Anda di halaman 1dari 22

Oleh:

DR. ASRANI, SE, M.Si


Anggota Tim Ahli

TIM AHLI DINAS PENDAPATAN


PROPINSI JAWA TIMUR
JUNI 2006
SUMBER DAYA MANUSIA APARATUR DIPENDA :
Permasalahan dan Peluang Pengembangan 1
2
Oleh : DR. ASRANI, SE, M.Si

A. PENDAHULUAN
1.1. Latarbelakang

Kondisi SDM dilingkungan birokrasi telah diakui secara luas oleh berbagai pihak

masih sangat memprihatinkan, betapapun reformasi birokrasi telah digulirkan dan

pimpinan nasional telah silih berganti serta berbagai kebijakan telah ditetapkan untuk

mendukung reformasi birokrasi, namun sampai saat ini dengan kasat mata kita dengan

mudah mengetahui bahwa reformasi yang dilakukan masih bersifat gradual, parsial dan

temporal sehingga hasilnya belum ada peningkatan performace birokrasi yang signifikan.

Tidak kurang, tiga Presiden telah menyatakan pandangan keprihatinan yang

mendalam tentang kondisi tersebut. Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur),

menyatakan birokrasi Indonesia adalah “Gede dan Kotor” (Tempo, 06 Agustus 2003).

Presiden Megawati menyatakan birokrasi Indonesia adalah “Birokrasi Keranjang

Sampah”, karena birokrat hanya melakukan apa yang menyenangkan atasan dan

menyenangkan dirinya sendiri (Sinar Harapan, 11 Pebruari 2002), sehingga ia enggan

menaikkan gaji PNS, karena dinilai pemborosan dan kurang produktif. Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono menggunakan ungkapan yang lebih lunak dengan menyatakan “ke

mana pun dan siapa pun yang saya temui, pihak dalam maupun luar negeri masih terus

mengeluhkan tentang kondisi birokrasi kita. Saya harus menyatakan secara terus terang,

bahwa birokrasi kita masih bekerja seperti yang biasa dikerjakan selama ini (status quo).

Artinya, belum berubah secara signifikan, masih lamban bertindak dan lamban

1
Makalah disajikan dalam rangka pemetaan kompetensi personil Golongan III/c dan III/d Bulan Mei – Juni 2006
2
Anggota Tim Ahli Dipenda Provinsi Jawa Timur

1
memproses sesuatu dan akhirnya lamban mengambil keputusan, boros waktu dan tidak

efisien” (Kompas, 26 Mei 2006). Apa yang dikemukakan Presiden SBY, dapat dicermati

dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik sehari-hari, seperti kurang responsif,

kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau

mendengar keluhan masyarakat dan kurang efisien.

Gambaran kelabu birokrasi di atas, bukan retorika, melainkan fakta dan realita.

Kinerja birokrasi yang buruk tersebut, dengan analisa sederhana dapat diketahui sumber

penyebabnya, yaitu akibat kualitas PNS yang buruk pula. Faisal Tamin (Men PAN pada

masa itu) mengemukakan, dari sekitar 4 juta PNS Indonesia, 60 persen diantaranya

bekerja serabutan tanpa punya motivasi kuat untuk bekerja secara profesional. Itu

artinya, hanya 40 persen saja PNS yang dapat dianggap profesional (Tokoh

Indonesia.com,2005).

Rendahnya kualitas PNS ini, berhubungan langsung dengan rendahnya tingkat

pendidikan PNS. Lebih lanjut Faisal Tamin menyatakan, dari 4 juta PNS atau 1,9 persen

dari total penduduk, 75 persen hanya lulusan SMU atau di bawahnya. Artinya, hanya 25

persen PNS yang memiliki latar belakang pendidikan di atas SMU. Permasalahan lain

menurutnya adalah komposisi PNS yang bekerja di bagian administrasi tidak proposional

dengan yang ada di bagian fungsional/operasional serta distribusinya yang timpang, baik

distribusi antara daerah maupun distribusi antara Bagian/Unit Kerja. Ketimpangan ini

bukan hanya menyangkut jumlah, tetapi juga menyangkut ketimpangan kualitas (Tokoh

Indonesia.com,2005). Faktor penyebabnya menurut Sabarudi (Pikiran Rakyat, 20

Pebruari 2004), karena selama ini pembinaan dan pengembangan PNS hanya

menggunakan ”Manajemen PGPS” atau ”Pegawai Goblok dan Pintar Sama Saja”.

2
Kondisi PNS aparatur pada skala makro (nasional) seperti dipaparkan diatas,

merupakan refleksi dari kondisi PNS pada skala regional dan lokal, seperti dalam lingkup

Dinas/Badan/Kantor/Unit yang ada pada pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Makalah sederhana ini, akan mendiskusikan beberapa permasalahan krusial

dalam pengelolaan SDM dilingkungan Dinas pendapatan Propinsi. Dikatakan krusial,

karena apabila tidak disikapi dan diantisipasi akan sangat berpotensi mengganggu

pencapaian visi dan misi Dipenda kedepan sebagai instansi yang sangat strategis dalam

struktur pemerintahan Propinsi Jawa Timur, karena fungsinya sebagai pelaksana utama

penggalian sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus penyelenggara

pelayanan publik yang sangat dominan di Jawa Timur.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latarbelakang di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus bahasan

dalm tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Persoalan-persoalan krusial apa yang dihadapi dalam pengelolaan manajemen

Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Dipenda Jawa Timur ?.

