. http://doi. promoting integration of programme activities within a
org/10.1525/can.2005.20.3.412 strengthened health system”. BMC Public Health, 10,
394. http://doi.org/10.1186/1471-2458-10-394
Coker, R., Balen, J., Mounier-jack, S., Shigayeva, A.,
Lazarus, J. V, Rudge, J. W., … Atun, R. (2010). “A Olmen, J. Van, Criel, B., Bhojani, U., Marchal, B., Belle, S.
conceptual and analytical approach to comparative Van, Chenge, M. F., … Kegels, G. (2012). “The Health
analysis of country case studies : HIV and TB control System Dynamics Framework: The introduction of an
programmes and health systems integration”. Health analytical model for health system analysis and its
Policy and Planning, 25, 21–31. http://doi.org/10.1093/ application to two case-studies”. Health, Culture and
heapol/czq054 Society. http://doi.org/10.5195/hcs.2012.71

Conseil, a, Mounier-Jack, S., Rudge, J. W., & Coker, R. Rasschaert, F., Philips, M., Van Leemput, L., Assefa, Y.,
(2013). “Assessing the effects of HIV/AIDS and TB Schouten, E., & Van Damme, W. (2011). “Tackling
disease control programmes on health systems in Health Workforce Shortages During Antiretroviral
low- and middle-income countries of Southeast Asia: Treatment Scale-up-Experiences From Ethiopia and
a semi-systematic review of the literature”. Public Malawi”. Journal of Acquired Immune Deficiency
Health, 127(12), 1063–73. http://doi.org/10.1016/j. Syndromes (1999), 57 Suppl 2, S109–S112. http://doi.
puhe.2013.09.013 org/10.1097/QAI.0b013e31821f9b69

Pe nda hu l u a n
Conseil, A., Mounier-Jack, S., & Coker, R. (2010). Rudge, J. W., Phuanakoonon, S., Nema, K. H., Mounier-
“Integration of health systems and priority health jack, S., & Coker, R. (2010). “Critical interactions
interventions: a case study of the integration of HIV between Global Fund-supported programmes and
and TB control programmes into the general health health systems: a case study in Papua New Guinea”.
system in Vietnam”. Health Policy and Planning, 25 Health Policy and Planning, 25, 48–52. http://doi.
Suppl 1, i32–36. http://doi.org/10.1093/heapol/czq055 org/10.1093/heapol/czq058

Desai, M., Rudge, J. W., Adisasmito, W., Mounier-Jack, S., & Shigayeva, A., Atun, R., Mckee, M., & Coker, R. (2010).
Coker, R. (2010). “Critical interactions between Global Health systems , communicable diseases and
Fund-supported programmes and health systems: a integration. Health Policy and Planning, 25, 4–20.
case study in Indonesia”. Health Policy and Planning, http://doi.org/10.1093/heapol/czq060
25 Suppl 1, i43–47. http://doi.org/10.1093/heapol/ Shrestha, I. B., & Tragard, A. (2010). “System-wide effects
czq057 of Global Fund investments in Nepal”. Health Policy
Dudley, L., & Garner, P. (2011). “Strategies for integrating and Planning, 25, 58–62. http://doi.org/10.1093/
primary health services in low- and middle-income heapol/czq061
countries at the point of delivery”. The Cochrane Sweeney, S., Obure, C. D., Maier, C. B., Greener, R.,
Database of Systematic Reviews, (7), CD003318. http:// Dehne, K., & Vassall, A. (2012). “Costs and efficiency
doi.org/10.1002/14651858.CD003318.pub3 of integrating HIV/AIDS services with other health
Godwin, P., & Dickinson, C. (2012). “HIV in Asia- services: a systematic review of evidence and
Transforming the agenda for 2012 and beyond. Final experience”. Sexually Transmitted Infections, 88(2),
Report,” AusAid Health Resource Facility, (June). 85–99. http://doi.org/10.1136/sextrans-2011-050199
Retrieved from http://www.dfat.gov.au/about-us/ Tudor Car, L., Brusamento, S., Elmoniry, H., van Velthoven,
publications/Documents/hiv-strategic-assessment- M. H. M. M. T., Pape, U. J., Welch, V., … Atun, R. (2013).
report.pdf “The Uptake of Integrated Perinatal Prevention
Grépin, K. A. (2011). “Leveraging HIV Programs to Deliver of Mother-to-Child HIV Transmission Programs in
an Integrated Package of Health Services: Some Low- and Middle-Income Countries: A Systematic
Words of Caution.” Journal of Acquired Immune Review”. PLoS ONE. http://doi.org/10.1371/journal.
Deficiency Syndromes (1999), 57 Suppl 2, S77–S79. pone.0056550
http://doi.org/10.1097/QAI.0b013e31821f6afa Yu, D., Souteyrand, Y., Banda, M. a, Kaufman, J., & Perriëns,
Kawonga, M., Blaauw, D., & Fonn, S. (2012). “Aligning J. H. (2008). Investment in HIV/AIDS programs: does
vertical interventions to health systems: a case study it help strengthen health systems in developing
of the HIV monitoring and evaluation system in South countries?”. Globalization and Health, 4, 8. http://doi.
Africa”. Health Research Policy and Systems / BioMed org/10.1186/1744-8603-4-8

7
01
Tinjauan Historis
Kebijakan & Program
Penanggulangan
HIV & AIDS
di Indonesia

Muh am m ad Suharni & It a Perwi ra

8
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

A.
Pendahuluan

Respons terhadap epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama lebih


dari dua dekade. Penanggulangan HIV dan AIDS secara sporadis telah
dimulai sejak kasus pertama ditemukan tahun 1987, yang direspons formal
dengan dibentuknya Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) tahun 1994 dan
diikuti dengan berbagai program kerjasama internasional, baik kerjasama
bilateral (misalnya USAID, Australian Aid, dan DfID), multilateral (GFATM, UN,
Indonesia Partnership Funds), dan lembaga non pemerintah (KPAN, 2011).
Total dana yang telah dikucurkan baik oleh lembaga internasional maupun
pemerintah sejak 1996 sampai dengan 2010 tercatat sedikitnya US$ 445 juta,
yang sebagian besar dari jumlah tersebut merupakan bantuan luar negeri
(Nadjib, M., Megraini, A., Ishardini, L., & Rosalina, L., 2013).

Dari sisi kebijakan, pemerintah pusat seks tidak aman (KPAN, 2010). Di tingkat 01
dan daerah telah mengeluarkan berbagai populasi, prevalensi HIV pada populasi kunci
kebijakan, baik yang sifatnya normatif masih tinggi, sebesar 42% untuk penasun,
(Keputusan Presiden No. 36/1996 tentang waria pekerja seks (22%), perempuan pekerja
pembentukan KPAN, dan beberapa seks langsung 10%, perempuan pekerja
Perda HIV dan AIDS di berbagai daerah) seks tidak langsung 3%, dan lelaki yang
maupun yang berniat menjadi terobosan1 berhubungan seks dengan lelaki (LSL) 3%
regulasi, seperti Keppres No. 75/2006 (Kemenkes RI, 2013).
yang merevitalisasi kewenangan KPAN,
Di sisi lain, potensi penularan HIV di
Permenkes No. 567/2006 dan Permenko
Indonesia masih sangat tinggi, mengingat
Kesra No. 2/2007 tentang distribusi jarum
besarnya populasi yang berisiko (sekitar
suntik.
8,7 juta orang estimasi populasi kunci)2
Respons berbagai pihak tampaknya dan perilaku mereka yang masih berisiko
belum cukup membantu pencapaian target tinggi di mana pemakaian kondom secara
pemerintah untuk penanggulangan HIV dan konsisten dalam seks komersial masih
AIDS tahun 2014, yaitu pencegahan 294,000 rendah (32%) dan satu dari tiga penasun
infeksi baru, terjangkaunya 80% populasi masih berbagi jarum (STBP 2007). Selain
kunci dengan program komprehensif, dan itu di tingkat populasi umum, dalam hal
60% pemakaian kondom pada hubungan ini orang muda (usia 15-24 tahun), tingkat
pemahaman yang komprehensif mengenai
1) Keppres no. 75/2006 adalah mengubah struktural KPA
yang berada di Kemenkokesra yang bertanggung jawab
HIV dan AIDS masih rendah, yaitu 20.7%.
langsung ke Presiden. Sementara regulasi untuk distribusi Selain tingginya populasi rawan penularan,
jarum suntik termasuk kebijakan yang cukup kontroversial
di awal penerapannya di Indonesia. 2) Estimasi Kementerian Kesehatan 2012.

9
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

Gambar 1. Sepuluh provinsi yang melaporkan jum

Sumut Kep. Riau Kalbar


11.086 5.760 5.290

DKI
39.347

Jateng Bali
12.835 12.216

Jabar Jatim
17.679 24.916

10
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

mlah kasus HIV terbanyak hingga tahun 2015

Sulsel Papua
5.303 20.859

01

Sumber: Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan IV tahun 2015, Kementrian Kesehatan

11
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

tingkat penyebaran kewilayahannya sangat di Indonesia. Pernyataan tersebut sesuai


cepat. Sedikitnya 348 dari 497 kabupaten/ dengan apa yang disebut oleh Freedman,
kota di Indonesia pada tahun 2013 sudah et al. (2011) tentang integrasi layanan
melaporkan kasus HIV dan AIDS di kesehatan ibu dan anak (KIA) serta HIV
wilayahnya.3 Sementara laporan terakhir dan AIDS ke dalam sistem kesehatan,
Desember 2015, kasus HIV dan AIDS sudah bahwa untuk mengintegrasikan layanan
tersebar di seluruh provinsi di Indonesia membutuhkan dukungan sistem kesehatan
dan dilaporkan di 407 kabupaten/kota yang kuat. Oleh karena itu, pemahaman
atau sekitar 80% dari total 507 kabupaten/ mengenai bagaimana sistem kesehatan
kota yang ada di Indonesia.4 Gambar 1 bekerja menjadi sangat penting untuk
berikut menunjukkan 10 kabupaten/kota meningkatkan efektivitas dan efisiensi
dengan jumlah kasus HIV dan AIDS tertinggi intervensi HIV dan AIDS.
di Indonesia berdasarkan data Laporan
Kajian ini disusun untuk menggambarkan
Perkembangan HIV-AIDS Triwulan IV tahun
perjalanan kebijakan program HIV dan AIDS
2015 oleh Kementerian Kesehatan.
di Indonesia dari perspektif sistem kesehatan.
Beberapa kajian menunjukkan, salah Di dalamnya juga mencakup konteks yang
satu penjelasan untuk situasi di atas adalah melatarbelakangi berbagai kebijakan terse­
respons terhadap HIV belum terintegrasi but, mengidentifikasi kesenjangan antara
dalam sistem kesehatan yang ada, masih kebijakan dan implementasi program, serta
bersifat parsial. Penyebabnya antara lain mengusulkan agenda kebijakan yang perlu
pengaruh kepentingan dan perbedaan disikapi untuk mengintegrasikan kebijakan
prioritas pada setiap program. Contoh, untuk penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
program yang didukung oleh US President’s sistem kesehatan yang berlaku di Indonesia.
Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR)
Data yang digunakan untuk menyusun
karena adanya tekanan Global Health
kajian ini dikumpulkan melalui pencarian
Initiative, strategi program penanggulangan
dokumen yang terpublikasi maupun yang
HIV dan AIDS menekankan pada hasil,
belum, baik dalam bentuk artikel ilmiah,
peningkatan integrasi, dan keberlanjutan
kajian/laporan, peraturan dan perundangan,
program serta penguatan sistem.5 Namun
serta dokumen internal dari lembaga-
di sisi yang lain, juga lantaran pemahaman
lembaga yang bekerja dalam bidang
mengenai bagaimana sistem kesehatan
HIV dan AIDS atau lembaga penelitian di
di Indonesia bekerja, secara formal dan
Indonesia. Dari seluruh data yang terkumpul,
informal masih beragam dan dalam
dipilah dan dikelompokkan berdasarkan
beberapa hal masih kurang (PEPFAR, 2011;
kebutuhan untuk menjawab tujuan kajian ini.
Praptoraharjo, et al. 2013).
Oleh karena cakupan kajian cukup lu­
Mengingat konteks tata kelola layanan
as, maka ada beberapa hal yang menjadi
kesehatan menjadi platform intervensi HIV
keterbatasan yaitu: (1) Kajian ini mencoba
dan AIDS, maka penguatan sistem kesehatan
menggambarkan perjalanan kebijakan HIV
menjadi “necessary and sufficient condition”
dan AIDS dalam kurun waktu lebih kurang
untuk efektivitas respons terhadap HIV
25 tahun, dimulai tahun 1987 hingga 2013,
3) Laporan Situasi Perkembangan HIV&AIDS di Indonesia sehingga data kebijakan dan program yang
tahun 2013, Kementerian Kesehatan. dilaksanakan di tahun-tahun awal epidemi
4) Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan IV tahun HIV di Indonesia tidak mudah diperoleh.
2015, Kementerian Kesehatan. Akibatnya deskripsi situasi pada awal epi­
5) Five-Year Strategy of the U.S. President’s Emergency de­mi menjadi relatif terbatas; (2) Isu HIV
Plan for AIDS Relief. http://www.pepfar.gov/documents/
organization/149857.pdf, diakses Januari 2015. dan AIDS pada dasarnya merupakan isu

12
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

multisektoral sehingga kebijakan terkait masyarakat sipil, sebagian besar tumbuh


de­ngan masalah ini menjadi sangat luas. untuk merespons kesempatan mendapatkan
Kajian ini hanya membatasi pada konteks dana dari lembaga internasional untuk
sis­tem kesehatan di Indonesia sehingga tidak penanggulangan HIV dan AIDS (Pisani, E.
mampu memberikan gambaran mendalam 2008).
mengenai kebijakan HIV dan AIDS di luar
Pada 2001 implementasi desentralisasi
sektor kesehatan.
pemerintahan di Indonesia dimulai yang
diikuti dengan pelaksanaan kebijakan baru
tentang pendanaan pembangunan di ting­kat

B. pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pe­


ne­rapannya dibarengi pula desentralisasi
ke­sehatan sebagai konsekuensi dari de­
Perkembangan Kebijakan sen­tralisasi secara politik yang menjadi
Penanggulangan HIV & AIDS di inti Undang-Undang (UU) No. 22/1999
Indonesia (Trisnantoro, L. 2007). Desentralisasi mem­­
berikan kewenangan yang lebih be­sar
Konteks Perubahan kepada pemerintah daerah untuk me­nen­
tukan prioritas pembangunan di daerahnya.
Pemerintahan
Di beberapa daerah, masalah kesehatan
Di era Orde Baru, respons kebijakan
belum mendapat perhatian dan pendanaan
pemerintah Indonesia terhadap epidemi
yang cukup, karena kapasitas daerah me­
HIV dan AIDS di tingkat nasional dimulai
la­kukan penilaian permasalahan kesehatan
dengan keluarnya Keputusan Presiden
dan analisis kebutuhan masih kurang 01
(Keppres) No. 36/1994 tentang pembentukan
dan bervariasi di tiap-tiap daerah. Hal ini
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
ditunjukkan misalnya dari tidak adanya dana
(KPAN) sebagai badan koordinasi da­lam
yang disediakan pemerintah daerah untuk
penanggulangan HIV dan AIDS. Per­tim­
membuat sistem surveilans yang merupakan
bang­an keluarnya keputusan ini adalah
dasar menyusun strategi penanggulangan
respons terhadap kondisi global untuk
suatu penyakit di daerah (WHO, 2008).
pencegahan dan penanggulangan HIV
Selain itu, cara pandang mengenai tata
dan AIDS serta dorongan dari lembaga
kelola pemerintah daerah yang cen­de­­rung
internasional melalui Perserikatan Bangsa-
terpusat dan membatasi dalam mengem­
Bangsa, yang dalam sidangnya pada
bang­kan perencanaan daerah.
Oktober 1987 mencanangkan strategi
global pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS yang diajukan oleh WHO pada perlakuan yang sama dan adil pada ODHA;
pada tahun 1985/1986.6 Boleh dikatakan pertemuan the United Nations Millennium Summit pada
September 2000, pemerintah Indonesia menandatangani
bahwa komitmen pemerintah terhadap the Millennium Declaration sebagai komitmen pemerintah
penanggulangan HIV dan AIDS lebih banyak untuk bekerja mencapai tujuan the UN Millennium
karena pengaruh kampanye di tingkat Development Goals (MDGs) yang memasukkan HIV dan
AIDS dalam pencapaian tujuan keenam. Selanjutnya,
global dibandingkan dengan kesadaran tahun 2001, pemerintah Indonesia menandatangani the
teknokratis atau dorongan dari masyarakat Declaration of Commitment of the UN General Assembly
sipil.7 Demikian juga di kalangan organisasi Special Session on HIV/AIDS (UNGASS) dengan 11 butir
kesepakatan. Pada tahun yang sama, Indonesia juga
menandatangani komitmen Menteri-Menteri Asia Pasifik
6) Lihat: Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tentang HIV/AIDS pada tahun 2001, komitmen deklarasi
Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS. Para Kepala Negara Asean tentang HIV/AIDS tahun 2001,
7) Contoh dari “tekanan” internasional ini antara lain deklarasi Inter Parliamentary Union tentang HIV/AIDS
kesepakatan Paris Summit 1994 yang menitikberatkan 2001.

13
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

Untuk meningkatkan efektivitas koordi­ Salah satu pembelajaran penting


na­si penanggulangan HIV dan AIDS, ma­ka dalam merespons HIV dan AIDS adalah
pada 2006 KPA melakukan revital­is­ a­si desentralisasi, penyerahan urusan
melalui Peraturan Presiden No. 75/2006 pemerintahan dari pusat ke daerah. Ini bukan
yang semakin menegaskan ko­mit­men pe­ hal yang mudah. Sering terjadi tumpang
me­rintah Indonesia dalam penang­gu­lang­ tindih atau kekosongan dalam pembagian
an HIV dan AIDS. Anggota KPAN menurut urusan. Akibatnya, sistem kesehatan menjadi
Perpres ini terdiri dari 12 Menteri, Sekretaris sulit dikelola. Oleh karena itu, diperlukan
Kabinet, Panglima TNI, Kepala Kepolisian pengembangan sistem kesehatan yang
Negara RI, 3 Kepala Badan, Ketua Pengurus harmonis dengan kebijakan desentralisasi
Besar Ikatan Dokter Indonesia; Ketua Ikatan untuk meningkatkan status kesehatan
Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia; masyarakat. Sistem kesehatan nasional
Ketua Palang Merah Indonesia; Ketua Kamar (Perppres No. 72/2012 Pasal 1 angka 2)
Dagang dan Industri; Ketua Organisasi menunjukkan, pengelolaan kesehatan
ODHA Nasional. Sedangkan Wakil Ketua 1 diselenggarakan oleh semua komponen
adalah Menteri Kesehatan dan Wakil Ketua 2 bangsa Indonesia secara terpadu dan saling
adalah Menteri Dalam Negeri. Implikasi dari mendukung guna menjamin tercapainya
perubahan struktur KPAN ini adalah pada derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
keterlibatan dan kebijakan yang dikeluarkan tingginya, serta bersifat berjenjang di pusat
oleh kementerian dan badan yang menjadi dan daerah dengan memperhatikan otonomi
anggota KPAN. daerah dan otonomi fungsional di bidang
kesehatan.
Lahirnya Permendagri No. 20/2007
tentang Pedoman Umum Pembentukan Berdasarkan kerangka desentralisasi
Ko­misi Penanggulangan AIDS dan Pember­ seperti itu, maka program penanggulangan
da­yaan Masyarakat dalam Rangka Pe­ HIV dan AIDS di Indonesia secara nyata
nang­gulangan HIV dan AIDS di daerah masih menghadapi dua tantangan. Pertama,
meru­pa­kan salah satu bentuk komitmen secara internal dalam sistem kesehatan,
Ke­men­terian Dalam Negeri untuk mengatasi yaitu keterpaduan antara kebijakan,
perma­sa­lahan HIV dan AIDS melalui kepe­ perencanaan, dan penganggaran, serta
mimpinan daerah. Dalam Permendagri ini, pelaksanaan. Kedua, lemahnya sinergi
dicantumkan organisasi KPA tingkat provinsi/ dalam penyusunan program kesehatan
kabupaten/kota, tugas dan tanggung jawab, dengan sektor lain, contoh program
serta sumber pendanaan penanggulangan pendidikan HIV dan AIDS atau kesehatan
HIV dan AIDS di daerah. Merespons ke­bu­ reproduksi bagi remaja di sekolah belum
tuh­an pendanaan di daerah, KPA Nasional sinergi antara sektor kesehatan dengan
melalui Menteri Dalam Negeri menetapkan sektor pendidikan.
kebijakan Permendagri No. 13/2006, yang
Dalam konteks desentralisasi,
kemudian dilakukan perubahan pa­da
seperti dilaporkan oleh PKMK FK UGM
Per­mendagri No. 59/2007 tentang Penge­
(2009), terdapat gejala belum padunya
lolaan Keuangan Daerah sebagai dasar
perencanaan pusat dan daerah, misalnya
pengelolaan perencanaan dan pengang­gar­
dalam penentuan target program HIV dan
an. Pertemuan pembahasan pelaksanaan
AIDS yang masih mengacu pada target
penganggaran ini telah dimulai pada tahun
pusat. Padahal seharusnya target dan
2007. Sebagai dampaknya, kontribusi pen­
perencanaan di daerah menyesuaikan
da­naan yang bersumber dari pemerintah
dengan situasi epidemi, sumber daya
se­makin meningkat dari 22.37% tahun 2004,
di daerah. Di dalam lingkup proses
menjadi 39.03% pada 2008 (KPAN, 2011).

14
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

perencanaan ada kesulitan untuk mengubah Pengembangan kebijakan daerah


pola pikir dari ”project oriented” atau secara umum belum dirasakan manfaatnya
”budget oriented” kepada ”performance oleh kelompok penerima manfaat. Perda
based-budgeting”. Faktor lain adalah terkait HIV dan AIDS yang dihasilkan di
terbatasnya SDM yang dapat menunjang berbagai provinsi dan kabupaten/kota
upaya perencanaan pembangunan sampai sekarang terasa kurang bergigi. Ada
kesehatan, serta tidak lancarnya pelaporan anggapan bahwa ada atau tidak ada perda,
kegiatan dan pengembangan yang program penang­gulangan HIV dan AIDS
bertujuan meningkatkan mutu perencanaan tetap berjalan seperti biasa. Sebelum terbit
pembangunan kesehatan perda, pro­gram penanggulangan HIV dan
AIDS sudah berjalan dan ham­pir memenuhi
Respons penanggulangan HIV dan AIDS
harapan. Sedangkan setelah terbitnya perda,
di Indonesia sampai saat ini masih berjalan
tidak ada peningkatan kualitas layanan yang
dengan menggunakan pendekatan vertikal,
berarti bagi penerima manfaat program.
meskipun tata kelola pemerintahan sudah
Proses pengembangan kebijakan belum
terdesentralisasi. Pendekatan vertikal
bisa mewakili kepentingan po­pulasi kunci,
pada program penanggulangan HIV dan
melainkan hanya demi kepentingan elite.
AIDS terjadi sejak awal masuknya HIV
Proses implementasi kebijakan dan pro­ses
dan AIDS di Indonesia sebagai bentuk
evaluasi belum berjalan sesuai harapan. Ini
respons darurat. Saat ini, situasi epidemi
semua berdampak pada efektivitas ke­bijakan
sudah bergeser. Respons penanggulangan
terhadap populasi pe­ne­rima manfaat.
HIV dan AIDS seharusnya sudah beralih
Bahkan perda HIV belum bisa menjadi
menggunakan pendekatan horizontal, yang
jaminan untuk penyediaan dana khusus
mengedepankan kebutuhan daerah serta
un­tuk penanggulangan HIV dan AIDS dari 01
menjaga keberlangsungannya. Namun hal ini
APBD. Ironisnya, KPAD masih bergantung
belum terjadi, ditunjukkan dari pengalaman
pada dana hibah, yang besarannya
daerah dalam menyikapi penanggulangan
bergantung pada kepedulian dari Gubernur/
HIV dan AIDS yang masih cenderung
Walikota/Bupati.
menunjukkan pendekatan vertical, seperti
rencana strategi daerah provinsi tentang Secara umum, kelemahan mendasar
pencegahan HIV dan AIDS dimasukkan dalam respons ter­ha­dap HIV dan AIDS
dalam Rencana Pembangunan Jangka adalah ke­cen­derungannya bertumpu
Menengah Daerah (RPJMD) kabupaten/kota. pada aksi kebijakan dan ke­lem­bagaan
Di tingkat kabupaten/kota juga terlihat jelas saja, yaitu pembentukan KPA daerah, pe­
bagaimana respons pemerintah kota dan nyusunan peraturan daerah atau pedoman
kabupaten cenderung hanya mengikuti apa pelaksanaan; na­mun lemah terkait dengan
yang dibuat di tingkat nasional. Contoh, jika kapasitas implementasi kebi­jak­an. Hal
di tingkat pusat ada kesepakatan Sentani, ini sesuai de­ngan pengamatan Prof. Lant
di tingkat provinsi ada banyak kesepakatan Pritchett dari Harvard Kennedy School
lintas kabupaten/kota yang dibuat. Selain yang disampaikan dalam laporan kertas
itu, target program di daerah juga mengikuti kerjanya (2014) bahwa permasalahan pokok
target nasional, bukan berdasarkan pembangunan di negara berkembang
situasi epidemi di daerah. Padahal tujuan adalah pada tahapan implementasi.
desentralisasi pada hakikatnya adalah
Selanjutnya Prof. Pritchett menyatakan
mendekatkan pembuat kebijakan dengan
bahwa kita sering­kali memilih teknik
masyarakat melalui kebijakan yang disusun
“Isomorphic Mimicry” seperti yang
di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
dilakukan oleh ular jenis Scarlet King Snake

15
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

(Lampropeltis elapsoides) yang “Teknik “seolah- perilaku (knowledge, attitude


tidak berbisa—dengan mem­ olah berbisa” and practice) pada populasi
pu­nyai belang yang mirip ular ini juga banyak wanita pekerja seks/WPS (14
Eastern Coral Snake (Micrurus penelitian), pelanggan WPS (10),
dipakai dalam
fulvius) yang sangat berbisa. waria penjaja seks (4 penelitian)
Ular Scarlet yang tidak berbisa merespons dan penasun (7 penelitian) yang
ini, dengan penampakan seperti tantangan ter­kait dengan risiko ter­tu­lar
ular yang berbisa, dapat menipu pembangunan infeksi menular seksual dan
mu­suhnya. Teknik “seolah-olah dengan HIV (Pusat Penelitian dan Pe­
berbisa” ini juga banyak di­ membentuk ngem­­bangan Pemberantasan
pakai dalam merespons tan­ Penyakit, Balitbangkes, 2005).
lembaga baru,
tang­an pembangunan dengan Selain itu, beberapa penelitian
membentuk lembaga baru, mengeluarkan ten­tang adat/budaya/ritual
me­ngeluarkan kebijakan, kebijakan, yang terkait dengan risiko
mengeluarkan komitmen ber­ mengeluarkan pe­nu­­laran infeksi seksual
sa­ma, dan sebagainya; seolah- komitmen ter­masuk HIV (9 penelitian).
olah dengan semua respons ini bersama, dan Selain penelitian-penelitian
tampak kelihatan merespons de­ ter­sebut, Depkes (sekarang Ke­
sebagainya;
ngan baik. Namun semua hal ini menkes) bersama Badan Pusat
tidak efektif karena kemampuan seolah-olah Statistik (BPS) melakukan Survei
ke­lembagaan dan kapasitas dengan semua Surveilans Perilaku (SSP) oleh
im­plementasi dari kebijakan dan respons ini di 13 provinsi. Ini untuk me­
pro­gram masih rendah (Prichett, tampak kelihatan nge­­tahui bukan hanya tingkat
Lant., Woolcock, Michael., merespons risiko suatu populasi, namun
Andrews, Matt., 2012). ju­ga mengumpulkan informasi
dengan baik.”
ter­kait kondisi sosial ekonomi
dan situasi kelembagaan terkait
Penelitian sebagai pe­­nanganan infeksi menular
basis kebijakan: studi seksual dan HIV dan AIDS.
tentang HIV di fase Penelitian tersebut dilakukan
awal epidemi dalam upaya pengembangan
dan perbaikan kebijakan dan
Penelitian mengenai HIV
program penanggulangan
dan AIDS sejalan dengan
HIV dan AIDS di Indonesia.
perkem­­bangan program pe­
Contohnya dalam SRAN HIV
nang­­­gu­langannya. Hal ini
dan AIDS KPAN 2003-2007
menunjukkan kesadaran akan
disebut bahwa pada periode
pentingnya data dalam pe­
1984-1994, respons terhadap
ru­­musan kebijakan program
HIV dan AIDS dilakukan dengan
mau­pun kebijakan publik. Dalam
survei pada populasi berisiko
kurun waktu 1997-2003 se­di­
terlebih dahulu, seperti WPS
kitnya 65 penelitian tentang
(KPAN, 2003). Penelitian Endang
HIV dan AIDS yang tersebar di
Basuki et al (2002), Ivan Wolffers
12 provinsi di Indonesia. Topik
et al (1999), Crisovan (2006)
utama penelitian berkisar pada
melihat bagaimana gagasan
aspek pengetahuan, sikap, dan
budaya tentang HIV dan AIDS,
khususnya persepsi tentang

16
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

risiko, merupakan rujukan yang digunakan “apakah manusia bebas untuk memilih
untuk membangun sebuah pemahaman yang bagaimana berpikir dan bertindak, ataukah
menyeluruh tentang dampak dan efektivitas sebenarnya ada kekuatan di luar mereka
program pendi­dikan HIV dan AIDS yang ada. yang mengatur cara berpikir dan bertindak
Konstruk­si penang­gulang­an HIV dan AIDS mereka?” (Nugroho, K. 2008). Implikasi
di Indonesia meng­­gunakan dasar konsep kebijakan dari masing-masing pendekatan di
‘perilaku berisiko’ yang cukup rigid sehingga atas akan berbeda. Jika manusia dianggap
mengalami ba­nyak tantangan dalam bebas memilih, maka cara mengurangi
konteks sosial dan budaya yang men­do­rong perilaku berisiko HIV adalah menyerahkan
munculnya stigma dan diskriminasi terkait kepada populasi kunci dengan cara
dengan HIV dan AIDS. Contohnya dapat kita memberikan bekal yang cukup (pengetahuan
lihat pada program promosi dan pencegahan dan ketrampilan) untuk mampu mengambil
menggunakan kon­­dom dalam hubungan keputusan. Pendekatan yang kedua akan
seks berisiko. Studi-studi ini melihat bah­wa berfokus pada variabel di luar individu yang
terdapat kesenjangan antara konsep ‘risiko’ dianggap mampu mempengaruhi tindakan
pada pelak­sana program dengan ke­lompok individu.
yang menjadi ‘target’ program.
Secara umum, studi-studi di atas dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama adalah studi etik
yang mengaitkan tingginya risiko suatu
C.
populasi terhadap IMS/HIV dengan Kebijakan Tata Kelola
karakteristik individu (persepsi, konsepsi
dan pengetahuan). Studi-studi dengan Regulasi dan Manajemen 01
pendekatan etik yang mencoba melihat Program Penanggulangan HIV
subjective meaning perilaku berisiko dari dan AIDS
sudut pelaku juga sering terjebak dalam
model penjelasan yang masih mengaitkan Sejak 1987 sampai 2013 terdapat 10 kebijak­
antara perilaku berisiko dengan kurangnya an internasional, 66 kebijakan nasional, dan
pengetahuan dan nilai-nilai yang diberikan 55 perda (17 Perda Provinsi dan 38 Perda
subjek dalam tindakannya. Kelompok yang Kabu­paten/Kota) terkait HIV dan AIDS. Seca­
kedua adalah studi yang melihat pengaruh ra garis besar, pembuatan kebi­jak­an HIV dan
struktural (setidaknya struktur sosial dalam AIDS semakin diperkuat dan dipertajam agar
populasi sasaran) kepada perilaku anggota- dapat merespons kon­disi sosial politik yang
anggotanya dan menyarankan bahwa sudah berubah dari peralihan era Orde Baru
perilaku berisiko itu adalah produk situasi (1987-1998) yang sentralistik ke era otonomi
struktural. Studi-studi di atas menempatkan yang desen­tra­lis­tik (1999-2013). Kebijakan
dirinya dalam posisi yang saling HIV dan AIDS yang ada kebanyakan bersifat
berhadapan. Kelompok studi yang pertama teknis terkait pe­ngobatan dan perawatan,
menekankan peran individu dalam kontrol misalnya me­la­lui program antiretroviral
terhadap perilaku berisiko, sedangkan treatment (ART). Di sisi yang lain, kebijakan
kelompok kedua adalah sebaliknya, melihat HIV dan AIDS di daerah belum mengikuti
perilaku berisiko sebagai produk struktural. pe­rubahan tata kelola pemerintahan yang
desentralistik, sehingga program penang­
Dua pandangan di atas mencerminkan gulangan HIV dan AIDS di daerah belum
inti dari perdebatan tentang agensi (agency) mampu menjawab permasalahan setempat.
dan struktur, yaitu pertanyaan tentang Hal ini ditunjukkan dengan masih minimnya

17
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

kebijakan dan program terkait pencegahan Merespons perubahan pola penularan


HIV dan AIDS yang diinisiasi di daerah. HIV di Indonesia, terbit Peraturan Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Respons kebijakan penanggulangan
No. 2/2007 tentang Kebijakan Nasional
HIV dan AIDS di Indonesia dari hasil tin­
Penanggulangan HIV dan AIDS melalui
jau­an PKMK FK UGM (2013), dapat dikla­
Pengurangan Dampak Buruk Pengguna
si­fikasikan secara multi sektoral yang
Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik
be­rupa kebijakan yang dikeluarkan oleh
awal tahun 2007. Penyusunan kebijakan ini
KPAN sebagai lembaga koordinasi peren­
dipimpin oleh Menteri Koordinator Kesejah­
ca­naan, pelaksanaan dan monitoring
teraan Rakyat selaku Ketua KPA Nasional
eva­luasi penanggulangan HIV dan AIDS di
dengan pelibatan Kepala BNN/POLRI,
Indonesia. Selain itu, ada kebijakan sek­
Menteri Kesehatan dan Menteri Hukum dan
to­ral yang dikeluarkan oleh kementerian/
HAM sebagai anggota KPA Nasional.
lembaga anggota KPAN, semisal kebijakan
penanggulangan HIV dan AIDS di sek­ Di tingkat daerah, strategi daerah
tor kesehatan yang dikeluarkan oleh penanggulangan HIV dan AIDS juga
Kementerian Kesehatan. dibuat mulai dari strategi provinsi sampai
strategi kabupaten/kota. Beberapa provinsi
Selain itu, Kemenkokesra selaku Ketua
di Indonesia telah membuat Strategi
KPAN juga mengeluarkan kebijakan yang
dan Rencana Aksi Daerah (SRAD) untuk
mengarahkan kebijakan dan program
Penanggulangan HIV dan AIDS pada
HIV dan AIDS di Indonesia, seperti
tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Permenkokesra No. 07/2007 tentang Strategi
Ada kecenderungan bahwa penyusunan
Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS
berbagai dokumen strategi dan aksi pada
2007–2010 dan Permenkokesra No. 8/
tingkat sub-nasional mengikuti pola yang
Per/Menko/Kesra/2010 tentang Strategi
ada di SRAN, tanpa memperhitungkan
dan Rencana Nasional Penanggulangan
permasalahan dan kapasitas lokal serta
HIV dan AIDS tahun 2010-2014. Strategi
bagaimana hubungan antara pusat dan
dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) yang
daerah. Dengan demikian, dokumen ini
dikeluarkan oleh KPA melingkupi Arahan
cenderung sebagai sebuah dokumentasi
Kebijakan Nasional, Prinsip dan Dasar
daripada sebagai acuan pelaksanaan
Kebijakan, serta Tujuan dan Strategi. Selain
berbagai kegiatan penanggulangan HIV dan
itu, Rencana Aksi Nasional juga menyangkut
AIDS di daerah bersangkutan. Dokumen ini
area dan fokus geografi. Penyelenggaraan
semakin tidak berarti ketika semua program
rencana aksi termasuk kepemimpinan
penanggulangan HIV dan AIDS, termasuk
dan tata kelola pemerintahan, koordinasi
pendanaannya, didukung sepenuhnya
penyelenggaraan dan prinsip kemitraan.
oleh pusat, baik oleh KPAN, Kementerian
Sedangkan kebutuhan dan mobilisasi
Kesehatan atau mitra pembangunan
sumber daya berupa kebutuhan sumber
internasional (MPI).
daya manusia, pendanaan dan sarana
serta prasarana. Untuk memastikan Di tingkat kelembagaan, pembentukan
dan mengetahui bagaimana SRAN ini KPA daerah, baik provinsi maupun
dilaksanakan, maka monitoring dan evaluasi kabupaten/kota, merupakan amanat
diatur dengan menetapkan beberapa hal dari kebijakan nasional (Permenkokesra
sebagai berikut: target tahunan cakupan dan Permendagri). Namun, proses
program, kerangka kerja dan indikator pembentukan dan bagaimana dinamika
kinerja, mekanisme monitoring dan evaluasi peran dan kinerjanya cukup bervariasi
serta pengembangan kapasitas. dari satu daerah dengan daerah lainnya.

18
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

Contohnya, pembentukan KPA Jawa Timur Pembiayaan Dalam


mengalami berbagai proses evolusi dari Penanggulangan HIV dan AIDS
badan penanggulangan kenakalan remaja
(Bapenkar) yang dibentuk tahun 1994 dan Dalam strategi nasional penanggulanggan
berubah menjadi Badan Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014, disebutkan empat
Napza dan HIV dan AIDS (BPNA) kemudian fokus area program yang memerlukan
pada tahun 2008 bentukan KPA Jawa Timur pendanaan, yakni (1) pencegahan (57%);
berdasarkan amanat Permendagri No (2) perawatan, dukungan, dan pengobatan
20/2007 dan Perpres No 75/2006 tentang (28%); (3) mitigasi dampak (2%); dan (4)
KPAN dan Pembentukan KPA Provinsi, pengembangan lingkungan yang kondusif
Kabupaten/Kota. (13%), yang di dalamnya ada pendanaan
operasional kelembagaan KPA yang ber­
Hal yang cukup menarik untuk ditelaah sum­ber dari gabungan dari pemerintah dan
dalam program penanggulangan HIV dan donor (MPI). Kegiatan difokuskan pada pro­
AIDS, adalah tahapan implementasinya gram yang efektif dan dilaksanakan di 137
pada dinas kesehatan yang menjadi leading ka­bupaten/kota dari total 507 kabupaten/
sector-nya. Program pencegahan HIV dan kota yang ada di Indonesia saat ini, di titik
AIDS dinas kesehatan akan melibatkan 80% lebih populasi kunci berada. Selain itu
banyak bagian atau lembaga dan sumber dibutuhkan juga pendanaan untuk prasarana
dana. Sehingga aspek lain yang penting pencegahan, perawatan, dan pengobatan,
dilihat dalam pelaksanaan program adalah yang meliputi outlet kondom, layanan kon­
kerjasama pemerintah daerah dengan se­ling dan tes sukarela (KTS), layanan infeksi
berbagai pihak, termasuk LSM. Di Medan menular seksual (IMS), layanan perawatan,
misalnya, pendistribusian alat suntik steril, dukungan dan pengobatan (PDP), layanan
kondom, dan pelicin dilakukan melalui 01
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
LSM, puskesmas, dan outlet kondom; ARV (PPIA), layanan alat suntik steril (LASS), dan
didistribusikan melalui rumah sakit dan layanan program terapi rumatan metadon
puskesmas yang ditunjuk. (PTRM).
Contoh lain adalah tantangan yang Garis besar gambaran distribusi dana
dihadapi pada pelaksanaan program un­tuk masing-masing program dapat dilihat
Layanan Alat Suntik Steril (LASS). Sebagai pada tabel 1, baik untuk pendanaan yang
penanggung jawabnya adalah rumah bersumber dari pemerintah maupun dari MPI.
sakit atau puskesmas, meski tidak
semuanya menyediakan layanan ini karena Asal dana yang dominan sampai saat ini
keterbatasan dana dan SDM serta material. dari sumber lain yang tidak mengikat, yakni
Kalaupun layanan dibuka, tidak serta merta Mitra Pembangunan Internasional (MPI).
penasun mau mengakses layanan tersebut, Karena itu, pendanaan penanggulangan HIV
karena faktor kenyamanan dan keamanan dan AIDS masih menjadi masalah tersendiri
akan menjadi pertimbangan mereka. Hal di Indonesia. Walaupun ada kecenderungan
ini mempertegas bahwa penting untuk peningkatan pendanaan, baik dari APBN
mempertimbangkan faktor dan kondisi dan APBD kota dan kabupaten, tetapi
sosial budaya para pemanfaat layanan, ketergantungan terhadap bantuan dana
yang jika hanya direncanakan dari pusat hibah luar negeri dirasa masih dominan.
(sistem vertikal) maka akan memiliki risiko Gambaran distribusi sumber pendanaan
“implementation failure” yang tinggi. untuk penanggulangan HIV dan AIDS yang
bersumber dari MPI (diwakili oleh GF sebagai

19
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

Tabel 1. Distribusi dana untuk program HIV & AIDS 2011


dan 2012

2011 (USD) 2012 (USD)


Kegiatan
Kategori

Pemerintah

Pemerintah
MPI

MPI
% % % %

Pencegahan 5.888.726 28.88 14.496.148 71.12 6.881.439 28.67 17.119.022 71.33

PDP 16.470.533 89.39 1.954.684 10.61 23.268.992 74.62 7.912.546 25.38

Yatim piatu 17.151 100 - - 19.791 72.63 7.458 27.37


& orang
terlantar

Manajemen 3.719.884 19.20 16.650.465 80.80 3.375.269 21 12.697.951 79


program &
administrasi

Insentif untuk 1.545.311 16.09 8.059.063 83.91 1.252.748 11.77 9.392.122 88.23
SDM

Perlindungan 1.072.345 90.78 108.878 9.22 1.127.268 99.47 6.000 0.53


& layanan
sosial

Lingkungan 631.977 23.18 2.094.476 76.82 843.867 32.43 1.758.046 67.57


kondusif

Penelitian 382.052 45.92 449.931 54.08 82.543 6.16 1.257.633 93.84

Total 29.727.979 42.815.645 36.851.918 50.150.779

Sumber: Laporan NASA tahun 2013

20
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

Gambar 2. Perbandingan Kontribusi GF dengan Kontribusi


Pemerintah Pusat dan Daerah, 2009-2012

30.000.000

25.000.000

20.000.000

15.000.000

10.000.000

5.000.000

2009 2010 2011 2012

Kontribusi GF Dana dari Pemerintah Pusat Dana dari Pemerintah Daerah

01
Sumber: Laporan NASA 2013

penyumbang terbesar) dengan dana APBN berasal dari MPI, dana APBN dan APBD.
dan APBD dapat dilihat pada gambar 2. Pada tahun 2012, pendanaan dari MPI
yang berhasil dicatat dalam NASA (2013),
Bila melihatnya dalam konteks yang
mayoritas (49.57%) dari dana multinasional
lebih kecil, yaitu program yang lebih spesifik,
(GF), Australia (32.89%), Amerika Serikat
misalnya pada struktur pembiayaan program
(11.42%), Belanda (0.38%), Badan PBB (5.63%),
harm reduction (HR), secara keseluruhan
dan World Bank (0.11%).
pembiayaan HR bersumber dari:
Pemerintah menyadari sepenuhnya
a. Bilateral funding (2009: 1,194 juta USD;
bahwa pendanaan dari MPI bukanlah
2010: 1,437 juta USD)
sumber dana yang berkelanjutan,
b. Multilateral funding (2009: 193 juta
meskipun di satu sisi ketergantungan akan
USD; 2010: 228 juta USD)
pendanaan dari luar negeri masih tinggi.
c. APBN dan APBD (2009: 173 juta USD;
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia
2010: 68.7 juta USD).
telah menyiapkan kebijakan “exit strategy”,
Secara rutin KPAN telah melakukan salah satunya adalah Keputusan Dirjen
analisis tentang pembiayaan untuk P2PL selaku pimpinan Principal Recipient
penanggulangan HIV dan AIDS berdasarkan hibah GF-ATM No. HK.03.05/D/I.4/532/2012
sumber-sumber pendanaan, baik yang tentang Pedoman Exit Strategi dana hibah

21
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

GF-ATM. Tapi pedoman tersebut kembali Pada tingkat daerah, ada 19 provinsi dan
dihadapkan pada implementasinya. Meski 73 kabupaten/kota yang menganggarkan
ada regulasi seperti ini, tampaknya upaya dana penanggulangan HIV dan AIDS
merealisasikan exit strategy ini belum bisa pada tahun 2006. Tahun 2010 kemudian
diwujudkan hingga tahun ini, karena dana meningkat menjadi 33 provinsi dan 166
penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2014 kabupaten/kota (KPAN, 2011). Namun
turun cukup signifikan, khususnya untuk biasanya rencana pendanaan masih jauh
pengadaan obat ARV yang selama ini dari kebutuhan program. Permendagri yang
seluruhnya ditanggung oleh APBN. dikeluarkan tahun 2007 dianggap oleh
pemerintah daerah kurang berkekuatan
Terkait operasional KPA Nasional
hukum untuk mendorong daerah dalam
dan Daerah (KPAN/D), sebagai lembaga
mengupayakan pendanaan lokal. Untuk
koordinatif yang bersifat ad hoc dan bukan
itu, masih perlu upaya yang lebih lagi
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
untuk meningkatkan proporsi pendanaan
memerlukan sumber dana dan mekanisme
local, sehingga secara perlahan kelak bisa
tertentu. Mayoritas pendanaan untuk
mengimbangi proporsi bantuan internasional.
kesekretariatan KPAN dan KPAD berasal dari
pihak lain yang tidak mengikat, termasuk
dari MPI dan dana hibah.
Pengelolaan Data HIV & AIDS
Mobilisasi sumber daya finansial
dikoordinasikan oleh KPAN. Dana dari sektor Sebelum tahun 1996, informasi tentang HIV
pemerintah dan bantuan MPI digunakan dan AIDS terbatas pada laporan kasus dari
untuk mendanai penyelenggaraan upaya rumah sakit. Mulai tahun 1996, kegiatan
penanggulangan, mulai dari tingkat pusat sentinel survei HIV pada kelompok-kelompok
sampai daerah. Mobilisasi dana dari kunci mulai dilakukan dan dikompilasi oleh
sektor pemerintah mengikuti mekanisme Kementerian Kesehatan. Namun informasi
penggunaan anggaran pemerintah. tidak dapat dibandingkan dari waktu ke
Sedangkan mobilisasi dana dari MPI, baik waktu dan masih banyak daerah yang tidak
bilateral maupun multilateral, diperoleh melakukan pelaporan rutin ke pusat pasca-
KPAN melalui proposal pengajuan bantuan. sentralisasi. Ketersediaan dana menjadi
Penentuan program yang akan didanai oleh kendala pelaksanaan survei sehingga sering
MPI bilateral disepakati kedua belah pihak tidak lagi memenuhi kaidah standar yang
dalam pertemuan konsultatif. ditetapkan oleh Kemenkes. Pada era tahun
2000-an, kegiatan survei perilaku pada
Bantuan finansial lainnya dihimpun KPAN berbagai populasi kunci dan dilengkapi
dalam satu sistem manajemen keuangan, dengan survei biologis mulai dilakukan.
yakni Dana Kemitraan AIDS Indonesia Survei ini dikelola secara terpusat walaupun
(DKAI). Penggunaan dana himpunan ini saat pelaksanaan melibatkan penuh staf
sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPS dan dinas kesehatan di tingkat provinsi
KPAN dan pengelolaannya dilakukan oleh dan kabupaten. Data survei ini kemudian
Sekretariat KPAN atau lembaga lain yang dimanfaatkan oleh Kementerian Kesehatan,
ditunjuk. Di tingkat daerah, dana yang KPAN, atau MPI untuk mengembangkan
diperoleh dari masyarakat sipil seperti dari berbagai kebijakan dan program. Pemerintah
pihak swasta sebagai perwujudan corporate daerah juga mulai menggunakan data untuk
social responsibility (CSR) dihimpun oleh KPA menyusun rencana aksi daerah, dengan
di daerah yang bersangkutan dan digunakan segala keterbatasan kemampuan analisis
untuk penyelenggaraan program yang data.
tertuang dalam rencana aksi daerah.

22
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

Tantangan terkait pengelolaan data kesulitan untuk memetakan persoalan dan


program dan surveilans HIV dan AIDS mengembangkan respons yang memadai.
sebagai informasi yang bermanfaat bagi
pengambilan keputusan adalah:
Belum ada mekanisme yang disepakati Sumber Daya Manusia bagi
berbagai pihak tentang informasi dari Penanggulangan HIV & AIDS
daerah ke pusat (nasional). Kompilasi Selama ini, ragam dan jumlah sumber
pelaporan kasus dan program HIV dan daya manusia yang terlibat dalam
AIDS yang membutuhkan koordinasi penanggulangan HIV dan AIDS sangat
oleh KPAD, baik provinsi atau kabupaten/ bervariasi dan besar, meliputi tenaga-tenaga
kota, masih banyak kendala karena tingkat lapangan (pendidik sebaya, petugas
pada dasarnya dinas kesehatan dan unit penjangkau, supervisor program lapangan,
pelaksana teknisnya serta OMS menjadi manajer program tingkat lapangan), tingkat
sumber data yang sebenarnya. Sesuai layanan (petugas konselor, dokter spesialis,
dengan perannya sebagai penanggung dokter umum, petugas laboratorium, perawat,
jawab utama sektor kesehatan, maka dinkes petugas administrasi, ahli gizi, bidan, manajer
bertanggung jawab untuk mengumpulkan, kasus), dan tenaga tingkat koordinasi/KPA
memproduksi, mendiseminasikan, dan di kabupaten dan kota (pengelola program,
memanfaatkan informasi strategis tersebut petugas Monitoring dan Evaluasi (monev)/
untuk perencanaan kebijakan dan program surveilans, pengelola administrasi keuangan,
HIV dan AIDS di daerah. Oleh karena itu, sekretaris/manajer).
salah satu agenda koordinasi antara KPAD
dan dinkes adalah melakukan sinkronisasi Dilihat dari sisi penyedia layanan, ada
data dalam rangka menyediakan informasi tiga jenis SDM yang menjalankan kegiatan 01
strategis terkait HIV dan AIDS di daerah. kesehariannya, yakni staf pelayanan yang
disediakan pemerintah, staf yang berasal
Keterkaitan yang lemah antara dinas dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau
kesehatan dan rumah sakit baik swasta dari Organisasi Berbasis Masyarakat (OBM),
maupun milik pemerintah di dalam pelaporan dan staf pelayanan kesehatan swasta.
kasus dan program yang dilaksanakan. Kebijakan SDM terkait penangggulangan HIV
Tingkat eselon yang sama antara dinkes dan dan AIDS yang ada saat ini belum mengatur
rumah sakit umum serta fungsi pembinaan secara jelas untuk SDM yang berasal dari
dinkes kepada rumah sakit swasta dinilai OMS/OBM dan pelayanan kesehatan swasta,
menjadi hambatan dasar dalam pelaporan khususnya bagi tenaga non-kesehatan. Hal
dan koordinasi. Sejauh ini tidak ada sanksi ini menjadi tantangan tersendiri dalam hal
atau reward bagi pihak yang melaporkan penyediaan SDM untuk penanggulangan
atau tidak. HIV dan AIDS. Sebagai gambaran, untuk
Kemenkes, KPA Nasional, dan MPI beberapa kebutuhan SDM sebagaimana
memproduksi beberapa jenis survei tingkat yang telah ditetapkan dalam SRAN 2010-
populasi baik secara nasional, regional, 2014, tenaga yang berasal dari OMS/OBM
maupun lokal. Tetapi hasil survei ini terkesan meliputi tenaga lapangan; pendidik sebaya,
masih dimiliki oleh pusat. Data daerah petugas penjangkau, supervisor program
cenderung sulit diakses oleh pemangku lapangan, dan manager program di tingkat
kepentingan di tingkat lokal. Kepemilikan lapangan.
dan penguasaan analisis data ini diduga Hampir semua tenaga kesehatan dan
menjadi salah satu kesenjangan penting non-kesehatan yang bekerja di OMS/OBM
yang menyebabkan daerah mengalami

23
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

Tabel 2. Perbandingan nomenklatur tenaga kesehatan yang


tersedia dengan kebutuhan tenaga untuk penanggulangan HIV
& AIDS

Nomenklatur Tenaga Nomenklatur Kebutuhan


Kesehatan Tenaga AIDS
(PP No. 32 Tahun 1996) (SRAN 2010 – 2014)

1. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter A. Tenaga Lapangan


gigi Peer educator
Petugas penjangkau
2. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan
Supervisor program lapangan
bidan
Manajer program tingkat lapangan
3. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker,
B. Tingkat Layanan
analis farmasi, dan asisten apoteker.
Petugas konselor untuk berbagai layanan
4. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi (PDP, KTS, IMS, PPIA, LASS, PTRM)*
epidemiolog kesehatan, entomolog Dokter spesialis (layanan KTS)
kesehatan, mikrobiolog kesehatan, Dokter umum untuk berbagai layanan*
penyuluh kesehatan, administrator Petugas laboratorium untuk berbagai
kesehatan, dan sanitarian. layanan (PDP, KTS, IMS, PPIA)
Perawat untuk berbagai layanan*
5. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan
Petugas administrasi untuk pencatatan dan
dietisien.
pelaporan dari berbagai layanan*
6. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, Ahli gizi
okupasiterapis, dan terapis wicara. Bidan
7. Tenaga keteknisian medis meliputi Manajer kasus
radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi C. Manajemen di tingkat kabupaten
8. Elektromedis, analis kesehatan, refraksionis Pengelola program
optisien, otorik prostetik, teknisi Monitoring dan evaluasi, serta surveilans
Keuangan dan administrasi
9. Transfusi dan perekam medis. Sekretaris atau manajer

24
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

mendapatkan kompensasi (honor atau gaji) pemerintah pusat atau melalui MPI. Secara
yang berasal dari bantuan internasional umum, kebijakan terkait sediaan farmasi
(MPI), misalnya gaji untuk petugas lapangan diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
masih mengandalkan bantuan luar negeri. 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan
Hanya petugas kesehatan yang ditempatkan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran
oleh pemerintah dan tenaga koordinasi di Negara Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan
beberapa kota/kabupaten yang didanai oleh Lembaran Negara 3781) yang menyebabkan
negara. Dengan demikian, tantangan yang pengadaan metadon dan ARV masih
masih acapkali ditemui terkait dengan SDM terpusat. Pengadaan material pencegahan
untuk penanggulangan HIV dan AIDS antara dan penanggulangan HIV dan AIDS
lain: rekrutmen, peningkatan kapasitas, dan harusnya mengikuti kebijakan ini. Kondom
sistem renumerasi untuk tenaga yang non misalnya, selain sebagai alat pencegahan
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Staf sekretariat HIV dan AIDS, juga berfungsi sebagai alat
KPAN dan KPAD saat ini terdiri dari sekretaris kontrasepsi. Ini kemudian memunculkan
dan beberapa staf purnawaktu. Sedangkan pertanyaan apakah pengadaan kondom dan
di KPAD, ada staf yang purnawaktu dengan pelicin dalam pengadaan alat kesehatan
pendanaan dari MPI. Untuk wilayah yang sudah termasuk dalam pengadaan alat
tidak ada pendanaan dari lembaga mitra kontrasepsi atau ada pengadaan khusus
internasional, staf purnawaktu tidak tersedia, untuk pencegahan HIV? Sebagai contoh,
namun memanfaatkan SDM dari pemerintah pada tahun anggaran 2012, Kemenkes
daerah (PNS). melakukan pengadaan alat kontrasepsi
kondom dengan pagu mencapai Rp
25.231.735.000. Padahal ketika itu,
Ketersediaan Logistik bagi pengadaan kondom dan alat suntik sudah 01
Penanggulangan HIV dan AIDS didanai oleh bantuan luar negeri dan
dilakukan secara terpusat oleh KPAN serta
Pengelolaan logistik program didistribusikan langsung ke KPAD, OMS atau
penanggulangan HIV dan AIDS meliputi puskesmas.
perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
distribusi, penggunaan, dan pengawasan Di tingkat lapangan, ketersediaan
obat dan perlengkapan medik untuk alat dan cara pendistribusiannya agar
pencegahan, diagnostik, dan terapi. sampai pada penggunanya, juga masih
Pengelolaan logistik dalam sistem kesehatan merupakan masalah tersendiri, terutama
dilakukan oleh kementerian kesehatan di untuk pendistribusian jarum suntik. Walaupun
tingkat pusat dan dinas kesehatan di tingkat sudah ada kebijakan di tingkat nasional
sub-nasional. Sistem manajemen logistik tentang pengaturan dan pendistribusian
yang handal diharapkan bisa menjamin jarum suntik sebagai alat pencegahan,
bahwa logistik untuk pelaksanaan program namun di tingkat lapangan, khususnya
harus sampai kepada penerima manfaat di LSM atau di Puskesmas, masih ditemui
secara tepat waktu, mencukupi kebutuhan adanya masalah. Di awal penerapan
dengan kualitas yang terjaga. program ini, petugas lapangan secara aktif
mempromosikan dan membagikan jarum
Penyediaan obat dan perlengkapan suntik steril kepada pa­ra penasun. Namun,
medik pencegahan dan terapi HIV dan AIDS saat ini penasun didorong untuk me­ngam­bil
selama ini masih bergantung, terutama sendiri jarum suntik steril yang disediakan di
dari bantuan luar negeri, kecuali ARV dan puskesmas. Dengan demikian, ketersediaan
beberapa reagen. Pengadaan kebutuhan ja­rum steril di beberapa pus­­kes­mas yang
tersebut sepenuhnya dilakukan oleh ditunjuk semestinya mu­dah diakses oleh

25
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

penasun. Sementara un­tuk pendistribusian HIV dan AIDS, masyarakat sipil berperan
kon­dom se­ring­kali masih men­da­patkan resis­ dan mendukung pemerintah dalam upa­ya
ten­si dari masya­ra­kat umum. Untuk meng­ penanggulangan HIV dan AIDS. Kelom­pok-
atasi hal ini, upaya yang dila­kukan adalah kelompok masyarakat yang terorganisir,
dengan pe­nye­diaan outlet kon­dom se­ba­gai antara lain orang yang terinfeksi HIV dan
pilot project di be­berapa tempat di Indonesia. populasi kunci, LSM, lembaga kemasya­
ra­katan, tenaga profesional, organisasi
Dari ulasan di atas, ter­nya­ta kebijakan
profesi, dan lembaga pendidikan tinggi,
sentralisasi penga­da­an ARV, kondom,
dapat menjadi penggerak utama dan
dan jarum suntik yang masih terpusat
berperan aktif, baik dalam proses perumusan
telah menimbulkan beberapa akibat
kebijakan, perencanaan, implementasi
yang meru­gikan bagi penerima manfaat,
setiap program yang dilakukan, serta
khususnya apabila terjadinya stock-out di
monitoring dan evaluasi. Keterlibatan aktif ini
beberapa dae­rah. Sebagai contoh pada
diharapkan akan memungkinkan masyarakat
pengadaan jarum suntik yang dilakukan
secara mandiri bisa mengakses layanan-
secara terpusat tan­pa melihat kebutuhan
layanan kesehatan yang dibutuhkan dan
di lapangan menyebabkan tidak efisiennya
yang tersedia di wilayahnya.
intervensi tersebut. Ketidaksesuaian
kebutuhan ini disebabkan adanya variasi Keterlibatan aktif masyarakat dalam
tentang preferensi jenis jarum suntik yang implementasi kebijakan dan program HIV
digunakan oleh pe­nasun di berbagai daerah. dan AIDS tidak bisa dilepaskan dari ada­
Ketidaksesuaian logistik yang disediakan nya pemahaman bahwa kesehatan meru­
dengan kebutuhan penasun mengakibatkan pakan hak dari warga negara tanpa me­
jarum yang sudah dibeli tidak diakses oleh mandang status sosial dan ekonomi yang
penasun. wajib dipenuhi oleh negara. Oleh ka­rena
itu, kebijakan HIV dan AIDS tidak bi­sa
Dari sisi pemanfaatan, pendistribusian
dilepaskan dari kebijakan yang menge­de­
alat suntik steril dan kondom oleh petugas
pankan hak kesehatan sebagai hak asasi
puskesmas atau yang dilakukan di dalam
manusia. Promosi Hak Asasi Manusia (HAM)
puskesmas memang menjadi lebih kondusif
dan respons HIV dan AIDS tidak bo­leh
karena sangat jarang ditentang oleh
terpisah, agar hambatan hak asasi ma­nusia
masyarakat, tokoh agama dan penegak
tersebut dapat teratasi dan tidak meng­
hukum. Namun jaminan ketersediaan alat
halangi pengguna layanan untuk meng­
suntik di beberapa puskesmas terkadang
ak­ses baik layanan pencegahan, maupun
masih kurang. Ini pun masih dihadapkan
pengo­batan dan dukungan HIV dan AIDS
pada cara pandang pada sebagian besar
se­cara efektif. Kebijakan ditetapkan untuk
pasien yang hanya mendatangi puskesmas
memastikan bahwa program-program HIV
karena membutuhkan pengobatan, bukan
dan AIDS tidak berpotensi maupun tidak
demi pencegahan suatu penyakit.
melanggar HAM.
Populasi kunci dan ODHA merupakan
Keterlibatan Masyarakat bagian dari masyarakat yang memiliki
dan Populasi Kunci dalam ke­pentingan sangat tinggi dalam penang­
gulangan HIV dan AIDS. Semestinya
Penanggulangan HIV & AIDS
kelompok ini yang paling banyak terlibat,
Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) baik dalam tahapan perencanaan hingga ke
Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014 tahapan evaluasi dan monitoring program.
menggarisbawahi bahwa dalam konteks Tidak ada peraturan secara khusus yang

26
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

mengatur tentang keterlibatan mereka dalam Dukungan dari luar lingkaran penggiat
penanggulangan HIV dan AIDS. Namun HIV dan AIDS juga telah dirintis beberapa
secara umum ada mekanisme keterlibatan tahun terakhir. Salah satunya adalah adanya
masyarakat dalam perencanaan dan dukungan terkait permasalahan hukum ter­­­
pelaksanaan pembangunan, yakni melalui hadap penasun. Pelibatan lembaga ban­­tuan
musyawarah perencanaan pembangunan hukum (LBH) masyarakat mulai dila­ku­kan
(musrenbang). Pelaksanaan musrenbang dan untuk memberi masukan serta pen­dam­ping­
partisipasi masyarakat termasuk populasi an untuk menggerakkan pa­ra­legal dalam
kunci ini dapat mengacu pada UU No 23 usaha menyadarkan sis­tem dan penegak
tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang hukum yang seringkali menga­­­bai­kan atau
mengamanatkan pelaksanaan perencanaan tidak mengenali kondisi kecanduan penasun
pembangunan dilaksanakan dari bawah saat proses hukum ber­langsung. Kurangnya
secara partisipatif. Dalam konteks program pemahaman dari penegak hukum dan juga
HIV dan AIDS, peran dan partisipasi aktif sistem yang ada sering­kali mengakibatkan
populasi kunci dan ODHA merupakan hal penularan HIV yang lebih luas selama
yang krusial, karena mereka yang paling proses hukum ber­langsung. Untuk itu,
mengetahui dan memahami kebutuhan LBH Masyarakat di­li­batkan dalam proses
mereka sendiri. rancangan SRAN HIV dan AIDS 2015-2019.
Dalam satu dekade terakhir ini, program Meskipun demikian, monitoring
penanggulangan HIV dan AIDS pa­da ke­ terhadap implementasi kebijakan dan
lom­­pok pengguna napza suntik mendorong program penanggulangan HIV dan AIDS
terjadinya pergeseran cara pandang pe­ne­ tidak dimungkiri masih menemui berbagai
gak hukum terhadap hak asasi penasun, pelanggaran yang dialami oleh populasi
termasuk dukungan kesehatan dan sosial kunci ketika mengakses layanan kesehatan. 01
saat proses hukum dijalankan, maupun Jenis pelanggaran yang sering dihadapi
pe­nempatan posisi pecandu seba­gai antara lain ketidakadilan ketika pengguna
peng­guna, bukan pengedar napza. Hal ini disamakan dengan pengedar narkoba;
bisa dilihat pada UU No. 35/2009 ten­tang pemerasan, penindasan dan pelecehan
Narkotika Pasal 54 sebagai wujud peru­ pekerja seks ketika berhadapan dengan
bah­an cara pandang yang telah terjadi penegak hukum (saat razia) atau penyedia
terhadap kejahatan yang harus diikuti aparat layanan, hak-hak (memperoleh pengobatan,
penegak hukum, termasuk jaksa. Undang- mendapatkan jaminan sosial dan jaminan
undang tersebut kemudian ditindaklanjuti kesehatan, hak atas pendidikan [bagi anak
dengan PP No. 25/2011 tentang Pelaksanaan ODHA] dan hak atas pekerjaan). Ini misalnya
Wajib Lapor Pecandu Narkoba. Regulasi ini bisa dilihat dari studi Community Access to
memungkinkan pecandu yang telah menjadi Treatment Services Study (CATS) in Indonesia
terdakwa, direhabilitasi secara medis dan tahun 2013, disebutkan hampir seperlima
sosial. Hal ini membuktikan bahwa tidak (18%) dari ODHA pernah mengalami
ha­nya terjadi perubahan cara pandang ter­ perlakuan yang tidak menyenangkan
hadap pelaku kejahatan, tetapi juga sebagai karena status HIV-nya, termasuk stigma dan
wujud adanya komitmen dari negara dalam diskriminasi. ODHA perempuan dua kali
penanganan pecandu. Secara hukum, lebih mungkin mengalami itu. Pelaku stigma
pe­nerapan diskresi melalui rehabilitasi dan diskriminasi cukup beragam. Bahkan,
dimungkinkan berdasarkan Pasal 54 UU seperti yang diungkapkan oleh survei CATS
Narkotika, pasal yang mewajibkan pecandu bahwa pelaku stigma dan diskriminasi
dan korban penyalahgunaan narkotika 10%-nya adalah petugas kesehatan. Bentuk
direhabilitasi secara medis dan sosial. perlakuan ini biasanya adalah penolakan

27
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

memberikan pertolongan medis terhadap mitra internasional KPAN. Strategi promosi ini
ODHA. ber­tumpu pada petugas penjangkauan dan
kader masyarakat sebagai penyampai pesan
Partisipasi masyarakat dalam penang­
dan alat pencegahan kepada kelompok po­
gu­langan HIV dan AIDS juga mengalami
pu­lasi kunci, melalui beberapa event seperti
tantangan terkait dengan stigma dan
pekan kondom nasional, edutainment, dan
dis­kri­minasi yang muncul dari nilai sosial
iklan layanan masyarakat. Hasil evaluasi
di masyarakat. Masih cukup banyak per­
terhadap strategi ini menunjukkan bahwa
ten­tangan nilai di masyarakat tingkat lokal,
tidak ditemukan adanya rasa memiliki atau
se­perti yang ditemukan dalam ketentuan
ownership dari pemerintah daerah atas pro­
per­da. Kontradiksi dalam pengaturan tentang
gram tersebut. Anggapan lain yang mun­cul
kon­dom, penyebutan (pengakuan) yang
dari aktor-aktor yang terlibat dalam pe­nye­
samar-samar mengenai lokasi/lokalisasi
di­a­an produk komunikasi ini, bahwa pro­
pe­lacuran dan tempat-tempat hiburan (cafe,
gram promosi ini merupakan suatu stimulan,
bar, diskotik, night club), hubungan seks pra/
dan untuk selanjutnya diharapkan KPAN
di luar nikah, merupakan kendala utama
mampu melakukan pendampingan terhadap
da­lam memberi makna terhadap efektif
pelaksanaan strategi komunikasi ini kepada
ti­daknya penegakan ketentuan pidana
pemerintah daerah karena ada alokasi dana
da­lam perda tentang pencegahan dan
dari pemerintah daerah.
penanggulangan HIV dan AIDS. Berbagai
nilai sosial masya­ra­kat tersebut menjadi Desentralisasi menjadikan kantong-
salah satu faktor peng­ham­bat pelibatan kantong dana tidak hanya dari pusat,
masyarakat khu­sus­nya masyarakat umum. namun juga co-sharing dengan provinsi
dan kabupaten/kota, sementara tingkat
“buy in” dan kapasitas pemerintah daerah
ter­hadap strategi komunikasi masih sangat

D. ke­cil. Kegiatan advokasi lebih ditargetkan


pa­da pemegang keputusan, sementara
pi­hak swasta jarang menjadi perhatian.
Kebijakan Teknis dalam Un­tuk melakukan advokasi terhadap para
Penanggulangan HIV & AIDS pe­megang keputusan dibutuhkan ahli stra­
tegi komunikasi yang cukup kompeten dan
Promosi dan Pencegahan berpengalaman di isu lain, misalnya kam­pa­
nye calon legislative atau executive, dll.
Program komunikasi publik menjadi salah
satu dari delapan program pencegahan Program Harm Reduction (HR) di
da­lam dokumen strategi nasional HIV Indonesia telah melalui proses yang cukup
dan AIDS 2007-2010 yang dirancang oleh panjang dengan melibatkan banyak
KPAN. Dokumen tersebut menyatakan, ko­ pihak. Dorongan dan keterlibatan Mitra
munikasi publik dapat menurunkan derajat Pembangunan Internasional (AusAID, USAID,
kerentanan dari kelompok–kelompok yang GF), LSM, organisasi para pecandu dan
memang sudah rentan. Strategi ini didukung masyarakat umum mendorong pemerintah
oleh Family Health International (FHI) yang mengeluarkan kebijakan Pengurangan
didanai oleh United States Agency for Dampak Buruk NAPZA. Dalam lima
International Development (USAID) dan HIV tahun terakhir, banyak instrumen regulasi
Cooperation Program for Indonesia (HCPI) yang mampu mendukung pelaksanaan
yang didanai oleh Australian Agency for penyediaan layanan ini, termasuk di
International Development (AusAID) sebagai antaranya pedoman pelaksanaan terapi

28
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

rumatan metadon, distribusi alat suntik steril, masyarakat yang masih resisten terhadap
pelibatan komunitas pengguna napza suntik penggunaan kondom untuk pencegahan HIV.
di dalam pengambilan keputusan strategis
Dengan dorongan dari WHO dan dukung­
di KPA Nasional, serta pendanaan lokal
an teknis dari berbagai mitra, pendekatan ini
puskesmas untuk program harm reduction.
dikembangkan secara serius di Indonesia.
Dampak kebijakan-kebijakan ini terhadap Kebijakan ini terus dikembangkan hingga
penyebaran HIV di kalangan penasun bisa munculnya konsep penanggulangan HIV
dilihat pada hasil STBP 2004, 2007 dan dan AIDS secara komprehensif dimulai dari
2011 yang menunjukkan adanya penurunan wilayah kecamatan di bawah koordinasi
pemakaian jarum secara bergantian di Puskesmas. Penetapan kerangka kerja kom­
kalangan penasun. Perubahan perilaku prehensif diinisasi oleh FHI/USAID (2008-
ini dapat mengurangi risiko tertular/ 2010) dan direplikasi oleh KPAN me­lalui
menularkan HIV lewat jarum suntik. Temuan dana GF (2010-2015), kemudian dia­dop­si
ini menunjukkan keberhasilan program oleh konsep Layanan Komprehensif Ber­ke­
pengurangan dampak buruk melalui jarum si­nambungan (LKB) yang dirumuskan da­lam
suntik di kalangan penasun. Data STBP 2011 Permenkes No. 21/2013 tentang Pe­nang­gu­
juga menunjukkan penurunan prevalensi HIV lang­an HIV dan AIDS.
di kalangan penasun dibandingkan STBP
Capaian program pencegahan HIV
tahun 2007 (lihat gambar 3).
melalui transmisi seksual (PMTS) belum
Program pencegahan penularan HIV menunjukkan hasil yang menggembirakan,
melalui transmisi seksual (PMTS) kegiatan walau ada tren meningkat. Masalah utama
pokoknya menargetkan 80% populasi adalah terkait dengan perubahan perilaku
kunci terjangkau program yang efektif tentang konsistensi pemakaian kondom 01
dan 60% populasi kunci berperilaku hidup hampir di semua populasi kunci, termasuk
sehat yang menggunakan kondom setiap lelaki berisiko tinggi yang masih rendah.
hubungan seks berisiko. Tujuan utamanya Hasil tes HIV, baik melalui konseling dan
adalah menurunkan prevalensi IMS dengan tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan
pemakaian kondom secara konsisten dan kesehatan (KTIP) maupun konseling dan tes
pengobatan IMS. HIV sukarela (KTS), juga belum memadai di
seluruh populasi kunci yang menjadi target
Pada dasarnya, intervensi penularan
program PMTS. Ini hanya mencakup 14,8%
HIV melalui transmisi seksual diarahkan
pekerja seks atau sebesar 3,3% pelanggan
pada tingkat komunitas dibandingkan
pekerja seks.
tingkat individu (pekerja seks). Sejak tahun
2006, Indonesia mengadopsi “Program
Penggunaan Kondom 100%” (PPK 100%)
yang mengikuti “model” yang sangat Perawatan, Dukungan dan
sukses di Thailand. Sayangnya di Indonesia, Pengobatan (PDP)
program kondom sebagai salah satu cara Kegiatan pokok PDP dalam SRAN 2010-2014
pencegahan untuk IMS, termasuk HIV, belum adalah penguatan dan pengembangan
bisa berjalan maksimal. Salah satunya layanan kesehatan serta koordinasi antar
disebabkan Kementerian Kesehatan sebagai layanan dengan target tersedianya layanan
penanggung jawab utama permasalahan kesehatan yang berkualitas dan sesuai
kesehatan nasional belum menjadikannya dengan kebutuhan masyarakat; pencegahan
sebagai prioritas strategi dalam respons dan pengobatan infeksi oportunistik
penanggulangan HIV. Hal ini berkaitan juga (IO) dengan target 100% ODHA yang
dengan kondisi sosial budaya yang ada di

29
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

Gambar 3. Proporsi Penasun yang Berbagi Jarum dalam


Minggu Terakhir Berdasarkan Kota pada 2004, 2007, 2011

75

63

52 56

37
33
24 27
16
18
14 8
12
9
9 7

0/0

2004 2007 2011

 Medan /  Jakarta /  Bandung /  Semarang /  Malang /  Surabaya

Sumber: STBP tahun 2004, 2007, 2011

30
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

memerlukan pencegahan dan pengobatan memperbaiki penyediaan layanan, misal­


IO dapat mengakses layanan kesehatan nya kebijakan ART yang menunjuk bebe­
sesuai kebutuhan; pengobatan antiretroviral rapa rumah sakit dan puskesmas seba­gai
(ARV) dengan target memberikan pengo­bat­ pusat layanan ART dalam usaha mening­
an ARV kepada orang terinfeksi HIV yang kat­kan akses layanan ODHA. Beberapa
mem­butuhkan sesuai dengan standar WHO kesenjangan yang masih ada terkait PDP
untuk kualitas hidup yang lebih produktif; adalah akses ke pelayanan, SDM, pe­
dukungan psikologi sosial dengan target nye­diaan layanan, dan pendanaan. Hal
pe­ngem­bangan perawatan komunitas untuk ini berkaitan erat dengan isu kecukupan,
memberikan dukungan psikologis dan sosial; kemerataan, dan kualitas. Sedangkan kesen­
serta pendidikan dan pelatihan ODHA de­ jang­an pendanaan mencakup masalah
ngan target meningkatkan kapasitas ODHA. sum­ber dana, peruntukan, dan kecukupan.
Ma­salah lain yang masih ditemui dalam PDP
Berbeda dengan kebijakan untuk PDP
adalah stigma dan diskriminasi yang dialami
tahun 2004–2007, yang lebih menekankan
ODHA dan populasi kunci.
pada penambahan jumlah dan sebaran
layanan ARV, serta standardisasi layanan Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional
dan pemeriksaan diagnostik. Pada 2010- (JKN) saat ini belum sepenuhnya mampu
2011, kebijakan PDP lebih berfokus pada menjawab kendala yang ada, terkait
pedoman nasional atas terapi ARV sebagai de­ngan akses para populasi kunci dan
penyesuaian langkah global— langkah ODHA ke layanan kesehatan. Kebijakan ini
“pengobatan HIV” sekaligus “pengobatan masih mensyaratkan hal-hal administratif
untuk pencegahan HIV”. kependudukan agar dapat mengakses
JKN. Tentu saja ini sering sulit dipenuhi
Secara umum, hasil dari kebijakan ini 01
oleh populasi kunci ataupun ODHA, tak
bisa dilihat dengan semakin banyaknya
jarang kebanyakan dari mereka tidak
layanan terkait dengan PDP, semisal
mempunyai kelengkapan administrasi
ketersediaan ARV dan rumah sakit sebagai
kependudukan, seperti kartu keluarga, Kartu
site ARV treatment di 14 provinsi (mencakup
Tanda Penduduk (KTP) dan keterangan
278 rumah sakit dan 68 puskesmas).
domisili lainnya. Situasi ini tentu menjadi
Jumlah ini menunjukkan peningkatan yang
kesulitan tersendiri bagi sebagian kelompok
signifikan dibandingkan sebelum adanya
masyarakat, khususnya populasi kunci dan
kebijakan PDP. Jumlah ODHA yang sedang
ODHA untuk mengakses dan memanfaatkan
mendapatkan pengobatan ARV sampai
layanan JKN.
dengan akhir tahun 2013 sebanyak 39.418
orang dari total 73.774 orang yang pernah
mendapatkan ART dan dari 97.602 orang
yang memenuhi syarat untuk mendapatkan Mitigasi Dampak
ARV. Pemakaian rejimennya adalah 96,82% Mitigasi dampak merupakan upaya
(33.487 orang) menggunakan Lini 1 dan 3,17% mengurangi dampak kesehatan dan
(1.110 orang) menggunakan Lini 2, sedangkan sosial ekonomi bagi ODHA. Kebijakan
0,01% (4 orang) tidak diketahui. yang terkait ini adalah Permenkes tentang
Program PDP untuk ODHA saat ini Penanggulangan HIV dan AIDS No. 21/2013
sudah menunjukkan kemajuan. Jumlah Pasal 40. Sementara itu, di dalam SRAN 2010
rumah sakit dan puskesmas serta klinik -2014 disebutkan, strategi untuk mengurangi
yang menyediakan layanan HIV meningkat dampak negatif epidemi HIV ini dengan
pesat sejalan dengan naiknya temuan meningkatkan akses program mitigasi
kasus. Berbagai kebijakan dibuat untuk sosial bagi mereka yang membutuhkan

31
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

E.
dengan cara menyediakan kesempatan bagi
ODHA dan yang terdampak, misalnya anak
yatim, orang tua tunggal, dan janda untuk
mendapatkan akses dukungan peningkatan Kontestasi dalam
pendapatan, pelatihan keterampilan, dan Penanggulangan HIV & AIDS
program pendidikan peningkatan kualitas
hidup. Hal ini sejalan dengan upaya Ada beberapa kontestasi yang bisa diiden­
Kementerian Sosial yang juga memberikan tifikasi dalam penanggulangan HIV dan
layanan berupa bantuan/penyediaan shelter AIDS. Pertama, kontestasi dalam hal pen­
bagi ODHA dan orang yang terdampak AIDS. de­katan, yaitu antara pendekatan vertikal,
Dalam pelaksanaannya, mitigasi yang mengandalkan pengendalian teknis
dampak ini terasa masih terbatas, baik yang terpusat dan ketat, dengan pendekatan
dilihat dari aktor yang berperan maupun horizontal yang bertumpu pada pendekatan
dari sumber pembiayaannya. Dari sumber multisektoral dan terdesentralisasi,
pembiayaannya dapat kita lihat pada sebagaimana yang terjadi pada KPA.
Tabel 1 di bagian pembiayaan sebelumnya, Secara kelembagaan, KPA merupakan
bahwa jumlah dana yang digunakan untuk inisiatif pemerintah pusat, yang kemudian
mitigasi dampak masih sangat kecil bila mengalami penyesuaian lantaran adanya
dibandingkan alokasi dana untuk program kebijakan desentralisasi pemerintahan di
lainnya, seperti untuk program promosi Indonesia tahun 2001. Secara struktural,
pencegahan dan PDP. Dari sini pula kita KPA provinsi dan kabupaten/kota memang
bisa melihat bahwa ternyata pemerintah tidak secara langsung di bawah KPAN.
lebih banyak berperan dibanding MPI, Namun dari sisi program, desain dan agenda
berdasarkan perkiraan tahun 2012 bahwa program KPA daerah merupakan refleksi dari
dana yang dikeluarkan pemerintah untuk kebijakan program KPAN. Dengan mi­nim­
program mitigasi dampak sebesar 3.1%, nya dana (yang sebagian besar untuk biaya
dibanding MPI hanya 0.026%.8 non-program) serta terbatasnya sum­ber
Dari penelitian PKMK tahun 2015 daya manusia di tingkat KPA daerah, ke­
tentang ‘Tinjauan Respons Sektor Komunitas ber­gantungan KPA daerah akan program
terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS’ dari KPAN masih besar. Adanya program
menunjukkan, tidak banyak OMS yang GF-ATM dan Indonesia Partnership Fund (IPF)
melakukan program mitigasi dampak. misalnya, semakin memperkuat relasi pusat-
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya ini daerah ini.
biasanya bersifat pemberdayaan jangka Kontestasi juga terjadi dalam hal
panjang pada populasi kunci, misalnya pengang­garan antara program HIV dan AIDS
kegiatan peningkatan keterampilan dan dengan program kesehatan lain. Regulasi
pemberdayaan ekonomi, dan ada bantuan Kementerian Dalam Negeri mengenai
yang berjangka pendek seperti bantuan penganggaran untuk KPA daerah sudah
asupan gizi bagi ODHA. Beberapa OMS juga dilaksanakan, namun mayoritas alokasi
menyediakan rumah singgah bagi ODHA anggaran tersebut dipergunakan untuk
untuk mendapatkan perawatan sampai biaya kesekretariatan. Di tingkat provinsi,
kondisi tubuhnya lebih stabil atau tinggal mekanisme penganggaran untuk sekretariat
sementara agar bisa mengakses rumah sakit KPAP cukup beragam. Sebagian melalui
dengan mudah bila rumah mereka jauh. anggaran sekretaris daerah, dinas terkait,
dan bantuan sosial serta hibah dari donor.
Pengelolaan dana hibah donor (GF-ATM
8) Data diolah dari NASA, 2013.

32
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

dan IPF misalnya) dilakukan oleh KPAN. prioritas program kepada penasun dan
Dengan struktur dana yang demikian, war­ga binaan di lembaga pemasyarakatan,
KPA daerah secara kelembagaan (dalam lan­taran rekomendasi yang disusun dari data
hal ini sekretariat) bisa dikatakan relatif sur­veilans yang dikelola pemerintah pusat.
berkelanjutan. Namun dari sisi program, Pro­gram di daerah kemudian menyesuaikan
ketergantungan pada KPAN dan hibah per­geseran ini, tanpa didasari data yang
program masih tinggi. Dana program cukup berarti dari daerah, karena mereka
dan pelayanan yang dikelola oleh dinas me­mang tidak mempunyai data yang
kesehatan disatukan dalam mata anggaran memadai.
penyakit menular di bawah bagian
Praktik “top down” seperti ini terus
pengendalian penyakit (P2), yang tentu
berlanjut karena secara teknis mempunyai
saja bukan hanya untuk penanggulangan
basis argumen yang kuat. Namun banyak
HIV dan AIDS. Mekanisme ini sebenarnya
kritik, terutama dalam hal kontekstualisasi
di satu sisi memberikan keuntungan yaitu
dengan agenda stakeholder lokal.9 Pende­
ketersediaan dana untuk program HIV dan
kat­an vertikal cenderung membawa agen­
AIDS lebih terjamin. Tapi di sisi yang lain,
da dan gagasan dari “luar”, dengan aki­bat
ada persaingan pendanaan dengan program
rendahnya rasa kepemilikan (dan berim­
lainnya yang ada di P2.
pl­ikasi pada dukungan sumber da­ya lokal
Kontestasi lainnya yang terjadi dalam akan rendah pula) jika kurang meli­batkan
hal kebijakan, baik berupa Permenkokesra, stakeholder lokal,. Risiko lainnya adalah
Permenkes, Permendagri, dan rencana ketidaksesuaian dengan program dan prio­
stra­­tegi nasional, yang kesemuanya menun­ ritas daerah.
juk­kan bahwa peran pemerintah pusat
Mengingat semakin luasnya cakupan 01
cu­kup dominan. Kebijakan dan program
wilayah epidemi HIV di Indonesia, pelibatan
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah
stakeholder daerah menjadi semakin
hampir semuanya merupakan turunan dari
pen­­­ting. Pemerintah pusat (dalam hal ini
program nasional. Dengan demikian, dapat
Ke­men­­terian Kesehatan) mengeluarkan
dikatakan bahwa program penanggulangan
re­gulasi mengenai Layanan Komprehensif
HIV dan AIDS di Indonesia selama ini
dan Berkelanjutan (Permenkes No.
masih bersifat vertikal. Sebagai sebuah
21/2013) sebagai upaya untuk menjamin
respons atas situasi emergensi, pendekatan
ke­ber­lanjutan program. Konsep ini me­
sentralistik memang diperlukan. Namun,
nge­­depankan integrasi fungsi-fungsi pro­
saat ini sudah masuk pada situasi yang
gram penanggulangan HIV dan AIDS ke
tidak darurat lagi, maka pendekatan sesuai
da­lam sistem kesehatan yang ada, se­
dengan konteks lokal sangat diperlukan.
hing­ga diharapkan akan terjamin keber­
Selain anggaran, salah satu penyebab langsungannya.
dominannya kebijakan pusat, adalah akses
Kontestasi yang lain juga terjadi akibat
terhadap data. Sebagian besar data yang
mazhab (school of thoughts) masing-masing
digunakan sebagai dasar penyusunan
lembaga yang bergerak dalam penang­
pro­­gram yang dikelola pemerintah pusat, se­
gu­langan HIV dan AIDS, misalnya antara
hing­­ga apa yang disebut sebagai “evidence-
USAID dan AusAID (sekarang DFAT),
based programming” terkesan menjadi hak
GFATM, serta NGO internasional lainnya.
istimewa pusat. Inisiatif stakeholder daerah
Bantuan Australia yang dimulai tahun 1995,
dalam membuat rencana daerah tidak cu­
melalui Indonesia HIV/AIDS Prevention and
kup kuat dalam penggunaan data sebagai
basis­nya. Sebagai contoh kasus, pergeseran 9) Lihat Rifat. A.Atun, Sara Bennett and Antonio Duran,
2010. h.7

33
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

Care Project (IHPCP), mengusung program (ATM). Khusus untuk AIDS, Indonesia men­
pencegahan HIV dan AIDS di kalangan dapat dana Ronde 1 dan Ronde 4 dengan
penasun melalui program Harm Reduction penerima hibah primer (Principal Recipient)
dan mengintegrasikannya ke dalam sistem adalah Dirjen Pengendalian Penyakit dan
pemerintahan Indonesia. Dengan kontribusi Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes.
dana dari The Indonesia Partnership Fund Indonesia kembali menerima hibah dana
for HIV/AIDS (IPF) dan pemerintah daerah, Global Fund untuk Ronde 8 (2009–2014),
IHPCP memperluas aktivitasnya terutama untuk 12 provinsi di Indonesia, serta Ronde
di Jawa Barat, Papua, dan Papua Barat. 9 (2010–2015) untuk 21 provinsi. Pendanaan
Pendanaan dari Australia itu kian diperluas ini untuk mendorong perluasan program
dengan adanya kerjasama baru, The penanggulangan HIV dan AIDS jumlahnya
Australia–Indonesia Partnership for HIV cukup besar, termasuk untuk penyediaan
(AIPH), sejak Februari 2008-Juni 2016. Tuju­ obat ARV bagi ODHA di Indonesia. GFATM
an utama kerjasama ini ialah mendorong juga memberikan pendanaan bagi LSM yang
ter­capainya penanggulangan HIV dan menjalankan program pencegahan HIV dan
AIDS, yakni pencegahan penularan HIV, AIDS yang menjangkau kelompok berisiko
me­ningkatkan kualitas hidup ODHA, dan seperti penasun, WPS, LSL, dan waria.
mengurangi dampak sosial ekonomi karena
Adanya kontestasi antar lembaga donor
HIV dan AIDS.
besar ini juga terjadi di negara-negara
Lain halnya dengan pemerintah Amerika berkembang lainnya, terutama pada empat
Serikat, melalui USAID, memberikan bantuan agenda yang cukup besar, yaitu HIV dan
pendanaan melalui FHI dengan program AIDS, kependudukan, perkembangan
HIV dan AIDS prevention project (HAPP), aksi sektor kesehatan, dan penyakit menular.
stop AIDS (ASA) fase I dan II, serta program Ada keprihatinan yang cukup tinggi bahwa
scaling up the HIV response among most-at- pemberian dana yang cukup besar pada
risk population (SUM). Bantuan ini difokuskan program HIV dan AIDS seringkali untuk
pada wilayah Jakarta Utara, DKI Jakarta; memenuhi kebutuhan para donor itu sendiri,
Surabaya, Jawa Timur; Manado/Bitung, bukan mengedepankan kebutuhan lokal
Sulawesi Utara; Papua, dan Papua Barat (Shiffman, 2008). Hal ini terjadi karena
melalui Program for Appropriate Technology biasanya tiap-tiap lembaga donor ataupun
in Health (PATH). Program ini difokuskan kontraktor sudah memiliki visi dan misi
pa­da pelayanan sebagai strategi dasar da­ masing-masing serta pedoman pelaksanaan
lam bentuk KIE (komunikasi, informasi dan dan targetnya, yang seringkali berbeda
edukasi) dan KPP (komunikasi perubahan dengan kebutuhan di lapangan, bahkan
pe­rilaku) serta elemen pendukung untuk berbeda dengan sistem kesehatan yang ada.
pe­layanan IMS dan HIV dan AIDS. Elemen Mekanisme pendanaan yang diterapkan
pendukung berupa pendampingan pe­nyu­ tiap MPI sering tidak cukup fleksibel untuk
sunan kebijakan, bantuan teknis, pendidikan mengakomodir kebutuhan lapangan.
dan pelatihan, administrasi dan manajemen, Umumnya mereka sudah membuat aturan
kapasitasi kelembagaan, penelitian sendiri untuk penggunaan dananya, mulai
biomedical/applied, penguatan sistem bentuk laporannya sampai targetnya.
surveilans, serta monitoring dan evaluasi. Bahkan kadang Kementerian Kesehatan
pun tidak memiliki kekuatan untuk menawar
Pendonor lainnya adalah Global Fund-
(‘bargaining power’) atas pemanfaatan
AIDS, TB dan Malaria (GF-ATM), lembaga
pendanaan tersebut, sesuai dengan strategi
pendanaan multilateral yang berfokus
dan rencana nasional/daerah yang sudah
mengatasi epidemi AIDS, TB dan Malaria
disusun ataupun dengan sistem kesehatan

34
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

yang sudah ada. Hal ini dapat terlihat jelas rapannya, dengan membentuk KPA, pe­li­
dari pendekatan yang dilakukan oleh GF. bat­an lintas sektor dapat terwujud untuk
Mekanisme pendanaan penanggulangan pencegahan dan penanggulangan HIV dan
HIV dan AIDS melalui Country Coordinating AIDS di Indonesia secara menyeluruh, terpa­
Mechanism (CCM), yang kemudian memben­ du, dan terkoordinasi. Respons pemerintah
tuk dan memilih Principal Recipient sendiri itu ditunjukkan dengan mengeluarkan Ke­pu­
dengan struktur bawahnya di tingkat daerah. tus­an Presiden Republik Indonesia (Keppres
nomor 36 tahun 1994) tentang Komisi
Akibat banyaknya mazhab tadi,
Penang­gulangan AIDS (KPA).
selain rasa kepemilikan program yang
rendah karena dianggap dari pihak “luar”, Keppres tersebut muncul karena di­
pelaksanaan program juga tidak bisa sa­dari bahwa HIV dan AIDS bukanlah
maksimal umumnya berdurasi pendek. Hal se­kadar permasalahan kesehatan. Ini
ini dihadapkan juga pada keterbatasan juga melibatkan permasalahan sosial,
kapasitas pelaksana program, dengan pendidikan, tenaga kerja, dan sebagainya.
berbagai variasi dan target yang sering Keppres ini bertujuan mendorong respons
kurang masuk akal. Ini mengakibatkan dari multisektor untuk menjawab kebutuhan
program penanggulangan HIV dan AIDS dalam upaya penanggulangan HIV dan
yang telah diberikan alokasi pendanaan AIDS. Ini tercermin dalam struktur organisasi
yang cukup besar itu sekadar dilaksanakan KPA; Ketua KPA adalah Menteri Koordinator
tanpa memberikan hasil yang sesungguhnya. Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra),
Contoh dapat kita lihat dalam program dengan Wakil Ketua I Bidang Kesehatan
pencegahan HIV dan AIDS di kalangan WPS dijabat oleh Menteri Kesehatan; Wakil
yang belum mampu mendorong pemakaian Ketua II Bidang Agama dijabat oleh Menteri
kondom secara konsiten pada setiap kali Agama; Wakil Ketua III Bidang Sosial 01
melakukan hubungan seks berisiko. dijabat oleh Menteri Sosial; Wakil Ketua IV
Bidang Kependudukan dijabat oleh Menteri
Negara Kependudukan/Kepala Badan

F.
Koor­dinasi Keluarga Berencana Nasional.
Sedangkan anggota KPA terdiri dari berbagai
kementerian dan lembaga lainnya yang
AIDS sebagai Permasalahan dianggap berhubungan erat dengan usaha
Multisektoral penanggulangan HIV dan AIDS, antara lain
Menteri Dalam Negeri; Menteri Kehakiman;
Permasalahan HIV dan AIDS sebagai Menteri Penerangan; Menteri Pariwisata, Pos
permasalahan multisektoral banyak dibahas dan Telekomunikasi; Menteri Pendidikan dan
dalam berbagai wacana penanggulangan Kebudayaan; Menteri Tenaga Kerja; Menteri
HIV dan AIDS secara global, yang bermula Negara Pemuda dan Olahraga; Menteri
adanya strategi global yang disepakati Negara Urusan Peranan Wanita;
Menteri/
PBB melalui sidang umumnya tahun 1987, Pimpinan instansi pemerintah yang
lantas disahkan sebagai ‘WHO Global AIDS dipandang perlu.
Strategy’ tahun 1991. Berlandaskan hal Menkokesra pada saat itu sebagai ke­
ter­se­but, pemerintah Indonesia juga mulai tua KPAN segera menindaklanjuti dengan
me­nyadari tentang kebutuhan merespons me­ngeluarkan beberapa regulasi terkait
pe­nang­gulangan HIV dan AIDS yang lebih de­ngan tugas dan kewajiban KPA, yakni SK
kompre­hensif, dengan melibatkan pihak Menkokesra No. 8/V/1994 mengenai Su­
lintas sektor di luar sektor kesehatan. Ha­ sun­an Tugas Fungsi Keanggotaan Komisi

35
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

Pe­nanggulangan HIV dan AIDS yang secara nyesuaikan dengan perkembangan situa­si
je­las menyebutkan tugas dan kewajiban epideminya, seperti tercantum pada tabel 3.
masing-masing anggota dalam KPA; SK
Awal pembentukan KPAN tersebut diikuti
Menkokesra No.9/VI/1994 mengenai Strategi
dengan pembentukan KPA di daerah di
Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS
ting­­kat provinsi/kabupaten/kota dengan
(STRANAS-1994) yang merupakan salah
struk­tur organisasi yang sama; mengikuti
sa­tu respons dan dokumen penting pada
cara pusat, yaitu pelibatan multisektoral
perio­de tersebut; SK Menkokesra No.12/
dari berbagai dinas dan institusi di daerah.
VII/1994 mengenai pembentukan Kelompok
Regulasi pembentukan KPA di tingkat daerah
Ker­ja Penanggulangan HIV dan AIDS; SK
didasarkan melalui Permendagri No.20/2007
Menkokesra No.05/II/1995 mengenai Strategi
mengenai Pedoman Umum Pembentukan
Penanggulangan AIDS Nasional untuk
KPA Daerah, Pedoman Umum Pembentukan
PELITA VI.
Komisi Penanggulangan AIDS dan Pember­
Seiring berjalannya waktu, terdapat be­ da­yaan Masyarakat Dalam Rangka Penang­
be­rapa perubahan regulasi di atas untuk me­ gu­langan HIV dan AIDS di Daerah.

