Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa yang jumlahnya terbatas dan disediakan untuk
manusia serta mahluk ciptaan Tuhan lainnya sebagai tempat kehidupan dan sumber kehidupan.

Selain itu tanah sebagai ruang merupakan wahana yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Bagi bangsa Indonesia pembangunan tidak dapat dilepaskan dari tanah.
Tanah merupakan bagian penting dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan social dalam rangka
mewujudkan tujuan nasional yang memiliki nilai setrategis karena arti kusus dari tanah sebagai factor
produksi utama perekonomian bangsa dan Negara.

B. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan pengertian agrarian dan hukum agraria

2. Menjelaskan ruang lingkup agrarian dan hukum agraria

3. Menjelaskan sejarah perkembangan hukum agrarian di Indonesia

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan saya dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk memenuhi tugas dalam
perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa umumnya mampu memahami tentang hak
milik atas tanah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Agraria dan Hukum Agraria

Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang
lainnya. Dalam bahasa latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau
sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan perladangan, persawahan,
pertanian. Dalam terminologi bahasa indonesia agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan,
sedangkan dalam bahasa inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu berarti tanah dan selalu
dihubungkan dengan pertanian. Pengertian agrarian ini, sama sebetulnya dengan agrarian laws bahkan
sering kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan tanah.

Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminologi bahasa sebagaimana di atas, pengertian
agraria dapat pula ditemukan dalam undang-undang pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika
membaca konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu
pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti dan makna yang sangat luas. Pengertian agraria
meliputi bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (pasal 1 ayat
(2)). Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air (pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (1)).

Boedi Harsono memasukkan bumi meliputi apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen Indonesia
(LKI). Landasan Kontinen Indonesia merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luas perairan
wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp 1960 sampai ke
dalam 200 meter atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksploitasi dan eksplorasi
kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di landasan kontinen Indonesia
tersebut ada pada negara RI (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1937 (LN 1937-1, TLN 2994).

Lebih jauh Boedi Harsono mengatakan bahwa pengertian air meliputi baik perairan pedalaman
maupun laut wilayah Indonesia (pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
pengairan (yang diubah dengan dengan UU Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air) telah diatur
pengertian air yang tidak termasuk dalam arti yang seluas itu. Hal ini meliputi air yang terdapat di dalam
dan atapun yang berasal dari sumber air, baik yang terdapat di atas muupun di bawah permukaan
tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut (pasal 1 angka 3) .

Berkaitan degan pengertian air tersebut, dalam UUPA diatur pula mengenai pengertian kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, termasuk di dalamnya bahan galian, mineral biji-bijian dan segala
macam batuan, termasuk batu-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan ). Untuk pengertian
mengenai kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan semua kekayaan yang berada di
dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang perikanan jo.
UU Nomor 31 Tahun 2004). Pada tahun 1983 hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh
bumi dan air terwujud dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut
wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini diatur hak berdaulat untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi dan
lain-lainnya atas sumber daya alam hayati dan nonhayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di
bawahnya dan air di atasnya.

Sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, Maka dalam pengertian UUPA Hukum Agraria
bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok
berbagai bidag hukum. Yang masing-masing mengatur hak-hak penguasan atas sumber-sumber daya
alam tertentu. Sedangkan di lingkungan administrasi pemerintahan sebutan agraria dipakai dengan arti
tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di
lingkungan Administrasi Pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-perundangan yang
memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya dibidang pertanahan.
Adanya Badan Pertanahan Nasional semenjak Keputusan Presiden No 26 tahun 1988 yang sebagai
lembaga pemerintah Non Departemen bertugas membantu administrasi pertanahan, adapun
penggunaan adminstrasi pertanahan tidaklah mengurangi lingkup pengertian agraria karena meliputi
baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik daratan maupun air laut.

Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai
hal yang mempunyai hubungan pula dengannya, tetapi tidak selalu mengenai tanah. Karena luasnya
cakupan pembahasan Hukum Agraria maka pendapat beberapa pakar pun berbeda-beda
diantaranya, Subekti dan Tjitro Subono menjelaskan bahwa “hukum agraria adalah keseluruhan
ketentuan hukumperdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan
bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang
bersumber pada hubungan tersebut , misalnya jual beli tanah, sewa menyewa tanah” . Menurut Lemaire
“hukum agraria sebagai suatu kelompok hukum yang bulat meliputi bagian hukum privat maupun
bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara”. S.J. Fockema Andreae
merumuskan Agrarische Recht sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan
tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang
disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.