2. Bagaimana peluang pengembangan yang mungkin ditempuh untuk

mengantisipasi berbagai persoalan pada poin 1 ?

1.3. Tujuan

Tujuan penulisan, mengidentifikasi persoalan-persoalan pengelolaan SDM

Dipenda dan kemungkinan-kemungkinan untuk dapat dikembangkan kearah yang lebih

baik, sehingga pada suatu saat nanti, SDM Dipenda dapat memenuhi standar kuantitas

dan kualitas yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang diemban

sebagai upaya antisipatif terhadap perubahan lingkungan yang semakin dinamis dan

kompleks yang menuntut profesionalisme SDM yang semakin tinggi.

3
B. PEMBAHASAN

2.1. KERANGKA KONSEPTUAL


2.1.1. Organisasi Publik

Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan salah cabang ilmu

manajemen yang berkaitan dengan pengelolaan karyawan atau personil. Kualitas dan

kuantitas personil merupakan kunci untuk meningkatkan kapasitas dan kapabelitas suatu

institusi atau organisasi. Organisasi itu sendiri dikonsepsikan sebagai suatu sistem dan

bentuk hubungan antara wewenang dan tanggungjawab, antara atasan dan bawahan

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara yang paling efisien (FX.

Soerjadi, 1995). Seringkali para ahli membagi organisasi menjadi tiga tipe, yaitu

organisasi pemerintah (public), organisasi bisnis (private) dan organisasi masyarakat

atau organisasi non-pemerintah yang tidak berorientasi profit. Ketiga tipe organisasi ini

dapat dibedakan dari tiga aspek, yaitu aspek tujuan pembentukannya, aspek

legalitasnya dan aspek kegiatan yang dilaksanakannya.

Organisasi publik mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu negara,

karena mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi mengatur (regulasi), memerintah,

menyediakan barang-barang publik (public goods) dan jasa-jasa publik (public services).

Dari sisi bentuknya, organisasi publik dapat bermacam-macam, seperti DPRD, Biro,

Dinas, Badan, Kantor, dan Unit (Salusus,1996). Pembentukan organisasi publik tersebut

adalah untuk mencapai visi, misi dan tujuan pemerintah daerah sebagaimana telah

dituangkan dalam dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

4
2.1.2. Manajemen Pegawai Negeri Sipil

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap

organisasi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Sebab, sebaik apapun desain

organisasi yang dibuat, sebaik apapun visi, misi dan tujuan organisasi yang telah

ditetapkan serta sebaik apapun sistem dan mekanisme kerja organisasi yang telah

disusun, semuanya sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas SDM yang dimiliki atau

tersedia dalam organisasi tersebut.

Agar SDM dalam organisasi dapat memenuhi unsur kuantitas dan kualitas secara

berimbang sehingga mampu bekerja secara efektif dan efisien, dalam khasanah ilmu

pengetahuan berkembang disiplin ilmu ”Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)”

yang mencakup beberapa dimensi, yaitu analisis jabatan, perencanaan, rekruitmen,

seleksi dan penempatan, sosialisasi dan reorientasi, pelatihan dan pengembangan serta

penggajian (Performs,2004). Penerapan MSDM dilingkungan organisasi pemerintah

disebut ”Manajemen Pegawai Negeri Sipil (MPNS)” yang didefinisikan sebagai

keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan derajat profesionalisme

penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian, meliputi perencanaan,

pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan,

dan pemberhentian pegawai (UU No. 43 Tahun 1999).

2.1.3. Profesionalisme dan kompetensi

Pengembangan MPNS, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi kuantitas (jumlah),

dan sisi kualitas (profesionalisme). Pengembangan dari sisi kuantitas, termasuk

keseimbangan antara jumlah personil yang dibutuhkan dan jumlah personil yang

tersedia dari waktu ke waktu, sehingga roda organisasi tetap dapat berjalan. Aspek

lainnya adalah menyangkut alokasi dan distribusi personil agar lebih merata dan

proporsional. Sementara itu, pengembangan dibidang kualitas atau profesionalisme

5
menyangkut dimensi yang lebih luas dan berdimensi jangka panjang. Hal ini berbeda

dengan pengembangan dari sisi kuantitas. Pengembangan kualitas SDM menyangkut

mind-set dan skill-set personil sehingga membentuk personil yang mempunyai

kemampuan (kompetensi). Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara

Nomor 43/KEP/2001 tentang standar kompetensi jabatan struktural bahwa yang

dimaksudkan dengan kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh

seorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keahlian, sikap dan perilaku yang

diperlukan dalam tugas jabatannya. Tentu saja pengertian kompetensi tersebut masih

bersifat umum, sehingga masih perlu ditransformasikan kedalam tugas pokok dan fungsi

organisasi atau unit kerja masing-masing yang lebih spesifik. Berkaitan dengan hal

tersebut, dilingkungan Dipenda Jawa Timur telah dirumuskan kompetensi personil yang

disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban Dipenda. Khusus untuk

eselon III dan IV telah disusun 4 jenis kompetensi (Tim Ahli Dipenda, 2005), yaitu :