Tabel 3. Daftar
kebijakan
Kemenkokesra PERMENKOKESRA
terkait respons
HIV & AIDS sebagai
tanggung jawab
multisektoral
Kebijakan Tentang

Permenkokesra No.3, th 2007 Susunan, Tugas dan


Keanggotaan KPA Nasional

Permenkokesra No.4, th 2007 Pedoman dan Tata


Kerja
 KPAN, Provinsi dan
Kabupaten/Kota

Permenkokesra No.5, th 2007 Organisasi dan Tata Kerja


Sekretariat KPAN

Permenkokesra No.6, th 2007 Tim Pelaksana KPA Nasional

Permenkokesra No.7, th 2007 Strategi Nasional


Penanggulangan AIDS Tahun
2007­-2010

36
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

Sebagai permasalahan yang kompleks pengo­batan, masih perlu dipastikan lagi


de­ngan dampak yang luas, keterlibatan dan berjalannya integrasi perawatan infeksi
ko­ordinasi multisektoral menjadi hal wajib oportunistik dan layanan lain terkait HIV
de­mi keberhasilan penanggulangan HIV dan dan AIDS sebagai bagian dari pengelolaan
AIDS. penyakit-penyakit kronis melalui skema
JKN. Bentuk integrasi ini telah diinisiasi oleh
beberapa daerah, misalnya Jaminan Kese­
1. Integrasi Penanggulangan HIV hat­an Daerah (Jamkesda) untuk HIV dan
& AIDS dalam Sistem Kesehatan AIDS di Jawa Timur; penguatan SDM melalui
pengembangan pelatihan dan insentif petu­
Bahasan sebelumnya menunjukkan bahwa gas kesehatan untuk program HIV di Bali;
dalam penanggulangan HIV dan AIDS, pengu­atan sistem informasi kesehatan,
di­per­lukan penguatan sistem kesehatan, infra­struktur dan manajemen logistik yang
termasuk di dalamnya integrasi dan penguat­ mem­berikan peningkatan dampak kesehatan
an internal lembaga penyedia layanan, se­cara luas di Jakarta; dan penguatan du­
seperti antar unit dalam rumah sakit. Ini kungan untuk ODHA melalui perawatan ber­
diperlukan untuk meningkatkan efektivitas ba­sis masyarakat dan perawatan di Jakarta.
dan efisiensi pelaksanaan program HIV dan
AIDS serta menjamin keberlanjutannya. Kebijakan yang terkait dengan jaminan
Contohnya pada program LASS, bila pengu­ kualitas layanan program perawatan dan
at­an yang dilakukan hanya dalam hal pengobatan telah dinyatakan di dalam SRAN
keter­sediaan jarum dan alat suntik steril saja, 2010-2014, dengan memberikan pan­duan
dan melupakan hal administratif seperti jam strategis untuk pencapaiannya, melalui (1)
layanan, maka hal ini bisa menjadi faktor peningkatan ketersediaan tenaga kese­
hat­an yang berkualitas untuk memenuhi 01
yang kemudian menyebabkan ren­dah­nya
akses penasun ke program LASS. Demikian ke­ter­sediaan layanan yang bersahabat
juga misalnya di Kementerian Kesehatan, dan sesuai kebutuhan ODHA; (2) menjamin
pendekatan, penguatan, dan pengin­te­gra­si­ ketersediaan logistik obat-obat esensial
an antar bagian dalam lembaga (misalnya yang dibutuhkan dalam pengobatan ter­
sub direktorat HIV dengan TB, KIA, dll) kait HIV dan AIDS; (3) peningkatan pe­ran
menjadi sangat penting. Bila selama ini yang layanan berbasis masyarakat untuk me­
berperan penuh adalah sub bagian HIV dan leng­kapi layanan yang telah disediakan
AIDS saja, maka kerjasama dengan bagian oleh pemerintah (SRAN 2010-2014, hal. 24).
umum, farmasi dan bidang lainnya mendesak Dalam kenyataannya, panduan ini ternyata
dilakukan. Kerjasama dan pengintegrasian ini kurang optimal, mengingat keberhasilannya
tidak akan bisa terjadi begitu saja. Ini tentu mengasumsikan adanya “kepatuhan” Ke­
akan melalui proses yang panjang mulai men­terian Kesehatan dan dinas kesehatan
dari perencanaan program, perencanaan di daerah untuk melaksanakan dan menjadi
penganggaran, implementasi dan juga program kerja mereka.
monitoring dan evaluasinya. Diketahui bahwa upaya pencegahan
Secara konseptual, pengintegrasian yang dilaksanakan sangat beragam, mulai
program HIV dan AIDS ke dalam layanan dari distribusi materi KIE, pembagian bahan
IMS dan layanan kesehatan lainnya (kese­ material pencegahan seperti kondom, pelicin
hatan reproduksi; layanan PPIA ke dalam dan jarum suntik, sudah dilakukan sampai
layanan KIA; penyediaan layanan TB/ komponen pemberdayaan lingkungan
HIV dan lainnya) sudah mulai diterima. agar mendapat dukungan dari berbagai
Na­mun untuk menjamin kesinambungan pihak. Data anekdotal menunjukkan bahwa

37
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

upaya pencegahan melalui jarum suntik Sejalan dengan perkembangan program,


dapat mengurangi pemakaian jarum suntik strategi dan pendekatan, efektivitas
secara bergantian dan mendorong pecandu penjangkauan dan pendampingan individual
menggunakan jarum dan peralatan steril. masih terjadi pro dan kontra berbagai pihak
Namun, yang masih menjadi tantangan terkait. Kini, kegiatan lapangan dikoordinir
dalam dua dekade ini, sekalipun berbagai oleh Community Organizer karena fokus
jenis intervensi mulai dari penjangkauan perhatian bukan hanya individu, namun
individual, kelompok, sampai intervensi juga lingkungan atau komunitas di mana
struktural telah dilakukan, adalah rendahnya kelompok kunci tinggal/beraktivitas.
konsistensi pemakaian kondom dalam Metodenya masih menggunakan kerangka
hubungan seks berisiko secara “konsisten”. KIE, baik melalui pendistribusian materi
pencegahan, pendampingan, dan advokasi
Komponen lain yang perlu diperhatikan
untuk layanan publik, termasuk rujukan ke
adalah penjangkauan dan pendampingan.
layanan kesehatan. Bentuk dan polanya
Pada akhir 1990an, program penjangkauan
memanfaatkan penyuluhan massal dan
individual mendominasi komponen pence­
edutainment menjadi pilihan saat ini demi
gah­an. Meningkatkan aktivitas penjangkauan
“mengejar” target cakupan program.
pada fase awal epidemi sebagai bentuk
res­pons emergensi. Untuk konteks saat ini, Pemerintah telah berusaha untuk
terkait dengan populasi kunci, adanya isu menyediakan layanan dan mendorong
stig­ma dan diskriminasi juga menjadi salah kemudahan akses para klien. Tetapi ternyata
satu alasan mengapa program ini tetap masih ada kesenjangan dalam hal akses dua
di­perlukan. Minimnya Penjangkauan dan sebab. Pertama, bias geografi dan tempat
Pen­dampingan bisa menurunkan kualitas layanan. Umumnya layanan ada di kota
program. besar dan di wilayah yang ada donornya.
Kedua, kendala akses disebabkan karena
Sejak kasus AIDS pertama Indonesia
program oriented bukan pada client oriented.
tahun 1987 di Bali dan meningkatnya pe­
Seringkali layanan tersedia ketika masih
ne­muan kasus tidak terlepas dari upaya
mendapat dukungan donor dan menjadi
pendampingan dan penjangkauan yang
program. Ketika tanpa donor, layanan jadi
dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil.
sulit diakses, bahkan tutup.
Kasus di Bali, penjangkauan dan pen­­dam­
pingan dipelopori oleh Yayasan Kerthi
Praja untuk WPS, Yayasan Citra Usadha
Indonesia untuk homoseksual, dan Ya­ 2. Integrasi Penanggulangan
ya­san Hati-Hati memulai menjangkau HIV & AIDS dengan Sektor Non-
ke­lompok IDU. Pada pertengahan tahun Kesehatan
2000-an, ketika model estimasi populasi
Integrasi HIV dan AIDS di sektor non-
beri­siko menunjukkan bahwa cakupan
kesehatan, seperti sektor hukum, juga
(coverage) jumlah populasi kunci menjadi
penting dilakukan. Kesepakatan antara
kun­ci dalam penanggulangan epidemi,
Kapolri sebagai Ketua BNN dan Menkokesra
efek­­tivitas penjangkauan individual da­lam
sebagai Ketua KPAN adalah contoh
meningkatkan cakupan program diper­ta­
keberhasilan integrasi di tingkat kebijakan,
nya­kan. Strategi ini diakui cukup bagus dan
dalam hal ini integrasi regulasi program
harapannya bisa tetap dilanjutkan, tetapi
Harm Reduction untuk kalangan penasun.
dihadapkan pada persoalan bahwa biaya
Sekalipun dalam implementasinya masih
terbesar dalam strategi ini ialah gaji untuk
banyak tantangan dan masih jauh dari
petugas “outreach”.
harapan, kebijakan ini dirasakan oleh

38
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

lembaga penggiat harm reduction sangat jaksa untuk tidak mempidanakan pecandu
menolong dalam melindungi pekerja mereka yang tertangkap oleh polisi. Berdasarkan
dari kriminalisasi,10 termasuk kegiatan harm Undang-Undang Narkotika No. 3/2009
reduction di lapas. yang menyebutkan bahwa pecandu wajib
menjalani rehabilitasi medis atau rehabilitasi
Contoh lain pada program PMTS di
sosial karena mereka dianggap sebagai
tingkat kabupaten/kota adalah integrasi HIV
korban yang perlu dipulihkan kembali,
dan AIDS ditunjukkan melalui pembentukan
seperti laiknya orang sakit yang perlu
pokja PMTS yang melibatkan pengelola
dipulihkan di rumah sakit. Selanjutnya
tempat hiburan, mucikari, kepolisian, satuan
pemerintah mengeluarkan PP No. 25/2011
polisi Pamong Praja (Satpol PP). Bentuk
tentang wajib lapor bagi pecandu atau
pelaksanaan kerjasama di lapangan
penyalahguna narkoba. Di sini pecandu
ditunjukkan saat pelaksanaan mobile clinic
diharapkan untuk mau melaporkan dirinya
di lokalisasi atau hot spot, polisi dan satpol
kepada institusi penerima wajib lapor bagi
PP tidak melakukan razia, sehingga populasi
mereka yang cukup umur, bagi yang belum
kunci yang menjadi target program merasa
cukup umur bisa dilaporkan oleh orang
aman dalam mengakses layanan. Di wilayah
tuanya, sehingga mereka akan segera
Bantul, Yogyakarta, sudah ada Momerandum
mendapatkan rehabilitasi. Dalam PP ini,
of Understanding (MoU) antara Dinkes Bantul
pasal 13 disebutkan penyidik ataupun hakim
dan Satpol PP untuk penyediaan layanan
bisa menempatkan sementara pecandu di
KTS dan IMS di lokasi yang menjamin WPS
tempat rehabilitasi sesuai pada tingkatan
bisa mengakses layanan dengan aman.
proses hukum yang sedang berlangsung.11
Kesepakatan tersebut diperbaharui setiap
Adanya kebijakan dekriminalisasi penasun
tahunnya.
ini memungkinkan mereka untuk mengakses 01
Upaya pemerintah memadukan layanan pencegahan HIV (Harm Reduction)
penanggulangan HIV dan AIDS dengan seperti program LASS, rumatan metadon,
penanggulangan narkotika berjalan termasuk KTS dan layanan lainnya.
sangat dinamis, dalam kepentingan
tertentu (misalnya advokasi anggaran).

G.
Dua hal ini beriringan, namun dalam hal
perlakuan terhadap pengguna seringkali
berseberangan. Untuk mengatasi hal ini,
beberapa kebijakan sudah dikeluarkan Tantangan Integrasi
seperti MoU Menkokesra dan BNN tetang HR
Tahun 2003 dan Permenkokesra No. 2/2007 Salah satu tantangan utama dalam
tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan integrasi adalah kebutuhan sumber daya
HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak manusia yang kompeten, baik pada level
Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika manajerial maupun pada level pelaksana
dan Zat Adiktif Suntik. di lapangan. Beberapa tenaga teknis di
Beberapa kebijakan juga melihat lapangan misalnya petugas penjangkau
pengguna narkoba sebagai korban, yaitu dan pendamping, konselor HIV dan AIDS,
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4/2010 manajer kasus (MK), dan buddies masih
soal anjuran bahwa pengguna narkotika dirasakan kurang dalam hal jumlah maupun
yang terkena sanksi hukum dapat dirujuk 11) Dalam wawancara pecandu melaporkan bahwa kalau
ke pusat rehabilitasi. Kejaksaan Agung tertangkap tangan dan proses hukum tetap berlangsung
juga telah menerbitkan edaran kepada dan ditahan di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan,
bukan perawatan rehabilitasi seperti yang ada di BNN
10) LIhat hasil SSP dan STBP tentang Penasun. ataupun tempat lain.

39
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

kapasitas mereka oleh sebagian besar karena adanya hambatan kelengkapan


informan dalam penelitian ini. Sedangkan administratif kependudukan, misalnya kartu
di level penyedia layanan kesehatan, tanda penduduk, kartu keluarga. Selain
Kemenkes telah membuat kebijakan itu, mobilitas mereka cukup tinggi, padahal
tentang Pedoman Pengadaan Tenaga BPJS menggunakan sistem kewilayahan dan
Kesehatan dengan Perjanjian Kerja di berdasarkan tempat tinggal.
Sarana Kesehatan Milik Pemerintah, yakni
Tantangan lainnya upaya integrasi ini
Permenkes No. 1199/Menkes/PER/X/2004.
adalah adanya stigma dan diskriminasi.
Regulasi ini masih dirasa kurang memayungi
Implikasi yang jelas terlihat adalah ODHA
kebutuhan SDM di program HIV dan AIDS,
mengalami kesulitan mengakses layanan
karena kebutuhannya tidak hanya di sarana
yang dibutuhkannya. Studi komparatif
kesehatan milik pemerintah, tapi juga di
di beberapa negara pada tahun 2005
instansi terkait lainnya.
oleh Ogden, J., & Nyblade, L. di Ethiopia,
Upaya kesehatan merupakan salah satu Tanzania, Vietnam dan Zambia menemukan
bagian dari sub sistem fungsi kesehatan, bahwa stigma secara konsisten terjadi dalam
sehingga saat membahas integrasi dalam bentuk, akibat dan penyebabnya.
sistem kesehatan tidak bisa lepas dari
Ada tiga penyebab stigma dan
dimen­si-dimensi yang ada dalam upaya
diskriminasi ini, yaitu ketakutan tertular HIV
kese­hatan. Dimensi dalam upaya kesehatan,
akibat kontak dengan ODHA, perilaku ODHA
termasuk (1) Ketersediaan layanan kese­
yang dihubungkan dengan pelanggaran
hatan; (2) Koordinasi dan rujukan; serta (3)
atas norma-norma yang ada, dan kurangnya
Jaminan kualitas layanan. Ketersediaan dan
pengetahuan tentang stigma itu sendiri
kemerataan tempat layanan kesehatan,
(Ogen, J., & Nyblade,L., 2005). Upaya
seperti rumah sakit, puskesmas dan klinik
pengurangan stigma dan diskriminasi telah
kesehatan merupakan permasalahan yang
dilakukan mulai dari set-up program sampai
masih perlu perhatian terkait upaya integrasi
pada pengembangan lingkungan yang
ini. Akses dalam artian jarak, ketersediaan,
mendukung (enabling environment). Namun,
dan kualitas penting bagi ODHA dan popu­
sampai saat ini stigma dan diskriminasi masih
lasi kunci mengingat mobilitas kelompok
terjadi, baik dari masyarakat umum maupun
kunci dan ODHA yang sekarang tidak hanya
dari penyedia layanan. Kelompok waria
terpusat di kota besar (ibu kota provinsi).
sampai kini masih menerima diskriminasi
Terkait dengan akses layanan kesehatan, dan stigma yang sangat keras. Persatuan
saat ini Undang-Undang BPJS sudah Waria Kota Surabaya (Perwakos), sebagai
diberlakukan dan memengaruhi sistem lembaga yang aktif terlibat dalam program
pendanaan dan pelayanan kesehatan di penanggulangan dan pencegahan HIV
Indonesia, termasuk penanggulangan HIV dan AIDS, sampai saat ini masih sering
dan AIDS. Kebijakan tentang Pelayanan mendapat stigma dan diskriminasi, terutama
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan ODHA waria. Salah satu kasus yang pernah
Nasional sudah dikeluarkan dalam bentuk menyeruak pada saat itu adalah penolakan
Permenkes dan Surat Edaran Menteri. dari masyarakat adanya ODHA waria
Bagaimana ODHA dan populasi kunci yang meninggal di Surabaya dan harus
mengakses pelayanan kesehatan di era dikembalikan ke kampung halamannya.
BPJS menjadi tantangan tersendiri dalam
Di sisi lain, hingga kini, sikap dan perilaku
sistem jaminan kesehatan yang baru ini.
tenaga medis dan para medis terhadap
Banyak dari populasi kunci dan ODHA masih
ODHA semakin baik, namun tidak sedikit
kesulitan dalam mengakses layanan BPJS
yang masih mendiskriminasi. Masih tingginya

40
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

stigma dan diskriminasi pada “Respons baik di tingkat nasional maupun


petugas kesehatan, menurut terhadap epidemi daerah.
Nyblade, et al. (2009), umumnya HIV dan AIDS Kontestasi yang pertama
disebabkan karena tiga hal,
di Indonesia adalah antara pendekatan
yaitu (1) kurangnya kesadaran
mencerminkan vertikal, yang mengandalkan
petugas kesehatan akan stigma
pengendalian teknis yang
dan diskriminasi itu sendiri serta kontestasi yang
terpusat dan ketat dengan
bagaimana dampaknya; (2) rumit dalam
pendekatan horizontal yang
ketakutan tertular karena kontak sebuah konteks bertumpu pada pendekatan
dengan ODHA, akibat dari kemasyarakatan multisektoral dan desentralistis.
pengetahuan tentang HIV dan
yang dinamis. Kontestasi kedua adalah antara
AIDS yang masih kurang; dan (3)
Kontestasi ini data teknis dan pertimbangan
terkait dengan isu dan perilaku
politik ekonomi. Sebagai
yang bertentangan dengan nilai terjadi karena
contoh adalah kampanye
budaya. Ini mengindikasikan banyaknya aktor
kondom, yang secara salah
bahwa masih perlu peningkatan yang terlibat satu cara pencegahan yang
pengetahuan dan peningkatan dan masing- efektif, pertimbangan politis
kapasitas tenaga kerja
masing memiliki menjadikannya sebuah
kesehatan tentang HIV dan
kepentingan komoditas politik. Respons
AIDS. Kementerian Kesehatan
nasional dan daerah juga
telah merespons kebutuhan yang berbeda
berbeda sekalipun dominasi
ini melalui peluncuran sebuah terhadap upaya
nasional atas data-data
Pedoman Penghapusan Stigma penanggulangan epidemiologi lebih dominan.
Diskriminasi bagi Pengelola HIV dan AIDS, 01
Kontestasi yang ketiga adalah
Program, Petugas Layanan
baik di tingkat antara lembaga yang masing-
Kesehatan dan Kader tahun
nasional maupun masing membawa mazhab
2012. Pada praktiknya, pedoman
(school of thoughts) yang
ini belum dilaksanakan secara daerah.”
berbeda, misalnya antara USAID
konsisten.
dan AusAID (sekarang DFAT),
Global Funds, NGO Internasional,
dan lembaga pemerintah.

H. Respons kelembagaan
atau pemben­tuk­an lembaga
Simpulan dan kebijakan merupakan dua
respons yang paling banyak
Respons terhadap epidemi dilakukan, dengan anggapan
HIV dan AIDS di Indonesia bahwa keduanya akan
mencerminkan kontestasi menjamin keberlangsungan
yang rumit dalam sebuah program, karena melalui
konteks kemasyarakatan yang pembentukan lembaga dan
dinamis. Kontestasi ini terjadi kebijakan, pemerintah pusat
karena banyaknya aktor yang dan pemerintah daerah akan
terlibat dan masing-masing mengambil alih investasi
memiliki kepentingan yang yang telah dilakukan oleh
berbeda terhadap upaya donor. Peraturan-peraturan
penanggulangan HIV dan AIDS, yang dikaji dalam penelitian

41
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

ini menunjukkan bahwa peraturan dan penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
kelembagaan mengandalkan efektivitas program kesehatan yang ada di tingkat
implementasinya pada sistem kesehatan daerah. Demikian pula berlakunya JKN bisa
dan tata kelola pemerintahan yang ada menjadi peluang dalam mendorong integrasi
atau dengan kata lain, mengasumsikan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS
kapabilitas sektor di luar HIV dan AIDS, dan ke dalam sistem kesehatan, khususnya
sektor kesehatan pada khususnya dalam dalam upaya pengobatan, dukungan dan
memberikan respons yang komprehensif. perawatan serta mitigasi dampak.
Namun dalam banyak kasus di wilayah
penelitian, kedua jenis respons ini lebih
mencerminkan hal-hal yang normatif karena
kualitas implementasinya yang rendah.
Hampir semua provinsi telah membentuk
KPAD. Namun dengan berbagai alasan,
I.
peran lembaga ini cenderung terbatas
Rekomendasi
dalam memenuhi mandatnya. Peraturan
Untuk kontestasi antara pusat dan daerah,
daerah terkait HIV dan AIDS juga tidak
perlu dijelaskan dalam road map tentang
efektif di tingkat lapangan, karena tanpa
pembagian wewenang, peran serta
sumberdaya dan sanksi yang memadai dan
tanggung jawab yang jelas antara aktor
seringkali tumpang tindih atau berlawanan
yang ada di pusat dan daerah yang disusun
dengan peraturan di sektor publik lainnya.
oleh pemerintah daerah. Dinas kesehatan
Contohnya kebijakan tentang kondom, pada
dan KPAD sebagai penanggung jawab utama
satu sisi kondom diwajibkan sebagai alat
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah
pencegahan perilaku berisiko, namun di sisi
perlu melakukan pemetaan program yang
lain seringkali keberadaannya digunakan
sudah dilaksanakan selama ini dan potensi
sebagai bukti adanya praktik prostitusi dan
sumber daya yang tersedia. Pemetaan ini
dilakukan penangkapan kepada pelaku
meliputi jenis program (pencegahan, PDP,
yang terlibat. Hal ini membuat intervensi
mitigasi dampak), status program saat ini
kondom menjadi tidak maksimal.
(lingkup program dan aktivitas), dan kinerja
Peran masyarakat sipil yang program. Selain itu, pemetaan sumber
direpresentasikan oleh Komunitas Populasi daya termasuk sumber dana dan sumber
Kunci belum optimal dalam penanggulangan daya manusia, serta layanan yang ada.
HIV dan AIDS di Indonesia. Kelompok ODHA Hasil pemetaan ini akan menunjukkan
dan pecandu diterima keberadaannya dalam kesenjangan dan apa yang dibutuhkan
penyebutan identitas diri sebagai komunitas, daerah dalam penanggulangan HIV dan
sedangkan PSK, waria, LSL dan gay tidak AIDS. Dalam pelaksanaannya, pemerintah
mendapat tempat untuk menunjukkan pusat memberikan dukungan dana (APBN)
identitasnya dalam masyarakat dan sebagai dan bantuan teknis pada pemerintah daerah.
stakeholder.
Untuk mengurangi kontestasi antar MPI,
Dari sisi pembiayaan, Undang-Undang perlu dilakukan koordinasi antar MPI sendiri
Pemerintahan Daerah Otonomi Daerah serta antara MPI dengan pemerintah serta
yang mengamanatkan pembagian urusan lembaga yang menjadi mitra dalam rangka
pemerintahan antara pemerintah pusat, menyinergikan tujuan, sasaran, target dan
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah strategi yang digunakan agar memperkuat
daerah kabupaten/kota dapat menjadi sistem kesehatan yang ada. Di tingkat
peluang untuk mengintegrasikan program nasional, fungsi ini seharusnya dilakukan

42
M u ham m ad Su harn i & Ita Pe rw i ra

oleh Bappenas sebagai badan perencanaan evaluasi atas program yang telah dibuat
nasional dan untuk daerah dilakoni oleh untuk mengetahui status pelaksanaan
Bappeda sebagai badan perencanaan program sehingga bisa diterapkan
daerah. Seluruh MPI yang masuk seharusnya mekanisme “performance-based financing”.
berkoordinasi, mulai dari perencanaan
KPAD dan Dinkes perlu secara aktif
dan pengembangan bantuan yang akan
melakukan advokasi kepada kepala daerah,
dilakukan, demi menghindari adanya
DPRD, Bappeda, OMS dan lembaga lain
overlapping dengan program lain. Selain itu,
yang terkait dengan isu HIV dan AIDS di
program dari MPI harus diselaraskan dengan
daerah. Advokasi ini bertujuan memberikan
rencana dan strategi nasional, sehingga
pemahaman terhadap aktor-aktor tersebut
dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk
tentang pentingnya penanggulangan HIV
memenuhi kesenjangan yang ada.
dan AIDS, sehingga permasalahan ini bisa
Pemerintah daerah melalui Dinkes perlu menjadi salah satu prioritas daerah yang
menguatkan layanan kesehatan primer kasusnya sudah tinggi. Dinkes dan KPAD
(puskesmas dan jaringannya), mulai dari melakukan komunikasi intensif sebagai
tata kelola, pembiayaan, sistem informasi, bagian advokasi tersebut dengan kepala
SDM, logistik dan partisipasi masyarakat daerah, DPRD dan Bappeda. Proses
melalui bimbingan teknis (bimtek) rutin serta advokasi dilakukan secara terus-menerus
melakukan monitoring dan evaluasi untuk serta mempertimbangkan waktu yang tepat
memberikan layanan kesehatan dasar, terkait dengan penyusunan perencanaan
termasuk HIV dan AIDS. OMS dan populasi pembangunan dan anggaran daerah.
kunci dapat berperan sebagai kontrol dalam Advokasi harus disusun berdasarkan
mengevaluasi akses serta kualitas layanan, evidence base dan situasi epidemi daerah.
yang kemudian hasilnya dapat dijadikan 01
OMS dan populasi kunci perlu
bahan advokasi kepada Dinkes untuk
mendorong pemerintah untuk melakukan
melakukan peningkatan kualitas. Dinkes juga
peninjauan ulang berbagai kebijakan
harus memperluas jaringan layanan HIV,
yang menstigma dan mendiskriminasikan
tidak hanya pada layanan kesehatan milik
populasi kunci, agar tidak menghambat
pemerintah namun juga layanan swasta.
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Untuk mendukung program yang sudah Contohnya peninjauan ulang penerapan
dilaksanakan oleh OMS, maka pemerintah Perda tentang penutupan lokalisasi, agar
daerah, melalui Dinkes, harus menyediakan populasi yang terdampak langsung dari
pembiayaan khusus yang dapat diakses oleh program ini mempunyai akses terhadap
OMS. Mekanisme mengakses pembiayaan layanan kesehatan terutama tatalaksana
diatur dalam kebijakan daerah, misalnya IMS dan tes HIV. Selain itu, OMS dan
melalui peraturan Gubernur/Bupati dalam populasi kunci perlu terus mengadvokasi dan
bentuk Surat Keputusan (SK) . berpartisipasi aktif dalam perumusan dan
evaluasi kebijakan.
Pemerintah daerah harus mampu
menyediakan informasi dan data epidemi Perguruan tinggi atau lembaga
untuk membuat perencanaan program akademik adalah aktor yang seharusnya
dan penganggaran yang sesuai dengan terlibat dan bisa memberikan peran yang
kebutuhan daerah. Dinkes bertanggung lebih besar dalam penanggulangan HIV
jawab untuk mengumpulkan, memproduksi, dan AIDS. Peran kalangan ini yang perlu
mendiseminasikan informasi strategis untuk ditingkatkan adalah melakukan kajian
perencanaan program dan penganggaran. terkait pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Perlu juga melaksanakan monitoring dan di era BPJS untuk layanan HIV dan AIDS,

43
T i n j a u an H is tor is Ke bijak an & Pro g ram Pen a n g g u la n g an HIV & AI D S di I n do n e si a

khususnya bagi populasi kunci dan Prichett, Lant., Woolcock, Michael., Andrews, Matt. (2012).
“Looking Like a State: Techniques of Persistent Failure
kelompok yang termarjinalkan agar mereka
in State Capability for Implementation”. CID Working
dapat mengakses layanan tersebut. Mereka Paper No. 239, Juni 2012.
perlu diajak bekerjasama baik oleh OMS, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan
pemerintah atau bahkan lembaga donor. Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI bekerjasama
dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional,
Indonesian HIV/AIDS and STD Prevention and Care
Project-AusAID, 2005. Kajian penelitian sosial dan
perilaku yang berkaitan dengan infeksi menular
seksual, HIV/AIDS di Indonesia, 1997-2003.
D af ta r P u st ak a Shiffman, J. (2008). Has donor prioritization of HIV/AIDS
displaced aid for other health issues? Health Policy
Basuki, E., I. Wolffers, W. Deville, N. Erliaini, D. Luhpuri,
and Planning, 23(2), 95–100. http://doi.org/10.1093/
R. Hargono, N. Maskuri, N. Suesen, dan N.v. Beelen.
heapol/czm045
2002. “Reasons for not using condoms among female
sex workers in Indonesia.” AIDS Education Preview Trisnantoro, L. (2007). Pelaksanaan Desentralisasi
14(2): 102–1. Kesehatan di Indonesia 2000 – 2007.
Crisovan, P. L. 2006. “‘Risky’ Business: Cultural WHO, 2008. WHO Country Cooperation Strategy
Conceptions of HIV/AIDS in Indonesia.” Disertasi. 2007–2011 Indonesia
University of Pittsburgh. Wolffers, I. (1999). Pacar and Tamu: Indonesian women sex
Kemenkes RI. (2013). “Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di workers’ relationships with men. Culture, Health &
Indonesia Tahun 2010–2016.” Sexuality, 1(1), 39-53.
KPAN. (2010). Strategi dan Rencana Aksi Nasional World Bank (2005). “Document of The World Bank
Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 – 2014. Report No.32572 Project Performance Assement
Report Indonesia HIV/AIDS dan STDs Prevention
KPAN. (2015). Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Manajement Project (LOAN No 3981).” June 13, 2005
Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 – 2014
(draft).
KPAN, 2011. Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia 2006 -2011: Laporan 5 Tahun Pelaksanaan
Perpres No 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan
AIDS.
KPAN. (2003). SRAN Penanggulangan HIV/AIDS 2003-
2007
Nadjib, M., Megraini, A., Ishardini, L., & Rosalina, L. (2013).
Final Report National AIDS Spending Assessment
2011-2012.
Nugroho, K. (2008). “Sosio­seksualitas dan HIV/AIDS di
Indonesia.” Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia.
Ogden, J., & Nyblade, L. (2005). Common at Its Core:
HIV-Related Stigma Across Contexts. Washington,
DC: ICRW
PEPFAR. (2011). “Indonesia Operational Plan Report FY
2011.”
Pisani, E. (2008). The Wisdom of Whores: Bureaucrats,
Brothels and the Business of Aids, New York, W.W.
Norton.
PKMK FK UGM. (2015). ‘Tinjauan respons sektor komunitas
terhadap penanggulangan HIV dan AIDS’
PKMK FK UGM. (2009). Pelaksanaan Desentralisasi
Kesehatan di Indonesia 2000-2007: Mengkaji
Pengalaman dan Membahas Skenario Masa Depan
Praptoraharjo et al, (2013). NSP Review in Indonesia,
UNODC Indonesia.
Prichett, Lant. (2014). It is all about MeE. Presentasi dalam
MCC M&E College, 5 Februari 2014. Washington DC.

44
01

45
02
Kebijakan & Program
Pencegahan HIV
di Tingkat Kabupaten/Kota
di Indonesia

Muh am m ad Suharni

46
M u ham m ad Su harn i

A.
Pendahuluan

Salah satu respons pemerintah Indonesia untuk menanggulangi epidemi


HIV adalah mengembangkan kebijakan dan program pencegahan HIV dan
AIDS secara nasional. Fokus program pencegahan ini adalah perluasan dan
peningkatan intervensi efektif untuk menahan laju penyebaran infeksi HIV
yang terjadi, melalui pertukaran jarum/alat suntik dan hubungan seksual
berisiko di antara populasi kunci (KPAN, 2010). Area program ini berfokus pada
cara penularan HIV di kalangan populasi kunci, yaitu 1) pencegahan melalui
transmisi seks (PMTS) di kalangan Wanita Pekerja Seks (WPS), Lelaki yang
berhubungan seks dengan lelaki (LSL) dan waria; 2) pencegahan penularan
melalui alat suntik pada kalangan penasun atau program pengurangan
dampak buruk napza suntik (Harm Reduction); dan 3) pencegahan penularan
dari ibu ke anak (PPIA).

Untuk mewujudkan upaya efektif bidang kesehatan.12 Desentralisasi fungsi- 02


pencegahan HIV dan AIDS di tingkat daerah, fungsi subsistem kesehatan diatur oleh
pemerintah daerah dan para pemangku Peraturan Presiden No 72 tahun 2012
kepentingan bertanggung jawab membuat tentang Sistem Kesehatan Nasional.13 Sistem
dan melaksanakan kebijakan dan program Kesehatan Nasional menjelaskan bahwa
di daerah yang selaras dengan upaya pengelolaan kesehatan dilakukan secara
pencegahan penyakit menular umumnya. berjenjang di pusat dan daerah, dengan
Peran dan tanggung jawab ini merupakan memperhatikan otonomi daerah dan otonomi
amanat dari undang-undang otonomi fungsional di bidang kesehatan, yang
daerah sebagai keputusan politik dalam dilaksanakan berdasarkan kemampuan dan
tata kelola pemerintahan daerah. Menurut ketersediaan sumber daya bidang kesehatan
UU No 23 tahun 2014, desentralisasi adalah di daerah.
penyerahan urusan pemerintahan oleh
Desentralisasi ternyata mampu
pemerintah pusat kepada daerah otonom
mendorong pemerintah daerah untuk
berdasarkan asas otonomi. Implikasi
menyediakan layanan kesehatan agar
desentralisasi ini berupa pembagian urusan
lebih dekat kepada masyarakat pemanfaat
pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
layanan, seperti penyediaan layanan
pemerintah kota/kabupaten. Dalam lampiran
pencegahan HIV dan AIDS yang tersedia di
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
fasilitas layanan kesehatan umum daerah.
urusan bidang kesehatan meliputi upaya
Kebijakan lainnya yang memberikan
kesehatan, sumber daya manusia kesehatan,
sediaan farmasi, alkes dan makanan dan 12) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
minuman, dan pemberdayaan masyarakat B. Pembagian urusan pemerintahan bidang Kesehatan.
13) Lihat Perpres No 72 tahun 2012 tentang SKN pasal 2.

47
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

mandat kepada pemerintah daerah agar mengidentifikasi perlu ada dua kondisi
berperan aktif dalam pencegahan HIV penting. Pertama, integrasi harus dilakukan
dan AIDS adalah Permenkes No 21 tahun di pelayanan kesehatan pemerintah
2014 serta mandat dari Perda HIV dan (general health care). Hal ini dikarenakan
AIDS di tingkat kabupaten/kota. Peran aktif akses terhadap layanan swasta dengan
pemerintah daerah dalam penanggulangan pembiayaan oleh pemanfaat layanan di
HIV dan AIDS meliputi penyelenggaraan low income countries sangat memberatkan;
berbagai upaya penggalian dan penang­ usaha untuk mengubah perilaku penyedia
gulangan HIV dan AIDS, penetapan situa­si layanan swasta berdasarkan panduan
epidemik, menjamin ketersediaan pela­ nasional di negara berkembang sangat
yan­an kesehatan tingkat primer dan ru­juk­ sulit dan cenderung mendapat penolakan
an serta penyelenggaraan sistem pen­ dari praktisi pemberi layanan swasta;
ca­tatan, pelaporan dan evaluasi dengan dan kapasitas otoritas kesehatan dalam
memanfaatkan sistem informasi.14 mengatur dan mengontrol fasilitas layanan
kesehatan swasta masih menjadi batu
Dengan demikian, perubahan sis­tem
sandungan di negara berkembang. Kedua,
pe­merintahan dari sentralisasi ke desen­tra­
integrasi administratif dan operatif15 harus
li­sasi berpengaruh terhadap kebijakan dan
dilakukan secara simultan, karena program
pro­gram pencegahan HIV dan AIDS. Hal ini
vertikal seringkali tidak cocok dengan
dikuatkan oleh beberapa hasil penelitian
perencanaan desentralisasi di daerah. Ketika
yang dilakukan di beberapa negara bahwa
kegiatan di fasyankes merupakan program
desentralisasi merupakan jawaban yang
vertikal, maka peluang untuk pembuatan
me­mungkinkan untuk menyelesaikan per­
kebijakan lokal sangat terbatas dan
ma­salahan terkait operasional dan ko­or­
keputusan strategis akhirnya akan banyak
di­nasi program HIV dan AIDS, terutama
dipegang oleh pemerintah pusat.
da­lam hal layanan Perawatan, Dukungan
dan Pengobatan (PDP) (Boyer, et al., 2012; Integrasi ini tidak mudah dilakukan ka­
Fronczak, et.al., 2015; Hollister, R.,M.,(n.d); rena ada beberapa tantangan dari global
Kelly, 2003; Zang, et.al., 2011 ). Desentralisasi agency dan pemangku kepentingan sub­na­
juga memberikan peluang bagi pemerintah sional yang cenderung mendorong program
daerah untuk mengintegrasikan upaya vertikal untuk intervensi spesifik, seperti HIV
pen­­ce­gahan HIV dan AIDS ke dalam sistem dan AIDS (Conceil et.al, 2010). Tantangan
pencegahan penyakit menular umum di lain dalam mengintegrasikan pro­gram
dae­rah. Integrasi intervensi spesifik seperti vertikal adalah minimalnya upaya advokasi
upa­­ya pencegahan HIV dan AIDS ke dalam pencegahan pada kelompok beri­si­ko, tidak
pencegahan penyakit menular umumnya imbangnya pendanaan preventif, lemahnya
agar terjadi efektivitas dan keberlanjutan kapasitas pengambilan keputusan pa­da
pro­gram. Hal ini dapat dilakukan dengan
15) Terkait dengan program, Unger, et.al. (2003)
peng­aturan atau adopsi pada tata kelola, mengategorikan tiga jenis program, yakni: program
pem­­biayaan, perencanaan, pemberian la­ verikal adalah program yang dilaksanakan berbeda
dengan sistem kesehatan yang ada, program terintegrasi
yan­­an, monitoring evaluasi serta demand
(administratif dan operasional) dan program tidak
generation (Atun, et.al., 2010; Coker, et. al., langsung (indirect integration/integrasi operational).
2010) . Integrasi administratif adalah tatakelola program yang
sesuai atau tidak sesuai dengan tatakelola fungsi-fungsi
Untuk mengintegrasikan program pe­ sistem kesehatan di pelayanan kesehatan yang ada.
nang­gu­langan penyakit tertentu ke dalam Integrasi operasional berupa pelaksanaan fungsi-
fungsi program di tingkat pelayanan kesehatan umum.
sistem kesehatan, Unger, J.P,. et.al. (2003) Penjelasan tentang program vertikal juga dibahas oleh
Atun, R., Bennett, S., & Duran,A. (2008). When do Vertical
14) Permenkes 21 tahun 2013 pasal 8. (stand-alone) programmes have a place in health system.

48
M u ham m ad Su harn i

tingkat lokal untuk mem­ba­ngun ling­kung­an Dalam konteks desentralisasi, integrasi


kerja yang lebih baik untuk staf ke­se­hatan menunjukkan seberapa jauh berbagai fungsi
(Tkatchenko, et. al, 2010). Untuk konteks pokok sistem kesehatan didayagunakan
Indonesia, penelitian integrasi pro­gram HIV bersama oleh pemerintah daerah dan pe­me­
dan AIDS dalam sistem ke­se­­hat­­an telah rin­tah pusat untuk mendukung adopsi dan
dilakukan oleh Desai, M. et.al (2010) yang inovasi fungsi-fungsi program pencegahan
menemukan fungsi-fungsi pro­­­gram penang­ HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan
gulangan HIV dan AIDS ti­dak terintegrasi ke kabupaten/kota. Secara teknis, desentralisasi
dalam fungsi sistem kese­hat­an. bidang kesehatan berupa pengelolaan kese­
hatan sebagaimana yang ada dalam sistem
Gambaran di atas menunjukkan bah­
kesehatan nasional. Pengelolaan bidang
wa ada persoalan pada mekanisme
kesehatan dilakukan berjenjang di pusat
peng­in­tegrasian upaya pencegahan HIV
dan daerah dengan memperhatikan otonomi
dan AIDS ke dalam sistem pencegahan
daerah dan otonomi fungsional di bidang ini.
penyakit menular umum. Oleh karena itu,
Fungsi-fungsi pokok sistem kesehatan yang
menjadi penting untuk menggali bagaimana
dimaksud, seperti yang ditentukan dalam
mekanisme integrasi fungsi-fungsi program
Perpres Nomor 72/2012 tentang Sistem
ke dalam fungsi-fungsi sistem kesehatan,
Kesehatan Nasional, yaitu manajemen dan
agar mampu menyediakan kebijakan
regulasi kesehatan, pembiayaan, SDM,
alter­natif yang memungkinkan pemerintah
informasi strategis, penyediaan layanan, dan
daerah mengambil tanggung jawab yang
pemberdayaan masyarakat.
lebih besar dalam penanggulangan HIV
dan AIDS, sebagaimana yang diamanatkan Sejumlah studi menyimpulkan bahwa
dalam UU No 23 tahun 2014. Kajian ini, integrasi program pencegahan HIV dan
secara khusus akan menggambarkan AIDS di tingkat daerah (subnasional) 02
tentang tanggung jawab pemerintah daerah berdampak positif. Penelitian oleh Conceil
dalam mengelola program pencegahan HIV et al. menyimpulkan bahwa stakeholder
dan AIDS dan mengidentifikasi faktor-faktor subnasional cenderung mendukung integrasi
yang menghambat atau memungkinkan program HIV dan AIDS ke dalam sistem
pemerintah daerah bertanggung jawab kesehatan. Penelitian oleh Desai et al.,
dalam pengelolaan program pencegahan. menyatakan bahwa program Global Fund
untuk AIDS di Indonesia adalah program
Untuk memahami peran pemerintah
vertikal dan tersentralisasi, yang bertolak
daerah dalam penanggulangan HIV dan
belakang dengan sistem kesehatan nasional
AIDS, kajian ini menggunakan konsep
yang justru terdesentralisasi. Penelitian oleh
integrasi yang digunakan oleh Atun,
Kawonga et al. menyatakan bahwa integrasi
et.al., (2010) dan Coker, et. al., (2010).
sistem monitoring dan evaluasi (monev)
Integrasi didefinsikan sebagai tingkat
program HIV dan AIDS ke dalam sistem
adopsi dan asimilasi pemerintah daerah
monev kesehatan umum akan menghemat
atas program pencegahan HIV dan AIDS
pembiayaan dan mendorong peningkatan
ke dalam berbagai fungsi pokok sistem
kualitas dan ketepatan indikator program
kesehatan yang berlaku. Adopsi atau
yang akan menguntungkan kedua sistem
asimilisasi didasarkan pada asumsi bahwa
ini. Terakhir, penelitian oleh Sweeney et
sebuah program pencegahan HIV dan
al. menyimpulkan, integrasi pembiayaan
AIDS merupakan sebuah inovasi yang
program HIV dan AIDS ke dalam sistem
berupa perspektif, praktik atau pengaturan
kesehatan dapat meningkatkan efisiensi
kelembagaan yang dinilai berbeda dengan
teknis dan efisiensi pengeluaran untuk
model upaya kesehatan pada umumnya.
program.

49
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

Gambar 4. Kerangka Konseptual

Permasalahan
Ekonomi Politik Hukum
Kesehatan

Sistem Kesehatan

Manajemen & Penyediaan Informasi Partisipasi


Pembiayaan SDM
Regulasi Farmasi & Alkes Strategis Masyarakat

Program Penanggulangan HIV & AIDS

Aktor
Manajemen & Penyediaan Informasi Partisipasi
Pembiayaan SDM
Regulasi Farmasi & Alkes Strategis Masyarakat

Penyediaan Layanan HIV & AIDS


Pencegahan, Perawatan, Dukungan & Mitigasi Dampak

Perjalanan Penyakit - HIV & AIDS

Dalam tulisan ini, seberapa jauh integrasi kesehatan, dan (4) konteks politik, ekonomi,
upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke hukum dan permasalahan kesehatan di
dalam sistem kesehatan akan dipengaruhi tahap mana penanggulangan HIV dan AIDS
oleh (1) karakteristik permasalahan, ini dilaksanakan, termasuk desentralisasi
kebijakan, dan program HIV dan AIDS (Atun et al., 2010; Coker et al., 2010).
(misalnya PDP, dampak mitigasi), (2) interaksi
Model konseptual dalam tulisan ini
berbagai aktor yang berkepentingan
dikembangkan dengan mengasumsikan
di dalam sistem kesehatan dan upaya
bahwa keempat komponen tersebut
penanggulangan HIV dan AIDS, (3)
saling berinteraksi secara bersama-sama,
karakteristik sistem kesehatan dan interaksi
berpengaruh terhadap tingkat integrasi, dan
antar fungsi-fungsi pokok dalam sistem
menentukan kinerja sistem kesehatan yang

50
M u ham m ad Su harn i

meliputi cakupan, aksesiblitas, pemerataan, ke dalam upaya kesehatan yang ada; 4)


kualitas dan keberlanjutannya dalam upaya ting­kat efektivitas program pencegahan yang
penanggulangan HIV dan AIDS. Model berupa cakupan dan perubahan perilaku.
konseptual ini bisa dilihat pada diagram Ana­lisis data dilakukan mulai dari identifikasi
di gambar 4. Selanjutnya, tulisan ini akan data yang tersedia sesuai dengan tema-
menggambarkan fungsi-fungsi pokok sistem te­ma yang telah ditentukan dalam kajian
kesehatan di dalam penanggulangan HIV ini. Penyusunan data ke dalam tema-tema
dan AIDS, seperti yang tercantum dalam po­kok dalam kajian ini dilakukan selama pro­
Perpres Nomor 72/2012. ses analisis berlangsung sehingga diperoleh
gam­­baran yang rinci tentang tema yang
Secara spesifik, program pencegahan
ditentukan tersebut.
HIV dan AIDS dalam kajian ini adalah
program PMTS pada WPS dan LSL, serta
program LASS. Integrasi dilihat dalam
konteks desentralisasi untuk menjelaskan
bagaimana hubungan antara pusat
dan daerah dalam tata kelola program
C.
pencegahan HIV dan AIDS. Situasi Program Pencegahan
HIV & AIDS

Situasi epidemi di semua lokasi penelitian

B. bervariasi berdasarkan besaran dan


sebarannya. Hingga Desember 2015,
Kemenkes melaporkan bahwa jumlah
Metode kumulatif HIV dari tahun 1987 hingga 02
Desember 2015 di Indonesia adalah
Kajian ini merupakan sebuah analisis kua­­
191.073. Tiga provinsi yang menjadi wilayah
li­tatif terhadap data yang diperoleh da­­ri
penelitian memiliki kasus HIV tertinggi, yaitu
penelitian PKMKFK UGM sejak 2014-2016
DKI Jakarta 39.347, Jawa Timur 24.916, dan
tentang sistem kesehatan dan pe­nang­
Papua 20.859. Sedangkan jumlah kumulatif
gu­lang­an HIV dan AIDS yang men­ca­kup
AIDS pada periode yang sama di wilayah
8 provinsi (DKI Jakarta, Sumatera Utara,
penelitian sebagai berikut: Medan 3.318;
Sulawesi Selatan, Papua, Papua Barat, Bali,
Surabaya 2.235; Denpasar 3.275; Kupang
Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur)16.
420; dan Merauke 804. Secara umum,
Se­lain itu, juga dikumpulkan data sekunder
jumlah kumulatif AIDS di wilayah penelitian
tentang cakupan program pencegahan
sebanyak 46.965. Sedangkan di Indonesia
yang berasal dari data STBP 2007, 2009,
jumlah kumulatif AIDS sebanyak 77.112
2011 dan 2013. Tema-tema yang dianalisis
(Kemenkes, 2015). Prevalensi AIDS di wilayah
dalam kajian ini antara lain: 1) situasi epidemi
penelitian ini seperti terlihat pada tabel 4.
dan gambaran program; 2) desentralisasi
dan pelaksanaan kebijakan dan program Jika dilihat dari cara penularannya,
HIV dan AIDS di daerah; 3) tingkat integrasi awal ditemukannya kasus AIDS pada
pencegahan HIV dan AIDS (PMTS dan LASS) tahun 1987 hingga tahun 1996, faktor risiko
tertinggi adalah homo-bisexual, sebanyak
16) (1) Kajian dokumen kebijakan HIV- AIDS, 2015 (2) 278 kasus, heteroseksual 34 kasus, dan
Integrasi Upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke penasun 2 kasus (Ditjen PPM & PL Depkes RI,
dalam sistem kesehatan, 2015. (3) Integrasi upaya
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem 1996). Pada tahun-tahun berikutnya terjadi
kesehatan nasional: Studi kasus pada intervensi spesifik perubahan cara penularannya di mana
di Kota/Kabupaten (2015).

51
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

Tabel 4. Prevalensi Kasus AIDS Tahun 2015 di Provinsi Wilayah


Penelitian

Sumatera Utara DKI Jakarta Papua


40,27 84,23 470,39

Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Timur


36,35 152,18 41,14

Sumber: Dirjen P2M dan PL, Kemenkes 2015

pada tahun 2007 prevalensi pada penasun daerah, yang dilakukan oleh PKMK
paling tinggi yakni 52,4 %; waria 24,4 %; WPS FK UGM bekerjasama dengan 9
langsung 10,4 %; WPS tidak langsung 4,6 % universitas di 8 provinsi, pelaksanaan
(Kemenkes, 2007). Kemudian pada tahun pencegahan HIV dan AIDS melalui
2008-2014, tren ini berubah ketika pevalensi Program PMTS di Medan, Kupang dan
penularan heteroseksual menjadi 57%, Merauke mengacu pada pedoman
homoseksual sebesar 15%, dan penasun nasional yang dikeluarkan KPAN tahun
sebesar 4% (Kemenkes, 2014). Untuk melihat 2014, yakni pedoman PMTS paripurna
efektivitas program pencegahan, digunakan dengan komponen program terdiri dari:
kinerja program dan tulisan ini hanya akan peningkatan peran positif pemangku
memfokuskan pada program PMTS dan LASS kepentingan, komunikasi perubahan
saja. perilaku, manajemen pasokan kondom
dan pelicin, serta penatalaksanaan IMS
1. Pencegahan Penularan Melalui
dan HIV.
Transmisi Seksual - WPS
Gambaran pelaksanaannya sebagai
Dari hasil studi kasus tentang integrasi
berikut:
penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam sistem kesehatan dan efektifitas Peningkatan peran positif pemangku
penanggulangan HIV dan AIDS di kepentingan dalam PMTS WPS dirancang

52
M u ham m ad Su harn i

dari pusat dengan pendekatan struktural PP masih melakukan tugasnya merazia,


untuk WPS di lokalisasi, sehingga dalam tetapi di Medan mereka menunjukkan
pelaksanaannya terjadi bias di lapangan dukungannya dengan tidak merazia
ketika daerah memberlakukan kebijakan tempat hiburan yang melaksanakan
yang tidak pro-lokalisasi. Misalnya, PMTS. Sedangkan tempat hiburan yang
pemerintah Kota Medan tidak mengakui tidak mendukung pelaksanaan PMTS
adanya lokalisasi di kota ini. Akibatnya, tetap dirazia dengan harapan mereka
pendekatan Pokja Lokasi sebagai dapat mendukung.
pendekatan untuk meningkatkan peran “Jadi istilahnya kalo semua tempat itu dirazia,
pemangku kepentingan di lokalisasi, akhirnya kan agak menyulitkan kita juga gitu.
tidak relevan di daerah yang tidak pro. Jadi justru yang sebenarnya dirazia itu tempat-
tempat yang nggak bisa kita ajak kerjasama.
Namun demikian, ditemukan inovasi Aaa, kan jadi umpamanya ada satu tempat, ini
dari pemerintah daerah Kota Medan nggak bisa diajak kerjasama, ya razia terserah.
dengan membuat Pokja PMTS tidak di Tapi kalau dia mau ya, janganlah.” (KPA Kota
Medan – Tim Peneliti USU, September 2015).
lokalisasi, tetapi disebut dengan Pokja
Kota dalam pencegahan HIV dan AIDS
di Medan. Pokja Kota ini dikoordinir oleh
Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP)
KPAK dengan melakukan pertemuan
dilakukan melalui pendekatan Kelompok
rutin membahas isu-isu penting dalam
Dukungan Sebaya (KDS) dan kader
pelaksanaan program PMTS. Isu-isu
lokasi. LSM berperan meningkatkan
bahasan dalam pertemuan itu, antara
pelatihan komunikasi pada KDS dan
lain pasokan kondom, koordinasi dengan
kader lokasi melalui pelatihan yang
anggota KPAK, hambatan pelaksanaan
dikoordinasikan dengan KPAK. KDS
pokja, seperti razia yang dilakukan 02
adalah WPS yang bisa menjadi pendidik
Satpol PP dan keberlanjutan akses ART
atau role model bagi kelompoknya
untuk WPS yang kena razia Satpol PP.
dalam hal berperilaku aman. KDS dapat
Fungsi KPA dalam hal ini memastikan
menjadi pendidik yang efektif. Mereka
agar hambatan-hambatan yang ditemui
biasanya dilatih oleh KPA atau oleh
dalam pelaksanaan Pokja Lokasi bisa
LSM yang berkoordinasi dengan KPA.
diselesaikan dengan membicarakannnya
Sedangkan kader lokasi adalah orang
bersama saat rapat koordinasi dan ada
penting di lokasi hot spot atau tempat
kesepakatan penyelesaiannya dengan
lokalisasi, semisal mucikari atau pemilik
pemangku kepentingan.
losmen atau pemilik penginapan di
Pokja PMTS membuat kesepakatan sekitar lokalisasi.
dengan pemangku kepentingan untuk
meningkatkan pelaksanaan PMTS
terkait dengan hambatan adanya razia Manajemen pasokan kondom dan
WPS oleh kepolisian dan Satpol PP. pelicin di Medan, Merauke, dan Kupang
Kepolisian dan Satpol PP di Medan, dikelola oleh KPAN dengan mekanisme
Merauke, dan Kupang sebenarnya pen­dis­tribusian melalui KPAD, yang ke­
merupakan bagian dari pokja PMTS mu­dian diteruskan ke layanan di LSM
dengan tujuan agar mereka tidak atau di outlet kondom. Saat penelitian
menghambat kegiatan PMTS pada dila­kukan, akses kondom dapat diper­
WPS. Dengan keterlibatan kepolisian di oleh dari kondom subsidi yang dikelola
Medan, kepemilikan kondom sudah tidak oleh KPAN, dengan mekanisme dis­tri­
lagi digunakan sebagai alat bukti untuk busi melalui KPAD ke LSM, outlet kon­
melakukan penangkapan WPS. Satpol dom, pendidik sebaya, dan petugas

53
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

pen­jangkau dari LSM. Salah satu upaya diperlukan. Puskesmas dan rumah
KPAN untuk mendistribusikan kondom sakit bertanggungjawab melaporkan
agar mudah diakses oleh WPS adalah kepada dinas kesehatan kota tentang
de­ngan membuat outlet kondom seperti berapa pasien yang dilayaninya, tetapi
yang terdapat di Merauke ada 89 outlet puskesmas tidak melapor kepada KPAK.
kondom, di Medan 158 outlet, dan di Di Merauke dan Medan, puskesmas pun
Kupang sebanyak 28 outlet kondom. melakukan kegiatan mobile clinic untuk
Untuk memudahkan akses, outlet kon­ pengobatan IMS, KTS mobile ke lokasi-
dom ini dibuat di dekat hot spot agar WPS lokasi hot spot bekerjasama dengan
dan pelanggannya mudah mendapatkan petugas penjangkau dari LSM.
kondom yang bersubsidi.
Di Medan, selama 2014, jumlah
Selain kondom bersubsidi, di WPS yang berkunjung ke layanan
Merauke ditemukan penyediaan kon­ IMS sebanyak 2.034, yang dites sifilis
dom mandiri yang dikelola dalam 1.233, ditemukan kasus IMS sebanyak
ben­­tuk koperasi, yang pengadaannya 1.127, dan yang diobati 891 (Dinkes Kota
dila­kukan secara mandiri oleh pokja Medan, 2014). Dinas kesehatan me­nar­
lo­kalisasi. Pengelolaan kondom man­diri get­kan pengobatan 100% bagi kasus
ini dilakukan untuk mengurangi keter­gan­ yang ditemukan. Dengan demikian,
tung­an WPS pada kondom subsidi. kesenjangan antara yang diobati dengan
“Kita ada punya program kondom mandiri di kasus yang ditemukan menunjukkan
lokalisasi Yobar, artinya bahwa itu kita diskusi, bah­wa target belum tercapai. Tes dan
kita sepakatkan bahwa ada pendistribusian perawatan IMS juga menjadi pintu un­
kondom, terus kemudian ada salah satu wisma
di sana kita beri tanggung jawab, dia yang tuk merujuk pasien ke klinik KTS. Ada
akan menjual kondom sutra, dengan harga 1.648 atau 81% dari WPS yang datang
sesuai dengan di apotek, lebih murah dari itu. ke layanan IMS yang kemudian dirujuk
Kita mengantisipasi supaya kebutuhan kondom
yang diinginkan mereka tetap ada di lokalisasi un­tuk mendapatkan tes HIV (Dinkes Kota
Yobar. Kedua mereka tidak keluar dari Yobar. Medan, 2014).
Dan juga yang ketiga, bahwa dengan adanya
kondom mandiri dengan mereka beli kita punya Dilihat dari sisi efektivitasnya, pro­
cadangan mengantisipasi kalau nanti program gram WPS di Sumatera Utara telah
kondom dari KPA nasional ini hilang.” (Sekretaris
KPA Kabupaten Merauke – Tim Peneliti Uncen, men­cakup 48% populasi WPS yang
Juli 2015). dipetakan. Sementara itu di Merauke
sebesar 97% dan di Kupang sebesar
75,3% (STBP, 2007). Sedangkan cakupan
Penatalaksanaan IMS dan HIV menjadi program berdasarkan data dari sistem
tanggung jawab dinas kabupaten/ informasi PKBI di Sumatera Utara sebesar
kota untuk menyediakan layanan 61,4%. Dilihat dari perubahan perilaku,
pemeriksaan dan pengobatan IMS dan indikasinya bisa dilihat dari WPS yang
layanan tes HIV sesuai kebutuhan WPS. melaporkan selalu menggunakan
Kader atau petugas lapangan berperan kondom di minggu terakhir 65,6 % di
sebagai pendamping dan merujuk WPS Papua dan 16% di Deli Serdang, Sumatera
yang memerlukan layanan. Di Medan, Utara (STBP, 2007). Rendahnya cakupan
kader dan petugas lapangan merujuk ke program di Sumatera Utara dan di­se­
Puskesmas Padang Bulan. Puskesmas bab­kan oleh sulitnya menjangkau WPS
menerima rujukan pasien WPS dari LSM karena tidak ada lokalisasi, sedangkan
dan puskesmas juga merujuk ke rumah di Merauke dan Kupang masih tersisa
sakit untuk layanan lanjutan apabila sejumlah lokalisasi.

54
M u ham m ad Su harn i

2. Pencegahan Penularan Melalui memobilisasi sumber dana dari MPI,


Transmisi Seksual - LSL seperti Global Fund (GF), AusAID dan
USAID lewat program Aksi Stop AIDS
Program pencegahan HIV dan AIDS
(ASA), Scaling Up for Most-At-Risk
melalui transmisi seks pada kelompok
Populations (SUM) I dan SUM II.
LSL, pada praktiknya, lebih dikenal
dengan nama program LSL. Pada Dalam kegiatannya, LSM LSL
awalnya, program ini diinisiasi oleh ini menjadi mitra puskesmas dalam
para LSL dengan aktivitas melakukan memberikan layanan kepada LSL,
edukasi, informasi, dan komunikasi dengan melakukan penjangkauan dan
perubahan perilaku, serta advokasi ke pendampingan kepada LSL dan merujuk
pemerintah untuk menyediakan layanan mereka yang membutuhkan layanan
yang dibutuhkan oleh LSL. Upaya LSL ke fasilitas layanan kesehatan. Selain
mengadvokasi pemerintah membuahkan itu, LSM LSL juga aktif memberikan
hasil dalam bentuk terse­dia­nya layanan pendidikan ke komunitas dan panti-
IMS, layanan HIV dan AIDS untuk LSL di panti pijat agar mereka mendukung
fasilitas layanan kesehatan di puskesmas pemakaian kondom dan pelicin ketika
dan rumah sakit. melakukan hubungan seks. Contoh, LSL
Gaya Nusantara di Surabaya membuat
Program pencegahan HIV dan AIDS
perjanjian dengan para pemilik panti
menjadi per­hatian pemerintah pu­sat
pijat agar mereka menyosialisasikan
karena peningkatan prevalensi HIV
pemakaian kondom dan pelicin serta
dan IMS yang cukup signifikan pada
mengajak LSL untuk melakukan tes HIV.
LSL. Kebijakan program LSL mengacu
pada kebijakan penanggulangan HIV Untuk melihat efektivitas program LSL, 02
dan AIDS, baik yang dikeluarkan oleh ada dua sumber data yang digunakan
pemerintah pusat mau­pun pemerintah yakni data Survei Terpadu Biologi dan
daerah. Aktivitas program LSL berupa Perilaku/STBP (2007) dan STBP (2011)
penjangkauan, pemberian edukasi, untuk Kota Surabaya dan data program
informasi dan ko­mu­nikasi perubahan untuk program LSL di Denpasar karena
perilaku agar para LSL mengurangi ibu kota Bali ini tidak termasuk wilayah
perilaku berisiko menularkan atau tertular STBP. Di Surabaya, cakupan program
IMS dan HIV. Sebagai program yang mulai dari pertama kali dikontak oleh
awalnya diinisiasi oleh LSL maka wadah petugas hanya 36% (2007) dan 25% (2011)
kegiatan LSL ada di LSM, semisal Gaya dan perubahan perilaku dengan selalu
Nusantara (Surabaya) dan Gaya Dewata menggunakan kondom saat hubungan
(Denpasar, Bali). Kedua LSM ini adalah seks anal dengan pelanggan laki-laki
motor penggerak kegiatan LSL di daerah dalam 1 minggu terakhir hanya 31% (2007)
masing-masing, bahkan berperan sangat dan 38,5% (2011). Di Denpasar, tidak ada
diperhitungkan dalam jaringan lembaga data terkait perubahan perilaku, tetapi
yang melaksanakan program ini di dari sisi cakupan berdasarkan data dari
Indonesia. Sumber daya LSM ini adalah KPA Kota Denpasar (2014) masih rendah,
para LSL dan sesuai dengan tu­juan yakni LSL yang mendapatkan informasi
pendiriannya untuk memberdayakan LSL. sebesar 15%, yang mendapat layanan
Hal yang menarik adalah kemampuan konseling IMS sebesar 17,4 %. Kinerja
LSM LSL memobilisasi sumber dana dan program ini masih di bawah target yang
sumber daya melaksanakan program ditentukan dalam SRAN 2010 -2014, yaitu
LSL di lembaganya. LSM LSL mampu sebesar 45% untuk 2011 dan sebesar

55
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

80% tahun 2014. Untuk perubahan dan pendampingan, pendidikan


perilaku, target nasional mencakup 60% perubahan perilaku, pendistribusian
program perubahan perilaku LSL. Salah jarum steril, serta mendorong penasun
satu penyebab dari rendahnya cakupan untuk mengakses layanan di puskesmas.
program adalah kurangnya pelaksana Di DKI Jakarta, LSM bermitra dengan KPA
program dan kecilnya dukungan DKI dan Puskesmas dalam melaksanakan
pemerintah. Masing-masing di Surabaya program LASS dengan dukungan
dan Denpasar hanya ada satu LSM yang kebijakan dan penyediaan layanan di
melaksanakan program LSL. 38 puskesmas dari 44 puskesmas yang
ada di DKI. SDM untuk program LASS
di puskesmas terdiri dari koordinator
3. Pengurangan Dampak Buruk Napza harm reduction dan kader muda yang
Suntik (Harm Reduction) membantu administrasi dan distribusi
jarum suntik steril. Kebijakan pemerintah
Pelaksanaan program pengurangan
DKI terkait harm reduction adalah
dampak buruk napza suntik (Harm
Surat Edaran Kepala Dinas tentang
Reduction) di Indonesia melibatkan
Kemandirian Penganggaran Program
banyak pihak. Inisiasi program ini
Harm Reduction No. 3884/1.778/2009,
dimulai dari LSM dengan dukungan
Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan
dari MPI. Sampai akhir 1990-an, belum
Provinsi DKI Jakarta No. 63/SE/2012
ada kebijakan resmi yang mendukung
tentang Layanan Jarum dan Alat Suntik
program Harm Reduction. Kebijakan
Steril di DKI Jakarta.
resmi baru dikeluarkan pada tahun 2002
dan pedoman pelaksanaannya ada Efektivitas program LASS dapat
pada tahun 2006, berupa Kepmenkes dilihat dari cakupan penjangkauan
Nomor 567/2006 tentang Pedoman dibandingkan dengan target
Pelaksanaan Dampak Buruk Napza. penjangkauan. Cakupannya di DKI
Semua kebijakan pelaksanaan program Jakarta untuk penjangkauan klien baru
harm reduction mengacu pada regulasi LASS tahun 2014 sebesar 3.157 penasun,
pusat. Dua program yang ada sampai atau sekitar 43% dari jumlah penasun
penelitian ini dilakukan terkait dengan hasil pemetaan DKI Jakarta (SIHA DKI
program Harm Reduction, yakni Program Jakarta, 2014). Capaian ini melebihi
Rumatan Metadhon (PRTM) dan Program target 40% yang ditetapkan dalam
Layanan Alat Jarum suntik Steril (LASS). SRAP DKI Jakarta. Selain cakupan,
Ketersedian layanan kedua program ini indikator efektivitas dapat dilihat dari
terintegrasi di fasilitas layanan kesehatan angka kecukupan jarum. Rata-rata
umum di puskesmas. LSM berperan aktif penasun mendapatkan 16 jarum per
dalam program ini mulai dari kegiatan bulan atau sekitar 4 jarum per minggu.
menemukan penasun melalui kegiatan Dengan membandingkan data frekuensi
penjangkauan sampai mendorong menyuntik rata-rata 2 kali/2 hari terakhir
penasun memanfaatkan layanan dan berdasarkan STBP 2011, maka penasun
melakukan perubahan perilaku berisiko. yang mengikuti program LASS di DKI
Jakarta mendapatkan kecukupan jarum
LSM merupakan salah satu pemain
steril sesuai yang dibutuhkan.
penting dalam progam LASS. Kalangan
ini mempromosikan pencegahan dan Jika dibandingkan dengan program HR,
perubahan perilaku para penasun, maka program PMTS WPS di Medan dan
melalui kegiatan-kegiatan penjangkauan Kupang serta program LSL di Denpasar dan

56
M u ham m ad Su harn i

Tabel 5. Prevalensi, program dan kinerja Program Pencegahan


HIV & AIDS pada LSL, WPS, dan Penasun

LSL WPS Penasun


Prevalensi1 9,6 *** 48* 56,4**
Program Outreach, KIE, KTS Outreach,KIE, KTS Outreach, KTS,
LASS
Target 80 % dijangkau dan 60 % perubahan perilaku
Pelaksana LSM LSM LSM
Donor GF GF HCPI
LKB Rujukan dari LSM Rujukan dari LSM Rujukan ke
ke Fasyankes, ke Fasyankes, layanan IMS dan
Pemeriksaan IMS Pemeriksaan IMS KTS,
dan HIV dan HIV Layanan Jarum
suntik steril dari
LSM dan PKM
02
Cakupan

Dikontak oleh PL LSM dalam Surabaya : 25 %1


tahun terakhir
Capaian penjangkauan Pada Sumut: 61.4%+
WPS2 Papua :5.9%+
NTT :63%++
Penasun yang dijangkau3 64 %

Perubahan perilaku
Selalu menggunakan kondom 13,6%
dalam hubungan seks anal
insertif dalam bulan terakhir
Selalu menggukan kondom di 65,6% 1 Papua
minggu terakhir (%) 16%4 Sumut
Menggunakan jarum umum1 16,1%
Penasun berbagai jarum1 20.1 %
Menggunakan kondom 40%
konsisten pada hubungan seks
komersial 1 bulan terakhir1

Keterangan:
1. Sumber STBP 2011. *) Data Provinsi Sumut **) data DKI Jakarta ***) data Kota Surabaya
2. Sumber + SI PKBi. ++ SI NU;
3. Persentase penasun yang dijakau berdasarkan dari penasun yang dijakangkau/
pemetaan KPA DKI Jakarta di kali 100 %
4. Sumber STBP 2007.

57
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

Surabaya dapat dikatakan tidak efektif dari menjadikan HIV sebagai program prioritas.
segi cakupannya, hal yang dikarenakan Untuk program LASS, puskesmas telah
masih di bawah target nasional yang menganggarkan dana pertemuan bagi
menetapkan 80% populasi kunci terjangkau penasun berdasarkan Surat Edaran Kepala
oleh program. Tabel 5 menggambarkan Dinas Kesehatan tentang Kemandirian
prevalensi HIV dan kinerja program pada Program Harm Reduction. Sebaliknya,
kelompok LSL, WPS, dan penasun. ada pula pemerintah daerah yang tidak
menindaklanjuti regulasi yang telah
dibuatnya ke dalam kebijakan operasional

D.
untuk mendukung program pencegahan HIV
dan AIDS. Misalnya, di Medan dan Kupang,
pemerintah daerah belum melihat Progam
Desentralisasi dan PMTS WPS sebagai program prioritas.
Pelaksanaan Kebijakan dan “Jadi, kalau dulu pemerintah dari atas itu lebih mudah

Program HIV & AIDS di Daerah dicerna... gambarannya kalau dulu kan dari tingkat
pusat kalau ada perintah, ada Permendagri itu semua
ikut langsung. Kalau sekarang, e kepala daerah kan
Salah satu bentuk perwujudan pelaksanaan bisa punya kajian macem-macem. Istilahnya, ‘ah ini
belum perlu kali.” (KPA Kota Medan – Tim Peneliti
desentralisasi adalah kewenangan USU, September 2015).
menentukan prioritas kesehatan yang
tampak dalam komitmen dan regulasi Seberapa jauh komitmen pemerintah
pemerintah daerah untuk melaksanakan daerah menanggulangi HIV dan AIDS tidak
perencanaan, penganggaran dan bisa dilepaskan dari interaksi dan komunikasi
implementasi penanggulangan HIV dan antar pemangku kepentingan di daerah
AIDS di daerah. Komitmen pemerintah tersebut, baik dari sektor pemerintah maupun
daerah terhadap kebijakan dan program non-pemerintah. Ini perlu menjadi perhatian
pencegahan HIV dan AIDS bervariasi. karena komitmen dan kebijakan pemerintah
Secara umum sudah menunjukkan adanya daerah ini pada dasarnya merupakan hasil
komitmen dari pemda, yang ditandai proses komunikasi atas permasalahan HIV
tercantumnya isu penanggulangan HIV dan dan AIDS yang dihadapi di daerah tersebut
AIDS dalam RPJMD, perda penanggulangan oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
HIV dan AIDS, serta kebijakan teknis di Oleh karena proses komunikasi politik
tingkat kabupaten/kota. Namun, dari sisi melibatkan kepentingan dan kekuasaan,
pelaksanaannya, komitmen ini variasi di maka kebijakan HIV dan AIDS di suatu
beberapa daerah. daerah perlu dianalisis lebih jauh
melalui peran masing-masing pemangku
Pemerintah di tingkat kabupaten/kota kepentingan di dalam penanggulangan HIV
yang memaknai desentralisasi secara positif dan AIDS, baik yang bergerak di bidang
dapat membuat kebijakan dengan mendanai teknis seperti fasyankes, LSM, kelompok
program pencegahan HIV dan AIDS secara populasi kunci, maupun bidang administratif
mandiri, seperti di Jayapura, Merauke, seperti Bappeda, Dinas Kesehatan, KPAD
dan Manokwari yang mengalokasikan dan lain-lain.
pembiayaan untuk program pencegahan
HIV dan AIDS dari APBD dan dana otonomi Seperti disebutkan di atas bahwa
khusus di Papua. Contoh lain, komitmen kepentingan dan kekuasaan pada
politik Pemda DKI dalam program HIV hakikatnya yang akan menentukan
tampak dengan adanya peran dan kebijakan bentuk kebijakan dan pelaksanaan
Gubernur DKI yang diikuti oleh SKPD dengan kebijakan penanggulangan HIV dan

58
M u ham m ad Su harn i

AIDS dari pemerintah daerah. Analisis yang memasukkan isu HIV dan AIDS sebagai
isu strategis dalam hal new emerging disease.
tentang kepentingan dalam tulisan ini Selain itu, Dinkes Kota Denpasar membuat dan
difokuskan untuk melihat posisi atau peran melaksanakan program serta menganggarkan
yang diinginkan atau diharapkan agar dana penanggulangan HIV dan AIDS.” (Tim
Peneliti Unud, 2014)
memberikan manfaat bagi stakeholder
dalam pencegahan HIV dan AIDS di Pada tataran yang lebih operasional,
daerah. Sedangkan kekuasaan dilihat dari Dinas Kesehatan Surabaya dan Denpasar
kemampuan baik secara politik maupun telah mengalokasikan pendanaan yang
sumber daya untuk memengaruhi atau bersumber dari APBD untuk mendukung
mengontrol pelaksanaan perubahan penyediaan layanan HIV di puskesmas
kebijakan. bagi populasi kunci termasuk LSL.
Demikian pula Dinas Kesehatan di Kota
Di bawah ini digambarkan tentang peran
Kupang, Kota Medan, dan Kabupaten
para pemangku kepentingan kunci dalam
Merauke yang rutin mensupervisi untuk
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat
memastikan bahwa layanan kesehatan
daerah.
di daerahnya menyediakan layanan
a. Dinas Kesehatan terkait PMTS dalam bentuk layanan
Meski permasalahan HIV dan AIDS penatalaksanaan IMS. Bahkan Dinas
merupakan permasalahan lintas sektor, Kesehatan Merauke telah sepenuhnya
tetapi pada hakikatnya tetap merupakan menggunakan sumber dayanya sendiri
permasalahan kesehatan. Untuk dan menetapkan target sendiri untuk
itu dinas kesehatan, sesuai dengan layanan IMS dan KTS.
mandatnya sebagai penanggung jawab Sebagian peran memang sudah
utama pembangunan kesehatan di dilakukan, tetapi ada peran strategis 02
kota/kabupaten,17 harus merumuskan lain yang belum dilakukan oleh
kebijakan teknis, menetapkan dan dinas kesehatan untuk mendukung
melaksanakan program, serta melakukan penanggulangan HIV dan AIDS di
pembinaan dalam penanggulangan HIV daerahnya. Sebagai contoh, Dinkes
dan AIDS. Beberapa upaya yang telah Kupang dan Medan belum menga­lo­
dilakukan oleh dinas kesehatan untuk ka­sikan dana dan sumber daya untuk
melaksanakan mandatnya dalam bidang program PMTS WPS karena masih
penanggulangan HIV dan AIDS, misalnya meng­acu pada dukungan dari pusat
Dinkes DKI Jakarta yang memasukkan (donor), termasuk penentuan target IMS
HIV dan AIDS ke dalam Renstra dan KTS. Peran lain yang belum optimal
Kesehatan dan merumuskan surat tampak pada upaya pembinaan yang
edaran tentang kemandirian program masih lebih banyak memberikan fokus
HR di puskesmas. Sementara itu Dinas pada kegiatan-kegiatan kuratif daripada
Kesehatan Kota Denpasar memasukkan yang bersifat pencegahan. Peran ini
penanganan masalah HIV dan AIDS justru lebih banyak dilakukan oleh KPAK
menjadi isu prioritas dalam rencana yang sebenarnya merupakan lembaga
strategisnya. koordinasi bukan pelaksana.
“Dinkes Kota Denpasar dalam membuat rencana
strategis Dinkes Kota Denpasar 2010–2015
Fungsi lain yang belum optimal
dilaksanakan dinas kesehatan adalah
17) Lihat: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2007
fungsi monitoring dan evaluasi program
tentang Organisasi Perangkat Daerah, Dinkes merupakan
pemegang otoritas tertinggi dalam bidang kesehatan di pencegahan HIV dan AIDS. Dinkes hanya
Kabupaten, sebagaimana diatur juga dalam UU Nomor monitoring dan evaluasi ke fasilitas
23/2014 Lampiran B.

59
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

layanan kesehatan yang ada di bawah Mekanisme yang dijalankan oleh KPAD
strukturnya, seperti puskesmas dan ialah pertemuan-pertemuan peren­ca­
Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) di na­an, pelaksanaan, dan pengawasan
Papua Barat. Belum ada mekanisme pro­gram dengan melibatkan dinkes,
monitoring terhadap lembaga lain yang SKPD anggota, LSM, ODHA, dan populasi
melakukan program pencegahan, seperti kunci. Dalam pelaksanaan program
kegiatan-kegiatan penjangkauan yang pen­cegahan, KPAD telah melakukan
dilakukan oleh LSM. Bahkan dalam fungsi koordinatifnya dengan para
pelaksanaannya, untuk monev, program penyedia layanan lain, misalnya pada
pencegahan di LSM dilakukan oleh KPAD program PMTS di Medan, Kupang dan
dalam bentuk pertemuan-pertemuan Merauke, KPAD mengoordinir kom­po­
dengan LSM dan pelaporan kegiatan nen komunikasi perubahan perilaku,
LSM ke KPAD. Pada program LASS di pe­ningkatan peran positif pemangku
Jakarta misalnya, walau program LASS kepentingan, dan manajemen pasokan
ada di puskesmas tetapi monitoring kondom dan pelicin melalui pertemuan
kinerja program dilakukan oleh staf koordinasi berkala setiap tiga bulan.
teknis dari HIV Cooperation Program for Selain itu, KPA Kota Medan juga mengo­­
Indonesia (HCPI) sebagai pemberi dana ordinasi LSM dalam melakukan penjang­
program LASS. kau­an WPS, membentuk pokja PMTS
dengan nama Pokja Kota dengan
Dari sisi kepentingan dinkes terhadap
anggota terdiri dari personil-personil dari
program PMTS sebenarnya cukup tinggi
dinas kesehatan, dinas perhubungan,
karena program ini menjadi tolok ukur
dinas sosial dan tenaga kerja, satpol
kinerja dinkes sebagai penanggung ja­
PP, dinas kebudayaan dan pariwisata,
wab utama kesehatan di daerah. Dalam
pus­kesmas dan LSM Medan Plus. Dalam
prak­tiknya, dinkes melakukan investasi
kapasitasnya sebagai penanggung jawab
terhadap PMTS berupa penyediaan SDM
perencanaan program penanggulangan
untuk PMTS di puskesmas. Demikan ju­
AIDS di daerah, KPAD Denpasar mampu
ga dengan kekuasaan dinkes terhadap
mendorong dan memobilisasi SKPD
pro­gram PMTS tinggi karena, dalam
yang lain untuk mengalokasikan dana
prak­tiknya, dinkes yang menentukan
pencegahan AIDS melalui APBD.
pe­nye­diaan layanan yang dibutuhkan
oleh populasi kunci, seperti menentukan “Dana APBD II yang dikelola oleh KPAK dan
Bidang P2 Dinkes, dalam tiga tahun terakhir
puskesmas yang menyediakan LASS di meng­alami peningkatan yaitu pada tahun
DKI. 2012, 2013 dan 2014 berturut-turut sebesar
Rp. 1.286.082.700, Rp. 1.084.480.650, dan Rp.
1.604.228.100. Pada tahun 2014, sebesar 1,2
milyar rupiah dikelola oleh KPAK Denpasar dan
b. Komisi Penanggulangan AIDS Kota se­kitar 400 juta dikelola oleh Bidang P2 Dinkes
Kota Denpasar.” (Laporan Tim Peneliti Udaya,
Mandat yang diberikan kepada KPA kota/ 2015)
kabupaten adalah sebagai lembaga
Meski demikian, ada kecenderungan
yang mengoordinasikan semua upaya
dalam program pencegahan HIV dan
penanggulangan HIV dan AIDS yang
AIDS bahwa, selain bertindak seba­gai
dilakukan oleh SKPD anggotanya.18
koordinator, KPAD juga menjadi pelak­
18) Pembentukan KPA Kota/Kabupaten adalah sa­na, misalnya dalam hal pengelolaan
pelaksanaan Permendagri Nomor 20/2007 Pasal 2 dan kondom dan pelicin, mendistribusikan
Perpres Nomor 75/2006 Pasal 8. Permendagri Nomor kon­dom dan pelicin ke LSM atau outlet
20/2007 menegaskan bahwa KPA Kabupaten/Kota
memiliki sembilan tugas dan dua kewenangan. kondom yang ada di daerah tersebut

60
M u ham m ad Su harn i

karena pengadaannya dilakukan oleh sebagai alat pencegahan HIV dan AIDS,
KPAN. masih sering mendapat tantangan.
Peran lain yang belum dilakukan
KPAD adalah advokasi pelaksanaan
c. Badan Perencanaan dan Pembangunan
perda di daerah, seperti mengadvokasi
Daerah (Bappeda)
anggaran penanggulangan HIV dan
AIDS dan penciptaan lingkungan yang Bappeda kota/kabupaten dalam struktur
kondusif. Advokasi anggaran oleh KPAD pemerintahan daerah mempunyai
ke Bappeda dan kepala daerah belum tugas melaksanakan penyusunan
optimal, sehingga seringkali usulan dan pelaksanaan kebijakan daerah di
anggaran penanggulangan HIV dan bidang perencanaan pembangunan
AIDS dari SKPD dicoret oleh Bappeda. daerah. Posisi ini memberi kewenangan
Informasi yang didapat dari lapangan, Bappeda menyetujui atau menolak
peran ini belum optimal karena posisi usulan dari SKPD. Peran Bappeda lebih
KPAD berada di luar struktur pemerintah berfokus pada masalah administratif
daerah dan juga karena masih adanya daripada teknis, sehingga lembaga ini
dana dari pusat. Posisi KPAD sebagai tidak bersentuhan langsung secara
lembaga ad hoc dan di luar struktur teknis dengan program pencegahan HIV
pemerintahan daerah, menempatkan dan AIDS. Oleh karena fungsi vitalnya
posisi tawar KPAD ke Bappeda menjadi dalam administrasi di tingkat daerah,
lemah. Di sisi lain, saat ini KPAD peran dukungan Bappeda terhadap
mendapatkan dukungan dana untuk kebijakan program penanggulangan
pencegahan dari pusat melalui KPAN HIV dan AIDS menjadi sangat penting,
yang peruntukannya sudah ditentukan karena lembaga ini memastikan bahwa 02
oleh KPAN. Dana dari pusat ini membuat perencanaan dan penganggaran yang
KPAD abai melakukan advokasi diusulkan oleh SKPD di kabupaten/kota
pendanaan ke pemerintah daerah. sesuai dengan pedoman penyusunan
anggaran dan mengacu pada pagu
Terkait dengan kepentingan dan
anggaran yang telah ditentukan serta
kekuasaan KPAD terhadap pencegahan
berdasarkan pada tupoksi SKPD
HIV dan AIDS, ditemukan bahwa
masing-masing. Meski permasalahan
kepentingan KPAD tinggi karena hal
HIV dan AIDS perlu dilakukan secara
ini menjadi tugas pokok utama KPAD
lintas sektor, tetapi merupakan domain
tetapi kekuasaannya rendah. Hal ini
utama dan tupoksi dinas kesehatan. Ini
bisa dilihat dari ketidakmampuannya
menyebabkan SKPD lain, yang biasanya
melakukan advokasi ke Bappeda dan
membuat anggaran pencegahan HIV dan
mengoordiniasi tokoh agama dan
AIDS, tidak memungkinkan mengajukan
tokoh masyarakat untuk terlibat dalam
usulan anggaran tersebut karena bukan
penanggulangan HIV dan AIDS. KPA Kota
tupoksinya. Hal ini bisa dilihat dari
Denpasar misalnya, belum melakukan
pengalaman Bappeda di Medan:
komunikasi intensif dengan Majelis
“...pekerjaan itu bukan bagian mereka, ga ada
Masyarakat Desa Pakaraman (MMDP)
tupoksinya untuk penyuluhan, kecuali tanda
tentang upaya ini, sehingga majelis rambu lalu lintas bolehlah [Dinas] Perhubungan
ini belum mendukung sepenuhnya buat seperti itu, tapi kalo HIV walaupun
sasarannya supir angkot, kan itu kerjaannya
program pencegahan HIV dan AIDS di
Dinas Kesehatan...” (Wawancara mendalam
kota ini. Akibatnya, beberapa kegiatan Tim USU dengan Kabid Sosbud Bappeda Kota
pencegahan, seperti promosi kondom Medan, September 2015).