Sejarah Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia

1. Sebelum Kemerdekaan

Sebelum kemerdekaan, hukum Agraria di Indonesia bersumber pada hukum adat yang
berkonsepsi “komunalistik religius”, ada yang bersumber pada hukum Perdata Barat yang bersifat
individualistik-liberal sebagai akibat dari hukum yang di bawah oleh bangsa kolonial ke Indonesia
sehingga sering dikenal dengan Hukum Agraria Kolonial. Selain itu ada pula yang berasal dari berbagai
bekas peraturan pemerintahan swapraja yang umumnya berkonsepsi feodal. Hampir seluruhnya terdiri
atas peraturan-peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi pemerintah
jajahan dalam melaksanakan politik agrarianya yang dituangkan dalamAgrarische Wet. Agrarische
Wet adalah suatu undang-undang (yang dalam Bahasa Belanda kata “Wet” berarti undang-undang) yang
dibuat di Negeri Belanda pada tahun 1870.

Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senantiasa diorientasikan pada
kepentingan dan keuntungan mereka sebagai penjajah, yang pada awalnya melalui politik dagang.
Mereka sebagai penguasa sekaligus merangkap sebagai pengusaha meciptakan kepentingan
kepentingan-kepentingan atas segala sumber-sumber kehidupan di bumi Indonesia yang
menguntungkan mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak
kepentingan rakyat Indonesia.

Hal ini menyebabkan hukum agraria bersifat Dualisme, karena selain berlakunya hukum perdata
barat yang diberlakukan bagi golongan Eropa dan Timur asing Tionghoa (hanya mengenai hukum
kekayaan dan hukum waris testamentair), juga berlaku hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis
yang diberlakukan bagi golongan pribumi (Indonesia asli).Sehingga adapun hubungan-hubungan hukum
antara orang Indonesia asli dengan orang-orang bukan Indonesia asli diselesaikan dengan menggunakan
hukum Antar Golongan (HAG). Secara politik hukum agraria kolonial terlihat selalu sepihak dan selalu
merugikan rakyat Indonesia karena dari segi perangkat hukum dan pendaftaran tanah memiliki tujuan
politik yang sangat merugikan, hal ini terlihat jelas dari tujuan politik yang dijelmakan dalam Agrarische
Wet, yaitu:

Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari
Pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang sewa yang murah. DI samping itu untuk
memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atau mendapatkan hak pakai atas tanah
langung dari orang Bumi Putera, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan Ordinasi.
Maksudnya adalah kemungkinan berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing.

2. Sejak Merdeka Sampai Berlakunya UUPA

Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dirasa bahwa hukum Agraria lama tidak
dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia sementara itu, banyak sekali persoalan
yang dihadapi yang harus segera diselesaikan dan tidak dapat ditangguhkan.

Oleh karena itu untuk mencegah adanya kekosongan hukum maka diberlakukan pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, yaitu “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan Pasal II Aturan
peralihan UUD 1945, Badan negara dan peraturan tentang agraria yang berlaku pada masa
pemerintahan kolonial dinyatakan masih berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. (2)

Dan masih berlakunya hukum adat di masyarakat, berlaku juga hukum Peradata Barat yang bersifat
diskriminasi terhadap masyarakat Indonesia asli, yaitu hukum Perdata Barat inilah yang berlaku bagi
golongan Eropa dan Timur asing Tionghoa dan tidak dapat memberikan jawaban bagi semua
permasalahan yang berkaitan dengan pertanahan. Sehingga hal ini yang mendorong lahirnya RUU
tentang hukum agraria yang kemudian pada tanggal 24 September 1960 disahkan oleh
Presiden Soekarno atas persetujuan dari DPR Gotong-royong menjadi UU no.5 tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Sejak berlakunya UUPA terjadi perubahan yang Fundamental pada hukum Agraria di Indonesia,
terutama hukum di bidang pertanahan. Perubahan ini bersifat Fundamental karena baik mengenai
struktur perangkat hukumnya, mengenai konsepsi yang mendasarinya, maupun isinya, yang dinyatakan
dalam bagian berpendapat UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi
pula keperluannya menurut permintaan zaman. Namun hal yang paling mendasar adalah
tujuan dari pembentukan UUPA tersebut adalah mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33ayat
(3) UUD 1945, bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya ,yang penguasaannya
ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. UUPA menciptakan Hukum Agraria Nasional berstruktur tunggal, seperti yang dinyatakan dalam
bagian Berpendapat serta penjelasan umum, UUPA berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah,
sebagai hukum aslinya masyarakat Indonesia. Pada hakikatnya adalah dalam rangka
melaksanakan pembangunan nasional untuk mengisi kemerdekaan yang diproklamasikan agar terwujud
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan pancasila sebagai sumber falsafah hidup
bangsa Indonesia.