1. KOMPETENSI TEKNIS, adalah kemampuan, keahlian dan kecakapan seorang pegawai


negeri sipil dilingkungan Dipenda dalam memahami dan melaksanakan berbagai aspek
menyangkut teknis pemungutan pendapatan asli daerah dan aspek pelayanan kepada
masyarakat, mulai dari landasan hukum dan kebijakan-kebijakan yang mendasarinya sampai
pada mekanisme, sistem dan prosedur yang dituangkan dalam berbagai bentuk, seperti :
Program Kerja (PK), Petunjuk Operasional (PO), Petunjuk Teknis (Juknis), dan Prosedur
Tetap (Protap).
2. KOMPETENSI MANAJERIAL, adalah kemampuan, keahlian dan kecakapan seorang
pegawai negeri dilingkungan Dipenda dalam memahami dan melaksanakan aspek-aspek
manajerial, mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengkoordinasikan, sampai
mengevaluasi dan mengawasi sistem pemungutan sumber-sumber pendapatan asli daerah,
sehingga berdampak pada peningkatan kontribusi PAD yang meningkat dari waktu ke waktu
dalam struktur APBD Propinsi Jawa Timur serta mengembangkan sistem pelayanan pada
semua simpul-simpul (unit-unit) pelayanan untuk menciptakan pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat (pelayanan prima), sehingga kepuasan relatif yang diterima dan dirasakan oleh
masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan akan semakin meningkat.
3. KOMPETENSI SOSIAL, adalah kemampuan, keahlian dan kecakapan seorang pegawai
negeri dilingkungan Dipenda dalam memahami dan merasakan (empati) serta merespons
perkembangan dan dinamika aspirasi masyarakat, khususnya para wajib pajak dan wajib
retribusi dalam memperjuangkan dan menuntut hak-hak mereka pada lembaga pelayanan
publik. Termasuk dalam pengertian ini adalah pertanyaan, usul/saran, pegaduan, keluhan
dan bahkan hujatan dari masyarakat, baik yang mengatasnamakan individu, kelompok,
maupun lembaga formal dan informal yang disampaikan secara langsung maupun tidak
langsung kepada individu/pejabat atau lembaga yang berada dalam lingkungan Dipenda.

6
4. KOMPETENSI STRATEJIK, adalah kemampuan, keahlian dan kecakapan seorang pegawai
negeri sipil dilingkungan Dipenda dalam mengembangkan dan menerapkan ide-ide baru dan
inovasi-inovasi baru yang kreatif dan konstruktif yang berdampak pada peningkatan kinerja
lembaga. Termasuk dalam pengertian ini adalah kemampuan untuk mengindentifikasi dan
menganalisis masalah yang strategis yang berpotensi mengganggu peningkatan kinerja
organisasi serta mencari alternatif solusi terbaik terhadap masalah-masalah tersebut.

2.1.4. Budaya Kerja

Pengembangan Budaya kerja aparatur merupakan bagian tak terpisahkan dari

pengembangan profesionalisme dan kompetensi personil sebagaimana dikemukakan di

atas. Proses pembangunan budaya kerja aparatur memang membutuhkan waktu yang

cukup panjang karena menyangkut proses pembangunan karakter dan mindset personil

yang didasari oleh pandangan hidup, nilai, norma, sifat, kebiasaan dan kekuatan

pendorong yang membudaya dalam suatu kelompok organisasi, yang kemudian

tercermin dalam perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang

termanifestasi dalam kerja atau bekerja. Menurut pakar psikologi sosial, Sarlito Wirawan

Sarwono (2004), ada empat prinsip yang harus diperhatikan dalam merubah suatu

budaya, termasuk budaya aparatur tentu saja, yaitu : doktrin (falsafah, pandangan, visi,

misi, nilai, norma, peraturan), reinforcement (ganjaran dan hukuman), proses, dan

kepemimpinan. Sementara itu, menurut Faisal Tamin dalam tulisannya bertajuk

“Transformasi Budaya Kerja Aparatur Negara”, menyatakan bahwa pengembangan

budaya kerja aparatur merupakan conditio sine quanon dalam pengembangan

Manajemen Pegawai Negeri Sipil dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang

baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Dengan

perkataan lain, pengembangan budaya kerja merupakan suatu kebutuhan bagi aparatur

pemerintah untuk meningkatkan mutu pelayanan, mutu proses pelayanan dan mutu

sumbar daya manusia itu sendiri (Sinar harapan, 15 Januari 2004).

7
2.2. ANALISIS PEMECAHAN MASALAH

2.2.1. TINJAUAN SINGKAT FUNGSI DIPENDA.

Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu instansi yang

sangat strategis dalam struktur pemerintahan propinsi Jawa Timur. Hal ini berkaitan

dengan fungsinya sebagai pelaksana utama pemungutan PAD melalui sektor Pajak

Daerah, Retribusi Daerah dan Pendapatan Lain-lain yang sah. Fungsinya yang sangat

strategis tersebut didukung oleh fakta-fakta empiris yang menunjukkan bahwa sampai

saat ini Dipenda masih menjadi kontributor utama dalam struktur penerimaan PAD

Propinsi Jawa Timur, sekaligus menjadi kontributor utama dalam struktur penerimaan

APBD Propinsi Jawa Timur. Dua sektor penerimaan yang menjadi primadona sampai saat

ini adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

Sementara, sektor-sektor pajak lainnya, seperti Pajak Aair Bawah Tanah dan Air

Permukaan (PABT/AP) dan Pajak Alat Angkut Di Atas Air dan Bea Balik Nama Alat

Angkut Diatas Air serta sektor Retribusi Daerah dan Pendapatan lain-lain yang sah hanya

menempati posisi marjinal dalam struktur penerimaan yang menjadi kewenangan

Dipenda Propinsi.