61
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

Pada dasarnya, tidak adanya ang­ Dari analisis pemangku kepentingan,


garan daerah untuk kegiatan pence­gah­ sebenarnya kepentingan Bappeda
an HIV dan AIDS tidak bisa dianggap di dalam program pencegahan HIV
sebagai ketidakpedulian Bappeda dan AIDS rendah, karena tidak secara
ter­hadap penanggulangan HIV dan AIDS langsung berkenaan dengan tugas pokok
di daerahnya. Ini perlu dikaitkan dengan dan fungsinya. Kekuasaan Bappeda
kurang efektifnya upaya advokasi yang tinggi karena mempunyai otoritas
dilakukan KPAD dan dinkes sebagai untuk menerima atau menolak usulan
pe­nanggung jawab penanggulangan pendanaan program dari SKPD.
HIV dan AIDS di daerah tersebut. Di
sisi lain, ini bisa saja dikarenakan tidak
efek­tif atau tidak dilakukannya advokasi d. Penyedia Layanan: RSUD, Puskesmas
ang­­gar­an ke Bappeda sebagai bentuk dan PKR
keter­­gan­tungan dari penanggung jawab
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) ber­
pengendalian HIV dan AIDS di daerah
fungsi dan mempunyai kapasitas teknis
tersebut terhadap pemerintah pusat atau
untuk memberikan layanan medis, asuh­
lembaga donor, sehingga merasa tak
an keperawatan, rujukan, pendidikan
perlu melakukan advokasi anggaran di
dan pembiayaan. RSUD menjadi rujukan
daerahnya. Tidak mengherankan jika
Puskesmas dan memberikan layanan
pro­gram PMTS pada WPS di Medan atau
pencegahan HIV, seperti KTS, Konseling
LASS di DKI Jakarta masih mengandalkan
dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pela­
pendanaan dari pemerintah pusat atau
yanan Kesehatan (KTIP), IMS, PPIA, dan
donor.
PTRM. Layanan pencegahan HIV dan
Ternyata, masih ada pihak yang AIDS di RSUD menerapkan layanan
mengu­payakan penganggaran penang­ kom­prehensif berkesinambungan (LKB).
gulangan HIV dan AIDS di Bappeda. Hal Beberapa contoh kasus yang ditemui
ini bisa dilihat di Kota Jayapura bahwa pada saat pelaksanaan penelitian,
anggaran untuk ini sudah didukung layan­an KTS dan IMS di RSUD Wangaya
Bappeda dengan pengalokasiannya Denpasar berkoordinasi dengan Bagi­
untuk KPAD, dinkes, dan SKPD lainnya an Kulit dan Kelamin dan Bagian Paru
se­suai dengan perencanaan yang memberikan layanan HIV. Di Medan,
diu­sulkan (Tim Peneliti Uncen, 2014). Rumah Sakit Pirngadi dalam program
Hal yang sama pun bisa dilihat pada PMTS bekerjasama dengan LSM
Bappeda Kota Denpasar, meski belum yang memberikan pendampingan
secara spesifik pada program pen­ce­ pa­da populasi kunci dan WPS. RS
gahan. Pirngadi tidak melakukan penyuluhan,
“…saat ini kita berkomitmen untuk berantas HIV sosialisasi, dan penjangkauan terhadap
AIDS pada masyarakat Kota Denpasar karena kelompok berisiko tinggi. Sedangkan di
HIV AIDS di Kota Denpasar bagaikan gunung Merauke, layanan IMS dan KTS me­
es, dulunya Kota Denpasar mendapat bantuan
dari pihak luar negeri, nah sekarang sudah akan ru­pakan tanggung jawab PKR, ru­mah
ditarik dan kita dari Pemerintah Kota Denpasar sakit hanya pasif, memberikan la­yan­
sudah dari awal kita ikut dampingi anggaran an sesuai rujukan. Layanan KTS te­tap
itu, artinya sudah dari jauh-jauh hari kita sudah
memikirkan, anggaran pun kita sudah plot disediakan rumah sakit demi men­da­
pada lintas sektor (Wawancara mendalam tim pat­kan pendanaan dari GF dan nilai
Udayana, Kasubdit Bidang Sosial - Bappeda tambah untuk status akreditasinya.
Kota Denpasar, September 2015).
Untuk program LASS, karena RSUD tidak

62
M u ham m ad Su harn i

berkepentingan sama sekali, maka tidak ber­wawasan kesehatan di wilayahnya


ada layanan LASS. dan penyelenggara Upaya Kesehatan
Per­orangan (UKP) primer/tingkat pertama
Sebagai penyedia layanan
yang berkualitas dan berorientasi pada
yang menjadi rujukan Puskesmas,
pengguna layanannya.19
seharusnya RSUD mampu
merencanakan dan menganggarkan Dalam pencegahan HIV dan AIDS,
untuk program pencegahan HIV dan puskesmas diberi wewenang oleh
AIDS. Kenyataannya, RSUD masih dinkes untuk menyediakan layanan IMS,
mendapat dukungan dana dari pusat KTS, dan layanan LASS. Di Medan, 12
serta tidak membuat perencanaan dan puskesmas menyediakan layanan IMS,
penganggaran dari sumber lokal, seperti 9 di antaranya menyediakan layanan
yang terjadi di RS Pringadi Medan. KTS dan 3 di antaranya merupakan
“..... mungkin karna rumah sakit sampe sekarang Puskesmas PDP. Untuk program
ada bantuan, sekarang itu belum dianggarkan, PMTS di Kota Medan, puskesmas juga
jadi dari rumah sakit belum ada...,dari APBD menyediakan layanan KTS dan IMS serta
pun belum ada..., jadi semua murni dari GF
itu, baik obat, regensia, semua itu dari sana. mobile clinic untuk melayani populasi
Tapi seandainya dari rumah sakit...besar juga kunci dan WPS di hot spot dalam bentuk
itu barang kali, kalo ngasi obat milyaran juga, pemeriksaan HIV dan IMS serta distribusi
karna pasien yang makan obat itu juga banyak.
Tapi sekarang belum dihitung, karna masih ada kondom. Kegiatan mobile clinic ini
begini, masih ada bantuan jadi belum dihitung” melibatkan LSM dan populasi kunci di
(Ketua Klinik VCT, RS Pirngadi: 20 September bawah koordinasi KPA.
2015).
Di DKI Jakarta, puskesmas
Kapasitas SDM RSUD dalam
melaksanakan program LASS dan 02
mengolah data dan informasi
mengoordinir program LASS yang
pasien belum dimanfaatkan untuk
dilaksanakan oleh LSM. Puskesmas
menegosiasikan target program
di DKI merencanakan program secara
berdasarkan kondisi daerah, seperti
mandiri karena statusnya sudah sebagai
yang terjadi di RSUD Wangaya Denpasar.
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
RSUD Wangaya mampu mengolah
Namun karena masih ada dukungan
dan menganalisa data pasien untuk
sumber dana dan sumber daya dari
perencanaan logistik rumah sakit.
MPI, maka pengelolaan program LASS
Tetapi data ini belum dapat digunakan
masih memakai dana dan mendapatkan
dalam menegosiasikan target program
bimbingan teknis dari MPI. Padahal,
HIV dengan pihak MPI atau Kemenkes.
puskesmas di DKI Jakarta memiliki
Gambaran ini menunjukkan bahwa
sumber daya yang cukup besar untuk
kepentingan dan kekuasaan RSUD
memberi layanan kesehatan bagi
terhadap upaya pencegahan HIV dan
penasun dan telah mendapatkan
AIDS tergolong rendah.
dukungan dari dinkes dalam bentuk Surat
Pusat kesehatan masyarakat Edaran Kepala Dinkes DKI Jakarta Nomor
(puskesmas) adalah sebagai penyeleng­ 3884/1.778/2009 mengenai pendanaan
gara Upaya Kesehatan Masyarakat lokal Puskesmas untuk program Harm
(UKM) primer di tingkat pertama di Reduction. Kemandirian mengatur
wila­yahnya; pusat penyedia data dan anggarannya sendiri menunjukkan
infor­masi kesehatan di wilayah kerjanya, bahwa puskesmas mempunyai
se­kaligus dikaitkan dengan perannya kewenangan untuk memberdayakan
sebagai penggerak pembangunan
19) KEPMENKES RI No. 128 tahun 2004

63
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

program LASS, dan pencapaian Dari uraian di atas, terlihat bahwa


program LASS yang berkaitan langsung kepentingan dan kekuasaan puskesmas
dengan kinerja puskesmas. Puskesmas dalam upaya pencegahan HIV dan AIDS
yang sudah berstatus BLUD dapat tergolong rendah.
menganggarkan pembiayaan program
Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR)
LASS, yang mencakup kebutuhan logistik,
merupakan satu Unit Pelaksana Teknis
honor gaji, dan dukungan pre-ART.
(UPT) di bawah dinas kesehatan
Salah satu peran puskesmas yang dibentuk secara khusus untuk
yang cukup penting juga, sebagai memberikan layanan pencegahan IMS
perencana program berbasis data dan HIV di Kabupaten Merauke sejak
wilayah, dirasakan belum berjalan. Ini tahun 2002. Secara struktural, PKR
berkaitan dengan belum optimalnya yang bekerja di bawah pengawasan
fungsinya sebagai pusat penyedia data dari bidang P2 Kabupaten Merauke ini
dan informasi terkait HIV dan AIDS di memiliki kewenangan merencanakan
wilayah kerjanya. Saat ini, puskesmas program dan penganggaran untuk
hanya berperan sebagai pengumpul kegiatan pencegahan dan pengobatan
data saja untuk disampaikan ke dinkes IMS dan HIV. PKR aktif berkoordinasi
dalam bentuk laporan program atau dengan Puskesmas, LSM dan Pokja HIV
dalam bentuk Sistem Informasi HIV dan dan AIDS dalam upaya pencegahan
AIDS (SIHA). Analisis data program HIV HIV dan AIDS. Kemitraan dengan Pokja
dan AIDS tidak dilakukan di puskesmas AIDS di RSUD terjalin dalam bentuk
sehingga perencanaan dan penentuan saling merujuk pasien yang memerlukan
target program mengikuti perencanaan layanan lanjutan. Pasien di PKR yang
dinkes atau pusat. Ini terjadi juga dalam membutuhkan ART dirujuk ke Pokja
program LSL di Denpasar dan Surabaya; AIDS di RSUD; sebaliknya pasien yang
puskesmas cenderung melaksanakan membutuhkan layanan IMS dirujuk ke
program berdasarkan mandat dari PKR.
dinkes, sehingga pembiayaan dan target
Dalam hal pembiayaan, PKR
program semua ditentukan dari dinkes
melakukan perencanaan dan
bukan berdasarkan permasalahan yang
mengusulkan ke dinkes menurut jalur
ada di wilayah kerjanya, seperti yang
perencanaan pembiayaan kesehatan
disampaikan informan dari Puskesmas di
umumnya. Demikian pula dengan
Denpasar berikut ini.
rekruitmen SDM, PKR mengikuti aturan
“Puskesmas karena kegiatan dinas yang dan mekanisme rekruitmen tenaga
membuat kegiatan otomatis menyesuaikan
dengan target kita[dinkes]” (Wawancara kesehatan umum. Staf yang direkrut
mendalam tim peneliti Udayana dengan Dinkes akan berstatus PNS, dengan kontrak
Kota Denpasar, Februari 2015). dan gaji yang bersumber dari dana
Hal ini juga ditemui dalam program APBD. Dengan struktur di bawah dinkes
PMTS-WPS di Kupang, puskesmas dan menjalankan fungsi-fungsi program
cenderung hanya menjalankan apa yang pencegahan yang sama dengan
sudah ditentukan oleh dinkes. upaya pencegahan penyakit menular
umumnya, upaya pencegahan HIV
“Kalau kita sebagai, ini ya, sebagai pelaksana
di lapangan. Jadi kalau ada program yang dan AIDS di Merauke cukup efektif dan
turun, atau apa, kita tinggal melanjutkan saja, keberlanjutannya terjamin. Keberadaan
menjalankan saja.” (Wawancara mendalam Tim
PKR di Merauke merupakan salah
Undana dengan Penanggung jawab program
IMS Puskesmas Alak, Agustus 2015) satu contoh adopsi pemerintah daerah

64
M u ham m ad Su harn i

terhadap upaya pencegahan HIV dan harusnya melekat erat pada kerja-
AIDS yang mampu berkontribusi pada kerja LSM, ternyata belum terlalu
capaian kinerja layanan yang efektif. kelihatan. Semestinya LSM sebagai
Gambaran di atas menunjukkan bahwa mitra kritis pemerintah daerah mampu
PKR mempunyai kepentingan dan melakukan advokasi kebijakan dan
kekuasaan tinggi dalam program PMTS. mendorong pembiayaan dari daerah
untuk penanggulangan HIV dan AIDS
di wilayahnya. Keikutsertaannya dalam
e. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)/ berbagai pertemuan di KPAD dan dinkes
Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) lebih diikat dalam kerangka pertemuan
rutin program yang dilaksanakannya.
Dalam konteks penanggulangan HIV
Bahkan, LSM daerah cenderung kurang
dan AIDS, OMS/LSM berfungsi dan
memperkuat jaringan dengan LSM lain
mampu melakukan pendekatan kepada
yang tidak bergerak di isu ini. Mereka
kelompok populasi kunci, seperti
cenderung memperkuatnya dengan
WPS, penasun, dan LSL yang relatif
jaringan populasi kunci tingkat nasional,
cukup sulit untuk dijangkau. Peran
seperti GWL-Ina untuk LSM LSL dan
LSM ini diakui keberadaannya oleh
Persaudaraan Korban Napza Indonesia
stakeholder lain, seperti dinkes dan
(PKNI) untuk LSM yang bekerja di
KPA. Keahlian ini menjadi sumberdaya
program LASS.
LSM dalam memengaruhi stakeholder
lainnya. Namun, hingga saat ini, untuk Dari hasil analisis pemangku
melaksanakan peran-peran tersebut, LSM kepentingan, LSM yang bergerak di isu
masih sangat tergantung pada dukungan HIV dan AIDS mempunyai kepentingan
MPI untuk penyediaan infrastruktur, tinggi dalam penanggulangan HIV dan 02
operasional, dan peningkatan kapasitas AIDS. Program ini merupakan kegiatan
SDM-nya. Ini ditemui dalam program utama mereka dan menjadi kekuatan
PMTS WPS di Medan, Kupang, dan LSM, khususnya dalam hal penjangkauan
Merauke. Dalam melaksanakan kelompok populasi kunci. Adanya
programnya, LSM mendapat bimbingan program seperti ini menjadikan LSM
teknis dari MPI dan pemerintah. mempunyai kegiatan dan memperoleh
pendanaan. Sebagai pelaksana program,
Di DKI Jakarta, LSM cenderung
LSM mempunyai kekuasaan yang rendah
menjadi pelaksana program LASS yang
dibanding dengan MPI yang mampu
sudah direncanakan dan didukung
merencanakan program dan memberikan
sumber dayanya baik SDM dan dana
pendanaan.
yang berasal dari MPI. Hal ini berbeda
dengan LSM LSL di Surabaya yang
keberadaannya dibentuk berdasarkan
f. Populasi Kunci (WPS, LSL dan penasun)
kebutuhan LSL. LSM LSL di Surabaya
sebagai wadah bagi LSL berkiprah Populasi kunci merupakan stakeholder
meningkatkan kapasitas, mendapatkan utama penerima manfaat program-
layanan, dan berjejaring dengan LSM LSL program penanggulangan HIV dan
lainya. Mereka menjadi pemain utama AIDS. Ini tampak dari program LSL di
dalam pembentukan jaringan Gay, Waria, Surabaya dan Denpasar yang mampu
Lesbian Indonesia (GWL-Ina). mendorong dinkes menyediakan layanan
Puskesmas ramah LSL. Penasun di DKI,
Peran advokasi dalam upaya
dengan program LASS, memudahkan
penanggulangan HIV dan AIDS yang

65
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

mereka mengakses jarum suntik steril umumnya berada di tempat-tempat


dan informasi terkait HIV dan AIDS tersebut. WPS menjadi takut melakukan
dari para petugas lapangan LSM. pemeriksaan kesehatan karena khawatir
Begitu juga dengan WPS di Medan, terkena denda bila diketahui mengidap
Kupang, dan Merauke. Program IMS. Demikian juga dengan Dinsos
PMTS WPS memungkinkan mereka yang masih menganggap WPS dan
mendapatkan informasi dan layanan LSL sebagai kelompok penyandang
terkait HIV dan AIDS (misalnya IMS, penyakit masyarakat, sehingga sering
KTS, dll). Walaupun hingga saat ini menjadi target razia. MMDP pun melihat
belum ada perubahan perilaku yang permasalahan HIV dan AIDS di kalangan
cukup signifikan, khususnya dalam hal populasi kunci seperti LSL adalah akibat
konsistensi pemakaian kondom setiap perilaku yang bertentangan dengan adat.
kali berhubungan seks yang berisiko, Oleh karena itu, MMDP tidak mendukung
tetapi adanya program penyediaan keberadaan populasi kunci ini.
kondom gratis telah membantu WPS
Pendekatan yang dilakukan oleh
mendapatkan kondom dan pelicin secara
ketiganya menimbulkan kontradiksi
mudah dan bersubsidi.
terhadap pelaksanaan program
pencegahan HIV dan AIDS di kalangan
WPS dan LSL. Untuk itu, peran KPAD
g. Pemangku Kepentingan Strategis Lain
menjadi penting untuk menyinergikan
(SKPD anggota KPAK dan Organisasi
kepentingan para stakeholder yang
Adat)
berbeda-beda tersebut agar tujuan
Dari hasil analisis stakeholder program pencegahan HIV dan AIDS
berdasarkan kepentingan dan dapat tercapai.
kekuasaannya, posisi anggota KPAK
non Dinkes dan MMDP berada pada
kategori yang tidak mendukung program h. Mitra Pembangunan Internasional (MPI)
pencegahan HIV dan AIDS di tingkat
MPI merupakan lembaga internasional
kota/kabupaten. Secara spesifik, tiga
yang mempunyai sumber daya, sumber
stakeholder yang tidak mendukung
dana, dan kemampuan teknis yang
program pencegahan HIV dan AIDS
tinggi sehingga mampu merencanakan
adalah Satpol PP, Dinas Sosial (Dinsos),
programnya sendiri, menentukan wilayah
dan lembaga adat (Majelis Masyarakat
pelaksanaan, memberi bimbingan
Desa Pakraman di Denpasar).
teknis dan monev kepada mitranya di
Ketiganya mempunyai kekuasaan daerah. MPI mempunyai kebijakan dan
tinggi namun tidak menunjukkan aturan sendiri untuk memilih lembaga
kepentingan terhadap program pelaksana, wilayah kerja, dan target
pencegahan HIV dan AIDS lantaran program yang harus dicapai. Contohnya,
perbedaan perspektif dan pendekatan program LASS di DKI didukung penuh
terhadap populasi kunci. Sesuai HCPI sehingga semuanya harus
dengan tugasnya, Satpol PP akan mengikuti sistem pelaporan keuangan
lebih mengedepankan pendekatan dan program yang telah ditetapkan
ketertiban umum dengan melakukan oleh HCPI. Demikian pula dengan
razia ke tempat-tempat hiburan dan program PMTS, program yang di daerah
hot spot. Hal ini kemudian menyulitkan dikenal sebagai program GF ketimbang
penjangkauan kelompok populasi yang program dari dinkes atau KPAD. Posisi

66
M u ham m ad Su harn i

ini menunjukkan, MPI berkewenangan KPA dan dinkes, sebagai penanggung


penuh dalam perencanaan, anggaran, jawab utama upaya pencegahan HIV dan
pelaksanaan, serta monitoring dan AIDS di daerah, cenderung bergantung
evaluasi program penanggulangan dengan pemerintah pusat dalam hal
HIV dan AIDS. MPI tidak berkoordinasi perencanaan program, penentuan target,
dengan Bappeda dalam hal perencanaan dan pembiayaan. Kedua lembaga ini
pembiayaan program penanggulangan seharusnya menjadi penanggung jawab
HIV dan AIDS, hanya melakukannya teknis dan koordinasi dalam pencegahan
di tataran pusat saja, yaitu dengan HIV dan AIDS di daerah. Di sisi lain,
Kemenkes dan KPAN. karena kemampuan KPAD memobilisasi
dan mengoordinasikan stakeholder lain
Relasi MPI dengan KPAD dan din­
belum optimal, masih terdapat aktor-aktor
kes sebagai penanggung jawab pence­
di daerah yang memiliki pemahaman
gah­an HIV dan AIDS pada akhirnya
kontradiktif dengan upaya pencegahan
juga sebatas sebagai pelaksana pro­
HIV dan AIDS. Ini bisa diperburuk dengan
gram dari MPI. Keduanya sebagai
tidak berfungsinya peran LSM sebagai
pe­ne­rima dana cenderung mengikuti
mitra kritis pemerintah daerah untuk
ke­bijakan dan aturan MPI ketimbang
mengadvokasi berbagai pihak agar
ber­negosiasi agar pencegahan HIV dan
mendukung program pencegahan HIV
AIDS diperlakukan sama dengan pen­
dan AIDS.
ce­gahan penyakit menular lainnya. Di
sisi lain, MPI tidak membuat kebijakan
un­tuk penguatan kapasitas lembaga
mi­tranya. MPI melakukan peningkatan
ka­pasitas lembaga dan SDM mitra
cen­derung hanya untuk kepentingan
E. 02

pelak­sanaan program dengan standar Integrasi Program


dan pembiayaan yang belum bisa dipe­ Pencegahan HIV & AIDS ke
nu­hi oleh pemerintah daerah ketika Sistem Kesehatan di Tingkat
pro­gramnya selesai. Oleh karena itu, Kabupaten/Kota
sering­kali program-program dan fasilitas
layanan yang sudah diinisiasi berhenti/ Uraian bagian sebelumnya memberikan
tutup karena tak ada lagi dukungan gambaran tentang bagaimana pemerintah
dana ketika tugas MPI selesai di wilayah daerah merespons permasalahan HIV dan
bersangkutan. AIDS. Beberapa hal yang perlu dilihat secara
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, spesifik tentang respons itu melalui fungsi-
pelaksanaan kebijakan dan program fungsi programatik pelayanan kesehatan
pence­gahan HIV dan AIDS masih dido­ lain.
minasi oleh kewenangan dan oto­ri­tas Untuk itu, pada bagian ini, akan
pusat (Kemenkes, KPAN dan MPI). Ini dilihat setiap fungsi programatik dari
tentu saja belum konsisten de­ngan pe­ program pencegahan di tingkat daerah
lak­sanaan desentralisasi kese­hat­an. Para dan sekaligus diidentifikasi seberapa jauh
pemangku kepentingan pencegahan HIV adopsi pemerintah daerah terhadap fungsi
dan AIDS belum melak­sa­nakan upaya programatik dalam penanggulangan HIV
pencegahan HIV dan AIDS berdasarkan dan AIDS ke dalam penyediaan layanan
prinsip desentralisasi ke­sehatan, seperti kesehatan di daerah bersangkutan.
amanat UU No 23 Tahun 2014 dan SKN.

67
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

a. Manajemen dan Regulasi untuk secara terbuka menyampaikan


mekanisme pertanggungjawaban
Untuk melaksanakan sebuah layanan
program pencegahan HIV dan AIDS
kesehatan, diperlukan seperangkat
kepada komunitas. Penyampaian kinerja
regulasi dan sistem manajemen yang
program masih bersifat laporan formal ke
memungkinkan berbagai kegiatan
instansi terkait dan belum menunjukkan
berjalan sesuai rencana, termasuk
mekanisme kontrol yang partisipatif
dengan program pencegahan HIV dan
sebagai bagian dari akuntabilitas
AIDS. Agar mencapai tujuannya, perlu
program.
dukungan regulasi dan manajemen
di tingkat daerah. Sejumlah daerah Populasi kunci, sebagai penerima
telah mengembangkan regulasi yang manfaat langsung dari program pence­
mendukung penanggulangan HIV dan gah­an HIV dan AIDS, belum terlibat
AIDS, misalnya merumuskan peraturan secara bermakna dalam perencanaan
daerah, memasukkan penanggulangan dan monitoring program. Keterlibatan
HIV dan AIDS sebagai bagian dari mereka cenderung sebatas hadir
rencana aksi daerah, atau bahkan memenuhi undangan rapat koordinasi
ditetapkan menjadi bagian dari misi yang diselenggarakan oleh KPAD. Pada
kepala daerah yang tercantum dalam program LASS, pelibatan masyarakat
RPJMD. masih semata mengikutsertakan LSM
dalam perencanaan kerja serta dis­
Permasalahan yang muncul di
kusi anggaran dan program di KPAP.
lapangan sebenarnya bukan pada
Pada program PMTS WPS tidak
tersedia atau tidaknya regulasi yang
ditemukan upaya terencana untuk
mendukung penanggulangan HIV
membuat masyarakat bisa me­nge­ta­hui
dan AIDS, tetapi justru bagaimana
dan mengevaluasi berbagai pro­gram
regulasi yang telah dikembangkan bisa
kesehatan yang ada beserta peng­ang­
tecermin dalam sistem manajemen
garannya. Sedangkan pada program
penanggulangan HIV dan AIDS daerah.
LSL bentuk-bentuk pelibatan kelompok
Di sejumlah daerah tampak bahwa
populasi kunci sudah diren­ca­nakan dari
regulasi ini tidak dioperasionalkan
pusat dalam bentuk pem­ben­tukan pokja
menjadi rencana kerja tahunan SKPD
populasi kunci, se­perti pokja GWL.
yang didukung oleh anggaran dari
APBD. Fungsi koordinasi KPAD juga Dari gambaran di atas terlihat,
tidak berjalan karena nihilnya dana pemerintah daerah baru mengadopsi
yang bisa mendukung operasionalisasi regulasi program pencegahan HIV dan
kesekretariatan KPAD. Selain itu, Ketua AIDS dengan memasukkannya sebagai
KPAD belum menunjukkan peran optimal isu strategis serta mengeluarkan perda
dalam mendukung program pencegahan penanggulangan HIV dan AIDS sebagai
HIV dan AIDS di wilayahnya. Kepala acuan pencegahan. Namun, dalam
daerah, yang sekaligus ketua KPAD, hal proses pengembangan kebijakan,
condong mendukung program populis, peran pemerintah pusat masih sangat
seperti penutupan lokalisasi daripada dominan, misalnya pedoman PMTS
menjadi pendukung program PMTS yang menjadi acuan program di daerah
dan pembentukan pokja di lokalisasi, yang dikembangkan oleh KPAN. Hal
sebagaimana yang terjadi di Surabaya. ini menunjukkan bahwa regulasi dan
manajemen program PMTS tidak
Selain itu, pemerintah daerah
terintegrasi dalam sistem kesehatan.
belum menunjukkan upaya serius

68
M u ham m ad Su harn i

Baru dimensi regulasi saja yang Penganggaran, proporsi, distribusi dan


diadopsi oleh pemerintah daerah ke pengeluaran
dalam regulasi pencegahan penyakit
Semua pemerintah daerah di wilayah
menular umumnya. Sementara pedoman
penelitian sudah mengalokasikan
penanggulangan HIV dan AIDS di
dana untuk penanggulangan HIV
kalangan penasun berdasarkan pada
dan AIDS dengan besaran yang
pedoman dari Kemenkes. Selain itu, pe­
bervariasi. Di Kupang dan Merauke,
merintah daerah juga belum membuat
HIV dan AIDS masuk sebagai salah
mekanisme pertanggungjawaban publik
satu dari lima penyakit prioritas dan
atas pelaksanaan kebijakan dan program
proporsi penganggaran untuk program
pencegahan HIV dan AIDS di tingkat
penanggulangan HIV dan AIDS paling
kabupaten/kota.
besar dari APBD dibanding dari luar
Pelaksanaan upaya pencegahan HIV APBD, seperti dari pusat dan donor. Tahun
dan AIDS di daerah pun belum didu­ 2014, seluruh dana penanggulangan HIV
kung sistem pembiayaan kesehatan dan AIDS di Merauke bersumber dari
dae­rah seperti pada upaya pencegahan APBD dan APBN. Dana dari APBD adalah
penyakit menular umumnya. Sumber- DAU dinkes sebesar Rp 13.162.174.953
sumber pendanaan program PMTS dan dana otonomi khusus (otsus) dari
WPS, LSL, dan LASS masih berasal dari APBN sebesar Rp 7.930.000.000. Total
pusat dan MPI langsung, serta dikelola dana untuk penanggulangan penyakit
oleh lembaga dan fasilitas pelayanan menular dan tidak menular di Merauke
kesehatan pelaksana program yang mencapai Rp 2.409.315.000. Sedangkan
direncanakan oleh pusat. Fiskal daerah besaran yang dianggarkan untuk
untuk pencegahan HIV dan AIDS yang penang­gulangan IMS dan HIV mencapai 02
bersumber dari APBD masih terbatas Rp 1.160.000.000 (Pemda Kabupaten
dan secara sporadis berada di KPAD Merauke, 2014).
dan SKPD anggota KPAD. SKPD anggota
Di DKI, walaupun HIV dan AIDS
KPAD biasanya menyediakan anggaran
menjadi prioritas, tetapi pemerintah
untuk pencegahan HIV dan AIDS, berupa
daerah DKI Jakarta belum mengaloka­
dana sosialisasi pencegahan HIV dan
si­kan anggaran untuk program LASS
AIDS. Hal ini terjadi di Dinas Pendidikan
karena masih ada dana dari HCPI. Hasil
dan Kebudayaan Denpasar, melakukan
evaluasi program penanggulangan HIV
kegiatan penyuluhan di sekolah. Lain
dan AIDS di DKI Jakarta pada 2008-
halnya dengan yang terjadi di Merauke,
2012 menemukan, biaya pro­gram
yang oleh karena sumber dana dari MPI
pe­nanggulangan HIV dan AIDS ber­sum­
untuk program WPS sudah tidak ada
ber dari APBD sebesar Rp 15.1 miliar,
lagi, APBD dan dana otonomi khusus
sementara dana dari MPI sebesar Rp 12.1
menjadi sumber pendanaan. Pemerintah
miliar. Di Surabaya, dana pembiayaan
daerah mengelola sumber pembiayaan
AIDS dari APBD (Rp 5.188.434.691)
untuk program PMTS dengan mekanisme
lebih besar dari dana yang berasal
seperti pengelolaan pencegahan
dari MPI melalui program GF-AIDS (Rp
penyakit menular umumnya di Merauke.
148.753.000) pada tahun 2014 (Dinkes
Kota Surabaya, 2015). Informasi tentang
dana untuk PMTS WPS dan LSL tidak
dite­mukan besaran pastinya dalam
APBD. Terkait dengan penganggaran

69
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

untuk pengadaan dan distribusi kondom Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
dan pelicin pada WPS dan LSL serta alat Untuk program LSL, selain dari sumber
suntik steril untuk penasun, sepenuhnya dana JKN dan Jamkesda, LSL di
masih bergantung pada pusat yang Denpasar bisa mengakses layanan dan
didukung oleh donor. Dengan demikian, pengobatan dari Rainbow Community,
dapat dikatakan bahwa kontribusi daerah OMS dengan target pemberian layanan
untuk pembiayaan alat pencegahan HIV dan AIDS pada kelompok LSL.
pe­nularan HIV, baik melalui transmisi
Dari pemaparan di atas, dapat
seksual maupun melalui jarum suntik,
disimpulkan bahwa pembiayaan upaya
belum sepenuhnya berjalan.
pencegahan HIV dan AIDS di tingkat
kabupaten/kota di wilayah penelitian
tidak terintegrasi ke dalam sistem
Mekanisme Pembayaran Layanan
pembiayaan kesehatan, walaupun ada
Mekanisme pembayaran layanan alokasi dan untuk itu. Namun alokasi
pencegahan HIV dan AIDS berbeda pembiayaan untuk pencegahan masih
dibanding mekanisme pembayaran mengandalkan dana donor yang dikelola
pencegahan penyakit menular umumnya. berbeda dengan sistem pembiayaan
Pada fasilitas layanan yang telah dibiayai penyakit menular lainnya, begitu juga
oleh MPI, layanan bisa gratis seperti dengan sistem penggratisan lantaran
jarum suntik pada layanan LASS, kondom adanya dana program.
dan pelicin di intervensi PMTS WPS dan
LSL. Kondisi ini sangat berbeda dengan
mekanisme layanan pada penyakit b. Sumber Daya Manusia (SDM)
umum yang untuk mendapatkannya bisa
Sumber Daya Manusia dalam upaya
melalui mekanisme JKN atau membayar
penanggulangan HIV dan AIDS terdiri
sendiri. Pemerintah Kupang dan Medan
dari tenaga kesehatan dan non kesehat­
menyediakan skema pembayaran
an. Tenaga kesehatan berperan membe­
layanan gratis hanya sampai tingkat
rikan layanan PMTS pada WPS dan LSL,
puskesmas yang bisa diakses oleh
seperti penatalaksanaan IMS. Pelayanan
WPS non anggota JKN untuk periksa
tersebut tidak berbeda dengan yang dila­
dan pengobatan IMS. Pemerintah
ku­kan pada sistem pencegahan penyakit
Kota Merauke membuat mekanisme
menular umumnya. SDM ini terdiri dari
pembayaran layanan dalam bentuk
dokter, perawat, petugas laboratorium
layanan gratis untuk penduduk asli ber-
dan tenaga administasi dengan status
KTP dan penduduk pendatang tanpa
PNS atau tenaga kontrak. Mereka direkrut
kelengkapan persyaratan administrasi
me­lalui jalur formal pengadaan tenaga
kependudukan (akan dibantu oleh dinas
kesehatan berdasarkan kebutuhan
sosial untuk dibuatkan Nomor Induk
dan mekanisme perekrutan pegawai di
Kependudukan pengganti KTP). Di DKI
daerah.
Jakarta, penasun mendapat layanan
LASS gratis karena program ini di DKI Di Denpasar rekrutmen ini diumumkan
masih didanai oleh MPI. Tidak ada skema secara luas melalui website dan
JKN yang memberikan dana untuk seleksinya dilaksanakan oleh pemerintah
LASS. Sampai penelitan ini dilakukan, daerah. Sedangkan SDM program PMTS
pembiayaan program LASS masih dari WPS, LSL dan LASS non kesehatan
MPI, walaupun pembelian jarum suntik diatur dengan regulasi dan kebijakan
memungkinkan dari dana Puskesmas berbeda dengan tenaga medis yang

70
M u ham m ad Su harn i

ada. Aturannya ditetapkan oleh masing- SDM non tenaga kesehatan yang
masing lembaga yang mempekerjakan bekerja di program pencegahan HIV
mereka, sehingga ada perbedaan antara dan AIDS ada yang bekerja di LSM.
satu lembaga dengan lainnya. SDM non Perekrutan staf LSM dilakukan oleh
tenaga kesehatan dalam program PMTS masing-masing lembaga dan tidak
WPS, LSL dan LASS terdiri dari petugas dikoordinasikan oleh dinas kesehatan.
lapangan yang melakukan penjangkauan Dinkes tidak merekrut dan pengelolaan
ke populasi kunci, manajer kasus, dan SDM AIDS di LSM, seperti mengatur
konselor. Pemenuhan kebutuhan SDM kompetensi, pengembangan kapasitas,
ini untuk tenaga di luar tata laksana dan penempatan SDM tersebut.
IMS masih terpisah dan belum menjadi Pengembangan kapasitas SDM AIDS dari
bagian dari kebijakan kesehatan di LSM dilakukan oleh LSM sendiri dengan
daerah. Petugas kesehatan yang terlibat sumber pembiayaan dari MPI atau
dalam layanan pencegahan HIV dan dana APBD melalui mekanisme hibah
AIDS juga memiliki tugas untuk layanan dari KPAD. Dengan demikian kebijakan
kesehatan lainnya. Tidak ada rekrutmen pengadaan dan pembiayaan SDM
khusus yang dilakukan untuk SDM non kesehatan masih mengacu pada
kesehatan yang terlibat dalam program kebijakan lembaga pelaksana program,
pencegahan HIV dan AIDS. Peningkatan sehingga SDM dalam upaya pencegahan
kapasitas keterampilan dilakukan HIV dan AIDS juga tidak terintegrasi
melalui pelatihan spesifik, misalnya dengan SDM yang ada pada upaya
pelatihan memberi konseling HIV dan pencegahan penyakit menular umumnya
AIDS, penatatalaksanaan IMS pada di daerah.
WPS dan LSL, pelatihan pengambilan 02
dan pemeriksaan sampel darah,
sebagaimana yang dilakukan di Medan, c. Penyediaan Farmasi dan Alat
Kupang, dan Merauke. Kesehatan

Semua SDM yang bekerja di program Penyediaan logistik farmasi dan alat
AIDS mendapat kompensasi berupa kesehatan untuk program pencegahan
insentif atau gaji. Hanya petugas HIV dan AIDS tidak terintegrasi dengan
kesehatan yang ditempatkan oleh sistem penyediaan logistik farmasi dan
pemerintah dan tenaga koordinasi alat kesehatan (alkes) di pencegahan
di KPAK yang dibiayai oleh negara. penyakit menular umumnya di tingkat
Ada kebijakan yang mendukung kabupaten/kota yang masih didukung
bagi penempatan SDM kesehatan di dana MPI. Sedangkan di daerah yang
program pencegahan tingkat lapangan tidak ada donor, penyediaan logistik ini
dengan pembiayaan dari negara, yakni terintegrasi dengan sistem penyediaan
Permenkes 1199/Menkes/PER/X/2004 logistik dan alat kesehatan umum
yang mendasari Pedoman Pengadaan di daerah. Regulasi20 penyediaan,
Tenaga Kesehatan dengan perjanjian penyimpanan, diagnostik dan terapi
kerja di sarana kesehatan milik untuk program pencegahan HIV dan
pemerintah. Pelaksanaan pedoman ini AIDS berbeda dengan regulasi logistik
dilakukan pemerintah daerah, seperti di kesehatan umumnya. Penyediaan dan
Surabaya dan Denpasar, dalam bentuk
mengangkat tenaga kontrak untuk 20) Secara nasional kebijakan logistik dan farmasi diatur
dalam PP Nomor 72/1998 tentang pengamanan sediaan
petugas lapangan program pencegahan
farmasi dan alat kesehatan (Lembar Negara Tahun 1998
pada LSL dengan biaya dari APBD. No 138, tambahan Lembar Negara No. 3781).

71
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

distribusi reagen, obat Infeksi Oportunistik peraturan pengadaan ARV. Namun,


(IO), dan IMS mengacu pada regulasi mekanisme penyediaan alkes untuk
pengadaan obat pada umumnya. program LASS mengikuti mekanisme
Sedangkan distribusi materi pencegahan, yang ditetapkan oleh donor yang
seperti kondom dan pelican, mengikuti berbeda dengan sistem yang ada.
aturan yang ditetapkan oleh KPAN
untuk daerah wilayah kerja MPI. Alat
pencegahan yang didanai oleh MPI d. Informasi Strategis
(GF ATM dan AusAID) dikelola terpusat
Sistem informasi strategis program
oleh KPAN dan distribusikan ke KPAD
pencegahan HIV dan AIDS paralel
kemudian diteruskan fasyankes dan LSM.
dengan sistem informasi kesehatan
Pada praktiknya di daerah ada variasi umum di daerah. Sumber informasi ini
dalam hal logistik dan alkes pencegahan. berupa laporan kasus dari fasyankes
Daerah yang menjadi wilayah kerja MPI dan LSM, sentinel survei, surveilans,
seperti GF masih mengacu pada aturan SSP, STBP, SDKI, estimasi, modeling,
pusat, terutama kondom, pelicin dan serta hasil penelitian empiris dan
jarum suntik steril. Sedang yang tidak operasional. Di tingkat daerah,
lagi didanai oleh MPI, logistik dan alkes semuanya direncanakan dan didanai
sama dengan pengelolaan logistik dan oleh pusat. Akibatnya, perencanaan
alkes pada penyakit lainnya, seperti di program pencegahan dominan dilakukan
Manokwari, Merauke, dan Jayapura. pusat lewat KPAN dan Kemenkes, sedang
Pemerintah daerah ketiga daerah ini pemerintah daerah sebagai pelaksana
telah mengatur semua mekanisme program. Hanya di Provinsi Bali yang
pengadaan, penyimpanan, dan distribusi pernah melakukan re-estimasi terhadap
alat pencegahan berdasarkan kebijakan populasi kunci pada tahun 2014.
daerah, termasuk pembiayaan dengan
Pengumpulan data program
mekanisme APBD.
pencegahan berbeda dengan
Mekanisme pengadaan obat untuk pengumpulan data pencegahan
program PMTS WPS di Medan dan penyakit menular umumnya. Data yang
Kupang berdasarkan perencanaan dikumpulkan LSM dan KPAD ini berupa
kebutuhan puskesmas yang disampaikan cakupan program yang ditetapkan oleh
ke dinkes melalui Rencana Usulan KPAN, seperti jumlah WPS atau LSL yang
Kegiatan (RUK) dan Rencana Kerja dijangkau, jumlah KDS, pendidik sebaya
(renja) yang disesuaikan dengan pagu yang dilatih, jumlah kondom dan KIE
dana. Permintaan ini dibuat berdasarkan yang didistribusikan. Data ini kemudian
estimasi dan pengadaannya sekali per dilaporkan ke KPAD dan ke donor. Pada
tahun. Di Medan, bila ada kejadian yang program LASS, pelaporan dari LSM
memerlukan kebutuhan obat tambahan, berdasarkan projek, sehingga sistem
maka dimungkinkan untuk meminta pelaporan yang dipergunakan merujuk
obat tambahan ke provinsi. Begitu pula pada acuan yang dipakai oleh MPI.
dengan program LSL di Denpasar bagian Selain ke donor, LSM pelaksana program
Pengendalian Penyakit akan mengajukan LASS juga memberikan laporan kegiatan
kebutuhan logistik (misalnya reagen, obat ke subdinkes dan KPA DKI Jakarta.
IMS dan IO) melalui RKA. Sedangkan,
Diseminasi dan pemanfaatan
dana pengadaan ARV langsung dari
data yang dikumpulkan, baik oleh
APBN yang disesuaikan dengan
layanan kesehatan maupun oleh LSM,

72
M u ham m ad Su harn i

dimanfaatkan berdasarkan kebutuhan populasi kunci, walaupun pemerintah


lembaga masing-masing. Data program menyediakan sarana musrenbang
PMTS, LSL dan LASS tidak termasuk virtual, seperti di Surabaya. Hal yang
dalam profil kesehatan daerah. Informasi menarik adalah ketersediaan dana
yang dikumpulkan dinkes dalam bentuk untuk partisipasi masyarakat, yang
laporan rutin berasal dari fasilitas ditemukan di Merauke dalam bentuk
layanan kesehatan dan rumah sakit, alokasi APBD yang diakses masyarakat
sehingga lebih mencerminkan data untuk membiayai pelatihan atau kegiatan
program pengobatan dan perawatan. peningkatan kapasitas. Sedangkan
Ini digunakan sebagai masukan untuk di Kupang, dana untuk mendorong
perencanaan logistik di layanan seperti partisipasi masyarakat tersedia dalam
puskesmas dan rumah sakit. Data bentuk hibah yang bisa diakses dengan
penggunaan layanan dari LSM dan KPAK membuat proposal.
digunakan sebagai bahan advokasi
Secara konkret, keterlibatan populasi
perencanaan dan penganggaran di
kunci dalam program pencegahan
Bappeda. Sedang data yang dimasukkan
HIV dan AIDS lebih kepada kegiatan
ke SIHA digunakan juga untuk
advokasi, agar pemerintah mau
pemesanan reagen dan ARV.
menyediakan layanan, seperti yang
Dari semua gambaran di atas dilakukan oleh kelompok LSL yang
ternyata sistem informasi upaya mendorong Dinkes Denpasar dan
pencegahan HIV dan AIDS tidak Surabaya agar menyediakan layanan
terintegrasi dengan sistem informasi untuk LSL di puskesmas. Demikian
penyakit menular lainnya. juga dengan kelompok penasun yang
secara aktif melakukan advokasi 02
kebijakan dan pelaksanaan program
e. Partisipasi Masyarakat LASS di Jakarta. Namun, penelitian ini
belum menemukan bukti keterlibatan
Partisipasi masyarakat merupakan
populasi kunci yang bermakna dalam hal
salah satu mandat dalam regulasi
perencanaan, monitoring, dan evaluasi
penanggulangan HIV dan AIDS. Pada
program. Perwakilan populasi kunci di
praktiknya, partisipasi populasi kunci
KPAK belum berkontribusi bermakna
cukup bervariasi dalam program
pada perencanaan dan penganggaran
pencegahan HIV dan AIDS. LSL aktif
program pencegahan HIV dan AIDS.
menginisiasi pembentukan LSM LSL
dan memberdayakannya dengan Uraian di atas menegaskan bahwa
memberikan kesempatan pada LSL partisipasi masyarakat, dalam hal ini
menjadi staf program atau staf LSM- partisipasi populasi kunci, dalam program
-berbeda dengan penasun dan WPS pencegahan HIV dan AIDS belum
yang lebih memposisikan diri sebagai terintegrasi dalam sistem pencegahan
penerima manfaat program. penyakit menular umumnya. Walaupun
dari segi regulasi, partisipasi ini adalah
Partisipasi masyarakat tidak lepas
mandat regulasi penanggulangan HIV
dari ada atau tidaknya sarana dan
dan AIDS, seperti yang dicantumkan
sumber dana yang disediakan oleh
dalam Perda AIDS atau Permenkes No 21
pemerintah daerah. Musrenbang sebagai
Tahun 2013.
sarana untuk menjaring masukan dalam
perencanaan pembangunan di daerah
belum dimanfaatkan maksimal oleh

73
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

f. Upaya Kesehatan puskesmas jika mereka memerlukan


pemeriksaan darah di puskesmas di
Ketersediaan layanan pencegahan IMS
wilayah jangkauan, jejaring dengan
dan HIV di wilayah penelitian ternyata
praktik swasta, jejaring dengan rumah
bervariasi. Di DKI Jakarta, Medan,
bersalin swasta agar merujuk pasien
Surabaya dan Denpasar, mempunyai
ke puskesmas. Koordinasi dan integrasi
layanan yang lengkap dan menjadi
juga terjadi di antara unit dalam layanan,
rujukan dari daerah lain. Sedangkan
semisal program PMTS di puskesmas di
layanan IMS dan HIV di Kupang dan
Medan melayani pemeriksaan IMS rutin
Merauke memiliki SDM yang masih
untuk ibu-ibu hamil dengan tawaran
kurang, seperti minimnya dokter spesialis
untuk tes HIV sebagai suatu prosedur
dan juga fasilitas yang belum terlalu
biasa.
memadai.
Sistem rujukan memudahkan WPS,
Sebagai gambaran, layanan KTS
LSL, dan penasun untuk mengakses
di Kupang tersedia di tiga rumah sakit,
layanan kebutuhan mereka. LKB sangat
di Medan di 24 lokasi, dan di Merauke
membantu program pencegahan IMS
layanan PMTS terdapat di 24 puskesmas
dan HIV, di mana kerjasama antara
(ada enam puskesmas satelit yang
fasyankes, LSM, kader kesehatan, dan
melayani IMS dan HIV), satu RSUD dan
rumah sakit saling berkesinambungan.
PKR. Di Surabaya klinik KTS tersedia
di 69 tempat KTS/KTIP dan 13 tempat Program LKB dan SUFA sudah
pemeriksaan IMS yang ada di puskesmas berjalan di lokasi penelitian. Di Denpasar,
dan rumah sakit. Layanan yang bisa LKB tersedia di tujuh puskesmas,
diakses LSL di Surabaya ada delapan sedangkan di Surabaya tersedia di lima
puskesmas (lima di antaranya merupakan puskesmas yang dimulai pada akhir
puskesmas LKB dan rumah sakit daerah). tahun 2012, dengan memberlakukan
sistem rujukan dan jejaring dari LSM ke
Layanan ini sudah dimanfaatkan
fasyankes dan dari fasyankes ke rumah
oleh LSL, baik LSL yang dirujuk oleh LSM
sakit.
atau LSL yang mengakses langsung.
Pemerintah DKI Jakarta menyediakan Koordinasi dan rujukan untuk program
layanan LASS di 38 puskesmas dan pencegahan HIV dan AIDS mengadopsi
terintegrasi dengan layanan KTS, sistem promosi untuk pencegahan
kesehatan dasar, dan PTRM. Selain itu, penyakit menular umumnya. Koordinasi
layanan LASS di DKI Jakarta terdapat program LASS dilakukan antara LSM dan
juga di LSM yang menjalankan program puskesmas selaku komponen pelaksana
LASS. program, tetapi tidak spesifik melibatkan
peran dinkes sebagai pembina utama
Koordinasi dan rujukan merupakan
sektor kesehatan. Begitu juga dengan
upaya untuk memastikan WPS, LSL, dan
koordinasi program PMTS WPS dan LSL,
penasun mendapatkan layanan yang
koordinasi terkait pencegahan lebih
berkelanjutan. Di Denpasar, koordinasi
melibatkan KPAK dibandingkan dinkes.
dilakukan pada jaringan yang terdiri dari
puskesmas sebagai pemberi layanan, Jaminan kualitas layanan
LSM sebagai penjangkau, dinkes dan pencegahan HIV dan AIDS dilakukan
KPA sebagai lembaga koordinator dengan supervisi dan evaluasi program
dalam pelaksanaan program LSL. oleh dinkes sebagai penanggung jawab
Ada koordinasi antara LSM dengan penyediaan layanan di daerah. Kegiatan

74
M u ham m ad Su harn i

Tabel 6. Ringkasan Tingkat Integrasi Program PMTS dan LASS


ke Dalam Sistem Kesehatan Berdasarkan Dimensi-dimensi
Subsistem

PMTS WPS PMTS LSL LASS

Sub sistem Dimensi

Dimensi

Dimensi

Dimensi
Fungsi

Fungsi

Fungsi
1 Regulasi   
Manajemen dan
regulasi
2 Formulasi kebijakan      
3 Akuntabilitas   
Pengelolaan sumber
4
pembiayaan
  
Penganggaran,
Pembiayaan 5 proporsi, distribusi      
dan pengeluaran 02
Mekanisme
6
pembayaran layanan
  
Kebijakan dan sistem
7
manajemen SDM
  
Sumber daya
manusia 8 Pembiayaan SDM      
9 Kompetensi SDM   
Regulasi penyediaan,
Penyediaan 10 penyimpanan,   
farmasi dan alat diagnostik dan terapi    
kesehatan
11 Sumber daya   
Sinkronisasi Sistem
12
Informasi
  
Informasi
strategis
  
Diseminasi dan
13
Pemanfaatan
  

Partisipasi Partisipasi
Masyarakat
14
Masyarakat
      

Ketersediaan
15
layanan
  
Upaya Koordinasi dan
kesehatan
16
rujukan
     
Jaminan kualitas
17
layanan
  

Keterangan:  tidak terintegrasi |  terintegrasi sebagian |  terintegrasi

75
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

ini tiga bulan sekali di wilayah penelitian. infrastruktur layanan kesehatan yang ada
Dinkes melakukan supervisi SDM untuk memungkinkan untuk menyediakan layanan
memastikan tenaga kesehatan yang pencegahan HIV dan AIDS di puskesmas
melayani program HIV sudah terlatih. dan rumah sakit. Hanya saja, inisiasi layanan
Dinkes juga memastikan logistik (e.g. ini dilakukan atas inisiatif pemerintah
reagen untuk tes IMS dan HIV, obat pusat dengan dukungan MPI. Sehingga
IMS), pelaksanaan pelayanan, capaian perencanaan awalnya masih didominasi oleh
program, dan kelengkapan administratif pusat yang kemudian tanggung jawabnya
(e.g. buku pedoman dan pencatatan diambil alih oleh pemerintah daerah dengan
untuk pelaporan). variasinya, seperti Merauke yang dibentuk
PPKR untuk layanan IMS dan tes HIV.
Kegiatan pencegahan yang dilakukan
oleh LSM tidak secara langsung melibat­ Hasil ini mempertegas, PMTS WPS, LSL
kan dinkes sebagai pembina upaya dan LASS adalah program vertikal dengan
ke­se­hatan masyarakat setempat. Kinerja peran pusat dan MPI yang sangat dominan.
SDM di luar sektor kesehatan tidak Pemerintah daerah baru mengadopsi
men­jadi bagian yang disupervisi oleh kebijakan dan ketersediaan layanannya.
din­kes, tetapi menggunakan mekanisme Ketersediaan layanan pencegahan di
internal di LSM. Peningkatan kapasitas fasilitas kesehatan yang sudah ada, seperti
LSM dilakukan oleh yang bersangkutan di rumah sakit dan puskesmas. Perencanaan
dengan dukungan dana MPI. dan penganggaran program PMTS WPS,
LSL dan LASS dibuat oleh pusat, dengan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan,
dukungan sumber daya dan sumber dana
upaya kesehatan program pencegahan
dari GF untuk PMTS dan HCPI untuk LASS.
HIV dan AIDS belum terintegrasi ke dalam
Di lain sisi, partisipasi masyarakat, yang
sistem pencegahan penyakit menular umum
direpresentasikan oleh LSM dan populasi
di daerah. Hal ini dibuktikan dengan hanya
kunci, belum maksimal untuk mendorong
dua dari 18 dimensi subsistem program
perencanaan program berdasarkan situasi
yang terintegrasi penuh ke dalam sistem
epidemi, konteks pemerintah daerah, dan
pencegahan penyakit menular umumnya.
karateristik populasi kunci di daerah.
Dimensi yang terintegrasi penuh itu
adalah regulasi dan penyediaan layanan
untuk WPS, LSL dan penasun. Artinya,
program ini telah mengacu pada regulasi
penanggulangan penyakit menular yang
ada seperti RPMJD, perda, pedoman PMTS,
F.
renstra, dan kebijakan teknis lainnya. Tantangan dalam Melakukan
Namun, dari sisi formulasi kebijakan dan Integrasi Program Pencegahan
akuntabilitas program, belum terjadi dalam
manajemen dan regulasi program PMTS Gambaran program pencegahan HIV dan
WPS, LSL dan LASS. AIDS yang belum terintegrasi penuh ke
dalam skema pelayanan kesehatan di
Dari sisi ketersediaan layanan, tingkat daerah tidak lepas dari sejumlah
pemerintah daerah telah menyediakan faktor yang menjadi tantangan, baik dari
layanan pencegahan HIV, seperti layanan penanggung jawab penanggulangan
KTS dan tes IMS untuk WPS, LSL dan LASS HIV dan AIDS maupun dari pihak otoritas
untuk penasun di tempat layanan kesehatan kesehatan daerah, termasuk pimpinan
yang telah ada (puskesmas dan rumah sakit). daerah. Demikian pula bahwa integrasi ini
Pemerintah daerah mengadopsi ini karena

76
M u ham m ad Su harn i

pada dasarnya merupakan adopsi inovasi adminsitratif, tata kelola pencegahan


dalam pelayanan kesehatan, yang dalam HIV dan AIDS masih dipegang oleh
pelaksanaannya juga menemui kendala, pemerintah pusat. Akibatnya, secara
baik secara administratif maupun teknis, di operasional pemerintah daerah
tataran daerah dan juga nasional. kesulitan menyinkronkan perencanaan
program dan pembiayaannya ke dalam
Di bawah ini disajikan beberapa
sistem perencanaan dan pembiayaan
tantangan penyebab tidak terintegrasinya
pencegahan penyakit menular umumnya
program pencegahan HIV dan AIDS ke
di tingkat kabupaten/kota. Bappeda
dalam sistem pelayanan kesehatan di tingkat
sebagai lembaga perencanaan
daerah.
program pembangunan daerah tidak
a. Kurang konsistennya pengelolaan dilibatkan dalam perencanaan program
program penanggulangan HIV dan AIDS penanggulangan HIV dan AIDS di
dengan prinsip desentralisasi. tingkat kabupaten/kota, sehingga
keterpaparan badan ini terhadap upaya
Pemerintah daerah dapat mengadopsi
penanggulangan HIV dan AIDS sangat
program pencegahan HIV dan AIDS
kurang. Ditambah lagi dengan belum
dengan baik jika tata kelola dan
intensifnya komunikasi Bappeda, KPAD,
manajemen program dilaksanakan sesuai
dan dinkes tentang kebutuhan daerah
UU No 23 Tahun 2014 dan pelaksanaan
akan pembiayaan program untuk
fungsi-fungsi yang lainnya dilaksanakan
penanggulangan HIV dan AIDS.
konsisten dengan Perpres No 72 tahun
2012 tentang SKN. Pencegahan HIV dan
AIDS, termasuk dalam urusan kesehatan,
b. Banyaknya aktor yang berkepentingan 02
menjadi urusan pemerintah pusat dan
dalam program pencegahan HIV dan
daerah. Dengan demikian, mekanisme
AIDS.
perencanaan, pembiayaan, dan juga
monitoring evaluasi program menjadi Program pencegahan HIV dan AIDS
kewenangan pemerintah pusat dan adalah program yang kompleks,
daerah. Pada praktiknya, perencanaan melibatkan multisektor karena harus
dan pengganggaran masih didominasi memperhatikan faktor-faktor lingkungan
oleh pusat, bahkan penetapan target dan yang mendukung, berkaitan dengan
wilayah program juga ditentukan oleh perilaku dan pelibatan banyak aktor
KPAN dan Kemenkes, sehingga KPAD dan dengan kepentingan yang berbeda-
dinkes hanya pelaksana dengan dana beda. Kebijakan-kebijakan yang lahir
dan pelaporan kinerja ke pusat. terkait ini belum menjamin komitmen
para pemangku kepentingan untuk
Dalam penanggulangan HIV
melaksanakannya.
dan AIDS, pemerintah pusat belum
konsisten melaksanakan desentraliasi Dalam upaya pencegahan HIV dan
struktural dan fungsional seperti AIDS, mandat koordinasi dan fasili­tasi
yang dimandatkan oleh UU No 23 ada pada KPAD. Mandat ini gagal diem­
Tahun 2014 dan Peraturan Presiden ban karena, dari sisi kewenangan dan
No 72 Tahun 2012. Pemerintah pusat politik, KPAD tidak mempunyai kekua­sa­
belum memberikan penguatan dalam an mengkoordinasi dan menyinkronkan
tata kelola, lebih pada keterampilan perencanaan dan pengganggaran yang
teknis program, seperti pelatihan KTS diusulkan oleh SKPD anggotanya. KPAD
dan penatalaksanaan IMS. Secara hanya sebagai lembaga ad hoc yang

77
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

tidak masuk dalam struktur kelembagaan berjalan optimal. Keberadaan masya­


pemerintah daerah. rakat sipil, LSM, dan populasi kunci
dalam upaya penanggulangan HIV dan
Temuan penelitian ini tidak sejalan
AIDS, belum bisa mendorong adanya
dengan apa yang direkomendasikan
akuntabilitas dan transparansi program.
oleh Kelly (2003), yang menyatakan
LSM melaksanakan program yang
bahwa pemerintah daerah seharusnya
sudah ditetapkan targetnya dari pusat,
memainkan peran koordinasi dan pe­ren­
pemerintah daerah juga belum memberi
ca­naan, misalnya Bappeda dan dinkes.
akses pada LSM untuk terlepas dari
Bappeda yang merupakan lembaga
pembiayaan yang bersumber dari MPI.
struktural yang mempunyai tugas pokok
LSM merasa nyaman dengan kondisi
dan fungsi koordinator dan sinkronisasi
program yang dirancang dan didanai
dalam perencanaan pembangunan
oleh pusat, baik melalui pemerintah
dae­rah, sedang dinkes adalah lembaga
pusat atau donor. LSM mendapatkan
teknis penanggung jawab pembangunan
manfaat dari kondisi ini karena ada
kese­hatan di daerah. Sayangnya,
sumber pendanaan untuk menghidupi
Bappeda belum menunjukkan kepen­
lembaganya.
ting­annya yang tinggi terhadap upaya
pence­gahan HIV dan AIDS. Dinkes dan Kegiatan-kegiatan yang sudah
lem­baga pelayanan yang di bawahnya direncanakan pusat/MPI memberikan
cenderung mengambil peran untuk kesempatan LSM untuk meningkatkan
penyediaan layanan kuratif, seperti sumber daya dan sumber dananya,
penyediaan fasilitas layanan untuk ART sehingga LSM cenderung melupakan
dan penatalaksanaan IMS. peran kemitraan di daerah dalam
mendorong lingkungan yang kondusif,
serta mendorong pemerintah daerah
c. Tidak adanya ruang partisipasi publik untuk mengadopsi program HIV dan
dalam pengembangan kebijakan HIV AIDS yang telah dijalankan. Akibatnya,
dan AIDS. peran LSM lebih pada pelaksana
teknis layanan, seperti melakukan
Desentralisasi memberikan ruang
penjangkauan dan pendampingan,
bagi masyarakat sipil sebagai aktor
melakukan rujukan dan membagikan
penting dalam pembangunan.
material pencegahan. Selain itu,
Program pencegahan HIV dan AIDS
mekanisme musrenbang yang ada tidak
di daerah belum memberikan akses
dimanfaatkan maksimal oleh LSM atau
kepada seluruh lapisan masyarakat
populasi kunci bersama masyarakat
untuk mengetahui perencanaan,
untuk mengusulkan program pencegahan
pelaksanaan, serta luaran dari program
HIV dan AIDS dari tingkat akar rumput.
ini. Proses perencanaan program dan
Yang terjadi bahkan sebaliknya;
anggarannya perlu diketahui oleh
pemerintah pusat melalui KPAN
publik, tapi dalam kenyataannya,
mendorong pembentukan Warga Peduli
peran publik untuk berpartisipasi
AIDS dengan perencanaan dan pedoman
dalam perencanaan program dan
dibuat oleh pusat dengan pendanaan
penganggaran tingkat daerah tidak
dari MPI.
berjalan. Mekanisme yang disediakan,
seperti musrenbang dan monev program
yang seyogyanya sebagai ruang
untuk partisipasi masyarakat, belum

78
M u ham m ad Su harn i

d. Kapasitas KPAD dan dinas kesehatan pencegahan HIV dan AIDS. Di tingkat
untuk melakukan advokasi kebijakan nasional, regulasi ini berupa Keputusan
dan anggaran yang masih terbatas. Presiden No 75 Tahun 2006, Permendagri
No 20 Tahun 2007, Permenkes No 21
Kapasitas dinkes mengelola
Tahun 2013 dan di tingkat daerah berupa
penanggulangan HIV dan AIDS sebagai
perda penanggulangan HIV dan AIDS.
bagian dari bidang pelayanan kesehatan
Namun kenyataannya, kebijakan ini tidak
yang rutin dilakukan menjadi dasar
dilaksanakan karena dinkes dan KPAD
agar integrasi bisa terjadi. Kapasitas ini
yang menjadi penanggung jawab utama
mencakup kapasitas manajemen dan
daerah upaya penanggulangan HIV dan
operasional.
AIDS belum memainkan perannya secara
Seperti yang telah diuraikan di optimal. Bahkan dua lembaga ini menjadi
atas, bahwa secara manajemen pelaksana program yang direncanakan
program pencegahan HIV dan AIDS di dan dibiayai oleh pemerintah pusat.
daerah, dinkes masih mengandalkan Dinkes belum membuat perencanaan
perencanaan, penganggaran, dan dan penganggaran berdasarkan analisis
penentuan target program dari situasi epidemi dan ketersediaan
pemerintah pusat dan MPI. Akibatnya, pendanaan di daerah. Di sisi lain,
kapasitas manajerial pemerintah daerah pencegahan HIV dan AIDS belum
dalam upaya penanggulangan HIV dan menjadi komitmen politik pemda, karena
AIDS menjadi sangat terbatas. Yang hanya berfokus pada penyediaan
dominan justru kapasitas operasional layanan pengobatan perawatan terkait
yang ada pada pemerintah daerah, AIDS. Advokasi anggaran semakin sulit
dalam hal ini dinkes dan KPAD. dilakukan manakala kepala daerah yang 02
sekaligus Ketua KPAD kurang memiliki
Kesenjangan kapasitas manajerial
komitmen terhadap permasalahan HIV
dan operasional ini menjadi tantangan
dan AIDS di wilayahnya.
pengintegrasian pencegahan HIV dan
AIDS ke dalam sistem pencegahan
penyakit menular umum di daerah.
e. Kapasitas fiskal daerah yang terbatas.
Peran KPAD dan dinkes masih terbatas
sebagai pelaksana program yang sudah Salah satu dimensi dalam desentralisasi
direncanakan dan dibiayai oleh KPAN adalah desentralisasi secara fiskal.
dan kemenkes. Akibatnya, advokasi Desentralisasi mewajibkan pemerintah
anggaran kedua lembaga ini tidak daerah meyediakan layanan kesehatan
berjalan optimal karena alasan sudah termasuk layanan untuk pencegahan HIV
ada dana dari pusat. Hal ini diperburuk dan AIDS. Desentralisasi juga diharapkan
lagi oleh sistem informasi strategis akan mendekatkan layanan pada
program pencegahan HIV dan AIDS yang pemanfaat layanan.
kepemilikannya ada di pemerintah pusat.
Untuk dapat mewujudkan hal
Ini membuat dinkes kesulitan membuat
tersebut, ketersediaan pembiayaan
perhitungan kebutuhan penganggaran
menjadi mutlak ada di pemda dalam
berdasarkan situasi epidemi yang ada di
skema APBD atau sumber lain seperti
daerah.
yang diamanatkan undang-undang.
Sudah ada berbagai regulasi yang Pemerintah daerah mempunyai otoritas
menjadi dasar pemerintah daerah untuk merencanakan dan menyediakan
untuk menggali sumber dana lokal bagi anggaran pencegahan HIV dan AIDS

79
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

G.
sesuai kebutuhan daerah. Secara tek­
nis, perencanaan pembiayaan sesu­ai
kebutuhan daerah memerlukan du­
kung­an informasi strategis daerah. Saat Memperkuat Kapasitas Daerah
ini, pemda belum mengintegrasikan dalam Penanggulangan HIV &
informasi strategis pencegahan HIV dan
AIDS
AIDS dalam sistem informasi pencegahan
penyakit menular di daerah. Akibatnya,
pemda masih tergantung pada data dan Gambaran di atas menunjukkan, program
informasi yang dibuat oleh pemerintah pencegahan HIV dan AIDS tidak terintegrasi
pusat sehingga menyulitkannya me­ren­ dengan sistem pencegahan penyakit me­
ca­nakan besaran kebutuhan pembiayaan nular umum yang ada di wilayah penelitian.
untuk masing-masing komponen Program di wilayah penelitian didominasi
pencegahan di tingkat daerah. program perencanaan, penganggaran, dan
penentuan target dari pusat dan MPI. Temuan
Bervariasinya jumlah anggaran dari
ini sejalan dengan penelitian Desai, M. et.al
APBD untuk upaya pencegahan HIV dan
(2010) bahwa program yang didukung oleh
AIDS serta masih bertumpunya anggaran
MPI di Indonesia sangat sentralistik dan
ke pusat (APBN dan MPI) menunjukkan
vertical, yang seringkali berbeda dan bahkan
gejala kurangnya ownership pemda
konflik dengan desentralisasi kesehatan.
terhadap program pencegahan HIV
Fungsi-fungsi programatik pencegahan HIV
dan AIDS. Pemerintah daerah merasa
dan AIDS masih berjalan paralel dengan
bahwa upaya pencegahan HIV dan
fungsi sistem pencegahan penyakit menular
AIDS termasuk penyediaan layanan,
umum di daerah, karena kapasitas daerah
pembiayaan SDM, pembiayaan untuk
yang terbatas dalam melakukan adopsi.
menyediakan informasi strategis me­
ru­­pakan urusan pemerintah pusat. Oleh karena itu, untuk mengintegra­si­kan­
Dengan adanya dana pemerintah nya ke dalam sistem pencegahan penyakit
pusat, daerah merasa tidak perlu menular umum, perlu penguatan kapasitas
mem­berikan anggaran untuk upaya pemda agar berbagai tantangan yang
pen­ce­gahan HIV dan AIDS. Proporsi su­dah dijelaskan di atas dapat dicarikan
anggaran APBD untuk program HIV solusinya. Penguatan kapasitas itu berupa
dan AIDS melalui dinas kesehatan lebih penguatan peran dan fungsi pemangku
fokus kepada pengobatan, sementara kepentingan terkait HIV dan AIDS dalam
proporsi anggaran APBD melalui KPA perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan
digunakan untuk kegiatan koordinasi dan fungsi-fungsi program hingga monitoring
administratif sekretariat KPAD, sedangkan evaluasi program. Salah satu tujuannya
dana dari SKPD di luar dinas kesehatan adalah menciptakan lingkungan kondusif
lebih banyak digunakan untuk kegiatan seperti yang telah ditentukan dalam SRAN
pe­nyuluhan dan sosialisasi. 2014-201921 sebagai arah penguatan pemda

21) Dalam Draft SRAN 2014-2019 disebutkan, arah


penguatan pemerintah daerah untuk menciptakan
lingkungan kondusif dalam upaya penanggulangan
HIV dan AIDS di daerah, adalah 1) memperkuat
kepemimpinan dan tata kelola pencegahan AIDS di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 2) Kemitraan lintas
sektor 3) Perencanaan dan Pembiayaan. 4) Pelaksanaan
ditingkat daerah dan 5) Monitoring & Evaluasi.

80
M u ham m ad Su harn i

dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS lintas sektor menjadi tanggung jawab
di tingkat kabupaten/kota. KPAD di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota dalam membangun kemitraan
Bagian ini menjelaskan berbagai upaya
lintas semua sektor pemerintahan yang
yang bisa dilakukan untuk memperkuat ka­
berkaitan dengan HIV dan AIDS.
pa­­sitas daerah dalam penanggulangan HIV
dan AIDS di tingkat kota/kabupaten agar Penelitian ini menemukan bahwa
terintegrasi dengan upaya pencegahan pe­ secara politik dan kelembagaan
nya­­kit menular umumnya. kapasitas KPAD rendah. Ada beberapa
stakeholder daerah yang secara politik
dan posisi kelembagaan mempunyai
1. Memperkuat pemerintah daerah untuk kekuasaan sumber daya tinggi untuk
melaksanakan progam pencegahan HIV menentukan program pembangunan
dan AIDS yang konsisten dengan prinsip di daerah. Contoh Bappeda yang
desentraliasi. merupakan instansi yang berwenang
menyinkronkan perencanaan dan
Konteks desentralisasi harusnya menjadi
penganggaran program pembangunan
salah satu faktor pendorong pemda untuk
di daerah. Dengan demikian, penguatan
mengambil alih tanggung jawab program
kemitraan di daerah tidak cukup
yang sudah diinisiasi oleh pemerintah
dengan penguatan KPAD saja, tetapi
pusat dan MPI. Namun, hal ini tidak ter­­
penguatan SKPD lain mutlak juga
jadi karena syaratnya, seperti yang disa­
dilakukan. Peningkatan kemampuan
ran­kan Unger et.al ( 2003), tidak dipenuhi.
SKPD dan lembaga non struktural
Unger et.al (2003) menyebutkan bahwa
untuk merencanakan program dan
pro­gram pencegahan penyakit menular
penganggaran upaya pencegahan 02
yang vertikal dapat terintegrasi jika
HIV dan AIDS di lembaganya masing-
desen­tralisasi administrasi dan ope­
masing menjadi sangat strategis agar
rasional terjadi secara simultan. Ar­tinya,
mendapat dukungan dalam perencanaan
ke­wenangan pemda dalam pe­nang­
pembiayaan Bappeda. Penguatan lintas
gulangan HIV dan AIDS perlu di­ikuti
sektor ini perlu dukungan komitmen
de­ngan implementasinya yang se­jalan
politik yang kuat serta pembagian peran
dengan prinsip desentralisasi. Pem­da
dan fungsi yang tegas antara masing-
memegang kendali otoritas dalam hal
masing SKPD, lembaga non struktural,
perencanaan, penentuan prioritas pro­
sektor komunitas (LSM, KDS dan
gram, target, dan pembiayaan penang­gu­
populasi kunci). Penguatan kemitraan
langan HIV dan AIDS di tingkat dae­
dengan sektor non pemerintah ini dapat
rah. Tanggung jawab langsung upaya
optimal jika ada perencanaan program
pen­­cegahan HIV dan AIDS ada di pemda
yang akuntabel dan transparan pada
dan pemerintah pusat melaksanakan
pemerintah dan masyarakat, dalam hal
ke­we­nangannya sebagai pengawas dan
ini populuasi kunci dan ODHA.
pem­bina.
Penelitian ini menunjukkan sektor non
pemerintah seperti LSM terbatas pada
2. Penguatan kemitraan lintas sektor. kemitraan pelaksanaan program, belum
Hal ini dimaksudkan agar terjadi pada perencanaan dan penyusunan
sinkronisasi kepentingan para aktor kebijakan dan program. Oleh karena
dalam program pencegahan HIV dan itu, untuk mendorong adanya adopsi
AIDS. Dalam SRAN 2014-2019 kemitraan program pencegahan HIV dan AIDS di

81
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

dalam program pencegahan penyakit yaan, pengalokasian dan mekanisme


menular umumnya, maka kemitraan pembayaran layanan oleh pemda.
antara pemerintah dengan sektor Keter­sediaan informasi strategis men­
non pemerintah harus dimulai dari ja­di penting dalam perencanaan agar
perencanaan program. Kemitraan mulai pen­cegahan HIV dan AIDS dapat dibuat
dari perencanaan akan mempertegas berbasis bukti serta dapat diper­tang­
peran dan fungsi masing-masing gungjawabkan. Perencanaan pem­bia­
pihak dengan acuan pada aturan dan yaan yang didukung oleh informasi stra­
kebijakan desentralisasi. te­gis berupa data situasi epidemi, status,
dan capaian program diperlukan agar
pembiayaan sesuai dengan kebutuhan.
3. Penguatan kapasitas fiskal pemda untuk
Penelitian ini menemukan
pencegahan HIV dan AIDS.
bahwa sinkronisasi, diseminasi, dan
Penguatan kapasitas pemda dalam pemanfaatan informasi serta sistem
hal perencanaan dan penganggaran monitoring dan evaluasi program HIV
dimaksudkan agar perannya bisa dan AIDS masih berbeda dengan sistem
lebih besar dalam penanggulangan yang ada pada pencegahan penyakit
HIV dan AIDS di masa depan. Selama menular umumnya. Temuan ini tidak
ini perencanaan dan penganggaran sejalan dengan temuan Kawonga, et
pencegahan, perawatan dan pengobatan al., yang menunjukkan bahwa integrasi
masih tersentralisasi. Kemampuan untuk sistem monev program HIV dan AIDS
itu menjadi dasar mengintegrasikan yang vertikal ke sistem kesehatan
penanggulangan HIV dan AIDS ini ke memberikan keuntungan dalam hal
dalam program-program kesehatan di peruntukan pendanaan program HIV dan
daerah masing-masing, sebagaimana AIDS terhadap peningkatan kapasitas
diwujudkan dalam APBD. sistem kesehatan untuk memproduksi
indikator program HIV dan AIDS yang
Secara teknis, dua lembaga yang
berkualitas dan tepat waktu. Selain
bertanggung jawab terhadap upaya
dari sistem informasi strategis yang
pencegahan HIV dan AIDS adalah KPAD
berbeda dengan sistem informasi
sebagai koordinator penanggulangan
pada penyakit menular umumnya,
HIV dan AIDS di daerah dan Dinas
pemda pun belum memanfaatkan data
Ke­sehatan sebagai leading sector di
untuk melakukan estimasi kebutuhan
tingkat daerah. Kementerian Kesehat­
pendanaan pencegahan HIV dan AIDS
an dan KPAN perlu serius dan sistema­
di daerahnya. Dari segi pembiayaan,
tik memberikan bimbingan teknis dan
perlu penguatan kapasitas pemda dalam
pengawasan dalam upaya pengem­bang­
hal tata kelola dan pengoordinasian
an kapasitas dan sekaligus membangun
sumber pembiayaan. Pemda dengan
sistem perencanaan dan penganggaran
kewenangan yang ada dapat mengelola
daerah dengan berkoordinasi dengan
sumber-sumber pembiayaan yang
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
berasal dari pemerintah pusat,
Keuangan, dan Bappenas.
pemda dan sumber lain seperti yang
Selanjutnya, dua kondisi yang per­lu ditentukan dalam kebijakan HIV dan
diperhatikan dalam penguatan kapa­si­ AIDS. Saat ini tata kelola sumber
tas penganggaran. Pertama, perlunya pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS
keter­sediaan informasi strategis dan masih didominasi pemerintah pusat
kemampuan tata kelola sumber pem­bia­ karena akses dan koordinasi sumber

82
M u ham m ad Su harn i

pembiayaan ada di pemerintah pusat dalam melakukan advokasi kebijakan


(KPAN, Kemenkes dan MPI). Peran dan anggaran ke pemerintah dan
LSM yang dominan dalam kegiatan legislatif daerah menjadi sangat
pencegahan perlu mendapatkan penting. Hal ini dapat dilakukan dengan
perhatian pemda dalam bentuk mendorong keduanya menyediakan
pemberian alokasi pendanaan untuk LSM informasi terkini tentang status program,
sehingga keberlangsungan upaya-upaya perkembangan epidemi HIV, estimasi dan
pencegahan yang sudah dilakukan oleh pemetaan populasi kunci.
LSM dapat terjamin.
Secara teknis pengadaan data dan
informasi tersebut menjadi tanggungjawab
dinkes. Mekanisme pembaharuan data
4. Penguatan kapasitas pemerintah daerah
pencegahan HIV dan AIDS dilakukan
untuk meningkatkan partisipasi publik
menurut mekanisme pembaharuan data
dalam pengembangan kebijakan dan
penyakit menular lainnya, yakni harus
program HIV dan AIDS di tingkat daerah.
berjalan secara berkala dan rutin. Dengan
Terkait regulasi dan tata kelola adanya informasi strategis ini, KPAD dan
pencegahan HIV dan AIDS di daerah, dinkes mampu secara berkala berkomunikasi
terdapat dua hal yang selama ini intensif dengan kepala daerah dan
belum menjadi perhatian pemda, yaitu legislatif tentang perlunya penyediaan
akuntabilitas program dan partisipasi anggaran untuk pencegahan HIV dan AIDS
publik dalam penyusunan kebijakan dan di daerahnya. Komunikasi KPAD, dinkes,
perencanaan program. Ada mekanisme Bappeda, kepala daerah, dan legislatif
formal seperti musrenbang, monitoring perlu diagendakan sebagai prioritas kedua
dan evaluasi program serta pertemuan lembaga ini. 02
koordinasi di KPAD dan dinkes yang
belum dimanfaatkan secara optimal,

H.
sehingga partisipasi publik dalam
penyusunan kebijakan dan program
HIV dan AIDS belum berjalan. Untuk
meningkatkan partisipasi public, ketiga Simpulan
mekanisme ini perlu disosialisasikan ke
publik dan populasi kunci agar mereka Berdasarkan bukti dan analisis, dapat
dapat terlibat dalam penyusunan disimpulkan bahwa kebijakan dan program
kebijakan dan program HIV dan AIDS di pencegahan HIV dan AIDS tidak terintegrasi
daerah. ke dalam sistem kesehatan nasional di
tingkat kabupaten/kota. Dari 7 subsistem
kesehatan, hanya dimensi regulasi dan
5. Penguatan kapasitas KPAD dan dinas penyediaan layanan yang sudah diadopsi
kesehatan untuk melakukan advokasi oleh pemda ke dalam sistem pencegahan
kebijakan dan anggaran. penyakit menular umum di daerah.
Dikarenakan kedua lembaga ini Sedangkan dimensi lain (pembiayaan,
mempunyai mandat sebagai penanggung penyediaan farmasi dan alat kesehatan,
jawab utama mengoordinasi dan sistem informasi strategis, dan partisipasi
melaksanakan upaya pencegahan HIV masyarakat) berjalan paralel dengan
dan AIDS di tingkat kota/kabupaten, subsistem pencegahan penyakit menular
maka penguatan kapasitas lembaga umum.

