Anda di halaman 1dari 28

i

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa ataupun akibat
keduanya.1 Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat bervariasi dan dapat
disebabkan oleh berbagai hal, tetapi biasanya berkaitan dengan proses degenatif.2,3
Kekeruhan lensa pada katarak dapat mengenai kedua mata dan berjalan
progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama.
Kekeruhan lensa ini mengakibatkan lensa tidak transparan sehingga pupil akan
berwarna putih atau abu-abu. Pasien dengan katarak mengeluh penglihatan seperti
berasap dan tajam penglihatan yang menurun secara progresif.1
Menurut WHO di negara berkembang 1-3% penduduk mengalami kebutaaan
dan 50% penyebabnya adalah katarak. Sedangakan untuk negara maju sekitar 1,2%
penyebab kebutaan adalah katarak.2
Suatu studi yang dilakukan oleh Walmer Eye Institute pada tahun 2004
mencatat sekitar 20,5 juta penduduk usia lebih dari 40 tahun di Amerika menderita
katarak pada kedua matanya dan sekitar 6,1 juta diantaranya merupakan pseudofaki
atau afaki. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 30,1 juta kasus katarak
dan 9,1 juta kasus dengan pseudofaki atau afaki pada tahun 2020.4
Hasil Survei Kebutaan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB)
tahun 2014 2016 oleh Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) dan
Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan di lima belas provinsi (Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Kalimantan Selatan, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Maluku dan Papua Barat) diketahui angka kebutaan mencapai 3% dan katarak
merupakan penyebab kebutaan tertinggi (81%). Survei tersebut dilakukan dengan
sasaran populasi usia 50 tahun ke atas.3

1
Berdasarkan usia penderitanya, katarak dapat diklasifikasikan menjadi
katarak kongenital yang sudah terlihat pada usia dibawah 1 tahun, katarak juvenile
yang terjadi sesudah usia 1 tahun dan katarak senilis yang mengenai orang-orang
berusia diatas 50 tahun. Diantara ketiganya, katarak senilis merupakan jenis katarak
yang paling sering terjadi.1

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1 Mengetahui dasar ilmu mengenai katarak senilis, sehingga dapat
diimplemetasikan dalam kegiatan klinik.
1.2.2 Menjadi acuan bahan belajar lulusan dokter umum terkait standar
kompetensi yang dimiliki untuk penyakit katarak senilis.

2
BAB II
STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Indralaya, Ogan Ilir
Pekerjaan : wiraswasta
Agama : Islam
Status : menikah
Tanggal Pemeriksaan : 16 Oktober 2019

2. Anamnesis (Autoanamnesis pada 16 Oktober 2019)


a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh kedua penglihatan kedua mata kabur sejak 2 tahun yang
lalu.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 2 tahun yang lalu pasien mengeluh kedua penglihatan kabur.
Penglihatan dirasakan kabur secara perlahan dan menetap. Kabur seperti
melihat asap (+), pandangan seperti berkabut di malam hari (-), nyeri pada
mata (-), kotoran mata (-), sulit membuka dan menutup mata (-), silau (-),
seperti melihat tirai (-), seperti melihat dalam terowongan (-) dan
pandangan ganda (-). Pasien pernah berobat 1 tahun yang lalu dengan
keluhan yang sama dan tidak dilakukan operasi. Pasien lalu berobat ke
rumah sakit karena keluhan tidak kunjung membaik dan dirasakan
semakin lama semakin mengganggu aktivitas sehari-hari.
c. Riwayat Pengobatan
Pasien pernah berobat 1 tahun yang lalu dengan keluhan yang sama ke
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang namun tidak dilakukan operasi.

3
d. Riwayat Penyakit Dahulu
● Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (+) 1 tahun yang lalu
● Riwayat trauma pada mata disangkal
● Riwayat operasi pada mata disangkal
● Riwayat memakai kacamata (+) sejak 5 tahun yang lalu
● Riwayat kencing manis (-)
● Riwayat darah tinggi disangkal
e. Riwayat Penyakit dalam Keluarga
● Riwayat sakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 20x/menit
Suhu : 36,8 oC
BB : 58 kg
TB : 168 cm
IMT : 20,55
Status Gizi : normoweight
b. Status Oftalmologikus
Okuli Dekstra Okuli Sinistra
Visus 2/60 ph (-) 2/60 ph (-)
Tekanan p=n+0 p=n+0
intraocular

4
Kedudukan Ortoforia
bola mata
Gerakan 0 0 0
0
bola mata
0 0 0 0

0 0 0 0
Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Palpebra Tenang Tenang