Dengan demikian, maka core business Dipenda dilihat dari kewenangannya

adalah pemungutan sumber-sumber pendapatan asli daerah dari sektor pajak, retribusi

dan pendapatan lain-lain yang sah. Sedangkan, pelayanan kepada masyarakat (public

services) merupakan konsekuensi dari adanya kewenangan (monopoli) yang didasarkan

atas peraturan perundang-undangan yang berlaku (otoritas). Meskipun demikian,

pelayanan masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja, karena merupakan hak

masyarakat setelah mereka memenuhi kewajibannya membayar pajak dan retribusi

kepada pemerintah. Selain itu, karena hak masyarakat dalam konteks penyelenggaraan

pelayanan ini dapat dilihat, dirasakan dan dinikmati secara langsung oleh individu-

8
individu ketika mereka berurusan dengan petugas dilapangan, maka pelayanan dalam

konteks ini bersifat pelayanan langsung. Hal ini berbeda dengan pelayanan yang

diterima masyarakat dari hasil-hasil pembangunan berupa penyediaan fasilitas publik

(public goods) yang disediakan pemerintah daerah melalui mekanisme perencanaan

anggaran (APBD), karena sifatnya tidak langsung dan tidak ditujukan untuk individu,

melainkan untuk kelompok masyarakat.

Dari aspek kelembagaan, perkembangan Dipenda dari masa ke masa memang

tidak dapat dilepaskan dari dinamika perkembangan pemerintahan pada umumnya, tidak

terkecuali perkembangan Dipenda kedepan. Karena, sampai sekarang belum dapat

dipastikan bahwa organisasi Dipenda masih tetap eksis sebagaimana halnya dengan

kondisi yang ada sekarang atau mengalami perubahan bentuk, akibat adanya

reorganisasi dan restrukturisasi fungsi-fungsi organisasi pemerintahan sebagaimana

diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, misalnya bergabung dengan Biro

Keuangan dan Kas Daerah menjadi Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD).

Namun, apapun perubahan bentuk organisasi Dipenda yang akan terjadi

nantinya, satu hal yang dapat dipastikan fungsinya sebagai penyelenggara pemungutan

PAD dan penyelenggara pelayanan publik tidak berubah dari yang ada sekarang, bahkan

dapat dipastikan akan lebih meningkat volume dan intensitasnya mengikuti tuntutan

kebutuhan dan perkembangan lingkungan.

Sebagai gambaran, penerimaan PAD lima tahun mendatang diprediksikan akan

meningkat satu kali lipat dari kondisi sekarang. Artinya Dipenda harus mampu menggali

sumber penerimaan antara 6-7 trilyun rupiah setiap tahun untuk menutupi kebutuhan

penerimaan dalam struktur APBD Propinsi Jawa Timur. Ini berarti, beban berat yang

dipikul segenap jajaran Dipenda akan semakin berat. Demikian juga apabila dilihat dari

fungsinya sebagai penyelenggara pelayanan publik, khususnya di Kantor Bersama

9
samsat. Lima tahun mendatang, pertumbuhan jumlah obyek/subyek kendaraan

bermotor diprediksikan akan meningkat 20%-30% setiap tahun. Tentu saja peningkatan

ini akan membawa berbagai implikasi, diantaranya : (1) penyediaan sarana dan

prasarana pelayanan yang layak untuk memenuhi hak-hak masyarakat yang dilayani, (2)

peningkatan kemampuan untuk perekayasaan sistem dan prosedur pelayanan yang jauh

lebih canggih dari kondisi sekarang, dan (3) penyediaan SDM yang memadai dari segi

kuantitas dan kualitas.

Persoalannya adalah mampukah Dipenda menerima tanggungjawab yang sangat

berat tersebut dengan kualitas dan kuantitas SDM yang dimiliki sekarang ?

2.2.2. Beberapa Masalah SDM Aparatur Dipenda

Kepala Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Timur, Akhmad Sukardi (2005) dalam

satu kesempatan pengarahannya mensinyalir betapa beratnya persoalan SDM yang

dihadapi Dipenda kedepan, dengan menyatakan :

“Tantangan kita kedepan menyangkut kondisi obyektif SDM kita sungguh sangat
berat. Bukan saja lembaga kita akan kehilangan jumlah pegawai yang cukup
besar dalam tahun-tahun mendatang, tetapi juga kualitas (profesionalitas dan
kompetensi) rata-rata pegawai kita masih rendah. Padahal SDM merupakan
faktor kunci untuk mewujudkan visi dan misi kita kedepan ditengah-tengah
dinamika perubahan dan ketidakpastian yang semakin menggejala”.

Pernyataan Kepala Dinas di atas didasarkan atas fakta-fakta empiris kondisi SDM

Aparatur Dipenda sekarang ini. Dalam pembahasan ini, penulis mencoba

mengelompokkan persoalan SDM Aparatur Dipenda menjadi empat kategori, yaitu : (1)

masalah struktur, (2) masalah sisdur, (3) masalah kultur, dan (4) masalah

infrastruktur. Keempat masalah tersebut akan dibahas secara ringkas berikut ini :

10
2.2.2.1. MASALAH STRUKTUR

Masalah struktur disini dimaksudkan bukan hanya menyangkut jumlah (kuantitas)

tetapi juga menyangkut komposisi dan distribusi personil. Masalah-masalah yang

dimaksud meliputi penyusutan jumlah personil, sruktur pendidikan, struktur kepangkatan

dan distribusi personil.