83
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

Tantangan pemda “Kapasitas pemda keanggotaan lembaga di


mengintegrasikan upaya untuk mengadopsi KPAD. Fungsi-fungsi koordinasi
pencegahan HIV dan AIDS KPAD dan dinkes baru
program
adalah tidak konsistennya sebatas koordinasi pertemuan
pencegahan
pelaksanaan upaya ini menurut pelaksanaan program yang
undang-undang desentralisasi, HIV dan AIDS ditargetkan pusat. Demikan juga
lemahnya koordinasi program ke dalam sistem dengan kapasitas perencanaan
pencegahan dalam melibatkan pencegahan dan pembiayaan program
banyak aktor dengan berbagai penyakit menular yang masih mengandalkan
kepentingan, tidak berjalannya pemerintah pusat. Hal ini
umumnya belum
mekanisme partisipasi publik, bahkan menimbulkan persepsi
optimal. Kapasitas
terbatasnya fiskal daerah bahwa program pencegahan
dan kemampuan untuk administrasi HIV dan AIDS adalah program
mengadvokasi kebutuhan fiskal kepemimpinan pusat yang pembiayaannya
pencegahan HIV dan AIDS. dan tata kelola adalah tanggung jawab pusat
pencegahan dan pemda sebagai pelaksana
Pelaksanaan kebijakan
di daerah. Bahkan proses
dan program pencegahan HIV dan AIDS
monitoring dan evaluasi program
HIV dan AIDS di daerah yang di tingkat
pun menjadi tanggung jawab
tidak konsisten dengan sistem kabupaten/ pusat, walau pelaksanaannya
desentralisasi dipengaruhi
kota di wilayah ada di KPAD dan KPAN.
oleh sikap pemerintah pusat
penelitian masih Pemerintah pusat pun tidak
(KPAN dan kemenkes) yang
mengandalkan melakukan penguatan kapasitas
belum memberikan penguatan
pemda agar perencanaan
(politik dan administratif) ke arahan dari
pencegahan HIV dan AIDS
pemda. Penguatan-penguatan pusat.”
mengikuti perencanaan
yang dilakukan lebih banyak
pencegahan penyakit menular
dalam bentuk penguatan teknis
umumnya di daerah. Kondisi
operasional terkait pelaksanaan
ini diperburuk dengan sikap
program.
pemda yang merasa aman
Kapasitas pemda untuk bahwa program pencegahan
mengadopsi program HIV dan AIDS sudah diurusi oleh
pencegahan HIV dan AIDS pemerintah pusat atau MPI.
ke dalam sistem pencegahan
Rendahnya tingkat integrasi
penyakit menular umumnya
subsistem program pencegahan
belum optimal. Kapasitas
HIV dan AIDS ke dalam sistem
administrasi kepemimpinan dan
kesehatan umum di daerah
tata kelola pencegahan HIV
dipengaruhi oleh belum
dan AIDS di tingkat kabupaten/
berfungsinya peran-peran politis
kota di wilayah penelitian
pemda untuk memprioritaskan
masih mengandalkan arahan
sebagai program daerah.
dari pusat. Pemda belum
Hal ini diindikasikan dengan
optimal memobilisasi lembaga-
rendahnya kepentingan para
lembaga lokal untuk mendukung
pemangku kepentingan utama
program pencegahan HIV dan
yang mempunyai kewenangan
AIDS, kemitraan lintas sektor
tinggi dalam perencanaan dan
hanya terikat dalam bentuk
penganggaran untuk program

84
M u ham m ad Su harn i

pencegahan HIV dan AIDS. Komunikasi KPAD informasi strategis untuk program
dan dinkes dengan lembaga perencanaan pencegahan HIV dan AIDS di daerah sebagai
pemda belum efektif. Mekanisme yang dasar perencanaan dan penganggaran dan
disediakan pemerintah untuk menjaring partisipasi publik dalam hal perencananan,
usulan dari masyarakat seperti musrenbang pembiayaan, dan monitoring evaluasi
belum menyentuh isu pencegahan HIV program pencegahan di tingkat daerah.
dan AIDS. Dinas kesehatan sebagai
regulator bidang kesehatan cenderung
berpihak pada peran penyediaan layanan
kesehatan di fasyankes. Peran pendukung D af t ar Pust aka
program pencegahan seperti informasi Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., Adeyi, O. 2010.
“Integration of targeted health interventions into
strategis, berupa penyediaan data melalui
health systems: A conceptual framework for analysis”.
surveilans, survei, pemetaan dan estimasi Health Policy and Planning, 25:104-111.
populasi kunci, masih di tangan pemerintah Boyer, S., Protopopescu, C., Marcellin, F., Carrieri, M. P.,
pusat. Selain itu, KPAD belum optimal Koulla-Shiro, S., Moatti, J.-P., Spire, B. & Group, t. E.
S. (2012). “Performance of HIV care decentralization
melakukan peran koordinasi dan advokasi
from the patient’s perspective: health-related quality
ke pemangku kepentingan daerah, sehingga of life and perceived quality of services in Cameroon”.
dukungan pembiayaan dari APBD untuk Health Policy and Planning, 27(4): 301-315.
pencegahan HIV dan AIDS masih kurang. Conseil A, Mounier-Jack S, Coker R. 2010. “Integration of
health systems and priority health interventions: a
Ketidakoptimalan peran ini dipengaruhi
case study of the integration of HIV and TB control
oleh posisi politik dan kelembagaan KPAD programmes into the general health system in
sebagai lembaga ad hoc yang tidak masuk Vietnam”. Health Policy Plan. 2010 Nov;25 Suppl
1:i32-36. doi: 10.1093/heapol/czq055.
dalam struktur pemda.
Desai, M., Rudge, J.M., Adisasmito, W., Mounier-Jack, S.,
Pemda belum menyediakan pembiayaan Coker, R. 2010. “Critical interactions between global 02
fund-supported programmes & health systems: a
yang cukup untuk upaya pencegahan
case study in Indonesia”. Health Policy and Planning,
HIV dan AIDS di wilayahnya. Pendanaan 25:i43-i47.
untuk intervensi PMTS WPS, LSL dan LASS Ditjen PPM & PLP Depkes RI. 1996. Statistik kasus HIV
ini berbeda dengan skema pembiayaan dan AIDS di Indonesia hingga Desember 1996.
pencegahan penyakit menular secara ______________________. 2014. Statistik kasus HIV dan
AIDS di Indonesia hingga Desember 2014
umum di tingkat kabupaten/kota karena
______________________. 2015. Statistik kasus HIV dan
pemda tidak menjalankan fungsinya
AIDS di Indonesia hingga Desember 2015
mengoordinasikan dan menyinkronkan
Dinas Kesehatan Kota Medan 2014. Rekap SSR: Laporan
sumber-sumber pembiayaan, seperti Infeksi Menular Seksual. Dinkes Kota Medan.
pembiayaan dari pusat (APBN dan MPI). Dinkes Kota Denpasar. 2015. Data Sistem informasi HIV &
AIDS di Kota Denpasar. Denpasar: Dinas Kesehatan
Untuk memperkuat kapasitas pemda, Kota Denpasar.
maka beberapa hal yang perlu dilakukan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, 2014. Sistem Inforamasi HIV
adalah meningkatkan komitmen politik dan AIDS 2014.
daerah untuk menciptakan lingkungan Dinkes Kota Surabaya, 2015. Profil kesehatan kota
Surabaya Tahun 2014.
yang kondusif agar terjadi adopsi program
Fronczak, N., Oyediran, K. A., Mullen, S. & Kolapo, U.
pencegahan HIV dan AIDS ke dalam sistem M. 2015. “Dual indices for prioritizing investment in
pencegahan penyakit menular umum di decentralized HIV services at Nigerian primary health
daerah. Pemberian wewenang administratif care facilities”. Health Policy and Planning.
dari pusat ke pemda dalam upaya Hollister,R.M. n.d. Decentralization in National AIDS
Control and Prevention Programs. https://rti.org/pubs/
penanggulangan HIV dan AIDS sejalan Decen_Natl_Aids.pdf, diakses 21 Maret 2016.
dengan mandat UU otoda. Peningkatan Kawonga, M., Blaauw, D., Fonn, S. 2012. “Aligning vertical
kapasitas daerah untuk menyediakan interventions to health systems: a case study of

85
Ke b i j a k an dan Pr ogr am Pen cegah a n HIV d i T in gka t Ka bu p aten / Kota di In do n e si a

the HIV monitoring and evaluation system in South Zhang, Z. Miege,P. dan Zhang, Y., 2011. Decentralization
Africa”. Health Research Policy and Systems, 10:2. of the provision of health services to people living
Kelly, K, 2003. Supporting Local Government Response to with HIV/AIDS in rural China: the case of three
HIV/AIDS: Posisiton,Priorities, Possibilities. Centre for counties.
AIDS Development, Research and Evaluation. Institute
of Social and Economic Research Rhodes University. Unda ng-und a ng d a n Pe r a tur a n
Kementerian Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian Penyakit Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
dan Penyehatan Lingkungan. 2007. Survailans Pemerintahan Daerah. Lampiran Undang-Undang
Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 207. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
_______________. 2011. Survailans Terpadu Biologis dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Perilaku (STBP) 2011. Pengamanan sedian farmasi dan alat kesehatan.
Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik 2006: Lembar Negara tahun 1998 No 138, Tambahan
Risk behaviour and HIV prevalence in Tanah Papua: Lembar Negara nomor 3781.
Result of the IBBS 2006 in Tanah Papua. Jakarta: Peraturan Presiden No 75 Tahun 2006 tentang Komisi
National Ministry of Health and Statistics. Penanggulangan AIDS Nasional.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Strategi dan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan Kesehatan Nasional.
AIDS tahun 2010-2014. Jakarta: KPAN
Permendagri No 20 Tahun 2007 tentang Pedoman
_________________. 2014. Pedoman PMTS Paripurna. Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS
KPAN. Jakarta dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka
KPAK Denpasar. 2014. Laporan Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah.
LSL KPAK Denpasar Mei 2014, Denpasar: Komisi Permenkes No 21 Tahun 2014 tentang Penanggulangan
Penanggulangan AIDS Kota Denpasar. HIV dan AIDS.
KPAP DKI Jakarta. 2014 Laporan Hasil Pemetaan Populasi Permenkes No 1199/Menks/PER/X/2004 tentang Pedoman
Kunci Provinsi DKI Jakarta. Pengadaan Tenaga Kesehatan.
Unger, J.P. Paepe, P.D. and Green A. 2003. A code of Kepmenkes Nomor 567/2006 tentang Pedoman
best practice for diesese control program to avoid Pelaksanaan Dampak Buruk Napza.
damaging helath care services in developing
countries. Int. J.Health Plann Mgmt. 18: S27-S39.
Publish online in Wiley InterScience (www.
interscience.wiley.com) DOI:10.1002/hpm.273
Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2014.
Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Mearauke.
Tim Peneliti Universitas Udayana. 2015. Studi Kasus:
Integrasi Respons HIV dan AIDS ke dalam Sistem
Kesehatan dan Efektivitas Penanggulangan HIV &
AIDS di Kota Denpasar. Laporan Penelitian Kerja
sama Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali
dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
(PKMK), Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Tim Peneliti Universitas Airlangga. 2015. Studi Kasus:
Integrasi Respons HIV dan AIDS ke dalam Sistem
Kesehatan dan Efektivitas Penanggulangan HIV &
AIDS di Tingkat Daerah. Laporan Penelitian Kerja
sama Universitas Airlangga dengan Pusat Kebijakan
dan Manajemen Kesehatan (PKMK), Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Tkatchenko-Schmidt, E., Atun, R., Wall, M., Tobi, P.,
Schmidt, J., and Renton, A. 2010. “Why do health
system matter? Exploring lingks between health
systems and HIV response: a case study from Russia”.
Health Policy and Planning. 25: 283-291. Doi:10.1093/
healthpol/czq001

86
02

87
03
Pembiayaan Program
Pencegahan HIV
di Indonesia

Ign atiu s Hersump ana

88
Ig n ati u s He rsu m p an a

A.
Pendahuluan

Komitmen global untuk memperluas intervensi program pencegahan


penularan HIV melalui transmisi seksual dan pengu­rang­an dampak buruk
Napza suntik yang dilakukan sedini mungkin, diestimasikan dapat mencegah
28 juta infeksi HIV baru antara 2005 dan 2015 (Stover et al., 2006). Meskipun
untuk mencegah infeksi HIV baru akan membutuhkan sekitar US$ 122
miliar selama periode tersebut, investasi ini berkontribusi mengurangi biaya
perawatan dan pengobatan. Untuk biaya pencegahan membutuhkan US$
3.900 per infeksi baru, tetapi ini akan menghemat biaya sebe­sar US$ 4.700
untuk perawatan dan pengo­batan (Stover et al., 2006). Hasil proyeksi
pembiayaan pencegahan tersebut me­ru­pakan bagian dari pengembangan
strategi dalam penanggulangan HIV dan AIDS karena pencegahan belum
mendapatkan perhatian serius. Intervensi pencegahan secara global belum
memadai lantaran pelayanan pencegahan hanya mencapai kurang dari 10%
dari individu yang berisiko (Merson, O’Malley, Serwadda, & Apisuk, 2008). 03

Pembiayaan penanggulangan HIV dan aksi bersama. Hal tersebut juga diyakini bisa
AIDS di negara-negara berpendapatan ren­ diterapkan ke depan untuk penggalangan
dah dan menengah antara tahun 2001-2006 kekuatan bagi pencegahan HIV.
mengalami peningkatan enam kali lipat,
Secara keseluruhan terjadi peningkatan
akan tetapi lebih fokus pada pengobatan,
pembiayaan pada HIV dan AIDS di negara-
sedangkan untuk mengurangi infeksi HIV
negara yang berpendapatan rendah dan
belum kuat. Untuk setiap individu yang
menengah mulai dari $ 1.4 miliar pada tahun
mendapatkan ARV pada tahun 2006,
2000 sampai $ 13 miliar pada 2008 (WHO,
enam yang lain terinfeksi oleh HIV. Apabila
Unaids, & UNICEF, 2010). Peningkatan tajam
kecenderungan ini berlanjut, diproyeksikan
pengeluaran untuk penanggulangan HIV dan
60 juta lebih orang yang terinfeksi HIV pada
AIDS tersebut menghasilkan capaian penting.
2015, atau setiap tahun akan mengalami
Kurang lebih 4 juta orang dengan infeksi
peningkatan sebesar 20% lebih infeksi baru
HIV positif telah mengakses ARV.22 Secara
pada tahun 2012, kecuali apabila jumlah
global, kasus HIV telah berkurang sebesar
infeksi baru tersebut dapat dikurangi (Global
30% dari puncak epidemi pada pertengahan
HIV Prevention Working Group, 2007).
1990.23 Beberapa negara seperti Kamboja,
Peningkatan dramatis cakupan ARV tersebut
dengan cakupan akses global antara 8% 22) WHO/UNAIDS/Unicef (2010). Toward universal access:
scaling up priority HIV/AIDS intervention in the health
sampai 28% antara tahun 2003-2006 sector. Progress report 2009. http://www.who.int/hiv/pub/
menggambarkan komitmen global yang tuapr_2009/en_pdf
kuat dalam peningkatan pembiayaan dan 23) UNAIDS.AIDS epidemic update: November 2009http://
www.data.unaids.org/pub/2009_epidemic_update_en.pdf

89
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

Republik Dominica, Tanzania, dan menyasar pa­da kelompok penasun dan LSL
Uganda mengalami penurunan kasus yang mencapai dua per tiga dari jumlah
HIV dan AIDS secara sub­stansial. Di populasinya (UNAIDS, 2007; Global Working
samping capaian tersebut, pening­katan Group on HIV Prevention, 2007).
pembiayaan pencegahan dan pengobatan
Prioritas pembiayaan untuk pencegahan
HIV diperlukan untuk me­ngon­trol epidemi
seperti Thailand dilakukan dengan
ke depan (Hecht et al., 2010). Le­bih lanjut
memanfaatkan model pembiayaan HIV
menurut Hecht, skema pe­ningkatan
dan AIDS dari pendanaan internasional
pembiayaan pencegahan diperlukan untuk
untuk memperkuat sistem pembiayaan
pengembangan teknologi pencegahan
kesehatan yang ada. Model pembiayaan
seperti vaksin dan metode pen­cegahan yang
yang dikembangkan oleh inisiatif global
efektif (e.g. sirkumsisi lelaki, penggunaan
saat ini berkecenderungan mendorong
kondom, jarum steril, dan pencegahan
pemerintah penerima bantuan global supaya
penularan dari ibu ke anak (PPIA)).
meningkatkan dukungan pembiayaan yang
Komitmen pencegahan telah ditunjukkan bersumber dari pendanaan domestik sebagai
dengan keberhasilan sejumlah negara ‘dukungan’ pembiayaan penanggulangan
da­lam menyikapi epidemi, dengan mela­ HIV dan AIDS dari negara tersebut, selain
ku­kan investasi prioritas pembiayaan dana dari bantuan luar negeri (Desai,
pada pencegahan. Namun, secara global Rudge, Adisasmito, Mounier-Jack, & Coker,
negara-negara berpendapatan rendah dan 2010; Hanvoravongchai, Warakamin, &
menengah masih menghadapi tantangan Coker, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa
pembiayaan untuk pencegahan HIV dan pengintegrasian pembiayaan program
AIDS. Be­berapa negara berkembang te­lah penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
membuktikan hasil efektif da­ri kebijakan pembiayaan sistem kesehatan menjadi
peningkatan prio­ritas pembiayaan pada pro­ penting untuk keberlanjutan program
gram pencegahan. Con­toh­nya, pemerintah ke depan, dengan mempertimbangkan
Thailand meningkatkan dukungan 72% dari semakin menurunnya dukungan dari luar
total alokasi penang­gu­langan HIV dan AIDS negeri dan meningkatnya anggaran belanja
dan menginvestasikan lebih dari se­tengah sektor kesehatan. Di samping itu, efektivitas
anggaran untuk pem­biayaan pencegahan pembiayaan pencegahan ini mendapatkan
dari US$ 1 juta pada tahun 1988 menjadi US$ dukungan banyak pihak, khususnya dari
10 juta pada tahun 1991. Adanya komitmen sektor komunitas dan berbagai pemangku
untuk memrioritaskan pembiayaan program kepentingan lain sebagai sebuah upaya
pencegahan tersebut, Thailand mencapai bersama. Dukungan berbagai pihak ini dapat
hasil dra­matis dengan penurunan in­siden mengurangi stigma dan diskriminasi yang
HIV tahunan dari 143.000 pada 1991 menjadi masih cukup kuat di berbagai kalangan
19.000 pada 2003 (Ravenga et al., 2006). khususnya petugas layanan (Ainsworth,
Contoh negara ber­pendapatan rendah lain Beyrer, & Soucat, 2003).
di Asia Pasifik adalah Kamboja yang mampu
Untuk itu, inisiatif global mengembangkan
mengoptimalkan pembiayaan dari donor
roadmap untuk melakukan pengintegrasian
inter­na­sional sebesar $ 30 juta per ta­hun
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS
untuk pengembangan pro­gram pencegahan
yang selama ini cenderung didominasi oleh
HIV yang fokus melakukan kam­pa­nye
negara donor ke skema pembiayaan sistem
penggunaan kondom untuk pekerja seks
kesehatan di negara berkembang (Desai et
di lokal­isa­si. Dengan pendanaan inter­
al., 2010; Global Fund, 2015). Alasan utama
na­sional tersebut, Kamboja mem­perluas
untuk mendukung upaya integrasi ini adalah
adaptasi strategi inter­vensi pencegahan

90
Ig n ati u s He rsu m p an a

pengurangan fragmentasi, mengurangi menunjukkan pengeluaran upaya kesehatan


pemborosan dengan mengintegrasikan perorangan (UKP) per kapita per tahun
pembiayaan, memaksimalkan sumber daya, mencapai Rp 815.090 atau Rp 67.294 per
dan pengumpulan kompetensi keahlian bulan, sedangkan pengeluaran kesehatan
dan keberlanjutan program yang telah masyarakat (UKM) per kapita per tahun Rp
diinisiasi dan dikembangkan oleh inisiatif 88.194 atau Rp 7.349 per bulan.24
global (Atun, De Jongh, Secci, Ohiri, & Adeyi,
Mempertimbangkan strategisnya
2010). Oleh karena itu, secara ideal, upaya
integrasi pembiayaan HIV dan AIDS ke
integrasi ini pada dasarnya adalah untuk
dalam skema pembiayaan kesehatan
memperkuat kapasitas sistem kesehatan
nasional, maka menjadi penting untuk
agar mampu meningkatkan status kesehatan
mengkaji seberapa jauh pembiayaan
penduduknya secara keseluruhan.
program pencegahan penanggulangan HIV
Integrasi pembiayaan HIV dan AIDS dan AIDS telah menjadi bagian dari skema
merujuk pada proses untuk mendorong pembiayaan nasional baik di tingkat pusat
sistem pembiayaan kesehatan nasional maupun daerah. Tulisan ini pada dasarnya
agar memperhatikan sumber pendanaan dikembangkan untuk menganalisis secara
untuk HIV dan AIDS (collecting), umum struktur pembiayaan program
menentukan pengelompokan dana untuk pencegahan HIV dan AIDS, baik dalam
pembiayaan program AIDS (pooling), aspek collecting, pooling dan purchasing dari
dan mengembangkan mekanisme untuk layanan-layanan yang telah dikembangkan
membeli layanan (purchasing) HIV dan AIDS, selama ini. Analisis ini juga akan melihat
seperti halnya membeli layanan kesehatan lebih spesifik integrasi pembiayaan
lainnya (UNAIDS–World Bank Economics pencegahan HIV dan AIDS ini ke dalam
Reference Group: Technical Working Group skema pembiayaan kesehatan nasional 03
on Sustainable Financing, 2014). Secara dan mengidentifikasi berbagai faktor-faktor
normatif, pembiayaan kesehatan harusnya yang mungkin menjadi penghambat atau
merupakan pembiayaan yang memadai pendukung proses integrasi pembiayaan HIV
dan seimbang antara program promosi dan AIDS ke pembiayaan sistem kesehatan.
dan pencegahan dengan pengobatan. Di Untuk menganalisis struktur pembiayaan
Indonesia, ada kesenjangan cukup besar program penanggulangan HIV dan AIDS
antara pembiayaan pengobatan AIDS serta memahami tingkat integrasinya
dengan pencegahan seperti digambarkan dengan skema pembiayaan kesehatan
oleh National AIDS Spending Assessment nasional, maka dikembangkan sebuah
(NASA). Belanja untuk pengobatan di tingkat kerangka kerja yang akan memandu proses
pusat mencapai 79,41%, sementara belanja mengorganisasikan dan analisis atas data
untuk pencegahan hanya 9,89%. Situasinya yang telah dikumpulkan dalam penelitian-
berbeda pada tingkat daerah, belanja untuk penelitian PKMK sebelumnya seperti tampak
pencegahan mencapai 47,32% sedangkan di gambar 5.
belanja untuk pengobatan 10,13% pada
Kerangka konseptual ini dikembangkan
2012 (Nadjib et al., 2013). Jika dilihat dari
berdasarkan kerangka konsep pembiayaan
proporsi antara tahun 2011 dan tahun 2012
kesehatan oleh McIntyre dan Kutzin (2016)
belanja untuk HIV dan AIDS di pusat dan
dan UNAIDS (2014) yang mencakup tiga
daerah relatif tetap. Kecenderungan ini
komponen, yaitu collecting revenue, pooling
tidak berbeda dengan estimasi proporsi
pembiayaan pengobatan dan pencegahan 24) Indonesia National Health Accounts 2013: Initial Result
diakses dari : http://apacph2015.fkm.ui.ac.id/ppt/22%20
yang tampak dalam pembiayaan
October%202015/23.%20FP%20Health%20Policy%20
kesehatan nasional pada tahun 2012 yang B-Pangrango/4.%20Kurnia%20Sari.pdf.

91
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

Gambar 5. Kerangka Konseptual Pembiayaan Kesehatan/AIDS

Pembiayaan Pembiayaan Penyediaan


Kesehatan HIV & AIDS Layanan
Nasional

Pengumpulan Pengumpulan
Dana (Collecting Dana (Collecting Pencegahan
Revenue) Revenue)

Pengelompokan Pengelompokan
PDP
Dana (Pooling) Dana (Pooling)

Pembelian Pembelian
Layanan Layanan Mitigasi Dampak
(Purchasing) (Purchasing)

92
Ig n ati u s He rsu m p an a

reseources dan purchasing. Pertama, yang ada. Terintegrasi penuh jika sumber
pengumpulan dana (collecting revenue) pendanaan menggunakan mekanisme
didefinisikan sebagai pengumpulan dana yang sama, semisal dana bantuan luar
untuk tujuan pembiayaan kesehatan (HIV negeri masuk dalam APBN/APBD yang
dan AIDS) yang berasal dari berbagai jenis selanjutnya digunakan untuk pembiayaan
pajak yang menjadi sumber pendapatan kesehatan. Tidak terintegrasi apabila
pemerintah. Pajak pendapatan dan pajak mekanisme penarikan sumber pendanaan
lain yang diperuntukkan bagi pendanaan berjalan paralel di luar sistem keuangan
kesehatan khusus seperti iuran dari yang berlaku, bantuan luar negeri tidak
perusahaan dan rumah tangga; dan dana dimasukkan dalam APBN atau dikelola
donor luar seperti Global Fund (GF), U.S. langsung oleh pemberi dana secara terpisah.
President’s Emergencey Plan for AIDS Terintegrasi sebagian apabila ada koordinasi
Relief (PEPFAR), HIV Cooperation Program penarikan sumber dana antara pusat dan
for Indonesia (HCPI), dan Indonesian daerah atau dari donor tetapi masing-masing
Partnerhsip Fund for HIV (IPF). Kedua, berjalan dengan mekanismenya sendiri.
pengumpulan dana (pooling) merujuk pada
Sementara itu untuk pengelompokan
akumulasi pembiayaan yang diperoleh
dana (pooling) dinilai terintegrasi penuh
untuk mengkover biaya pra-bayar (pre-
apabila sesuai dengan mekanisme
paid) perawatan kesehatan (terkait HIV atau
pengelompokan pendanaan yang berasal
yang lain) pada populasi tertentu, mulai
dari publik, donor maupun privat lalu
dari pengelompokkan dana jenis terbatas
didistribusikan melalui sistem pelayanan
hingga biaya besar, maupun pengelompokan
kesehatan yang berlaku. Tidak terintegrasi
secara nasional yang mencakup manfaat
bila pengelompokan dan pendistribusiannya
kesehatan dalam lingkup yang luas. Ketiga, 03
untuk mengakses layanan HIV dan
pembelian layanan (purchasing) melibatkan
non HIV berjalan paralel. Sedangkan
berbagai mekanisme ketika pendanaan yang
terintegrasi sebagian jika skema cakupan
dikumpulkan dibayarkan untuk penyedia
pembagian dana di mana pembiayaan
fasilitas dan layanan kesehatan, mulai gaji,
pencegahan HIV dan AIDS secara resmi
pembayaran bebas jasa layanan untuk
melakukan perencanaan dan koordinasi
terapis dan perawat, harga yang tetap untuk
nasional dan penggelolaan dana terdapat
obat-obatan, sampai anggaran umum untuk
kerjasama antara donor dengan komisi
fasilitas kesehatan.
penanggulangan AIDS atau dinkes.
Sementara mekanisme untuk memahami Misalnya, pembiayaan publik membentuk
seberapa jauh tingkat integrasi pembiayaan pengalokasian dana yang luas untuk
HIV dan AIDS ke dalam skema pembiayaan pembiayaan layanan HIV dan AIDS sebagai
kesehatan nasional dilakukan dengan anggaran terpisah dari sistem kesehatan
melihat seberapa jauh proses pembiayaan umum dan dikelola secara vertikal untuk
dalam penanggulangan HIV dan AIDS ini pembelian alat dan layanan kesehatan
menjadi bagian dari proses pembiayaan yang dirancang donor.
kesehatan, baik di tingkat nasional maupun
Untuk pembelian layanan (purchasing)
daerah. Secara lebih rinci tingkat integrasi
dinilai dari bagaimana layanan HIV
dalam pengumpulan dana (revenue
tersebut disediakan oleh pemerintah
collection) untuk pencegahan HIV dan
sehingga bisa diakses oleh masyarakat
AIDS yang bersumber dari dana-dana yang
yang membutuhkannya. Terintegrasi penuh
sama dengan mekanisme pengelolaan
apabila terjadi pembelian layanan HIV dan
sumber pendanaan untuk kegiatan promotif
AIDS ke penyedia layanan yang merupakan
dan pencegahan pada sektor kesehatan

93
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

paket secara publik atau privat dari pembiayaan kesehatan, yaitu 1) informasi
pengalokasian pendanaan untuk kesehatan, dan data collecting revenue pembiayaan
yang meliputi cakupan luas melalui skema pencegahaan HIV dan AIDS untuk melihat
JKN, mekanisme pembelian lain seperti variasi asal-usul pendanaannya dan
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), tugas mekanismenya, 2) informasi dan data
pembantuan, maupun dekonsentrasi. Tidak pooling pembiayaan pencegahan untuk
terintegrasi apabila mekanisme pembelian mendapatkan gambaran pengalokasian
dan pembayaran layanan pencegahaan HIV akumulasi dana untuk disampaikan ke
dan AIDS khususnya WPS, LSL dan penasun penyedia layanan, dan 3) informasi dan data
menggunakan mekanisme pembayaran purchasing untuk mengetahui mekanisme
bersumber dari kantong sendiri (out of pembelian layanan pencegahan oleh sistem
pocket) atau layanan disediakan gratis kesehatan dan mekanisme pembayarannya
kepada mereka yang membutuhkan, tetapi oleh pemanfaat. Analisa data menggunakan
itu dibeli oleh MPI dengan mekanisme pendekatan deskriptif analitik untuk
yang berbeda dengan pemanfaatan menggambarkan struktur pembiayaan HIV
layanan kesehatan lainnya. Terintegrasi dan AIDS dan tingkat integrasinya dengan
sebagian apabila mekanisme pembelian skema pembiayaan kesehatan di tingkat
layanan kesehatan merupakan kombinasi daerah atau nasional. Oleh karena ada
antara pembelian dan pembayaran untuk keterbatasan data pembiayaan di beberapa
layanan kesehatan dengan skema JKN dan daerah maka digunakan data nasional
pembayaran sendiri atau dibeli oleh MPI. NASA 2011-2012 sebagai dasar untuk melihat
situasi pembiayaan di daerah secara umum.
Tulisan ini merupakan kajian lebih lanjut
dari hasil serangkaian penelitian integrasi
program penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam sistem kesehatan yang dilakukan oleh
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
(PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas
B.
Gadjah Mada.25 Data terkait dengan Pembiayaan Program
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS ini Pencegahan HIV & AIDS
berdasarkan data primer yang berasal dari
enam kabupaten yang mengembangkan Pada dasarnya, program pencegahan HIV
pembiayaan program pencegahan untuk dan AIDS di Indonesia selama ini me­nar­get­
PMTS WPS di tiga kabupaten (Medan, kan kelompok populasi kunci yang men­ca­
Kupang dan Merauke), pembiayaan program kup pekerja seks, LSL, waria, laki-laki yang
PMTS LSL di dua kabupaten (Surabaya dan menjadi klien pekerja seks, dan penasun.
Bali), dan pembiayaan program LASS (DKI Kelompok populasi kunci ini dijangkau
Jakarta). Data sekunder menggunakan melalui program PMTS dan pe­ngurangan
data NASA (2011-2012) tentang pembiayaan dampak buruk penggunaan nar­koba (e.g.
pencegahan dan STPB tahun 2007 dan 2011 LASS, PTRM, dan rehabilitasi NAPZA).
mengenai prevalensi HIV. Data yang ada Intervensi program pencegahan pada
disusun dalam bentuk matrik berdasarkan populasi kunci tersebut di atas meliputi be­
fokus kajian ini yang mencakup tiga aspek be­rapa kegiatan pokok, seperti (1) kegiatan
25) (1) Kajian dokumen Kebijakan HIV-AIDS Indonesia penjangkauan yang dilakukan oleh tenaga
dan Sistem Kesehatan di Indonesia 2) Integrasi Upaya penjangkau umumnya dari LSM karena
Penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan, 3)
ke­lom­­pok populasi kunci membutuhkan
Hubungan Integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke
dalam sistem kesehatan dan kontribusinya terhadap strategi tersendiri; (2) kegiatan sosialisasi dan
efektivitas kinerja layanan.

94
Ig n ati u s He rsu m p an a

edu­­kasi terkait peningkatan pengetahuan (purchasing) layanan yang dilakukan oleh


HIV dan AIDS; (3) pendampingan dan aktor utama penyedia layanan maupun
konse­­ling untuk melakukan tes KTS; (4) pemanfaat.
pen­distribusian kondom, pelicin, dan
LASS; dan (5) pendampingan untuk proses
mengakses obat bagi yang terdeteksi positif 1. Pengumpulan Dana (Collecting
HIV. Implementasi program pencegahan Revenue)
ini dikoordinasikan oleh KPA sebagai
Sumber pembiayaan HIV dan AIDS di­
penang­gung jawab penanggulangan HIV
kumpulkan dari berbagai sumber yang
dan AIDS di tingkat nasional dan KPAD
berasal dari APBN/APBD dan donor.
di tingkat daerah. Pembiayaan pence­
Sum­ber pembiayaan dari lembaga donor
gah­an untuk program PMTS WPS, LSL,
internasional merupakan pembiayaan
waria, dan Lelaki Berisiko Tinggi (LBT),
bersifat multilateral seperti Global Fund
seperti disebutkan dalam Pedoman PMTS
(GF) dan PBB serta lembaga bilateral
Paripurna, bersumber dari APBN, APBD,
seperti DFAT, USAID dan pemerintah
dan donor. Keterlibatan pendanaan untuk
Belanda.
sektor swasta menargetkan para pekerja
sektor swasta dengan pembiayaan dari GF merupakan kontributor utama
CSR perusahaan untuk pencegahan HIV program penanggulangan HIV dan
yang diintegrasikan dengan Keamanan AIDS, yaitu dengan proporsi pendanaan
dan Keselamatan Kerja (K3). Demikian juga sebesar 49.57% dari total yang
sek­tor komunitas dapat mengembangkan bersumber dari lembaga multilateral
pembiayaan bersumber dari APBN, APBD maupun bilateral. Sementara sumber
dan donor untuk pengembangan lingkungan pendanaan dari pemerintah untuk
03
kondusif melalui pemberdayaan masyarakat. HIV dan AIDS mencapai 42.36% pada
Hal ini untuk memastikan keberlanjutan tahun 2012.27 Dari total pembiayaan
program pencegahan HIV pasca 2014 yang untuk penanggulangan HIV dan AIDS,
menargetkan pembiayaan program 70% proporsi pembiayaan pencegahan
bersumber dari pendanaan dalam negeri. dilihat berdasarkan sumber, yaitu 71%
Kelompok populasi kunci diharapkan berasal dari donor luar negeri dan 29%
memiliki kapasitas secara mandiri untuk bersumber dari pemerintah.28 Data
mencapai dan mempertahankan status tersebut menunjukkan pembiayaan
kesehatannya.26 pencegahan secara nasional memang
masih tergantung pada donor. Sebagai
Analisis tentang struktur pembiayaan
gambaran adalah kecenderungan
intervensi pencegahan ini bertujuan untuk
meningkatnya alokasi daerah untuk
menggambarkan variasi alur dan mekanisme
pencegahan HIV dan AIDS dari kontribusi
jalannya pembiayaan pencegahan pada
dana dari APBD (lihat tabel 2). Meskipun
tingkat nasional dan daerah yang berbasis
jika dilihat dari total jumlah kontribusinya
pada kerangka fungsi pembiayaan sistem
memang masih relatif kecil alokasinya
kesehatan yang meliputi tiga aspek pokok,
dari anggaran total AIDS tahun 2012
yaitu aspek penarikan dana (collecting
sebesar 87 juta dolar, kontribusi daerah
revenue) dari berbagai sumber; mekanisme
alokasi dan pembagian (pooling) pendanaan
ke penyedia layanan pencegahan dan 27) Mardiati Nadjib, Amila Megraini, Luluk Ishardini,
Lusi Rosalina. Final Report National AIDS spending
mekanisme pembelian; dan pembayaran
Assessment 2011-2012. UNAIDS, NAC and MOH Of
26) KPAN, (2010) Strategi Rencana Aksi Nasional Indonesia.
Penanggulangan HIV dan AIDS 2010 – 2014. 28) Ibid.

95
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

Gambar 6. Proporsi Kontribusi Pemerintah untuk Pencegahan*

47,32%
41,26%

12,54%
9,89%

Pusat Daerah Pusat Daerah

Sumber: NASA 2011-2012

*) Proporsi kontribusi pemerintah daerah ini dilihat dari peningkatan pengeluaran AIDS berdasarkan kategori dan sumber pendanaannya.
Perlu dicatat bahwa angka 47% kontribusi daerah untuk pencegahan diperoleh dari total kontribusi daerah sejumlah 8,7 juta dollar pada 2012.
Sedangkan proporsi 9,9% kontribusi pusat dari total kontribusi untuk penanggulangan tahun 2012 senilai 28,2 juta dollar.

mencapai 8,7 juta US (7,5 %).29 AIDS yang digambarkan pada grafik
di atas. Sehingga gambaran anggaran
Sumber pendanaan untuk
pencegahan HIV dan AIDS untuk
pencegahan HIV dan AIDS di sebagian
beberapa daerah didapat seperti tertera
daerah yang menjadi fokus studi ini
pada tabel 7.
diperoleh dari total anggaran HIV
dan AIDS yang dibagi menggunakan Pada tingkat daerah, sumber
asumsi dari rerata proporsi kontribusi pendanaan untuk pembiayaan
daerah untuk pembelanjaan upaya pencegahan untuk PMTS-WPS dapat
pencegahan, seperti disebutkan dalam dibedakan menjadi tiga variasi, yaitu
laporan NASA 2011-2012 yaitu sebesar daerah-daerah yang masih mendapatkan
44% (nilai rerata 41.26%-47.32%) dari dukungan pembiayaan dari GF, daerah
total dana penanggulangan HIV dan yang tidak mendapatkan dukungan
pembiayaan dari GF, dan kombinasi
29) Ibid.

96
Ig n ati u s He rsu m p an a

antara dana donor dengan pemda. telah berkomitmen menganggarkan


pembiayaan kegiatan pencegahan
Pertama, pengumpulan dana un­
untuk kader muda yang menjangkau
tuk program PMTS di Kupang dan
penasun dari sumber APBD dengan
Medan tidak berasal dari APBD karena
mengupayakan pendanaan secara man­
ma­sih menjadi bagian daerah yang
diri terkait program Harm Reduction.30
mendapatkan dukungan GF. Sumber
Sumber pembiayaan tidak terintegrasi
pembiayaan PMTS-WPS secara khusus
karena pemda (melalui puskesmas)
difung­sikan untuk paket program khu­sus
hanya menjadi pelaksana program
pencegahan HIV dan IMS yang dia­lo­ka­
donor. Demikian juga dalam mekanisme
si­kan secara terpisah dengan sumber
pelaporan, puskesmas sebagai mitra
pembiayaan untuk sistem kesehatan
donor memberikan laporan cakupan
lain. Hal yang sama pada program LSL
secara langsung ke donor, walaupun
di Surabaya dan Bali, yang sumber
mekanisme laporan LASS sudah
pendanaannya berasal dari GF, sehingga
memanfaatkan sistem SIHA untuk
pembiayaan dari APBD tidak tersedia.
mekanisme laporan ke dinkes. Meskipun
Kedua, sumber pendanaan PMTS demikian, ada komitmen keberlanjutan
di Kabupaten Merauke berasal dari pembiayaan program LASS untuk
APBD setelah GF mundur dari Papua penasun dengan mekanisme pendanaan
pada akhir 2013. Menurut hasil analisis mandiri di DKI Jakarta ke depan.
struktur pembiayaan APBD tahun 2014
di Merauke, besaran pendanaan untuk
PMTS masuk dalam bagian nomenklatur 2. Pengelompokan pendanaan (Pooling
dari pembiayaan pencegahan dan Resources) 03
penanggulangan penyakit menular
Pooling resources merupakan upaya
(termasuk HIV dan AIDS) mencapai 2,47%
pengelompokan pendanaan lebih lanjut
di luar belanja langsung dari total alokasi
dari hasil pengalokasian dana untuk
pembiayaan untuk sektor kesehatan
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS.
yaitu sebesar 12,73%.
Ada beberapa pola pengelompokan
Ketiga, sumber pendanaan LASS dana yang diperoleh dari sumber APBN,
di DKI Jakarta dilakukan melalui APBD, dan donor.
mekanisme sumber pendanaan dari
Pengelompokan dana pencegahan
donor (HCPI) dan dikombinasikan
HIV yang bersumber dari APBN
sebagian kecil dengan dana pemda
disalurkan melalui kementerian dan
melalui puskesmas. Sebagian besar
lembaga yang menjadi anggota KPA
pembiayaan untuk program LASS
Nasional. Kegiatan pencegahan ini
berupa penyediaan alat suntik steril,
biasanya dilakukan melalui sosialisasi
sepenuhnya masih mengandalkan
tentang penularan HIV di lingkungan
pendanaan dari dukungan pihak luar.
kerja masing-masing kementerian atau
Akan tetapi, pelaksanaan program
lembaga.31 Sementara itu, kegiatan
LASS telah memanfaatkan sistem
pencegahan bagi populasi kunci
kesehatan yang berlaku. Mekanisme
sumber dana program tersebut terpisah 30) Surat Edaran Dinas Kesehatan DKI Jakarta Nomor
sama sekali dengan sumber-sumber 3384/1.778/2009.
pembiayaan sektor kesehatan yang 31) Sebagai gambaran tentang besaran pembelanjaan
berasal dari pemerintah. Meskipun masing-masing kementerian atau lembaga negara dalam
penanggulangan AIDS bisa dilihat pada laporan NASA
demikian, pemerintah DKI Jakarta 2011-2012

97
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

Tabel 7. Alokasi Dana Pencegahan HIV & AIDS

Medan Jakarta Merauke

Total Dana AIDS 6.785.000.000 Total Dana AIDS 15.100.000.000 Total Dana AIDS 4.620.000.000

Anggaran Anggaran Anggaran


2.985.400.000 6.644.000.000 2.032.800.000
Pencegahan Pencegahan Pencegahan

Surabaya Denpasar Kupang

Total Dana AIDS 5.188.343.691 Total Dana AIDS 1.604.228.100 Total Dana AIDS 800.375.000

Anggaran Anggaran Anggaran


2.282.871.224 705.860.364 352.165.000
Pencegahan Pencegahan Pencegahan

Sumber: APBD DKI (2012); APBD Kupang, Merauke, Medan, Surabaya, Denpasar (2014)

lebih banyak didukung oleh dana dari pada tahun 2012 adalah sebesar 23,7
mitra pembangunan internasional juta dolar untuk pembiayaan bagi
yang disalurkan melalui kontraktor populasi kunci (WPS, LSL dan penasun).32
atau principal recipient-nya yang juga
Pada tingkat daerah, sesuai
bisa berasal dari kementerian atau
dengan variasi sumber pendanaannya
lembaga negara dengan alokasi untuk
maka dana yang berasal dari mitra
program-program pencegahan yang
pembangunan internasional untuk
spesifik. Adapun jumlah total dana yang
dibelanjakan oleh para principal recipient
32) Ibid.

98
Ig n ati u s He rsu m p an a

kegiatan pencegahan bagi populasi pencegahan di kabupaten tersebut.34


tertentu dialokasikan dan didistribusikan
Variasi yang berbeda bisa dilihat
melalui mekanisme yang dibangun
pada mekanisme pooling dana
oleh lembaga donor tersebut. Misalnya
untuk program LASS di DKI Jakarta,
GF mengembangkan mekanisme
mekanisme yang lebih banyak ditujukan
pendanaannya dengan membentuk SR
untuk kegiatan penjangkauan dan
(sub-recipient) pada tingkat provinsi atau
pendampingan penasun oleh LSM.
wilayah tertentu sebagai perpanjangan
Sementara itu, pengadaan alat suntik
tangan dari PR yang berasal dari KPA
steril dilakukan oleh kontraktor (HCPI)
Nasional, PKBI, atau NU. Sementara
yang disalurkan ke puskesmas untuk
di tingkat kabupaten/kota dibentuk
didistribusikan oleh LSM dalam kegiatan
sub-subrecipient (SSR) dan di tingkat
penjangkauan dan pendampingan.
lapangan pendanaan dialokasikan untuk
Alokasi dana program LASS tahun 2011
Implementing Unit (IU) yang bekerja untuk
yang bersumber dari HCPI mencapai Rp
populasi-populasi tertentu.
2,295,437,508, yang digunakan untuk
Gambaran ini bisa dilihat di Kupang penjangkauan dan pendampingan
dan Medan dengan sumber pendanaan sebesar Rp 1,968,875,644 (86%) dan dana
untuk PMTS dan LSL berasal dari GF. pendampingan yang dikelola oleh KPAP
Sebaliknya variasi lain bisa dilihat dari mencapai Rp 326,561,864 (14%).35
Kabupaten Merauke yang sumber dana
untuk PMTS berasal dari APBD. Pemda
memiliki keleluasaan mengembangkan 3. Pembelian layanan (purchasing)
unit pelaksana teknis di tingkat kabu­pa­
Kegiatan pencegahan HIV dan AIDS
ten dengan Pusat Kesehatan Reproduksi 03
pada populasi kunci belum mendapatkan
(PKR). Peran PKR berbeda dengan KPA
porsi pembiayaan dari skema JKN.
karena menjadi bagian dari dinkes.
Ini dikarenakan sifatnya yang berupa
PKR menjadi pengepul dan menerima
program sehingga sepenuhnya masih
anggaran dari APBD untuk melaksanakan
didanai oleh donor dan sebagian dari
program PMTS (IMS/HIV). Setiap tahun,
pemerintah. Oleh karena itu, layanan
PKR mendapat anggaran sesuai
pencegahan HIV dan AIDS (akses
dengan perencanaan yang dibuatnya
kondom, pelicin, jarum suntik steril)
sendiri. Tahun 2014, PKR mengelola
disediakan gratis oleh program, sama
Rp 410.000.000 untuk pencegahan
halnya dengan untuk penapisan dan
penularan penyakit menular seksual
pengobatan IMS dan tes HIV.
yang merupakan alokasi dana dari Dinas
Kesehatan Merauke.33 Dana dari APBD Sebagai gambaran, pembelian
Kabupaten Merauke, selain dialokasikan kondom di tingkat nasional oleh KPAN
untuk kegiatan PMTS yang dilakukan dan BKKBN pada tahun 2011 masing-
oleh unit pelayanan teknis daerah, juga masing sebesar Rp 15,411,225 dan Rp
dialokasikan bagi LSM atau sanggar 20,299,248,-. Kondom ini dibagikan
komunitas, bahkan satu LSM (Yasanto) secara gratis.36 Secara khusus, meskipun
bisa memperoleh pendanaan APBD sumber dana PMTS pada WPS di
hingga Rp 1,2 miliar untuk satu tahun
anggaran untuk melaksanakan kegiatan 34) Wawancara mendalamYasanto, Tim Peneliti Uncen,
Juli 2015.
35) KPAP DKI Jakarta (2013) Evaluasi Penanggulangan
HIV dan AIDS di Jakarta 2008-2012.
33) Dokumen APBD Kabupaten Merauke, 2014. 36) KPA Nasional, Laporan NASA 2011-2012.

99
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

Merauke berasal dari APBD, tetapi di DKI yang belum masuk dalam skema
mekanisme penyediaan layanannya jaminan kesehatan nasional. Layanan ini
tetap menggunakan mekanisme sepenuhnya ditanggung pembayarannya
program di mana populasi kunci yang oleh donor (MPI), meliputi pembelian
mengakses layanan pencegahan HIV jarum suntik steril untuk penasun. Semua
dijamin oleh pemda secara gratis dan alat pencegahan LASS diberikan gratis
tidak menggunakan mekanisme JKN atau dan disalurkan melalui puskesmas-
Kartu Papua Sehat (KPS). Situasi yang puskesmas yang memiliki layanan
sama juga bisa dilihat dari program LASS alat suntik steril. Pembelanjaan untuk

Tabel 8. Pembelanjaan LASS

Program HR untuk Penasun DKI Jakarta 559,401,000

Dana Pendampingan ( KPAP) 156,094,000

Program penguatan Puskesmas (STIGMA) 542,291,404

Dana Pendampingan dengan mitra lain 82,487,864

Program lanjut HR di Jakarta Timur 275,181,160

Dana Pendampingan mitra 29,600,000

Dana Pencegahan dan Penanggulangan NAPZA di JakSel 307,572,600

Dana Program Intervensi HR-HIV di Jakbar 284,429,480

Dana Pendampingan Mitra 58,380,000

Total pembelanjaan LASS 2,295,437,508

Sumber: KPAP DKI Jakarta (2013)

100
Ig n ati u s He rsu m p an a

penyediaan LASS yang didukung oleh pendanaan untuk disalurkan ke service


HCPI pada tahun 2011 bisa dilihat pada provider, seperti puskesmas dalam
tabel 8. pengelolaan kapitasi untuk pembiayaan

C.
pencegahan, masih kurang terintegrasi.
Dengan alasan terbentur pengaturan
teknis anggaran, pengelola dana tingkat
Integrasi Pembiayaan Program puskesmas tidak berani mengambil
Pencegahan HIV & AIDS ke langkah untuk mengembangkan ruang bagi
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS.
dalam Skema Pembiayaan
Sehingga pengelolaan dana untuk kapitasi
Kesehatan bagi pencegahan tidak bisa mendukung
pengadaan alat-alat pencegahan, seperti
Skema alur fungsi komponen sistem pembia­
kondom, pelicin dan jarum suntik. Hal ini
yaan HIV dan AIDS, berikut meng­gambarkan
dipengaruhi juga oleh karakter program
hasil analisis mekanisme interaksi antar
pencegahan HIV dan AIDS untuk populasi
kom­ponen utama dari analisis tingkat inte­
kunci yang sepenuhnya ditanggung oleh
gra­sinya, secara ringkas dapat dilihat dalam
pusat dengan pembiayaan dari MPI.
gambar 7.
Pembuat kebijakan merasa sudah terpenuhi
Pada dasarnya, analisis tentang oleh dukungan MPI. Akibat lanjutannya
integrasi pembiayaan pencegahan HIV adalah mekanisme pembelian layanan yang
dan AIDS ke dalam skema pembiayaan dilakukan oleh donor tidak sesuai dengan
kesehatan diarahkan untuk menilai seberapa mekanisme pembiayaan melalui JKN, seperti
jauh sumber daya, pengalokasian, dan halnya layanan kesehatan pada tingkat
penyediaan layanan dalam program primer lainnya. 03
pencegahan HIV dan AIDS menjadi bagian
Beberapa pertimbangan yang bisa
yang tidak terpisahkan dari upaya kesehatan
digunakan sebagai dasar untuk menilai
pada umumnya. Berdasarkan aspek-aspek
tidak terintegrasinya program pencegahan
pembiayaan kesehatan seperti digambarkan
ini ke dalam pembiayaan kesehatan, baik di
di atas, secara ringkas bisa disimpulkan
tingkat nasional maupun daerah, antara lain:
bahwa pembiayaan pencegahan HIV
dan AIDS pada populasi kunci kurang a. Tidak adanya tata kelola dan koordinasi
terintegrasi ke dalam upaya kesehatan dari pemerintah pusat maupun daerah
pada umumnya. Simpulan tersebut atas sumber-sumber dana yang
menggambarkan adanya dua varian utama digunakan untuk membiayai program
dari tiga aspek pembiayaan pencegahan pencegahan HIV dan AIDS.
pada tiga program pencegahan PMTS WPS, Gambaran tentang sumber dana program
PMTS LSL dan LASS. Kurang terintegrasinya pencegahan HIV dan AIDS berasal
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS dari banyak sumber, baik dari donor,
pada pengumpulan sumber dana di daerah pemerintah pusat, maupun pemda.
dipengaruhi oleh lemahnya kapasitas Tetapi sejauh ini, dana tersebut dikelola
teknis dalam menerjemahkan kebutuhan langsung secara mandiri oleh lembaga-
bagi kelompok yang sulit dijangkau lembaga yang memiliki akses ke sumber
pada kelompok populasi kunci karena daya tersebut dan pengalokasiannya
keterbatasan bukti dalam mengembangkan tergantung dari kepentingan dan
perencanaan strategis. komitmen dari masing-masing sumber
Demikian pula pada pengelompokan dana tersebut.
dan pengalokasian akumulasi sumber

101
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

Gambar 7. Skema Pembiayaan Program Pencegahan HIV &


AIDS

APBN Donor

Fasilitas
Kementrian
Lain
Kemkes KPA Kesehatan
Puskesmas

LSM

Pencegahan

SKPD/
APBD UPT
dll

Sumber Dana Pengelola Dana Puchasing

Pada tingkat nasional, sinkronisasi sebagai leading sector penanggulangan


atau koordinasi yang seharusnya HIV dan AIDS yang cenderung berfokus
dilakukan oleh KPAN untuk pendanaan pada pengelolaan dana APBN untuk
secara nasional tidak terjadi, karena perawatan (pengadaan ARV) dan
lembaga tersebut memperoleh dana pengelolaan dana donor untuk program
dari donor, sehingga lebih berperan PDP. Upaya mengadvokasi ke Bappenas,
sebagai pelaksana daripada koordinator kementerian keuangan, dan kementerian
penanggulangan HIV dan AIDS di dalam negeri untuk memperbesar akses
Indonesia. Demikian pula Kemenkes memperoleh sumber-sumber pendanaan

102
Ig n ati u s He rsu m p an a

yang bersumber dari dalam negeri (APBN kesehatan yang kompleks dan
dan APBD) cenderung kurang terlihat penanganannya membutuhkan banyak
karena KPAN atau Kemenkes melihat pemain, sehingga upaya ini memerlukan
masih ada jaminan dari donor, paling koordinasi dan pembiayaan yang
tidak sampai tahun 2017. mahal. Kompleksitas respons HIV dan
AIDS, selain meliputi aspek medis,
Di tingkat daerah, fungsi koordinasi
juga membutuhkan penanganan dari
dan sinkronisasi juga tidak bisa
aspek sosial dan kultural. Kepentingan
berjalan dengan benar karena program
politik dan situasi kapasitas fiskal
yang terlaksana di wilayah-wilayah,
daerah memengaruhi pemda menjadi
pada dasarnya, merupakan program
pragmatis. Pemda terkesan memberikan
nasional yang dikelola secara nasional.
perhatian sekadarnya untuk memenuhi
Peran KPAD dan dinkes lebih sebagai
kewajiban formal sebagai kebijakan
pelaksana teknis dari KPAN dan
yang didorong oleh pusat. Akibatnya,
Kemenkes daripada sebagai penanggung
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS
jawab penanggulangan HIV dan AIDS
dari pemprov dan kabupaten/kota masih
dan kesehatan di tingkat daerah.
sangat terbatas jika dibanding dengan
Program yang dijalankan kedua lembaga
besaran untuk alokasi pembiayaan
di tingkat daerah ini merupakan bagian
pengobatan secara umum. Ini merupakan
pembiayaan program pencegahan di
konsekuensi masih lemahnya komitmen
tingkat nasional. Kontribusi daerah pada
politik untuk memberikan alokasi dana
dasarnya sangat minim. Ini disebabkan
yang memadai untuk upaya pencegahan
tidak ada alasan yang kuat untuk
HIV pada lembaga-lembaga yang
menggali sumber-sumber pendanaan di
menjadi anggota KPA yang memiliki 03
tingkat daerah karena program sudah
mandat melakukan pendidikan dan
ditentukan di tingkat nasional, termasuk
kampanye penanggulangan HIV dan
alokasi untuk hal-hal yang bersifat teknis.
AIDS pada SKPD atau lembaga di luar
Meski sudah ada perda penanggulangan
dinkes. Akibatnya di beberapa daerah,
HIV dan AIDS di beberapa wilayah yang
rencana pembiayaan untuk HIV dan
seharusnya bisa menjadi dasar hukum
AIDS yang diusulkan dari multisektor
bagi penggalian dana lokal, dalam
non kesehatan, tidak mendapatkan
kenyataannya, belum ditindaklanjuti
alokasi anggaran dari Bappeda, seperti
dengan advokasi yang kuat oleh
di Kota Kupang dan Medan. Hal ini
KPAD dan dinkes untuk memperoleh
mencerminkan adanya kecenderungan
pendanaan dari pemda. Situasi ini
pengintegrasian pembiayaan program
semakin sulit dilakukan jika pimpinan
HIV dan AIDS di berbagai SKPD tidak
daerah kurang memiliki komitmen
optimal dengan posisi tawar yang
terhadap permasalahan HIV dan AIDS di
lemah. Di beberapa daerah, pembiayaan
wilayahnya. Kebijakan terkait ini masih
penanggulangan HIV dan AIDS juga
di atas kertas, kecuali di Kabupaten
mengalami permasalahan serupa.
Merauke yang telah memiliki komitmen
Fokus pembiayaan pencegahan HIV
untuk membiayai pencegahan melalui
dan AIDS dialokasikan pada SKPD yang
APBDnya.
dianggap menjadi tupoksinya memberi
b. Kegiatan pencegahan HIV dan AIDS layanan kesehatan. KPA, sebagai
pada populasi kunci belum dialokasikan lembaga multisektor yang dibentuk
pada mata anggaran pemerintah dengan regulasi Peraturan Presiden dan
Permendagri, hanya di atas kertas, tanpa
HIV dan AIDS sebagai masalah

103
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

didukung dengan pendanaan untuk ini berbeda dengan layanan kesehatan


infrastruktur pendukungnya (KPAN, 2014). lain. Saat ini, pengakses layanan
perlu membayar, baik melalui jaminan
Kurang terintegrasinya pembiayaan
kesehatan nasional atau jika tidak
pencegahan pada pengumpulan
memiliki maka perlu membayar
sumber dana di daerah dipengaruhi
secara out of pocket. Layanan dalam
oleh lemahnya kapasitas teknis
pencegahan HIV dan AIDS ini juga
dalam menerjemahkan kebutuhan
berbeda secara substantif dengan
untuk kelompok populasi kunci
layanan kesehatan lainnya karena
lantaran keterbatasan bukti untuk
mekanisme pembiayaan yang berbeda.
mengembangkan perencanaan
Selama ini, layanan kesehatan hanya
strategis dan pengembangan sumber-
disediakan oleh fasyankes, tetapi
sumber pendanaan secara kreatif.
pencegahan HIV dan AIDS melibatkan
Hal yang sama juga disebabkan tidak
LSM sebagai penyedia layanan karena
adanya keberanian dan inisiatif dari
mereka telah dikontrak oleh donor.
pelaksana di layanan kesehatan primer
Dengan kata lain, program ini belum bisa
mengalokasikan sumber pembiayaan
masuk dalam skema kapitasi pendanaan
dari dana kapitasi JKN untuk pencegahan
JKN untuk fasilitas kesehatan tingkat
HIV dan AIDS, dengan alasan ketiadaan
pertama (FKTP) atau puskesmas. Pada
prosedur dan petunjuk teknisnya.
sisi yang lain, pendanaan JKN juga
c. Akses gratis untuk memperoleh layanan belum memungkinkan untuk mendukung
pencegahan HIV dan AIDS kegiatan promotif dan preventif yang
dilakukan oleh LSM atau organisasi
Kegawatdaruratan penanggulangan
berbasis komunitas lainnya yang selama
HIV dan AIDS memerlukan pencegahan
ini didukung lembaga donor.
penularan HIV sedini mungkin, dengan
pendekatan yang bersifat multisektor Sementara itu, pembiayaan pence­
dan pembiayaan dari berbagai sumber, gah­an HIV dan AIDS yang telah ter­in­
termasuk memanfaatkan sumber-sumber te­grasi seperti ditunjukkan oleh Ka­
dana yang disediakan oleh negara donor bu­paten Merauke, membuka ruang
(IASC, 2003).37 Oleh karena bersifat untuk pengembangan perencanaan
program nasional yang didanai donor, pem­biayaan yang lebih leluasa sesu­ai
maka penyediaan layanan pencegahan dengan situasi epidemi dan kebu­tuh­
dirancang melalui berbagai aktivitas annya. Pembiayaan pencegahan IMS
lapangan LSM atau fasyankes yang telah dianggarkan melalui mekanisme pe­
ditetapkan untuk memberikan pelayanan ren­­canaan melalui RKA yang disusun
kepada populasi kunci pada khususnya. PKR untuk mendapatkan pembiayaan
Untuk mendapat layanan ini, orang yang bersumber dari APBD. Hal ini
pengakses layanan ini tidak dibebani me­­rupakan wujud komitmen daerah
biaya atau memperolehnya secara gratis, da­lam pembiayaan pencegahan HIV
karena telah dibeli oleh lembaga donor dan AIDS yang terintegrasi. Dengan
dari LSM atau fasyankes yang menjadi ada­­nya sinkronisasi pada tingkat pe­
mitra kerjanya. nyedia layanan (service delivery) se­cara
horizontal, memungkinkan pe­ngu­
Pola penyediaan layanan seperti
atan-penguatan strategis me­ka­nis­me
37) Inter-Agency Standing Committee (IASC), Guidelines fo pembiayaan pencegahan un­tuk ke­ber­
HIV dan AIDS interventions in emergency Setting. http://
lan­jutan layanan di masa men­da­tang.
www.who.int/hac/network/interagency/IASC_Guidlines_
HIV_AIDS_in_Emergency_Settings.pdf?ua=1

104
Ig n ati u s He rsu m p an a

Meski ada kekhususan di Kabupaten pencegahan menjadi sulit karena


Merauke, kurang terintegrasinya kontribusi pemerintah pusat maupun
pembiayaan pencegahan HIV dan daerah menjadi minim. Ini misalnya bisa
AIDS secara umum ke dalam skema dilihat pada program PMTS dan LASS,
pem­biayaan kesehatan di tingkat yang semuanya didukung oleh dana
nasio­nal maupun daerah, pada dasar­ internasional. Ketika program dari suatu
nya, mencerminkan lemahnya dialog donor berakhir, keberlanjutan program
antara para pembuat kebijakan pada menjadi terancam. Sebagai contoh lebih
penang­gulangan HIV dan AIDS pa­da lanjut, program LASS di DKI dengan
satu sisi, dengan para pembuat ke­bi­ donor HCPI telah berakhir pada akhir
jak­an kesehatan pada sisi yang lain. tahun 2015. Menjadi penting bagi DKI
Mekanisme komunikasi dan dia­log Jakarta yang memiliki anggaran cukup
yang bisa dilakukan adalah de­ngan besar dalam upaya penanggulangan
pe­ningkatan sensitisasi kepada pa­ra HIV dan AIDS untuk memastikan
pengambil kebijakan terkait pe­nang­ program LASS tetap berjalan. Hal ini
gulangan HIV dan AIDS. Dengan de­mi­ juga berlaku bagi daerah yang memiliki
kian, advokasi yang lemah tentang pen­ populasi penasun tinggi, bahwa inisiasi
tingnya integrasi pembiayaan pro­gram pembiayaan lokal untuk pengurangan
pencegahan ke dalam pembiayaan kese­ dampak buruk pada kelompok penasun
hatan bisa dijembatani. Hal ini se­­ka­ligus menjadi penting.
mengingatkan bahwa upaya peng­in­te­
b. Peran kunci LSM dalam program
grasian memiliki sebuah konteks politik
pencegahan HIV dan AIDS yang kurang
yang bersifat dinamis. Di wilayah tersebut
diperhatikan
berdiam para pemain (aktor) dengan 03
kekuasaan dan kepentingan berbeda, Secara fungsional, lembaga yang
yang pada akhirnya, terwujud dalam mampu melakukan pendekatan kepada
bentuk komitmen politik, persepsi dan kelompok populasi kunci adalah LSM.
pengetahuan tentang dampak eko­nomi, Akan tetapi kalangan ini membutuhkan
pengembangan regulasi, dan penentuan dukungan infrastruktur dan operasional
prioritas permasalahan kese­hatan untuk berupa pendanaan untuk program
pembiayaan yang terintegrasi. maupun penggajian SDM. Belum
ada kebijakan pengadaan jasa yang
Beberapa faktor penghambat integrasi
berupa tenaga dan keahlian sehingga
program pencegahan HIV dan AIDS ke
dinkes, puskesmas BLUD belum dapat
dalam skema pembiayaan kesehatan secara
melakukan pembelian tenaga non
umum sebagai berikut:
kesehatan yang memenuhi persyaratan
a. Pencegahan HIV dan AIDS sebagai dan kualitas untuk melakukan pekerjaan
domain utama mitra pembangunan yang sulit dilakukan oleh tenaga
internasional (MPI) kesehatan umum.
Peran MPI dalam pembiayaan c. Kurang kuatnya petunjuk teknis
program pencegahan HIV dan AIDS penganggaran HIV dan AIDS di tingkat
sangat dominan, yang hampir seluruh daerah
pembiayaan pencegahan pada populasi
Pada tataran teknis, sistem keuangan
kunci didukung sepenuhnya oleh
negara untuk pelaksanaan desentralisasi
berbagai lembaga internasional. Dampak
fungsional pada tingkat daerah yang
negatif dari peran yang dominan ini
tidak disertai dengan kewenangan untuk
adalah integrasi pembiayaan program

105
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

mengambil keputusan terkait keuangan, Tantangan yang cukup serius dalam


menjadi salah satu faktor penghambat upaya pengintegrasian pembiayaan
integrasi pembiayaan pencegahan HIV pen­cegahan HIV dan AIDS dengan
dan AIDS ke sistem kesehatan. Akibat­ sis­tem kesehatan umum adalah masih
nya, pembiayaan pencegahan HIV terdapat kebijakan-kebijakan yang
dan AIDS di tingkat daerah mengalami menghambat akses layanan kesehatan
ken­dala internal untuk mendapatkan kepada kelom­pok populasi kunci dan
alokasi melalui mekanisme lokal lewat ODHA. Contohnya ada kebijakan pe­
APBD. Kendala ini, khususnya terletak merin­tah pusat untuk penutupan lo­kal­
pa­da kapasitas pelaksana tugas/unit isa­si di seluruh Indonesia hingga 2019
ter­kait yang tidak mempunyai kapabilitas yang berdampak pada program yang
da­lam perencanaan berbasis bukti yang dikembangkan untuk populasi kunci
menjadi landasan rasional untuk men­ seperti PMTS. Kebijakan ini, secara lang­
da­patkan pembiayaan. Di samping itu, sung, juga memiliki konsekuensi logis
as­pek kebijakan HIV dan AIDS belum ma­ ter­hadap pembiayaan PMTS ka­re­­na
suk dalam nomenklatur sebagai bagian tidak memiliki dukungan politik. Ke­bi­
dari kesehatan yang dapat dibiayai. jakan diskriminatif ini menye­bab­kan
in­ter­vensi program yang dikembangkan
d. Tidak tersedianya data strategis di
se­belumnya melalui berbagai bentuk
tingkat daerah yang mengakibatkan
(e.g. pengurangan terhadap stigma
lemahnya kapasitas dalam
dan diskriminasi) tidak bisa berjalan.
perencanaan berbasis data
Hal ini akan menjadi aral utama dalam
Kapasitas melakukan perencanaan pro­ses integrasi pembiayaan layanan
yang berbasis data di tingkat daerah HIV dan AIDS jika tidak ada terobosan
masih rendah. Peran daerah cenderung terkait dengan data yang menunjukkan
menjadi pelaksana program yang sudah bahwa penularan HIV secara umum
dirancang oleh pusat, termasuk dalam di­­pengaruhi oleh faktor perilaku pada
pembiayaan yang sebagian besar pada ke­­lompok populasi kunci. Di samping itu,
program intervensi HIV dan AIDS, baik kebijakan kriminalisasi kondom, sebagai
untuk pencegahan dan pengobatan alat bukti saat polisi melakukan razia
didominasi oleh pusat (donor dan ter­­hadap populasi kunci, berdampak
pe­merintah). Hal ini tidak lepas dari pada perluasan risiko penularan terma­
do­­minasi pusat dalam memproduksi suk kriminalisasi penggunaan LASS
dan menganalisis data epidemi yang un­­­tuk penasun. Kebijakan yang kontra
dilakukan secara rutin, seperti STBP de­­ngan kebijakan sektor kesehatan ini
dan SCP yang diprakarsai oleh do­nor. ber­im­plikasi pada komitmen pembiayaan
Daerah lebih berperan menjadi pelak­ pro­­gram pencegahan yang semakin tidak
sa­na mekanisme penggalian data yang je­­las pada kelompok populasi kunci,
dirumuskan oleh pusat, sehingga ber­ baik pada WPS dan penasun dari sumber
pe­ngaruh terhadap terbatasnya akses APBD.
daerah untuk memanfaatkan informasi
f. Lemahnya kapasitas fiskal untuk
tersebut sebagai basis pengembangan
mendukung program pencegahan HIV
perencanaan pembiayaan penang­gu­
dan AIDS
lang­an HIV dan AIDS.
Investment Case Analisys (ICA) yang
e. Kebijakan yang kontra produktif
dila­kukan oleh KPAN untuk pembiayaan
terhadap upaya penanggulangan HIV
pro­gram HIV dan AIDS di Indonesia
dan AIDS di tingkat daerah

106
Ig n ati u s He rsu m p an a

menunjukkan bahwa biaya yang dibu­tuh­ AIDS di atas secara umum menunjukkan
kan untuk menangani ODHA per tahun belum terjadinya integrasi dengan skema
untuk setiap orang mencapai USD 995,38 pembiayaan kesehatan umum. Salah satu
sementara biaya pencegahan diper­ penjelasannya adalah masih tingginya
ki­rakan 2/3 dari angka tersebut39 atau pembiayaan pencegahan HIV dari MPI.
sekitar 663 dolar/tahun atau 55 dolar/ Dukungan MPI pada satu sisi positif
bulan (setara dengan Rp 561,000).40 sebagai upaya mengatasi situasi darurat
(emergency) untuk mendorong percepatan
Dilihat dari kebutuhan advokasi, maka
penanggulangan epidemi penyakit menular
besarnya nilai estimasi pembiayaan
(e.g. HIV dan AIDS) melalui mekanisme yang
yang harus diinvestasikan oleh pe­me­
lebih fleksibel dengan mengembangkan
rin­tah agar mampu mendukung pro­
jalur-jalur kerjasama non pemerintah
gram pencegahan semacam itu. Ten­
(LSM) dan pemangku kepentingan lainnya.
tunya, untuk mengembangkan program
Akan tetapi, peningkatan partisipasi yang
pencegahan menjadi sesuatu yang
lebih luas dalam penyediaan layanan
akan sangat bergantung dengan ke­
HIV dan AIDS tersebut, pada saat yang
mampuan fiskal dari pemda jika daerah
bersamaan, berdampak negatif terhadap
menginginkan hal tersebut. De­ngan
sistem yang berlaku dengan terbentuknya
terbatasnya kapasitas fiskal di ber­ba­
lembaga yang paralel, proses yang tidak
gai kabupaten/kota di Indonesia, ma­ka
terkoordinasi dengan baik, harmonis dan
mahalnya biaya pencegahan itu men­­
terkait dengan sistem nasional (Biesma
dorong pemda memilih prioritas pem­
et al., 2009). Pembiayaan yang cukup
bangunan kesehatan yang lebih mam­pu
besar dari donor menjadikan pemerintah
didukung oleh kemampuan fis­kal­nya.
merasa tidak harus memberi perhatian 03
Misalnya, Kabupaten Badung yang
pada pembiayaan karena sudah ada yang
merupakan daerah dengan per­tum­
mendanai. Ini menciptakan ketergantungan
buh­an ekonomi yang tinggi dari sektor
terhadap pihak lain, sehingga berdampak
pari­wisata, telah mampu mening­kat­
pada ketidaksiapan pemerintah di tingkat
kan anggaran melalui Alokasi Dana
pusat dan daerah dalam mengambil alih
Desa (ADD) untuk pencegahan HIV dan
peran yang lebih besar untuk pembiayaan
AIDS di tingkat desa. Namun demikian
pencegahan. Contohnya, alokasi
dae­rah lain seperti Kupang, dengan
pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS
fiskal daerahnya rendah, akan memiliki
dari pemerintah pusat hanya kurang lebih
prioritas berbeda.
seperempat dari total pengeluaran untuk HIV
dan AIDS. Alokasi pembiayaan pencegahan
di daerah jauh lebih baik karena hampir

D. mencapai 50% dari total kontribusinya pada


tahun 2012, sehingga pada level daerah
inisiatif pembiayaan oleh pemerintah
Diskusi memiliki potensi untuk ditingkatkan besaran
alokasinya. Juga lantaran melihat sejauh ini
Analisis pembiayaan pencegahan HIV dan
pembiayaan pemerintah pusat lebih fokus
pada upaya pengobatan (NASA). Dengan
38) UNAIDS (2013). Global Report : UNAIDS Report on the
Global Epidemic 2013. pelaksanaan kebijakan desentralisasi
39) NAC (2015).The Case for Increased The Case for memberikan peluang bagi daerah untuk
Increased and More Strategic Investment in HIV and More mengelola pembiayaan sektor kesehatan
Strategic Investment in HIV Indonesia Indonesia.
lebih terbuka. Oleh karena itu, pada tingkat
40) Asumsi kurs APBN tahun 2013 1 dolar= Rp 10.200,-.

107
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

daerah memerlukan kebijakan yang dampak positif pada upaya pencegahan


bersifat operasional sebagai petunjuk HIV dan AIDS. Demikian juga, LSM berperan
teknis penganggaran pembiayaan untuk dalam mengembangkan solidaritas dari
pencegahan HIV dan AIDS. pihak luar yang terlibat dalam pendanaan
program. Kalangan ini juga turut berperan
Kebijakan kontra produktif di tingkat
sebagai lembaga perantara antara donor
daerah terkait dengan penutupan lokalisasi
dengan pemerintah, sehingga implementasi
untuk WPS dan sanksi kriminalisasi pada
program dan pembiayaannya bisa berjalan
penasun masih memengaruhi akses
efektif (Biesma et al., 2009; Halmshaw &
layanan kesehatan untuk populasi kunci
Hawkins, 2004). Implikasi positif pelibatan
dan adanya diskriminasi. Ruisendaal (2015)
sektor komunitas adalah kemampuan
dan Gumani et al., (2011) menyatakan, isu
menyediakan tenaga yang dibutuhkan untuk
populasi kunci masih menjadi isu sensitif
menjalankan program sebagai bagian dari
yang mendapatkan stigma dan diskriminasi
program pemerintah yang berkerjasama
secara sosial dan kultural di negara-negara
dengan donor. Keterlibatan LSM ini dapat
berkembang, sehingga memengaruhi
mempercepat capaian target sasaran pada
komitmen pengalokasian pembiayaan untuk
komunitas-komunitas tertentu dan bisa lebih
populasi kunci. Implikasi dari diskriminasi
membantu dalam kualitas layanan dalam
yang dilakukan oleh petugas keamanan
penyediaan rujukan layanan, dan sekaligus
pada kasus kriminalisasi kondom dan
dapat menghemat biaya (Bovbjerg, Eyster,
LASS misalnya adalah terlanggarnya
Ormond, Anderson, & Richardson, 2013). Di
hak perlindungan kesehatan dan akses
samping itu, kerjasama LSM dengan donor
layanan bagi populasi kunci di layanan
pun merupakan bentuk dari peningkatan
umum. Kebijakan penutupan lokalisasi
kapasitas tenaga-tenaga non kesehatan
berdampak pada rusaknya program
melalui dukungan teknis (tehnical assistance)
pencegahan HIV melalui transmisi seksual
sebagai bentuk dari komitmen pendanaan.
(PMTS) yang berbasis pada lokasi. Kebijakan
Meski demikian, dalam jangka panjang,
tersebut mengakibatkan dinkes tidak lagi
peran LSM ini juga memiliki kelemahan
menganggarkan dana untuk layanan
karena tidak punya sumber pembiayaan
kesehatan pada WPS. Akibat lebih jauh,
yang berkelanjutan. LSM juga tidak akan
kebijakan pelarangan dan penutupan
menggantikan peran pemerintah yang
lokalisasi adalah tidak terkontrolnya
mengelola layanan dalam sistem kesehatan
penyakit karena puskesmas tidak bisa
yang berlaku dengan sumber pembiayaan
mengontrol pergerakan (mobilitas) dari
yang jelas, semisal sumber pembiayaan
WPS. Berbagai upaya untuk mendorong
untuk HIV dan AIDS dari APBD melalui
pemahaman komprehensif HIV dan AIDS
legitimasi Peraturan Daerah (Perda).
pada pemangku kepentingan kunci menjadi
penting, sehingga layanan kesehatan untuk Kapasitas perencanaan pemda yang
populasi kunci tidak diabaikan melalui lemah dipengaruhi oleh tidak tersedianya
kebijakan-kebijakan yang tidak sensitif data strategis epidemi di tingkat daerah.
terhadap kebutuhan penanggulangan Dengan daerah hanya merupakan
penyakit pada kelompok populasi kunci, pelaksana program pusat, akibatnya
khususnya WPS dan penasun. perencanaan pembiayaan penanggulangan
HIV dan AIDS tidak memenuhi kebutuhan
LSM memiliki kapasitas dalam melakukan
yang berbasis bukti. Oleh karena itu,
penjangkauan komunitas yang sulit (hard
peningkatan kapasitas daerah untuk
to reach) yang tidak bisa dilakukan oleh
pengumpulan, analisis, dan pemanfaatan
tenaga kesehatan umum. Hal ini memberikan
data-data strategis melalui surveilans rutin,

108
Ig n ati u s He rsu m p an a

seperti STBP, menjadi prasyarat. Hal ini dan AIDS mem­butuhkan kapasitas sumber
sejalan dengan hasil sistematik review yang daya perencanaan di tingkat daerah untuk
dilakukan oleh Biesma et al (2009) terkait mengelola sistem informasi yang terpadu
mekanisme monitoring yang berjalan paralel. meliputi mekanisme pengumpulan, pengo­
lahan dan pemanfaatan untuk perencanaan
Peningkatan kapasitas untuk tenaga
pembiayaan yang diyakini menjadi salah
monev di tingkat daerah diperlukan untuk
satu prasyarat penting. Di samping itu,
mengatasi kesenjangan terhadap keter­se­
untuk perencanaan pembiayaan yang lebih
diaan data. Namun demikian, penguatan
baik dibutuhkan strategi yang praktis untuk
kapasitas di tingkat lokal yang didukung
melakukan ko­ordinasi dengan pemegang
oleh do­nor tidak diintegrasikan de­ngan
data strategis, yakni MPI.
sistem nasional. Karena pe­ning­katan
kapasitas hanya untuk me­menuhi kebutuhan Satu kontribusi penting dari kajian ini
target pendonor, sehingga daerah tidak adalah pengalaman lebih terintegrasinya
memiliki kapasitas yang me­ma­dai membuat pembiayaan di Merauke dengan sumber
perencanaan yang rasional. Hal ini juga di­ pembiayaan lokal dan program pencegahan
kuatkan dengan hasil kajian inte­grasi oleh tetap berjalan, meski donor sudah mundur.
Coker et al. (2010) di lima negara (Indonesia,41 Hal ini dipengaruhi oleh adanya kebijakan
Laos PDR,42 Vietnam,43 Papua Nugini,44 otonomi khusus yang berimplikasi pada
dan Thailand45) yang menunjukkan bahwa peningkatan anggaran daerah untuk sektor
sebagian besar fungsi sistem kesehatan kese­hatan. Dengan adanya komitmen
meliputi pembiayaan, logistik alkes, sumber dae­rah untuk mewujudkan anggaran
daya manusia kesehatan, dan sistem sektor kesehatan dari APBD sebesar 15 %
informasi tidak terintegrasi kecuali Thailand. (UU Otsus), berpengaruh terhadap pe­
Contoh pengelolaan sistem informasi HIV ning­katan ketersediaan dana untuk alo­ 03
ka­si pencegahan HIV dan AIDS. Oleh
41) Desai, M., Rudge, J. W., Adisasmito, W., Mounier-Jack, ka­rena itu, melalui penguatan intervensi
S., & Coker, R. (2010). Critical interactions between Global pe­nanggulangan HIV dan AIDS dengan
Fund-supported programmes and health systems: a case
study in Indonesia. Health Policy and Planning, 25 Suppl 1, mengintegrasikan pembiayaan di daerah
i43–47. http://doi.org/10.1093/heapol/czq057 akan menjamin keberlanjutan dan efektivitas
42) Sandra Mounier-Jack, James W Rudge, Rattanaxay program, hal yang sejalan dengan beberapa
Phetsouvanh, Chansouk Chanthapadith, and Richard hasil kajian yang menegaskan dengan pe­
Coker, “Critical interactions between Global Fund-
supported programmes and health systems: a case study ngu­at­an sistem kesehatan yang baik akan
in Lao People’s Democratic Republic”. Health Policy me­ningkatkan integrasi dan efektivitas
Planning. (2010) 25 (suppl 1): i37-i42 doi:10.1093/heapol/ pro­gram (Atun & Kazatchkine, 2009; Olmen
czq056
et al., 2012). Dengan adanya penguatan
43) Conseil, A., Mounier-Jack, S., & Coker, R. (2010).
“Integration of health systems and priority health ko­mitmen lokal untuk pembiayaan melalui
interventions: a case study of the integration of HIV and APBD membuktikan adanya jaminan ke­
TB control programmes into the general health system in ber­lanjutan program pada tingkat layanan
Vietnam”. Health Policy and Planning, 25 Suppl 1, i32–36.
http://doi.org/10.1093/heapol/czq055 meskipun tidak lagi mendapatkan dukungan
44) James W Rudge, Suparat Phuanakoonon, K Henry dari donor.
Nema, Sandra Mounier-Jack, and Richard Coker, “Critical
interactions between Global Fund-supported programmes Jaminan pembiayaan pencegahan di
and health systems: a case study in Papua New Guinea”. daerah ditentukan oleh kapasitas fis­kal­­
Health Policy Planning. (2010) 25 (suppl 1): i48-i52 nya. Lemahnya kapasitas daerah mem­buat
doi:10.1093/heapol/czq058
komitmen pemda menghadapi tan­tang­
45) Hanvoravongchai, P., Warakamin, B., Coker, R. 2010.
“Critical Interactions between Global Fund-Supported an untuk memenuhi ketersediaan dan
Programmes and Health Systems: a Case Study in ketercukupan pembiayaan tersebut yang di
Thailand”. Health Policy and Planning, 25:i53-57.

109
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

setiap daerah sangat ditentukan “... pendanaan yang disebut “debt swap” untuk
oleh kemampuan fiskalnya. program pembiayaan HIV dan AIDS dari
Hal ini sejalan Galarraga et al negara pem­beri kredit, Jerman
pencegahan
(2013) yang menyatakan, un­ dan Australia (Atun, Knaul,
HIV dan AIDS
tuk keberlanjutan pendanaan Akachi, & Frenk, 2012). Demikian
program HIV dan AIDS, kontribusi dalam bentuk juga dengan perluasan pelibatan
negara-negara ber­pendapatan intervensi PMTS partisipasi sektor swasta dalam
rendah dan menengah perlu pada kelompok upaya penanggulangan HIV
ditingkatkan yang dihitung WPS dan LSL, dan AIDS menjadi alternatif
berdasarkan pendapatan untuk pengembangan sumber
serta LASS
per kapita penduduk dan pembiayaan di masa depan,
pada kelompok
beban utang. Implikasinya, sehingga bisa menjamin
perlu dikembangkan inovasi penasun, pada ketersediaan dan kecukupan
penggalian sumber pembiayaan dasarnya, kurang pembiayaan selanjutnya.
secara kreatif untuk pembiayaan terintegrasi
HIV dan AIDS, seperti dengan skema

E.
pelibatan sektor swasta untuk pembiayaan
membiayainya melalui CSR.
kesehatan pada
Pembiayaan yang umumnya.”
menargetkan sektor swasta Simpulan
ini bisa langsung menyentuh
melalui pen­didikan dan Hasil analisis studi ini
penyebaran informasi ba­ mendapatkan simpulan
gi para pekerja yang rentan bahwa pendanaan program
dengan peri­la­ku seks berisiko. pencegahan HIV dan AIDS
Mekanisme lain ada­lah pengem­ dalam bentuk intervensi PMTS
bangan sumber pembia­yaan pada kelompok WPS dan LSL,
alter­natif dari ‘penarikan serta LASS pada kelompok
pajak dari produk yang dapat penasun, pada dasarnya,
menimbulkan risiko yang dise­but kurang terintegrasi dengan
‘sin taxes’ seperti pajak minuman skema pembiayaan kesehatan
keras yang dapat berdampak pada umumnya. Kurang
keuntungan ganda yakni terintegrasinya ini tampak
pengurangan perilaku berisiko pada tidak adanya koordinasi
dan peningkatan pendapatan dan sinkronisasi di tingkat
(Obure et al., 2012; Vassall et al., nasional dan daerah berbagai
2013). Selain itu, sebagai negara sumber dana yang digunakan
yang memiliki beban utang untuk pembiayaan program
luar ne­geri, Indonesia dapat pencegahan di daerah.
mengembangkan upaya untuk Selain itu, perhatian
melakukan negosiasi lebih luas pemerintah terhadap program
dengan negara pemberi utang pencegahan HIV dan AIDS yang
(lainnya) se­perti yang berhasil sangat minim menyebabkan
dilakukan oleh Indonesia, tidak adanya anggaran
Pakistan, Mesir, Pantai Gading, pemerintah untuk program
dan Ethiopia yang mendapatkan pencegahan bagi populasi
mekanisme penga­lihan utang

110
Ig n ati u s He rsu m p an a

kunci karena masih menggantungkan program yang sesuai kebutuhan; 6) adanya


pendanaannya pada lembaga donor. kebijakan kontraproduktif dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS menghambat
Berikutnya, pelayanan pencegahan
integrasi; dan 7) lemahnya kapasitas daerah
HIV dan AIDS dibeli oleh lembaga donor
dalam menentukan prioritas pembiayaan
dari LSM atau fasyankes tertentu sehingga
pencegahan HIV dan AIDS di daerah ma­sih
untuk mengaksesnya, populasi kunci bisa
menghadapi kendala untuk dapat mengin­
memperolehnya dengan gratis, yang
vestasikan pembiayaan pencegahan sesuai
tentu saja mekanisme ini berbeda dengan
estimasi dengan kebutuhan dana yang harus
pelayanan kesehatan pada umumnya yang
dibelanjakan per kapitanya. Oleh karena
saat ini menggunakan mekanisme JKN.
itu, inovasi alternatif pengembangan sumber
Meskipun demikian, situasi ini cukup berbeda
pembiayaan pencegahan dan pembelian
dengan program PMTS di Kabupaten
layanan yang memadai menjadi tantangan
Merauke yang tidak didukung oleh lembaga
pemda demi keberlanjutan program.
donor, melainkan sepenuhnya didukung oleh
anggaran pemerintah daerah.

F.
Beberapa hal yang menyebabkan
tidak terintegrasinya pembiayaan
program pencegahan ke dalam sistem
pembiayaan kesehatan, antara lain: 1) Rekomendasi
dominannya peran MPI sebagai sumber
pembiayaan untuk pencegahan HIV dan Berikut adalah langkah-langkah strategis
AIDS berdampak pada kurang kuatnya pada aspek collecting, pooling dan
komitmen pemerintah pusat dan daerah purchasing yang dapat dilakukan untuk 03
untuk menggali sumber-sumber pembiayaan mengatasi kendala-kendala yang
domestik yang memadai; 2) lemahnya ke­ menyebabkan kurang terintegrasinya
wenangan administratif keuangan daerah pembiayaan pencegahan HIV dan AIDS ke
untuk menentukan perencanaan dan dalam sistem pembiayaan kesehatan umum,
peng­ang­garan untuk pencegahan HIV antara lain:
dan AIDS. Ada pengecualian pada daerah
yang sudah ditinggalkan oleh GF seperti 1. Pemerintah Indonesia secara nasional
Merauke, di mana pemerintah daerah me­ perlu meningkatkan komitmen
miliki keleluasaan untuk mengembangkan pembiayaan pencegahan yang
sumber pembiayaan; 3) lemahnya dukungan bersumber dari pendanaan domestik dan
operasional bagi SDM non kesehatan yang pemerintah lokal hingga mencapai target
memiliki kapasitas penjangkauan kelompok minimal 70% dari total anggaran yang
marginal yang tidak bisa dilakukan oleh dibelanjakan untuk penanggulangan HIV
tenaga kesehatan umum; 4) desentralisasi dan AIDS selama ini. Mekanisme yang
urusan kesehatan di daerah tidak diikuti oleh ditempuh untuk mewujudkan pembiayaan
petunjuk teknis operasionalisasi fungsi yang pencegahan tersebut dapat dilakukan
kuat dan kewenangan finansial daerah untuk dengan mengembangkan inovasi
dapat melakukan perencanaan pembiayaan penggalian sumber pembiayaan melalui
pencegahan secara leluasa dan memadai optimalisasi pemasukan dari sumber
dari sumber lokal; 5) kapasitas perencanaan
daerah yang kurang didukung dengan bukti
(evidence based) yang kuat memengaruhi
kemandirian daerah dalam mengembangkan

111
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

pajak produk-produk yang mengandung tenaga non kesehatan. Hal ini dapat
risiko bagi kesehatan, seperti minuman dilakukan dengan mekanisme contracting
keras dan produk sejenisnya. Selain itu, out yang terintegrasi pada fasilitas
pelibatan sektor swasta untuk turut serta layanan kesehatan di tingkat primer yang
membiayai pencegahan HIV dan AIDS memiliki BLUD.
dapat menggunakan kewajiban CSR
4. Adanya kewenangan administratif
yang diintegrasikan dalam mekanisme
untuk pengelolaan finansial perlu
Keselamatan dan Keamanan Kerja (K3).
dikuatkan dengan peningkatan kapasitas
Hal ini dapat dilakukan dengan kebijakan
perencanaan daerah. Ini dapat dilakukan
insentif pengurangan pajak dan sertifikasi
dengan menyediakan data lokal. Oleh
rating bonafiditas perusahaan oleh
karena itu, kepemilikan terhadap data-
pemerintah. Di samping itu, Indonesia
data hasil surveilans yang dikembangkan
sebagai salah satu negara yang
oleh pusat yang didukung donor selama
memiliki beban utang luar negeri, dapat
ini harus menjadi hak kepemilikan
melakukan lobi bilateral kepada negara
data (ownership) dari daerah untuk
kreditor untuk pengalihan pembayaran
memanfaatkan data bagi kebutuhan
utang dengan pembiayaan pencegahan
perencanaan pembiayaan HIV dan AIDS
HIV dan AIDS.
secara lebih rasional. Untuk ini perlu
2. Pemerintah pusat perlu memberikan adanya koordinasi dengan pusat dan
kewenangan pengelolaan administrasi donor untuk mendukung kebutuhan
finansial melalui penegasan kebijakan peningkatan kapasitas daerah, mulai
operasional dari desentralisasi urusan dari proses pengumpulan, kemampuan
kesehatan daerah. Dengan demikian, analisis, dan pemanfaatan untuk
daerah memiliki legitimasi dan panduan perencanaan tersebut.
aturan pelaksanaan yang jelas untuk
5. Pemda perlu mengembangkan
merencanakan dan mengelola keuangan
mekanisme koordinatif yang efisien
bagi alokasi pencegahan HIV dan AIDS
dengan Bappeda dalam pengintegrasian
secara lebih leluasa melalui mekanisme
pooling dan distribusi pembiayaan
penganggaran di APBD. Dengan adanya
HIV dan AIDS dalam kerangka sistem
peningkatan alokasi APBN untuk sektor
kesehatan. Beberapa mekanisme
kesehatan, pemda diberi kewenangan
yang bisa ditempuh untuk hal ini
mengelola dan mengatur penggunaan
adalah peningkatan untuk alokasi
keuangan dengan proporsi yang lebih
pembiayaan pencegahan melalui
besar untuk pencegahan HIV dan AIDS,
penguatan kapasitas teknis staf di tingkat
yang menjadi bagian dalam prioritas
puskesmas, sehingga mampu membuat
pembiayaan sektor kesehatan daerah
perencanaan pembiayaan pencegahan
sebagai operasionalisasi mekanisme
HIV dan AIDS dengan mengoptimalkan
kontrol terhadap penyebaran penyakit.
dana kapitasi. Contohnya pengalokasian
3. Dengan adanya legitimasi pendanaan untuk pembelian alat
kewenangan dan prosedur petunjuk kesehatan pencegahan seperti kondom
teknis implementasi bagi daerah dan jarum suntik di fasilitas layanan
untuk mengelola pembiayaan kesehatan primer (puskesmas).
sektor kesehatan, pemda dapat
6. Untuk mengatasi kebijakan yang
mengembangkan kebijakan untuk
kontraproduktif, pemerintah perlu
mendukung perluasan pembiayaan bagi
mengembangkan komitmen dan
optimalisasi penyediaan peran tenaga-
penciptaan lingkungan kondusif untuk

112
Ig n ati u s He rsu m p an a

meminimalkan stigma dan diskriminasi Conseil, A., Mounier-Jack, S., & Coker, R. (2010).
“Integration of health systems and priority health
pada kelompok populasi kunci (WPS, interventions: a case study of the integration of HIV
LSL, dan penasun). Hal ini dapat and TB control programmes into the general health
dilakukan dengan memastikan adanya system in Vietnam”. Health Policy and Planning, 25
Suppl 1, i32–36. http://doi.org/10.1093/heapol/czq055
pembiayaan pencegahan pada populasi
Desai, M., Rudge, J. W., Adisasmito, W., Mounier-Jack, S., &
kunci yang dikoordinasikan oleh KPAD Coker, R. (2010). “Critical interactions between Global
dan SKPD terkait. Di samping itu, pada Fund-supported programmes and health systems: a
tingkat internal dinas kesehatan di case study in Indonesia”. Health Policy and Planning,
25 Suppl 1(suppl_1), i43–47. doi:10.1093/heapol/
daerah perlu melakukan koordinasi dan czq057
kerjasama lintas unit bidang-bidang Galarraga, O., Wirtz, J.V., Tellez, Y.S.A., Korenromp, K.
terkait penanggulangan HIV dan AIDS, E., (2013). “Financing HIV Programming: How Much
sehingga dapat mengembangkan Should Low-And Middle-Income Countries and their
Donors Pay?”. PLOS ONE: Juni 2013: Volume 8: Issue
linking untuk pembiayaan lintas bidang 7 www.plosone.orgGlobal Fund, (2015). Result Report.
(cross-financing) untuk pembiayaan Gumani et al., “An integrated structural intervention to
pencegahan HIV dan AIDS dan bidang reduce vulnerability to HIV and sexually transmitted
lainnya di bawah Dinas Kesehatan. infections among female sex workers in Karnataka
state, South India”. BMC Public Health 2011, 11:755
http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/755
Halmshaw, C., & Hawkins, K. (2004). “Capitalising
on global HIV/AIDS funding: The challenge for
civil society and government”. Reproductive
Da f t ar P u st ak a Health Matters, 12(24), 35–41. doi:10.1016/S0968-
Ainsworth, M., Beyrer, C., & Soucat, A. (2003). “AIDS 8080(04)24154-4
and public policy: The lessons and challenges of Hanvoravongchai, P., Warakamin, B., & Coker, R. (2010).
“success” in Thailand”. Health Policy. doi:10.1016/ “Critical interactions between Global Fund-supported
S0168-8510(02)00079-9 programmes and health systems: a case study in
Atun, R., De Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O. (2010). Thailand”. Health Policy and Planning, 25 Suppl 1,
03
“Integration of targeted health interventions into i53–i57. doi:10.1093/heapol/czq057
health systems: A conceptual framework for analysis”. Hecht, R., Stover, J., Bollinger, L., Muhib, F., Case, K., &
Health Policy and Planning, 25, 104–111. doi:10.1093/ Ferranti, D. De. (2010). Review Financing of HIV / AIDS
heapol/czp055 programme scale-up in low-income, 376.
Atun, R., & Kazatchkine, M. (2009). “Promoting country KPAN, 2014. Final Report Indonesia HIV Control Program:
ownership and stewardship of health programs: The An Institusional Analysis.
global fund experience”. Journal of Acquired Immune
McIntyre D. and Kutzin, J., 2016. Health financing country
Deficiency Syndromes (1999), 52 Suppl 1, S67–S68.
diagnostic: a foundation for national strategy
doi:10.1097/QAI.0b013e3181bbcd58
development. WHO
Atun, R., Knaul, F. M., Akachi, Y., & Frenk, J. (2012).
Merson, M. H., O’Malley, J., Serwadda, D., & Apisuk, C.
“Innovative financing for health: What is truly
(2008). “The history and challenge of HIV prevention”.
innovative?”. The Lancet, 380(9858), 2044–2049.
The Lancet, 372(9637), 475–488. doi:10.1016/S0140-
doi:10.1016/S0140-6736(12)61460-3
6736(08)60884-3
Biesma, R. G., Brugha, R., Harmer, A., Walsh, A., Spicer,
Mounier-Jack,S., Rudge, J. W., Phetsouvanh,R.,
N., & Walt, G. (2009). “The effects of global health
Chanthapadith,C. , and Coker, R., “Critical
initiatives on country health systems: A review of the
interactions between Global Fund-supported
evidence from HIV/AIDS control”. Health Policy and
programmes and health systems: a case study in
Planning, 24(4), 239–252. doi:10.1093/heapol/czp025
Lao People’s Democratic Republic”. Health Policy
Bovbjerg, R. R., Eyster, L., Ormond, B. a, Anderson, T., & Planning. (2010) 25 (suppl 1): i37-i42 doi:10.1093/
Richardson, E. (2013). Opportunities for Community heapol/czq056
Health Workers in the Era of Health Reform, (2012), 47.
National AIDS Commission (NAC), (2015).The Case for
Coker, R., Balen, J., Mounier-jack, S., Shigayeva, A., Increased The Case for Increased and More Strategic
Lazarus, J. V, Rudge, J. W., … Atun, R. (2010). “A Investment in HIV in Indonesia.
conceptual and analytical approach to comparative
Nadjib, M., Megraini, A., Ishardini, L. and Rosalina, L. 2013.
analysis of country case studies : HIV and TB control
National AIDS Spending Assessment 2011-2012.
programmes and health systems integration”. Health
Policy and Planning, 25, 21–31. http://doi.org/10.1093/ Obure, C. D., Vassall, A., Michaels, C., Terris-Prestholt, F.,
heapol/czq054 Mayhew, S., Stackpool-Moore, L., … Watts, C. (2012).
“Optimising the cost and delivery of HIV counselling

113
Pe mb i a yaan Pr ogr am Pe nc eg ah a n HIV d i In d o n esia

and testing services in Kenya and Swaziland”.