3. Sejak Berlakunya UUPA sampai Reformasi

Sejak berlakunya UUPA, telah membawa dampak yang baik yaitu dengan dicabutnya dan
dihapusnya secara tegas peraturan-peraturan yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat,
dengan tujuan yaitu mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan hukum tersebut, yaitu dicabutnya pasal
51 Indische Staatsregeling (IS), penghapusan pernyataan-pernyataan Domein, serta penghapusan
Peraturan Hak Agrarisch Eigendom, yang merupakan hasil produk-produk hukum buatan bangsa
kolonial. Namun dalam memasuki pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, telah
terjadi begitu banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat, dalam hal
ini menimbulkan hubungan yang menguntungkan antara para pemilik modal (investor) dengan
penguasa (pemerintah).

Pada periode Orde Baru kebijakan pertanahan lebih diarahkan untuk mendukung
kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pertanahan lebih merupakan bagian dari pembangunan, tidak
sebagai dasar pembangunan. Kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan
pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam.Yang tadinya bersumber pada sektor pertanian maka
orientasinya kemudian menjadi industrialisasi dengan menekankan kebutuhan ekonomi berbasis pada
investasi asing dan juga eksploitasi SDA (sektor ekstraktif).Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5
tahun 1960 dianggap oleh sejumlah pengamat sebagai suatu produk hukum yang paling pro pada rakyat
kecil atau petani. Dengan lahirnya masa Reformasi berarti menandakan bahwa Pemerintahan orde baru
telah berakhir, dan menjadi harapan bahwa hal ini dapat menjadi awal langkah dalam “mengkikis habis
akibat-akibat kebijakan dan praktik-praktik orde baru yang tidak pro pada masyarakat, terutama kaum
petani.

4. Sejak Masa Reformasi sampai Sekarang

Hingga saat ini apa yang diharapkan masyarakat yang tertuang dalam Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) belum terealisasi sepenuhnya dengan baik. Namun dengan dikeluarkannya
peraturan-peraturan baru yang berkaitan dengan kehidupan hukum agraria di Indonesia menjadi bukti
bahwa pemerintah berusaha untuk merealisasikan apa yang tertuang dalam UUPA sehingga mejamin
dan melindungi kepentingan masyarakat terutama masyarakat miskin dan pengadaan lahan bagi
para petani, agar terwujud seperti apa yang telah tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Azas-azas hukum agraria


Asas nasionalisme

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik
atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak
membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.

Asas dikuasai oleh Negara

Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu
pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1
UUPA)

Asas hukum adat yang disaneer

Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah hukum adat yang sudah
dibersihkan dari segi-segi negatifnya

Asas fungsi social

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak
orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA)

Asas kebangsaan atau (demokrasi)

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI baik asli maupun keturunan berhak memilik hak
atas tanah

Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)

Yaitu asas yang melandasi hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli
maupun keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya
bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah.

Asas gotong royong

Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam
rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya,
Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan
agraria (pasal 12 UUPA)

Asas unifikasi

Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti hanya satu
hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA.

Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)

Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau
bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas ini merupakan kebalikan dari asas vertical (verticale
scheidings beginsel ) atau asas perlekatan yaitu suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat
pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu
dengan benda iu artnya dala sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-
benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.

Hak-hak atas tanah

Hak milik

− Dasar hukum untuk pemilikan hak milik atas tanah yaitu pasal 20-27 UUPA

− Mempunyai sufat turun temurun

− Terkuat dan terpenuh

− Mempunyai fungsi social

− Dapat beralih atau dialihkan

− Dibatasi oleh ketentan sharing (batas maksimal) dan dibatasi oleh jumlah penduduk

− Batas waktu hak milik atas tanah adalah tidak ada batas waktu selama kepemilikan itu sah berdasar
hukum

− Subyek hukum hak milik atas tanah yaitu WNI asli atau keturunan, badan hukum tertentu

Hak guna bangunan

Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 29 UUPA untuk perusahaan pertanian atau peternakan.