2.2.2.1.1. Penyusutan Jumlah Personil


Masalah penyusutan jumlah personil merupakan salah satu tantangan terberat

yang akan dihadapi Dipenda dalam beberapa tahun-tahun mendatang. Hal ini berkaitan

dengan fakta-fata bahwa jumlah personil yang ada sekarang akan mengalami

penyusutan yang sangat drastis dalam 5 atau 10 tahun yang akan datang, sebagai

akibat memasuki usia pensiun, dan masih belum termasuk kemungkinan akibat sakit

permanen atau meninggal dunia.

Sebagai gambaran, pada tahun 2005 jumlah personil yang berstatus PNS (tidak

termasuk honorer daerah) sebanyak 1.361 PNS seluruh Jawa Timur. Belum satu tahun

kemudian, posisi bulan April 2006 hanya tersisa 1.330 personil. Jumlah ini akan terus

mengalami penyusutan, tahun 2010 masih tersisa 822 personil, sedangkan tahun 2015

hanya tersisa 306 personil.

Dengan penyusutan jumlah personil demikian, maka pada tahun 2010 Dipenda

sudah kewalahan menjalankan fungsinya menjadi lembaga pemungut PAD dan lembaga

pelayanan masyarakat dengan beban tugas yang semakin berat. Sedangkan, mulai

tahun 2015 Dipenda sudah tidak mampu lagi melaksanakan kedua fungsi yang

diembannya dengan baik, meskipun tidak ada penambahan beban tugas. Ini masalah

besar yang berdampak sangat luas, bukan hanya bagi Dipenda tetapi juga bagi

Pemerintah Propinsi Jawa Timur.

11
2.2.2.1.2. Struktur Pendidikan
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut struktur

pendidikan formal. Dari data-data yang ada menunjukkan bahwa posisi bulan April 2006

jumlah personil yang mempunyai latarbelakang pendidikan SLTA kebawah jumlahnya

mencapai 583 personil (42,33%). Apabila jumlah tersebut ditambahkan dengan jumlah

personil yang mempunyai pendidikan Diploma I dan III, jumlahnya meningkat menjadi

677 personil (50,90%). Sementara, personil yang mempunyai latarbelakang pendidikan

formal Sarjana (S1) berjumlah 582 personil (43,75%) dan yang berpendidikan

Pascasarjana (S2) hanya 70 personil (5,26%). Artinya, sebagian besar latarbelakang

pendidikan formal personil Dipenda rata-rata dibawah Sarjana (S1). Struktur pendidikan

seperti ini akan sangat menentukan kualitas SDM secara umum dilingkungan Dipenda.

Apabila dihubungkan dengan penyusutan jumlah personil, maka pada tahun-tahun

mendatang personil yang berpendidikan Sarjana dan Pascasarjana inipun akan

mengalami penyusutan jumlah yang sangat drastis. Sehingga, tanpa ada kebijakan

meningkatkan pendidikan, baik formal maupun fungsional, sangat mungkin Dipenda

tidak mampu lagi merespons tuntutan perubahan yang sangat dinamis.

2.2.2.1.3. Struktur Pangkat/Golongan


Struktur kepangkatan/golongan personil pada dasarnya mengandung dua

dimensi, yaitu mencerminkan kualitas personil, karena pangkat/golongan merefleksikan

masa kerja dan jenjang karirnya sebagai pegawai negeri, dan karena itu

tinggi/rendahnya pangkat seseorang personil akan dijadikan sebagai dasar pertimbangan

melakukan promosi jabatan. Dengan perkataan lain, seorang personil akan dipromosikan

atau tidak dipromosikan pada suatu jabatan struktural atau fungsional tertentu sangat

ditentukan oleh persyaratan memenuhi tidaknya pangkat/golongan yang dia miliki.

12
Sebagai gambaran, untuk jabatan struktural eselon IV (Kepala Seksi, Kepala Sub

Bagian), seorang personil minimal menduduki pangkat/golongan III/c atau III/d.

Sedangkan, untuk eselon III (Ka-UPTD dan Kasubdis/Kabag TU) minimal III/d atau IV/a.

Dilingkungan Dipenda, struktur pangkat/golongan ini menjadi persoalan yang cukup

serius, karena sebagian besar personil sudah menduduki pangkat/golongan III yaitu

sebanyak 1.045 personil (78,57%), dan golongan II sebanyak 235 personil (17,57%).

Sementara Golongan IV sebanyak 38 (2,85%). Struktur kepangkatan/golongan personil

demikian kurang baik dalam manajemen personil dilingkungan lembaga yang strategis

seperti Dipenda. Apalagi bila dikaitkan dengan jumlah jabatan struktural yang tersedia

sangat terbatas. Salah satu dampaknya, banyak personil yang sudah menduduki

golongan III belum mempunyai jabatan. Sehingga secara sepintas terkesan banyak

personil Dipenda yang senior tidak ditempatkan pada posisi yang selayaknya.

2.2.2.1.4. Distribusi Personil


Masalah distribusi personil juga termasuk masalah krusial yang dihadapi Dipenda

kedepan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya penyusutan jumlah, struktur

pendidikan dan pangkat/golongan sebagaimana telah diuraikan diatas. Kenyataan yang

ada menunjukkan, adanya ketimpangan dalam distribusi personil, baik dalam pengertian

jumlah maupun kualitas. Sebagai gambaran, jumlah personil di UPTD-UPTD wilayah

Surabaya I sampai Surabaya IV rata-rata 70-80 personil setiap UPTD, sementara di

UPTD diluar Surabaya rata-rata antara 20-30 personil setiap UPTD, padahal kalau dilihat

dari luas wilayah dan kondisi geografis yang harus dilayani, Surabaya jauh lebih sempit

dan lebih rendah tingkat kesulitannya geografisnya dibandingkan dengan daerah-daerah

lainnya, seperti Banyuwangi, Kabupaten Malang, Sumenep dan daerah-daerah lainnya.