Sexually Transmitted Infections, 88(7), 498–503.
doi:10.1136/sextrans-2012-050544
Olmen, J. Van, Criel, B., Bhojani, U., Marchal, B., Belle, S.
Van, Chenge, M. F., … Kegels, G. (2012). “The Health
System Dynamics Framework: The introduction of an
analytical model for health system analysis and its
application to two case-studies”. Health, Culture and
Society, 2(1), 0–21. doi:10.5195/hcs.2012.71
Ravenga A et al. (2006). The Economics of Effective AIDS
Treatment: Evaluating
Policy Options for Thailand. World Bank.
Rudge, J. W., Phuanakoonon, S., Nema, K. H., Mounier-
jack, S., & Coker, R. (2010). “Critical interactions
between Global Fund-supported programmes and
health systems : a case study in Papua New Guinea”.
Health Policy and Planning, 25, 48–52. http://doi.
org/10.1093/heapol/czq058
Ruisendaal, E. 2015. Integrating healthcare services for
sex workers A qualitative study in Uganda, Kenya
and Vietnam. Amsterdam: MPA2, International Public
Health
Stover, J., Bertozzi, S., Gutierrez, J., Walker, N., Stanecki,
K. A., Greener, R., … Ghys, P. D. (2006). The Global
impact of Scaling up HIV Prevention Program in Low-
and Middle-Income Countries, 553(1997), 2–5.
UNAIDS. 2013. Global Report Unaids Report on the Global
Epidemic 2013.
Global HIV Prevention Working Group(2007). Bringing HIV
prevention to scale : an urgent global Priority. http://
www.GlobalHIVPrevention.org
UNAIDS. 2007. UNAIDS Annual Report 2007 : Know Your
Epidemic.
UNAIDS. (2000). Evaluation of The 100 % Condom
Program In Thailand.
UNAIDS – World Bank Economics Reference Group:
Technical Working Group on Sustainable Financing
Integration of HIV Financing into Health Financing
Systems in Low- and Middle-Income Countries
Conceptual Framework and Preliminary Findings.
Final Draft Results for Development Institute, June
2014
Vassall, A., Remme, M., Watts, C., Hallett, T., Siapka, M.,
Vickerman, P., … Piot, P. (2013). Financing Essential
HIV Services: A New Economic Agenda. PLoS
Medicine, 10(12), 1–6. doi:10.1371/journal.pmed.1001567
WHO, Unaids, & UNICEF. (2010). Towards universal access:
Scaling up priority HIV/AIDS interventions in the
health sector. Progress Report 2009. UNAIDS Annual
Report. doi:ISBN 978 92 4 159539 1

114
03

115
04
Layanan Antiretroviral
Treatment (ART) Pada
Fasilitas Layanan
Kesehatan Primer di
Indonesia

Ita Per w ira

116
I ta Pe rw i ra

A.
Pendahuluan

Salah satu terobosan besar dalam sejarah HIV dan AIDS adalah
ditemukannya kelompok baru obat-obatan pada sekitar tahun 1995-1996,
yang disebut dengan antiretroviral (ARV) dan standar pengobatan yang
menggunakan kombinasi sedikitnya tiga jenis obat ARV yang dikenal dengan
Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) (Palmisano & Vella, 2011).
Keberadaan obat ARV ini telah berkontribusi penting dalam penanggulangan
HIV dan AIDS, meskipun obat ini sampai sekarang belum mampu
menyembuhkan, namun ARV membantu menurunkan angka kematian,
kesakitan, serta meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA). Oleh karena itu, perkembangan pengobatan ini mulai menjadi fokus
perhatian global, termasuk pemerintah Indonesia, sehingga kebutuhan ARV
global menjadi semakin meningkat.

Perkembangan global yang cukup global Millenium Summit yang menghasilkan 04


men­­­colok ditandai melalui inisiatif ‘3 by 5’ Millenium Development Goals (MDGs). Ini
pada 2003 oleh WHO dan UNAIDS, yaitu me­rupakan kesepakatan dan komitmen pa­ra
target global untuk dapat memberikan pe­ pemimpin negara-negara di dunia, termasuk
ngo­­batan kepada 3 juta ODHA di negara Indonesia, untuk menyelesaikan per­ma­sa­
de­­ngan penghasilan rendah atau menengah lah­an sosial, yang salah satu targetnya pada
sam­pai dengan 200546. Inisiatif dunia ini poin 6 adalah untuk memberantas HIV dan
di­respons oleh pemerintah Indonesia da­lam AIDS, malaria dan penyakit lainnya.47 Target
ben­tuk berbagai pertemuan dan dis­kusi terkait HIV ini lebih detail lagi, seperti yang
yang membahas upaya pengobatan ARV disampaikan WHO, adalah untuk meng­hen­
di Indonesia pada awal 2004 dan meng­ha­­­ ti­kan penyebaran HIV dan AIDS pada tahun
silkan Komitmen Sentani 19 Januari 2004, 2015 dan mencapai universal access untuk
yang salah satu poinnya adalah me­­­ngu­­pa­ perawatan HIV dan AIDS bagi mereka yang
yakan pengobatan HIV dan AIDS menggu­ membutuhkan.48
nakan ARV. Target ‘3 by 5’ yang dise­pa­kati
Kebijakan pemerintah Indonesia ter­ka­it
untuk Indonesia adalah mem­be­rikan ARV
dengan usaha pemenuhan target terse­but
kepada minimum 5,000 ODHA pa­da 2004
mulai dilakukan melalui penerapan kebi­
dan 10,000 ODHA pada 2005 (KPAN, 2005).
jakan layanan komprehensif berke­si­nam­
Inisiatif global untuk penanggulangan
47) UN, Millenium Summit, 6-8 September 2000, http://
HIV dan AIDS, khususnya terkait pengobatan www.un.org/en/events/pastevents/millennium_summit
ART, juga ditunjukkan melalui kesepakatan .shtml
48) WHO, MDG 6: Combat HIV/AIDS, Malaria and
46) WHO, ‘3 by 5 global initiative’, http://www.who. other diseases, http://www.who.int/topics/millennium_
int/3by5/en/ development_goals/diseases/en/

117
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

bung­an (LKB). Layanan ini merupakan bentuk Penelitian ini dianggap memberikan
desentralisasi layanan kesehatan melalui perubahan yang cukup besar terkait
layanan kesehatan primer, yang di dalamnya efektivitas pengobatan ARV sebagai
termasuk akses layanan perawatan dan HIV treatment as prevention (Cohen,
pe­ngobatan ARV. Untuk mendukung McCauley, & Gamble, 2012). Penelitian ini
pelak­sanaan pengobatan ini, pemerintah pun membuktikan bahwa pengobatan ARV
Indonesia juga membuat kebijakan dan lebih dini memberikan manfaat ganda, yaitu
menyu­sun pedoman ART yang diadaptasi selain menurunkan angka kematian dan
dari pedoman pengobatan ART WHO tahun meningkatkan kualitas hidup, juga mampu
2002 (Green & Nagar, 2013; Kemenkes RI, menjadi pilihan perlindungan bagi pasangan
2004). Sementara terkait dengan pengadaan serodiskordan, karena dapat menurunkan
obat ARV, Indonesia menunjukkan komit­men­ risiko penularan melalui transmisi seksual
nya dengan Keputusan Menteri Kesehatan pada kelompok heteroseksual sebesar 96%
Republik Indonesia (RI) Nomor 1190/MENKES/ (Cohen et al., 2012). Hal ini menjadi dasar
SK/X/2004 tentang Pemberian Obat Anti perkembangan dan perluasan pengobatan
Tuberkulosis (OAT) dan Obat Antiretroviral ARV di Indonesia, diikuti dengan adanya
(ARV) untuk HIV dan AIDS. Masih tahun komitmen pemerintah terkait pembiayaan
yang sama, Kementerian Kesehatan juga dan penyediaan obat ARV yang semakin
memberikan kuasa kepada Kimia Farma meningkat dari tahun ke tahun oleh
melalui Keputusan Menteri Kesehatan pemerintah pusat, meski sampai saat ini
Republik Indonesia Nomor 1237/Menkes/SK/ masih mendapatkan dukungan dana dari
VI/2004 tentang Penunjukan PT. Kimia Farma luar negeri (Nadjib, Megraini, Ishardini, &
(PERSERO) TBK untuk melaksanakan paten Rosalina, 2013).
obat antiretroviral atas nama pemerintah
Walau sudah mengalami peningkatan
Indonesia.
yang signifikan untuk cakupan ART, namun
Peningkatan penggunaan ARV di masih terdapat kesenjangan sekitar 45%
Indonesia menunjukkan dampak yang antara jumlah orang yang mendapatkan
cukup signifikan, dengan penurunan angka dengan jumlah orang yang semestinya
kematian yang disebabkan oleh HIV dan mendapatkan pengobatan ARV. Berdasarkan
AIDS (case fatality rate/CFR) dari 21.39% data laporan perkembangan HIV dan
di tahun 2000 menjadi hanya 1.22% di AIDS yang dikeluarkan Kemenkes secara
tahun 2014.49 Oleh karena itu, pemerintah rutin, jumlah yang pernah mendapatkan
Indonesia semakin mendorong percepatan ARV sebanyak 120.677 orang. Sementara
perluasan tes HIV dan pengobatan ARV, jumlah orang yang positif HIV sebanyak
selaras dengan dukungan bukti-bukti ilmiah 268,185 (Kemenkes, 2015). Namun demikian
yang kuat, salah satunya hasil penelitian cakupan ini telah melampaui 19.8% dari
HPTN 052.50 target nasional yang ditetapkan dalam
SRAN 2010-2014, yakni sebesar 60% (KPAN,
49) Kemenkes, 2015, Laporan perkembangan HIV/AIDS
2010). Meskipun secara nasional telah
TW 2 tahun 2015
melampaui target, namun untuk mencapai
50) HIV Prevention Trial Network (HPTN) adalah jaringan
kolaborasi global yang melakukan penelitian klinis yang target global 90-90-90 sampai dengan tahun
menyatukan penyidik , ahli etik , masyarakat dan mitra 2020, masih sangat jauh. Global Report
lain untuk mengembangkan dan menguji keamanan serta
oleh UNAIDS (2013), melaporkan bahwa
kemanjuran intervensi yang dirancang untuk mencegah
akuisisi dan penularan HIV. Kode HPTN 052 adalah kode Indonesia merupakan salah satu negara di
untuk penelitian: A Randomized Trial to Evaluate the mana kebutuhan pengobatan ARV belum
Effectiveness of Antiretroviral Therapy Plus HIV Primary
terpenuhi dan cukup tinggi. Secara global
Care versus HIV Primary Care Alone to Prevent the Sexual
Transmission of HIV-1 in Serodiscordant Couples target ARV adalah 15 juta orang tahun 2015

118
I ta Pe rw i ra

dan telah dicapai. Hal ini menunjukkan CD4, dengan prioritas pada dewasa dengan
pencapaian yang sangat baik dari beberapa gejala klinis HIV yang berat (WHO stadium
negara, namun perkembangan tersebut klinis 3 atau 4) dan dewasa yang CD4-nya
belum merata di sejumlah negara, termasuk di bawah 350 sel/mm3 (Kemenkes RI, 2011;
Indonesia (UNAIDS, 2013, 2014). WHO, 2015).
Program ART di Indonesia menjadi Program ART sebagai program nasional
salah satu program nasional yang mengacu dilakukan dan dikendalikan sepenuhnya
pada Permenkes No. 21 Tahun 2013 tentang oleh Kementerian Kesehatan, dengan
penanggulangan HIV dan AIDS serta pelaksanaan layanan memanfaatkan
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi perpanjangan tangan layanan kesehatan
HIV dan Terapi Antiretroviral untuk dewasa di daerah, yaitu dinas kesehatan provinsi/
(tahun 2011) dan untuk anak (tahun 2014). kabupaten/kota, RSUD, dan puskesmas.
Alur perawatan ARV dijelaskan secara detail Namun saat ini belum semua RS mampu
dalam pedoman tersebut yang dirangkum memberikan pelayanan ART karena
dalam gambar 8. keterbatasan sumber daya. Sementara
melalui layanan primer seperti puskesmas
Penatalaksanaan pemberian pengobatan
dan klinik juga masih sangat terbatas
ARV juga sudah mengalami perubahan;
dan belum maksimal pemberdayaannya.
sebelumnya ada syarat CD4 minimal
Padahal dalam upaya memenuhi kebutuhan
<350 sel/mm3 untuk memulai pengobatan
pengobatan ARV perlu percepatan
(Kemenkes RI, 2011), saat ini sudah diubah
penyediaan layanan, terutama di tingkat
mengikuti pedoman pengobatan ARV dari
layanan primer karena di tingkat ini
WHO tahun 2015. Pengobatan ARV dapat
cakupannya akan lebih luas dan lebih
dimulai lebih dini tanpa melihat jumlah sel 04

Gambar 8. Alur Perawatan ARV dan Tempat Layanannya

Pelaksanaan ART
Diagnosis HIV Pra ART RS dan Puskesmas yang
menyediakan layanan ARV
di Puskesmas, RS, Klinik, RS atau Puskesmas yang
atau fasyankes setelit ART
Mobile VCT menyediakan layanan ARV
(Puskesmas atau klinik
swasta)

• Penilaian stadium klinis


Hasil tes HIV positif • Penilaian imunologis Mulai pengobatan
• Penilaian virologis

Sumber: disusun berdasarkan alur tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi ART pada orang dewasa (Kemenkes RI, 2011)

119
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

mudah diakses. Hal tersebut telah cukup dan akses untuk permasalahan kesehatan
banyak dibahas pada beberapa penelitian yang dibutuhkan pertama kali oleh
yang dilakukan di berbagai negara di dunia masyarakat; (2) Layanan kesehatan yang
dan hasilnya menunjukkan bahwa integrasi berkelanjutan yaitu pemanfaatan sumber
layanan HIV dan AIDS memang perlu daya perawatan atau layanan kesehatan
dilakukan pada tingkat layanan kesehatan secara longitudinal dari waktu ke waktu,
primer (Bedelu, Ford, Hilderbrand, & Reuter, terlepas dari ada atau tidaknya penyakit
2007; Price, Leslie, Welsh, & Binagwaho, atau cedera; (3) Layanan yang komprehensif
2009; Schull et al., 2011). yaitu ketersediaan berbagai macam jenis
layanan kesehatan yang sesuai dengan
Pertanyaannya sekarang adalah
kebutuhan umum populasi; dan (4) Layanan
‘bagaimana untuk mencapai integrasi
yang terkoordinasi dengan baik yaitu adanya
sebuah layanan kesehatan ke dalam
sistem yang menghubungkan adanya
sistem kesehatan agar mencapai hasil
kejadian yang terkait kesehatan dengan
yang maksimal?’. Perkembangan jumlah
ketersediaan layanan kesehatan sehingga
layanan ART di layanan kesehatan primer ini
pasien dapat memperoleh perawatan atau
membutuhkan koordinasi di tingkat nasional,
layanan kesehatan yang sesuai dengan
khususnya dengan Kemenkes untuk
permasalahan kesehatannya baik secara
pengadaan dan distribusi obat ARV. Selain
fisik maupun mental dan juga sosial
itu juga perlu kriteria khusus dan standar
(Valentijn, Schepman, Opheij, & Bruijnzeels,
layanan minimal yang harus dimiliki oleh
2013). Pemenuhan layanan kesehatan primer
fasyankes agar bisa melaksanakan layanan
ini dapat dilakukan baik oleh pemerintah
ART baik dari sisi infrastruktur maupun
maupun oleh swasta. Di Indonesia, layanan
sumber dayanya.51
kesehatan primer dilakukan melalui
Agar memiliki pemahaman yang sama puskesmas, sedangkan untuk layanan
tentang permasalahan di atas, perlu dilihat kesehatan primer yang dikembangkan oleh
terlebih dahulu tentang definisi dan konteks swasta melalui Dokter Praktik Swasta (DPS)
dari layanan kesehatan primer. Berdasarkan ataupun klinik swasta.
Deklarasi Alma Ata tahun 1978, definisi
Usaha menerapkan sebuah inovasi
layanan kesehatan primer adalah layanan
ke dalam pelayanan kesehatan yang
kesehatan yang esensial yang berbasis
ada seringkali menggunakan hasil dari
metode yang praktis, berdasarkan ilmu
best practices global maupun nasional,
pengetahuan dan dapat diterima secara
tanpa disertai penyesuaian atau perhatian
sosial serta teknologinya dibuat agar dapat
terhadap peningkatan kapasitas sistemik
diakses oleh seluruh masyarakat melalui
lokal dan budaya organisasi lokal. Padahal
partisipasi penuh masyarakat dengan
keberhasilan yang terjadi di satu wilayah
biaya yang terjangkau oleh masyarakat
belum tentu akan berhasil bila diterapkan
dan negara secara mandiri (WHO, 1978).
di wilayah lainnya. Hal yang sama banyak
Sementara elemen kunci dari layanan
terjadi di Indonesia, termasuk untuk program
kesehatan primer yang diadaptasi dari
ART.
Starfield (1992 dan 2005) dijabarkan menjadi
empat kunci pokok yang idealnya dipenuhi, Sebagai program yang terpusat,
yaitu (1) Layanan kesehatan terdepan (kontak sesungguhnya banyak penyesuaian yang
pertama), yang berarti kemudahan layanan perlu dilakukan di tingkat daerah (provinsi/
kabupaten/kota). Hal ini disebabkan
51) Surat pemberitahuan proses aktivasi layanan ARV, dari kondisi daerah serta sumber daya lokal
Kementrian Kesehatan RI kepada seluruh Dinkes Provinsi, yang berbeda-beda. Penerapan program
Nomor: BN 01.01/III.2/2482/2013.

120
I ta Pe rw i ra

berdasarkan best practice saja, dengan bukan semata layanan khusus terkait HIV
menyamaratakan semua wilayah tanpa yang bersifat eksklusif yang hanya bi­sa
ada penyesuaian dengan keadaan lokal, diakses pada layanan kesehatan ter­ten­tu
maka pelaksanaannya tidak akan berhasil. saja, namun termasuk di dalamnya la­yan­
Kalaupun berjalan hanya akan menghasilkan an pencegahan dan layanan kese­hat­an
integrasi yang semu (Freedman, 2011). primer lainnya (Tolle, 2009). Sistem layan­an
kesehatan primer bila dikaji kem­bali berda­
Deskripsi di atas sejalan dengan
sar­kan Peraturan Menteri Kese­hatan Nomor
pendapat bahwa ‘one size doesn’t fit
75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan
all’ yang perlu menjadi pertimbangan
Masya­rakat serta konsep yang digagas da­
bahwa pelaksanaan program nasional
lam program LKB meliputi peningkatan akses
seperti program ART, seharusnya juga
dan cakupan terhadap seluruh layanan
memperhatikan keadaan lokal (kondisi
kese­hatan, bukan hanya pe­ngobatan saja
ekonomi, sumber daya manusia, geografis,
tetapi juga upaya promotif, pen­cegahan dan
budaya, dll). Sehingga penting adanya
rehabilitatif (Kemenkes RI, 2012).
penyesuaian pelaksanaan dari pemda
untuk mendapatkan hasil yang maksimal 52 Saat ini, sistem layanan HIV dan AIDS
(Prichett, Woolcock, & Andrews, 2010). Untuk pada kesehatan primer (puskesmas) yang
itu sangat penting untuk mengetahui ‘what berjalan di Indonesia masih berfokus pada
works’ dan ‘what does not work’ dalam suatu usaha pengobatan saja dan terbatas pada
sistem yang adaptif yaitu sistem kesehatan aspek promotif, pencegahan, dan rehabilitatif.
nasional. Dalam hal ini, perlu dilihat lagi lebih Meskipun puskesmas juga melakukan layan­
mendalam faktor-faktor yang memungkinkan an promotif dan pencegahan, namun sejauh
integrasi dapat terjadi, baik dari aspek tata ini belum optimal. Peran layanan promotif,
kelola layanan maupun aspek eksternalnya pen­cegahan dan rehabilitatif lebih banyak 04
seperti konteks politik, ekonomi, hukum dan diambil oleh organisasi masyarakat sipil
regulasi, serta permasalahan kesehatan (OMS) melalui peran tradisional mereka
yang ada di daerah tersebut. yakni memberikan edukasi, layanan dan
du­kungan terhadap kebutuhan masyarakat.
Dasar utama yang perlu diperhatikan
Dalam konteks layanan ARV, peran OMS
dalam meningkatkan layanan kesehatan
tampak nyata dalam outreach dan link to
yang kompleks dan berkelanjutan adalah
care bagi masyarakat ke layanan kesehatan
sistem kesehatan yang kuat dalam sistem
yang tersedia (UNAIDS, 2005). Peran ini men­
layanan kesehatan primer (Freedman, 2011).
jadi sangat penting dalam meningkatkan ca­
Freedman menyebut, sistem kesehatan yang
kup­an dan kinerja program ART dan Pengo­
kuat sebagai suatu sistem yang kom­pleks
batan, Dukungan dan Perawatan (PDP).
dan adaptif, yang tersusun dari ber­bagai
Con­tohnya dengan memberikan dukungan
sub sistem fungsi kesehatan yang bekerja
pada Kelompok Dukungan Sebaya (KDS),
di dalamnya sehingga mampu men­ja­lan­
dan sebagai pendamping (e.g. Manajer Kasus
kan fungsi layanan kesehatan dengan baik.
[MK]). Sayangnya, peran ini masih belum
Dengan adanya pengobatan ARV yang
mendapatkan perhatian dan dukungan dari
membantu mengurangi morbiditas dari
pemerintah. Peran OMS banyak dilakukan
infeksi HIV, maka kebutuhan untuk meng­
di luar sistem yang ada di pemerintah
ak­ses layanan kesehatan juga semakin
daerah baik dari segi pembiayaan
me­ningkat. Akses layanan yang dibutuhkan
maupun koordinasi dan pelaporan. Hal ini
52) One Size Doesn’t Fit All: Lant Pritchett on Mimicry dikarenakan OMS tidak dianggap bagian
in Development, http://www.cgdev.org/blog/one-
dari layanan kesehatan karena lebih banyak
size-doesn%E2%80%99t-fit-all-lant-pritchett-mimicry-
development, diakses: 21 April 2016 bergerak di area promotif, pencegahan dan

121
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

rehabilitatif. Peran OMS sangat terbatas Nomor 75 Tahun 2014, bahwa upaya kese­
dalam hal layanan kesehatan. Umumnya hat­an dilakukan sesuai dengan prioritas
OMS ini bekerja dengan mendapatkan masalah kesehatan, kekhususan wilayah
dukungan dana dari Mitra Pembangunan kerja, dan potensi sumber daya yang ter­
Internasional (MPI). Keadaan ini seharusnya se­dia di masing-masing puskesmas dan
dapat dilihat sebagai suatu kesempatan pem­biayaan pelaksanaan upaya kesehatan
untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya, bersumber dari
yang telah dideskripsikan di atas. APBD.
Adanya desentralisasi dan pembagian Berdasarkan situasi yang digambarkan
kewenangan antara pusat dan daerah, di atas, maka pertanyaan yang ingin dijawab
yang memasukkan kesehatan sebagai dalam tulisan ini adalah 1) sejauh mana inte­
salah satu urusan wajib daerah, termasuk gra­si ART telah dicapai di tingkat layanan
di dalamnya adalah pengelolaan Upaya kesehatan primer (e.g. puskesmas) saat
Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya ini?; 2) seberapa jauh fungsi manajerial dan
Kesehatan Masyarakat (UKM) daerah melalui fungsi operasional dimiliki oleh puskesmas
puskesmas, maka implementasi program untuk mendukung layanan ART di tingkat
ART di daerah juga perlu disesuaikan layanan primer?; 3) apakah tingkat integrasi
dengan konteks lokal. tersebut berimplikasi positif terhadap
efektifitas program ART di tingkat kabupaten/
Selanjutnya perlu adanya kesadaran
kota?; 4) sejauh mana peran pemda dalam
dan komitmen politik akan kebutuhan
layanan ART di tingkat layanan primer?;
integrasi layanan ART di layanan kesehatan
dan 5) bagaimana dan seberapa jauh peran
primer dari pemerintah. Penyusunan
OMS dalam mendukung layanan ART pada
kebijakan terkait integrasi di layanan
layanan kesehatan primer?
kesehatan primer dan rekomendasi praktis
pelaksanaan program di daerah disusun
berdasarkan kebutuhan dan berbasis bukti,
sehingga akan lebih bermanfaat dibanding
sekadar menyesuaikan kebijakan nasional
pelaksanaan program ART tanpa melihat
B.
situasi dan sumber daya lokal (Friedland, Metode
Harries, & Coetzee, 2007). Daerah dapat
menunjuk dan mempersiapkan layanan Tulisan ini merupakan sebuah analisis, yang
kesehatan primer sesuai dengan kriteria secara khusus melihat tentang integrasi
yang berlaku untuk dapat menjadi puskes­ layanan ART ke dalam pelayanan primer
mas layanan ART (Kementerian Kesehatan dengan memanfaatkan data yang telah
RI53). Diperlukan komitmen politik dan diperoleh dari dua sumber: 1) penelitian
penyesuaian terhadap pembiayaan, serta yang dilakukan oleh PKMK sebelumnya54
sumber daya manusia dalam rangka tentang integrasi upaya penanggulangan
memenuhi kebutuhan layanan kesehatan
54) Kajian Dokumen Kebijakan HIV & AIDS dan Sistem
primer (Bedelu et al., 2007). Kewenangan Kesehatan di Indonesia, tahun 2015; Laporan Penelitian
pemda dalam pengelolaan puskesmas Operasional Implementasi Strategi LKB pada Prosedur
sebagai layanan kesehatan primer juga Pengobatan HIV-IMS di Kota Yogyakarta dan Kota
Semarang, 2015; Integrasi Upaya Penanggulangan HIV
secara jelas disebutkan dalam Permenkes dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan, 2015; Laporan
Penelitian: Tinjauan Respons Sektor Komunitas terhadap
Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, 2015;
53) Surat pemberitahuan proses aktivasi layanan ARV, Laporan Penelitian: Studi Kasus penanggulangan HIV dan
dari Kementerian Kesehatan RI kepada seluruh Dinkes AIDS ke dalam Sistem Kesehatan, 2016.
Provinsi, Nomor: BN 01.01/III.2/2482/2013.

122
I ta Pe rw i ra

Gambar 9. Kerangka Penilaian Tingkat Integrasi di Layanan


Kesehatan Primer

Koordinasi
1 Kolaborasi minimal

2
Elemen kunci: komunikasi
Kolaborasi dasar di layanan
kesehatan yang berbeda

Ko-Lokasi
3 Kolaborasi dasar di satu
lokasi layanan kesehatan

4
Elemen kunci: jarak fisik
Kolaborasi yang kuat dengan
integrasi sebagian

04

Integrasi
5 Kolaborasi kuat menuju ke
integrasi penuh

6
Elemen kunci: perubahan layanan Kolaborasi penuh dan
perubahan di layanan
kesehatan primer

Sumber: diadaptasi dari kerangka standar untuk tingkat integrasi pada layanan kesehatan yang digunakan SAMHSA (Blount, 2003; Doherty,
McDaniel, & Baird, 1996; Heath B, Wise Romero P, 2013)

HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan tema-tema yang relevan dengan kerangka
di 16 kota di sembilan provinsi; dan 2) hasil kon­septual yang digunakan, untuk mem­
evaluasi program LKB di Kota Yogyakarta bantu memahami isu tentang integrasi
dan Kota Semarang. Data sekunder terkait se­buah layanan spesifik ke layanan primer.
dengan kebijakan dan layanan ART juga Pe­nelitian ini menggunakan kerangka
dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan untuk kon­septual integrasi yang diadaptasi dari
mendukung data yang ada. ke­rangka konseptual Doherty, et al. (1996)
yang dikembangkan kembali oleh Blount,
Analisis data dilakukan dengan mengi­
et al. (2003) dan Heath, et al. (2013), yang
den­tifikasi informasi di atas ke dalam

123
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

di dalamnya kriteria integrasi ditentukan HIV (ART) dan layanan kesehatan umum
ber­dasarkan tiga kategori, yaitu koordinasi, lainnya di puskesmas sudah menjadi satu
ko-lokasi dan integrasi penuh, yang masing- kesatuan layanan dengan komunikasi antara
ma­sing kategori memiliki sub-kategori seperti keduanya yang cukup baik, sehingga terjadi
tampak dalam gambar 9. efisiensi dan efektivitas layanan kesehatan,
meskipun masih ada beberapa sistem seperti
Penjelasan untuk penilaian tingkat
sistem pelaporan atau rekam medis pasien
integrasi ART pada layanan kesehatan
yang belum dapat diintegrasi dengan baik.
primer berdasarkan kerangka konseptual di
Sedangkan untuk tingkat 6, merupakan
atas, sebagai berikut:
tingkat integrasi yang paling tinggi, di mana
Tingkat integrasi pada kategori seluruh layanan HIV (ART) sudah terintegrasi
koordinasi terbatas hanya pada adanya secara penuh dan menjadi bagian dari
komunikasi antara penyedia layanan layanan kesehatan yang ada di puskesmas.
kesehatan primer (puskesmas atau klinik), Prinsip layanan berlaku untuk semua individu
masing-masing layanan berjalan terpisah, tanpa ada perbedaan bagi kelompok atau
baik secara fisik maupun sistem. Pada tingkat individu tertentu.
1, komunikasi antara layanan kesehatan
Berdasarkan variasi sifat dan jenis
primer yang terjadi dengan layanan HIV
kategori di atas, sebuah analisis disusun
(layanan ART) sangat jarang dan terbatas,
untuk menjawab seberapa jauh tingkat
hanya dilakukan apabila ada kasus terkait
integrasi layanan ART ke dalam layanan
HIV. Sementara pada tingkat 2, komunikasi
primer, seberapa jauh tingkat integrasi ini
yang sama terjadi, namun dilakukan lebih
berimplikasi terhadap efektivitas la­yana­n
sering atau secara periodik untuk membahas
ART, dan faktor-faktor apa yang memung­
pasien ODHA yang datang ke layanan
kinkan terjadinya tingkat integrasi tersebut.
kesehatan primer.
Sementara untuk tingkat integrasi

C.
pada kategori ko-lokasi sudah didapatkan
kolaborasi yang lebih dekat dikarenakan
layanan HIV (layanan ART) dan layanan
kesehatan umum lainnya sudah berada Tingkat Integrasi Layanan ART
di satu lokasi fasilitas layanan kesehatan di Layanan Kesehatan Primer
(fasyankes). Perbedaannya pada tingkat 3,
meskipun komunikasi menjadi lebih reguler
(Puskesmas)
melalui sistem rujukan antar layanan, namun
Konsep layanan HIV yang terintegrasi
masing-masing masih berjalan dengan
di layanan kesehatan mulai dari tingkat
sistem yang terpisah. Sementara pada
layanan primer sudah dikembangkan
tingkat 4, layanan sudah mulai ada integrasi
di Indonesia, melalui LKB yang
dan sistem yang mulai digabung sehingga
mengedepankan layanan kesehatan yang
mempermudah akses pasien saat layanan
komprehensif dan berbasis komunitas. LKB
kesehatan dari dua belah pihak (program
meningkatkan akses dan cakupan terhadap
HIV dan layanan kesehatan umum).
upaya promosi, pencegahan, pengobatan
Tingkat integrasi yang paling tinggi HIV dan IMS serta rehabilitasi yang
adalah pada kategori integrasi 5 dan 6. berkualitas dengan memperluas jejaring
Pada kategori integrasi tingkat 5, sudah layanan kesehatan (Kemenkes RI, 2012).
ada kolaborasi dan integrasi layanan Layanan LKB di layanan primer ini berusaha
yang cukup tinggi, di mana antara layanan memberikan layanan kesehatan primer

124
I ta Pe rw i ra

yang dibutuhkan oleh masyarakat tanpa LKB memanfaatkan sistem dan


ada pemisahan layanan (misalnya layanan struktur kesehatan yang sudah ada
eksklusif untuk HIV), sehingga diharapkan dengan mengedepankan enam pilar
akan mendorong integrasi layanan dengan sebagai kerangka kerja yang efektif
mempermudah akses layanan kesehatan. dalam pelaksanaan di lapangan, yaitu: (1)
Gambar 10 menunjukkan jenis-jenis layanan koordinasi dan kemitraan dengan semua
HIV dan AIDS yang seharusnya bisa pemangku kepentingan di setiap lini; (2)
diberikan dan diakses di layanan kesehatan pelayanan terintegrasi dan terdesentralisasi
primer sebagai bagian dari LKB. sesuai kondisi setempat; (3) sistem rujukan
dan jejaring kerja; (4) paket layanan HIV

Gambar 10. Jenis layanan HIV & AIDS yang dibutuhkan di


layanan kesehatan primer

04

Perawatan paliatif

Perawatan berbasis rumah

PPIA Terapi ARV

IO dan penyakit terkait HIV


PPP
Diagnosis, perawatan, pengobatan dan profilaksis

Dukungan psikosisial dan spiritual


Bagi individual dan keluarga perawat, yatim piatu

Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS/VCT)

Pencegahan
Tata laksana IMS, PDB, KPP, KIE, Kewaspadaan Standar

HIV (-) Terpajan HIV (+) AIDS Fase Terminal

Sumber: Kementerian Kesehatan (Kemkes), Pedoman penerapan layanan Komprehensif HIV-IMS


Berkesinambungan, 2012

125
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

komprehensif yang berkesinambungan; (5) Hasil analisis data primer dan sekunder
akses layanan terjamin; dan (6) keterlibatan yang dilakukan PKMK menunjukkan bahwa
ODHA dan keluarga. faktor-faktor penghambat pelaksanaan
layanan ART dalam LKB, antara lain:
Penerapan layanan HIV dan AIDS
yang komprehensif di layanan primer 1. Layanan ART dengan menggunakan
dalam bentuk LKB ini menunjukkan pendekatan LKB belum berjalan dengan
adanya pergeseran paradigma tata kelola baik.
penanggulangan HIV dan AIDS, dari respons
Data dari puskesmas Kota Yogyakarta
darurat menjadi lebih programatik jangka
dan Kota Semarang menunjukkan bahwa
panjang, di dalam sistem layanan kesehatan
fungsi layanan ART, baik sebagai satelit
primer yang berkelanjutan. Pergeseran
maupun inisiasi, belum terlaksana
tata kelola penanggulangan ini terjadi
sepenuhnya. Padahal layanan ini
mengikuti perubahan, baik yang dipengaruhi
semestinya menjadi bagian dari layanan
oleh sosio-ekonomi maupun kemajuan
LKB-SUFA. Hal ini menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi, terkait
pendekatan LKB belum menjadi jaminan
pengobatan HIV dan AIDS.
bahwa layanan ART dapat dilaksanakan
Salah satu contoh yang terlihat jelas di puskesmas.
adalah fokus penanggulangan yang
Lebih jauh, situasi ini mengindikasikan
bergeser dari promosi dan pencegahan
bahwa komponen layanan lainnya belum
ke arah PDP sejak ditemukannya ARV.
bisa berjalan karena fokus utama LKB
Pelaksanaan ART juga mengalami
adalah pelayanan ART. Penyediaan
pergeseran, yang tadinya hanya bertujuan
layanan ART pada layanan kesehatan
meningkatkan kualitas hidup ODHA,
primer puskesmas pada awalnya lebih
sekarang juga menjadi pencegahan
diarahkan sebagai layanan satelit, yaitu
(treatment for prevention) bagi pasangan
bagian dari LKB yang mampu untuk
serodiskordan. Bahkan saat ini sudah mulai
merawat ODHA sebelum dan sesudah
digunakan sebagai profilaksis khususnya
memulai terapi ARV. Namun proses
bagi kelompok LSL (WHO, 2015).
inisiasi masih merujuk pada fasyankes
Di Indonesia, penerapan LKB ini terus pengampu, yaitu layanan kesehatan
diperluas oleh Kemenkes, hingga pada tahun sekunder (RS), seperti yang dijelaskan
2013 sudah ada 225 puskesmas dan klinik dalam Permenkes RI No. 21 tahun 2013
serta 53 RS yang tersebar di 46 kabupaten/ tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
kota di 20 provinsi (Kemenkes RI, 2012). dan pedoman LKB.
Strategic use of ARV (SUFA) merupakan
Beberapa tantangan lainnya yang
layanan pengobatan HIV dan AIDS yang
ditemukan pada pelaksanaan LKB di dua
seharusnya menjadi bagian dari kerangka
kota di atas adalah peran dan kapasitas
konsep LKB. Upaya pemberian ARV dini,
SDM, terutama tenaga kesehatan
perluasan cakupan pengobatan serta usaha
yang terkait dengan layanan LKB,
untuk meningkatkan kepatuhan semuanya
masih kurang. Salah satu contohnya
dilakukan dengan menggunakan kerangka
adalah untuk layanan PPIA atau KTIP
layanan kesehatan komprehesif berbasis
yang membutuhkan keahlian dan
komunitas, yang mengedepankan layanan
kesensitifan tenaga kesehatan untuk
di tingkat puskesmas. Konsep layanan
meningkatkan cakupan tes HIV, masih
kesehatan primer ini dimaksudkan untuk
sangat bervariasi pada puskesmas yang
mendorong perluasan cakupan layanan ART
ditunjuk melaksanakan LKB. Padahal, tes
agar lebih mudah diakses oleh masyarakat.

126
I ta Pe rw i ra

HIV ini merupakan salah satu komponen membahas kasus per kasus, yaitu
dasar dari layanan ART untuk menjaring komunikasi antar fasyankes dari primer
ODHA. Selain itu juga, ditemukan belum ke sekunder atau bahkan tersier bila
adanya standar operasional di tingkat dibutuhkan. Sementara komunikasi
puskesmas menjadi salah satu alasan untuk program yang lebih luas dilakukan
dari para petugas kesehatan yang melalui pertemuan koordinasi reguler
dianggap menghambat mereka dalam oleh KPA di masing-masing daerah.
melaksanakan layanan LKB.
Fungsi koordinasi yang terpisah ini
2. Belum adanya koordinasi yang baik di sebenarnya masih menjadi kendala
antara para penyedia layanan. di lapangan. Ini dikarenakan dinkes
sama sekali tidak memiliki kekuasaan
Koordinasi antar unit layanan sebagai
maupun fungsi koordinasi dengan OMS.
satu pilar utama yang memungkinkan
Sementara layanan ART tidak dapat
terjadinya kerja sama dan rujukan antar
berdiri sendiri, tanpa ada dukungan
komponen layanan ART di lapangan
OMS, khususnya dukungan untuk ODHA
masih belum berjalan dengan baik.
selama pengobatan. Namun di lapangan
Hal ini terlihat dengan masih adanya
pada tingkat puskesmas, hal ini dapat
permasalahan proses rujukan dari
diatasi melalui komunikasi dan kolaborasi
puskesmas ke RS atau sebaliknya
non formal yang muncul dari inisiatif
lantaran sebab-sebab semisal masalah
OMS maupun puskesmas. Komunikasi
administratif. Padahal, koordinasi yang
dan kolaborasi yang terjadi masih sangat
baik sangat diperlukan mengingat
terbatas berkaitan dengan mekanisme
cukup banyak aktor atau pemangku
pengobatan ARV, misalnya mengatasi
kepentingan yang terlibat. Contohnya 04
stock out atau untuk kepentingan
KPA kabupaten/kota, fasyankes primer
mempermudah proses pengobatan.
(Puskesmas), fasyankes sekunder dan
Bentuk kolaborasi misalnya melalui
tersier (RS kabupaten/kota/provinsi), OMS
MoU antara OMS dengan puskesmas
(berbagai LSM, OBM, dll), Perawatan
terkait dengan kerjasama untuk akses
Berbasis Rumah/PBR (ODHA dan
layanan dan memberikan pendampingan
keluarga), dan masyarakat termasuk di
terhadap populasi kunci dan ODHA.
dalamnya ada populasi kunci. Gambar
11 menjelaskan kompleksnya hubungan
yang terjadi antar berbagai aktor yang
3. Tarik menarik antara integrasi
terlibat dalam LKB, termasuk layanan
fungsional dan integrasi struktural.
ART.
Upaya kesehatan dalam LKB ditujukan
Saat ini sudah ada komunikasi yang
pada bentuk layanan yang terintegrasi
terjadi antara aktor-aktor yang terlibat,
dan terdesentralisasi sesuai kondisi
meskipun masih terjadi pemisahan
setempat. Konsep layanannya lebih
antara program dan layanan umum.
mengedepankan integrasi fungsional
Misalnya, secara umum koordinasi
untuk dapat memaksimalkan layanan
untuk penanggulangan HIV dan AIDS
kesehatan primer dibandingkan integrasi
di koordinasi oleh KPA, sementara
struktural. Integrasi layanan, terutama
untuk layanan kesehatan umum di
di layanan primer (puskesmas), terus
koordinasikan oleh dinkes, termasuk
diupayakan untuk dapat dilakukan ‘satu
di dalamnya layanan HIV dan AIDS.
atap dan satu hari’. Namun saat ini,
Komunikasi yang terjadi sudah cukup
pelaksanaannya masih secara bertahap
reguler pada tataran klinis, khususnya

127
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

Gambar 11. Kerangka kerja dan aktor yang terlibat dalam LKB

Komisi Penanggulangan AIDS

Fasyankes Fasyankes
Sekunder RS Primer
Kab/Kota Puskesmas

Kader

Masyarakat

Kelompok LSM,
Dukungan Ormas,
PBM Orsos,
Fasyankes Relawan
Tersier RS
Keluarga
Provinsi
PBR ODHA

Community Organizer

Sumber: Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Pedoman penerapan layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan, 2012

mulai dilakukan, beberapa contoh layanan kesehatan yang komprehensif.


adalah integrasi layanan skrining TB di Sementara integrasi struktural, meskipun
layanan PDP HIV atau sebaliknya KTIP, juga diharapkan bisa terjadi, namun
ko-manajemen TB-HIV, layanan PPIA untuk saat ini dianggap masih akan
(integrasi antara KIA dan HIV). menjadi kendala, mengingat komponen
dari program ART cukup banyak dan
Upaya mendorong pelayanan
kompleks. Banyaknya aktor yang terlibat
satu atap ini merupakan bentuk
dari institusi yang berbeda, dengan
integrasi fungsional yang diharapkan
struktur serta kepentingan yang berbeda
dapat mempermudah akses layanan
akan sangat sulit untuk diintegrasikan.
kesehatan dan memberikan paket

128
I ta Pe rw i ra

Oleh karena itu, usaha integrasi lebih pembentukan 475 puskesmas satelit
didorong pada upaya ketersediaan yang dapat memberikan layanan ART,
layanan dengan mengedepankan dengan monitoring dari RS pengampu,
integrasi fungsional. Namun ketersediaan di mana sampai saat ini sudah ada
layanan ini berpengaruh pada hambatan sekitar 333 puskesmas yang melayani
akses yang dialami beberapa populasi ART (gabungan antara layanan satelit
kunci dikarenakan masalah administrasi, dan inisiasi ART). Sementara untuk
seperti yang digambarkan oleh salah layanan kesehatan yang sudah mampu
satu populasi kunci di Kota Makasar di memberikan layanan inisiasi ART
bawah ini: (layanan ARV mandiri), baru tersedia
“Pertama-tama yang paling penting itu bunda, sekitar 398 pusat layanan kesehatan,
ka­lau yang dari Puskesmas, seumpama di 354 di antaranya adalah RS dan
Pus­kesmas kita ambil rujukan dulu, tergantung sisanya adalah puskesmas atau balai
lagi kalau rumah sakit yang tempat kita tinggal
itu tipenya tipe B, nah harus alurnya dari Pus­ pengobatan lainnya dan klinik (36).55
kes­mas langsung ke tipe B, kecuali kita mau Jumlah ini masih di bawah dari target RS
meng­aksesnya ke tipe A artinya pengobatan yang diharapkan bisa menjadi layanan
yang lebih besar yang tidak ada dirumah sakit
di tipe B itu contohlah di Wahidin, tidak harus rujukan untuk HIV dan AIDS berdasarkan
me­lalui langsung Wahidin kita harus melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan
dulu Puskesmas dulu mengambil rujukan di rujuk Republik Indonesia (Kepmenkes RI)
ke rumah sakit terdekat contoh Labuang Baji,
Labuang Baji yang merujuk ke Wahidin, seperti Nomor 481/MENKES/SK/XII/2013, yaitu
itu. Mekanismenya itu harus ada KTP kartu ke­ diharapkan 408 RS yang ada dalam
luar­ga untuk dapat itu supaya bisa mengakses daftar sudah mampu menjadi layanan
layanan di situ... karena waria itu kan dia kan
ber­pindah-pindah jadi sangat sulit untuk memiliki rujukan untuk ODHA.
kar­tu yang seperti itu, makanya sangat sedikit 04
memiliki kartu tanda pengenal itu, sangat sedikit, Berdasarkan situasi epidemi saat ini
kecuali mereka yang tinggal menetap di suatu yang semakin meningkat di beberapa
dae­rah yang lama baru mereka memiliki kartu daerah, membuat kebutuhan layanan
tanda penduduk itu.” (Wawancara mendalam
Uni­versitas Hasanuddin dengan perwakilan Po­ ARV semakin meningkat. Sistem
pu­lasi Kunci di Kota Makassar, September 2015). desentralisasi yang ada memberi
ruang bagi daerah untuk mengatasi
Pengalaman populasi kunci di atas
permasalahan tersebut, yang salah satu
dikarenakan layanan mengacu pada
caranya adalah dengan memperluas
struktur layanan yang dibuat JKN saat
layanan ART melalui peningkatan
ini mengharuskan akses kesehatan
kapasitas layanan primer (puskesmas)
dilakukan secara berjenjang, dimulai
dan mengintegrasikan layanan ART
dari layanan kesehatan primer, yang
tersebut ke dalam layanan di puskesmas.
kemudian dapat dirujuk bila diperlukan
Layanan ART mandiri ini sudah mulai
ke layanan yang lebih lengkap.
dikembangkan misalnya di wilayah DKI
4. Cerminan desentralisasi kesehatan Jakarta dengan inisiasi ART di sepuluh
yang belum berjalan dengan baik. puskesmas. Namun untuk daerah lainnya
seperti Kota Makassar, Semarang,
Tingkat desentralisasi layanan, seperti
Yogyakarta, Puskesmas baru berperan
pengobatan ARV dalam konsep LKB,
sebagai layanan satelit saja.
sangat tergantung pada situasi epidemi
daerah yang akan menentukan target Proses seperti ini membutuhkan
cakupan dan layanan serta kebutuhan komitmen dari pemda yang didasari
kapasitas petugas kesehatan. Dalam
SRAN 2015-2019 dinyatakan mengenai 55) Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan IV tahun
2015.

129
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

atas kebutuhan dan permasalahan yang kapasitas SDM dan juga infrastruktur
ada di daerahnya sendiri. Pemda harus lainnya.
mampu memperkuat sumber daya dan
5. Dukungan pembiayaan masih bersifat
kapasitas dari layanan primer masing-
parsial.
masing agar dapat memaksimalkan
fungsi dan perannya dalam layanan Selain menjamin akses layanan melalui
kesehatan di tingkat primer. Hal ini ketersediaan layanan terutama di tingkat
tentunya juga diikuti dengan dukungan primer, perlu juga mempertimbangkan
dari segi pembiayaan terkait peningkatan keterjangkauan ekonomi atas layanan
sumber daya baik untuk peningkatan yang disediakan. Saat ini, pembiayaan

Tabel 9.
Jumlah
Layanan ARV
Mandiri di
DKI Jakarta
(10)

Jakarta Pusat (1)


Puskesmas Gambir

Jakarta Timur (3)


Puskesmas Jatinegara, Puskesmas Kramat Jati,
Puskesmas Pulo Gadung, Puskesmas Pasar Rebo

Jakarta Utara (2)


Puskesmas Tanjung Priuk, Puskesmas Koja

Jakarta Barat (2)


Puskesmas Cengkareng, Puskesmas Tambora

Jakarta Selatan (2)


Puskesmas Tebet, Puskesmas Setiabudi

Sumber: Data sekunder dari KPAP DKI Jakarta (KPAP DKI Jakarta,
Agustus 2015, http://kpap.jakarta.go.id/news/read/193/daftar-layanan-
kth-dinkes-2015.

130
I ta Pe rw i ra

layanan kesehatan dimasukkan kemungkinan berbagai efek samping


dalam sistem JKN, melalui asuransi yang ditimbulkan dari proses minum
kesehatan sosial yang dikelola oleh obat dengan jangka waktu yang panjang
BPJS. Sayangnya, belum semua tersebut.
kebutuhan kesehatan masuk dalam
Dukungan serta layanan sebelum dan
skema pembayaran ini. Salah satu
setelah proses inisiasi menjadi sangat
contohnya adalah layanan terkait HIV
penting. Hal ini akan membutuhkan
dan AIDS, di mana belum semua layanan
dukungan sosial baik dari petugas
pemeriksaan atau pengobatannya
kesehatan, petugas non kesehatan,
masuk dalam skema pembiayaan ini.
keluarga, maupun lingkungan. Dari
Sementara untuk pengobatan ARV,
sini dapat dilihat bahwa SDM dalam
pemeriksaan laboratorium CD4 dan
penanggulangan HIV dan AIDS, termasuk
viral load karena penanggulangan
layanan ART ini tidak hanya meliputi
HIV dan AIDS merupakan salah satu
tenaga kesehatan saja namun juga
permasalahan yang menjadi tanggung
tenaga non kesehatan.56
jawab pemerintah, maka pengobatan
dan pengadaan ART ini menjadi program Kebanyakan tenaga SDM non
nasional yang menggunakan dana dari kesehatan yang ada di layanan primer
APBN. Sementara pembiayaan layanan ini, terutama terkait dengan layanan
kesehatan lainnya yang terkait, masuk ART, dilakukan oleh OMS seperti tenaga
dalam pembiayaan sistem kesehatan penjangkau, pendamping, dan manajer
yang ada melalui JKN dan APBD, kecuali kasus. Oleh karena itu, menjadi penting
untuk pemeriksaan lab CD4 dan viral load untuk memastikan keberlangsungan
yang masih harus out of pocket. OMS menjaga keberlanjutan layanan 04
“Walaupun adanya JKN sering kali disebut-sebut ini. Tenaga non kesehatan tersebut
sebagai hal yang positif bagi ODHA, namun belum memiliki nomenklatur yang diakui
sampai saat ini hanya komponen IO [infeksi oleh pemerintah, sehingga pembiayaan
oportunistik] yang sudah masuk dalam skema
pembiayaan JKN. Dalam JKN sayangnya skema masih bergantung pada donor selama
untuk pengobatan HIV belum dimasukkan ini. Namun demikian, salah satu wilayah
karena adanya argumen bahwa sampai saat ini dengan komitmen tinggi adalah Kota
obat ARV masih ditanggung pemerintah melalui
bantuan lembaga asing. Selanjutnya dalam JKN, Makassar. Gubernur telah mengeluarkan
biaya untuk pemeriksaan pra-ARV juga belum SK yang mengatur pembiayaan petugas
dimasukkan sehingga biaya tersebut harus non kesehatan melalui APBD. Sayangnya
dibayar sendiri oleh klien atau ditanggung oleh
LSM yang mendapat bantuan dari donor asing” ini belum terjadi di wilayah lainnya.
(Wawancara mendalam Universitas Udayana,
Dinkes, 2014)
Partisipasi masyarakat dalam layanan
ART lebih banyak terlihat melalui
6. Keberlanjutan layanan pasca dukungan keterwakilannya dalam OMS. Sementara
donor masih menjadi tanda tanya. bentuk pelibatan langsung masyarakat,
Konsep layanan yang komprehensif terutama pada layanan ART di RS, lebih
dan berkelanjutan tidak hanya banyak hanya sebagai penerima manfaat
berhenti sampai pada aksesibilitas dan program atau layanan kesehatan
ketersediaan layanan pengobatan ART saja. Dari data yang dikumpulkan ada
serta pemeriksaan laboratorium saja. beberapa temuan terkait partisipasi
Pengobatan ARV merupakan pengobatan masyarakat melalui populasi kunci
yang kompleks dan membutuhkan dan ODHA. Kegiatan-kegiatan
komitmen seumur hidup, serta adanya 56) Peraturan Menteri Kesehatan (Permekes) RI Nomor 21
Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.

131
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

partisipasi masyarakat lebih banyak juga kolaborasi lainnya berupa komunikasi


dimotori oleh OMS melalui berbagai antar aktor-aktor yang terlibat juga sudah
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Di terjadi secara periodik, yang ditunjukkan
beberapa daerah seperti DKI Jakarta dengan adanya forum koordinasi yang
juga menunjukkan bentuk keterlibatan dimotori oleh KPA, termasuk dengan
masyarakat umum melalui Warga masyarakat dan populasi kunci melalui
Peduli AIDS (WPA) yang kini berjumlah OMS. Namun koordinasi ini masih terpisah
25 orang dan ada sekitar 30 LSM yang dengan koordinasi layanan kesehatan yang
aktif bererak dalam penanggulangan dilakukan oleh dinkes. Di sini dapat dilihat
HIV dan AIDS.57 Namun kegiatan seperti masih adanya pemisahan antara layanan
ini sangat tergantung pada keaktifan klinis dengan program penanggulangan
masyarakat dan juga komitmen pemda HIV dan AIDS lainnya, seperti promosi dan
dalam mendukung program kesehatan, pencegahan.
termasuk HIV dan AIDS.
Di layanan kesehatan sendiri masih
Berdasarkan isu-isu layanan ART di ter­jadi tarik menarik antara integrasi struk­
tingkat layanan primer seperti digambarkan tural dan fungsional, di mana dalam konsep
di atas, serta mengacu pada kerangka pelaksanaan LKB yang ditekankan adalah
konseptual dalam tulisan ini, dilakukan integrasi fungsional. Usaha melak­sa­nakan
penilaian untuk menentukan tingkat layanan satu atap baru dilaksanakan secara
koordinasi yang terjadi. Pelaksanaan parsial. Meski ada upaya mengintegrasikan
LKB yang belum berjalan dengan baik semua layanan dalam satu atap (ko-lokasi),
menunjukkan bahwa koordinasi layanan namun secara program, layanan ART masih
ART yang ada belum terjadi satu atap, berjalan dengan sistem yang terpisah. Hal
terutama puskesmas belum bisa memberi ini dikarenakan komponen-komponen dalam
layanan yang komprehensif. Umumnya program ART cukup banyak dan kompleks
layanan ART di puskesmas terbatas pada serta berbeda dengan layanan kesehatan
layanan satelit saja, sehingga masih perlu umum. Layanan ART tidak terbatas pada
dilakukan rujukan ke RS inisiasi ART untuk la­yanan kesehatan saja, tetapi komponen
memulai pengobatan. Proses rujukan psikososial juga memegang peran yang
yang terjadi saat ini sudah menunjukkan cukup besar. Oleh karena itu, integrasi penuh
adanya bentuk kolaborasi, dengan yang juga meliputi integrasi struktural sulit
terbangunnya komunikasi antara penyedia terjadi.
layanan kesehatan primer dan layanan
Berdasarkan penilaian di atas, bisa disim­
sekunder/tersier dalam bentuk rujukan dan
pulkan bahwa tingkat integrasi menunjukkan
pembahasan tentang kasus ODHA yang
bahwa bentuk koordinasi yang terjadi untuk
dirujuk. Ada juga sebagian kecil puskesmas
layanan ART masih ada di tingkat 2. Artinya
di daerah (contoh di DKI Jakarta), yang sudah
adalah walaupun sudah ada beberapa
memulai layanan inisiasi ART di tingkat
pus­kesmas yang melakukan layanan ART
puskesmas sehingga layanan HIV lebih
inisiasi, namun jumlahnya masih sangat
komprehensif di satu lokasi dan kolaborasi
kecil dibandingkan dengan kebutuhan dan
yang terjadi menjadi lebih dekat.
juga jumlah keseluruhan puskesmas yang
Bentuk kolaborasi yang terjadi seperti ada. Belum adanya ko-lokasi layanan di
di atas masih berbentuk dasar. Selain itu satu tempat, meski sudah ada koordinasi
dan komunikasi secara periodik antara
57) Permenkes RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS yang berkaitan dengan pemangku kepentingan dan berjalannya
partisipasi masyarakat dituangkan dalam pasal 50, 51, sistem rujukan untuk membahas kepentingan
dan 53.

132
I ta Pe rw i ra

Gambar 12. Cascade Program ART di Indonesia Sampai dengan


Desember 2015

Jumlah positif HIV & AIDS


268.185
Masuk perawatan HIV
200.618 74,81%
148.718 74,13%
Memenuhi syarat ART

Pernah ART
120.677 81,14%
On ART
63.066 52,26%
Sumber: Kemenkes - Final Laporan Perkembangan HIV/AIDS TW IV, 2015 dan Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2015

pasien dari layanan primer ke layanan ini sejalan dengan cakupan ART nasional 04
sekunder. Lebih lanjut, sudah ada komunikasi yang juga sudah memenuhi target, yaitu
di antara komponen-komponen lainnya mes­ men­capai 82.57%.59 Sementara gambaran
kipun masih berjalan terpisah. le­bih lengkap dari cakupan layanan program
ART secara nasional dapat dilihat pada gam­
bar cascade program ART di bawah ini. Per­

D.
sentase cakupan ART sudah melebihi target
yang ditetapkan dalam SRAN yakni 81.14%.
Namun angka cakupan yang ditunjukkan
Efektivitas Layanan ART pada gambar 12 di atas bila dibandingkan
dengan target global yang 90-90-90,
Efektivitas layanan ART secara sederhana capaiannya saat ini masih sangat jauh dari
bisa dilihat dari seberapa jauh target ca­ target. Bila dilihat dari 90% dari target yang
kup­an yang ditentukan. Berdasarkan SRAN pertama, yaitu untuk menilai jumlah positif
tahun 2014, target nasional cakupan pengo­ ODHA di Indonesia, agak sulit dinilai karena
bat­an ARV adalah 60%.58 Sebagai contoh, data yang ada hanya merupakan laporan
Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan IV jumlah kasus kumulatif. Persentase perlu
tahun 2015 menunjukkan cakup­an la­yan­an dihitung dari jumlah kumulatif tes HIV yang
ART di Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta dilakukan dengan mempertimbangkan juga
sudah melebihi tar­get, yaitu cakupan pengo­ estimasi jumlah populasi kunci yang ada di
batan yang ber­kesi­nam­bung­an dari mereka Indonesia. Namun data ini tidak tersedia.
yang memenuhi syarat mencapai 80.9%. Hal
59) Data yang diperoleh dari Laporan Perkembangan HIV-
58) Angka ini dihitung cakupan angka yang pernah ART AIDS Triwulan IV tahun 2015 dibandingkan dengan target
dari yang memenuhi syarat ART saja dari SRAN 2010-2014

133
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

Untuk target 90% yang kedua, yaitu program layanan ART yang baik diperlukan
jumlah ODHA yang pernah ART, angkanya kondisi layanan kesehatan primer yang kuat.
akan cukup tinggi bila dihitung hanya Demikian sebaliknya bila integrasi dapat
dari yang memenuhi syarat ART, yaitu dilaksanakan dengan baik maka akhirnya
81.14%. Angka tersebut merupakan capaian akan memberikan dampak juga yaitu
fasyankes yang melaksanakan layanan menguat­­kan sistem kesehatan yang ada
ART, termasuk capaian dari 333 puskesmas (Price et al., 2009).
dan balai pengobatan yang melaksanakan
Konsep integrasi melalui LKB yang terjadi
layanan ART (satelit dan inisiasi). Namun
pada layanan ART di layanan kesehatan
target sesungguhnya adalah untuk mencapai
primer di Indonesia, saat dilihat melalui riset
pengobatan ARV bagi semua ODHA. Ini
operasional LKB di Kota Semarang dan Kota
berarti bila dibandingkan dengan jumlah
Yogyakarta menunjukkan, beberapa fungsi
ODHA yang diketahui capaiannya baru
dasar dari layanan primer seperti fungsi
setengah dari target global, yaitu sekitar
koordinasi dan rujukan serta kapasitas dari
45% saja. Sementara untuk target 90% yang
staf puskesmas (tenaga kesehatan) masih
ketiga belum ada data di Indonesia yang
belum tercukupi. Hal ini menyebabkan
bisa dinilai capaiannya.
proses integrasi program layanan HIV dan
AIDS ke layanan primer menjadi terhambat.
Perlu dilakukan penguatan pada sistem

E. layanan kesehatan primer seperti investasi


insfrastruktur manajemen organisasi dan
sumber daya manusia (Price et al., 2009).
Diskusi Selain itu juga perlu dilakukan peningkatan
layanan kesehatan pada layanan primer
Hasil analisis data primer dan sekunder yang menunjukkan sinergi positif antara
menunjukkan bahwa integrasi pada konsep layanan HIV dan AIDS dengan layanan
LKB lebih mengedepankan integrasi dalam kesehatan dasar lainnya, seperti layanan
bentuk fungsional, yang bertujuan lebih kesehatan ibu dan anak (KIA), tuberkulosis
pada memberikan layanan ART melalui (TB), infeksi menular seksual (IMS) dan
layanan kesehatan primer seefektif mungkin lainnya (Price et al., 2009; Valentijn et al.,
melalui koordinasi dan kolaborasi fungsional 2013). Sinergi positif ini diharapkan akan
dari masing-masing aktor. Sementara mendorong pelaksanaan layanan kesehatan
untuk integrasi struktural akan lebih sulit, primer dan mendorong capaian program
mengingat aktor dan komponen yang terlibat dalam hal ini target layanan ART.
cukup banyak dan kompleks.
Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan
Hasil ini berbeda dengan konsep LKB integrasi layanan fungsional puskesmas
dan integrasi yang digunakan oleh Doherty, yang meliputi fungsi manajerial dan
et al. (1996) dan Blount (2003) di mana kon­ operasional di tingkat layanan primer. Fungsi
sep integrasi yang dikembangkan meliputi manajerial ini penting untuk menjamin keber­
integrasi dalam bentuk fungsional (hanya langsungan layanan di puskesmas. Fungsi
fungsi dari komponen-komponen yang ini meliputi kegiatan perencanaan, mana­
ter­libat yang berintegrasi) dan integrasi jemen personalia, manajemen keuangan,
struk­tural (komponen-komponen yang ter­ manajemen logistik, pelatihan untuk staf/
li­bat terintegrasi dalam satu struktur sistem kader/dukun, supervisi, monitoring dan
ke­sehatan). Hal ini juga bertentangan eva­luasi, pencatatan dan pelaporan ser­ta
dengan Freedman (2011) yang menyatakan kepe­mimpinan. Pelaksanaan peran mana­
bahwa untuk memperoleh dampak integrasi

134
I ta Pe rw i ra

jerial yang baik akan menjamin berjalannya yang baik dari masing-masing aktor yang
fung­si operasional dengan baik (Unger, De terlibat akan peran dan tanggung jawab
Paepe, & Green, 2003). Fungsi operasional masing-masing, kolaborasi dan koordinasi
termasuk upaya kese­hat­an masyarakat menjadi jelas, dengan adanya pembagian
(UKM), upaya kese­hatan perorangan (UKP), kerja, tugas dan kewajiban masing-masing
perawatan kesehatan ibu dan anak dan organisasi maupun profesional, serta pelak­
pengobatan untuk berbagai macam penyakit sa­naan monitoring dan evaluasi bersama
termasuk di dalamnya layanan ART. Kedua (Belani et al., 2012; Kemenkes RI, 2012; PKMK
fungsi ini harus dijalankan de­ngan baik untuk FK UGM, 2015). Selain itu, kapasitas daerah
mencapai layanan kesehatan masyarakat dan kapasitas masing-masing puskesmas
yang optimal. Untuk integrasi fungsional ini juga menjadi salah satu pertimbangan
juga harus berjalan selaras dengan integrasi penting dalam usaha integrasi. Sejauh
normatif yang merupakan perkembangan ma­na integrasi perlu dan dapat dilakukan
dan pemeliharaan kerangka umum sebagai akan sangat bergantung pada kebutuhan
referensi seperti visi, misi, nilai, dan budaya serta kondisi dan kemampuan daerah.
yang dianut antara organisasi, grup profesio­ Oleh karena itu, peran dari pemda dalam
nal dan individu yang terlibat di dalam sistem melakukan penilaian kebutuhan dan juga
kesehatan (Valentijn et al., 2013). perencanaan menjadi penting.
Pendekatan layanan kompre­hensif di Sektor komunitas seperti LSM dan KDS
tingkat layanan primer, baik melalui pus­ merupakan bagian dari sistem kesehatan
kes­mas atau kli­nik di lokasi penelitian lain, yang penting dan tidak boleh ditinggalkan
menunjukkan keberhasilan da­lam pening­ dalam perubahan dan proses integrasi. Ini
katan secara cepat cakupan serta mengu­ merupakan salah satu bentuk partisipasi
rangi ang­ka putus obat dalam ART yang masyarakat secara aktif, mulai dari pence­ 04
banyak terjadi di RS (Bedelu et al., 2007; gah­an, deteksi dan pengobatan. Seringkali
Price et al., 2009). Be­berapa kekurangan sektor komunitas dan partisipasi masyarakat
yang ter­jadi pada layanan di RS dapat dia­ terlewatkan dan tidak menjadi perhatian
tasi melalui layanan primer seperti lokasi ba­gi pemda. Bahkan salah satu penelitian
yang lebih dekat dengan tempat tinggal, yang dilakukan di Afrika Selatan secara
ca­kupan yang lebih dini untuk mencegah je­­­las menunjukkan adanya keraguan dari
ting­­ginya tingkat mortalitas, ser­ta follow up pa­­­ra petugas kesehatan bahwa masyarakat
yang lebih efek­tif de­ngan memanfaatkan du­ akan mampu berperan dan membantu dalam
kung­­an dari sektor komunitas yang terse­dia la­yanan kesehatan primer. Namun setelah
di layanan pri­­­mer. Bahkan di salah satu ha­­­­sil menunjukkan hasil yang baik, petugas kese­
penelitian di tingkat ka­bu­paten juga me­ hat­an menjadi lebih terbuka dan merasa
nun­­­jukkan bah­­­wa integrasi layanan ART ke ba­­nyak terbantu dengan pelaksanaan task
da­lam layanan primer ini te­lah mendorong shifting60 yang dilakukan (Bedelu et al.,
tercapainya Universal Health Coverage 2007).
(UHC) di ting­kat kabupaten (Bedelu et al.,
Sejalan dengan itu, Tolle (2009), me­nun­
2007).
jukkan bahwa sektor komunitas memper­li­
Pencapaian integrasi hanya dapat terjadi
60) Penelitian yang dilakukan Bedelu, et al, 2007 di
bila pemahaman tentang layanan yang Lusikisiki menerapkan task shifting yaitu melatih dan
kom­­prehensif berkelanjutan sudah dipahami memberdayakan tenaga non kesehatan untuk mem­
oleh semua pihak atau aktor yang terlibat, ban­tu perawat dalam melakukan tugasnya, terutama
di luar area keperawatan, sehingga mereka lebih fokus
khu­susnya para pengambil kebijakan, dalam melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kepe­
hal ini adalah pemda. Dengan pemahaman ra­wat­an. Hal ini membantu karena keterbatasan SDM
kesehatan

135
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

F.
hatkan peran penting pada wilayah yang
memiliki keterbatasan sumber daya tenaga
kesehatan, dengan menunjukkan dukungan
serta mengembangkan hubungan yang Simpulan
baik dengan masyarakat melalui layanan
berbasis masyarakat. Dukungan melalui Integrasi layanan ART yang telah dicapai
masyarakat ini terbukti telah menurunkan di tingkat layanan kesehatan primer di
angka putus obat dan juga meningkatkan lokasi penelitian saat ini hanya terjadi
kondisi kesehatan dan kesejahteraan pasien pada tingkat koordinasi (tingkat 2). Saat ini
secara umum. hanya terjadi kolaborasi dasar di antara
Lembaga-lembaga yang berasal dari layanan kesehatan yang berbeda. Meskipun
komunitas merupakan sumber daya yang ada beberapa daerah yang sudah mulai
sangat berarti, baik dilihat secara teknis meningkatkan integrasi sampai pada ko-
maupun sumber daya keuangan. Namun lokasi (tingkat 3), namun jumlahnya masih
kelebihan itu tidak boleh dilihat sebagai sangat terbatas (contoh di DKI Jakarta).
satu-satunya kelebihan. Kelebihan itu diba­ Dampak integrasi yang ada untuk program
tasi oleh waktu dan merupakan sumber ART adalah peningkatan cakupan mencapai
yang tidak terjamin keberlanjutannya. (80.9%) yang bila dibandingkan dengan
Keterlibatan sektor komunitas yang utama target cakupan nasional di SRAN sudah
dan yang paling penting adalah kontribusi memenuhi target. Namun bila dilihat lebih
mereka dalam menyuarakan kepentingan luas lagi, target yang dicapai ini masih jauh
dan kebutuhan masyarakat, serta kebebasan dari target global.
politik untuk mempromosikan inovasi Sementara terkait peran aktor yang
dalam layanan kesehatan primer. Inovasi terlibat, dalam hal ini pemda, dalam upaya
ter­sebut mendorong mobilisasi keahlian integrasi sangat dibutuhkan. Hal ini dapat
teknis dan menjalin kemitraan dalam berupa komitmen pemda untuk membantu
mengem­bangkan pendekatan yang inovatif. menciptakan lingkungan yang kondusif
Hal ini dapat memberikan layanan HIV dalam proses integrasi. Misalnya: adanya
yang mudah, terjangkau, dan berkualitas, peraturan atau regulasi yang mendorong
serta secara umum memperkuat sistem integrasi layanan di puskesmas, dukungan
kesehatan (Bedelu et al., 2007). Pemerintah pembiayaan yang mencukupi untuk
bertanggung jawab dan juga kepentingan pengembangan infrastruktur, kapasitas dan
dalam menjaga keberlanjutan OMS karena juga koordinasi, dan dukungan terhadap
perannya yang cukup krusial dalam res­ OMS. Peran OMS adalah mengisi peran-
pons penanggulangan HIV. Dukungan me­ peran yang tidak dapat dilakukan oleh
lalui peningkatan kapasitas SDM dan ju­ga pemerintah, seperti penjangkauan kepada
penjaminan pembiayaan melalui contracting populasi kunci, dukungan sosial selama
out menggunakan dana daerah men­jadi pengobatan melalui manajer kasus,
salah satu alternatif pemda dalam mem­ pendamping, KDS dan juga dukungan
per­tahankan fungsi dukungan OMS dalam lainnya melalui masyarakat. Dalam
layanan ART. melaksanakan perannya, koordinasi yang
baik antara OMS dengan puskesmas dan
juga aktor lainnya yang sudah ada saat ini
perlu ditingkatkan dan dijaga sebagai bagian
dari integrasi layanan kesehatan primer.

136
I ta Pe rw i ra

Puskesmas sebagai ujung luas serta mencapai target


tombak dalam pelayanan global. Untuk itu, beberapa
kesehatan dasar perlu hal yang dapat menjadi
memperkuat fungsi manajerial pertimbangan untuk dilakukan
dan operasionalnya sebagai dalam meningkatkan proses
dasar dari sistem layanan integrasi, antara lain:
kesehatan primer. Fungsi
1. Komitmen pemda harus
manajerial ini penting untuk
ditunjukkan dalam bentuk
menjamin dan memperkuat
regulasi yang lebih mengikat,
keberlangsungan layanan di
misalnya dalam bentuk
puskesmas yang memungkinkan
kebijakan daerah melalui
proses integrasi akan lebih
SK Dinas Kesehatan tentang
mudah. Hambatan proses
penunjukan Puskesmas LKB
integrasi layanan ART di
dan Puskesmas layanan
puskesmas pada beberapa
inisiasi ART. Dengan
daerah dikarenakan belum
“Puskesmas demikian, pemda secara
berjalannya kedua fungsi
manajerial bertanggung
tersebut di dalam organisasi sebagai ujung
jawab terhadap pelaksanaan
puskesmas. Ini menyebabkan tombak dalam kegiatan yang tecermin
bila ada penambahan program pelayanan dalam pembiayaan,
untuk diintegrasikan, meskipun
kesehatan penyediaan sumber daya
program tersebut sudah
memiliki struktur dan fungsi
dasar perlu manusia, dan infrastruktur.

yang baik, akan sulit untuk memperkuat 2. Komitmen pemda terhadap 04


diintegrasikan ke dalam layanan fungsi pelaksanaan regulasi harus
kesehatan primer yang ada. manajerial dan menjamin keberlangsungan
Dalam memaksimalkan fungsi operasionalnya layanan ART, khususnya
manajerial dan operasional, terkait pembiayaan yang
sebagai dasar dari
puskesmas juga harus mampu bersumber pada dana
mengoordinasikan komponen
sistem layanan daerah. Ini sebagai salah
lain yang terkait (e.g. RS dan kesehatan satu bentuk kesiapan
OMS). primer.” keberlanjutan layanan
pasca dukungan donor
(bentuk exit strategy daerah).

G.
Pembiayaan daerah juga
harus mempertimbangkan
pembiayaan kepada sektor
Rekomendasi komunitas (OMS) terkait
LKB ini, karena mereka
Berdasarkan hasil diskusi serta merupakan salah satu
simpulan di atas, kebutuhan komponen penting dalam
akan integrasi layanan ART LKB. Salah satu alternatif
ke dalam sistem layanan adalah melalui contracting
kesehatan primer muncul out dari pemda terhadap LSM
sebagai kebutuhan yang harus sebagai lembaga.
segera dipenuhi demi pemberian 3. Kapasitas dan ketercukupan
layanan kesehatan yang lebih SDM merupakan salah satu

137
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

hal yang penting dalam dari pemda melalui dinkes


pelaksanaan integrasi atau menggunakan dana
program layanan ART ke BLUD Puskesmas.
dalam layanan primer.
5. Penguatan kapasitas
Dinkes harus mampu
manajerial puskesmas
menjamin ketercukupan
(e.g. kepala puskesmas
jumlah dan pengembangan
dan penanggung jawab
kapasitas SDM di puskesmas,
program HIV dan AIDS)
khususnya terkait layanan
oleh dinkes kabupaten/
ART melalui penyediaan
kota sebagai penanggung
tenaga terlatih dan pelatihan.
jawab kesehatan di
Dalam pemenuhan SDM di
daerah. Penguatan
daerah, Dinkes berkoordinasi
ini untuk memperkuat
dengan Badan Kepegawaian
layanan kesehatan primer
daerah (BKD) yang
di puskesmas sebagai
bertanggung jawab dalam
dasar integrasi. Penguatan
kebijakan teknis terkait
manajerial ini juga
kepegawaian. Ketercukupan “Hambatan
memberikan kemampuan
jumlah tenaga harus sesuai proses integrasi manajerial puskesmas dalam
dengan prasyarat yang layanan ART di meningkatkan koordinasi
berlaku yaitu jumlah dokter,
puskesmas pada dan kolaborasi dengan aktor
perawat, petugas pencatatan,
dan pelaporan.
beberapa daerah lain yang terkait, seperti
dikarenakan OMS, kader atau masyarakat
4. Selain itu perlu juga umum, dalam upaya
belum
dipikirkan oleh dinkes memberikan dukungan
dan pemda mengenai berjalannya sosial di masyarakat untuk
kebutuhan untuk tenaga kedua fungsi layanan ART. Contoh bentuk
non kesehatan (e.g. tersebut di kolaborasi bisa berupa
penjangkau, pendamping, dalam organisasi kesepakatan kerjasama
dan manajer kasus), serta puskesmas.” antara dua lembaga (MoU)
bagaimana keberlanjutan atau bentuk lain yang
tenaga ini yang notabene dianggap memungkinkan.
masih di luar nomenklatur
6. Optimalisasi peran KPAD
SDM pemda. Penjaminan
mengolaborasikan peran
SDM non kesehatan ini
OMS dengan layanan
termasuk ketercukupan
kesehatan. Optimalisasi
jumlah kebutuhan SDM non
ini dilakukan dengan
kesehatan di daerah dan juga
memperkuat sistem
menjamin kualitas SDM non
koordinasi untuk memastikan
kesehatan untuk mendukung
semua kegiatan dapat
layanan kesehatan, termasuk
dimonitoring dan dievaluasi
ART di daerah, dengan
dengan baik. Selain itu,
mengacu pada peraturan
peran koordinasi KPAD juga
yang berlaku. Alternatif
dapat di maksimalkan untuk
penjaminan ketercukupan
membantu meningkatkan
SDM ini dapat dilakukan
melalui kontrak individu, baik

138
I ta Pe rw i ra

koordinasi dan komunikasi dalam laporan ini dapat dipergunakan


proses pelaksanaan layanan ART sebagai dasar perencanaan serta
melalui pertemuan-pertemuan rutinnya. monitoring dan evaluasi untuk menjamin
KPAD bersama dengan pemda juga keberlangsungan dan kualitas layanan
harus memberikan dukungan dan di titik tanggung jawab puskesmas,
meningkatkan kapasitas OMS sesuai yaitu kecamatan (atau desa untuk DKI
dengan peraturan Kementerian Dalam Jakarta atau sesuai kondisi di daerah).
Negeri, baik melalui pendanaan daerah Gambaran sistem manajemen laporan
ataupun melalui penyaluran pendanaan yang terintegrasi melalui koordinasi
dari mitra (CSR, MPI, dll) dan kolaborasi berbagai aktor yang
digunakan sebagai dasar monitoring dan
7. Pengembangan sistem pelaporan
evaluasi perencanaan dan pelaksanaan
yang terintegrasi oleh kemenkes
program digambarkan dalam alur (cycle)
secara terpadu yang diturunkan
Gambar 13.
secara berjenjang dari dinkes sampai
dengan puskesmas sebagai layanan 8. Di tingkat kecamatan, puskesmas sesuai
kesehatan primer. Dinkes bertanggung dengan SK Menkes No. 128 Tahun
jawab untuk manajemen di tingkat 2004 tentang kebijakan dasar pusat
daerah (provinsi/kabupaten/kota), kesehatan, bertugas sebagai penggerak
sementara puskesmas bertanggung pembangunan kesehatan di kecamatan
jawab di wilayah kerjanya yakni dan sebagai tenaga ahli pendamping
kecamatan (disesuaikan dengan lingkup Camat. Puskesmas di bawah koordinasi
administrasi daerah). Sistem manajemen camat, bekerjasama dengan instansi

04

Gambar 13. Komponen dan Alur Layanan Kesehatan yang


Terintegrasi

Koordinasi

Kolaborasi Perencanaan layanan Monitoring &


kesehatan terintegrasi evaluasi

Sumber: Diadaptasi dari WMWR November 9, 2012 by CDC tentang integrasi layanan pencegahan (Belani et al., 2012)

139
La y a n an A RT Pada Fas il itas La y an an Keseh atan Primer di In d o n e si a

lainnya di tingkat kecamatan dalam D af t ar Pust aka


perencanaan, pelaksanaan dan monev Bedelu, M., Ford, N., Hilderbrand, K., & Reuter, H.
program kesehatan di puskesmas. (2007). Implementing antiretroviral therapy in rural
communities: the Lusikisiki model of decentralized
9. Di tingkat nasional, kemenkes dan BPJS HIV/AIDS care. The Journal of Infectious Diseases,
196 Suppl (Suppl 3), S464–S468. http://doi.
sebagai pelaksana JKN harus mengkaji org/10.1086/521114
ulang sistem administrasi layanan JKN Belani, H., Chorba, T., Fletcher, F., Hennessey, K., Kroeger,
dengan mempertimbangkan kemudahan K., Lansky, A., … Wynn, B. A. (2012). “Integrated
akses layanan bagi kelompok populasi prevention services for HIV infection, viral hepatitis,
sexually transmitted diseases, and tuberculosis for
kunci dan kelompok termarjinalkan persons who use drugs illicitly: summary guidance
lainnya. Ini termasuk juga mengkaji ulang from CDC and the U.S. Department of Health and
agar layanan PDP dapat dijamin dalam Human Services”. MMWR, Morbidity & Mortality
Weekly Report, 61(RR-5), 1–40. Retrieved from http://
JKN. Tidak hanya pengadaan ARV saja, www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23135062
tetapi juga meliputi proses pemeriksaan Blount, A. (2003). “Integrated primary care: Organizing the
laboratorium, pemeriksaan follow up evidence”. Families, Systems & Health, 21, 121–134.
selama pengobatan, dll. http://doi.org/10.1037/1091-7527.21.2.121
Cohen, M. S., McCauley, M., & Gamble, T. (2012). “HIV
Untuk tingkat daerah, pemda juga harus Treatment as Prevention and HPTN 052”. NIH
mengkaji kesediaan coverage dari JKN dan Public Access, 99–105. http://doi.org/10.1097/
COH.0b013e32834f5cf2.
juga program nasional, serta memastikan
Doherty, W. J., McDaniel, S. H., & Baird, A. M. (1996).
bahwa layanan terkait HIV dan AIDS, “Five level of Primary Care/Behavioral Healthcare
khususnya ART, tetap dapat diakses secara Collaboration”. Behavioral Healthcare Tomorrow,
mudah dan gratis oleh populasi kunci dan 25–28.

kelompok termarjinalkan. Bila layanan belum Freedman, L. P. (2011). “Integrating HIV and maternal
health services: will organizational culture clash sow
masuk dalam JKN atau pembiayaan program the seeds of a new and improved implementation
nasional, maka pemda harus menjamin practice?”. Journal of Acquired Immune Deficiency
layanan tersebut melalui jaminan kesehatan Syndromes (1999), 57 Suppl 2, S80–2. http://doi.
org/10.1097/QAI.0b013e31821dba2d
daerah, semisal melalui Jamkesda atau
Friedland, G., Harries, A., & Coetzee, D. (2007).
lainnya (contoh di Jakarta dengan KJS) untuk “Implementation issues in tuberculosis/HIV program
melengkapi jaminan yang diberikan JKN. collaboration and integration: 3 case studies”. The
Journal of Infectious Diseases, 196 Suppl (Suppl 1),
S114–S123. http://doi.org/10.1086/518664
Green, B. C. W., & Nagar, K. (2013). Care , Support &
Treatment for PLHIV in Indonesia. Retrieved from
http://spiritia.or.id/
Heath B, Wise Romero P, and R. K. A. (2013). A Standard
Framework for Levels of Integrated Healthcare.
Washington, D.C.SAMHSA-HRSA Center for Integrated
Health Solutions.
Kemenkes RI. (2004). Pedoman Nasional Terapi
Antiretroviral. Retrieved from http://spiritia.or.id/li/
bacali.php?lino=403
Kemenkes RI. (2011). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang
Dewasa.
Kemenkes RI. (2012). Pedoman Penerapan: Layanan
Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan.
KPAN. (2005). Country Report mengenai Tindak Lanjut
Deklarasi Komitmen HIV/AIDS (UNGASS).
KPAN. (2010). STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS TAHUN 2010 -
2014, 110.

140
I ta Pe rw i ra

Nadjib, M., Megraini, A., Ishardini, L., & Rosalina, L. (2013).


Final Report National AIDS Spending Assessment
2011-2012.
Palmisano, L., & Vella, S. (2011). “A brief history of
antiretroviral therapy of HIV infection: success and
challenges”. Ann Ist Super Sanità, 46(1), 66–80. http://
doi.org/10.4415/ANN
PKMK FK UGM. (2015). Prosedur Pengobatan pada
Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan
di Kota Yogyakarta dan Semarang, 1–183.
Price, J. E., Leslie, J. A., Welsh, M., & Binagwaho, A.
(2009). “Integrating HIV clinical services into primary
health care in Rwanda: a measure of quantitative
effects”. AIDS Care, 21(5), 608–14. http://doi.
org/10.1080/09540120802310957
Prichett, L., Woolcock, M., & Andrews, M. (2010). Capability
Traps ? The Mechanisms of Persistent Implementation
Failure. Retrieved from http://www.hks.harvard.edu/
var/ezp_site/storage/fckeditor/file/pdfs/centers-
programs/centers/cid/publications/faculty/articles_
papers/pritchett/Capability_Traps.pdf
Schull, M. J., Cornick, R., Thompson, S., Faris, G., Fairall,
L., Burciul, B., … Zwarenstein, M. (2011). “From PALSA
PLUS to PALM PLUS: adapting and developing a
South African guideline and training intervention to
better integrate HIV/AIDS care with primary care
in rural health centers in Malawi”. Implementation
Science : IS, 6, 82. http://doi.org/10.1186/1748-5908-
6-82
Tolle, M. A. (2009). “A package of primary health care 04
services for comprehensive family-centred HIV/AIDS
care and treatment programs in low-income settings”.
Tropical Medicine and International Health, 14(6), 663–
672. http://doi.org/10.1111/j.1365-3156.2009.02282.x
UNAIDS. (2005). Expanding access to HIV treatment
through community-based organizations: Ajoint
publication of Sidaction, the Joint United Nations
Programme on HIVAIDS (UNAIDS) and the World
Health Organization (WHO).
UNAIDS. (2013). Global report. Report on the Global Aids
Epidemic.
UNAIDS. (2014). “The Gap Report”. Geneva: UNAIDS. http://
doi.org/ISBN 978-92-9253-062-4
Unger, J.-P., De Paepe, P., & Green, A. (2003). “A code
of best practice for disease control programmes to
avoid damaging health care services in developing
countries”. The International Journal of Health
Planning and Management, 18 Suppl 1(October 2001),
S27–39. http://doi.org/10.1002/hpm.723
Valentijn, P. P., Schepman, S. M., Opheij, W., & Bruijnzeels,
M. A. (2013). “Understanding integrated care: a
comprehensive conceptual framework based on the
integrative functions of primary care”. International
Journal of Integrated Care, 13(4), e010. http://doi.
org/10.1192/bjp.bp.105.016006
WHO. (2015). Guidelines Guideline on When To Start
Antiretroviral Therapy and on Pre-Exposure
Prophylaxis for Hiv, (September), 78. http://doi.org/978
92 4 150956 5

141
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

05
Pusat Kesehatan
Reproduksi (PKR): Model
Awal Layanan Terintegrasi
Pencegahan Melalui
Transmisi Seksual (PMTS)
di Tingkat Kabupaten
Ign atiu s Hersump ana & Swast i S e m p ul ur

142
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

A.
Situasi HIV & AIDS dan Respons Pemerintah Daerah Merauke

Menurut hasil Survei Terpadu Biologis Perilaku (STBP), prevalensi pada


populasi umum di Papua adalah 2,4% di tahun 2007 dan hanya berkurang
sedikit di tahun 2013 yaitu 2.3% (STBP 2007; 2013). Tanah Papua, menjadi
satu-satunya wilayah di Indonesia dengan generalisasi epidemi. Jumlah
penduduk Provinsi Papua pada tahun 2010 sebesar 2.833.381 jiwa.61
Berdasarkan indikator prevalensi tersebut, maka diperkirakan jumlah
penduduk yang terpapar HIV pada tahun 2010 sebanyak 68.001orang.
Sedangkan secara kumulatif, jumlah Kasus HIV dan AIDS di Tanah Papua
dari tahun 1987-Desember 2015 adalah 34.187 orang, dengan rincian kasus
HIV 20.859 dan AIDS 13.328 (Kemenkes, 2015). Berdasarkan data tersebut,
Papua merupakan salah satu provinsi dengan rata-rata kumulatif kasus AIDS
tertinggi di Indonesia.
61) Data proyeksi jumlah penduduk provinsi pada tahun 2010 diakses via papua.bps.go.id/linkTabelStatis/id/35.

05

Lebih lanjut hasil STBP 2013 menunjuk­ fasi­litas layanan kesehatan di tingkat dis­
kan bahwa prevalensi HIV lebih tinggi pada trik. Sedangkan proporsi penduduk yang
laki-laki (2,3%); kelompok umur 15-24 tahun ber­pengetahuan komprehensif HIV di Papua
(3,1%); laki-laki yang tidak disunat (2,4%); masih rendah, mencapai 9,2%. Penduduk
suku Papua (5,7%); dan dataran tinggi (3%). yang tinggal di dataran rendah memiliki
Hasil survei tersebut juga menemukan, faktor ting­kat pengetahuan komprehensif HIV yang
perilaku berisiko melalui jalur penular­an lebih baik dibanding mereka yang tinggal di
seksual menjadi faktor utama penularan HIV pegunungan.
di Papua. Minum alkohol sebelum mela­
Sementara itu, perkembangan epidemi
kukan hubungan seks juga merupakan faktor
HIV dan AIDS di Kabupaten Merauke mem­
risiko dengan proporsi 13% pada perempuan
per­lihatkan bahwa jumlah kasus HIV dan
dan 9,1% pada laki-laki. Perilaku seks
AIDS sejak tahun 1992 sampai dengan Maret
dengan pasangan tidak tetap paling banyak
2012 sebanyak 1433 kasus; sampai dengan
dilaporkan pada laki-laki sebesar 11%.
Maret 2013 sebanyak 1564 kasus; dan sam­
Faktor perilaku seks berisiko di Papua pai Maret 2014 adalah 1676 kasus (Laporan
dipengaruhi oleh konteks sosio budaya lokal Dinas Kesehatan, 2014). Pada 2012, kasus
dan serta faktor tingkat keterpaparan dengan terbanyak yang ditemukan pada WPS yaitu
program penanggulangan HIV dan AIDS. 15%, ibu rumah tangga 14,7%, dan petani
Hal ini dikarenakan aksesibilitas daerah 12,8%. Namun pada Maret 2013, kasus
yang terbatas, khususnya untuk daerah terbanyak terjadi pada ibu rumah tangga
den­gan geografis yang sulit dijangkau oleh 16,6%, WPS 13,8%, dan petani 12,2% (Laporan
tenaga penjangkauan maupun keterbatasan Dinkes Kabupaten Merauke, 2014).

143
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

Gambar 14. Proporsi Persentase Kasus HIV & AIDS di


Kabupaten Merauke

35%

30%

25%

20%
2013
15%

10%

5%
2012
0%
WPS IRT Petani

Sumber: Dinkes Merauke 2014

Selain itu, peningkatan kasus HIV dari Karena perkembangan kasus HIV dan
2012-2013 juga terlihat pada kelompok AIDS di Kabupaten Merauke semakin tinggi,
berikut ini: siswa/mahasiswa dari 3,3% pemda menyikapi dengan pembentukan
menjadi 3,5%; pekerja swasta dari 7,8% Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) pada
menjadi 8,4 %; dan PNS dari 5,9% menjadi 7% tahun 2002. PKR dibentuk sebagai usaha
(Laporan Dinkes Kabupaten Merauke, 2014). menangani penularan HIV dan IMS, seba­
gai inisiatif pemda jauh sebelum adanya
Secara singkat dapat disimpulkan bah­wa
PMTS. Inisiatif mengembangkan PKR meru­
epidemi AIDS di Merauke cenderung menga­
pa­kan salah satu upaya untuk pe­nguat­an
lami perluasan pada ibu rumah tangga dan
sistem kesehatan di tingkat lokal, dengan
dika­tegorikan sebagai generalisata, karena
pembentukan secara struktural kelem­ba­
penularan HIV baru sudah mengarah ke po­
ga­an yang khusus menangani HIV dan
pulasi umum melalui transmisi seksual. Jika
IMS. Karena memiliki kewenangan se­bagai
dilihat dinamika kasus HIV dan AIDS dan
lembaga yang fokus menangani HIV dan
kematian akibat AIDS dalam dua dekade di
IMS, maka PKR menjadi unit yang mengo­
Merauke, seperti terlihat dalam gambar 15.