− Jangka waktu 25 tahun dan perusahaan yang memerlukan waktu yang cukup lama bisa diberikan
selama 35 tahun

− Hak yang harus didaftarkan

− Dapat beralih karena pewarisan

− Obyek HGU yaitu tanah negara menurut pasal 28 UUPA jo pasal 4 ayat 2, PP 40/96

Apa bila tanah yang dijadikan obyek HGU tersebut merupakan kawasan hutan yang dapat dikonversi
maka terhadap tanah tersebut perlu dimintakan dulu perlepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan
(pasal 4 ayat 2 UUPA, PP 40/96).

Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU adalah tanah yanh sah mempunyai hak maka hak tersebut
harus dilepaskan dulu (pasal 4 ayat 3, PP 40/96)

Dalam hal tanah yang dimohon terhadap tanaman dan atau bangunan milik orang lain yang
keberadaannya atas hak ayang ada maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut harus mendapat
ganti rugi dari pemegang hak baru (pasal 4 ayat 4, PP 40/96)

Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus , berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan , pengolahan, pembukuan dan
pengujian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya.

Data fisik adalah keterangan atas letak, batas, luas, dan keterangan atas bangunan.

Persil adalah nomor pokok wajib pajak.

Korsil adalah klasifikasi atas tanah.

Data yuridis adalah keterangan atas status hokum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar
pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban lain yang membebaninya.

Dasar hukum pendaftaran tanah :

UUPA pasal 19, 23, 32, dan pasal 38.

Hak-hak Atas Tanah

Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada
perseorangan baik warga negara Indonesia mapupun warga negara asing, sekelompok orang secara
bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.

Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air danruang yang ada di atasnya sekadar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-
batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain.
2.Wewenang aaakhusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenangpada tanah Hak
Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, HGB untuk mendirikan
bangunan, HGU untuk kepentingan pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan.

Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 Jo 53 UUPA, yang dikelompokkkan menjadi 3
bidang, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap
Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-
undang yang baru. Contoh: HM. HGU, HGB, HP, Hak Sewa untuk Bangunan dan Hak Memungut Hasil
Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara
Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapus dikarenakan
mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak Gadai,,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang bersala dari tanah negara. Contoh: HM, HGU, HGB Atas Tanah Negara, HP Atas
Tanah Negara.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Contoh: HGB Atas Tanah Hak Pengelolaan, HGB Atas
Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah Hak Pengelolaan, HP Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan,
Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

A. Hak Milik

Ketentuan Umum mengenai Hak Milik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, 20 s/d 27, 50 ayat (1), 56
UUPA.
Pengertian Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah dengan memperhatikan fungsi sosial tanah. Turun temurun artinya Hak Milik atas tanah dapat
berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka Hak
Miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik.
Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat dibandingkan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai
batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus.
Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak
berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan
hak atas tanah yang lain.
Subyek Hak Milik. Yang dapat mempunyai tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan pelaksanaanya,
adalah:
1. Perseorangan.
WNI, baik pria maupun wanita, tidak berwarganegaraan rangkap (lihat Pasal 9, 20 (1) UUPA)
2. Badan-badan hukum tertentu.
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, yaitu bank-bank yang didirikan oleh
negara, koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial (lihat Pasal 21 (2) UUPA, PP No.38/1963
tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Atas Tanah, Permen
Agraria/Kepala BPN No. 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara
dan Hak Pengelolaan).
Terjadinya Hak Milik. Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagai mana disebutkan dala
Pasal 22 UUPA, yaitu:
1. Hak Mik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat;
- Terjadi karena Pembukaan tanah (pembukaan hutan).
- Terjadi karena timbulnya Lidah Tanah.
2. Hak Mili Atas tanah tertajdi karena Penetapan Pemerintah;
- Pemberian hak baru (melalui permohonan)
- Peningkatan hak
3. Hak Milik atas tanah terjadi karena Undang-undang;
- Ketentuan Konversi Pasal I, II. VI

Anda mungkin juga menyukai