Munculnya, ketimpangan dalam distribusi personil antara Surabaya dan luar Surabaya ini

berawal dari adanya toleransi dari pimpinan yang tidak tegas menolak permintaan

13
personil untuk memilih bekerja wilayah Surabaya. Penyebab lain, tidak berjalannya

sistem rotasi dengan mempertimbangkan masa kerja dan faktor wilayah dimana personil

bekerja. Akibatnya, banyak personil yang masa kerjanya diatas 5 tahun bekerja di

daerah-daerah yang relatif jauh dari Surabaya tidak dimutasi. Faktor lainnya, karena

budaya personil yang tidak mau menanggung resiko dipindahkan diluar UPTD dimana

dia sudah mapan bertempat tinggal (berumah tangga).

2.2.2.2. MASALAH SISTEM DAN PROSEDUR (SISDUR)


Masalah sisdur yang dimaksudkan disini mencakup sisdur rekruitmen dalam

konteks promosi jabatan yang bertujuan untuk memilih personil yang berkualitas (merit

system), dan sisdur rotasi/mutasi yang bertujuan untuk menciptakan distribusi personil

yang lebih merata pada semua Unit Kerja.

2.2.2.2.1. Sisdur rekruitmen jabatan struktural dan fungsional


Sisdur rekruitmen promosi jabatan, sudah ada kemajuan dibanding dengan

masa-masa sebelumnya, karena sejak tahun 2005 yang lalu dengan dibantu oleh Tim

Ahli Dipenda telah dibangun sistem rekruitmen untuk menjaring personil-personil yang

berkualitas yang akan menduduki jabatan struktural (eselon III dan eselon IV) dan

jabatan fungsional, terutama Administrator Pelayanan (Adpel). Prosesnya sampai

sekarang masih dilakukan secara konsisten. Sistem yang dibangun ini secara perlahan

tapi pasti akan mampu mengurangi kesan umum bahwa pengangkatan pejabat

dilingkungan Dipenda tidak lagi berdasarkan “suka dan tidak suka” (like and dislike) atau

adanya praktek KKN.

Namun demikian, apabila dikaji lebih mendalam sisdur yang dibangun masih

bersifat parsial, karena hanya dibuat dari sisi proses pengangkatannya. Sebaiknya,

kedepan juga harus dibangun sistem atau instrumen evaluasi dan monitoring untuk

14
semua pejabat yang diangkat tersebut, sehingga akan diketahui kinerjanya dalam

melaksanakan tugas. Dan yang tidak kalah pentingnya untuk dibangun adalah sistem

penghargaan (reward) bagi yang berprestasi dan sebaliknya hukuman (punishment)

bagi yang tidak berprestasi atau melanggar peraturan.

2.2.2.2.2. Sisdur rotasi/mutasi personil


Penumpukan personil pada suatu unit kerja tertentu dan kekurangan personil

pada unit kerja lainnya merupakan akibat dari tidak dibangunnya sisdur rotasi personil

yang baik dilingkungan Dipenda. Mungkin saja sisdurnya sudah ada dalam peraturan

perundang-undangan yang ada tetapi pelaksanaannya tidak dilakukan secara konsisten.

Kondisi ini berdampak bukan hanya dapat mengganggu proses peningkatan kinerja

masing-masing Unit Kerja tetapi juga menyangkut rasa kemanusiaan dan keadilan bagi

personil yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu dibangun sistem yang mampu

menjelaskan secara rasional bagaimana seorang personil itu dipindahkan ke bagian

tertentu, atas dasar alasan apa dia dipindahkan, kapan dia dipindahkan, dan berapa

lama dia harus bekerja dibagian tersebut.

2.2.2.2. MASALAH KULTUR

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kultur birokrasi atau lebih spesifik lagi

budaya personil sangat berpengaruh dalam menentukan karakteristik sebuah organisasi

publik. Budaya personil yang mendukung perubahan akan sangat berperan dalam

mendorong proses percepatan peningkatan kinerja organisasi, sebaliknya budaya status

quo atau resisten terhadap perubahan akan mendistorsi proses percepatan peningkatan

kinerja organisasi. Budaya personil sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dasarnya

dan kemampuannya berinterkasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan

disekitarnya. Sebagai contoh, seorang staf yang tidak tergolong pintar akan termotivasi

15
untuk maju dan berkembang apabila dalam lingkup organisasinya tercipta suasana yang

kondusif untuk dia berkembang dan mengekspresikan segala potensi dirinya. Sebaliknya,

seorang staf yang cerdas akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan

kemampuannya apabila dalam lingkup unit kerjanya tidak ada suasana yang

mendukung, sehingga yang terjadi kemudian adalah apatisme, frustasi dan depresi.

Budaya organisasi adalah absraksi dari budaya individu-individu personil. Budaya

personil akan tercipta dalam proses waktu yang cukup panjang. Demikian juga yang

terjadi dilingkungan Dipenda. Menurut pengamatan penulis, meskipun sudah ada

kemajuan-kemajuan dari masa-masa sebelumnya, namun sampai saat ini masih terasa

beberapa budaya yang cenderung akan mendistorsi perubahan organisasi kedepan.