144
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

or­di­nasikan berbagai lembaga Oleh karena itu studi ka­


terkait untuk penanggulangan sus peran Pemda Merauke
IMS. dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan IMS
Meski demikian, integrasi
dan HIV melalui penularan
program pencegahan dan
seksual ini dapat menjadi
penanggulangan IMS dan HIV
sa­lah satu kontribusi untuk
ke dalam sistem kesehatan
menguatkan pentingnya
bu­kan merupakan hal yang
kontribusi integrasi terhadap
mudah dila­ku­kan, karena
efektivitas dan keberlanjutan
membutuhkan kondisi yang
program. Respons Pemda
melibatkan berbagai pemain
Merauke yang menginisiasi PKR
dan ke­pentingan, infrastruktur,
sebagai unit penyedia layanan
dan sumber daya. Integrasi
pencegahan HIV dan IMS
penanggulangan HIV dan
akan dikaji lebih lanjut terkait:
AIDS ke sistem kesehatan
(1) Sejauh mana pelaksanaan
menuntut upa­ya peningkatan “Inisiatif program penanggulangan
efektivitas dan aksesibi­litas
mengembangkan HIV dan IMS melalui PKR
layanan HIV dan AIDS de­ngan
memaksimalkan sumber daya
PKR merupakan di kabupaten Merauke?, (2)
salah satu upaya Bagaimana pengorganisasian
dan infrastruktur yang tersedia
PKR dan mobilisasi sumber
(Dudley and Garner, 2011). untuk penguatan
daya yang dikembangkan
Kebijakan Pemda Merauke sistem kesehatan oleh Pemerintah Kabupaten
membentuk PKR, sebagai di tingkat Merauke?, (3) Sejauh mana 05
upaya pen­ce­gah­an dan
lokal, dengan efektivitas pengorganisasian
penanggulangan HIV dan IMS,
me­­ru­pakan bentuk optimalisasi pembentukan tersebut untuk keberlanjutan
secara struktural program pencegahan HIV dan
infrastruktur, ke­bijakan, dan
IMS?, dan (4) Apakah program
sumber daya lokal dalam kelembagaan
PMTS oleh PKR di Merauke ini
me­ningkatkan efektivitas dan yang khusus dapat direplikasi ke daerah lain,
aksesibilitas layanan PMTS. menangani HIV serta apa saja hambatan dan
Namun patut dicatat bahwa dan IMS.” faktor yang mendukung tingkat
upaya pengintegrasian tersebut integrasi PKR ke dalam layanan
masih memerlukan studi kesehatan umum.
yang lebih lanjut dikarenakan
Penulisan ini dikembangkan
terbatasnya kajian mengenai
berdasarkan hasil kajian
integrasi dengan menggunakan
penelitian sebelumnya dengan
metodologi yang memadai
cara menyarikan temuan-temuan
(Coker et al., 2010). Lebih lanjut,
dari penelitian tentang integrasi
salah satu penelitian yang
upaya penanggulangan HIV dan
menyatakan bahwa adanya
AIDS ke dalam sistem kesehatan
sistem kesehatan yang baik
di Kabupaten Merauke, Provinsi
menjadi prasyarat terjadinya
Papua, dengan melihat konteks
integrasi program spesifik ke
epidemi di kabupaten ini, inte­
dalam sistem kesehatan yang
raksi pemangku kepentingan
ada (Atun et al.,2009).
kunci penanggulangan HIV
dan AIDS dan faktor-faktor

145
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

250
200
150
100
50
0
92 - 98

2000

2002

2004
2003
2001
1999

Meninggal 72 8 17 13 18 11 26
AIDS 56 15 71 56 64 54 57
HIV 104 10 57 31 69 20 36

146
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

Gambar 15. Gambaran Kasus HIV,


Kasus AIDS dan Meninggal Akibat
AIDS di Merauke

05
2005

2006

2009
2008
2007

2010

2011

32 27 18 20 18 40 35
46 28 13 27 29 66 80
57 57 68 32 67 67 54

147
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

yang memengaruhi tingkat inte­­gra­sinya. puskesmas di awal pembentukan la­yan­an


Informasi ter­se­but digunakan untuk men­ HIV dan IMS untuk meningkatkan kete­ram­
du­kung deskripsi hasil studi ka­­sus integrasi pilan dan kapasitas tenaga kesehatan di titik
program PMTS ke dalam sistem kese­hat­ ini.
an dan kontribusinya ter­ha­dap efek­tivitas
Di awal pembentukannya sampai dengan
kinerja penang­gu­langan HIV dan IMS di
tahun 2006, kegiatan PKR mendapatkan
Ka­bu­pa­ten Merauke, khususnya peran PKR
dukungan pendanaan dari MPI dan APBD.
sebagai unit tersendiri yang di­bentuk untuk
Sejalan dengan dukungan pendanaan
menanggulangi penularan HIV dan IMS
tersebut, tahun 2005 Global Fund turut
melalui transmisi seksual.
memberikan dukungan bagi PKR hingga
Data dari dua penelitian yang tahun 2013. Selepas pendanaan Global
dilakukan oleh tim Universitas Cendrawasih Fund, pemda mengambil alih seluruh
(Uncen) se­belumnya dimanfaatkan untuk pembiayaan bagi PKR, melalui anggaran
menggambarkan seca­ra kualitatif terkait APBD-Otonomi khusus Dinkes Merauke.
pengor­ga­nisasian (tata kelola), pem­bia­yaan,
Lingkup kegiatan PKR adalah layanan
SDM, logistik, sistem informasi dan partisipasi
KTS dan pemeriksaan rutin IMS yang tidak
ma­sya­­rakat Pusat Kesehatan Re­produksi
hanya kepada populasi kunci, tetapi juga
(PKR) sebagai unit layanan kesehatan
pada masyarakat umum. Jejaring rujukan
(service delivery) untuk penanggulangan
dilakukan dengan Kelompok Kerja (Pokja)
HIV dan IMS di Kabupaten Merauke. Data
HIV yang terdapat di RSUD dan bersifat
cakupan program dipergu­na­kan untuk
timbal balik. Dengan kata lain, pasien
mengetahui efektivitas layanan PKR.
dengan HIV positif akan dirujuk ke Pokja
HIV untuk mendapat layanan lanjutan.
Begitu pula sebaliknya dari Pokja HIV, bila

B. mendapati pasien dengan HIV yang perlu


pemeriksaan IMS, maka akan dirujuk ke PKR.
Dengan demikian, PKR berfokus pada upaya
Inisiasi PKR sebagai Unit pencegahan HIV, sementara pengobatan
Penyedia Layanan PMTS di dilakukan di Pokja HIV RSUD. Upaya
Kabupaten Merauke pencegahan yang dilakukan, termasuk pula
sosialisasi ke masyarakat umum, bekerja
Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) meru­ sama dengan LSM. Secara rutin, PKR
pa­kan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas melakukan survei tahunan tentang perilaku,
Kesehatan Kabupaten Merauke yang di­ terutama pada populasi kunci, untuk menge­
bentuk pada 2002. Pembentukan PKR ini tahui pemahaman mereka terhadap IMS,
se­bagai respons terhadap situasi epidemi serta tingkat penggunaan kondom. Survei ini
HIV dan AIDS di Kabupaten Merauke. Pada dikembangkan sebagai bahan perencanaan
awal pembentukannya, PKR merupakan untuk mengembangkan desain program
sa­tu-satunya UPT Dinas Kesehatan yang peningkatan kesadaran perilaku seks aman.
me­nangani HIV dan IMS, khususnya pada
Dalam perkembangan selanjutnya, PKR
populasi kunci. Dengan semakin meluasnya
yang merupakan unit pelaksanaan teknis
sebaran kasus HIV pada masyarakat umum
khusus penanganan HIV dan IMS, selain
dan ibu rumah tangga di beberapa wilayah
melaksanakan pelayanan juga berfungsi
di Merauke, selanjutnya layanan HIV dan
sebagai koordinator teknis dalam pelayanan
AIDS dilakukan pula di tingkat puskesmas.
HIV dan AIDS bagi semua unit layanan
PKR memberikan pelatihan teknis bagi SDM
teknis yang ada di Kabupaten Merauke.

148
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

Koordinasi dilakukan melalui pertemuan menyediakan upaya layanan kesehatan


rutin 3 bulan sekali, dengan melibatkan masyarakat (UKM), khususnya untuk penang­
unit terkait layanan IMS dan HIV dan AIDS. gulangan penularan melalui transmisi
Di samping itu, PKR bersama dengan KPA seksual.
juga melakukan fungsi koordinasi dengan
PMTS dengan pendekatan struktural
SKPD dan para pemangku kepentingan (lihat
mengedepankan empat komponen, yakni:
gambar 16).
(1) peningkatan peran positif pemang­ku
Dari paparan di atas, tampak bahwa kepentingan, (2) komunikasi perubahan
inisiasi Program PMTS di Merauke telah di­ perilaku, (3) manajemen pasokan kondom
mulai jauh sebelum program PMTS, melalui dan (4) penatalaksanaan IMS. Komisi
pendekatan struktural yang secara luas Penanggulangan AIDS Dae­rah (KPAD)
mu­lai diperkenalkan pada tahun 2012 oleh merupakan aktor yang mengo­ordi­na­si­
KPAN. Program ini sudah terbentuk sejak kan seluruh komponen tersebut untuk
tahun 2002 di Merauke, melalui PKR sebagai men­jalankan intervensi pencegahan
UPT Dinkes. Program PMTS di Merauke HIV dan AIDS. Sementara di Kabupaten
berbasis pada layanan kesehatan di PKR, Merauke, PKR merupakan pelaku uta­
tidak pada lokasi sebagaimana program ma yang mengoordinasikan program
PMTS yang dikembangkan oleh KPAN. PKR PMTS. Konsep PMTS di Merauke, PKR

Gambar 16. Koordinasi PKR dan Stakeholder Terkait PMTS 05

Pokja Biro
Dinkes
Lokasi Hukum

Pokja
KPA PKR HIV
RSUD

LSM BPJS

Puskesmas

: Koordinasi secara langsung : Koordinasi tidak langsung

149
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

menjalankan fungsi koordinasi untuk mening­ un­tuk pendanaan yang langsung turun ke la­
katkan peran pemangku kepentingan dan yan­an, seperti dana kapitasi BPJS dan BOK.
penatalaksanaan IMS. Sementara kom­
Sementara itu, mekanisme perencanaan
ponen manajemen pasokan kondom dan
anggaran yang diajukan oleh PKR mengikuti
komunikasi perubahan perilaku me­mi­liki
pola perencanaan anggaran kesehatan
kesamaan dengan konsep yang dikem­bang­
pa­da umumnya, yakni melalui dinkes. PKR
kan oleh KPAN, yakni LSM dan KPAD.
membuat perencanaan anggaran dengan
mengacu pada kebutuhan tahun sebelumnya

C.
kemudian diajukan kepada dinkes un­tuk
men­dapatkan persetujuan. Dalam me­la­
ku­kan perencanaan, PKR mendapatkan
Tata Kelola dan Mobilisasi pe­ngawasan dari Bidang P2PL dan kefar­
Sumber Daya ma­sian, khususnya untuk pengadaan
pengo­batan IMS seperti IO, reagen, dan alat
Program PMTS secara umum merupakan kesehatan lainnya
bagian dari upaya penanggulangan HIV “Kami menyusun kegiatan kami, lalu serahkan ke
dinas. Nanti dinas akan cek lagi, mana yang bisa.
dan AIDS yang mengacu pada Perda No. 5
Dinas juga tidak terlalu banyak intervensi dalam
Tahun 2005 dan diperbaharui menjadi Perda perencanaan. Mungkin beliau mengaggap saya
No. 3 Tahun 2013 tentang pencegahan dan sudah lama dan tahu permasalahan, jadi intinya
beliau kepala dinas mendukung. Tapi sekali lagi,
penanggulangan HIV dan AIDS dan IMS,
kepala dinas kan dananya tidak bisa 100% beliau
serta kebijakan penggunaan kondom 100%. yang menentukan, karena dari pemda juga jadi
Perda tersebut salah satunya mengatur sebagian ada yang dicoret juga. Dan juga pak,
mungkin saya ingatkan bahwa kami ini di bawah
upaya pencegahan HIV dan IMS, di mana
dinas kesehatan, jadi dana yang kami terima itu
pekerja seks yang baru di lokasi harus bukan hanya untuk PKR saja, tapi untuk program IMS
melalui tahap pemeriksaan HIV dan IMS se-kabupaten Merauke…” (Wawancara tim peneliti
Unversitas Cenderawasih dengan staf PKR, Juli 2015)
dan mendapatkan surat keterangan bebas
penyakit ini dari PKR. Sayangnya, dalam perencanaan kegiat­
“…..kita sepakat bahwa setiap pekerja baru yang an dan penganggaran ini PKR belum meli­
datang ke Merauke sebelum di dunia tenaga kerja, batkan masyarakat atau populasi kunci.
yaitu bar, diskotek, panti pijet berarti ini ada di dunia
tenaga kerja. Sebelum mereka mendapatkan surat
Namun demikian, untuk mendapatkan
ijin bekerja, baik ijin kerja dan kerja malam harus gam­­­­baran kebutuhan populasi kunci, PKR
ada surat dari PKR, ada surat yang mengatakan ber­koordinasi dan meminta pendapat LSM.
bahwa dia bersih. Bersih dalam IMS dan HIV AIDS…”
(Wawancara tim peneliti Universitas Cenderawasih
Ke­­terlibatan populasi kunci terbatas pada
dengan Sekretaris KPA Kab. Merauke, Juli 2015) pe­nerima informasi saja, terkait dengan
ca­kupan kegiatan yang dilakukan oleh
Sejak berakhirnya pendanaan dari Global
PKR. Informasi ini disampaikan dalam forum
Fund pada 2013, seluruh pendanaan untuk
so­­sialiasi yang diselenggarakan setiap
PKR bersumber dari dana APBD serta dana
semester.
Otsus Dinkes Kabupaten Merauke. Sumber
“….sebetulnya, mereka [masyarakat dan populasi
pendanaan APBD yang dialokasikan ke PKR
kunci] tidak terlalu banyak terlibat, paling adalah
sebanyak Rp 410 juta untuk pelayanan dan pendapat, tapi saya kadang dengan LSM, kita
pencegahan HIV dan AIDS kemudian Rp 300 suka sharing. Saya menyusun perencanaan lebih
banyak pada kenyataan sehari-hari misalnya seperti
juta untuk IMS. Di samping itu, dana APBD
program tahun sebelumnya, kita merencanakan ini.
untuk layanan IMS juga diberikan ke Pokja Tapi ternyata pada kenyataannya ada hal-hal yang
HIV dan AIDS RSUD Kabupaten Merauke. saya belum kepikir begitu, nah itu biasanya akan
saya tuangkan di perencanaan tahun berikutnya…
Secara umum, pengelolaan sumber pen­da­
Terus untuk populasi kelompok kunci yang terutama
na­an dalam koordinasi Bappeda, kecuali tadi saya bilang, pekerja seks. Itu setahun 2 kali kita

150
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

kumpulkan, jadi pertengahan tahun dan akhir tahun. untuk tahun 2015. Anggaran untuk PKR
Kalau tidak desember, januari, kita paparkan hasil
cakupan kita.” (Wawancara tim peneliti Unversitas
tersebut meningkat lebih dari 50% dari tahun
Cenderawasih dengan staf PKR, Juli 2015) 2014 sebesar Rp 160.435.000. Alokasi di PKR
untuk belanja pegawai termasuk honor dan
Sama dengan bidang yang lain,
transport pegawai sebesar Rp 160.435.000
perencanaan yang diajukan belum tentu
untuk tahun 2014. Anggaran ini relatif besar
akan disetujui oleh dinkes, karena anggaran
dibanding dengan anggaran untuk Pokja HIV
penangulangan HIV dan AIDS tidak hanya
RSUD sebesar Rp 60 juta.
untuk PKR saja, tetapi juga terdapat
pada unit dan bidang yang lain, seperti Layanan IMS dan KTS di PKR dapat
puskesmas dan Pokja HIV di RSUD, KIA, di­pe­roleh secara gratis di PKR. Namun ha­
serta gizi. Komponen pembiayaan untuk nya layanan IMS saja yang dapat dibia­yai
penanggulangan IMS juga lebih besar di melalui JKN, sementara untuk HIV meru­
PKR dibanding di Pokja HIV RSUD, karena pa­kan biaya program yang ditanggung
PKR tidak hanya sebatas pengobatan saja oleh pemerintah sebagaimana program TB.
akan tetapi ada upaya pencegahan melalui La­yanan IMS di PKR dengan pembiayaan
kegiatan penyuluhan dan pendampingan JKN menginduk pada puskesmas, karena
kepada pasien. Sementara Pokja HIV RSUD PKR tidak menerima dana kapitasi. Oleh
begitu pula dengan Puskesmas lebih pada ka­­renanya, PKR memberikan layanannya
fungsi pengobatan IMS. se­cara gratis mengabaikan apakah pasien
“…mereka [Pokja RSUD dan Puskesmas] tidak
ter­sebut merupakan kepesertaan JKN atau
melakukan program IMS. Pengobatan iya tapi kan tidak.
kalo Puskesmas dan rumah sakit hanya sekedar
“…ya hampir semua, tapi kita yang berobat ke sini
mengobati tapi tidak melakukan program IMS. Kalo
sebagian besar itu tidak bayar, karena apalagi putra
saya kan merencanakan kita mau penyuluhan ni
atau apa, mereka tidak, mereka mengobati saja.
daerah, mereka mau berobat saja sudah bagus. 05
Intinya kita dapat sih dana BPJS, tapi itu sih lari ke
Jadi misalnya ada pasien IMS datang ya diobati, tapi
Puskesmas, tapi itu baru-baru saja...” (Wawancara tim
tidak merencanakan kegiatan yang berkaitan dengan
peneliti Unversitas Cenderawasih dengan staf PKR,
program IMS…” (Wawancara tim peneliti Unversitas
Juli 2015)
Cenderawasih dengan staf PKR, Juli 2015)

Secara keseluruhan, anggaran untuk Sementara itu, untuk pengadaan pera­lat­


program penanggulangan HIV dan AIDS an kesehatan dan pengobatan, khususnya
difokuskan untuk mencegah penularan reagen IMS, perencanaan pengadaan beser­
melalui transmisi seksual, yakni dengan ta pendistribusiannya dilakukan melalui PKR,
meningkatkan cakupan KTS dan IMS di melalui mekanisme yang berlaku se­perti
PKR, puskesmas, dan RSUD. Anggaran pengadaan obat dan tata kesehatan pa­da
untuk keperluan tersebut mencapai lebih umumnya. Hanya saja setelah dari gu­
dari 48% dari total anggaran kesehatan dang farmasi dinkes dikirim ke PKR, untuk
melalui dinkes. Proporsi tersebut jauh lebih selan­jutnya baru didistribusikan di layanan
tinggi dibanding dengan program TB dan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas
pencegahan penyakit menular lainnya. dan klinik swasta.
“….kami yang merencanakan berdasarkan
Operasionalisasi layanan PKR dilakukan penggunaan atau realisasi yang tahun sebelumnya
oleh SDM dinkes yang berstatus sebagai kita usulkan di tahun berikutnya untuk reagen, untuk
obat. Oh ya maaf untuk reagen sifilis, semua semua
PNS maupun tenaga honorer. Pembiayaan
layanan termasuk Puskesmas, rumah sakit swasta
bagi tenaga SDM PKR bersumber sepenuh­ dan RSUD itu 100 persen dari kami semua yang tadi
nya dari APBD. Alokasi pembiayaan PKR 90 persen dari propinsi 10 persen dari kabupaten.
Jadi semua reagen yang datang dari provinsi itu akan
untuk belanja pegawai termasuk honor dan
di drop ke gudang farmasi dinas kesehatan itu kan
transport pegawai sebesar Rp 318.070.000 sudah aturannya, nah dari gudang farmasi paling
dia menginap 1-2 hari lalu akan di drop semuanya ke

151
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

PKR, PKR yang nanti mendistribusikan ke layanan- penegakan hukum.


layanan swasta…” (Wawancara tim peneliti Unversitas
Cenderawasih dengan staf PKR, Juli 2015) Pemeriksaan rutin IMS dilakukan oleh
Sistem informasi tentang HIV dan AIDS PKR sebagai pelaksanaan atas amanat
di Merauke dikeluarkan melalui satu pintu perda yang mengatur soal kontrol IMS, ter­
yakni dinas kesehatan. Peran PKR adalah ma­suk memastikan penggunaan kondom
sebagai polling semua informasi terkait secara konsisten. Terdapat sanksi pula
dengan penanggulangan HIV dan AIDS bah­­wa WPS yang diketahui terinfeksi HIV
,mulai dari data puskesmas, KPA dan LSM. dan IMS dilarang untuk menjajakan seks,
Selanjutnya, PKR menyampaikan ke dinkes hingga mendapatkan pengobatan dan
hasil dari semua rekap data dan informasi sem­buh dari infeksi. Secara normatif, pe­
tersebut. PKR juga melakukan paparan ne­gakan perda ini berbenturan dengan
cakupan hasil dari monitoring kondom pada prin­sip hak untuk mendapatkan layanan
kelompok populasi kunci yang melibatkan ke­sehatan bagi populasi kunci. Begitu juga
pewarta untuk meliput. Untuk laporan da­lam penerapannya yang cukup dilematis,
cakupan kondom yang didistribusikan oleh da­lam artian bagi orang yang terdeteksi
PKR kemudian akan disampaikan ke KPA. IMS akan ketakutan memeriksa karena
ada­nya konsekuensi denda. Begitu pula
“semua rekapan data ke sini, kalau sudah direkap
kami serahkan ke dinas, nanti dinas yang akan
de­ngan WPS ODHA yang masih tetap aktif
terbitkan info AIDS. Info AIDS itu akan disebarkan akan sembunyi-sembunyi menjajakan seks
ke tempat-tempat yang sekiranya membutuhkan se­hingga justru kesehatannya tidak akan
informasi, seperti KPA, Puskesmas, RS. Nanti kita
yang perbanyak. Terus untuk populasi kelompok
terkontrol.
kunci yang terutama tadi saya bilang, pekerja seks. “…..saya lihat dampak positifnya ada. Terutama
Itu setahun 2 kali kita kumpulkan, jadi pertengahan mereka-mereka yang terkait dengan IMS control, jadi
tahun dan akhir tahun. Kalau tidak desember, januari, program itu lebih berjalan ketat. Mereka, misalnya
kita paparkan hasil cakupan kita. Nah biasanya di PSK, cewek-cewek di bar, mereka secara rutin mau
situ ada wartawan juga.” (Wawancara tim peneliti periksa diri. Terus ada aturan yang soal kondom, jadi
Unversitas Cenderawasih dengan staf PKR, Juli 2015). kita gandeng antara kondom dengan IMS. Walaupun
kadang-kadang kita bisa bobol di laporan kondom.
Dia ngaku pakai, tapi begitu IMS (+), itu sudah jelas
tidak pakai. Kena sanksi bisa juga. Jadi dampak

D.
seperti begitu, cuma yang kita lihat ini nanti. Karena
begini, kelompok yang terkoordinir itu dampak
positifnya ada karena memang mereka butuh cari
makan lewat café. Mereka cukup loyal dengan

Operasionalisasi PMTS di aturan. Dampak positif tadi itu. Cuma kalau dampak
negative, ini yang kita jadi dilema juga. Karena
Kabupaten Merauke misalnya mereka yang IMS (+) di luar kelompok
terkoordinir ini. Masyarakat umum misalnya mereka
jadi takut, bisa mereka jadi takut lapor diri bahwa dia
Setiap bulan PKR melakukan pemeriksaan IMS. Jadi dia harus sembunyi-sembunyi. Kalau ODHA
IMS kepada WPS dan ditindaklanjuti pe­ misalnya, ODHA PSK itu nanti arahnya kalau dia PSK
dan ODHA (+) dia sudah tidak boleh praktik. Cuma
me­riksaan seminggu sekali bagi WPS yang kadang-kadang kan kita bahayanya begitu. Kalau
terdeteksi IMS. Pemeriksaan rutin ini di­la­ PSK ODHA sanksi. Itu bisa denda 50 juta penjara 6
ku­kan melalui koordinasi dan kerjasama bulan. Bisa saja dia melarikan diri sembunyi dalam
masyarakat karena sanksi itu. Dia tidak ada pilihan
de­ngan penanggung jawab lokasi dan cari uang, harus jual diri…” (Wawancara tim peneliti
biro hukum. Pelibatan biro hukum ini untuk Unversitas Cenderawasih dengan Kepala Dinas
mem­berikan sanksi bagi WPS yang tidak Kesehatan Kabupaten Merauke, Juli 2015)

meng­indahkan pemeriksaan kesehatan ini, Kebijakan terkait dengan pemberian


ber­dasarkan tupoksinya sebagai lembaga sanksi terhadap WPS yang tidak meme­
pemerintah daerah yang memastikan rik­sakan diri dan ketahuan terjangkit
HIV dan IMS cukup dilematis. Ini karena

152
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

peraturan tersebut bertentangan dengan setelah Global Fund tidak lagi mendanai
upaya untuk memberikan perlindungan program-program penjangkauan yang
hukum bagi WPS. Meski demikian, PKR dilakukan oleh LSM, mereka mendapatkan
sebagai lembaga yang terkait dengan dukungan sumber daya (pembiayaan) dari
upaya penanggulangan HIV dan AIDS APBD, sebagaimana KPAD, PKR, dinkes, dan
me­negaskan bahwa adanya sanksi yang pemangku kepentingan terkait lainnya.
dimaksudkan merupakan upaya memberikan
Jejaring lain dalam penerapan program
perlindungan kesehatan bagi WPS dan
PMTS adalah memastikan adanya
pencegahan penularan HIV dan IMS kepada
ketersediaan kondom, terutama di lokalisasi.
masyarakat yang lebih luas. Untuk ini, perlu
Pendistribusian kondom dikoordinasikan
pemikiran bagi pengembangan kebijakan
oleh KPAD bekerjasama dengan LSM, outlet
yang tidak merugikan secara etis dan
kondom, dan penyedia layanan. Mekanisme
psikologis bagi WPS dalam mendapatkan
pelaporan distribusi kondom terpusat di
layanan kesehatan. Mekanisme alternatif
KPA, sehingga pendistribusian lewat outlet,
pengurangan stigma dengan pengakuan
LSM, dan PKR serta Badan Pemberdayaan
terhadap profesi WPS patut menjadi
Perempuan dan Keluarga Berencana (BP2KB)
pemikiran bagi pengambil kebijakan.
dilaporkan kepada KPAD. Selanjutnya, KPAD
Sementara itu, rujukan dilakukan akan melaporkan secara online ke KPAN.
oleh PKR dan puskesmas kepada Pokja Terdapat 89 outlet kondom yang dikelola
HIV di RSUD dilakukan bagi pasien yang oleh KPAD. Pendistribusian lain dilakukan
terdiagnosa HIV. Setelah mendapatkan melalui LSM dan Puskesmas serta BP2KB
tindakan lanjutan dari RSUD, rujukan yang mendistribusikan kondom melalui
selanjutnya adalah kepada LSM untuk posyandu.
mendampingi ODHA dalam menjalani 05
Ada tiga jenis sumber pendanaan
terapi. Keberadaan puskesmas satelit
kondom di Kabupaten Merauke: 1) bersumber
ARV memudahkan pasien ODHA untuk
dari KPA yang dibagikan secara gratis
mengakses perawatan lanjutan di
kepada populasi kunci; 2) kondom KPA
puskesmas. Sementara untuk pembiayaan
yang dijual dengan harga Rp 72 ribu/dos
pada komponen layanan kesehatan
isi 144 buah; dan 3) kondom mandiri yang
dalam program PMTS berupa KTS dan IMS
dibeli dari hasil penjualan kondom KPAN.
ditanggung oleh biaya program, sehingga
Ketiga jenis pengadaan kondom tersebut
layanan ini dapat diakses secara gratis oleh
dikelola langsung KPAD. Kondom mandiri
populasi WPS.
dikembangkan sebagai antisipasi tidak
Keterlibatan LSM dalam melakukan ada lagi pendanaan kondom dari Global
penjangkauan untuk pencegahan Fund. Oleh karena itu sejak 2014, PKR tidak
penyakit berwujud memberikan edukasi memberikan kondom gratis; WPS membeli
dan kampanye kepada populasi kunci, sehingga terkumpul sejumlah dana yang
masyarakat di tingkat distrik, dan anak-anak kemudian dimanfaatkan untuk pengadaan
sekolah menjadi bagian dari kegiatan PMTS kondom mandiri yang langsung dibeli sendiri
di Merauke. Kelompok-kelompok yang sulit dari Jakarta. Kondom mandiri tersebut
dijangkau dari sisi sosial, seperti WPS dan dikembangkan dengan asumsi pemda belum
masyarakat yang secara geografis berada mampu menyediakan pendanaan untuk
jauh dari pusat-pusat layanan kesehatan, pengadaan kondom seperti pernyataan
dilakukan oleh kader-kader yang bertindak informan berikut:
sebagai pendidik sebaya (peer educator) “…rencananya kita akhir 2015 kondom bantuan tidak
dan konselor. Di Kabupaten Merauke, ada sutra putih, kita berencana jadikan uang itu

153
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

sebagai modal pengadaan kondom mandiri. Karena berjalan secara terpadu dan terpusat pada
kita menganggap pemerintah belum mampu untuk
satu unit layanan saja.
menyediakan kondom gratis terus menerus. Yang
ketiga kondom sutra merah yang saya beli atas
inisiatif kita sendiri, kita beli itu di Jakarta 84 ribu

E.
kita jual di sini 85 ribu, sebetulnya saya jual 90 ribu
karena kita anggap ongkosnya, tapi kita di lokalisasi
Yobar saya tunjuk lagi salah satu distributor nanti
dia yang men-drop ke outlet-outlet, karena pernah
kejadian malam-malam butuh dan kita malas juga
untuk drop kesana, akhirnya ada teman yang mau Tingkat Integrasi Layanan
ditunjuk, jadi istilahnya sebagai jerih payah dia untuk PMTS Kabupaten Merauke ke
mengurusi kondom, ya kita kasih 5 ribu/dosnya,
itu ya sama dengan harga disana, terus terang ini Sistem Kesehatan
kita tidak mencari untung dari mereka karena saya
lihat penggunaan kondom merah lebih banyak
peminatnya, mungkin dari itu juga sebagai daya Secara keseluruhan dapat disimpulkan,
tarik pelanggan atau tamu..” (Wawancara tim peneliti
layanan PKR sudah terintegrasi secara
Universitas Cenderawasih dengan Sekretaris KPAD
Merauke, Juli 2015) struktural ke dalam sistem kesehatan umum.
Beberapa fungsi sistem yang terintegrasi
Layanan HIV dan IMS di Kabupaten meliputi:
Merauke merupakan layanan yang mudah
diakses yang tersedia di 24 puskesmas Pertama, manajemen dan tata kelola.
dan PKR. Dari jumlah tersebut terdapat Kebijakan struktural dari pemerintah
6 puskesmas satelit yang memberikan daerah untuk membentuk PKR dalam
layanan HIV dan IMS. Keseluruhan layanan merespons peningkatan epidemi di Merauke
kesehatan ini menjadi tanggung jawab pada tahun 2002 merupakan komitmen
dinkes. Sebagai pusat layanan PMTS, konkret pemda untuk menginterasikan
PKR berkoordinasi dengan dinkes yang layanan PMTS sebagai bagian dari urusan
menjadi payung dan bidang-bidang terkait kesehatan daerah. Hal ini diperkuat
seperti bagian pengendalian penyakit dengan kebijakan Perda No. 5 tahun 2003
(P2) kabupaten, dan bidang farmasi untuk tentang Pencegahan dan Penanggulangan
melakukan perencanaan kebutuhan AIDS sebagai dasar hukumnya. Kedua,
logistik obat terkait HIV dan IMS yang pembiayaan untuk program PMTS.
mencakup seluruh kabupaten. PKR dalam Sejak awal PKR mendapatkan alokasi
pendistribusian alat pencegahan (kondom pembiayaan yang bersumber dari APBD
dan pelicin) berkoordinasi dengan KPA, untuk dan ketika pendanaan Global Fund berakhir,
pendistribusian kondom dan mekanisme keseluruhan pembiayaan ditanggung oleh
pelaporannya. APBD. Pengelolaan sumber pembiayaan
untuk sektor kesehatan, termasuk PMTS,
Dinkes menggunakan laporan dari dikoordinasikan langsung melalui dinkes.
PKR sebagai salah satu dasar untuk Perencanaan pembiayaan PKR menjadi
mengembangkan perencanaan kesehatan. bagian dari RKA melalui budget dari dinkes.
Mekanisme laporan penanggulangan IMS, Ketiga, pembiayaan SDM kesehatan
HIV dan AIDS adalah berpusat pada PKR untuk memberikan layanan PMTS di PKR
dalam artian seluruh layanan kesehatan merupakan tenaga kesehatan dari dinkes
yang memberikan layanan HIV dan IMS baik yang berstatus PNS maupun honorer
harus melaporkan kegiatannya kepada dan tenaga kontrak. Semua gaji dan insentif
PKR. PKR selanjutnya akan mengolah dan untuk tenaga PKR dibiayai sepenuhnya
meneruskan data tersebut ke dinkes. Oleh dari sumber APBD. Begitu halnya dengan
karenanya, dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan SDM kesehatan di PKR
informasi terkait HIV dan IMS dikembangkan dikoordinasikan sepenuhnya oleh dinkes.

154
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

Keempat, logistik untuk PMTS direncanakan terintegrasi karena populasi kunci lebih
bersama dengan P2 dan bidang farmasi menjadi pemanfaat dan penunjang dalam
dan bidang terkait yang dituangkan proses perencanaan sehingga belum secara
dalam RKA. Pengadaan obat IMS serta optimal berkontribusi untuk menyampaikan
reagen ini dilakukan oleh dinkes kemudian pemikiran dan kebutuhan untuk pencegahan
didistribusikan ke seluruh pusat layanan penularan HIV dan IMS melalui transmisi
kesehatan tingkat primer di Kabupaten seksual dari mereka. Selama ini peran
Merauke oleh PKR. Kelima, mekanisme tersebut dilakukan melalui keterwakilan oleh
sistem informasi untuk IMS dan HIV dikelola masyarakat sipil atau kelompok pendidik
oleh PKR, dalam artian sistem informasi sebaya. Implikasinya, komunitas populasi
terpusat di PKR. PKR mengoordinasikan kunci masih pada posisi sebagai penerima
pengumpulan informasi yang berupa laporan manfaat yang belum terlibat secara aktif
dari puskesmas, KPA, dan pokja lokasi. dan bermakna untuk memberikan kontribusi
Laporan tersebut diolah untuk selanjutnya pemikiran dan kebutuhannya dalam
disampaikan ke dinkes yang memiliki mekanisme perencanaan yang dibuat oleh
kewenangan untuk memublikasikan melalui PKR. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor
mekanisme satu pintu. Bagi dinkes, laporan rutinitas dan tidak mau repot dari dinkes
ini menjadi dasar untuk perencanaan untuk melakukan proses diskusi yang
program penanggulangan HIV dan IMS. panjang, seperti mandat perencanaan
ideal yang perlu melibatkan secara aktif
Kelima fungsi sistem tata kelola,
masyarakat melalui mekanisme musrenbang.
pembiayaan, SDM, logistik, dan sistem
informasi secara fungsional semua Berdasarkan simpulan gambaran di
mekanisme tersebut telah melekat dalam atas, integrasi layanan PKR ke dalam sistem
PKR sebagai UPT yang mengurusi PMTS di kesehatan di Kabupaten Merauke tersebut 05
Kabupaten Merauke. Proses integrasinya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
pada tahap awal terjadi secara informal
1. Adanya komitmen politik dari
melalui komitmen dan sensitivitas dari
pemerintah daerah.
kepala dinas untuk mengembangkan satu
organisasi yang mengurusi PMTS secara Kepemimpinan daerah yang cukup
khusus diintegrasikan sebagai bagian sensitif dalam mencermati dinamika
dari satuan kerja dinkes. Komitmen ini peningkatan epidemi HIV dan AIDS di
kemudian diperkuat dengan adanya perda Kabupaten Merauke sebagai daerah
penanggulangan dan pencegahan HIV yang rentan penularan HIV melalui
dan IMS yang menjadi dasar hukum kuat jalur seksual mendorong kepala dinkes
bagi daerah untuk memberikan komitmen mengambil inisiatif yang progresif
pendanaan yang bersumber dari APBD. untuk membentuk PKR. Dengan adanya
Di samping itu, sumber daya dan tenaga PKR yang melekat di bawah dinkes
kesehatan yang semua menjadi bagian dari menjadikan program PMTS terintegrasi
sistem kesehatan menjadikan layanan PKR dari aspek struktural sehingga membuka
menjadi lebih cepat terintegrasi dengan ruang untuk pengelolaan program PMTS
sistem yang berlaku. yang terintegrasi dan terkoordinasikan
dengan unit-unit layanan yang sudah
Namun terdapat satu komponen yang
ada, seperti puskesmas dan RSUD
terintegrasi secara parsial, yaitu partisipasi
sebagai unit yang memberikan
masyarakat dalam proses perencanaan
layanan untuk pengobatan (UKP).
program PMTS di Kabupaten Merauke.
Bappeda sebagai lembaga pemda
Fungsi sistem kesehatan ini kurang
yang bertanggungjawab terhadap

155
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

perencanaan penganggaran daerah serta Biro Hukum sebagai komponen


memiliki kepedulian dan komitmen yang dari PMTS. Dalam kaitannya dengan
tinggi dalam upaya penanggulangan pengadaan kondom yang direncanakan
HIV dan AIDS, melalui alokasi dana dari pusat dan PKR sebagai Sub Sub-
kesehatan untuk KPAD dan LSM. Recipient (SSR)-nya, dinkes mekanisme
Sementara alokasi dana untuk PKR dan penyimpanan logistik obat seperti
pokja HIV disesuaikan dengan usulan kondom dan pendistribusiannya sudah
program melalui dinkes dan RSUD. terintegrasi dengan sistem penyimpanan
logistik kesehatan umum di Kabupaten
2. Adanya sumber pendanaan dari alokasi
Merauke sehingga menjadi lebih mudah.
dana otsus untuk sektor kesehatan.
4. Kebijakan pemda untuk
Tidak bisa dimungkiri bahwa adanya
mempertahankan lokalisasi.
Undang-Undang Otonomi Khusus untuk
Papua turut memengaruhi peningkatan Meskipun ada mekanisme sanksi hukum
pendapatan daerah yang diperuntukkan yang merupakan faktor dilematis dalam
bagi salah satunya adalah sektor upaya pencegahan penularan HIV dan
kesehatan. Faktor keputusan politik IMS melalui seks, hal ini tidak terjadi di
ini memungkinkan ketersediaan dan Kabupaten Merauke. Pemimpin agama
peningkatan pendanaan untuk sektor dan masyarakat sipil memiliki komitmen
kesehatan yang tinggi. Pembiayaan dan solidaritas untuk pencegahan
PKR bersumber dari APBD Otsus yang di HIV dan IMS. Sehingga penghapusan
Kabupaten Merauke hampir mencapai lokalisasi tidak terjadi di Kabupaten
12% lebih untuk sektor kesehatan.62 Merauke, sebaliknya pemda mengambil
Dengan peluang tersebut, pendanaan jalan tengah dengan merelokasi ke
PKR menjadi lebih terjamin dan tidak tempat yang lebih pinggir dan tidak
sedemikian tergantung dengan melakukan penutupan. Kebijakan ini
pendanaan donor. Buktinya, sejak akhir cukup kondusif untuk keberlanjutan
2013, meski Global Fund mundur dari program PMTS di Merauke yang cukup
Papua program PMTS tetap berkelanjutan berbeda dengan beberapa daerah
dengan pendanaan hampir sepenuhnya lain, seperti Jayapura yang melakukan
mengandalkan dana APBD. penutupan tempat lokalisasi di Tanjung
Elmo. Justru penutupan lokalisasi di
3. Adanya kesiapan fungsional layanan
berbagai kota di Indonesia dikhawatirkan
PMTS di daerah.
akan berdampak ke Merauke dengan
PKR yang sudah berjalan sejak 2002 adanya migrasi pekerja seks. Contohya
menjadikan Pemda Merauke lebih siap pengalaman penutupan lokalisasi Kramat
secara fungsional dan teknis untuk Tunggak di Jakarta, yang dampaknya
menjalankan program PMTS yang sampai ke Merauke.
baru diinisiasi sejak tahun 2012. PKR
sebagai lembaga yang mengurusi PMTS

F.
memegang kendali mengoordinasikan
semua program PMTS yang ada,
misalnya dengan KPA, dinkes, LSM,
dan puskesmas, Pokja HIV RSUD Efektivitas PMTS di Merauke
62) Berdasarkan hasil analisis Alokasi APBD 2015 untuk
sektor kesehatan dibandingkan dengan alokasi untuk Lebih terintegrasinya layanan PKR ke dalam
sektor lain yang dilakukan oleh Tim Peneliti Universitas sistem kesehatan memengaruhi efektivitas
Cenderawasih (2015).

156
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

kinerja PMTS di Kabupaten Merauke. Hal dinya perubahan perilaku. Sementara un­tuk
ini bisa dibuktikan dengan mengacu pada me­nge­tahui perubahan perilaku maka data
strategi yang dikembangkan dalam program yang dipergunakan adalah konsistensi
PMTS, yang terdiri dari 4 komponen, yaitu peng­­gunaan kondom. Sumber data yang
peningkatan peran positif pemangku di­per­gunakan untuk mengukur efektivitas ini
kepentingan, manajemen dan distribusi menggunakan data STBP 2007, serta data
kondom, komunikasi perubahan perilaku, cakupan kegiatan yang bersumber dari PKR.
dan penatalaksanaan IMS.
Gambaran pemakaian kondom pada
Untuk mengukur efektivitas ini digunakan kelompok risiko tinggi, menurut hasil
data cakupan penjangkauan pada populasi pemantauan oleh PKR melalui kartu isian
WPS dan jumlah cakupan layanan IMS. Ca­ kondom yang dibagikan dan diambil setiap
kupan data penjangkauan dipergunakan un­ bulan menunjukkan, bahwa pemakaian
tuk mengetahui sejauh mana keterpaparan kondom rata-rata meningkat dibanding tahun
in­for­masi tentang IMS dan penularan HIV sebelumnya, walau masih belum mencapai
sehingga dapat mengarahkan untuk ter­ja­­ target, yaitu 100% penggunaan kondom

05

Gambar 17. Kecenderungan


Penggunaan Kondom Pada
Kelompok Resiko Tinggi di
Merauke 2008 - 2011

Sumber : Data Laporan PKR 2008 2009 2010 2011

157
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

pada setiap hubungan seks berisiko. Meski fluktuasi sebanyak 6.233 klien pada 2011
demikian, data STBP 2007 menunjukkan dibanding cakupan jumlah klien yang
adanya kecenderungan positif jika dilihat tes dan konseling pada tahun 2010 yaitu
dari tahun 2008 sampai 2011. Akan tetapi 7.578 klien. Meskipun jumlah kasus yang
berdasarkan laporan PKR kurun waktu ditemukan HIV positif ditemukan semakin
terakhir, tercatat jumlah distribusi kondom meningkat sebesar 2.15% atau mencapai 134
tahun 2014 adalah 47.183 dan pada tahun orang terinfeksi HIV seperti digambarkan
2015 (Januari sampai Oktober) adalah 37.439 dalam gambar 18.
yang diberikan kepada 280 kelompok WPS.
Sementara dari data STBP 2007
Terkait perubahan perilaku dari data PKR
menunjukkan bahwa cakupan penjangkauan
untuk konsistensi penggunaan kondom pada
populasi WPS sebesar 97%, angka yang
hubungan seks terakhir untuk kalangan WPS
melebihi target nasional sebesar 80%.
di lokalisasi mencapai 98,30% dari jumlah
Sementara untuk mengukur perubahan
WPS yang melaporkan diri sebesar 76,84%
perilaku WPS adalah konsistensi
(Laporan PKR, Oktober 2015).
penggunaan kondom dalam hubungan seks
Kemudian data cakupan seperti jumlah dalam seminggu terakhir sebesar 65%, juga
perempuan dan laki-laki yang melakukan melebihi target nasional sebesar 60% untuk
hubungan seks dengan lebih dari satu terjadinya perubahan perilaku pada WPS.
pasangan dalam 12 bulan terakhir yang Dari kedua data ini dapat menunjukkan
melaporkan penggunaan kondom dalam bahwa program PMTS cukup efektif, dengan
hubungan seks terakhir totalnya di tahun cakupan melebihi target nasional.
2014 adalah 64.320 orang. Khusus untuk
pekerja seks, jumlah pekerja seks yang

G.
melaporkan penggunaan kondom dengan
pelanggan paling akhir total di tahun 2014
adalah 2359. Pada tahun 2014 persentase
pekerja seks yang melaporkan penggunaan Diskusi
kondom dengan pelanggan seks yang paling
akhir adalah 76.8% (Laporan PKR, 2015). Jika Studi kasus PMTS di Kabupaten Merauke ini
dilihat persentase tersebut, ini mengalami menyimpulkan bahwa tata kelola intervensi
penurunan dibanding dengan data cakupan program PMTS relatif terintegrasi dengan
penggunaan kondom dari tahun 2008 sistem kesehatan umum. Integrasi tata
hingga 2011. Penurunan cakupan tahun kelola secara struktural terjadi melalui
2014 ini dipengaruhi oleh belum efektifnya kebijakan penanggulangan HIV dan
pelaksanaan dari perubahan kebijakan IMS yang dikeluarkan oleh pemda yang
penanggulangan HIV dan AIDS yang baru mengalami pembaharuan dan perluasan
No. 3 Tahun 2013 tentang pencegahan (scale-up) layanan tidak hanya fokus pada
dan penanggulangan HIV dan AIDS yang kelompok populasi kunci, akan tetapi juga
diperluas dari prioritas pada populasi menyasar pada populasi umum sesuai
kunci ke sasaran yang lebih luas, yakni dengan situasi perkembangan epidemi di
masyarakat umum untuk melakukan tes Kabupaten Merauke (Perda No. 3 Tahun 2013
HIV dan penggunaan kondom 100% secara dan Perbub No. 16 Tahun 2015). Komitmen
konsisten untuk pencegahan penularan HIV kebijakan untuk program PMTS ini secara
dan IMS melalui transmisi seks. khusus diwujudkan dalam pembentukan
Kecenderungan jumlah klien yang unit layanan teknis (PKR) dengan mobilisasi
melakukan test KTS/KTIP mengalami sumber daya lokal untuk penyediaan
layanan bagi populasi kunci dan masyarakat

158
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

Gambar 18. Jumlah klien di KTS/KTIP dan HIV positif tahun


2007-2011

7578
7182

6233

4481 4639

VCT
HIV

81 96 133 134 05
59

2007 2008 2009 2010 2011

Sumber : Data Laporan PKR

umum melalui intervensi pencegahan dalam menerapkan kebijakan kondom 100%


penularan HIV dan IMS melalui transmisi menarik diadaptasi dengan memperluas
seksual. Integrasi tersebut telah berkontribusi sanksi tidak hanya pada WPS-nya tetapi juga
pada efektivitas layanan penanggulangan pada mucikarinya. Thailand berhasil karena
HIV dan IMS yang cukup signifikan, seperti dalam praktiknya didukung oleh banyak
perubahan perilaku WPS dalam konsistensi pihak, seperti pengalaman kasus di Phuket
penggunaan kondom dalam seks terakhir karena didukung oleh gubernur, polisi, dinkes
mencapai 98% yang berada di atas target provinsi yang bertanggung jawab, mucikari,
nasional sebesar 60% (KPAN, 2010). dan pekerja seks (UNAIDS, 2000).
Kebijakan kondom 100% meski belum optimal
Faktor komitmen politik daerah (dinkes)
akan tetapi bila didukung oleh pemerintah
untuk mengambil kebijakan alternatif dengan
bisa sangat efektif untuk penanggulangan
mengintegrasikan layanan PMTS ke dalam
pencegahan HIV dan IMS dan hal ini telah
sistem kesehatan melalui pembentukan
dibuktikan dengan tingkat efektivitasnya
PKR menjadi penentu (enabler). Pendekatan
mencapai 95%. Pengalaman Thailand
struktural yang dilakukan oleh Dinkes

159
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

Kabupaten Merauke jauh sebelum program Kabupaten Merauke untuk mengambil


PMTS dikembangkan menjadi penguatan inisiatif yang lebih moderat dengan tidak
sistem kesehatannya untuk melakukan melakukan penutupan lokalisasi tetapi
adaptasi terhadap program spesifik PMTS. merelokasi ke tempat yang agak terpencil
Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Atun et dapat menjadi alternatif yang bisa diadaptasi
al. (2009) bahwa sistem kesehatan yang kuat oleh daerah-daerah lain untuk memastikan
akan menentukan proses integrasi program bahwa program PMTS yang berbasis
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam lokasi akan tetap mendapatkan perhatian
sistem kesehatan yang ada. Implementasi dengan kepemimpinan yang visioner untuk
kebijakan desentralisasi oleh dinkes untuk pencegahan penularan HIV dan IMS.
penanggulangan IMS dengan pembentukan
Kemudian faktor teknis terkait manajemen
unit pelaksana teknis menjadikan efektivitas
kondom yang dilakukan melalui mekanisme
PMTS lebih terjamin dari berbagai aspek,
berjenjang melibatkan multisek­toral,
meliputi ketersediaan sumber pembiayaan
mulai dari KPA dan PKR sebagai leading
yang rutin dari APBD, ketersediaan tenaga
sector de­ngan mengembangkan sis­tem
kesehatan, dan perencanaan program PMTS
monitoring terpantau, me­­lalui pokja lokasi
yang sesuai dengan dinamika epidemi
dan LSM me­me­nga­ruhi cakupan konsis­tensi
daerah. Komitmen pemenuhan ketercukupan
penggunaan kondom pa­da WPS yang relatif
pembiayaan daerah seperti di Kabupaten
tinggi mendekati kebijakan kondom 100%.
Merauke dipengaruhi oleh faktor keputusan
Sis­tem monitoring dan eva­luasi yang baik
politik dengan adanya sumber pendanaan
yang dikem­bang­kan oleh PKR memengaruhi
dari Otsus. Hal ini dapat diadaptasi untuk
tingkat koor­dinasi dan mengurangi
daerah yang mengalokasikan anggaran
kompleksitas di antara berbagai kepentingan
kesehatan di atas 10% mendapatkan insentif
dan menjadi terkontrol ke dalam mekanisme
dari pusat.
sistem in­for­masi PKR (Kawonga et al., 2013).
Di samping itu, faktor kepemimpinan Im­ple­mentasi monitoring jumlah distribusi
dan tata kelola pemerintahan yang baik dan penggunaan kondom menjadi kontrol
(good governance) terbukti efektif dalam ter­­hadap program PMTS sebagai bahan
mengintervensi pencegahan HIV dan AIDS eva­luasi perbaikan perencanaan pengadaan
apabila setiap pemangku kepemimpinan dan pendistribusian kondom serta pelicin
menjalankan fungsi masing-masing ke populasi kunci. Kesiapan mekanisme
secara maksimal (Kang et al. 2013). Hal mo­­nitoring dan evaluasi untuk program
ini ditemukan sama dengan penegakan PMTS dengan mengembangkan sistem
regulasi Perda HIV yang signifikan terhadap dan kapasitas sumber daya tenaga yang
peningkatan penggunaan kondom melalui di­­persiapkan untuk melakukan kegiatan
konsistensi skrining dari yang dilakukan oleh yang terintegrasi di sistem kesehatan cukup
petugas layanan (PKR dan unit-unit layanan stra­tegis.
primer) dan Pokja PMTS yang menjalankan
Faktor mobilisasi sumber pembia­ya­an
sanksi untuk WPS yang tidak melakukan
daerah melalui APBD yang berke­si­nam­bung­
pemeriksaan kesehatan. Meski dari aspek
an untuk pembiayaan semua pilar utama,
perlindungan hak WPS masih menjadi
baik dari koordinasi pemangku kepentingan,
perdebatan (debatable). Upaya penegakan
pengadaan kondom dan pelicin, perubah­
kebijakan ini memengaruhi efektivitas
an perilaku dan tata laksana IMS meme­
pencegahan penularan HIV dan IMS melalui
nga­ruhi efektivitas PMTS. Konsekuensi
transmisi seks (Gurnani et al.,2011 ; Wilson,
dari kemandirian dalam pembiayaan ini
2015). Penciptaan lingkungan yang kondusif
kemudian berdampak pada pembiayaan
seperti yang dilakukan oleh pemerintah

160
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

untuk peningkatan sumber daya kesehatan melakukan koordinasi multisektoral yang


dengan peningkatan kapasitas tenaga efektif pada fungsi-fungsi horizontal antar
kesehatan (Benatar, 2004). Mobilisasi sumber bidang di bawah dinas kesehatan melalui
daya menjadi faktor paling menentukan, pembentukan unit pelaksana teknis PKR
karena tanpa kemandirian finansial yang didukung oleh bidang P2, Puskesmas
akan menjadikan keberlanjutan upaya dan RSUD dalam manajemen tata laksana
pencegahan HIV dan IMS dalam menghadapi IMS secara komprehensif. Tata kelola
tantangan. Oleh karena itu, mobilisasi fungsional ini disertai dengan mobilisasi
sumber lokal melalui pengembangan pajak- sumber daya finansial untuk program
pajak progresif produk rokok menjadi salah PMTS untuk penyediaan layanan (service
satu kemungkinan yang bisa dikembangkan. delivery). Dengan memperhatikan penerapan
Di samping itu, kreativitas dari daerah untuk program PMTS di Kabupaten Merauke,
memanfaatkan peluang melalui kebijakan pada dasarnya, adalah memperkuat peran
BLUD pada tingkat fasilitas layanan layanan kesehatan dan “menarik” populasi
primer dapat menjadi kesempatan untuk untuk mendekatkan diri pada layanan. Ini
melakukan peningkatan kapasitas tenaga menjadikan program PMTS bukan layanan
layanan PMTS dari sektor komunitas atau yang semata berbasis lokasi, tetapi
peningkatan kapasitas tenaga-tenaga berbasis layanan primer yakni layanan IMS
kesehatan di tingkat Puskesmas. PKR di yang diberikan fasilitas kesehatan tingkat
Kabupaten Merauke secara rutin melakukan pertama di puskesmas dan rujukannya di
peningkatan kapasitas tenaga kesehatan PKR, dengan melibatkan sumber daya yang
dari puskesmas untuk dapat memberikan ada, sehingga menjadikan program ini lebih
layanan PMTS. berkelanjutan.
Integrasi struktural ini dalam konteks 05
koordinasi sumber daya seperti dalam

H. pengadaan dan pendistribusian alat


pencegahan penularan HIV dan IMS
dengan kondom, PKR berkoordinasi
Simpulan dengan KPAD selaku penanggung jawab
pelaksanaan distribusi kondom dari pusat.
Pencegahan HIV melalui Transmisi Seksual Integrasi struktural ini ditunjang dengan
(PMTS) di Kabupaten Merauke yang peraturan peningkatan peran KPA sebagai
terintegrasi dengan sistem kesehatan lembaga yang memiliki kewenangan
merupakan konsekuensi pengorganisasian dalam mengelola upaya pencegahan dan
secara struktural dan fungsional, melalui penanggulangan HIV dan AIDS.
pengambilan kebijakan dalam bentuk perda
dan operasionalisasi implementasi pada Sebagai konsekuensinya faktor-
tingkat teknis dengan pembentukan PKR. faktor kepemimpinan dan komitmen
Komitmen politik pemda tersebut merupakan pemerintah lokal yang disertai dengan
perwujudan dari kebijakan desentralisasi penyediaan sumber daya pada tingkat
di tingkat daerah yang ditunjang dengan daerah memengaruhi efektivitas dari
adanya alternatif pembiayaan lokal (otsus) kinerja penyedia layanan untuk PMTS,
untuk peningkatan status kesehatan baik sektor kesehatan maupun lingkungan
masyarakat. sosialnya. Oleh karenanya, PMTS di
Kabupaten Merauke mendapatkan jaminan
PKR secara fungsional mengelola keberlanjutan melalui integrasi dengan
penanggulangan HIV dan IMS melalui sistem kesehatan yang ada, baik secara
transmisi seks di Kabupaten Merauke. PKR

161
P K R : M ode l Awal Layanan Terin teg rasi PMT S d i T in gka t Ka bu p ate n

fungsional maupun struktural, “PKR melakukan fungsional dapat dioptimalkan


melalui PKR yang menjadi unit koordinasi keberlanjutannya. Mekanisme
pelaksana teknis sebagai bagian multisektoral yang bisa dilakukan adalah
dari SKPD terkait. menempatkan PMTS sebagai
yang efektif
bagian dari unit layanan di
Efektivitas program PMTS pada fungsi- bawah dinkes seperti puskesmas
di Merauke dipengaruhi oleh
fungsi horizontal yang terintegrasi dengan
komitmen pemerintah, melalui
antar bidang pendekatan LKB, melalui
pengalokasian dana yang besar
di bawah dinas Keputusan Dinkes dengan
untuk penanggulangan HIV dan
kesehatan melalui pemberian kewenangan untuk
IMS lewat pendanaan APBD.
melakukan perencanaan,
Program PMTS merupakan pembentukan
penganggaran, dan monitoring
inisiatif lokal dengan membentuk unit pelaksana dan evaluasi.
unit kelembagaan yang secara
teknis PKR
khusus menangani HIV dan Menguatkan kepemimpinan
yang didukung
IMS. Dengan kewenangan yang daerah, dalam hal ini dinkes,
dimilikinya, memungkinkan oleh bidang P2, untuk berani mengambil
PKR mengintegrasikan program Puskesmas dan kebijakan alternatif mewujudkan
PMTS dengan berbagai RSUD dalam berbagai keputusan atau payung
pemangku kepentingan daerah. manajemen hukum yang sudah ada terkait
Integrasi yang terjadi adalah dengan pencegahan HIV dan
tata laksana
bentuk koordinasi dari para IMS melalui transmisi seksual.
IMS secara
pemangku kepentingan yang Mekanisme yang dapat ditempuh
dilakukan oleh PKR. Oleh komprehensif.” adalah dengan integrasi
karena itu menjadikan PKR struktural layanan PMTS
sebagai unit yang melakukan sebagai bagian dari layanan
upaya kesehatan masyarakat, komprehensif berkelanjutan
khususnya untuk pencegahan (LKB) dengan penataan
HIV dan IMS. pengelolaan yang mandiri
dengan sumber pembiayaan dari
APBD.

I. Pengembangan kapasitas
sumber daya kesehatan daerah
melalui berbagai pelatihan
Rekomendasi untuk peningkatan kapasitas
dan peningkatan jumlah SDM
Agar dapat direplikasi di kesehatan tingkat puskesmas
daerah lain, faktor-faktor yang oleh dinkes dengan mekanisme
memengaruhi efektifitas PMTS pendanaan yang jelas
di Kabupaten Merauke adalah bersumber dari pembiayaan
sebagai berikut: daerah. Kemampuan teknis ini
Pengembangan kebijakan termasuk dalam melakukan
PMTS diintegrasikan ke dalam pencatatan dan pelaporan yang
sistem kesehatan di berbagai standar untuk pemantauan
daerah melalui pembentukan perkembangan PMTS di daerah
unit alternatif oleh dinas sebagai bagian dari mekanisme
kesehatan yang secara dalam sistem kesehatan umum.

162
I g n ati u s He rsu m p an a & Sw asti Se m p u lu r

Pemda didorong oleh masyarakat sipil org/10.3402/gha.v6i0.19252.


untuk tidak menutup lokalisasi. Kebijakan ini Komisi Penanggulangan Aids Nasional (2010) Strategi
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan
menjadikan program PMTS yang berbasis AIDS 2010-2014
lokasi tetap berjalan. Mempertahankan Pinkerton S. and Abramson P. , 1997. “Effectiveness of
lokalisasi daerah dapat mengembangkan condoms in preventing HIV transmission”. Social
model penanggulangan PMTS yang berbasis Science and Medicine, Volume: 44, Issue: 9, Pages:
1303-1312
lokasi. Kebijakan ini perlu didukung dengan
Schwartländer, B., Stover J., Wolker N., Bollinger S.,
komitmen dari semua pihak khususnya untuk Gutierrez, J.P., Mcgreevy W., Opuni,M,, Forsythe S.,
jaminan pembiayaan melalui APBD. Kumaranayake L., Watts, C., Bertozzi, S., (2001),
Resource Needs for HIV/AIDS. SciencExpress/
www.sciencexpress.org/21 juni 2001/page1/ 10.1126/
science.1062876UNAIDS (2000). Evaluation of the 100
% Condom Program in Thailand.
Da f t ar P u st ak a World Health Organization (WHO). 2007. Everybody’s
Business: Strengthening Health System to Improve
Atun, R. et al. 2010. “Integration of Targeted Health
Health Outcomes: WHO’s Framework for Action.
Interventions into Health Systems: a Conceptual
Geneva: WHO. Integrasi upaya penanggulangan
Framework for Analysis”. Health Policy and Planning.
HIV&AIDS-final version 34
23: 104-111.
Wilson David. 2015. HIV Program For Sex Workers:
Beck et al. (2006). The HIV Pandemic: Local and Global
Lessons and Challenges For Developing and
Implications. New York and London: Cambridge
Delivering Programs. PLOS Medicine. 12 (6) :
University Press.
e1001808.
Benatar Salomon R. 2004. “Health Care Reform and the
Crisis of HIV and AIDS in South Africa”. The New
England Journal of Medicine. 351 : 81-92. We b site
Coker R et al. 2010. “Conceptual and Analytical Approach Papua.bps.go.id/linkTableStatis/View/id/35
to Comparative Analysis of Country Case Studies:
HIV and TB Control Programmes and Health Systems
Integration. Oxford University Press in Association
05
with the London School of Hygiene and Tropical
Medicine”. Health Policy and Planning. 2010:25:i21-i-31
Departemen Kesehatan RI (2009) Analisis Kecenderungan
Perilaku Berisiko Terhadap HIV Di Indonesia. Laporan
Survei Terpadu Biologi dan Perilaku Tahun 2007
Dirjen P2PL Kementerian Kesehatan RI (2014)Laporan
STBP 2013 Survei Terpadu Biologis dan Perilaku
Dudley, L. and Garner, P. (2011). Strategies for Integrating
Primary Health Services in Low- and Middle-income
Countries at the Point of Delivery (Review). The
Cochrane Collaboration, 7.
Gurnani V., Beattie TS.,Bhattacharjee P.,CFAR
Team.,Mohan HL.,Maddur Srinath.,Washington
Reynold., Isac S., Ramesh BM.,Moses S., Blanchard
J. 2011. “An Integration Structural Intervention to
Reduce Vurnerability to HIV and Sexually Transmitted
Infections Among Female Sex Workers in Karnataka
State South India”. BMC Public Health. 11 : 755.
Kang D., Xiaorun Tau.,Meizhen Liao.,Jianzhou Li.,Na
Zhang.,Xiaoyan Zhu.,Xiaoguang Sun., Bin Lin.,Shengli
Su.,Lianzheng Hao.,Yujiang Jia. 2013. “An Integrated
Individual, Community, and Structural Intervention to
Reduce HIV/STI Risks Among Female Sex Workers in
China”. BMC Public Health. 13 : 717.
Kawonga M, Fonn S, Blaauw D. 2013. Administrative
Integration of Vertical HIV Monitoring and Evaluation
into Health Systems: a Case Study from South
Africa. Global Health Action, 6:19252 http://dx.doi.

163
06
Model Pencegahan
Melalui Transmisi Seksual
di Tingkat Pelayanan
Primer Puskesmas dan
Jejaringnya

Pande P ut u Januraga, Aang Sut ri s n a & Vi d i a Darm awi

164
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

A.
Pendahuluan

Epidemi HIV yang telah berlangsung lebih dari dua dekade di Indonesia
memperlihatkan pergeseran epidemi yang cukup berarti, setelah ledakan
epidemi pada pengguna napza suntik (penasun), epidemi berikutnya pada
kelompok wanita penjaja seks (WPS) yang dikhawatirkan berperan sebagai
jembatan epidemi ke populasi yang lebih umum (NAC of Indonesia, 2012;
Riono & Jazant, 2004). Belum reda kekhawatiran kita akan potensi pergeseran
epidemi yang didorong oleh penularan pada kelompok WPS, berbagai data
surveilans dan juga pemodelan matematika menunjukkan peningkatan yang
bermakna kejadian infeksi HIV pada kelompok laki-laki seks dengan laki-
laki (LSL) (MOH of Indonesia, 2008, 2013). Jika dilihat dari akumulasi jumlah
penderita HIV-AIDS dan faktor risikonya yang didominasi oleh kelompok WPS
dan LSL, termasuk waria, jelas terlihat bahwa upaya penanggulangan epidemi
HIV pada kelompok ini adalah kunci keberhasilan menanggulangi epidemi
HIV di Indonesia. 06

Selama ini penanggulangan HIV dan perilaku berisiko, terutama penggunaan


AIDS pada populasi WPS, LSL dan waria kondom serta akses dini terhadap diagnosis
terutama terlaksana berkat dorongan dan pengobatan HIV dan IMS. Hanya saja,
inisiatif global berupa bantuan finansial meski intervensi kesehatan spesifik yang
yang memiliki konsekuensi berwarna dan berfokus pada kelompok populasi kunci
dinamisnya perkembangan kebijakan telah terbukti lebih efisien untuk diterapkan,
dan program penanggulangan HIV-AIDS terutama pada negara-negara dengan
pada populasi ini (PKMK FK UGM, 2015; Yu, keterbatasan sumber daya, telah dilaporkan
Souteyrand, Banda, Kaufman, & Perriëns, beberapa kelemahan di antaranya: 1)
2008). Di Indonesia, pengaruh ini jelas berkembangnya sistem ganda atau paralel
terlihat dari kampanye utama program dalam sistem kesehatan, 2) kekhawatiran
penanggulangan yang sejalan dengan akan tergerusnya sumber daya dari sistem
kampanye utama dari pemberi dana bantuan kesehatan kepada intervensi kesehatan
(PKMK FK UGM, 2015). spesifik yang memiliki skema pendanaan
berbeda, serta yang paling ditakutkan
Apapun warna dan dinamika program
adalah 3) lemahnya insentif dan adopsi
penanggulangan HIV dan AIDS pada
sistem kesehatan terutama di daerah untuk
kelompok WPS, LSL dan Waria, hampir
mendukung upaya penanggulangan yang
seluruhnya merupakan intervensi kesehatan
kemudian mengancam keberlanjutan
spesifik, yang bertujuan mencegah
program (Atun, de Jongh, Secci, Ohiri, &
penularan HIV melalui transmisi seksual
Adeyi, 2010; Suharni et al., 2015). Untuk
dengan komponen utama berupa perubahan
itu, diperlukan upaya sistematis untuk

165
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

mengintegrasikan upaya kesehatan


Sistem Kesehatan di Indonesia, yang
spesifik Pencegahan melalui Transmisi
merupakan program kerjasama antara PKMK
Seksual (PMTS), terutama pada populasi
FK UGM dengan Department of Foreign
berisiko tinggi pada tatanan keorganisasian
Affairs (DFAT).
sistem kesehatan pada umumnya, dengan
memperhatikan aspek struktural dan Secara umum penelitian ditujukan untuk
fungsional yang mampu secara optimal menjawab dua pertanyaan utama berikut:
menjamin keberlangsungan layanan 1. Model layanan yang terintegrasi seperti
ditingkat akar rumput (Atun et al., 2010; PKMK apakah yang bisa digunakan untuk
FK UGM, 2015; Suharni et al., 2015). menjamin keberlangsungan program
Bahwasanya integrasi telah menjadi PMTS di pelayanan kesehatan dasar
kebutuhan untuk menjamin keberlanjutan (primary health care-PHC)?
program dan pelayanan kesehatan, 2. Model kebijakan operasional seperti
konsep dan bagaimana pola atau model apakah yang dibutuhkan untuk menjamin
integrasinya ke dalam sistem kesehatan terlaksananya integrasi program PMTS di
yang ada masih menjadi pertanyaan yang tingkat layanan dasar?
harus dijawab (Atun et al., 2010; Frenk,
2009). Secara umum, hasil kajian dari
rangkaian penelitian I dan II Kebijakan dan
Program HIV & AIDS Dalam Kerangka Sistem
Kesehatan di Indonesia, yang merupakan
program kerjasama antara PKMK FK UGM
B.
Kerangka Kerja Penyusunan
dengan Department of Foreign Affairs
(DFAT), menunjukkan bahwa terdapat variasi Model
tingkat integrasi dan tingkat efektivitasnya
terhadap cakupan layanan kesehatan. Terdapat dua asumsi utama yang digunakan
Variasi tersebut, terutama berada dalam dalam menentukan pengembangan model
konteks perbedaan kemampuan daerah PMTS ditingkat layanan primer. Yang pertama
khususnya pendanaan dan kapasitas SDM, adalah posisi dan peran penting pelayanan
serta besarnya masalah atau perbedaan kesehatan primer dalam sistem kesehatan
tingkat epidemi. Hasil kajian I dan II juga nasional, yang ditempatkan sebagai ujung
menunjukkan bahwa tatanan kebijakan tombak pelayanan kesehatan yang mampu
penanggulangan HIV-AIDS termasuk untuk memberikan pelayanan yang komprehensif
PMTS telah tersusun dari tingkat nasional dan esensial meliputi pelayanan kesehatan
dan juga daerah, hanya saja dalam tatanan perorangan dan masyarakat dari aspek
pelaksanaan ditemukan banyak masalah promosi, pencegahan, pengobatan dan
(PKMK FK UGM, 2015; Suharni et al., 2015). pelayanan rehabilitatif.63 Dengan posisi
Diperlukan upaya sistematis dalam kerangka dan peran seperti itu, penguatan PMTS di
penelitian ilmiah untuk menyusun model tingkat layanan primer diharapkan dapat
layanan dan kebijakan dan program PMTS berkontribusi lebih besar pada upaya
yang sesuai dengan perbedaan kapasitas penanggulangan epidemi HIV. Yang kedua,
daerah dan situasi epidemi berbagai daerah dalam sejarahnya peran layanan primer
di Indonesia. di Indonesia, terutama puskesmas, dalam
memberikan pelayanan yang melibatkan
Penelitian ini adalah kegiatan ketiga
63) Peraturan Presiden No.72 tahun 2012 tentang
(III) dari rangkaian penelitian Kebijakan dan SKN memberikan penekanan pada upaya revitalisasi
Program HIV dan AIDS Dalam Kerangka pelayanan kesehatan dasar (PHC) untuk mencapai
keadilan dan peningkatan kualitas layanan komprehensif.

166
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

masyarakat dan sektor non- mo­del layanan PMTS dengan


kesehatan telah berjalan layanan kesehatan individu dan
cukup baik dan berhasil me­mi­ masyarakat yang dilakukan
cu munculnya beberapa best oleh puskesmas beserta tingkat
“Pendekatan ini
practice ker­ja­sa­ma lintas sektor integrasi dari unsur-unsur
dan integrasi layanan. dipilih dengan utama dalam sub-sistem upaya
tidak semata- kesehatan. Dengan merujuk
Pengembangan model PMTS
mata memandang pada hasil penelitian PKMK
didasarkan pada pendekatan
integrasi sebagai sebelumnya tentang tingkat
atau kerangka kerja yang
keberhasilan dari integrasi layanan HIV dan AIDS
dianggap mampu mengelola
dengan unsur utama dalam
poten­si dan kendala tersebut. proses perbaikan
sub-sistem upaya kesehatan
Pendekatan yang dianggap layanan, (Pembiayaan, Sumber Daya
mampu menerjemahkan melainkan sebagai Manusia, Layanan, Sarana,
kesinam­bung­an dukungan
metode untuk Manajemen, Regulasi, dan Sis­
dari sistem kesehatan, situasi
menghasilkan tem Informasi) yang dikate­go­ri­
epidemi, organisasi layanan dan
layanan yang kan menjadi 3 kelompok, yaitu
ke­mu­­dian pelaksanaan layanan
terintegrasi penuh, seba­gi­an, dan
primer adalah pen­dekatan dapat diakses,
tidak terintegrasi sa­ma sekali,
continuum of integration (Blount, berkeadilan, dan maka disusunlah de­fi­ni­si kategori
2003; Doherty, McDaniel, & juga memenuhi integrasi model la­yan­an PMTS
Baird, 1996).
kebutuhan dasar dengan layanan pus­kes­mas
Fokus utama dari kerangka semua pihak sebagaimana tabel 10.
kerja ini adalah untuk meme­ta­
dan tentunya Sehingga definisi praktis 06
kan tingkat integrasi layanan
berkelanjutan, integrasi model layanan PMTS
atau kegiatan di tingkat layan­
artinya dengan layanan kesehatan
an primer puskesmas dan
individu dan masyarakat yang
jeja­ringnya. Pendekatan ini pengintegrasian
dilakukan oleh puskesmas
dipilih dengan tidak semata- layanan harus
disimpulkan sebagai berikut:
mata memandang integrasi disesuaikan
sebagai keberhasilan dari • Level 1: Jika layanan
dengan
pro­ses perbaikan layanan, me­ dilakukan pihak lain, di luar
kebutuhan
lainkan sebagai metode untuk koordinasi serta gedung
menghasilkan layanan yang pengguna puskesmas yang hanya
dapat diakses, berkeadilan, layanan, menerima informasi yang
dan juga memenuhi kebutuhan kebutuhan tidak rutin. Pada level ini,
dasar semua pihak dan tentu­ organisasi layanan dilakukan di tempat
nya berkelanjutan, artinya terpisah, dengan regulasi,
pemberi layanan,
peng­integrasian layanan harus manajemen, SDM dan
situasi epidemi, pembiayaan yang juga tidak
dise­suaikan dengan kebutuhan
pengguna layanan, kebutuhan dan sistem terintegrasi sama sekali
organisasi pemberi layanan, kesehatan yang dengan sistem di puskesmas,
situasi epidemi, dan sistem berlaku.” serta komunikasi horizontal
kesehatan yang berlaku. yang jarang dilakukan atau
bersifat ad-hoc saja sehingga
Definisi operasional integrasi
dapat dikategorikan sebagai
layanan di atas diterjemahkan
terintegrasi sebagian.
ke dalam definisi integrasi

167
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

Tabel 10. Kategori Integrasi Unsur Sub-Sistem Upaya


Kesehatan pada Definisi Level Integrasi Layanan Kesehatan
Menurut Continuum of Integration

Pembiayaan

Manajemen

Level Integrasi
Informasi
Layanan

Regulasi
Sarana
SDM

Level 1: Kolaborasi minimal       

Level 2: Kolaborasi dasar


secara terpisah
      

Level 3: Kolaborasi dasar


di lokasi yang sama
      

Level 4: Kolaborasi
erat dengan beberapa
komponen sistem
      
terintegrasi

Level 5: Pendekatan
kolaborasi dan terintegrasi
      

Level 6: Transformasi
kolaborasi penuh
      

Keterangan:  tidak terintegrasi |  terintegrasi sebagian |  terintegrasi

168
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

• Level 2: Jika layanan dilakukan pihak sudah terintegrasi sebagian dengan


lain yang berkoordinasi dengan sistem di puskesmas.
puskesmas, yang secara regulasi dan
• Level 5: Jika layanan sudah menjadi
manajemennya, juga diminta terlibat
layanan rutin puskesmas dengan
aktif dalamnya. Pada level ini layanan
bantuan SDM dan pendanaan dari pihak
dilakukan di tempat terpisah dengan
lain di luar mekanisme pendanaan
sarana, SDM, dan pembiayaan yang
reguler puskesmas. Pada level ini,
tidak terintegrasi sama sekali dengan
setidaknya unsur teknis layanan,
sistem di puskesmas. Walaupun demikian,
regulasi, manajemen, dan sarana harus
secara regulasi dan manajemen
sudah terintegrasi penuh dengan sistem
puskesmas berperan dalam pelaksanaan
di puskesmas walaupun unsur SDM dan
layanan dan terjadi pertukaran informasi
pembiayaan.
secara tertulis dan berkala, sehingga
setidaknya status integrasi unsur • Level 6: Jika layanan sudah menjadi
manajemen, regulasi, dan informasi rutin puskesmas dengan perencanaan,
adalah terintegrasi sebagian. pendanaan dan layanan yang
terintegrasi penuh dengan mekanisme
• Level 3: Jika layanan dilakukan
yang ada di puskesmas. Pada level
pihak lain di dalam koordinasi penuh
ini, layanan sudah menjadi bagian dari
puskesmas, yang dalam tahap ini
layanan wajib yang disediakan oleh
puskesmas menyediakan sebagian
puskesmas terpilih sehingga semua
sarana/prasarana. Pada level ini, layanan
unsur utama dalam sub-sistem upaya
disediakan bersamaan atau melalui
kesehatan untuk layanan ini sudah
koordinasi dengan layanan puskesmas
terintegrasi penuh dengan sistem di 06
walau pembiayaan dan SDM untuk
puskesmas.
layanan tersebut tidak terintegrasi sama
sekali dengan sistem di puskesmas. Oleh
karena itu, setidaknya membutuhkan
komunikasi dan pertukaran informasi
yang lebih intensif serta sarana,
manajemen, dan regulasi teknis yang
C.
terintegrasi sebagian dengan sistem di
Pendekatan Pengembangan
puskesmas. Model (Metode)
• Level 4: Jika layanan dilakukan Penelitian ini menggunakan pendekatan
puskesmas bersama dengan pihak mixed-methods (Creswell, 2008; Johnson
lain, dengan pembagian tugas dan & Onwuegbuzie, 2004) dalam rangka
kewenangan yang jelas. Pada level ini mengumpulkan informasi mendalam dan
layanan disediakan secara bersama- bervariasi serta berasal dari berbagai
sama antara puskesmas dengan sumber. Pendekatan utama yang digunakan
pihak lain baik, di dalam maupun di adalah dengan metode desk review untuk
luar gedung puskesmas, walaupun menghasilkan narasi isu dan strategi
pembiayaan layanan masih belum pelayanan PMTS yang sesuai dengan
terintegrasi sama sekali dengan konteks masalah, kebijakan, struktur, dan
mekanisme pembiayaan layanan di organisasi layanan kesehatan di Indonesia.
puskesmas. Oleh karena itu, setidaknya Hasil desk review kemudian disusun menjadi
semua unsur utama dalam sub-sistem sebuah technical brief atau kertas kerja
layanan kecuali unsur pembiayaan, model pelayanan PMTS serta kuesioner

169
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

D.
yang digunakan dalam survei Delphi. Studi
Delphi dilakukan untuk mendapatkan
dukungan atau konsensus dari praktisi dan
pakar dalam PMTS terhadap model yang Desk Review Model Integrasi
dikembangkan. Pendekatan pengumpulan
PMTS ke Dalam Layanan
data secara berurutan di mana hasil
sebelumnya menginformasikan langkah
Primer
selanjutnya dikenal sebagai squential design
Hasil penelusuran artikel perkembangan
(Creswell, 2008) dengan salah satu tahapan
epidemi di Indonesia yang dipublikasikan
berperan lebih dominan dalam memberikan
dalam jurnal peer reviewed internasional
arahan pada hasil kajian. Dalam penelitian
memang tidak menemukan kajian terkait
ini desk review merupakan bagian utama
intervensi untuk mengintegrasikan kegiatan
dari keseluruhan metode pengumpulan data.
PMTS ke dalam pelayanan kesehatan
Kajian pustaka terhadap model integrasi dasar atau primer. Hal ini terjadi karena
PMTS dilakukan untuk memperoleh informasi memang penelusuran dibatasi pada
terhadap empat hal pokok. Pertama, database internasional berbahasa Inggris.
terkait peran transmisi seksual dalam Sesungguhnya terdapat cukup banyak
perkembangan epidemi HIV and AIDS di laporan penelitian atau evaluasi kegiatan
Indonesia serta berbagai upaya yang telah PMTS, tetapi memang lebih banyak
dilakukan untuk menanggulangi dampak tersimpan sebagai kelompok grey literature
dari epidemi HIV dan AIDS. Kedua, tinjauan yang memang tidak dicari dalam kajian
pustaka dimaksudkan untuk memperoleh literatur ini.
gambaran terhadap berbagai model PMTS
Secara umum, hasil penelusuran
yang dilakukan di berbagai negara di dunia.
pada kelompok publikasi internasional ini
Ketiga, mengkaji bagaimana peran integrasi
memperkuat asumsi dasar peneliti bahwa
di dalam keberhasilan pelaksanaannya.
transmisi seksual memegang peranan
Keempat, bagaimana perkembangan
utama dalam perkembangan epidemi HIV
kebijakan PMTS di Indonesia yang diakhiri
di Indonesia, yang memerlukan strategi dan
dengan keempat kajian model praktis PMTS
intervensi berbasis bukti serta efektif untuk
di Indonesia dengan segala keunggulan dan
mengendalikannya. Berbagai intervensi
kelemahannya.
yang dilaporkan dan dievaluasi hasilnya
Untuk dapat menyajikan empat pokok juga mendukung asumsi peneliti bahwa
kajian di atas, pencarian dan analisis diperlukan peningkatan kapasitas dan
diarahkan untuk menemukan literatur kualitas layanan primer dalam pro­gram
terkait kegiatan dan dampak PMTS di penangulangan HIV di Indonesia. Keber­
Indonesia, model PMTS di berbagai hasilan program edukasi melalui pen­jang­
negara, dan faktor-faktor yang berkaitan kau­an, diagnosis, dan pengobatan infeksi
dengan keberhasilannya dilihat dari me­nular seksual (IMS) serta distribusi kon­
pengorganisasian pelayanan, termasuk dom di akar rumput menunjukkan pentingnya
peran integrasi dalam sistem pelayanan pe­nguatan pelayanan kesehatan primer
kesehatan, serta strategi kajian dokumen dalam menyelenggarakan kegiatan PMTS.
kebijakan PMTS di Indonesia.
Beralih ke hasil kajian artikel interna­sio­
nal terkait PMTS, penelusuran menemukan
memang tidak banyak terdapat publikasi
internasional yang secara khusus menya­ji­
kan hasil suatu kegiatan atau strategi atau

170
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

model untuk mengintegrasikan pelayanan b. Intervensi perubahan perilaku untuk


pencegahan ke dalam layanan kesehatan memaksimalkan layanan pencegahan
primer mainstream. Jika pun tersedia biomedis, seperti menciptakan
publikasi yang melaporkan hasil integrasi kebutuhan terhadap layanan
layanan, maka informasi yang disajikan pencegahan biomedis, meningkatkan
berasal dari kegiatan mengintegrasikan kepatuhan, dan edukasi pasien
dua atau lebih layanan intervensi spesifik, setelah layanan pencegahan
semisal mengintegrasikan layanan IMS, biomedis.
HIV dan Hepatitis ke dalam satu layanan 3. Dukungan struktural
yang terintegrasi. Kajian terhadap artikel
a. Reformasi peraturan dan kebijakan
yang berhasil disaring dan dianalisis hanya
untuk menurunkan stigma dan
menemukan tiga artikel yang secara khusus
diskriminasi terhadap ODHA dan
melaporkan bagaimana integrasi layanan
populasi paling berisiko yang
IMS dan atau HIV ke dalam layanan
termarjinalkan
mainstream kesehatan primer, yang seluruh
publikasi tersebut berasal dari setting negara b. Program kesetaraan gender dan
atau wilayah epidemi meluas di Afrika. kekerasan berbasis gender
c. Pemberdayaan ekonomi dan
Mengingat keterbatasan publikasi yang
pendekatan multi-sektoral lainnya,
melaporkan kegiatan integrasi intervensi
dan
kesehatan khusus untuk mencegah
penularan melalui transmisi seksual ke d. Peningkatan tingkat pendidikan
dalam pelayanan mainstream kesehatan masyarakat.
primer, maka hasil kajian diarahkan pada Selanjutnya, peneliti juga menelusuri
upaya untuk menggali tentang efektivitas dan mengkaji berbagai dokumen 06
layanan dan intervensi program PMTS kebijakan terkait PMTS. Secara umum,
di tingkat global. Kajian menyimpulkan peneliti menemukan perkembangan
setidaknya ada 11 jenis layanan dan kebijakan terkait PMTS di Indonesia telah
intervensi yang terbukti efektif dalam mengantisipasi perubahan konteks sosial,
menurunkan risiko penularan HIV melalui terutama kelompok berisiko tinggi tidak
transmisi seksual yang dapat dilaksanakan hanya pada kelompok WPS lokasi, namun
di tingkat layanan primer. Kesebelas pengelolaan PMTS masih diarahkan pada
intervensi tersebut adalah: upaya mengorganisasikan pelayanan
1. Kategori pelayanan pencegahan pencegahan pada populasi kunci yang
biomedis terorganisir, dengan pendekatan utama
melalui penggerakan kelompok kerja (pokja)
a. Penyediaan dan distribusi kondom
penanggulangan yang berbasis wilayah,
b. Sirkumsisi sukarela tempat kerja, dan kelompok komunitas.
c. Testing dan konseling HIV Pendekatan model ini lebih bersifat top down
d. Diagnosa dan pengobatan IMS mengikuti pola kerja dari masing-masing
instansi pemerintahan yang terlibat seperti
e. Pencegahan berbasis antiretroviral
KPAP/K, dinas kesehatan, dinas sosial, dinas
(ARV)
ketenagakerjaan, Satpol PP, serta beberapa
2. Kategori layanan intervensi perubahan instansi formal lainnya. Puskesmas dan
perilaku jejaring layanan primer hanya diposisikan
a. Intervensi perubahan perilaku yang sebagai unsur pelaksana kegiatan layanan
berdiri sendiri yang dikoordinasikan sepenuhnya oleh

171
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

dinas kesehatan kabupaten/kota. Kenyataan Selanjutnya, dari hasil survei dan diskusi
ini memperkuat asumsi dasar peneliti bahwa pasca Delphi juga dapat disimpulkan
diperlukan pengembangan model PMTS di terdapat 11 isu spesifik terkait pelaksanaan
tingkat layanan primer. kegiatan atau komponen PMTS yang
dijadikan pertimbangan dalam penentuan
model terutama dalam tingkatan integrasi

E.
layanan yang terjadi saat ini dan bagaimana
harapan tingkat integrasi layanan di masa
depan:
Pengembangan Konsensus 1. Terkait pengadaan kondom, diyakini
Model Melalui Studi Delphi bahwa pengadaan kondom di masa
depan dapat diambil alih oleh pemda
Dari kedua tahapan survei Delphi dan melalui dinkes, peran puskesmas lebih
diskusi pasca Delphi yang dilakukan pada pendistribusian kondom, baik
pada praktisi dan pakar terkait PMTS secara pasif di dalam layanan dalam
terhadap pendefinisian PMTS, dapat gedung maupun aktif, bekerjasama
disimpulkan bahwa dalam model PMTS yang dengan LSM penjangkau atau petugas
dikembangkan harus memperhatikan tiga hal lapangan. Dalam kondisi tertentu BKKBN
berikut: juga diharapkan menjadi lembaga yang
1. Salah satu kunci utama keberhasilan mendukung pengadaan kondom pada
program penanggulangan HIV dan populasi berisiko tinggi.
AIDS di Indonesia adalah berhasil 2. Terkait distribusi kondom diyakini bahwa
mengintegrasikan pelayanan PMTS ke terdapat hambatan sosial, politik, agama
dalam penyelenggaraan pelayanan dan budaya atau norma setempat dalam
kesehatan mainstream atau umum di pendistribusian kondom pada kelompok
tingkat layanan primer. berisiko tinggi sehingga peran LSM atau
2. Kegiatan PMTS perlu didefinisikan OMS penjangkau masih sangat besar,
secara komprehensif, melibatkan seluruh diharapkan puskesmas mampu menjadi
kelompok populasi berisiko tinggi di koordinator pelaksana kegiatan di
luar WPS dan pelanggannya, yaitu LSL wilayah kerja mereka. Di masa depan
dan waria. Lebih lanjut kegiatan PMTS diyakini bahwa petugas lapangan yang
harus disusun dengan memperhatikan bertugas mendistribusikan kondom dan
perbedaan kondisi epidemi, kemampuan penjangkauan populasi tinggi dapat
pemberi layanan, dan juga setting daerah dikontrak oleh dinkes dengan koordinasi
kelompok berisiko. puskesmas.

3. Dalam jangka pendek peran donor 3. Terkait diagnosis dan pengobatan IMS
internasional dalam pendanaan pada pelayanan perorangan di tingkat
kegiatan PMTS, terutama pengadaan puskesmas, diyakini bahwa kegiatan
kondom, distribusi kondom, kegiatan ini merupakan upaya kesehatan wajib
penjangkauan dan edukasi kelompok yang sudah diselenggarakan secara
berisiko tinggi masih cukup besar. mandiri dan terintegrasi dengan layanan
Pengintegrasian harus dilakukan secara lainnya, hanya saja masih terkendala
bertahap dengan melihat kemampuan keterbatasan sarana.
finansial dan komitmen penyelenggara 4. Terkait diagnosis dan pengobatan IMS
layanan. berupa upaya kesehatan masyarakat

172
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

(UKM), seperti skrining dan pengobatan 10. Terkait promosi kesehatan reproduksi
presumtif berkala, diyakini merupakan dan HIV dan AIDS pada masyarakat
upaya kesehatan wajib. Hanya saja umum diyakini belum maksimal
saat ini masih banyak bergantung pada dilakukan puskesmas, diharapkan dapat
bantuan donor dan penyelenggaraan diintegrasikan secara penuh mengingat
yang bersifat top down. kegiatan ini adalah salah satu dari tugas
dan fungsi pokok puskesmas.
5. Terkait sirkumsisi lelaki dewasa sebagai
layanan kesehatan perorangan diya­ki­ni 11. Terkait promosi kesehatan terkait HIV
bahwa puskesmas telah mampu menye­ dan AIDS pada kelompok berisiko
lenggarakannya secara terintegrasi. tinggi sebagai UKM, diyakini memang
masih dilakukan secara sporadis
6. Terkait sirkumsisi lelaki dewasa sebagai
oleh puskesmas dan umumnya
UKM diyakini hanya tepat dilakukan
diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya
pa­da daerah dengan epidemi yang
Masyarakat (LSM) atau Organisasi
meluas, seperti di Papua, dan saat ini
Masyarakat Sipil (OMS) penjangkauan. Di
Puskesmas belum memiliki dukungan
masa depan diharapkan ada koordinasi
regulasi, finansial, sarana, SDM dan
yang lebih baik antar puskesmas
sistem informasi yang menunjang
dan LSM/OMS penjangkau dalam hal
pelaksanaannya.
informasi, manajemen kegiatan, dan
7. Terkait kegiatan tes HIV di dalam gedung juga dukungan sarana prasarana serta
puskesmas, baik melalui klinik konseling pengaturan kegiatan di wilayah kerja
dan testing sukarela (KTS/VCT) maupun puskesmas.
provider-initiated counseling and testing
(PITC) diyakini telah diselenggarakan 06

F.
secara berkelanjutan oleh puskesmas,
meskipun sebagian pendanaan dan
sarana masih mendapat dukungan dana
donor maupun anggaran yang bersifat Usulan Model PMTS di Tingkat
sentralistis dari Kementerian Kesehatan. Layanan primer Puskesmas
Di masa depan besar harapan agar
kegiatan ini sudah merupakan kegiatan Dengan memperhatikan kondisi layanan
yang terintegrasi penuh termasuk dalam terkini dan kemudian hasil kajian terhadap
pendanaannya. berbagai permasalahan di tingkat sistem,
8. Terkait kegiatan mobile KTS sebagai organisasi, dan layanan PMTS, kajian
perwujudan UKM menyasar kelompok literatur internasional dan nasional terkait
risiko tinggi, meskipun telah dilakukan efektivitas layanan PMTS, serta hasil survei
secara berkelanjutan dukungan dari Delphi, model PMTS yang dapat diusulkan
donor, terutama untuk operasional dan untuk pelaksanaan di tingkat layanan primer
sarana masih diyakini cukup besar. serta bagaimana pengorganisasiannya
dalam kerangka kerja integrasi layanan
9. Terkait layanan ART, harus diakui bahwa
dan yang sesuai dengan tatanan sistem
masih terdapat variasi komitmen dan
kesehatan nasional (lihat model dalam
dukungan sarana dalam mewujudkan
bagan).
layanan ART di tingkat puskesmas, tetapi
hasil Delphi menunjukkan dukungan Secara ringkas model yang ditawarkan
yang cukup atas terselenggaranya per dimensi layanan PMTS di tingkat layanan
layanan di tingkat primer. primer dapat dipetakan ke dalam tabel 11.