Beberapa budaya yang dimaksud termanisfestasi dalam beberapa bentuk perilaku

sebagai berikut :

1. Adanya kebiasaan melaporkan hal-hal yang dianggap baik-baik saja kepada pimpinan

dengan menutupi persoalan yang sebenarnya.

2. Kurangnya kemampuan untuk mengembangkan daya inovasi dan kreativitas yang

muncul dari inisiatif dan prakarsa sendiri atau kelompok tanpa harus menunggu

instruksi, perintah dan petunjuk dari pimpinan.

3. Adanya ketakutan untuk berubah dari kondisi mapan yang sedang dialami, baik atas

dorongan atau motivasi diri sendiri atau atas dorongan dan tuntutan dari sistem

yang dibangun lembaga.

4. Adanya keengganan untuk berkorban demi masa depan, seperti tidak mau

ditempatkan di daerah lain meskipun sudah dijanjikan untuk diberikan jabatan

tertentu. Mereka lebih senang bekerja ditempat asalnya, meskipun dengan

konsekuensi hanya menjadi staf sampai mereka pensiun.

16
5. Masih kuatnya anggapan dikalangan personil bahwa bekerja di Samsat lebih

menjanjikan kesejahteraan dibanding dengan di tempat lain (misalnya UPTD).

Akibatnya, terjadi persaingan yang sangat ketat untuk memperoleh pekerjaan

dilingkungan Kantor Bersama Samsat.

2.2.2.3. MASALAH INFRASTRUKTUR

Yang dimaksud dengan masalah infrastruktur disini adalah menyangkut

ketersediaan prasarana dan sarana untuk menunjang pengembangan Manajemen

Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Dipenda. Meskipun sifatnya hanya pendukung, tetapi

perannya sangat penting dan signifikan untuk mencapai keberhasilan. Terdapat beragam

sarana dan prasarana untuk mendukung MPNS agar efektif dan efisien. Salah satu

diantaranya yang menurut hemat penulis sangat penting tetapi kurang mendapat

perhatian adalah penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi. Sebagaimana

diketahui bahwa masalah personil termasuk masalah pengelolaan administrasi yang

cukup rumit, karena berkaitan dengan pengelolaan dokumen-dokumen yang cukup

banyak jenis maupun jumlahnya yang harus dikelola secara tertib, aman dan sebagian

bersifat rahasia oleh Bagian Kepegawaian (personalia).

Mencermati praktek pengelolaan dokumen-dokumen personil tersebut dilingkungan

Dipenda (Sub Bagian Kepegawaian) dikaitkan dengan sistem pelaporan dalam konteks

pengembangan sistem informasi manajemen, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan

yang dilakukan masih konvensional. Sebagian memang sudah ada sentuhan teknologi

informasi, namun secara keseluruhan belum dapat dikatakan efektif dan efisien, karena

masih banyak menggunakan cara-cara manual tidak otomatisasi dan bersifat interaktif.

Akibatnya dari kondisi tersebut, pimpinan sangat sulit memutuskan kebijakan

dalam waktu singkat, harus menunggu pengumpulan dokumen-dokumen tersebut

tersedia yang dilakukan secara manual, karena belum dapat dilakukan secara interaktif.

17
Lebih parah lagi, sistem yang ada belum mampu merekam (record) jatidiri personil

secara keseluruhan, dengan pengertian tidak hanya mampu merekam identitas, seperti

riwayat pendidikan, riwayat pangkat, jabatan dan keluarganya tetapi lebih dari itu harus

mampu merekam berbagai prestasi kerja dan penghargaan yang diterima serta

hukuman-hukuman yang pernah diterima sepanjang karirnya. Hal ini sangat penting,

untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi pimpinan dalam mengambil keputusan yang

obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan, baik dalam konteks rotasi/ mutasi personil

atau promosi jabatan.

2.2.3. PELUANG PENGEMBANGAN SDM DIPENDA

Beberapa persoalan SDM Dipenda sebagaimana telah dipaparkan pada uraian

terdahahulu perlu segera diantisipasi dengan berbagai strategi dan program kebijakan

yang sistemik dan berkelanjutan. Hal ini sangat penting untuk menjamin kelangsungan

fungsi Dipenda sebagai pelaksana pemungut PAD dan pelaksana pelayanan masyarakat

tetap berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dalam keterkaitannya dengan masalah itu,

menurut hemat penulis ada beberapa peluang pengembangan yang dapat dilakukan

sebagai langkah antisipatif untuk menghindari kondisi Dipenda yang lebih buruk pada

masa yang akan datang, karena tanpa terasa waktu berjalan terus, sementara persiapan

antisipatif masih sangat minimal dilakukan. Beberapa hal yang dapat dilakukan meliputi:

1. Melakukan pengkajian secara menyeluruh tentang jumlah ideal atau rasio ideal

personil yang dibutuhkan oleh organisasi Dipenda, baik pada tingkat UPTD dan

Samsat maupun pada tingkat Kantor Dinas. Analisis harus memperhitungkan

berbagai kemungkinan terjadinya reorganisasi atau restrukturisasi organisasi

Dipenda kedepan.

2. Melanjutkan pemetaan kompetensi seluruh personil untuk mengetahui kemampuan

yang dimiliki secara individual dan kelemahan-kelemahan yang masih dimiliki,

18
sehingga akan memudahkan penyusunan materi, jenis dan model diklat (training)

yang akan dilaksanakan nantinya.

3. Melaksanakan secara terstruktur berbagai jenis diklat (training) baik yang dilakukan

secara internal maupun eksternal untuk menambah wawasan dan meningkatkan

keterampilan personil dibidang tugasnya masing-masing.

4. Memberikan kesempatan dan memfasilitasi personil yang ingin melanjutkan sekolah

formal ke jenjang yang lebih tinggi, baik tingkat Sarjana (S1) bagi yang masih

berpendidikan SLTA atau diploma, maupun ke jenjang Pascasarjana (S2) bagi yang

sudah berpendidikan Sarjana, bahkan apabila memungkinkan ke jenjang doktoral.

5. Meminta jatah personil setiap diadakan test CPNS oleh pemerintah propinsi dan

membuka ruang untuk menerima transfer personil dari instansi lain dengan terlebih

dahulu diadakan test masuk di lingkungan Dipenda.

6. Membuat instrumen pengukuran evaluasi dan monitoring kinerja pejabat UPTD/

Samsat dan Dinas.

7. Membuat sistem kompetisi yang obyektif dan sportif secara sistemik, baik untuk

tingkat organisasi (unit kerja) maupun tingkat individu (personil). Kompetisi untuk

tingkat organisasi memang sudah dilakukan, tapi masih bersifat temporal dalam

rangka memperingati HUT Dipenda, kedepan sebaiknya tidak selalu dikaitkan dengan

acara HUT tetapi diarahkan untuk mendorong persaingan dalam rangka peningkatan

kinerja organisasi. Kompetisi untuk tingkat personil memang sampai saat ini masih

jarang atau bahkan belum pernah dilakukan, kedepan sebaiknya hal ini perlu

dikembangkan sebagai bagian dari sistem organisasi, sehingga akan ada pegawai

dipenda tauladan setiap bulan pada Unit Kerjanya, dan ada pegawai tauladan pada

tingkat Dinas setiap tahunnya. Jenis-jenis ketauladanan personil bisa dibuat

bermacam-macam, seperti kedisiplinan, kejujuran, prestasi atau kinerja.

19
8. Mengembangkan Kelompok Budaya Kerja (KBK) sebagai suatu kesatuan sistem unit

kerja, tidak lagi seperti sekarang hanya untuk tujuan lomba.

9. Membangun sistem informasi manajemen kepegawaian dengan memanfaatkan dan

mendayagunakan teknologi informasi secara optimal.

10. Membangun sistem pembinaan dan pengawasan personil yang terintegrasi dan

sistemik dengan penyelenggaraan berbagai diklat/training, waskat, pembinaan

mental dan spiritual (imtag), dan pembinaan pimpinan (kadis).

C. PENUTUP

Dari paparan pada bagian terdahulu, dapat diambil beberapa kesimpulan berikut:

1. Pengelolaan personil tidak bisa dianggap hal yang dapat dikesampingkan dalam

suatu organisasi publik. Karena kuantitas dan kualitas personil sangat menentukan

keberlanjutan eksistensi sebuah organisasi. Terlebih lagi organisasi publik seperti

Dipenda yang mengemban fungsi yang sangat vital untuk mendukung

pembiayaan pembangunan Jawa Timur sekaligus sebagai lembaga pelayanan

untuk memenuhi hak-hak masyarakat setelah mereka memenuhi kewajibannya

membayar pajak dan retribusi kepada pemerintah.

2. Mencermati berbagai persoalan dalam pengelolaan personil dilingkungan Dipenda

ada beberapa persoalan yang dianggap sangat potensial akan dapat mengganggu

atau menghambat pencapaian visi dan misi organisasi Dipenda kedepan apabila

dibiarkan, yaitu masalah struktur, sisdur, kultur dan infrastruktur.

3. Agar persoalan yang lebih buruk dapat terjadi, maka perlu langkah-langkah

antisipatif untuk mengatasi masalah tersebut.

20
Daftar Pustaka

Buku/Makalah/Jurnal

Sukardi, Akhmad, 2005. Pengarahan pada Rapat Evaluasi Pelaksanaan Tugas Triwulan

III Tahun Anggaran 2005. Hotel Utami, Surabaya.

Subarudi, 2004. Reformasi Manajemen PNS Mencegah Birokrasi Keranjang Sampah.

Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, 20 Pebruari 2004.

Sarwono, Sarlito Wirawan, 2004. Pembangunan Budaya Aparatur Negara. Suatu Kajian

psiko-soaial. Homepage sarlito.net.

Salusus,1996. Pengambilan Keputusan Stratejik.

Soerjadi, 1995. Organizational and Method. Penunjang Berhasilnya Proses Manajemen

Tamin, Faisal, 2003. Transformasi Budaya Kerja Aparatur Negara. Dimuat dalam Harian

Sinar Harapan, 15 Januari 2004.

Tim Ahli Dipenda, 2005. Konsep Rekruitmen Pejabat Struktural Eselon III dan Eselon IV

dilingkungan Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Timur.

Performs,2004. Program Pengembangan Institusional. Khusus Bagian “Pengembangan

Sumber daya Manusia”.

Tokoh Indonesia.com,2005. Drs. H. Faisal Tamin. Pelopor Netralitas Politik PNS.


Koran
Tempo, 06 Agustus 2003. Gus Dur : Birokrasi Indonesia Gede dan Kotor

Sinar Harapan, 11 Pebruari 2002. Megawati: Pemerintahan Ini Keranjang Sampah

Kompas, 26 Mei 2006. Reformasi Birokrasi, Jangan Lagi seperti Keranjang Sampah
Perundang-undangan :
Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 43/KEP/2001 tentang Standar
Kompetensi Jabatan Struktural

21

Anda mungkin juga menyukai