173
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

Model layanan
pengadaan kondom
serta lubrikan 1

• Layanan pengadaan kondom dan lubrikan untuk pencegahan HIV dan IMS saat ini hampir
seluruhnya dilakukan oleh Sekretariat KPAN dengan mayoritas pendanaan berasal dari hibah
Global Fund (GF), sehingga tingkat integrasinya dengan layanan puskesmas masih pada
level 1 atau bahkan pra-integrasi kolaborasi minimal ( jika layanan dilakukan pihak lain, di luar
koordinasi puskesmas dan puskesmas hanya menerima informasi yang tidak rutin).
• Model integrasi layanan pengadaan kondom dan lubrikan untuk pencegahan HIV dan IMS
yang ideal menurut peneliti adalah level 4 (layanan dilakukan puskesmas bersama dengan
pihak lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas) sampai level 6 (fully
integrated).
• Mengingat pengalihan pengadaan/pembiayaan kondom oleh negara akan sulit selama masih
tersedianya dana hibah GF dan banyaknya hal lain yang lebih prioritas untuk didanai oleh
berbagai sumber dana puskesmas, maka model integrasi pengadaan kondom yang diusulkan
dalam studi ini adalah di level 4 (layanan dilakukan puskesmas bersama dengan pihak lain,
dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas). Layanan pengadaan kondom selain
mitra internasional, bisa juga dengan institusi pemerintah, BKKBN. Hal ini terungkap dalam
konsensul hasil Delphi antara praktisi dan pakar.
• Walaupun demikian, tidak ada peraturan yang menghambat maupun mewajibkan puskesmas
untuk mengadakan kondom dan lubrikan secara terintegrasi penuh. Beberapa peraturan teknis
penggunaan dana yang dikelola puskesmas memungkinkannya mengadakan kondom dan
lubrikan untuk pencegahan HIV dan IMS secara mandiri, bahkan beberapa pedoman secara
implisit telah memberikan ruang untuk pelaksanaannya (level 6, fully integrated) melalui
anggaran rutin dan BOK.
• Beberapa kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan untuk mewujudkan integrasi ini adalah:
• Diperlukan peraturan yang jelas dari tingkat dinkes kabupaten/kota yang disertai dengan
petunjuk pelaksanaan ( juklak) dan petunjuk teknis ( juknis) tentang cara estimasi kebutuhan
kondom dan lubrikan, perencanaan dan mekanisme pengadaan di tingkat puskesmas.
• Juklak dan juknis agar kondom dari sumber dana lain (BKKBN) dapat digunakan sebagai alat
pencegahan penularan HIV dan IMS.
• Kondom dan lubrikan perlu dimasukkan dalam standar bahan habis pakai yang disediakan
untuk layanan dalam maupun luar gedung di Permenkes tentang Puskesmas.
• Diperlukan revisi beberapa juklak dan juknis penggunaan dana dari beberapa sumber dana
yang dikelola puskesmas untuk mencantumkan secara eksplisit pengadaan kondom dan
lubrikan sebagai alat pencegahan penularan HIV dan IMS.

174
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

Model layanan
distribusi kondom
serta lubrikan 2

• Layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi kunci lebih banyak dilakukan oleh
petugas lapangan dari LSM sebagai bagian dari komponen intervensi perubahan perilaku
yang mayoritas didanai oleh hibah GF, dan juga sebagai bagian dari intervensi struktural yang
dikelola oleh Sekretariat KPAK, di mana sebagian besar puskesmas juga merupakan salah
satu outletnya, baik dalam bentuk layanan kesehatan individu di dalam gedung maupun ketika
menyelenggarakan layanan di luar gedung puskesmas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tingkat integrasi layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi kunci dengan layanan
puskesmas saat ini masih berada pada level 2.
• Model ideal integrasi layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi kunci dengan
layanan puskesmas yang menjadi konsensus responden Delphi praktisi maupun pakar serta
menurut peneliti adalah pada level 3 (layanan dilakukan pihak lain di dalam koordinasi penuh
06
puskesmas di mana puskesmas menyediakan sebagian sarana/prasarana). Hal ini didasarkan
realitas bahwa jumlah dan kapasitas sumber daya puskesmas untuk menjangkau populasi
kunci di luar gedung puskesmas yang masih terbatas serta sejalan dengan salah satu tugas
dan fungsinya mendorong UKM. Model ideal integrasi layanan distribusi kondom dan lubrikan
pada populasi kunci dengan layanan puskesmas membutuhkan beberapa hal sebagai berikut:
• Perlu juklak dan juknis untuk puskesmas melakukan koordinasi penuh layanan distribusi
kondom, baik yang dilakukan oleh petugas lapangan LSM maupun petugas lapangan yang
dikontrak oleh pemda.
• Layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi kunci perlu dimasukan dalam UKM
esensial di Permenkes tentang Puskesmas.
• Regulasi teknis penggunaan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) puskesmas
telah menetapkan pembiayaan distribusi kondom dan lubrikan sebagai salah satu prioritas
pendanaan, sehingga perlu ada penekanan pentingnya layanan ini untuk diselenggarakan
puskesmas melalui instrumen supervisi dan pembinaan dari dinas kesehatan kabupaten/
kota.
• Puskesmas perlu menganggarkan layanan distribusi kondom dan lubrikan pada populasi
kunci melalui anggaran rutin, BOK maupun sumber pendanaan lainnya.

175
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

Layanan diagnosis
dan pengobatan IMS
dalam Pelayanan 3
Kesehatan
Perorangan Primer
(PKPP)

• Layanan ini sudah terintegrasi baik secara kebijakan, sistem maupun teknis pelayanan
ke dalam PKPP Puskesmas yang ditunjuk dan terlatih. Sarana, prasarana dasar untuk
menyediakan layanan ini juga sudah masuk dalam standar peralatan dan bahan habis pakai
di puskesmas, walaupun demikian penyediaan beberapa obat esensial masih disediakan
secara vertikal dan belum dapat disediakan langsung oleh puskemas mengingat obat tersebut
belum masuk sebagai daftar obat esensial di puskesmas. Sehingga dapat disimpulkan tingkat
integrasi UKP untuk layanan diagnosis dan pengobatan IMS dengan layanan puskesmas
berada pada level 5.
• Model integrasi ideal layanan ini dengan layanan puskesmas, berdasarkan konsensus
Delphi praktisi dan pakar serta menurut peneliti, adalah level 6 terintegrasi penuh termasuk
pembiayaan untuk obat esensial IMS, di mana diperlukan revisi daftar obat esensial nasional di
puskesmas sehingga obat esensial pengobatan IMS yang paling efisien dapat disediakan oleh
puskesmas.

176
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

Layanan penapisan
dan pengobatan IMS
pada pekerja seks 4
dalam Pelayanan
Kesehatan
Masyarakat Primer
(PKMP)

• Layanan ini sudah disediakan oleh banyak puskesmas yang ditunjuk dan terlatih dengan
dukungan pendanaan operasional sebagian besar bersumber dari dana hibah GF. Walaupun
demikian, belum ada regulasi dan juklak serta juknis penyediaan layanan penapisan dan
pengobatan IMS pada WPS sebagai PKMP, sehingga dapat disimpulkan tingkat integrasi
layanan ini masih berada di level 4 ( jika layanan dilakukan puskesmas bersama dengan pihak
lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas).
• Konsensus Delphi praktisi dan pakar mengindikasikan tingkat integrasi layanan ini perlu
ditingkatkan menjadi level 6 (fully integrated) dengan jaminan alokasi pembiayaan dari
anggaran rutin dana BOK, maupun sumber pendanaan lainnya. Penapisan dan pengobatan
harus menjadi bagian penuh puskesmas, mengingat penapisan dan pengobatan IMS berkala,
yang secara teori dapat mengurangi kemungkinan penularan HIV dan IMS, sering kali tidak
06
menimbulkan gejala klinis yang dapat dirasakan sebagai infeksi oleh WPS.
• Untuk mencapai model yang ideal menurut peneliti diperlukan hal-hal sebagai berikut:
• Perlu dibuat kebijakan program beserta juklak dan juknis dari tingkat nasional tentang
penapisan dan pengobatan IMS pada WPS
• Layanan penapisan dan pengobatan IMS pada WPS perlu cantumkan sebagai UKM esensial
untuk pengendalian IMS di Permenkes tentang Puskesmas
• Revisi daftar obat esensial nasional di puskesmas sehingga obat esensial pengobatan IMS
yang paling efisien dapat disediakan oleh puskesmas
• Puskesmas perlu menganggarkan operasional layanan penapisan dan pengobatan IMS
pada WPS secara berkala melalui anggaran rutin, BOK maupun sumber pendanaan lainnya.

177
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

Layanan sirkumsisi
medis sukarela laki-
laki dewasa (SMSL) 5

• Layanan SMSL sebagai UKP merupakan layanan yang secara standar wajib disediakan oleh
puskesmas sehingga tingkat integasinya sudah yang tertinggi (level 6) pada semua unsur
upaya kesehatan perorangan di puskesmas. Sementara SMSL sebagai UKM masih dalam tahap
penelitian operasional di Papua atau dalam tahap pra-integrasi.
• Model integrasi yang ideal untuk layanan SMSL sebagai UKM harus menunggu hasil penelitian
operasional terlebih dahulu.

178
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

VCT HIV dalam


gedung puskesmas
6

• Saat ini, layanan VCT HIV dalam gedung sudah terintegrasi, baik secara kebijakan, sistem
maupun teknis pelayanan, ke dalam layanan puskesmas yang ditunjuk dan terlatih. Hampir
semua sarana, prasarana dasar untuk menyediakan layanan ini juga sudah masuk dalam
standar peralatan dan bahan habis pakai di puskesmas. Model integrasi yang ada saat ini
sudah memasuki level 5 (Jika layanan sudah menjadi layanan rutin puskesmas dengan
bantuan SDM dan pendanaan dari pihak lain diluar mekanisme pendanaan reguler puskesmas).
Hanya penyediaan reagensia yang belum disediakan secara lokal oleh sebagian puskesmas,
karena masih disediakan oleh Kemenkes walaupun tidak ada regulasi yang menghambatnya.
• Model integrasi layanan VCT HIV dalam gedung puskesmas yang ideal menurut konsensus
praktisi dan pakar adalah level 6, dan hanya kapasitas dana serta prioritas pendanaan di
sebagian puskesmas yang menjadi hambatannya. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah
06
penekanan melalui instrumen supervisi dan pembinaan dari dinas kesehatan kabupaten/kota
agar pembiayaan layanan KTS HIV menjadi salah satu prioritas pendanaan di puskesmas.

179
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

Layanan mobile KTS


HIV
7

• Saat ini, layanan mobile KTS HIV sudah disediakan oleh banyak puskesmas yang ditunjuk
dan terlatih, tapi masih dengan dukungan pendanaan operasional sebagian besar bersumber
dari dana hibah GF. Kerjasama erat dengan pihak lain juga dilakukan puskesmas dalam hal
pemberian informasi pada populasi kunci saat mobile KTS HIV dilakukan dengan petugas
lapangan LSM, yang honornya mayoritas berasal dari mitra internasional. Sehingga dapat
disimpulkan tingkat integrasi layanan ini masih berada pada level 4 ( jika layanan dilakukan
puskesmas bersama dengan pihak lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas).
• Usulan integrasi unsur sub-sistem mobile KTS HIV dengan unsur sub-sistem upaya kesehatan
di puskesmas yang ditawarkan adalah level 5 ( jika layanan sudah menjadi layanan rutin
puskesmas dengan bantuan SDM dan pendanaan dari pihak lain di luar mekanisme pendanaan
reguler puskesmas).
• Konsensus Delphi praktisi dan pakar dan pendapat peneliti menyepakati bahwa layanan
mobile KTS HIV yang ada sekarang sudah pada tingkat integrasi yang ideal, mengingat
kapasitas dan sumber daya puskesmas sulit untuk bisa menyediakan layanan ini secara efektif.
Selain itu tingkat integrasi ini sesuai dengan tugas dan fungsi puskesmas dalam mendorong
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM).

180
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

Layanan ART dan


PEP
8

• Saat ini, layanan ART sudah disediakan oleh puskesmas yang ditunjuk dan terlatih tetapi
masih terbatas perannya, hanya sebagai satelit melanjutkan ART yang sudah diinisiasi oleh
rumah sakit. Pengadaan dan distribusi juga masih menjadi domain Kemenkes yang belum bisa
didesentralisasikan. Pembagian tugas dan kewenangan antara Kemenkes, rumah sakit, dan
puskesmas sudah jelas. Oleh karena itu, status tingkat integrasi layanan ART dengan unsur
sub-sistem upaya kesehatan di puskesmas masih berada pada level 4 (Jika layanan dilakukan
puskesmas bersama dengan pihak lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas).
• Usulan integrasi unsur sub-sistem layanan ART dengan unsur sub-sistem upaya kesehatan
di puskesmas yang ditawarkan adalah level 5 ( jika layanan sudah menjadi layanan rutin
puskesmas dengan bantuan SDM dan pendanaan dari pihak lain diluar mekanisme pendanaan
reguler puskesmas), di mana puskesmas bisa melakukan inisiasi pemberian ART dan menjadi
06
fasilitas kesehatan yang melakukan manajemen ART secara penuh, kecuali pengadaannya
masih terpusat oleh Kemenkes. Usulan ini sejalan dengan hasil Delphi praktisi dan pakar.
• Untuk mencapai level 5, model integrasi tersebut membutuhkan beberapa hal seperti:
• Perlu peraturan, juklak, dan juknis yang mengatur tugas dan tanggung jawab puskesmas
sebagai fasilitas kesehatan penyedia layanan ART.
• Perlu pelatihan teknis manajemen dan teknis layanan ART bagi puskesmas yang ditunjuk.
• Perlu adanya SOP untuk perencanaan, manajemen dan teknis pemberian ART.

181
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

Layanan promosi
kesehatan HIV
dan IMS untuk 9
masyarakat umum

• Layanan promosi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat umum tentang cara
pencegahan dan penularan HIV secara komprehensif telah menjadi UKM esensial yang harus
direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi oleh puskesmas, menurut Permenkes tentang
Puskesmas.
• Saat ini, promosi kesehatan HIV dan IMS untuk masyarakat umum di puskesmas masih berada
pada level 3 (Jika layanan dilakukan pihak lain di dalam koordinasi penuh puskesmas di mana
puskesmas menyediakan sebagian sarana/prasarana). Kampanye publik kepada masyarakat
umum masih tersentralisasi di Kemenkes dengan tema yang terbatas untuk mendorong
masyarakat mengetahui status HIVnya. Belum semua puskesmas memasukkan layanan
informasi HIV dan IMS kepada masyarakat umum dalam tatalaksana promosi kesehatan yang
dimilikinya. Usulan model integrasi dari hasil Delphi praktisi dan pakar adalah terintegrasi
penuh (level 6) mengingat layanan ini sudah dicantumkan sebagai layanan UKM esensial
dalam Permenkes tentang Puskesmas.
• Agar dukungan yang diperoleh dikelola penuh oleh puskesmas baik dari segi SDM, sarana,
maupun pembiayaan untuk layanan informasi kepada masyarakat umum tersedia, maka perlu
adanya regulasi dan manajemen berupa juklak dan juknis yang mengatur tugas, tanggung
jawab, dan teknis pelaksanaan layanan ini oleh puskesmas yang terintegrasi dengan kegiatan
promosi kesehatan lainnya.

182
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

Layanan promosi
kesehatan HIV dan
IMS untuk populasi 10
kunci

• Layanan promosi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku untuk
menurunkan risiko penularan HIV pada populasi kunci merupakan UKM esensial yang harus
direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi oleh puskesmas menurut Permenkes tentang
Puskesmas, karena secara definisi populasi kunci di wilayah puskesmas adalah juga anggota
masyarakat yang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan masyarakat yang sesuai dengan
kebutuhannya.
• Saat ini, promosi kesehatan HIV dan IMS untuk populasi kunci melalui penjangkauan dan
sosialisasi masih berada pada level 1 ( jika layanan dilakukan pihak lain, di luar koordinasi
puskesmas dan puskesmas hanya menerima informasi yang tidak rutin) sampai level 2 ( jika
layanan dilakukan pihak lain yang berkoordinasi dengan puskesmas yang secara regulasi
dan manajemen puskesmas juga diminta terlibat aktif dalamnya). Selama ini informasi telah
06
diberikan oleh tenaga pelaksana OMS dan LSM yang menerima dana dari mitra internasional/
donor, tapi komunikasi yang dilakukan donor, OMS dan LSM dengan puskesmas sebagai
layanan mainstream tentang kelompok atau individu yang dilayani masih minimal sampai
dengan secara periodik.
• Hanya sedikit daerah dengan finansial APBD yang lebih kuat dikategorikan telah mencapai
level 3, yaitu ketika tenaga kontrak petugas lapangan mulai dikoordinasikan oleh puskesmas.
Petugas lapangan direkrut Dinkes dan ditempatkan di puskesmas, namun belum menjadi
bagian dalam struktur organisasi puskesmas, sehingga mekanisme kerja di antara staf dan
petugas lapangan belum terbangun secara formal. Hal ini disebabkan karena dari belum
tersedianya pedoman yang mengatur tatalaksana layanan promosi kesehatan HIV dan IMS di
puskesmas secara komprehensif.
• Untuk ke depannya, model yang diusulkan tidak terlalu muluk, yaitu hanya pada level 3 (Jika
layanan dilakukan pihak lain di dalam koordinasi penuh puskesmas, pihak penyedia sebagian
sarana/prasarana) sampai level 4 ( jika layanan dilakukan puskesmas bersama dengan pihak
lain, dengan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas), mengingat sumber dana, beban
kerja serta ketersediaan SDM yang sangat terbatas dari pemerintah dalam menempatkan
petugas lapangan di tiap puskesmas. Model pada level 3 sampai 4 ini menginginkan terjadinya
kolaborasi, pembagian tugas, dan kewenangan yang jelas antara komponen petugas
kesehatan puskemas dan non kesehatan/petugas lapangan yang mungkin bersumber dari
institusi yang berbeda dengan puskesmas. Untuk itu diperlukan regulasi dan manajemen
layanan promosi kesehatan HIV dan IMS berupa juklak dan juknis yang mengatur tugas,
tanggung jawab, dan teknis pelaksanaan layanan pemberian informasi oleh puskesmas yang
terintegrasi dengan kegiatan promosi kesehatan lainnya.
• Usulan level model ini sejalan dengan hasil konsensus Delphi yang menyepakati kemungkinan
puskesmas untuk mengoordinasikan petugas lapangan yang bekerja di wilayahnya, meskipun
petugas tersebut masih dibiayai donor atau swasta, sehingga bisa memiliki informasi penuh
atas kegiatan penjangkauan yang terjadi di wilayah kerjanya.

183
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

Tabel 11. Integrasi Unsur Sub-Sistem Upaya Kesehatan


Layanan PMTS dengan Sub-Sistem Upaya Kesehatan
Puskesmas Saat Ini dan Model yang Diusulkan

Pembiayaan

Manajemen

Informasi
Layanan

Regulasi
Sarana
SDM

Penyediaan kondom dan Saat ini Level 1       


lubrikan
Model Level 4       
Distribusi kondom dan Saat ini Level 2       
lubrikan
Model Level 3       
Diagnosis dan pengobatan Saat ini Level 5       
IMS dan PKPP
Model Level 6       
Penapisan dan pengobatan
IMS pada pekerja seks dalam
Saat ini Level 4       
PKMP
Model Level 6       
Sirkumsisi laki-laki dewasa Saat ini Level 6       
dalam PKPP
Model Level 6       
KTS HIV dalam gedung Saat ini Level 5       
puskesmas
Model Level 6       
Mobile KTS HIV Saat ini Level 4       
Model Level 5       
Layanan ART dan PEP Saat ini Level 4       
Model Level 5       
Promosi kesehatan pada Saat ini Level 3       
masyarakat umum
Model Level 5       
Promosi kesehatan pada Saat ini Level 2       
populasi kunci
Model Level 3       
Keterangan:  tidak terintegrasi |  terintegrasi sebagian |  terintegrasi

184
Pan de P u tu J an u rag a, A an g Su tri sn a & V i di a D arm aw i

G.
puskesmas adalah diagnosis dan
pengobatan IMS dalam Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP),
Simpulan penapisan dan pengobatan IMS pada
pekerja seks sebagai UKM, sirkumsisi
Dari keseluruhan rangkaian kegiatan desk lelaki dewasa dalam UKP serta
review dan juga survei Delphi serta diskusi terakhir, layanan promosi kesehatan
pasca Delphi dapat disimpulkan beberapa pada masyarakat umum.
hal berikut: e. Sirkumsisi lelaki dewasa dalam UKM
belum diusulkan sebagai kegiatan
1. Terdapat 11 kegiatan pelayanan yang
yang dilakukan puskesmas.
dapat diselenggarakan oleh puskesmas
dan jejaringnya terkait PMTS. Kesebelas 2. Model kebijakan operasional yang
kegiatan pelayanan tersebut diusulkan dibutuhkan untuk terselenggaranya
untuk memiliki variasi tingkat integrasi layanan di atas adalah:
ke layanan mainstream pada level 3
a. Peraturan yang jelas dari tingkat
terintegrasi sebagian dengan kolaborasi
dinkes kabupaten/kota terkait
yang mendasar di tempat pelayanan,
pengadaan dan distribusi kondom
hingga level tertinggi 6 atau terintegrasi
untuk populasi berisiko tinggi.
penuh.
b. Revisi daftar obat esensial nasional
a. Layanan yang terintegrasi sebagian di puskesmas sehingga obat esensial
(level 3) dilakukan pihak lain di dalam pengobatan IMS yang paling efisien
koordinasi penuh puskesmas sebagai dapat disediakan oleh puskesmas.
penyedia sebagian sarana/prasarana
c. Penekanan melalui instrumen 06
adalah distribusi kondom dan layanan
supervisi dan pembinaan dari dinkes
promosi kesehatan pada kelompok
kabupaten/kota agar pembiayaan
risiko tinggi.
layanan penapisan dan pengobatan
b. Layanan yang terintegrasi sebagian IMS serta KTS HIV menjadi salah satu
(level 4) dilakukan puskesmas prioritas pendanaan di puskesmas.
bersama dengan pihak lain, dengan
d. Perlu peraturan, petunjuk
pembagian tugas dan kewenangan
pelaksanaan, dan petunjuk teknis
yang jelas adalah penyediaan
yang mengatur tugas dan tanggung
kondom.
jawab puskesmas sebagai fasilitas
c. Layanan yang terintegrasi (level kesehatan penyedia layanan ART
5) ketika layanan sudah menjadi serta promosi kesehatan pada
layanan rutin puskesmas dengan kelompok berisiko tinggi.
bantuan SDM dan pendanaan
dari pihak lain di luar mekanisme
pendanaan reguler puskesmas
adalah mobile KTS dan layanan ART.
d. Sementara layanan yang terintegrasi
(level 6) penuh ketika layanan sudah
menjadi rutin puskesmas dengan
perencanaan, pendanaan, dan
layanan yang terintegrasi penuh
dengan mekanisme yang ada di

185
M o d e l Pe nce gahan M e l al u i Tran smisi Seksu al d i T in gka t Pela y an an P ri m e r P u ske sm as

D af ta r P u st ak a
Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., & Adeyi, O. (2010).
“A systematic review of the evidence on integration
of targeted health interventions into health systems”.
Health policy and planning, 25(1), 1-14.
Blount, A. (2003). “Integrated primary care: Organizing the
evidence”. Families, Systems, & Health, 21(2), 121.
Creswell, J. W. (2008). Research design: Qualitative,
quantitative, and mixed methods approaches: Sage
Publications, Incorporated.
Doherty, W., McDaniel, S., & Baird, M. (1996). Five Levels of
Primary Care/Behavioral Healthcare Collaboration.
Johnson, R. B., & Onwuegbuzie, A. J. (2004). “Mixed
methods research: A research paradigm whose time
has come”. Educational researcher, 33(7), 14-26.
MOH of Indonesia. (2008). Mathematic Model of HIV
Epidemic in Indonesia 2008-2014. Jakarta: Ministry of
Health Of Indonesia.
MOH of Indonesia. (2013). Estimation and Projection of HIV/
AIDS in Indonesia 2011-2016 (Estimasi dan Proyeksi
HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016). Retrieved
from Jakarta:
NAC of Indonesia. (2012). Indonesia country report on the
follow up to the declaration of commitment on HIV-
AIDS (UNGASS) (N. o. Indonesia Ed.). Jakarta: NAC of
Indonesia.
PKMK FK UGM. (2015). Kebijakan HIV-AIDS dan Sistem
Kesehatan di Indonesia. Retrieved from Yogyakarta:
Riono, P., & Jazant, S. (2004). “The Current Situation of
the HIV/AIDS Epidemic in Indonesia”. AIDS Education
and Prevention, 16(Supplement A), 78-78-90.
doi:abs101521aeap16357835531
Suharni, M., Hersumpana, K, C. L., Perwira, I., Safika, I.,
Praptoraharjo, I., . . . Dewi, E. H. (2015). Integrasi
Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Ke Dalam
Sistem Kesehatan. Retrieved from Yogyakarta:
Yu, D., Souteyrand, Y., Banda, M. A., Kaufman, J., &
Perriëns, J. H. (2008). “Investment in HIV/AIDS
programs: Does it help strengthen health systems
in developing countries?”. Globalization and Health,
4(1), 8.

186
06

187
07
Peran Organisasi
Masyarakat Sipil (OMS)
dalam Penanggulangan
HIV & AIDS

Swasti Semp ulur

188
Sw asti Se m p u lu r

A.
Pendahuluan

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) diartikan sebagai asosiasi yang


terdiri dari banyak orang yang secara sukarela mengorganisasi diri dan
merepresentasikan kepentingan dan perikatan yang luas, termasuk di
dalamnya organisasi berbasis komunitas, organisasi masyarakat adat, dan
organisasi non-pemerintahan (Correll, 2008). Definisi lain menyebutkan bahwa
OMS adalah beragam organisasi non-pemerintah yang tidak bertujuan untuk
mencari keuntungan, yang kehadirannya mengekspresikan kepentingan
dan nilai-nilai dari anggotanya atau orang lain, berdasarkan pertimbangan
etis, budaya, politik, ilmu pengetahuan, agama, atau filantropi (Kelley, 2010).
OMS dimaknai pula sebagai asosiasi dari sekumpulan orang yang berjuang
untuk perubahan sosial dan ekonomi. Asosiasi ini meliputi kelompok berbasis
agama, profesional, LSM dan pendidikan.

Dari beragam definisi tersebut, OMS dapat pelayanan kesehatan dan advokasi untuk 07
diartikan sebagai organisasi non-pemerintah, memperjuangkan hak kesehatan dasar dan
yang bekerja sukarela memperjuangkan akses terhadap sumber daya kesehatan
kepentingan masyarakat. OMS adalah (WHO, 2001).
bagian dari sektor komunitas, yakni
Dalam konteks penanggulangan
mencakup berbagai individu, kelompok dan
HIV dan AIDS, secara universal, respons
lembaga. Sektor ini bukan merupakan satu
pertama dari epidemi AIDS berasal dari
kesatuan melainkan kumpulan dari berbagai
individu, keluarga, dan komunitas yang
kepentingan, pendapat, kapasitas, sumber
terdampak. Mereka mengorganisir diri
daya dan prioritas yang terlibat dalam
sendiri untuk mendapatkan informasi dan
berbagai kegiatan mulai dari penyediaan
mencari pengobatan yang dibutuhkan.
layanan hingga advokasi. Sektor komunitas
Gerakan yang lebih luas muncul dari
dalam hal ini meliputi; OMS, organisasi
masyarakat yang memiliki kepedulian
berbasis agama, jaringan populasi kunci,
terhadap HIV dan AIDS melalui pemberian
organisasi non-pemerintah, dan jaringan
informasi untuk mengurangi stigma dan
LSM (Alliance, 2007). Kemunculan OMS
diskriminasi. OMS menjadi frontline dalam
dilatarbelakangi oleh ketimpangan
program pencegahan, perawatan dan
negara dengan masyarakat yang dipicu
dukungan pada populasi yang paling rawan
oleh berbagai hal, seperti ketidakpuasan
dan sulit dijangkau (WHO, 2006). Dalam
masyarakat terhadap pelayanan publik.
perkembangannya OMS menjadi aktor
Di kebanyakan negara miskin, masyarakat
utama dalam penanggulangan HIV dan
tidak mendapatkan pelayanan yang
AIDS, memberikan layanan yang cukup
efektif, sehingga mendorong banyak OMS
besar untuk populasi, seperti distribusi
membuat aksi baru, termasuk penyediaan

189
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

kondom atau penyediaan perawatan, baik terkait dengan kebijakan dan penelitian
secara langsung atau melalui organisasi (Mendizabal et al., 2006).
yang lebih kecil (Bonnel et al., 2013).
Seperti yang telah disebutkan di atas
Secara global OMS berperan penting bahwa akses terhadap sumber pendanaan
dan memberi kontribusi besar terhadap menjadi salah satu kendala utama bagi OMS,
pembangunan, pendidikan, kesejahteraan khususnya bagi yang tidak memiliki ruang
lingkungan, dan kesehatan. Sehingga OMS lingkup layanan yang luas. Sebaliknya,
selalu berada di garis depan memberikan OMS dengan lingkup layanan yang luas
alternatif dan sekaligus memengaruhi memiliki kemudahan akses terhadap sumber
kebijakan negara untuk mengambil tindakan pendanaan, karena memiliki posisi tawar
cepat terhadap kepentingan publik (WHO, yang lebih baik (Hossain, 2009). Sumber
2006). Dari berbagai kajian di beberapa pendanaan bagi OMS diperoleh melalui
negara menunjukkan bahwa OMS mampu berbagai saluran seperti yayasan, donor
memengaruhi kebijakan pemerintah melalui international, dan pemerintah. Beberapa
peran advokasinya. Semisal di Ukraina, OMS kajian di luar negeri menunjukkan bahwa
berhasil mendorong pemerintah dalam hal ketergantungan OMS terhadap sumber
pengadaan ARV dengan harga yang murah. pendanaan international cukup tinggi. Global
Di Kyrgyzstan, layanan HIV menjadi bagian fund merupakan sumber pendanaan yang
dari layanan kesehatan primer. Begitu pula paling besar bagi OMS (21%) dibandingkan
di Malawi, OMS memengaruhi pemerintah sumber pendanaan yang lain seperti dari
untuk memperbesar alokasi pendanaan dana pemerintah (15%), sektor swasta (16%),
sektor kesehatan, sehingga penyediaan serta sumber resmi lainnya (16%) (Bonnel
layanan kesehatan adalah peran lain yang et al., 2013). Dalam menjalankan perannya
melekat pada OMS seperti pemberian OMS meyakini bahwa sumber pendanaan
rujukan, pengobatan, dan perawatan bagi berasal dari hibah dan subsidi negara, telah
ODHA (Spicer et al.,2011). Karena itulah, memainkan peranan penting bagi OMS
keberlangsungan OMS diperlukan untuk (Reimann, 2006). Kemitraan OMS dengan
menunjang peran yang dilakukannya. donor mampu meningkatkan cakupan
layanan serta penyediaan layanan yang
Permasalahan yang sering dihadapi OMS
lebih luas (Dalberg, 2013). Namun di sisi
adalah sumber daya yang tidak memadai
yang lain, kemitraan ini menjadikan OMS
karena umumnya mereka menggunakan
kurang responsif terhadap populasi yang
relawan sebagai SDM untuk menjalankan
mereka layani dan dalam kenyataannya
kegiatannya, serta keterbatasan untuk
lebih akuntabel kepada donor internasional
mengakses sumber pendanaan (Birdsall
yang membiayai mereka dibanding
et al., 2007; Mendizabal et al., 2006). Oleh
dengan masyarakat yang dilayani dan
karenanya peningkatan kapasitas SDM
diperjuangkannya (WHO, 2001).
OMS diperlukan untuk menguatkan SDM
guna mencapai perubahan yang lebih positif Secara garis besar faktor–faktor yang
(Eade, 1997). Berbagai bentuk peningkatan memengaruhi keberlangsungan OMS adalah:
kapasitas yang banyak dilakukan OMS, (1) kapasitas lembaga, terkait dengan sumber
yakni melalui kegiatan pelatihan, workshop, daya manusia dan peningkatan kapasitas;
dan magang (Hartwig, 2008). Pelatihan (2) finansial, yang terkait adanya sumber
terkait dengan peningkatan kapasitas dana utama donor dan diversifikasi non-
individu dan kelembagaan merupakan donor; (3) penyediaan layanan, sejauh mana
kebutuhan yang paling banyak diperlukan OMS bisa selalu cepat tanggap dengan
oleh OMS daripada pelatihan yang kebutuhan dan kepentingan publik, sekaligus

190
Sw asti Se m p u lu r

mampu menjaga ketahanan sumber daya penanggulangan HIV dan AIDS dari waktu
mereka; dan (4) kemitraan, sejauh mana ke waktu. Data pendukung lain untuk melihat
OMS mampu bekerjasama dengan berbagai faktor eksternal yang memengaruhi tata
pihak dan memiliki akses yang luas (Claire kelola OMS merupakan data sekunder yang
Ehmann, 2008 dalam Bappenas 2010). bersumber dari desk review Kebijakan HIV
dan AIDS dan Sistem Kesehatan di Indonesia
Di Indonesia, pengakuan terhadap
serta hasil penelitian Integrasi Program
pentingnya peran OMS sudah dimulai sejak
Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
dilakukan upaya penanggulangan HIV dan
Sistem Kesehatan.
AIDS. Mereka berperan untuk mendukung
pemerintah, menjadi penggerak utama dan
berperan aktif dalam perumusan kebijakan,
perencanaan, implementasi serta monitoring
dan evaluasi (KPAN, 2010; 2015). B.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Peran Organisasi Masyarakat
dua pertanyaan penting yang ingin Sipil dalam Penanggulangan
dijawab dalam tulisan ini, adalah (1)
Bagaimana kapasitas OMS di Indonesia
HIV & AIDS
untuk memainkan dan melanjutkan peran
strategisnya dalam penanggulangan HIV Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) memiliki
dan AIDS? (2) Apa saja hambatan dan peran-peran yang strategis, peran tak
dukungan bagi OMS di Indonesia untuk tergantikan atau dilakukan oleh pemerintah.
menjawab tantangan keberlangsungan Hal ini tampak dari respons OMS dalam
peran dalam penanggulangan HIV dan menyikapi situasi epidemi HIV dan AIDS
di wilayahnya, melalui berbagai kegiatan 07
AIDS?
dalam bentuk pendidikan komunitas,
Tulisan ini merupakan kajian lanjutan penyediaan layanan, serta advokasi. OMS
atas hasil penelitian integrasi program menjadi ujung tombak dalam merespons
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam penanggulanan HIV dan AIDS, khususnya
sistem kesehatan dan hasil kajian tentang untuk menjangkau populasi kunci dan
peran OMS dalam penanggulangan HIV kelompok yang sulit dijangkau oleh
dan AIDS. Ruang lingkup yang dikaji dalam pemerintah. Peran ini hanya bisa dilakukan
tulisan ini, adalah (1) karakteristik OMS yang oleh OMS karena mereka sangat memahami
meliputi, struktur kelembagaan, otonomi, karakteristik konstituennya dan muncul
dan daya tanggap OMS; (2) tata kelola OMS dari kebutuhan konstituen. Hal ini semakin
yang terdiri dari manajemen sumber daya, memperkuat anggapan bahwa OMS
pengaturan SDM dan pengaturan keuangan; berperan dalam menjembatani kebutuhan
(3) pengaruh faktor eksternal terhadap tata yang masih belum dapat dipenuhi oleh
kelola OMS yang meliputi pemerintah, MPI, negara. Oleh karenanya, OMS memberi
jaringan serta konstituen; dan (4) bentuk dampak positif dalam hasil pembangunan
layanan OMS. (WHO, 2001). Secara ideal OMS dimaknai
Data yang digunakan terkait dengan sebagai organisasi yang muncul dari ranah
OMS dalam tulisan ini menggunakan data sipil, yang memperjuangkan hak-hak
primer dari 48 OMS di 12 provinsi. Analisis masyarakat sipil sebagai konstituennya
data dilakukan dengan menggunakan dan sebagai agen alternatif pembangunan
pendekatan historis agar mampu menyajikan (Fakih, 2000), sehingga dalam gerakannya
perkembangan bentuk layanan OMS dalam OMS seharusnya bersifat otonom, tidak
dipengaruhi oleh kepentingan tertentu.

191
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

OMS merupakan organisasi yang memiliki penguatan kapasitas bagi OMS, sehingga
daya tanggap tinggi, karena dekat mampu mendorong keberlangsungan
dengan konstituennya sehingga secara organisasi.
cepat mampu memperjuangkan aspirasi
Penelitian ini bermaksud untuk
konstituennya (Hossain et al, 2000). Dalam
mengetahui sejauhmana kapasitas OMS
konteks penanggulangan HIV dan AIDS,
dalam penanggulangan HIV dan AIDS
OMS memainkan peranan penting dalam
dan kemungkinan keberlangsungannya
aspek pencegahan, pengobatan, perawatan,
dalam peran tersebut. Kerangka
dan dukungan dan telah bekerja untuk
konseptual yang dipergunakan menjawab
menciptakan lingkungan sosial, politik,
pertanyaan tersebut diadaptasi dari
hukum, dan keuangan yang diperlukan untuk
kerangka yang dikembangkan oleh
secara efektif menanggapi epidemi (UNAIDS,
USAID, yakni Institutional Development
2011). Hal ini yang mendasari perlunya

Gambar 19. Kerangka Konseptual Peran OMS dalam


Penanggulangan HIV & AIDS

Pemerintah

Jaringan
OMS

Mode of
Tata Kelola Kinerja Sustainability
Delivery

Konstituen/
Beneficiaries

MPI
Sumber: diadaptasi dari kerangka konsep Institutional
Development Framework (IDF) dan Organizational Capacity
Assessment Tool (OCAT)

192
Sw asti Se m p u lu r

Framework (IDF), dan PACT, Inc., yaitu Kerangka konseptual di atas


Organizational Capacity Assessment Tool mengasumsikan bahwa keberlangsungan
(OCAT). Kerangka konseptual IDF meliputi peran OMS dipengaruhi oleh faktor eksternal
empat komponen yakni (1) pengelolaan/ berupa relasi OMS dengan pemerintah,
visi yang meliputi kepengurusan, misi, MPI, jaringan OMS, serta konstituennya.
aspek kemandirian, (2) manajemen sumber Keempat faktor tersebut memengaruhi
daya; gaya kepemimpinan, manajemen tata kelola dan bentuk layanan sehingga
partisipasi, perencanaan, pelibatan akan menghasilkan kinerja yang lebih baik
komunitas, monitoring dan evaluasi (3) sehingga mendukung keberlangsungan
SDM: keterampilan staf, pengembangan OMS.
staf, keberagaman, dan (4) sumber
daya keuangan, manajemen keuangan,

C.
kerentanan dalam aspek keuangan dan
kecukupan keuangan (VanSant, J. 2000).
Sementara komponen dalam OCAT,
meliputi (1) tata kelola berupa kepengurusan,
Gambaran Organisasi
misi/tujuan, keterlibatan konstituen, Masyarakat Sipil di Indonesia
kepemimpinan, dan status pendirian,
(2) praktik manajemen meliputi struktur, Deskripsi OMS di Indonesia tidak dapat
manajemen informasi, prosedur administrasi, dilepaskan dari sejarah gerakan OMS yang
kepegawaian, perencanaan, pengembangan dipengaruhi oleh konteks politik. Gerakan
program, dan pelaporan, (3) SDM meliputi OMS di Indonesia diawali dari gerakan
kejelasan tugas dan tanggung jawab staf, filantropis yang sudah berkembang jauh
isu keberagaman, hubungan pelaporan, sebelum abad ke-20. Gerakan filantropis 07
dan sistem penggajian, (4) sumber daya dimaknai sebagai perpindahan sumber daya
keuangan meliputi sistem akuntansi, secara sukarela untuk tujuan sedekah, sosial,
penganggaran, sistem inventaris, dan dan kemasyarakatan (Bappenas, 2010). Bab
pelaporan keuangan (5) layanan meliputi ini mendeskripsikan bagaimana karakteristik
keahlian sektoral, pelibatan konstituen dan tata kelola OMS yang bergerak
dan penilaian dampak, (6) hubungan khususnya di bidang HIV dan AIDS yang ada
eksternal meliputi hubungan dengan mitra di Indonesia, berdasarkan hasil temuan dari
dan penerima manfaat, kerjasama antar analisa data yang telah dikumpulkan. Di sini
LSM, public relations dan media, serta juga digambarkan bagaimana pergeseran
(7) keberlangsungan meliputi program, atau perubahan yang terjadi dari beberapa
kelembagaan, pendanaan, dan sumber daya era yang memengaruhi perubahan bentuk
(Booth, W., & Morin, R. 1996). karakteristik maupun tata kelola OMS
sebagai bentuk respons dari perubahan
Secara umum kerangka kapasitas yang terjadi.
OMS mengacu pada kerangka yang
dikembangkan oleh Institutional Di era tahun 1970, fokus pendanaan
Development Framework (IDF), namun bagi kegiatan filantropis pada akhirnya
untuk mengidentifikasi peran kemitraan mengalami pergeseran dari pendanaan
dipergunakan kerangka dari Organizational yang bersifat lokal, swadaya dan gotong
Capacity Assessment Tool (OCAT). Kerangka royong berubah pada pola pendanaan
konseptual yang dipergunakan dalam yang bersumber dari donor. Hal ini terjadi
penelitian ini sebagai hasil adaptasi dari dua seiring dengan masuknya donor asing ke
kerangka tersebut adalah sebagai berikut: Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai

193
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

kawasan intervensi program mereka. Pada berikut: (1) memiliki struktur organisasi yang
era ini, OMS mulai banyak bermunculan di sederhana tidak birokratis; (2) bersifat
Indonesia, yang dimaknai sebagai era baru independen, berorientasi pada kepentingan
dalam gerakan filantropi. Pertumbuhan OMS masyarakat serta konstituennya; dan (3)
sangat cepat dan mengesankan ditinjau bersifat responsif, yakni memiliki daya
dari sisi jumlah, keragaman, dan letak tanggap terhadap kepentingan konstituen.
geografisnya (Fakih, 2000). Pertumbuhan Karakteristik OMS ini membedakannya dari
OMS ini akibat pola modernisasi dan karakteristik organisasi pemerintah yang
perkembangan pembangunan yang bersifat rigid, birokratis, dan tidak memiliki
memunculkan banyak persoalan baru seperti daya tanggap yang cepat (Hossain et al.,
persoalan lingkungan, hak asasi manusia, 2000; Pasha, 2003).
sosial, kesetaraan gender serta kesehatan, di
Oleh karenanya gambaran mengenai
mana persoalan tersebut tidak bisa ditangani
karakteritik OMS di Indonesia dijelaskan
oleh gerakan yang berbasis “kerelawanan”
dalam tiga aspek sebagaimana berikut:
semata yang cenderung pada pendekatan
karitatif, yang identik dengan kegiatan a. Struktur organisasi OMS
berbagi, memberi, dan menyumbang
Tinjauan terhadap struktur organisasi
(Bappenas, 2010). Kondisi ini memunculkan
OMS dapat dijelaskan melalui beberapa
peluang berdirinya OMS yang merespons
aspek yaitu: (1) jenis organisasi; (2)
situasi tersebut dengan pola pendekatan
bentuk organisasi; dan (3) keanggotaan
partisipasi, pemberdayaan masyarakat
organisasi. Dilihat dari jenis organisasi,
serta advokasi. Namun kemunculan OMS
terdapat berbagai bentuk OMS antara
ini tidak banyak mendapatkan dukungan
lain berbentuk yayasan, organisasi sosial,
dan bantuan dari masyarakat, sehingga
perkumpulan, serta jaringan. Organisasi
OMS menggalang pendanaan melalui
berbentuk yayasan dan organisasi sosial
donor-donor internasional, di mana pada
merupakan bentuk organisasi yang
perkembangan selanjutnya pendanaan
paling banyak ditemui, yakni 87% dari
bersumber dari donor ini menjadi sumber
48 OMS, sementara lainnya berbentuk
utama dukungan bagi program yang
perkumpulan dan jaringan. Organisasi
dijalankan oleh OMS. Pertumbuhan OMS
berbentuk yayasan memiliki struktur
semakin banyak dengan terbukanya peluang
organisasi yang relatif lengkap, yakni
pendanaan yang besar, sampai dengan
terdiri dari badan pengawas, pengurus,
tahun 2010, diperkirakan ada 2.293 OMS
staf program dan staf keuangan.
yang aktif dari 11.456 LSM yang terdaftar
Kelengkapan struktur ini tidak ditemui
sebagai LSM yang aktif dan terdaftar di
pada organisasi OMS yang berbentuk
pemerintah Indonesia (Alawiyah, Tuti, 2012).
perkumpulan serta jaringan yang pada
Kegiatan dan pola pendekatan serta tata
umumnya hanya memiliki struktur
kelola OMS secara umum merupakan bagian
organisasi terbatas seperti staf pelaksana
dari semangat kedermawanan (filantropi)
atau staf program saja.
yang sudah muncul sejak lama, dengan
kegiatan yang bersifat sederhana. Organisasi yang berbentuk
perkumpulan ataupun jaringan,
organisasinya bersifat cair dalam artian
1. Karakteristik keanggotaannya mudah berpindah
pada lembaga atau diperbantukan pada
Karakteristis OMS dimaknai sebagai ciri khas
lembaga lain yang tengah menjalankan
dan kualitas OMS, di mana secara ideal
program. Perpindahan ini pada umumnya
digambarkan memiliki karakteristik, sebagai

194
Sw asti Se m p u lu r

disebabkan oleh berakhirnya pendanaan Paramacita yang didirikan oleh ODHA,


proyek yang tengah dikerjakan. Pola kemudian di Makassar ada Gaya Celebes
seperti ini terlihat di Sulawesi Utara, dan Medan Plus yang juga didirikan oleh
Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara komunitas. Sedikit berbeda, terdapat pula
Barat. Sementara organisasi yang OMS yang beranggotakan masyarakat
berbentuk jaringan di daerah merupakan di luar populasi kunci, namun memiliki
perpanjangan dari organisasi di tingkat perhatian khusus terhadap permasalahan
nasional. Kelompok organisasi ini yang terjadi di masyarakat. Misalnya
bila dilihat dari kelengkapan struktur Yayasan Mitra Masyarakat (YMM) di
organisasi, biasanya bersifat sederhana Sulawesi Utara yang didirikan oleh
yang terdiri dari staf program saja, akademisi dan klinis berfokus pada
seperti yang terlihat pada Jaringan Gaya kegiatan untuk kesehatan perempuan.
Warna Lentera (GWL-Ina), Organisasi Contoh lainnya di Surabaya terdapat
Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) serta Hotline (Jawa Timur) dan MHaRC
Persaudaraan Korban Napza Indonesia (Sulawesi Selatan) yang didirikan oleh
(PKNI). kelompok akademisi dengan fokus
kegiatan pada pendidikan di sekolah.
Ruang lingkup dan area kerja
OMS memengaruhi bentuk struktur Dari gambaran di atas dapat
organisasinya, dalam artian OMS yang disimpulkan bahwa struktur organisasi
bergerak di level nasional memiliki OMS lebih kompleks, terutama dijumpai
struktur organisasi yang lebih lengkap pada organisasi yang merupakan bagian
dan luas. Biasanya struktur ini mencakup dari jaringan organisasi nasional, di mana
struktur organisasi di level daerah, struktur organisasinya sudah ditentukan
sebagai contoh adalah Perkumpulan oleh induk organisasinya. Begitu pula 07
Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan dengan keanggotaan organisasi ada
Nahdatul Ulama (NU) serta organisasi kecenderungan bersifat eksklusif pada
yang berbentuk jaringan, di mana struktur populasi tertentu dan memiliki koordinasi
organisasinya mengacu pada struktur yang berjenjang.
organisasi di level nasional. Sebaliknya
OMS yang didirikan di daerah, struktur
organisasinya terpusat di daerah, semisal b. Kemandirian OMS
Vesta di Yogyakarta, Hotline di Jawa
Penjelasan mengenai kemandirian
Timur, dan Yakeba di Bali.
OMS dalam penelitian ini ditinjau dari
Ditinjau dari keanggotaannya aspek pendanaan serta ruang kegiatan
terdapat kecenderungan pendiri organisasi. Peluang pendanaan bagi
OMS berkaitan dengan keanggotaan OMS khususnya yang bersumber dari
atau konstituennya. Organisasi yang donor asing mulai terbuka di era tahun
beranggotakan populasi kunci pada 1970 yang dimaknai dengan era baru
umumnya didirikan oleh bagian dari pertumbuhan OMS. Begitu halnya
komunitas populasi kunci itu sendiri, dengan pendanaan bagi program
semisal organisasi yang didirikan oleh penanggulangan HIV dan AIDS oleh OMS
komunitas waria di Yogyakarta (Kebaya) menunjukkan bahwa mayoritas sumber
atau Jawa Timur (Perwakos). Mayoritas pendanaan berasal dari donor asing
keanggotaan komunitas ini adalah waria (MPI), baik melalui kerjasama pemerintah
yang berdomisili di daerah tersebut. Indonesia secara bilateral (USAID, HIVOS,
Contoh lainnya dapat dilihat di Bali, Spirit OXFAM, dan DFAT) maupun multilateral

195
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

Tabel 12. Sumber Pendanaan


OMS untuk Penanggulangan
HIV & AIDS

No Provinsi Sumber Pendanaan

1 Jawa Timur Global Fund, SUM

2 Sulawesi Utara Global Fund, KPAN (IPF)

3 Yogyakarta Global Fund, APBD melalui KPA, Rutgers, Sinode,


APBN melalui dinas kesehatan
4 Bali Global Fund, HCPI, AIDS Alliance, KPAN, BNN,
Kemensos
5 Sumatera Utara Global Fund, SUM2, AusAid melalui spritia,
APBD, BNN, Kemensos, CSR, Caritas Jerman dan
Keuskupan, HCPI melalui KPA, HCPI, KPAN
6 Sulawesi Selatan Global Fund, KPAN, APBD, CSR, Biro NAPZA,
Diknas, IPF, HCPI
7 Kalimantan Tengah Global Fund, KPAN (IPF)

8 Nusa Tenggara Barat Global Fund, KPAN (IPF), KPA, Dinas Sosial

9 Jawa Barat Global Fund, KPAN (IPF), CSR, Dinas Sosial, APBD

10 Bangka Belitung Global Fund

11 Papua Global Fund, HCPI, APBD melalui KPA, CHAI,


SUM, CSR
12 Papua Barat Global Fund, HCPI, KPAN (IPF), CHAI, UNICEF,
UNDP, SUM

Sumber: Diolah dari data primer

196
Sw asti Se m p u lu r

(GF-ATM, World Bank, Asian Development Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2012,
Bank (ADB) dan Indonesia Partnership bahwa dana CSR merupakan komitmen
Funds (IPF). Di masing-masing daerah perseroan untuk berperan serta dalam
OMS memiliki beragam jenis dan jumlah pembangunan ekonomi berkelanjutan
MPI yang mendanai OMS, di mana guna meningkatkan kualitas kehidupan
pendanaan melalui Global Fund hampir dan lingkungan yang bermanfaat,
terdapat di seluruh wilayah penelitian ini. baik bagi perseroan sendiri, komunitas
setempat, maupun masyarakat pada
Hanya sedikit OMS yang dapat
umumnya. Namun sayangnya program
mengakses sumber pendanaan dari
HIV dan AIDS belum dianggap sebagai
pemerintah, meski sudah ada regulasi
isu yang menarik bagi sektor swasta
dan kebijakan yang mengatur tentang
(CSR) .
pembiayaan dari pemerintah untuk OMS.
Misalnya UU No. 39 Tahun 2012 yang “…..Nah sayangnya memang untuk program HIV
dan AIDS dan juga narkoba ini belum menjadi
mengatur tentang pemberian hibah barang yang menarik eee sektor swastanya
dan bantuan sosial yang bersumber untuk untuk mengeluarkan pendanaannya.
dari APBD. Namun demikian, regulasi Karena kan kalau kita berbicara sektor swasta
ini skema-skema CSR di Indonesia agak sedikit
untuk pendanaan yang berkelanjutan lain dengan skema CSR yang ada di luar
serta untuk operasionalisasi OMS belum negeri dimana lembaga-lembaga swasta juga
tersedia. Sumber pendanaan pemerintah memiliki organisasi sosial sendiri. Kemudian
sudah punya interest nya sendiri. Sementara
biasanya tidak dapat dipergunakan kalau di luar CSR ya sudah itu hanya kewajiban
sebagai dana operasional lembaga sosial mereka saja benefit dari perusahaan ya
namun diterimakan sebagai gaji/honor sudah dia sumbangkan ke masyarakat dalam
bentuk mungkin tidak tidak dianya sendiri gitu..”
dalam keterlibatannya pada kegiatan (Wawancara tim peneliti PKMK FK UGM dengan
bersama instansi pemerintah. Berbeda staf LSM di Sumatera Utara, Maret 2015) 07
dengan di Provinsi Papua, terdapat
Dari aspek sumber pendanaan,
pendanaan dari APBD dan dapat
penelitian ini menunjukkan bahwa
dipergunakan untuk fasilitasi kegiatan.
mayoritas OMS masih mengandalkan
“.....itu kami memang mendapatkan dukungan sumber pendanaan dari MPI,
dana selain dari donatur kita, baik dari USAID kami
juga dapat dari KPA Provinsi, dapat juga dari KPA sebagaimana terlihat pada tabel 12.
Kabupaten. Bagaimana cara kita mendapatkan
dukungan dana itu karena kami terlibat dan kami Akses OMS untuk mendapatkan
advokasi kepada mereka dan mereka juga melihat sumber pendanaan tersebut diperoleh
hasil kerja kami dan mereka bersedia untuk melalui pengajuan proposal baik untuk
memberikan dukungan dana dan fasilitas. Tahun 2014
ini dapat dukungan dana sebuah mobil Ford Ranger, sumber pendanaan dari MPI maupun dari
kami dapat seperti itu, itu bentuk dukungan dari dana APBD.
Pemda Jayawijaya” (Wawancara tim peneliti dengan
“…Kalau dukungan pendaaan kita dapet dari
staf LSM di Papua, Maret 2015)
Global Fund dalam tiga tahun terakhir ini juga
Jenis pendanaan lain bagi OMS dapet eee pendanaan APBN ada yang melalui
dinas kesehatan ada yang melalui KPA macem-
adalah bersumber dari perusahaan macem sih mas. Dinas sosial itu ada. Itu....
dalam bentuk Corporate Social eee... cara mendapatkannya kalau dari Global
Responsibility (CSR). Namun pendanaan Fund tentunya dengan proposal. Kalau dengan
SKPD kita biasanya menyusun bareng untuk
dari sektor swasta ini baru bisa diakses rencana APBD di tahun berikutnya” (Wawancara
oleh beberapa OMS di beberapa provinsi, tim peneliti PKMK FK UGM dengan staf LSM di
seperti di Papua, Jawa Barat, Sulawesi Yogyakarta, Maret 2015).

Selatan, Bali, dan Sumatera Utara. Namun demikian, OMS tidak memiliki
Peruntukan dana ini sangat bervariatif keleluasaan menentukan kegiatan
sebagaimana tertuang dalam Peraturan beserta targetnya, karena MPI telah

197
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

memiliki skema program, termasuk target- HIV Cooperation Program for Indonesia
target yang telah ditentukan. Beberapa (HCPI) juga memberikan pendanaan
target yang ditetapkan itu dianggap tidak bagi petugas penjangkau pada populasi
cukup realistis dan terlalu tinggi bagi penasun. Sementara itu Global Fund
OMS. Meskipun OMS sudah ada upaya mendanai hampir sebagian besar
menegosiasikan target tersebut, namun kegiatan penjangkauan pada populasi
biasanya tetap harus mengacu pada kunci waria, LSL, penasun, dan WPS.
skema dan target yang telah ditetapkan.. Sementara sumber pendanaan dari
“….Sesama teman LSM kan mengeluh itu Kemensos dan APBD lebih banyak
sehingga satu PR [Principle Recipient] itu digunakan untuk kegiatan rehabilitasi,
targetnya sampai enam ratus orang satu penguatan kapasitas ekonomi, dan
bulan, itu penduduk di Kabupaten Malang itu
sudah tidak cukup mbak hehehehe. Jadi kami pemberian gizi.
tidak punya independensi walaupun kami e
seluruh LSM di Jawa Timur itu sudah kumpul Situasi ini berbeda dengan OMS
bernegoisasi dengan PKBI tapi kan PKBI tidak dengan sumber pendanaan mandiri yang
bisa merubah target.” (Wawancara tim peneliti pada umumnya melakukan aksinya
PKMK FK UGM dengan staf LSM di Jawa Timur,
Maret 2015) atas dasar kepentingan konstituen dan
sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Ditinjau dari aspek kegiatan, Jenis kegiatan hingga bentuk monitoring
mayoritas OMS melakukan kegiatan dan evaluasi ditentukan sendiri tanpa
yang menyasar pada kegiatan untuk ada intervensi dari pihak mana pun.
kepentingan konstituennya. Penelitian Aksi yang dilakukan adalah aksi yang
ini menunjukkan bahwa sebagian besar bersifat strategis dan berjangka panjang,
OMS bekerja pada populasi kunci. sebagaimana ditunjukkan pada sumber
Kegiatan OMS dapat dibedakan menjadi penelitian yang lain.64
tiga kategori, yakni: (1) promosi dan
pencegahan; (2) pengobatan dukungan Dari dua aspek tersebut dapat
dan perawatan (PDP); dan (3) mitigasi disimpulkan bahwa sebagian besar OMS
dampak. Jenis-jenis kegiatan yang dalam penelitian ini tidak bisa mandiri
dilaksanakan digambarkan lebih jelas karena masih tergantung dananya dari
dalam tabel 13. MPI yang juga memiliki kepentingan
tertentu. Hal ini membatasi ruang
Kegiatan pada tabel di atas gerak OMS sehingga tidak mampu
menunjukkan bahwa sebagian besar lagi memperjuangkan kepentingan
kegiatan yang dilakukan oleh OMS di 12 konstituennya bahkan untuk sekadar
provinsi lebih banyak berfokus pada area menegosiasikan kepentingannya.
promosi dan pencegahan. Sementara
tidak banyak kegiatan yang berfokus
pada area PDP dan mitigasi dampak. c. Daya tanggap OMS
Dikaitkan dengan sumber pendanaan,
fokus pendanaan MPI bagi OMS juga OMS muncul sebagai bentuk respons
lebih banyak pada area promosi dan terhadap permasalahan yang dihadapi
pencegahan. Beberapa contoh kegiatan oleh konstituennya, sehingga OMS
yang didanai MPI antara lain USAID memiliki kewajiban moral untuk
dan Family Health International (FHI) merespons kebutuhan dan kepentingan
yang mengembangkan kerangka kerja konstituennya. Daya tanggap OMS dapat
dalam upaya perubahan perilaku dan
64) Lihat Hasil Penelitian Independensi LSM di Tengah
pemasaran sosial kondom. FHI dan The Kepentingan Donor, Assa, H., Dharmawan, A. H., &
Adiwibowo, S. (2009).

198
Sw asti Se m p u lu r

Tabel 13. Jenis Kegiatan OMS

Pengobatan
Promosi Pencegahan Dukungan & Mitigasi Dampak
Perawatan

1. Penjangkauan 1. Rujukan ARV 1. Bantuan ekonomi


2. Pendampingan 2. Kelompok Dukungan produktif

3. Rujukan ke layanan Sebaya 2. Bantuan asupan gizi

4. KTS 3. Rumah singgah ODHA

5. Distribusi alat pencegahan


6. Sosialisasi/penyuluhan
7. Advokasi
8. Konseling adiksi
9. Konseling dasar
10. Konseling pasangan
07
11. Pelatihan
12. Pembentukan dan
penguatan CBO/Community
Organizing
13. Program non-HIV AIDS
14. Pendidikan seksualitas
15. Bantuan hukum Sumber: diolah dari data primer

dilihat dari jenis kegiatan dan faktor berani. Jangankan keluar, ke keluarga sendiri
aja masih takut. Artinya situasinya masih seperti
yang melatarbelakangi terbentuknya itu latar belakang kita mendirikan yayasan.
OMS. Mayoritas OMS didirikan sebagai (Wawancara tim peneliti PKMK FK UGM dengan
respons terhadap permasalahan pada staf LSM di Bali, Maret 2015)
konstituennya, semisal perlakuan stigma “…Latar belakang pendirian lembaga karena
dan diskriminasi, keterbatasan akses masalahnya waktu itu eee kita melihat
pengetahuannya rendah di eee komunitas LSL
layanan, permasalahan kesehatan dan dan HRM itu pengetahuannya rendah. Kalau
sebagainya. dulu malah HRM itu tidak ada intervensinya
masalahnya. Jadi tidak ada program intervensi
“…jadi ada 5 temen ODHA yang kita kumpul,
kalau kita dulu bilangnya potential client tentang
kita merasa stigmanya cukup tinggi. Artinya
HRM. Gitu. Jadi potential client itu tidak ada
jangankan ngomong ke perusahaan itu nggak

199
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

program kita menginisiasi adanya program untuk 2. Tata Kelola


potential client atau HRM sekarang ini dan juga
untuk LSL..” (Wawancara tim peneliti FK UGM Tata kelola OMS yang dimaksud dalam
dengan staf LSM di Yogyakarta, Maret 2015).
tulisan ini mengacu pada sistem yang
Respons lain terhadap permasalahan diimplementasikan oleh OMS untuk
konstituen dilakukan melalui respons mengelola organisasinya, yakni (1)
cepat yang spontan dan tidak terencana. manajemen sumber daya yang meliputi
Contohnya adalah respons terhadap perencanaan, pelibatan komunitas,
penutupan lokalisasi di beberapa daerah monitoring, evaluasi; (2) SDM yang meliputi
yang memunculkan respons cepat dari keterampilan staf, pengembangan staf;
OMS di Jawa Timur, Bali, dan Papua. dan (3) sumber daya keuangan meliputi
. …untuk saat ini saya memang berbicara proyek
perencanaan keuangan, kerentanan
LSM telah melakukan satu proyek memang keuangan, dan kecukupan keuangan.65
ada kesenjangan antara target dan jumlah
pendamping yang terbatas sehingga teman-
teman yang lakukan hanya mengejar kuantitas
saja dengan kualitas menjadi nomer dua” a. Manajemen sumber daya
(Wawancara tim peneliti PKMK FK UGM dengan
staf LSM di Sulawesi Selatan, Maret 2015). Manajemen sumber daya yang
dimaksudkan dalam penelitian ini
Namun demikian, respons OMS adalah bagaimana OMS mengelola
terhadap konstituennya kadang lembaganya meliputi perencanaan,
dibatasi dengan menempatkan mereka pelibatan konstituen dalam perencanaan
sebagai bagian dari pencapaian target lembaga, serta monitoring dan evaluasi.
yang ditetapkan oleh donor, tanpa Perencanaan OMS pada umumnya
memperhatikan kualitas layanan bagi dituangkan dalam rencana strategis
konstituennya. Kemitraan dengan donor lembaga. Perencanaan strategis
mengurangi kesempatan bagi OMS untuk dimaknai sebagai komponen manajemen
menegosiasikan kebutuhan yang sesuai strategis yang berguna memperjelas
dengan konstituennya tujuan dan sasaran, memilih berbagai
….Kami tidak ada negosiasi untuk target, karena kebijakan, terutama dalam memperoleh
target telah ditentukan oleh donor. Mungkin
karena target kami sudah 100%. karena memang
dan mengalokasikan sumber daya,
jumlah populasi penasun dan pasangan penasun serta menciptakan pedoman dalam
hanya sedikit… (Wawancara tim peneleiti PKMK menerjemahkan kebijakan organisasi
FK UGM dengan staf LSM di Sumatera Utara,
Maret 2015)
(Steiss, 2003). Kajian ini menunjukkan
bahwa sedikit OMS, yakni sekitar 37%
Dengan demikian dapat dikatakan dari 48 OMS memiliki perencanaan yang
bahwa kemitraan yang terbangun dituangkan dalam dokumen perencanaan
antara OMS dengan donor memiliki strategis. Pengaturan lembaga lainnya
kecenderungan untuk mengikis daya adalah dalam bentuk Standard
tanggap dan daya kritis OMS terhadap Operational Procedure (SOP) yang
konstituen. Kebutuhan konstituen yang mengatur tentang SDM dan keuangan.
semestinya diperjuangkan oleh OMS
“….Ada divisi eee pendukung yang di dalamnya
sangat dibatasi oleh desain dan target adalah ada eee untuk keuangan administrasi.
yang telah dietapkan oleh MPI. Itu dengan SOP yang ada. Kita punya SOP.
Kemudian eee untuk SDM eee ada pengelolaan
SDM dan ada dua SOP SDM manajemen dan
SDM terkait dengan pengelolaan ke masyarakat
ini. Itu juga ada SOP nya. Kemudian dengan

65) Mengacu pada kerangka Institutional Development


Framework (IDF).

200
Sw asti Se m p u lu r

perencanaan program itu eee kita punya SOP b. Pengaturan SDM


nya dan divisi nya ada. Kemudian ada eee kalau
dan ee ada juga yang namakan ada penelitian. Standard Operational Procedure (SOP)
Penelitian dalam arti kebijakan kebutuhan
adalah perangkat yang dipergunakan
program itu namanya ada divisi penelitian. Dan
termasuk juga dalam rangka evaluasi. Nah OMS untuk mengatur sumber daya
semua itu eee eee kita kita lakukan eee proses- manusia lembaga. SOP SDM pada
prosesnya ada pertemuan setiap tahun untuk
umumnya mengatur mengenai sistem
bisa merangcang program eee dari rencana
strategis yang kita ciptakan tiga tahun. Setiap rekrutmen staf, lingkup pekerjaan, dan
tahun kita implementasikan kegiatan-kegiatan kode etik kerja. Mayoritas OMS memiliki
di kemasyarakat gitu.” (Wawancara tim peneliti
SOP yang tertuang dalam dokumen
PKMK FK UGM dengan staf LSM di Bali, Maret
2015). lembaga, namun ada pula OMS yang
tidak mendokumentasikan SOP ini, akan
Akan tetapi tidak semua OMS mampu
tetapi pengaturan SDM diputuskan
menurunkan perencanaan strategis
berdasarkan kesepakatan internal
mereka menjadi perencanaan program
lembaga. Pola-pola kekeluargaan
tahunan yang bersifat jangka pendek.
menjadikan pengaturan organisasi
Hal ini umumnya karena kendala
bersifat lebih cair.
pendanaan sehingga sulit membuat
“... karena pengelolaannya secara kekeluargaan
perencanaan jangka pendek saat tidak jadi agak fleksibel tentang itu [pengaturan
ada kepastian dana. Cukup banyak SDM], Jadi kalau misalkan penerapan program
OMS yang mengalami hal ini seperti direktur dalam hal ini kita membicarakan di
rapat misalkan ini harus dibahasnya di rapat
OMS di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, karena kelembagaan. Kalau dalam rapat itu
Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, memutuskan direktur menunjuk salah seorang
Sulawesi Selatan, Papua, dan Papua dari ee kita pengurusnya untuk menjadi
penanggung jawab kegiatan tersebut itu ini akan
Barat. Akibatnya, program tahunan yang ee melakukan itu, tidak tertuang dalam dokumen 07
banyak dilakukan adalah program yang SOP...” (Wawancara tim peneliti PKMK FK UGM
didesain oleh donor sebab pendanaan dengan staf LSM di Sulawesi Selatan, Maret
2015)
untuk program tersebut tersedia dan OMS
cenderung menjadi pelaksana program Pengelolaan SDM pada OMS
saja. umumnya masih berdasarkan kebutuhan
“….Tapi ketika donor masuk kita mesti desain proyek yang dijalankan. Dalam
menunjukkan Renstra kita. Renstra kita.... Renstra artian jumlah, kompetensi, dan besaran
kita seperti ini. Nah misalnya ok kepentingan
gaji berdasarkan desain yang dibuat
donor saya bikin programnya itu ABC ok ketika
ABC ini kita iyakan mau nggak kamu mendanai oleh MPI yang mendanainya. Hal ini
program program Renstra kita yang alah cuma dapat dilihat seperti yang terjadi pada
sedikit ini menjadi D nya jadi ABCD gitu lho mba.
mayoritas OMS yang pendanaan
Nah ini terjadi di kemarin itu di SUM lah ya di
SUM. Di SUM itu program harm reduction. Iya programnya bersumber dari Global Fund.
kan. Terus Renstra kita itu ada yang namanya
“…kan di LSM itu kan susah mengikat orang
pemulihan adiksi dan lain sebagainya mereka
karena dari segi salary [gaji] kan juga tidak bisa.
nggak tertarik. Tapi kita paksa udahlah nggak
Misalnya dari Global Fund itu kan sebenarnya
perlu mendanai rehab yang cukup besar kita
salary nya kecil ya mbak, kalau karena kalau
cuma perlu day care jadi program day care. Jadi
sekarang itu kerjasamanya itu mana tu UMR,
program rawat jalan gitu bisa nggak didukung.
UMR sekarang itu Kabupaten Malang sudah naik
Akhirnya didukung mba. Ya didukung. Itu
satu juta enam ratus UMR Kabupaten Malang itu,
yang yang contoh contoh kecil ya tapi secara
tapi kan ya rata-rata temen masih di bawahnya
kepentingan yang besar masih belum bisa mba.
umur kaya gitu gitu lho mbak. Nah bisa jadi sih
Jadi mereka kan memang datang dengan punya
memang kalau ada yang lebih baik sih akan
kepentingan punya tujuan.(Wawancara tim
pindah...” (Wawancara tim peneliti PKMK FK UGM
peneliti PKMK FK UGM dengan staf LSM di Jawa
dengan staf LSM di Jawa Timur, Maret 2015)
Barat, Maret 2015)

201
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

Untuk meningkatkan kapasitas sering mengurangi otoritas OMS karena


SDM OMS, lembaga menyediakan ada kegiatan, sasaran, dan target
bentuk-bentuk penguatan kapasitas capaian yang sudah ditentukan oleh
bagi stafnya. Penguatan kapasitas donor. Secara umum, sumber pendanaan
ini dimaksudkan untuk mendukung bagi OMS memang terbatas karena
jalannya program, baik kapasitas teknis sebagian sebagian besar masih didukung
berupa keterampilan, untuk memperkuat oleh donor. Sehingga pada bagian ini
kapasitas SDM dalam pelaksanaan penjabaran tata kelola keuangan ditinjau
program (konseling, penjangkauan, dari sisi pengelolaan dan akuntabilitas
manajemen kasus), pelatihan penguatan keuangan.
organisasional (pembuatan renstra,
Terkait dengan pengelolaan dan
keuangan, SOP kelembagaan,
pengaturan sumber daya keuangan,
pembuatan proposal) dan pelatihan
sebagian besar OMS masih dilakukan
kapasitas personal (teknik komunikasi,
sebagai bagian dari kegiatan administrasi
pelatihan jurnalis). Sumber peningkatan
dalam rangka akuntabilitas pada
kapasitas justru banyak diselenggarakan
pemberi dana. Umumnya dalam hal
oleh MPI, namun umumnya bertujuan
pengelolaan keuangan, OMS mengacu
untuk mendukung jalannya program
pada sistem yang dikembangkan oleh
yang didanainya (pelatihan teknis untuk
donor, meski OMS telah memiliki sistem
penjangkauan, konseling, manajer
keuangan lembaga. Hal ini terjadi pada
kasus). Kecenderungan ini hampir
sebagian besar OMS yang tengah
terdapat pada mayoritas OMS yang
menjalankan kemitraan dengan donor.
tengah bekerja sama dengan donor.
Secara otomatis, OMS yang memiliki
Sementara penguatan kapasitas bagi
banyak donor akan menerapkan sistem
penguatan organisasi OMS justru
keuangan yang berbeda-beda karena
tidak banyak dilakukan, baik oleh
masing-masing donor memiliki sistem
MPI maupun OMS sendiri, semisal
yang berbeda.
di Sulawesi Utara (GWL Kawanua),
“….Terkait keuangan. Donor kan punya sistem
Sumatera Utara (GSM, Medan Plus),
keuangan sendiri. Saya punya keuangan sistem
dan kecenderungan ini hampir merata dengan sistem keuangan software nya adalah
di semua OMS di daerah. Hanya sedikit AB Pro atau pakai system keuangan pakai
Sango pakai apa macem–macem gitu ya. Lha
OMS yang mampu menyelenggarakan
di Orbit sudah ditentukan bahwa kita pakai
peningkatan kapasitas bagi SDM misalnya pakai CTH catatan transaksi harian
lembaganya sesuai dengan kebutuhan, sama sistem software nya Sango. Nah ternyata
si donor dengan datang ke kita saya mintanya
seperti Paramitra (Jawa Timur), Lembaga
AB Pro. Nah ini yang masih belum posisi tawar
Kemaslahatan Keluarga Nahdatul Ulama yang belum belum belum terjadi dengan
(Sulawesi Utara), Yasanto (Papua), dan seimbang gitu ya. Maksudnya ya memang
sulit tapi artinya akhirnya kita mempunyai apa
Perkumpulan Terbatas Papua Sehat
overload di keuangan” (Wawancara tim peneliti
(Papua Barat). PKMK FK UGM dengan staf LSM di Jawa Timur,
Maret 2015).

Di sisi yang lain, kemitraan dengan


c. Sumber Daya Keuangan
donor dapat meningkatkan kapasitas
Sumber daya keuangan merupakan OMS dalam hal pengelolaan keuangan,
salah satu komponen penting bagi OMS karena ada berbagai bentuk penguatan
untuk mampu menjalankan kegiatan dan kapasitas pengelolaan keuangan.
perannya. Sebagaimana telah dijelaskan Oleh karenanya OMS yang memiliki
sebelumnya bahwa sumber pendanaan pengalaman bekerja dengan donor

202
Sw asti Se m p u lu r

biasanya memiliki sistem pengelolaan memiliki keterikatan kuat dengan MPI


keuangan yang relatif lebih baik, dalam hal pengaturan keuangan,
sehingga dapat dipraktikkan untuk pengelolaan keuangan lebih fleksibel
menjadi bagian dari penguatan sistem dan dapat disesuaikan dengan
keuangan lembaga. kepentingan lembaga atau organisasi.
“…Nah tapi ternyata ada donor juga yang Dalam situasi ini, pertanggungjawaban
mendukung penguatan organisasi. Penguatan keuangan tidak semata-mata untuk
kelembagaannya dan ini yang sangat apa ya kepentingan pemberi dana saja, akan
berdampak di kita gitu mba. Artinya berdampak
di kita itu kita mulai memikirkan tidak hanya tetapi juga sebagai pertanggungjawaban
program tapi bagaimana kelembagaan ini kepada konstituennya, sehingga
semakin kuat. Karena ketika semakin kuat akuntabilitasnya dalam bentuk pelaporan
maka kemandirian keberlangsungan itu juga
terjadi gitu mba ya. Nah termasuk akhirnya kegiatan maupun keuangannya dapat
mengeluarkan SOP keuangan..” (Wawancara tim diakses publik atau lebih transparan.66
peneliti PKMK dengan staf LSM di Jawa Timur,
Maret 2015). Dari uraian tentang pengelolaan
keuangan menunjukkan bahwa di
Mekanisme pelaporan keuangan,
satu sisi OMS menyadari bahwa
sebagai bentuk pertangungjawaban
akuntabilitas kepada konstituen
penggunaan dana, dilakukan melalui
seharusnya merupakan bagian
mekanisme yang dibuat oleh donor.
pertanggungjawaban yang seharusnya
Namun, ada kecenderungan OMS
dilakukan, namun di sisi yang lain tidak
tidak melaporkan kepada konstituen
ada mekanisme yang dikembangkan
atau pihak lain yang dianggap tidak
oleh donor untuk mendorong OMS untuk
terkait dengan pemberian dana. Hal
mempertanggungjawabkannya kepada
ini berdampak pada keterbatasan 07
konstituen.
akuntabilitas dan transparansi keuangan
OMS. Dengan sistem keuangan yang
dikembangkan oleh MPI tersebut
memungkinkan donor untuk melakukan
kontrol secara ketat terhadap
pengelolaan keuangan lembaga dari
D.
hasil laporan keuangan yang dikirimkan
Kegiatan OMS Pada Era
OMS kepada donor. Meskipun diyakini Penanggulangan HIV & AIDS
oleh sebagian besar OMS, bahwa
pertanggungjawaban OMS kepada Pemerintah Indonesia mulai merespons
konstituen dan pihak lain merupakan kasus HIV dan AIDS yang ditandai dengan
bagian dari karakteristik OMS serta Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1994
bentuk akuntabilitas publik yang dapat tentang Komisi Penanggulangan AIDS
memengaruhi kredibilitas lembaga. (KPA). Secara resmi pula menetapkan
Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil temuan pertama kasus HIV di Indonesia
survei yang menyatakan bahwa lebih pada tahun 1987. Komitmen pemerintah
dari 75% yang menyatakan sepakat dalam merespons epidemi HIV dan AIDS
bahwa OMS seharusnya melaporkan salah satunya dilakukan melalui kerja sama
kegiatannya tidak hanya kepada donor dengan lembaga internasional baik bilateral
saja akan tetapi juga kepada masyarakat dan multilateral agar memperbesar ruang
dan konstituen. bagi penanggulangan HIV dan AIDS di

Sementara dari kajian yang terkait, 66) Laporan penelitian Independensi LSM Di Tengah
Kepentingan Donor oleh Assa, H., Dharmawan, A. H., &
menunjukkan bahwa OMS yang tidak Adiwibowo, S. (2009).

203
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

berbagai daerah. Sebagai sebuah respons peran tersebut tidak bersifat mutlak, karena
nasional, penanggulangan HIV dan AIDS respons HIV di masing-masing daerah
dilakukan melalui upaya pencegahan berbeda.
dan pengendalian HIV dan AIDS yang
lebih intensif, menyeluruh, terpadu, dan
terkoordinasi. Pada tingkat daerah, upaya 1. Pendidikan komunitas sebagai awal
penanggulangan mulai dilakukan untuk gerakan penanggulangan HIV dan AIDS
menanggapi permasalahan yang muncul, oleh OMS.
atau sebagai bagian dari layanan kesehatan
Gerakan awal penanggulangan HIV
umum.
dan AIDS terjadi ketika isu HIV dan
Respons OMS dalam upaya AIDS dianggap belum sebagai prioritas
penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan masalah kesehatan yang tidak harus
melalui berbagai bentuk kegiatan, direspons luas. Tidak mengherankan
seperti ceramah, penyuluhan, konseling, jika kemudian permasalahan ini hanya
pendistribusian alat kontrasepsi, rujukan menjadi tanggung jawab pemerintah dan
dan pemeriksaan IMS, rujukan ARV, serta Kementerian Kesehatan. Di akhir tahun
pengorganisasian. Dari kegiatan yang 1980-an hingga awal 1990-an, mulai
dilakukan oleh OMS ada kecenderungan ada respons kelembagaan dari bidang
bahwa terdapat pola yang sama terhadap keilmuan yang memberikan perhatian
respons awal epidemi, yaitu berfokus pada pada isu HIV, dengan dibentuknya
pendidikan komunitas. Dalam perjalanan pusat kajian HIV di Rumah Sakit Cipto
waktu ada pergeseran fokus sebagai Mangunkusumo (RSCM) dan Fakultas
penyedia layanan dan selanjutnya peran Kedokteran Universitas Indonesia serta
advokasi. Tahapan antar daerah dalam National Institute of Health Research and
merespons epidemi cenderung sama tetapi Development (KPAN, 2014). Kegiatan
waktu di mana tahapan ini dimulai, berbeda survei pada populasi yang dianggap
antara daerah satu dengan daerah yang berisiko mulai dikembangkan, seperti
lain, sesuai dengan introduksi permasalahan survei yang dilakukan di beberapa
HIV di daerah tersebut. Di Bali, respons awal wilayah di Indonesia, seperti di Nusa
epidemi sudah dimulai sejak tahun 1987, Tenggara Barat, Surabaya, Jakarta, Bali,
sementara di Bangka Belitung respons baru Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa
pada tahun 2001 (PKMK, 2015). Perubahan Barat. Kemudian disusul oleh kegiatan
fokus peran yang dilakukan oleh OMS sero-survei pada populasi WPS dan
dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya populasi berisiko lainnya di Sumatera
adalah pola kemitraan dengan MPI. Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat,
Jambi, Lampung, Jakarta, Jawa Tengah,
Oleh karena itu, dalam bab ini
Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
digambarkan bagaimana peran OMS
Kalimantan Utara, Maluku, dan Papua.
dalam penanggulangan HIV hingga saat
ini yang menjelaskan bagaimana bentuk Sementara di level daerah, meski isu
dan peran umum OMS dalam berkontribusi HIV dan AIDS belum menjadi isu prioritas,
terhadap pembangunan sosial termasuk namun sudah ada kegiatan untuk
kesehatan. Informasi yang diperoleh mengintegrasikan isu tersebut ke dalam
digambarkan secara kronologis mulai dari isu kesehatan seksual dan reproduksi
bagaimana peran-peran tersebut muncul, remaja dan perempuan. Perkumpulan
berkembang, dan berkurang seiring dengan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
perkembangan permasalahannya. Kronologi adalah organisasi yang mengawali

204
Sw asti Se m p u lu r

kegiatan tersebut di “Respons OMS kampanye pada masyarakat


beberapa daerah, seperti di dalam upaya umum, USAID melalui HIV
Jawa Barat pada tahun 1961, penanggulangan and AIDS Prevention Project
di Yogyakarta tahun 1967, HIV dan AIDS (HAPP) yang berfokus pada
di Kalimantan Tengah dan dilakukan populasi remaja. Kegiatan
Sulawesi Selatan pada tahun aspek edukasi karena
melalui berbagai
1978 (PKMK, 2015). Bentuk pemahaman masyarakat
bentuk kegiatan,
kegiatan masa itu berfokus terkait dengan HIV dan AIDS
seperti ceramah,
pada upaya kegiatan masih terbatas. Sementara
penyuluhan, itu, di sisi sektor layanan
pendidikan komunitas
melalui kegiatan ceramah, konseling, kesehatan, isu ini juga belum
penyuluhan, kampanye pendistribusian menjadi fokus perhatian dari
melalui media massa, media alat kontrasepsi, pemerintah.
elektronik maupun melalui rujukan dan
Sejak kasus HIV
pertemuan. Pada fase ini, pemeriksaan IMS,
pertama kali ditemukan
kegiatan yang dilakukan rujukan ARV, serta di Bali, kegiatan OMS
lebih bersifat sporadis, pengorganisasian.” kemudian tidak berfokus
responsif dan mekanis,
pada kegiatan pendidikan
tidak berdasarkan pada
komunitas saja, tapi mulai
perencanaan yang berbasis
melakukan penjangkauan
epidemi. Misalnya pendidikan
pada kelompok WPS yang
komunitas bagi kelompok
dipelopori oleh Yayasan
gay dan waria oleh Gaya
Kerti Praja dan kelompok LSL
Dewata (Bali) merupakan 07
oleh Yayasan Citra Usaha.
respons dari persepsi
Kegiatan ini menjadi awal
masyarakat bahwa AIDS
dari kegiatan penjangkaun
identik dengan homoseksual
yang kemudian direplikasi di
dan warga negara asing. Hal
daerah lain.
ini disebabkan temuan kasus
AIDS yang pertama kali
terjadi pada warga negara
2. Penyediaaan layanan
asing.
sebagai bentuk intensifikasi
Peran yang dilakukan dan perluasan respons HIV
oleh OMS pada era dan AIDS.
tersebut tidak terlepas
Fase ini terjadi pada kisaran
pula dari karakteristik dan
tahun 1994-2007, di mana
pola kemitraan dengan
kasus HIV dan AIDS mulai
MPI yang masih berfokus
muncul di beberapa daerah.
pada kegiatan edukasi.
Persoalan ini kemudian tidak
Misalnya Ford Foundation
sebagai persoalan daerah
memberikan dukungan
saja, tapi sudah menjadi
penguatan kapasitas dan
isu nasional. Kasus yang
pengembangan media bagi
ditemukan menunjukkan
beberapa OMS sebagai
kecenderungan terdapat
media edukasi, United
pada populasi yang
Nations Development
melakukan perilaku seks
Programme (UNDP) untuk

205
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

yang tidak aman dan penggunaan dukungan sebaya bagi ODHA). Pada
bersama jarum suntik yang telah periode ini semakin banyak OMS yang
terkontaminasi virus HIV dalam terlibat dalam penanggulangan HIV dan
penggunaan napza. Pada rentang waktu AIDS sebagai bagian dari perluasan
ini sudah mulai dikembangkan sistem layanan dan semakin banyaknya
survei perilaku dan survei perilaku dukungan pendanaan dari MPI. Beberapa
biologis pada tahun 1996 dan 2007 OMS baru muncul pada periode ini
yang dapat dipergunakan sebagai dasar seperti di Yogyakarta (Kebaya dan Vesta),
pengembangan dan strategi program di Bali (Yakeba, Spirit Paramacita), dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Dari di Sumatera Utara (Galatea, Caritas
survei ini dapat diketahui perilaku Medan). Begitu pula dengan dengan
berisiko serta prevalensi HIV dan IMS OMS yang diinisiasi oleh komunitas baik
yang tinggi terdapat pada populasi kunci, penasun, WPS, LSL, mapun waria, seperti
seperti penasun, WPS dan LSL. Informasi di Bandung (Srikandi Pasundan), NTB
ini sangat bermanfaat sehingga fokus (Salut), Jawa Barat (Abiasa), dll.
kegiatan intervensi mulai beralih pada
Dari uraian ini dapat diartikan
populasi tersebut, yang selanjutnya
bahwa pada era 1994–2007 layanan
disebut sebagai populasi kunci (key
HIV semakin banyak tersedia dan
population). Survei yang dilakukan pada
semakin banyak pula populasi kunci
fase ini mendapatkan dukungan dari
yang terjangkau melalui kegiatan
USAID dan AusAID. Di awal periode
penjangkauan dan pendampingan
ini, program penanggulangan HIV dan
oleh OMS. Layanan HIV menjadi lebih
AIDS mulai lengkap dan terpadu yang
komprehensif dalam artian tidak hanya
diinisiasi oleh HIV and AIDS Prevention
pada aspek pencegahan, tetapi sampai
Programme (HAPP) melalui penguatan
aspek mitigasi dampak. Cakupan
pada komponen perubahan perilaku,
kegiatan, baik penjangkauan dan
dukungan kebijakan, pengendalian HIV
layanan kesehatan, menjadi meningkat
dan IMS, serta perluasan akses dan
pada era ini.
promosi kondom.
Kegiatan OMS di awal periode ini
masih berfokus pada upaya pencegahan, 3. Peran Advokasi.
terutama pada aspek komponen
Seiring dengan semakin luasnya peran
komunikasi perubahan perilaku dengan
penyediaan layanan yang sudah
dukungan pendanaan dari beberapa
diinisiasi pada periode sebelumnya,
MPI. FHI memberikan bantuan untuk
berbagai persoalan muncul seperti tidak
komponen ini karena menjadi bagian
dilibatkannya populasi kunci sebagai
yang penting dari program secara
bagian dari perencanaan program,
keseluruhan. Pengetahuan yang
kebijakan yang tidak mendukung pada
komprehensif menjadi awal untuk
populasi penasun, karena masih terdapat
terwujudnya kesadaran dan perubahan
tindak kekerasan dan kriminalisasi.
perilaku. Dukungan pendanaan
Persoalan ini mendorong munculnya
melalui Global Fund yang dimulai pada
kegiatan advokasi yang dilakukan
tahun 2003 menjadi awal kegiatan
oleh kelompok populasi tertentu untuk
OMS dengan kegiatan yang lebih
memperjuangkan hak mereka.
komprehensif mulai dari penjangkauan,
rujukan dan konseling tes HIV dan IMS, Perjuangan hak atas partisipasi dan
distribusi kondom, PDP (rujukan ARV dan pengakuan eksistensi pekerja seks,

206
Sw asti Se m p u lu r

waria, homoseksual dan heteroseksual ke dalam rancangan dan rencana


banyak dilakukan melalui jaringan kebijakan. Oleh karenanya, kerja
atau organisasi seperti OPSI dan GWL advokasi tidak dapat dilakukan secara
INA yang terbentuk pada tahun 2007. mandiri oleh OMS, namun perlu dilakukan
Organisasi seperti ini banyak diikuti oleh melalui jaringan yang lebih luas.
OMS di daerah seperti di Yogyakarta
Dari gambaran di atas, secara umum
(Vesta, Kebaya), Bali (Gaya Dewata),
dapat disimpulkan bahwa ada pergeseran
Sulawesi Selatan (Gaya Celebes), dll.
peran yang dilatarbelakangi oleh konteks
Jaringan Persaudaraan Korban epidemi, dukungan MPI serta kebijakan yang
Napza Indonesia (PKNI) merupakan menghambat. Pada masing-masing periode
jaringan organisasi yang bertujuan ditemukan peran dan bentuk kemitraan OMS
memperjuangkan hak pengguna napza, dengan MPI dan pemerintah yang menonjol
melalui kegiatan pendidikan dan yang dapat digambarkan dalam tabel 14.
pengorganisasian. Organisasi ini didirikan
pada tahun 2008,67 di mana Yakeba (Bali)

E.
merupakan salah satu OMS yang terlibat
dalam jaringan tersebut.
Sementara di level daerah
terdapat pula kegiatan advokasi yang Kemitraan dalam OMS
dilakukan bertujuan untuk perubahan
kebijakan, seperti terbentuknya Perda Kemitraan dimaknai sebagai kegiatan
Penanggulangan AIDS di hampir bersama atau bekerja sama antara dua
sebagian besar daerah, seperti di Bali, atau lebih organisasi yang bertujuan untuk
berbagi sumber daya dan tanggung jawab 07
Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, dan Yogyakarta. Advokasi dalam mencapai cita-cita dan tujuan.
dilakukan pula untuk mengurangi Kemitraan merupakan aspek yang penting
hambatan dari kebijakan yang kurang bagi OMS dalam menjalankan kegiatan
mendukung upaya penanggulangan serta perannya. Dalam bab ini akan dibahas
HIV dan AIDS melalui negosiasi atau mengenai kemitraan OMS dengan pemangku
mengompromikan penerapan kebijakan kepentingan yang meliputi pemerintah, MPI,
tesebut, seperti penerapan perda jaringan OMS, serta konstituen.
anti prostitusi yang menghambat
layanan kesehatan bagi populasi
1. Pemerintah
kunci, khususnya di lokalisasi. Salah
satu bentuk hasil dari negosiasi ini Dukungan pemerintah dalam upaya penang­
menghasilkan kesepakatan tertulis gu­langan HIV dan AIDS yang dilakukan oleh
dalam bentuk MoU antara dinkes dengan OMS bersifat langsung dan tidak langsung.
satpol PP tentang layanan tes HIV Dukungan langsung adalah sokongan
dan pemeriksaan IMS di lokasi, seperti yang dampaknya dapat dirasakan secara
yang terdapat di Yogyakarta. Advokasi langsung oleh OMS, berupa kebijakan
dimaknai sebagai aksi strategis dan pemerintah dalam bentuk peraturan daerah,
terpadu yang dilakukan oleh individu peraturan menteri, kesepakatan bersama
maupun kelompok untuk memberi atau bentuk kebijakan yang lain. Salah satu
masukan terhadap isu ataupun masalah kebijakan pemerintah tentang OMS tertuang
dalam UU No. 17 Tahun 2013 menyebutkan,
67) Untuk lembaga-lembaga yang menjadi anggota PKNI pemerintah memiliki kewajiban melakukan
dapat dilihat di http://korbannapza.org/id/aboutus

207
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

Tabel 14. Peran OMS dalam Penanggulangan HIV & AIDS

Periode Fokus Program Sasaran Peran MPI

Penyuluhan, ceramah, Masyarakat Pendidikan Ford Foundation untuk


kampanye melalui media umum, Komunitas penguatan kapasitas,
1987 – 1995

remaja dan dan pengembangan


perempuan media. UNDP untuk
kampanye pada
masyarakat umum.
USAID melalui HIV
AIDS Prevention Project
(HAPP) yang berfokus
untuk populasi remaja

Penyuluhan, WPS, LSL, Penyedia Global Fund, FHI, SUM,


1996 – 2007

penjangkauan, rujukan waria, Layanan HCPI.


rujukan tes HIV dan penasun
IMS, konseling, distribusi
kondom, sosialisasi
pencegahan, rujukan ARV
dan dukungan sebaya
bagi ODHA

Penyuluhan, WPS, LSL, Advokasi Global Fund, FHI, SUM,


penjangkauan, rujukan waria, HCPI, AFAO, Burnet
Setelah 2007

rujukan tes HIV dan penasun Indonesia, serta IPF


IMS, konseling, distribusi melalui KPAN.
kondom, sosialisasi
pencegahan, rujukan ARV
dan dukungan sebaya
bagi ODHA, pembentukan
jaringan populasi
terdampak untuk advokasi.

pemberdayaan ormas untuk meningkatkan turunan kebijakan di level nasional hingga


kinerja dan menjaga keberlangsungan daerah. Sebagai contoh Peraturan Daerah
hi­dup OMS melalui fasilitasi kebijakan, Provinsi Papua No. 8 Tahun 2010 tentang
pe­nguatan kapasitas kelembagaan dan Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia. AIDS. Dalam salah satu pasalnya yaitu
Fasilitasi kebijakan diwujudkan dalam bentuk pasal 19 menyebutkan bahwa LSM berhak

208
Sw asti Se m p u lu r

untuk mendapatkan bantuan anggaran dan masyarakat, yang menghambat ruang gerak
fasilitas dari pemerintah provinsi melalui KPA. OMS untuk melakukan intervensi pada
Di daerah lain pembiayaan yang berasal dari populasi yang terlokasi.
pemerintah bagi OMS muncul dalam bentuk
Dari uraian tersebut di atas dapat
dana hibah. Namun hibah ini tidak dapat
disimpulkan, pemerintah memiliki kewajiban
digunakan untuk pembiayaan operasional,
mendukung upaya yang dilakukan oleh OMS
serta tidak berlangsung terus menerus.
serta berkepentingan untuk memelihara
Kebijakan ini mengacu pada Permendagri
keberlangsungan OMS. Meskipun secara
Nomor 32 Tahun 2011 yang mengatur tentang
regulasi sudah ada, namun dari sisi
pemberian dana hibah dan bantuan sosial
implementasi baik di daerah maupun
yang bersumber dari APBD.
nasional belum dilakukan secara optimal,
Sementara itu, strategi penguatan termasuk yang mengatur secara spesifik
SDM OMS dilakukan dalam bentuk kursus tentang keberlangsungan pendanaan bagi
peningkatan keterampilan. Sebagai contoh OMS. Kajian ini menunjukkan bahwa bantuan
dalam kajian ini bentuk penguatan SDM OMS pendanaan bagi OMS bersifat sementara
dalam peningkatan keterampilan bagi WPS dan berjangka pendek.
serta pemberdayaan ekonomi bagi ODHA,
seperti di Yogyakarta (Kebaya), Sulawesi
Utara (LKKNU), Jawa Timur (Paramitra), 2. Mitra Pembangunan Internasional
Sumatera Utara (GSM), dan Bali (Spirit
Peran pendanaan yang bersumber MPI
Paramacita). Kajian ini menunjukkan pula
dalam penanggulangan HIV dan AIDS
bahwa penguatan manajemen kelembagaan
dimulai sejak pertama kali kasus HIV
justru belum banyak ditemukan. Penguatan
dan AIDS ditemukan di Bali. Seperti yang
seperti ini justru dilakukan secara mandiri 07
telah disebutkan sebelumnya, kemitraan
oleh lembaga.
pemerintah dengan MPI dilakukan melalui
Bentuk kemitraan yang lain tercermin kerjasama bilateral dan melalui kerjasama
pula dalam bentuk koordinasi OMS dengan multilateral. Dana hibah luar negeri untuk
pemerintah, seperti dinas kesehatan, dinas program HIV dan AIDS di Indonesia tidak
sosial dan KPAD, yang merupakan bagian bisa dilepaskan dari peran Global Health
dari kewajiban pemerintah untuk melakukan Initiaves (GHI) yang muncul sebagai respons
peran tersebut. Bahwa pemda wajib atas permasalahan kesehatan, khususnya
mengembangkan kemitraan dengan ormas di negara-negara berkembang. Inisiasi
sebagai bagian dari penguatan kapasitas kesehatan global memberikan manfaat untuk
kelembagaan. penanggulangan penyakit tertentu dengan
memobilisasi sumber dana dalam jumlah
Kebijakan pemerintah yang secara tidak
besar baik privat maupun pemerintah global
langsung dirasakan manfaatnya oleh OMS
(Biesma et al., 2009). MPI mengalokasikan
tecermin melalui perda penanggulangan
dana bagi OMS, mengingat peran OMS yang
AIDS yang menjadikan OMS secara
strategis untuk memperluas cakupan serta
leluasa untuk menjalankan kegiatannya,
mengisi kesenjangan intervensi program
meski perda tersebut tidak secara spesifik
yang tidak dapat dilakukan oleh sektor
mengatur tentang peran OMS. Di sisi yang
pemerintah.
lain, terdapat pula kebijakan yang justru
tidak mendukung peran OMS, yang kontra Global Fund di Indonesia memfokuskan
produktif dengan upaya penanggulangan pada penanggulangan tiga penyakit yakni
HIV dan AIDS, seperti perda larangan AIDS, TB dan malaria yang lebih dikenal
prostitusi dan perda pengaturan penyakit dengan GF ATM. Kerja sama Pemerintah

209
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

Indonesia dengan Global Fund dimulai Australia berfokus untuk penguatan sistem
pada tahun 2003, dengan pendanaan kesehatan melalui penyediaan layanan,
diperuntukkan mendorong perluasan peningkatan SDM kesehatan, serta
program penanggulangan HIV dan AIDS, penguatan sistem informasi kesehatan.
termasuk pengadaan ARV. Global Fund Selanjutnya melalui HCPI menyediakan
merupakan MPI yang mengalokasikan layanan untuk program harm reduction,
dana paling besar dalam program penang­ melalui pengadaan LASS dan mendorong
gulangan HIV dan AIDS untuk program pen­ terbentuknya kebijakan pemerintah untuk
ce­gahan dan PDP dengan total pendanaan program harm reduction.
sebesar USD 292,560,997, dengan dana
Ketiga MPI di atas merupakan MPI
yang diperuntukkan untuk OMS sebesar
yang banyak mendanai program-program
USD 23,806,006.68 Fokus area pendanaan
yang dijalankan oleh OMS. Masing-masing
Global Fund berada di 141 kabupaten/kota
memiliki strategi sendiri untuk menyalurkan
di 32 provinsi untuk memastikan intervensi
dana bantuannya. Namun rata-rata
layanan HIV dan AIDS yang luas.
mereka menggunakan pihak ketiga untuk
Sementara itu, bantuan pendanaan dari pengelolaannya. Pengelola dana USAID dan
USAID di Indonesia untuk bidang kesehatan Pemerintah Australia mengajukan proposal
melalui HAPP, ASA dan SUM diperuntukkan dengan program dan target yang sudah
menurunkan ancaman penyakit menular ditetapkan. Sementara mekanisme hibah dari
dan kematian, karena penyebab yang Global Fund diperoleh melalui pengajuan
dapat dicegah, salah satunya, adalah HIV proposal oleh Country Coordinating
dan AIDS. Program USAID di Indonesia Mechanism (CCM), yang dibentuk pemerintah
meliputi program kesehatan ibu dan anak, berisi perwakilan pemangku kepentingan,
TB, HIV dan AIDS, penyakit yang berpotensi termasuk OMS dan kelompok terdampak.70
pandemi, penyakit tropis yang terabaikan Laporan kegiatan menjadi dasar bagi Global
dan sanitasi, dengan total pendanaan Fund untuk pencairan dan berikutnya.
sebesar USD 60 juta pada tahun 2015.69 Sehingga, mau tidak mau, penerima bantuan
Dukungan pendanaan USAID dialokasikan harus “belajar” memberikan laporan yang
untuk Kementerian Kesehatan berupa baik menggunakan bentuk yang sudah
bantuan teknis mempercepat respons ditetapkan. Efisiensi dan efektivitas menjadi
epidemik melalui kegiatan layanan HIV salah satu ukuran bagi MPI untuk melihat
dan IMS, penelitian, bantuan teknis untuk keberhasilan investasi mereka. Sementara
pengembangan kebijakan seperti layanan ukuran terhadap efisiensi dan efektivitas
HIV komprehensif. Sementara dukungan lebih mudah dilakukan dengan penghitungan
bagi OMS berupa peningkatan kapasitas angka target. Hal ini yang kemudian
teknis dan organisasi untuk memperluas menjadikan penerima bantuan “sibuk”
penjangkauan layanan HIV dan AIDS. dengan pencapaian angka-angka dari
target yang ditetapkan oleh MPI sehingga
Bantuan MPI lainnya yang cukup
mengabaikan kualitas program.
signifikan adalah dari pemerintah Australia
sejak tahun 1995. Bantuan ini tersebut
diberikan melalui Indonesia HIV and AIDS
3. Jaringan OMS
Prevention and Care Project (IHPCP). Di
sektor kesehatan, pendanaan Pemerintah Jaringan diartikan sebagai hubungan
antara orang atau lembaga untuk
68) http://www.theglobalfund.org/en/portfolio/country/
list/?loc=IDN 70) http://www.theglobalfund.org/en/portfolio/country/
69) https://www.usaid.gov/id/indonesia/health list/?loc=IDN

210
Sw asti Se m p u lu r

melakukan kerjasama tanpa mengurangi aspirasinya. Kegiatan jaringan sifatnya


otonomi dari orang atau lembaga yang hanya koordinasi saja, tidak ada agenda
terlibat di dalamnya (Østergaard et yang tersusun secara sistematis dan
al., 2005). Keikutsertaan OMS dalam terencana, jaringan yang ada sifatnya ad
jaringan memberikan manfaat antara hoc dilakukan apabila diperlukan saja.
lain untuk membuka akses pendanaan, Bahkan jaringan daerah tidak aktif karena
sumber pengetahuan dan keterampilan, permasalahan pendanaan dan penerus
mengembangkan rujukan, memperluas relasi jaringan.
dengan pemerintah, serta menyuarakan “…Itulah mba ya mungkin karena lahan kerja sudah
kepentingan organisasi yang tengah nggak ada atau mitra kerja nggak ada funding sudah
diperjuangkan. Kegiatan-kegiatan tersebut nggak ada juga itu permasalahannya. Lagi-lagi
kesana lagi-lagi masalah klasik lah lah mba… Nah
pada akhirnya mampu memperkuat OMS jadi eee saya sudah sering mengatakan kepada
untuk menjalankan programnya. ketua forum bahwa coba bagaimana caranya
mengelola mengelola eee bermitra dengan instansi
“... Merasa manfaatnya [ jaringan] kami eee iya bisa pemerintah atau siapa saja kemudian di kelola
menyuarakan kepentingan anak dengan HIV itu bersama seperti itu. Nah tapi itu dalam perencanaan
masuk ke DPRD ke tokoh Medan dengan bantun nggak tahu kapan akan terealisasi seperti itu. Jadi
forum ini keanggotaan jaringan luas, kita punya kalau misalkan bicara efektif atau tidak itu saya
link yang lebih luas. Kami bikin seminar, workshop susah sekali untuk melakukan menilai itu tapi yang
begitu. Terus ada lagi setelah seminar itu kami minta saya lihat sendiri itu seperti itulah. Eee LSM-LSM disini
ada MoU antara ee Walikota dengan kami untuk itu sudah sudah lebih banyak ke masalah-masalah
isu pendampingan anak dengan HIV dan AIDS kami masalah ekonomi masalah politik dan sebagainya.
minta DPRD untuk fasilitasi gitu gitu. saya sih malah Sudah ditinggalkan misi utamanya dari awal yang
melihatnya eee cenderung itu akhirnya eeee mereka awalnya” (Wawancara tim peneliti PKMK FK UGM
mau menjadi fungsi control buat pemerintah, jadi dengan staf LSM di Sulawesi Utara, Maret 2015)
tanpa harus bergabung dengan mereka sebetulnya
bisa mendapatkan manfaat tapi kalo bergabung
dengan mereka, saya sejak awal dengan temen-
07
temen harus bijak berhadapan dengan pemerintah. 4. Konstituen
Kalo kami bersuara terlalu keras, eee sedangkan
ada apa-apa pemerintah itu misalnya soal obat Konstituen dalam kajian ini yang
gitu ya, itu ya saya ngak tahu apa di pandang ama
temen-temen forum tapi kami harus bijak berhadapan
dimaksudkan adalah beneficiaries atau
dengan pemerintah, kalo kami terlalu kritis gitu penerima manfaat dari program atau proyek,
kan sedangkan kami masih sangat membutuhkan yang lebih dikenal dengan kelompok
eee layanan yang difasilitasi oleh pemerintah..”
(Wawancara tim peneliti PKMK FK UGM dengan staf
sasaran. Konstituen, yang keterwakilannya
LSM di Sumatera Utara, Maret 2015). disuarakan oleh OMS, menentukan jenis
kegiatan atau bentuk layanan yang
Namun demikian OMS cukup
diperjuangkan. Pada umumnya, konstituen
selektif untuk menentukan keterlibatan
ini adalah bagian dari masyarakat yang
dalam jaringan, antara lain dengan
terdampak (waria dan pekerja seks yang
mempertimbangkan efek dan manfaat
mengalami diskriminasi layanan kesehatan).
dalam jaringan tersebut. Sebagian besar
Sebagian besar konstituen OMS pada isu
(70%) alasan OMS dalam penelitian ini
penanggulangan HIV dan AIDS berasal dari
menyatakan bahwa mereka bergabung
populasi kunci dan terbatas pada populasi
dengan jaringan adalah untuk memperkuat
umum.
program dan pendanaan. Sekitar 30%
dari OMS mengatakan hanya merasakan Oleh karena konstituen merupakan
manfaat pendanaan. bagian dari OMS yang diperjuangkan,
maka posisinya dianggap penting dalam
Sayangnya jaringan OMS, terutama di
organisasi, tidak hanya sebatas sebagai
level daerah, tidak berjalan dengan baik dan
sasaran kegiatan atau penerima manfaat,
kuat dalam upaya untuk menjadikan jaringan
tetapi menjadi bagian dari perencana
sebagai ruang bersama menyuarakan

211
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

arah kegiatan OMS dan peran yang akan Asumsi tersebut memaknai pula bahwa
dimainkan oleh OMS. Sebagian besar OMS tata kelola yang baik berelasi secara
telah melibatkan konstituennya melalui positif terhadap kinerja, efektivitas dan
pertemuan koordinasi hingga terlibat keberlangsungan. Penelitian ini menemukan
dalam penyusunan rencana strategis bahwa peran pemerintah belum tampak
lembaga, seperti di Bali (Yakeba, YCUI, Spirit nyata, terutama untuk penguatan lembaga
Paramacita), Sulawesi Utara (Batamang Plus), dan pelaksanaan kebijakan sebagai bagian
dan Jawa Timur (Orbit, Paramitra). Namun dari keberlangsungan.
pelibatan konstituen belum benar-benar
Sementara itu, melalui pendanaan
dioptimalkan, dalam artian pelibatan mereka
MPI secara nyata menunjukkan perannya
berlangsung secara insidental saja. Misalnya
dalam mempercepat peningkatan dalam
sebagai informan dalam pelaksanaan
pemberian layanan HIV dan AIDS dan
monitoring dan evaluasi atau di awal
memperbesar partisipasi pemangku
perencanaan program saja. Hal ini dialami
kepentingan, termasuk OMS karena posisi
oleh Yakeba (Bali) dan Orbit (Jawa Timur).
strategisnya. Bantuan akan memberikan
manfaat yang optimal, manakala terjadi
relasi yang baik antara penerima dan

F. pemberi dana (MPI). Namun di sisi yang lain


MPI juga memberikan pengaruh yang negatif
karena pendekatan MPI bersifat top down,
Keberlangsungan Peran OMS dalam artian perencanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi dikembangkan
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa oleh MPI. Model ini berefek negatif karena
OMS memegang peranan penting dalam mengalihkan fokus prioritas perencanaan
upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Peran pembangunan oleh pemerintah. Akibatnya
yang dilakukan telah membawa perubahan timbul ketergantungan bagi negara
yang bermakna, terutama untuk menjangkau penerima dana karena pemerintah hanya
dan mendorong populasi kunci dan menjadi pelaksana dari pendanaan yang
kelompok yang terpinggirkan kepada akses diinvestasikan MPI. Justru MPI menjadi
kesehatan. Efek peran OMS ini meningkatkan dominan untuk melakukan peran ini,
jumlah cakupan layanan kesehatan dengan meski terbatas pada upaya memperkuat
kegiatan rujukannya, mendorong populasi program yang diinvestasikannya. Berbagai
kunci untuk mengakses layanan, serta peningkatan kapasitas dilakukan oleh
mendorong kebijakan layanan yang mudah MPI terkait dengan upaya memperkuat
dijangkau dan peka terhadap kebutuhan pencapaian tujuan yang diharapkan. Dari
populasi kunci. Oleh karenanya, OMS perspektif MPI, meminimalkan risiko bantuan
memberikan kontribusi dalam pembangunan menjadi hal penting. Oleh karenanya,
kesehatan, sehingga keberlangsungannya menjadi penting pula bagi donor bagaimana
penting untuk dijaga. menjalin kemitraan dengan penerima dana
Penelitian ini mengasumsikan bahwa dengan sekecil mungkin menghindari risiko
keberlangsungan OMS ditentukan oleh tata kegagalan.
kelola yang baik, yang dipengaruhi oleh Jejaring OMS terbukti menunjukkan
faktor eksternal yakni peran pemerintah, MPI, dampak yang nyata untuk advokasi
jejaring OMS dan relasi dengan konstituen. perubahan kebijakan pemerintah. Hal ini
Tata kelola yang baik akan menghasilkan sejalan dengan kajian lain yang menyatakan
kinerja yang baik pula, sehingga berpotensi bahwa keberhasilan advokasi terkait erat
terhadap keberlangsungan organisasi.

212
Sw asti Se m p u lu r

dengan kekuatan jaringan (Mendizabal et daerah dalam pembiayaan OMS akan


al., 2006). Namun kenyataannya, kajian ini menjadi “ancaman” berkurangnya peran
menunjukkan bahwa jaringan yang terbentuk OMS dalam penanggulangan HIV dan
lebih bersifat spontan atau reaktif, untuk AIDS yang belum mampu diperankan oleh
menyikapi persoalan tertentu. Jaringan yang pemerintah.
ada tidak terkelola dengan baik, dalam
Kajian ini menunjukkan, landasan
artian belum ada mekanisme pengelolaan
organisasi yang dimiliki oleh OMS belum
SDM, keuangan, dan manajemen jaringan.
kuat, padahal fondasi ini menjadi dasar
Kondisi ini menunjukkan lemahnya
mengembangkan kemitraan dalam rangka
fungsi sebuah jaringan. Ketika jaringan
mengakses sumber pendanaan lain
tidak berfungsi dengan baik, maka akan
maupun sumber pendanaan mandiri. Hal
memberikan pengaruh tidak baik pula bagi
ini sejalan dengan apa yang disampaikan
penguatan OMS yang terlibat di dalamnya
dalam kajian lain yang menyatakan bahwa
dalam memperkuat program yang tengah
beberapa persoalan keberlangsungan
dilakukan (James et al., 2006).
bagi OMS adalah: (1) kesulitan mengakses
Tinjauan dari aspek tata kelola pendanaan; (2) kapasitas sumber daya
menunjukkan bahwa upaya OMS yang tidak memadai; (3) keterbatasan
meningkatkan kapasitas SDM-nya, sebagai dalam mengembangkan sistem monitoring
bagian penting dari penguatan organisasi, dan evaluasi; dan (4) belum ada koordinasi
ternyata masih lemah. Organisasi tidak jaringan yang tersistematis, sehingga
memiliki daya tawar dan daya ikat terhadap menghambat kemitraan (Birdsall et al., 2007).
SDM karena tidak dapat memberikan
jaminan keamanan finansial. Sementara

G.
dari aspek finansial, sumber keuangan 07
OMS menjadi sangat rentan dalam hal
keberlangsungan, karena mobilisasi
sumber pendanaan masih terbatas. Kajian Simpulan
ini menunjukkan pula bahwa sedikit OMS
yang memiliki sumber pendanaan yang Penelitian ini bertujuan mengetahui seberapa
banyak dan berkesinambungan atau jauh kapasitas OMS dalam melanjutan
mampu menjaring sumber pendanaan peran strategisnya dalam penanggulangan
bersumber dari pemerintah dan swasta. OMS HIV dan AIDS serta hambatan dan
menjadi lemah tanpa adanya sumber daya dukungan bagi OMS untuk menjawab
material yang mantap yang merupakan tantangan keberlangsungan peran dalam
hal kritis untuk memainkan peranan dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Dari uraian
pengembangan OMS (Reinman, 2006). di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Sebagian besar sumber pendanaan 1. Kapasitas OMS belum memadai, baik
OMS untuk program penanggulangan HIV dari sisi SDM maupun pengelolaan
dan AIDS berasal dari MPI, sementara kelembagaan. Hal ini menjadikan OMS
pendanaan ini tidak dapat memberikan tidak memiliki daya kreatif dan inovatif
jaminan keberlangsungan peran OMS. untuk mengembangkan organisasinya.
Adanya kecenderungan penurunan sumber Penguatan kapasitas individual lebih
pendanaan MPI ini belum diimbangi banyak dilakukan dalam rangka
dengan peran pemerintah pusat dan mendukung keberhasilan program
daerah mengantisipasi hal tersebut. Belum yang ditetapkan oleh MPI. Sementara
optimalnya peran pemerintah pusat dan penguatan kapasitas organisasional

213
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

justru belum mendapatkan perhatian dari sistem monitoring dan evaluasi; dan (4)
OMS. Landasan organisasi yang kuat belum ada koordinasi jaringan yang
menjadi dasar bagi OMS untuk memiliki tersistematis, sehingga menghambat
posisi tawar yang kuat dan membuka kemitraan.
peluang bagi kemandirian OMS untuk
Untuk menjawab tantangan tersebut
mengakses berbagai sumber pendanaan.
maka beberapa rekomendasi yang
2. Sebagian besar OMS memiliki diusulkan, sebagai berikut :
ketergantungan pada sumber pendanaan
1. Mengembangkan sumber-sumber
internasional (MPI) yang memberikan
pembiayaan bagi OMS melalui
pengaruh terhadap perubahan ideologi
penguatan kapasitas organisasi untuk
dan peran yang dilakukan oleh
mengembangkan desain program
OMS. Kepentingan pragmatis yang
yang tidak mengikat, semisal melalui
dilakukan oleh OMS semata-mata untuk
kemitraan dengan sektor swasta.
keberlangsungan lembaga, namun justru
Kemudian menggali dan memobilisasi
membuat mereka terjebak pada proyek
sumber pendanaan lain, baik lokal
yang sifatnya sementara dan kurang
maupun diversifikasi usaha, dengan
memperhatikan permasalahan konstituen
mengembangkan pola fundrising
yang sebenarnya. Kemitraan yang
melalui pengembangan unit usaha
terbangun semata-mata menempatkan
yang mendatangkan keuntungan bagi
OMS sebagai pelaksana proyek yang
lembaga, sehingga tidak tergantung
sudah ditetapkan desain dan target
dengan satu jenis sumber pendanaan
pencapaian programnya oleh MPI. Di sisi
lain, kebijakan pembiayaan dalam bentuk 2. Memperluas layanan, dalam arti bahwa
kemitraan pemerintah dengan OMS program yang dilakukan tidak terjebak
belum diimplementasikan optimal untuk pada kepentingan pragmatis, di mana
pembiayaan yang berkesinambungan, kepentingan kelompok yang lebih besar
terutama untuk pembiayaan program. tidak dapat dikompromikan dengan MPI.
OMS memiliki peran dan kontribusi Oleh karenanya, OMS perlu mengubah
yang besar dalam pembangunan strategi di mana program perlu
sektor kesehatan karena OMS adalah mendapatkan dukungan dan memberikan
bagian dari masyarakat yang dekat manfaat kepada banyak pihak, bukan
dengan masyarakat/konstituen/populasi hanya pada sekelompok tertentu,
kunci, sehingga sangat memahami dengan kata lain: program-program yang
permasalahan dan kebutuhan mereka. dilakukan tidak bersifat eksklusif. Hal ini
dilakukan dengan memperbesar cakupan
dan ruang lingkup OMS. Semakin besar

H.
cakupan dan ruang lingkupnya akan
membuka akses ke lembaga-lembaga
besar, implikasinya adalah memiliki posisi
Rekomendasi tawar dan akses dana.
3. Mengembangkan prinsip kesetaraan
Penelitian ini menunjukkan beberapa hal dalam kemitraan, dalam artian
yang masih menjadi tantangan bagi OMS masing-masing dapat menegosiasikan
untuk menjaga keberlangsungan, yakni (1) kepentingannya. MPI menempatkan OMS
kesulitan untuk mengakses pendanaan; (2) bukan hanya sebagai pelaksana program
kapasitas sumber daya yang tidak memadai; saja, akan tetapi memberikan ruang
(3) keterbatasan dalam mengembangkan

214
Sw asti Se m p u lu r

dan keleluasaan untuk berkontribusi pelayanan yang se­suai dengan kerangka


menentukan desain dan target yang kerja yang diatur dalam kontrak kerja.
sesuai dengan kemampuannya sehingga
tidak hanya sekadar mengejar target
semata, tetapi juga kualitas program.
Sementara bagi OMS juga perlu
D af t ar Pust aka
memperkuat kapasitasnya sehingga
Alawiyah, Tuti. “The NGO Sector in Indonesia: Context,
akan meningkatkan daya kritis dan Concepts and an Updated Profile Megan McGlynn
tidak memiliki keberpihakan yang semu Scanlon and.”
kepada pemberi dana. Alliance, ICASO, and AfriCASO. (2007) Coordinating with
Communities.
4. Memperkuat kapasitas lembaga yang Assadi, H., Dharmawan, A. H., & Adiwibowo, S. (2009).
dimaknai sebagai strategi lembaga “Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
di Tengah Kepentingan Donor”. Jurnal Sosiologi
dalam melaksanakan dan mencapai
Pedesaan, 3(2).
sasaran program. Penguatan kapasitas
Bappenas. “Peran Filantropi Untuk Keberlanjutan OMS”
lembaga dilakukan melalui peningkatan (2010). Diunduh melalui http://ditpolkom.bappenas.
keterampilan SDM dan organisasi untuk go.id/?dir=Kajian%20Ditpolkom/2)%20Peran%20
Filantropi%20Untuk%20Keberlanjutan%20OMS, pada
tujuan yang berkelanjutan. Penguatan
tanggal 30 Maret 2016
kapasitas lembaga yang dibutuhkan
Biesma, R. G., Brugha, R., Harmer, A., Walsh, A., Spicer,
tidak hanya semata pada keterampilan N., & Walt, G. (2009). “The effects of global health
untuk mengelola proyek saja, akan initiatives on country health systems: a review of the
evidence from HIV/AIDS control”. Health policy and
tetapi menjadikan lembaga/organisasi
planning, czp025.
yang memiliki tata kelola memadai Birdsall, K., Ntlabati, P., Kelly, K., Banati, P., Tshose,
serta kapasitas lembaga yang mumpuni. P., & Matsheke, T. (2007). Models for funding and
Penguatan kapasitas menjadi bagan dari coordinating community-level responses to HIV/AIDS. 07
Cadre: Johannesburg.
kegiatan yang dirancang oleh OMS.
Bonnel, R., Rodriguez-Garcia, R., Olivier, J., Wodon, Q.,
5. Memperkuat dan memperluas jaringan McPherson, S., Orr, K., & Ross, J. (2013). Funding
mechanisms for civil society: The experience of the
OMS melalui jaringan lintas isu atau
AIDS response. World Bank Publications.
lintas sektor, sehingga akan semakin Booth, W., & Morin, R. (1996). Assessing Organizational
memperkuat OMS untuk memenuhi Capacity Through Participatory Monitoring and
kebutuhan konstituennya maupun Evaluation.
memperkuat OMS dalam melakukan Correll, D. (2008). Can Aid be Effective without Civil
Society? The Paris Declaration, the Accra Agenda for
advokasi kepada pemangku kepentingan. Action and Beyond.
Dengan kata lain, jaringan lintas isu akan Eade, Deborah & Oxfam UK & Ireland (1997). Capacity-
memperkuat OMS dalam relasi secara building: an approach to people-centred
vertikal maupun horizontal. Sementara development. Oxfam (UK and Ireland); Atlantic
Highlands, N.J. : Humanities Press International
dari sisi anggota jaringan juga perlu [distributor], Oxford
memastikan kebutuhan sumber daya National AIDS Commission. (2014). Final Report Indonesia
lembaga, sehingga kemitraan OMS HIV Control Program: An Institutional Analysis. NAC:
dengan jaringan tetap terpelihara. Jakarta.
Ghaus-Pasha, A. (2005, May). Role of civil society
6. Pemerintah daerah perlu mengem­bang­ organizations in governance. In 6th global forum on
kan peluang pendanaan bagi OMS me­ reinventing government towards participatory and
transparent governance (hal. 24-27).
lalui mekanisme mengontrak LSM untuk
Hartwig, K. A., Humphries, D., & Matebeni, Z. (2008).
menjalankan fungsi yang tidak mampu Building capacity for AIDS NGOs in southern Africa:
dija­lankan oleh pemerintah. Dalam hal evaluation of a pilot initiative. Health promotion
ini Pem­da dapat memberikan penugasan international, 23(3), 251-259.
yang spe­sifik LSM untuk memberi

215
Pe r a n O r ganis as i M as yar aka t Sip il (OMS) d ala m Pen a n g g u la n g an HIV & A ID S

Hossain, F., Ulvila, M., & Newaz, W. (Ed.). (2000). Learning Steiss, A. W. (Ed.). (2003). Strategic management for public
NGOs and the dynamics of development partnership. and nonprofit organizations. CRC Press.
Ahsania Books. VanSant, J. (2003, October). Challenges of local NGO
James, R., & Malunga, C. (2006). Organisational sustainability. In Keynote remarks prepared for the
challenges facing civil society networks in Malawi. USAID/PVC-ASHA Annual PVO Conference (Vol. 14).
KM4D Journal. VanSant, J. (2000). A composite framework for assessing
Lee, K. (2010). Civil society organizations and the functions the capacity of development organizations. Prepared
of global health governance: what role within for USAID. Available online at http://www. g-rap. org/
intergovernmental organizations? docs/ICB/USAid, 202000.
Mendizabal, E., Osborne, D., & Young, J. (2006). Policy World Health Organization. (2001). Strategic alliances: The
engagement: How civil society can be more effective. role of civil society in health. Civil Society Initiative,
Østergaard, L. R., & Nielsen, J. (2005). “ network or not to Discussion Paper, 1.
network: NGO experiences with technical networks”. World Health Organization.(2006) The Essential Role of
Aidsnet, Copenhagen, Denmark. Accessed, 16(03), Civil Society, Chapter 9 in Global 2006 Report. http://
2007. www.who.int/hiv/mediacentre/2006_GR_CH09_
PPH Atmajaya. (2015) Pengaruh Global Health Initiative en.pdf
Terhadap Keberadaan dan Peran Organisasi
Masyarakat Sipil dalam Pengendalian HIV di Web site
Indonesia.
http://www.theglobalfund.org/en/portfolio/country/
Reimann, K. D. (2006). “A view from the top: International list/?loc=IDN
politics, norms and the worldwide growth of NGOs”.
International Studies Quarterly, 50(1), 45-67. https://www.usaid.gov/id/indonesia/health

Salomon, L. (1994). “The Rise of the Non-Profit Sector”. http://ditpolkom.bappenas.go.id/?dir=Kajian%20


Foreign Affairs. Vol. 73, No. 4, July-August, hal. 109- Ditpolkom/2)%20Peran%20Filantropi%20Untuk%20
122 Keberlanjutan%20OMS

Spicer, N., Harmer, A., Aleshkina, J., Bogdan, D.,


Chkhatarashvili, K., Murzalieva, G., ... & Walt, G.
(2011). “Circus monkeys or change agents? Civil
society advocacy for HIV/AIDS in adverse policy
environments”. Social Science & Medicine, 73(12),
1748-1755.

216
07

217
Penutup

Simpulan Umum kunci yang dilaksanakan oleh organisasi


masya­rakat sipil bisa terus memberikan
Artikel-artikel yang disajikan dalam buku pelayanannya?
ini beranjak pada sebuah pemahaman di
mana penanggulangan HIV dan AIDS di Berbagai pertanyaan ini pada
Indonesia, yang secara historis merupakan dasarnya berujung pada kekhawatiran
bagian program yang dimulai oleh Inisiatif terhadap efektivitas, efisiensi, dan
Kesehatan Global untuk merespons mun­ keberlangsungan penanggulangan HIV
cul­nya epidemi, khususnya di berbagai dan AIDS di Indonesia pasca berkurang
negara-negara berkembang. Program pe­ atau berhentinya inisiatif global dalam
nang­gu­lang­an HIV dan AIDS dalam kurun beberapa waktu ke depan. Untuk itu
30 tahun ini terus berubah seiring dengan muncul berbagai pemikiran dan keputusan
pa­sang surutnya pendanaan dari mitra pem­ tentang pentingnya mengintegrasikan
ba­ngun­an internasional pada satu sisi dan penanggulangan AIDS ke dalam sistem
tum­buhnya pendanaan domestik baik secara kesehatan. Diyakini bahwa integrasi ke
na­sional maupun sub-nasional pada sisi dalam sistem kesehatan merupakan kunci
yang lain. untuk menjamin keberlangsungan, efektivitas
dan efisiensi penanggulangan HIV dan AIDS
Skema penanggulangan HIV dan AIDS di masa depan. Dalam berbagai dokumen
yang mengandalkan dukungan bantuan luar kebijakan dan program penanggulangan
negeri yang cukup besar ini menimbulkan HIV dan AIDS di Indonesia baik pada tingkat
ke­khawa­tiran apakah hasil-hasil yang nasional maupun sub-nasional, secara
te­lah dica­pai saat ini bisa dipertahankan eksplisit ataupun implisit, menyatakan
jika ban­tuan dari luar negeri berhenti atau bahwa integrasi merupakan strategi pokok
ber­kurang secara signifikan? Apakah ka­ yang perlu dilakukan untuk memperkuat
pasitas pemerintah, baik nasional maupun efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan dari
dae­rah, adekuat untuk mengelola program penanggulangan HIV dan AIDS.
penang­gulangan HIV dan AIDS ketika mitra
pembangunan internasional dengan ”school Dalam rangka mengkaji seberapa jauh
of thought”-nya masing-masing mening­gal­ tingkat integrasi penanggulangan HIV dan
kan Indonesia? Atau bagaimana program AIDS ke dalam sistem kesehatan, secara
pro­mosi dan pencegahan HIV pada populasi substantif, ada empat pertanyaan dasar

218
yang telah dijawab oleh artikel-artikel Alasan Integrasi
yang disajikan dalam buku ini, yaitu: (1)
‘mengapa integrasi dilakukan?’; (2) ‘apa yang Oleh karena integrasi menuntut kesepakatan
diintegrasikan?’; (3) ‘bagaimana integrasi bisa pengaturan dari berbagai pihak dengan
dilakukan?’ dan (4) ‘model integrasi seperti kepentingan berbeda, maka interaksi antar
apa yang diharapkan?’ Masing-masing artikel pihak tersebut secara normatif menjadi
dalam buku ini telah berupaya menjawab penentu terjadinya integrasi antara

Pe nu t u p
ketiga pertanyaan tersebut dengan program penanggulangan HIV dan AIDS
fokus analisis yang berbeda-beda untuk dengan program kesehatan secara umum.
menyajikan perspektif yang lebih beragam. Bahkan di antara pihak di dalam program
penanggulangan ini juga terdapat interaksi
Secara garis besar, semua artikel yang mendukung atau menghambat
menyoroti bahwa hingga saat ini program pengintegrasiannya ke dalam sistem
penanggulangan HIV dan AIDS masih kesehatan. Dengan demikian respons
bersifat vertikal di mana peran mitra penanggulangan HIV dan AIDS pada
pembangunan internasional, yang bekerja dasarnya merupakan arena kontestasi antar
melalui pemerintah maupun organisasi aktor dan kepentingannya.
non-pemerintah, masih sangat dominan
dalam mengarahkan dan menentukan Ada beberapa kontestasi yang
strategi penanggulangan HIV dan AIDS bisa diidentifikasi dalam respons
di tingkat nasional dan daerah. Arsitektur penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu
penanggulangan HIV dan AIDS yang pertama, kontestasi antara pendekatan
demikian ini telah berimplikasi pada vertikal, yang mengandalkan pengendalian
kapasitas daerah yang terbatas baik pemda teknis yang terpusat dan ketat,
maupun organisasi non-pemerintah untuk dengan pendekatan horizontal, yang
menanggapi epidemi di daerahnya masing- mengandalkan pendekatan multisektoral
masing. Berikut ini disajikan beberapa topik dan terdesentralisasi. Kontestasi ini juga
pokok yang digambarkan oleh artikel- termasuk tentang kepemilikan informasi
artikel dalam buku ini terkait dengan tiga strategis dari program penanggulangan yang
pertanyaan mendasar tentang integrasi. terkonsentrasi pada pemain di tingkat pusat,
sementara pengumpulan datanya dilakukan
di tingkat daerah. Ini menjadi kontestasi

219
Pe n u t u p

yang umum terjadi jika program “... semua artikel menunjukkan situasi yang
tersebut diinisiasi oleh pusat menyoroti diharapkan karena respons
termasuk dalam pendanaannya. bahwa hingga kelembagaan dan kebijakan ini
Pusat yang memegang kendali memadai, hal yang bisa dilihat
saat ini program
administratif sementara daerah dari banyaknya peraturan
penanggulangan
berfungsi sebagai pelaksananya. pemerintah di tingkat daerah
Kontestasi yang juga tampak HIV dan AIDS dan pusat yang menginginkan
jelas adalah pada tingkat masih bersifat terjadinya integrasi. Beberapa
operasional di mana pihak yang vertikal di mana peraturan ini antara lain:
memiliki dana program memiliki peran mitra SRAN, Peraturan Kemenkes
school of thoughts berbeda, pembangunan tentang penanggulangan
yang seringkali bertentangan internasional, yang AIDS dan berbagai pedoman
satu dengan yang lain lantaran intervensi yang menjadi
bekerja melalui
perbedaan asumsi dasar turunannya seperti LKB atau
pemerintah
pendekatan yang dianutnya. SUFA, perda hingga regulasi
Implikasi dari hal ini adalah maupun organisasi yang bersifat administratif (e.g.
terjadinya kebingungan pada non-pemerintah, regulasi yang dikeluarkan oleh
tingkat pelaksana program masih sangat Kementerian Dalam Negeri,
di lapangan karena mereka dominan dalam Bappenas atau Kementerian
terikat dengan pendekatan mengarahkan Keuangan). Sayangnya,
dari sumber pendanaan dari dan menentukan respons kelembagaan dan
program yang dilaksanakan. kebijakan ini tidak didukung
strategi
Akibat beragamnya kontestasi oleh kapasitas implementasi
penanggulangan
ini jelas menjadi tantangan yang memadai, misalnya dalam
terjadinya kesepakatan yang HIV dan AIDS di hal mobilisasi pembiayaan dan
bisa mendorong integrasi tingkat nasional sumber daya manusia, kurang
penanggulangan HIV dan dan daerah. berjalannya koordinasi antar
AIDS ke dalam sistem Arsitektur pihak, tidak sinkronnya sistem
kesehatan secara penuh penanggulangan informasi, ketidaksesuaian
karena, secara ekonomi politik, HIV dan AIDS yang dalam penyediaan, distribusi
komitmen untuk berintegrasi dan pemanfaatan obat dan alat
demikian ini telah
akan menjadi berisiko dan kesehatan atau pelibatan yang
berimplikasi pada
merugikan pihak-pihak yang minimal dari populasi kunci
selama ini berkepentingan dan kapasitas daerah dan masyarakat sipil dalam
menguasai sumber daya dalam yang terbatas baik pengembangan kebijakan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. pemda maupun regulasi.
organisasi non-
Integrasi penanggulangan
HIV dan AIDS ke dalam sistem pemerintah untuk
kesehatan juga memungkinkan menanggapi Dimensi dan Tingkat
terjadi jika ada komitmen politik epidemi di Integrasi
baik di tingkat nasional maupun daerahnya masing- Integrasi kebijakan dan program
daerah, yang tampak dalam masing.” penanggulangan HIV dan AIDS
pengembangan kebijakan ke dalam sistem kesehatan
dan regulasi yang mendukung berfokus pada seberapa jauh
upaya integrasi tersebut. fungsi program HIV dan AIDS
Jika dilihat dari hal ini, maka bisa menyesuaikan dengan
komitmen politik tersebut sudah

220
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

pelaksanaan fungsi sistem kesehatan integrasi, antara lain: (1) Dominannya peran
di daerah tersebut. Hal ini bisa dilihat mitra pembangunan internasional sebagai
dari 18 dimensi pengukuran integrasi sumber pembiayaan pencegahan HIV
yang mencakup fungsi manajemen dan dan AIDS yang menyebabkan rendahnya
regulasi, pembiayaan, pengaturan sumber komitmen secara programatik maupun
daya manusia, penyediaan obat dan alat finansial dari pemerintah pusat dan daerah;
kesehatan, pengelolaan informasi strategis, (2) Lemahnya kewenangan administratif
penyediaan layanan dan pengelolaan dari penanggung jawab kesehatan
partisipasi masyarakat. daerah untuk menentukan perencanaan
dan penganggaran untuk pencegahan
Secara umum terlihat bahwa
HIV dan AIDS; (3) Desentralisasi hanya
pelaksanaan fungsi program
terjadi untuk pelaksanaan kegiatan
penanggulangan HIV dan AIDS berjalan
sementara desentralisasi pembiayaan
paralel dengan pelaksanaan fungsi sistem
belum terjadi karena domain pembiayaan
kesehatan secara umum. Pada program
penanggulangan HIV dan AIDS masih
promosi dan pencegahan, dari 18 dimensi,
urusan pusat (donor dan pemerintah pusat),
ternyata yang menunjukkan tingkat
sehingga mekanisme pembiayaan program
integrasi yang lebih tinggi hanya pada dua
menjadi sulit untuk diintegrasikan dengan
dimensi, yaitu dimensi regulasi dan dimensi
mekanisme pembiayaan kesehatan pada
penyediaan layanan. Tingkat integrasi yang
umumnya di daerah; (4) Lemahnya kapasitas
seperti ini konsisten dengan kecenderungan
perencanaan daerah karena tidak didukung
bahwa respons penanggulangan HIV dan
ketersediaan bukti (evidence) atau informasi
AIDS bersifat normatif, melalui respons
strategis di tingkat daerah dan kapasitas

Pe nu t u p
kelembagaan dan produksi kebijakan dari
SDM untuk perencanaan yang masih lemah;
pada respons yang bersifat implementatif.
(5) Adanya karakteristik dan mekanisme
Sementara itu pada program perawatan
pengelolaan SDM di program promosi dan
dan pengobatan ARV, integrasi yang lebih
pencegahan yang berbeda dari sistem
tinggi pada tingkat penyediaan pelayanan
kepegawaian yang ada di dalam sistem
karena, pada dasarnya, berbagai program
kesehatan, sehingga menjadi tantangan
penanggulangan HIV dan AIDS saat ini
besar dalam pengaturan, pembiayaan
bertumpu pada layanan kesehatan dasar,
dan memperkuat standar kompetensinya;
dengan puskesmas dan dinkes sebagai
(6) Munculnya berbagai kebijakan
ujung tombak pelayanan kesehatan
kontraproduktif terhadap HIV dan AIDS
masyarakat. Meski demikian, integrasi pada
seperti perda ketertiban umum, anti maksiat
tingkat layanan ini tidak berarti bahwa
atau prostitusi, pariwisata atau kebijakan
mereka memiliki kewenangan mengelola
penutupan lokalisasi/lokasi transaksi seks;
secara teknis dan administratif program yang
dan (7) Lemahnya partisipasi publik di
dikelolanya, karena desain dan manajemen
daerah dalam pengembangan kebijakan dan
program sudah ditentukan oleh pusat.
program di wilayahnya.
Integrasi tidak terjadi baik pada
program pencegahan maupun perawatan
dan pengobatan ARV pada fungsi-fungsi Hasil Integrasi
pembiayaan, penyediaan obat dan alat
kesehatan, pengelolaan sumber daya Artikel yang disajikan dalam buku ini belum
manusia, informasi strategis dan partisipasi memberikan simpulan yang konsisten
masyarakat. Beberapa hal yang diduga terhadap pengaruh integrasi terhadap
menjadi faktor yang menghambat terjadinya efektivitas program penanggulangan HIV
dan AIDS, baik intervensi promosi dan

221
Pe n u t u p

pencegahan maupun perawatan dan puskesmas dan RSUD merupakan fasyankes


pengobatan HIV di tingkat daerah. Dalam yang memang dipersiapkan untuk menjadi
program pencegahan HIV, yang tampak pusat layanan pengobatan dan perawatan.
pada intervensi PMTS pada WPS, Intervensi Meski ini berjalan ketika sumber dana,
LSL, dan LASS yang dianalisis menunjukkan sumber daya manusia, penyediaan obat dan
bahwa target cakupan program sebesar alat kesehatan serta pengelolaan informasi
80% yang digunakan sebagai indikator strategis tetap ditentukan secara vertikal dan
menentukan efektivitas program belum bersifat paralel dengan sistem kesehatan
bisa dicapai. Analisis integrasi pada ketiga yang berlaku. Tidak terintegrasinya fungsi-
intervensi tersebut menunjukkan bahwa fungsi program ke dalam sistem kesehatan
fungsi-fungsi program masih berjalan dengan demikian kurang menunjukkan
paralel dengan fungsi program kesehatan implikasinya pada cakupan program yang
secara umum. Karakteristik intervensi yang rendah, tetapi justru cakupan programnya
berfokus pada perubahan perilaku dan cukup tinggi, yang tentu saja berbeda
norma sosial menjadi salah satu faktor yang dengan premis awal, bahwa cakupan yang
diidentifikasi menghambat pelaksanaan tinggi merupakan konsekuensi atas tingkat
intervensi ini di lapangan. Demikian pula, integrasi yang lebih tinggi. Jika ini ditelusuri
sejumlah peraturan atau kesepakatan di maka tingginya cakupan ini bisa dilihat dari
tingkat daerah yang tidak kondusif terhadap dua sisi: (1) perawatan dan pengobatan
penjangkauan kelompok populasi kunci juga merupakan peran utama dari sektor
menjadi hambatan yang lain. Terbatasnya kesehatan (apalagi layanan ditempatkan
dukungan dan keterlibatan sektor kesehatan di puskesmas dan RSU) sehingga menjadi
dalam intervensi pencegahan ini juga bagian dari pelayanan kesehatan pada
menjadi hambatan meningkatkan cakupan umumnya; (2) pasien yang memperoleh ART
karena secara tradisional sektor kesehatan adalah mereka yang telah mengikuti tes HIV
lebih ‘memilih’ intervensi yang bersifat medik. di fasyankes tersebut sehingga lebih mudah
Selain itu, stigma terhadap perilaku populasi didorong untuk memperoleh perawatan dan
kunci menjadi isu lain yang seringkali pengobatan; dan (3) target perawatan dan
menjadi hambatan dalam mengenali pengobatan yang rendah karena didasarkan
dan meningkatkan cakupan program. pada jumlah ODHA yang mengikuti tes HIV
Berdasarkan kompleksitas intervensi bukan pada jumlah estimasi ODHA.
yang demikian ini, menjadi tidak mudah
Secara metodologi, berbagai artikel yang
menyimpulkan bahwa fungsi-fungsi program
disajikan di depan tidak dirancang untuk
yang belum terintegrasi ke dalam sistem
menjawab pertanyaan tentang pengaruh
kesehatan sebagai penyebab rendahnya
tingkat integrasi dengan keberlangsungan
cakupan ketiga intervensi tersebut.
program penanggulangan HIV dan AIDS
Intervensi perawatan dan pengobatan di masa depan, sehingga tidak bisa
ARV menunjukkan kecenderungan yang menentukan sifat atau bentuk pengaruhnya.
menarik, di mana cakupan program sudah Semua artikel yang disajikan lebih
mencapai 80%, tetapi secara umum belum menunjukkan beberapa skenario, potensi,
terintegrasi sepenuhnya dengan sistem atau hambatan yang mungkin terjadi jika
kesehatan yang berlaku, meski dimensi- terjadi integrasi atau tidak penanggulangan
dimensi dalam intervensi ini sedikit lebih HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di
terintegrasi dibanding dengan intervensi tingkat daerah di masa mendatang, ketika
pencegahan. Situasi ini bisa dipahami karena makin berkurangnya sumber pendanaan
dimensi-dimensi yang lebih terintegrasi dari luar negeri dan meningkatnya komitmen
adalah pada penyediaan layanan, di mana untuk melakukan desentralisasi kesehatan

222
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

sesuai amanat UU No. 23 Tahun 2014. pemberdayaan komunitas. Setiap komponen


Semua artikel menggarisbawahi pentingnya ini dilengkapi dengan skenario tingkat
peran pemda yang lebih besar agar bisa integrasi (coordinated, co-located, integrated)
mengintegrasikan penanggulangan HIV yang disesuaikan dengan konteks di mana
dan AIDS di daerahnya masing-masing, intervensi ini dilaksanakan.
sehingga dapat menjamin keberlangsungan
Model yang diusulkan pada dasarnya
program yang lebih besar di masa depan.
tidak memandang integrasi sebagai sebuah
Hal ini mempertimbangkan bahwa ada
tujuan, melainkan sebagai metode untuk
berbagai potensi sumber pembiayaan yang
menghasilkan layanan yang dapat diakses,
bisa digali dari daerah untuk menggantikan
berkeadilan, dan juga memenuhi kebutuhan
sumber pendanaan yang berasal dari
dasar semua pihak, dan, tentunya,
pusat. Penguatan sistem perencanaan,
berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa integrasi
pembiayaan, dan tata kelola program di
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
tingkat daerah menjadi hal-hal yang perlu
sistem kesehatan perlu disesuaikan dengan
diperhatikan oleh Kementerian Kesehatan,
kebutuhan pengguna layanan, kebutuhan
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional,
organisasi pemberi layanan, situasi epidemi
maupun oleh pemerintah daerah itu sendiri.
dan fungsi-fungsi sistem kesehatan yang
Model Integrasi berlaku. Dengan mengidentifikasikan
komponen beserta skenario integrasi yang
Untuk menggambarkan tentang bentuk mungkin bisa dilakukan, maka upaya untuk
integrasi dan kebijakan operasional yang memperkuat PMTS di tingkat layanan primer
mendukung, satu artikel telah menyajikan dapat berkontribusi lebih besar pada upaya
sebuah permodelan intervensi atau layanan

Pe nu t u p
penanggulangan epidemi HIV baik dari sisi
yang terintegrasi di tingkat layanan dasar efektivitas maupun keberlanjutannya.
(primer). Layanan primer dipilih sebagai
model layanan, karena dalam sejarahnya,
peran layanan primer di Indonesia, terutama
Rekomendasi
puskesmas dalam memberikan pelayanan
yang melibatkan masyarakat dan sektor Simpulan di atas telah menunjukkan integrasi
non-kesehatan telah berjalan cukup baik kebijakan dan program penanggulangan
dan berhasil memicu munculnya beberapa HIV dan AIDS belum sepenuhnya terwujud
best practice kerjasama lintas sektor dan dalam fungsi-fungsi utama sistem
integrasi layanan. Sementara itu, intervensi kesehatan. Dinamika faktor eksternal yang
Pencegahan Melalui Transmisi Seksual tampak dalam interaksi antar aktor dalam
(PMTS) dipilih sebagai model layanan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat
yang terintegrasi berdasarkan strategisnya nasional maupun daerah, komitmen politik
intervensi ini dalam menjawab tantangan yang berubah-ubah, hukum dan regulasi
epidemi HIV di Indonesia. yang seringkali berbenturan dengan
kepentingan penanggulangan HIV dan
Berdasarkan metode delphi dalam
AIDS serta karakteristik dari permasalahan
pengembangan modelnya maka diperoleh
HIV dan AIDS sendiri yang multisektoral,
kesepakatan bahwa komponen PMTS,
ternyata menjadi faktor-faktor penting yang
mencakup (1) pengadaan dan distribusi
perlu dipertimbangkan untuk mewujudkan
kondom; (2) manajemen IMS termasuk
integrasi tersebut. Konsep integrasi yang
sirkumsisi; (3) pencegahan berbasis ART
sudah dicita-citakan dalam berbagai
termasuk perluasan tes HIV; (4) penguatan
dokumen penanggulangan HIV dan AIDS
peran lintas sektor di tingkat layanan
selama ini ternyata masih bersifat normatif
primer; dan (5) pendidikan kesehatan dan

223
Pe n u t u p

dan jauh dari implementasinya, karena fungsi-fungsi programatik dan kinerja


adanya faktor-faktor eksternal tersebut. program. Hasil pemetaan ini bisa
Tidak mengherankan jika capaian-capaian digunakan sebagai dasar untuk
program yang tampak dalam cakupan tidak menentukan peran-peran pemerintah
konsisten dengan tingkat integrasi yang pusat, provinsi, dan kabupaten/kota,
terjadi. termasuk juga pembagian tanggung
jawab pembiayaan.
Artikel-artikel yang disajikan dalam
buku ini, selain menunjukkan hambatan dan • Kebijakan yang bersifat petunjuk
tantangan dalam mengupayakan integrasi, operasional perlu dikembangkan oleh
juga mengidentifikasi beberapa hal yang pemerintah pusat agar memudahkan
bisa dilakukan untuk mengoptimalkan daerah dalam melaksanakan
upaya integrasi kebijakan dan program kebijakan-kebijakan pusat, misalnya
penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam pembentukan dan pendanaan
sistem kesehatan. Beberapa hal yang KPAD, pembagian tanggung jawab
direkomendasikan ini tetap berpegang dalam penyediaan obat dan alat
pada keyakinan bahwa dalam situasi kesehatan, pengelolaan SDM tenaga
program yang masih menggantungkan non-kesehatan, dan lain-lain. Ini
pada dukungan finansial dan teknis inisiatif menjadi penting karena daerah bisa
kesehatan global, integrasi merupakan memiliki legitimasi dan panduan
strategi yang tepat untuk meningkatkan aturan pelaksanaan yang jelas
efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan untuk merencanakan dan mengelola
program HIV dan AIDS di masa depan, program penanggulangan HIV dan
dengan mempertimbangkan tingkat AIDS secara lebih leluasa melalui
integrasinya pada setiap layanan/intervensi mekanisme penganggaran di APBD.
yang paling mungkin. Beberapa rekomendasi
2. Memberikan mandat kepada MPI
tersebut adalah sebagai berikut:
agar mengacu pada grand design
penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia seperti yang digambarkan
A. Fungsi kebijakan dan regulasi
dalam SRAN.
1. Penguatan fungsi pemerintah daerah
Perlu kesepakatan dan kesepahaman
dalam penanggulangan HIV dan AIDS
bersama di antara pemerintah dan MPI
dengan mengacu pada UU 23/2014.
untuk menggunakan SRAN sebagai
• Sebuah road map tentang dasar pengembangan dan pelaksanaan
pembagian wewenang, peran, program yang dilaksanakan oleh MPI
serta tanggung jawab yang jelas termasuk kesatuan dalam tata kelola dan
antara aktor yang ada di pusat dan manajemen program yang dilaksanakan
daerah dalam penanggulangan di tingkat lapangan. Ini dimaksudkan agar
HIV dan AIDS perlu disusun sesuai sinergi antar komponen penanggulangan
dengan prinsip desentralisasi AIDS mampu memperkuat sistem
kesehatan yang berlaku. Road map kesehatan yang ada.
ini dikembangkan berdasarkan
3. Memperkuat peran dan kelembagaan
pemetaan yang mencakup jenis
KPAD dalam penanggulangan HIV dan
program (pencegahan, perawatan
AIDS di daerah.
dan pengobatan, mitigasi dampak),
status program saat ini (lingkup KPAD perlu diperkuat mandatnya sebagai
program dan aktivitas), pelaksanaan lembaga yang mengoordinasikan

224
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

perencanaan, pelaksanaan hal ini, penting mengintegrasikan


dan monitoring, serta evaluasi pembiayaan penanggulangan HIV
penanggulangan HIV dan AIDS di dan AIDS, khususnya yang berasal
daerah. Penguatan ini menuntut adanya dari inisiatif kesehatan global ke
pemberian kewenangan yang lebih besar dalam APBN atau APBD.
dari pemda, baik secara politik maupun
• Pada sisi yang lain, pemerintah
finansial, agar mampu melakukan fungsi
baik secara nasional maupun
koordinasi.
sub-nasional dapat meningkatkan
4. Dikembangkannya regulasi dan komitmen alokasi pembiayaan
peraturan operasional di tingkat daerah program pencegahan karena sampai
yang mampu memberi payung hukum saat ini sekitar 90% pendanaan
bagi kegiatan penanggulangan HIV dan domestik dialokasikan untuk program
AIDS. perawatan dan pengobatan.
Komitmen pemda harus ditunjukkan • Menggali sumber dana yang
dalam bentuk regulasi yang lebih berpotensi mendukung pembiayaan
mengikat. Hal ini dapat diwujudkan penanggulangan HIV dan AIDS harus
dalam bentuk kebijakan daerah dilakukan oleh pemerintah pusat
misalnya peraturan bupati/walikota dan daerah, misalnya alokasi dari
tentang program AIDS, yang mencakup pajak pariwisata, hiburan, konstruksi
pelaksanaan PMTS, LASS, PTRM, LKB, atau pertambangan. Demikian pula
PPIA, IMS dan ART. Sehingga pemda pendanaan dari Corporate Social
secara manajerial bertanggungjawab Responsibility (CSR) yang dapat

Pe nu t u p
terhadap pelaksanaan kegiatan digunakan untuk melaksanakan
yang tercermin dalam pembiayaan, kegiatan penanggulangan HIV dan
penyediaan sumber daya manusia, dan AIDS di wilayah kerja perusahaan
infrastruktur. Regulasi ini bisa diwujudkan dalam sektor-sektor terkait menjadi
dalam kebijakan teknis yang dikeluarkan sumber yang tidak bisa diabaikan.
oleh Kepala Dinas Kesehatan atau
2. Memperkuat kapasitas dalam
Kepala KPA (Bupati/Wakil Bupati) jika
perencanaan dan penganggaran
menyangkut lintas sektor.
penanggulangan HIV dan AIDS sesuai
dengan Layanan Komprehensif dan
Berkelanjutan (LKB).
B. Fungsi pembiayaan
Perencanaan dan anggaran
1. Mengintegrasikan sumber-sumber
penanggulangan HIV dan AIDS selama
pendanaan penanggulangan HIV dan
ini didominasi oleh pusat (pemerintah
AIDS sebagai bagian sumber-sumber
pusat atau MPI), sehingga kapasitas
pembiayaan kesehatan pada umumnya.
daerah melakukan perencanaan menjadi
• Sumber pembiayaan sangat terbatas. Untuk itu, penguatan
penanggulangan HIV dan AIDS kapasitas dalam perencanaan dan
yang dikelola secara paralel penganggaran menjadi hal mendasar
dengan pembiayaan kesehatan bila mengharapkan pemda mampu
telah menimbulkan dampak mengalokasikan dan mendistribusikan
pada pengelolaan program yang dana yang tersedia untuk kebutuhan
paralel dengan program kesehatan penanggulangan HIV dan AIDS sesuai
secara umum. Untuk mengurangi dengan konsep LKB. Secara politik, hal

225
Pe n u t u p

ini akan terjadi jika ada regulasi yang status kependudukan mereka yang
mampu memberikan payung hukum dilematik.
bagi daerah untuk mengintegrasikan
• Sementara itu, upaya promosi dan
penganggaran penanggulangan HIV
pencegahan HIV diharapkan bisa
dan AIDS ke dalam anggaran sektor
menjadi bagian dari skema pelayanan
kesehatan daerah. Untuk itu, kebijakan
yang didanai secara rutin oleh
pemerintah pusat, melalui Bappenas,
puskesmas dari bidang kesehatan
Kementerian Keuangan, Kementerian
masyarakat, melalui skema BOK
Dalam Negeri dan Kementerian
atau kapitasi JKN. Oleh karena
Kesehatan, menjadi kunci mendukung
kelompok sasaran penanggulangan
upaya yang demikian.
HIV dan AIDS merupakan komunitas
3. Perluasan skema JKN untuk perawatan marjinal dan memiliki karakteristik
kesehatan ODHA dan skema pendanaan yang berbeda dengan masyarakat
kesehatan masyarakat untuk promosi umum, maka perlu ada lembaga
dan pencegahan penularan HIV dan mitra, dalam hal ini adalah organisasi
AIDS. masyarakat sipil (OMS), yang secara
khusus menjangkau mereka dengan
• Meski layanan untuk ODHA yang
pesan-pesan pencegahan dan
terkait infeksi opertunistiknya saat
rujukan ke layanan kesehatan. Untuk
ini bisa ditanggung oleh JKN, tetapi
mekanisme pembiayaan layanan
untuk obat dan tes diagnostiknya
perlu melakukan terobosan dengan
belum termasuk dalam jaminan
mekanisme kontrak pelayanan
tersebut. Obat ARV masih bagian
(contracting out). Untuk itu diperlukan
dari program yang disediakan
payung hukum yang memungkinkan
gratis oleh Kementerian Kesehatan
kontrak pelayanan ini bisa dilakukan
dan tes diagnostik masih melalui
di tingkat daerah.
pembayaran yang bersifat out
of pocket. Untuk meningkatkan
cakupan program dan efisiensi
C. Fungsi Pengelolaan Informasi Strategis
anggaran, direkomendasikan agar
perawatan dan pengobatan HIV bisa 1. Penguatan ketersediaan informasi
sepenuhnya menjadi skema manfaat strategis dalam penanggulangan AIDS
dari JKN, termasuk tes diagnostik di tingkat daerah sebagai bagian dari
dan obat-obatan terkait dengan desentralisasi kesehatan
perawatannya. Perlu diperhatikan
Pemda harus memiliki sistem mengelola
juga bahwa sasaran dari program
informasi terkait situasi epidemik, data
penanggulangan HIV dan AIDS
program, dan data hasil, atau dampak,
adalah populasi yang secara sosial
agar mampu membuat perencanaan
memiliki hambatan untuk memiliki
dan penganggaran program yang
identitas formal (KTP atau Kartu
sesuai dengan kebutuhan daerah.
Keluarga), misalnya waria, perempuan
Saat ini informasi strategis tersebut
pekerja seks atau penasun.
sepenuhnya dikelola oleh pusat, baik
Perlu ada skema di JKN yang
pemerintah maupun mitra pembangunan
memberikan ruang bagi kelompok
internasional. Untuk itu, perlu ada
ini untuk bisa menjadi peserta
kewenangan dan keleluasaan bagi
JKN dengan mempertimbangkan
pemda mengumpulkan, memproduksi,
memanfaatkan, dan mendiseminasikan

226
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

informasi strategis tersebut kepada bermanfaat bagi perencanaan dan


publik. Perlu adanya investasi dari penganggaran di daerah.
pemerintah pusat untuk meningkatkan
kapasitas pemda sehingga informasi
strategis dapat digunakan secara D. Fungsi Penyediaan Farmasi dan Alat
maksimal. Kesehatan

2. Sinkronisasi alur pelayanan dan data di Mendorong kesepakatan agar


tingkat fasilitas kesehatan primer dan sektor kesehatan kembali berperan
rujukan sebagai dasar untuk memperkuat dalam pengelolaan penyediaan dan
sistem informasi kesehatan di tingkat distribusi material pencegahan untuk
daerah penanggulangan AIDS.

Saat ini, Sistem Informasi HIV dan Penyediaan logistik farmasi dan alat
AIDS (SIHA) telah digunakan sebagai kesehatan untuk program perawatan
platform bagi sistem informasi dan pengobatan sesuai dengan
penanggulangan AIDS, khususnya sistem penyediaan logistik farmasi
oleh sektor kesehatan. Sementara ada dan alat kesehatan pada umumnya
pula sistem informasi penanggulangan diatur dalam PP No. 72/1998. Tetapi
AIDS yang dikembangkan oleh KPAN, sebaliknya, regulasi penyediaan dan
Principal Recipient dari GF untuk sektor distribusi logistik dan alat kesehatan
komunitas dan MPI yang memiliki dalam program pencegahan seperti
program pelayanan di lapangan. Meski kondom, pelicin, dan alat suntik steril
telah dilakukan upaya koordinasi antar mengikuti aturan yang ditetapkan

Pe nu t u p
sistem informasi tersebut, tampaknya oleh KPAN untuk daerah yang menjadi
masing-masing berjalan paralel dan wilayah kerja MPI. Alat pencegahan
sulit memperoleh informasi yang yang didanai oleh MPI (GF ATM dan
menyeluruh tentang situasi kinerja Pemerintah Australia melalui DFAT)
penanggulangan AIDS di Indonesia. diadakan secara terpusat oleh KPAN
Selain itu, permasalahan kelengkapan, dan distribusikan ke KPAD kemudian
keakuratan, dan ketepatan waktu diteruskan ke fasyankes dan LSM.
masih menjadi kendala utama bagi Untuk itu, perlu adanya kesepakatan
sistem informasi yang ada. Demikian tentang pentingnya penyediaan dan
pula, pengelolaan sistem informasi distribusi logistik dan alat kesehatan bagi
ada di tingkat pusat, sehingga fungsi program pencegahan ini dikembalikan
daerah lebih sebagai pengumpul data. ke regulasi yang berlaku, di mana sektor
Sebagai dasar melakukan optimalisasi kesehatan yang menjadi penanggung
sistem informasi yang ada, maka jawab untuk menjamin keberlangsungan
sinkronisasi alur pelayanan dan data proses penyediaan dan distribusinya
menjadi penting dilakukan untuk di masa depan. Kesepakatan ini
memastikan kelengkapan, keakuratan, menjadi sangat penting, karena hingga
dan ketepatan waktu pengisian data saat ini ada keyakinan bahwa model
bagi sistem informasi tersebut. Hal distribusi tersebut merupakan model
ini hanya dimungkinkan jika pemda, yang praktis dan efektif dalam proses
terutama dinkes diberi kewenangan pengadaan dan distribusinya di saat
dan keleluasaan. Selain itu, dengan sektor kesehatan cenderung menghindari
kewenangan tersebut, pemda memiliki peran bagi pengelolaan penyediaan
basis data yang lebih lengkap yang dan distribusi material pencegahan ini.

227
Pe n u t u p

Pengambilalihan peran dari KPA ke daerah seiring tingginya mobilitas SDM di


sektor kesehatan dalam penyediaan fasyankes dan OMS.
dan distribusi material pencegahan
Pengembangan kapasitas sumber
memungkinkan untuk dilakukan, seperti
daya kesehatan daerah melalui berbagai
yang telah dilakukan oleh Pemerintah
pelatihan untuk berbagai jenis layanan
Daerah Merauke. Pemda Merauke
perlu dikembangkan oleh KPAD atau Dinas
telah menganggarkan penyediaan dan
Kesehatan, mengingat pengembangan
distribusi kondom dan pelicin melalui
kapasitas tersebut selama ini dilakukan
dinkes berdasarkan kebijakan daerah
oleh pusat sesuai dengan kebutuhan
melalui pendanaan dari APBD.
dan ketersediaan dananya. Model
pengembangan kapasitas yang demikian,
tentunya, tidak sesuai dengan situasi
E. Fungsi Pengelolaan SDM
mobilisasi SDM di daerah yang seringkali
Perlunya terobosan untuk mengelola SDM sangat cepat. Akibatnya, banyak SDM
yang terdiri dari tenaga kesehatan dan non- yang tidak memiliki kompetensi dalam
kesehatan dalam penanggulangan AIDS bidang pelayanan ditugaskan untuk
agar memungkinkan terjadinya integrasi memberi pelayanan. Kualitas pelayanan
dalam pengelolaan SDM. akhirnya harus dikompromikan dengan
situasi tersebut. Untuk itu, tersedianya
Kapasitas dan ketercukupan SDM
mekanisme pengembangan kapasitas
merupakan salah satu hal yang penting
yang berkelanjutan di tingkat daerah
dalam pelaksanaan integrasi program
menjadi keharusan jika pelaksanaan
penanggulangan AIDS ke dalam sistem
kegiatan penanggulangan AIDS diharapkan
kesehatan. Pemda harus mampu menjamin
berkelanjutan dan berkualitas. Skema
kecukupan jumlah dan pengembangan
pengembangan kapasitas ini perlu dipahami
kapasitas SDM di puskesmas maupun
oleh perencana program di tingkat daerah,
organisasi masyarakat sipil yang bekerja
sehingga bisa dijadikan mata anggaran rutin
dalam penanggulangan AIDS, baik
yang dalam peningkatan kualitas layanan
untuk promosi dan pencegahan maupun
kesehatan di daerah tersebut.
perawatan dan pengobatan. Pengelolaan
SDM yang memiliki karakteristik berbeda
untuk pencegahan dan perawatan (PNS dan
F. Fungsi Penyediaan Layanan
non-PNS atau tenaga kesehatan dan tenaga
non-kesehatan) mengimplikasikan adanya Mewujudkan integrasi layanan pada tingkat
terobosan dalam kebijakan SDM di daerah, frontline sebagai model integrasi kebijakan
mengingat secara normatif hal ini belum dan penanggulangan AIDS ke dalam sistem
diatur di sebagian besar daerah. Terobosan kesehatan.
dalam bidang SDM yang bisa dilakukan,
• Diperlukan pemahaman bersama dan
selain dengan membangun payung hukum
konsensus serta terbangunnya peta
yang inklusif, bisa pula dengan melakukan
jalan untuk kesinambungan penyediaan
inovasi pada aspek pembiayaan layanan, di
layanan berbasis pada layanan frontline,
mana perintah daerah bisa melalui kontrak
termasuk layanan yang disediakan oleh
individu maupun secara organisasional
organisasi masyarakat sipil yang bekerja
dengan menggunakan dana APBD atau
untuk program promosi dan pencegahan
BLUD.
pada populasi kunci yang selama
Tersedianya mekanisme pengembangan ini mayoritas bersumber dana donor
kapasitas yang berkelanjutan di tingkat

228
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

sehingga seolah-olah berada di luar berbagai penyedia layanan yang ada di


sektor kesehatan. wilayah tersebut.
• Memasukkan penanggulangan AIDS • Di tingkat lapangan, para penyedia di
menjadi salah satu indikator dalam SPM tingkat layanan perlu mengoptimalkan
bidang kesehatan dan target renstra koordinasi sebagai konsekuensi atas
sektor kesehatan agar dukungan sistem perencanaan bersama. Informasi
layanan kesehatannya menjadi jelas. tentang hambatan dalam penyediaan
layanan dan capaian masing-masing
• Pemda perlu melakukan penguatan
penyedia layanan menjadi hal penting
layanan kesehatan primer (puskesmas
untuk dibicarakan. Dalam konteks di
dan jaringannya) untuk menyediakan
kecamatan, puskesmas sebagai simpul
layanan HIV yang terintegrasi dengan
dari berbagai layanan-layanan HIV dan
layanan kesehatan lainnya, mulai dari
AIDS bisa memanfaatkan mini lokakarya
tata kelola, pembiayaan, sistem informasi,
triwulanan sebagai forum koordinasi
SDM, logistik, dan partisipasi masyarakat
dengan pihak eksternal.
melalui bimbingan teknis (bimtek) secara
rutin, serta melakukan monitoring dan • Penguatan kapasitas manajerial
evaluasi untuk memberikan layanan puskesmas untuk memperkuat layanan
kesehatan dasar termasuk HIV dan AIDS. kesehatan primer di puskesmas sebagai
Pemda juga perlu memperluas jaringan dasar integrasi. Penguatan manajerial ini
layanan HIV tidak hanya pada layanan juga memberikan kemampuan manajerial
kesehatan milik pemerintah, namun puskesmas untuk meningkatkan
juga layanan swasta maupun organisasi koordinasi dan kolaborasi dengan aktor

Pe nu t u p
masyarakat sipil. lainnya yang terkait, seperti OMS, kader
atau masyarakat umum dalam upaya
• Membuat layanan yang terintegrasi
memberikan dukungan sosial dalam
di tingkat frontline ini tidak hanya bisa
penyediaan layanan HIV di masyarakat.
dipandang sebagai sebuah integrasi
yang bersifat teknis, tetapi juga akan
mencakup pengembangan kapasitas
G. Fungsi Penggerakan Partisipasi
dalam merencanakan dan mengelola
Masyarakat
program, advokasi, dan mobilisasi sumber
daya yang dibutuhkan untuk penyediaan 1. Keterlibatan bermakna populasi kunci
layanan. Hal ini juga dilakukan dengan dan organisasi masyarakat sipil dalam
cara mengurangi kepentingan lembaga penanggulangan AIDS menjadi dasar
dan mengedepankan kepentingan untuk menuju zero diskriminasi.
program yang didasari oleh kepentingan
Meski keterlibatan organisasi populasi
alokasi dana donor dibanding pemikiran
kunci dan masyarakat sipil saat ini
mana program yg lebih efektif. Untuk
sangat tinggi dalam penanggulangan
itu, diperlukan pengembangan sebuah
AIDS. Namun demikian, keterlibatan
regulasi kabupaten/kota yang mengatur
ini lebih tampak pada proses
kerangka kerja yang memungkinkan
pelaksanaan program dari pada dalam
perencanaan program penanggulangan
pengembangan program, termasuk
HIV dan AIDS yang mampu
penentuan agenda strategis dalam
menyelaraskan berbagai layanan
kebijakan dan program penanggulangan
pencegahan dan perawatan HIV yang
AIDS. Hal ini semakin tampak jelas pada
di dalamnya, termasuk sistem informasi,
tingkat daerah, OMS tidak memiliki akses
keuangan, dan tata laksana program dari

229
Pe n u t u p

dalam pengembangan kebijakan di diskriminasi. Partisipasi yang seperti


tingkat pusat. Sementara permasalahan ini pada gilirannya akan mendorong
sebenarnya banyak di tingkat lapangan terbangunnya akuntabilitas,
yang tidak bisa dengan mudah dipotret transparansi, dan daya tanggap
pada tingkat nasional, khususnya praktik- program penanggulangan AIDS dengan
praktik diskriminasi pada populasi kunci kebutuhan masyarakat di daerah.
dalam mengakses pelayanan. Demikian
2. Perguruan tinggi bisa menjadi kunci
pula munculnya berbagai peraturan
untuk membangun kebijakan yang lebih
dan regulasi di tingkat daerah yang
berbasis bukti dan penyediaan SDM
menghambat pelaksanaan program
bagi penanggulangan AIDS yang lebih
juga tidak mudah dilihat di tingkat
kompeten.
nasional. Akibatnya, berbagai masalah
lapangan ini menjadi penghambat Perguruan tinggi atau lembaga akademik
bagi tercapainya target cakupan yang adalah aktor yang seharusnya terlibat
ditetapkan oleh pusat. Melihat situasi dan bisa memberikan peran yang lebih
ini, tentunya menjadi sangat penting besar dalam penanggulangan HIV dan
keterlibatan OMS di tingkat daerah untuk AIDS. Sesuai dengan sifatnya, perguruan
terlibat dalam penentuan kebijakan tinggi bisa berperan yang lebih besar
strategis dalam penanggulangan AIDS dalam mendorong terbangunnya
di daerahnya. Hal ini hanya akan bisa kebijakan, baik di tingkat pusat maupun
terjadi jika pengembangan kebijakan daerah, dengan berbasis bukti. Hal
dan program bisa didesentralisasikan ini misalnya bisa dilakukan pada isu-
di tingkat daerah. Untuk itu, pihak pusat isu yang terkait dengan pembiayaan,
perlu meninjau kembali efektivitas perencanaan dan penganggaran,
perencanaan yang terpusat menjadi pengembangan model intervensi,
perencanaan yang terdesentralisasi, termasuk dalam menentukan standar
sehingga mampu mendorong partisipasi kompetensi bagi SDM yang bekerja
yang lebih besar dari OMS, termasuk dalam penanggulangan AIDS.
dalam menyikapi berbagai bentuk

230
231
Pe nu t u p
Ko n t r i butor

Kontributor Ignatius Praptoraharjo, Ph.D merupakan peneliti di Pusat


Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada dan di Pusat Penelitian HIV (PPH)
Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Gelar doktor diperolehnya
dari Universitas Illinois di Chicago pada tahun 2010 jurusan
Administrasi Kebijakan Kesehatan. Dia merupakan salah satu
penerima beasiswa AITRP (UIC-AIDS International Training and
Research Program), Fogarty International Centre, US National
Institute of Health. Sejak tahun 1993, bidang pekerjaan yang
ditekuninya adalah perlindungan anak, kebijakan HIV dan AIDS,
program-program untuk pengguna napza, waria, pekerja migran
dan pekerja seks wanita. Penelitiannya kebanyakan berfokus
pada topik-topik analisis jaringan sosial, determinan sosial pada
kesehatan dan kebijakan kesehatan, khususnya pada isu HIV dan
AIDS serta kelompok marginal.

M. Suharni, MA berlatar belakang antropologi yang diperolehnya


dari Fakultas Sosiologi dan Antropologi Ateneo de Manila
University, Filipina pada tahun 1997 program beasiswa dari
The IPC-DSA, yang didanai oleh Ford Foundation. Selama ini,
banyak terlibat di LSM lokal di Palembang sebagai peneliti
dan program manajer dalam isu Harm Reduction. Dia pernah
bekerja di FHI Indonesia pada tahun 2007 hingga 2010 sebagai
National IDU Officer dan West Java IDU Officer untuk program
Harm Reduction. Saat ini, dia terlibat sebagai peneliti dalam
projek penelitian Kebijakan dan Program HIV dan AIDS dalam
Kerangka Sistem Kesehatan di Indonesia, kerjasama PKMK FK
UGM dan DFAT. Minat utamanya pada penelitian-penelitian
mengenai kebijakan dan good governance untuk isu HIV dan
AIDS serta populasi yang termarginalkan. Dari pengalamannya
selama ini, dia berpengalaman melakukan penelitian operasional,
kebijakan dan implementasi program dengan metode penelitian
kuantitatif maupun kualitatif, mulai dari pengembangan desain dan
manajemen penelitian, analisis data, evaluasi teknis dan penulisan
laporan penelitian.

Ignatius Hersumpana, MA merupakan peneliti pada Pusat


Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Saat ini, dia terlibat dalam
projek penelitian Kebijakan dan Program HIV dan AIDS dalam
Kerangka Sistem Kesehatan di Indonesia, yang didanai oleh DFAT.
Ia memiliki pengalaman sebagai peneliti pada tema marginalitas,
kolektifitas, kemiskinan kaum pinggiran, serta HIV dan AIDS. Ia
juga bekerja sebagai pegiat untuk pengembangan komunitas pada
isu pendidikan pada daerah terpencil. Dalam beberapa waktu,

232
Keb ijaka n & Pro g ram HIV & A ID S D alam Si ste m Ke se hatan di I n do n e si a

ia juga memiliki perhatian untuk pengembangan permasalahan


inklusivitas, keberagaman dan kekerasan. Ia memiliki latar
belakang pendidikan pada Ilmu Sosial pada tahun 1997 dari
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan gelar masternya pada
ilmu Sejarah dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 2014.

dr. Ita Perwira, MPH memiliki latar belakang pendidikan sebagai


dokter dengan pengalaman kerja di bidang kesehatan dan
pembangunan masyarakat di berbagai lembaga, baik lokal
maupun internasional. Gelar master diperolehnya dari University
of Auckland’s Population Health Department dengan beasiswa
penuh dari pemerintah New Zealand (NZAid). Sebelumnya,
dia telah memperoleh gelar master di jurusan Epidemiologi di
Universitas Indonesia. Dia memiliki pengalaman yang cukup dalam
hal perencanaan dan manajemen program/proyek, monitoring &
evaluation, sampai dengan penutupan program. Fokus isu yang
selama ini ditekuninya adalah terkait HIV/AIDS, kesehatan ibu dan
anak (KIA), tuberculosis (TB) serta pendidikan dan pembangunan
masyarakat. Di bidang penelitian, dia memiliki kemampuan
baik dalam penelitian kuantitatif maupun kualitatif, termasuk
pengembangan desain dan manajemen penelitian, analisis data,
evaluasi teknis dan penulisan laporan penelitian. Sejak tahun 2015,

P ro f i l
dia bergabung di Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK),
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, sebagai peneliti
dalam penelitian Kebijakan dan Program HIV dan AIDS dalam
Kerangka Sistem Kesehatan di Indonesia, yang didanai oleh DFAT.

Swasti Sempulur, S.Sos merupakan sarjana antropologi dari


Universitas Gadjah Mada dan memiliki pengalaman hampir 10
tahun di isu HIV dan AIDS. Selama bergabung dengan beberapa
lembaga, baik lokal maupun internasional, fokus isu yang pernah
digelutinya adalah harm reduction, pencegahan HIV & AIDS
melalui transmisi seksual, kesehatan seksual dan reproduksi bagi
buruh migran internasional, malaria serta program penguatan
kapasitas kepemimpinan dan manajemen layanan kesehatan
di Provinsi Papua. Selain itu, dia juga berpengalaman dalam
melakukan monitoring dan evaluasi program serta penelitian
kuantitatif maupun kualitatif. Saat ini, dia menjabat sebagai asisten
peneliti di Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK), Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada dalam projek penelitian
Kebijakan dan Program HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem
Kesehatan di Indonesia, yang didanai oleh DFAT. Salah satu tugas
utamanya adalah mengelola konten website kebijakan HIV dan
AIDS agar selalu up to date serta mengelola diskusi community of
practice untuk isu kebijakan AIDS Indonesia.

233
Ko n t r i butor

Dr. Pande Putu Januraga, DrPH merupakan dosen dan peneliti


pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana di Denpasar Bali di samping juga memegang
status akademik level C senior lecturer di Flinders University di
Adelaide Australia. Fokus utama penelitian yang dilakukannya
selama ini berpusat pada pengembangan upaya penanggulangan
HIV dan AIDS terutama pada kelompok marjinal di Indonesia
dengan menggunakan pendekatan multi-methods dari survei
potong lintang, analisis kebijakan, penelitian operasional dan
longitudinal hingga penelitian berbasis partisipasi.

Aang Sutrisna adalah konsultan independen di bidang monitoring


dan evaluasi program pembangunan dan peneliti lepas bidang
kesehatan. Aang menyelesaikan pendidikan master kesehatan
masyarakat di Northern Territory University, Darwin-Australia
pada tahun 2002 dengan beasiswa dari Menzies School of Health
Research Foundation dan International SOS. Sejak tahun 1993,
bidang pekerjaan yang ditekuninya adalah laboratorium medis
dan entomologi, pengendalian penyakit menular seperti Malaria,
TB, HIV dan IMS, serta monitoring dan evaluasi program-program
pembangunan seperti penanggulangan malnutrisi, kesehatan
ibu dan anak, anti-korupsi, pengadaan barang dan jasa serta
pemberdayaan masyarakat. Penelitiannya kebanyakan berfokus
pada topik-topik epidemi dan program pengendalian HIV dan IMS,
serta kecukupan gizi mikro.

Vidia Darmawi, MPHC telah menjadi praktisi dan pengkaji


program kesehatan lepasan baik untuk mitra internasional maupun
kementerian/lembaga seperti Kemenkes RI dan KPAN. Gelar Master
dalam Primary Health Care diperolehnya dari Flinders University,
South Australia pada tahun 2001. Bidang yang ditekuninya
sejak tahun 2000 adalah HIV dan AIDS, kesehatan reproduksi,
trafficking in persons, gizi dan sanitasi berbasis masyarakat. Kajian
yang dihasilkannya berfokus pada tata kelola, efektivitas dan
keberlangsungan program agar mengerucut pada rekomendasi
praktis bagi pemerintah maupun mitra internasional pendukung.

234
Diskusi tentang integrasi ini menjadi sangat relevan karena konsep integrasi telah
dijadikan strategi utama untuk peningkatan efektivitas respon HIV & AIDS, pelibatan
pemerintah daerah yang lebih besar dan menjamin keberlanjutan program pasca
semakin berkurangnya dukungan teknis dan finansial dari inisiatif kesehatan global
di masa-masa yang akan datang. Empat pertanyaan substantif analisis integrasi
menjadi dasar bagi pengembangan berbagai tulisan dalam buku ini (1) ‘mengapa
integrasi dilakukan?’; (2) ‘apa yang diintegrasikan?’; (3) ‘bagaimana integrasi bisa
dilakukan?’; dan (4) ‘seperti apa model integrasi yang diharapkan?’. Analisis difokuskan
pada intervensi spesifik (pencegahan dan perawatan HIV) yang dilaksanakan pada
tingkat kabupaten/kota dengan pertimbangan bahwa penanggulangan HIV & AIDS
merupakan urusan wajib yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dalam rangka
pemenuhan pelayanan dasar bagi masyarakat.

Buku ini menunjukkan bahwa saat ini program penanggulangan HIV & AIDS masih bersifat
vertikal dan tidak terintegrasi, di mana peran mitra pembangunan internasional sebagai
bagian dari inisiatif kesehatan global yang bekerja melalui pemerintah maupun organisasi
non-pemerintah masih sangat dominan dalam mengarahkan dan menentukan strategi
penanggulangan HIV & AIDS di tingkat nasional dan daerah. Arsitektur penanggulangan
HIV & AIDS yang demikian ini telah menyebabkan lemahnya kapasitas pemerintah
daerah maupun organisasi non-pemerintah dalam menanggapi epidemi di daerah
masing-masing. Dinamika faktor eksternal yang tampak dalam interaksi antar aktor dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional maupun daerah, komitmen politik yang
berubah-ubah, hukum dan regulasi yang seringkali berbenturan dengan kepentingan
penanggulangan HIV & AIDS serta karakteristik dari permasalahan HIV & AIDS sendiri
yang multi sektoral ternyata menjadi faktor-faktor yang belum dipertimbangkan dalam
upaya untuk mewujudkan integrasi tersebut. Sebuah model integrasi dalam program
pencegahan HIV melalui transmisi seksual (PMTS) yang mempertimbangkan karakteristik
dari permasalahan, kewenangan dan kapasitas daerah dan tingkat integrasinya dengan
sistem kesehatan yang berlaku telah dirokemendasikan oleh buku ini.

Anda mungkin juga menyukai