Konjungtiva Tenang Tenang
Kornea Jernih Jernih
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Pupil Bulat, sentral, refleks cahaya Bulat, sentral, refleks cahaya (+),
(+), diameter 3 mm diameter 3 mm

Lensa Keruh, Shadow Test (+) Keruh, Shadow Test (+)


Refleks RFOD (+) RFOS (+)
Fundus

Papil Bulat, batas tegas, warna merah Bulat, batas tegas, warna merah
normal, c/d ratio 0.3, a/v 2:3 normal, c/d ratio 0.3, a/v 2:3
Makula Refleks fovea (+) menurun Refleks fovea (+) menurun
Retina Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik (+),
(+), perdarahan (-), eksudat (+) perdarahan (-), eksudat (+) di satu
di satu kuadran kuadran

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan slit lamp

5
5. Diagnosis Banding
a. Katarak Senilis Imatur Okuli Dekstra et Sinistra
b. Katarak Senilis Matur Okuli Dekstra et Sinistra

6. Diagnosis Kerja
Katarak Senilis Imatur Okuli Dekstra et Sinistra

7. Tatalaksana
a. Informed Consent
b. KIE
● Menjelaskan kepada pasien bahwa keluhan mata kabur pada pasien
disebabkan oleh katarak atau pengeruhan lensa mata yang timbul
dipengaruhi oleh faktor usia dan riwayat penyakit pasien.
● Menjelaskan rencana terapi yang akan dilakukan yaitu terapi
pembedahan berupa ekstraksi lensa dan akan dipasang lensa baru.
● Merujuk pasien ke dokter spesialis mata (sebagai dokter umum).
● Pro ekstraksi lensa (ECCE) OD + IOL (sebagai dokter spesialis mata).

8. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Lensa Mata


Lensa adalah bagian dari bola mata yang berbentuk bikonveks, avaskular,
transparan, terletak di belakang iris dan di depan vitreus, ditopang oleh Zonula Zinii
yang melekat ke korpus siliaris. Lensa terdiri dari kapsul, epitel, korteks, dan
nukleus. Kapsul lensa yang bersifat elastik berfungsi untuk mengubah bentuk lensa
pada proses akomodasi.4

Gambar 1. Anatomi bola mata;

7
Gambar 2. Anatomi Lensa

Lensa menyumbang kekuatan refraksi sebanyak 15-20 dioptri dalam


penglihatan. Kutub anterior dan posterior lensa dihubungkan oleh garis khayal yang
disebut axis, sedangkan equator merupakan garis khayal yang mengelilingi lensa.
Di dalam mata, lensa trfiksir pada serat zonula yang berasal dari badan silier. Serat
zonula tersebut menempel dan menyatu dengan lensa pada bagian anterior dan
posterior dari kapsul lensa. Kapsul ini merupakan membran dasar yang melindungi
nukleus, korteks dan epitel lensa.5
1. Kapsul
Kapsul lensa merupakan membran dasar yang elastis dan transparan
tersusun dari kolagen tipe IV yang berasal dari sel-sel epitel lensa. Kapsul ini
mengandung isi lensa serta mempertahankan bentuk lensa pada saat akomodasi.
Bagian paling tebal kapsul berada di bagian anterior dan posterior zona pre-
equator dan bagian paling tipis berada di bagian tengah kutub posterior.5
2. Serat Zonula
Lensa terfiksir oleh serat zonula yang berasal dari lamina basal pars plana
dan pars plikata badan silier. Serat-serat zonula ini menyatu dengan lensa pada
bagian anterior dan psterior kapsul lensa.5
3. Epitel Lensa
Tepat di belakang kapsul anterior lensa terdapat satu lapis sel-sel epitel.
Sel-sel epitel ini dapat melakukan aktivitas seperti yang dilakukan sel-sel
lainnya, seperti sintesis DNA, RNA, protein dan lipid. Sel-sel tersebut juga
dapat membentuk ATP untuk memenuhi kebutuhan energi lensa. Sel-sel epitel

8
yang baru terbentuk akan menuju equator lalu berdiferensiasi menjadi serat
lensa.5
4. Nukleus dan Korteks
Sel-sel berubah menjadi serat, lalu serat baru akan terbentuk dan akan
menekan serat-serat lama untuk berkumpul di bagian tengah lensa. Serat-serat
paling tua yang terbentuk merupakan lensa fetus yang diproduksi pada fase
embrionik dan masih menetap hingga sekarang. Serat-serat yang baru akan
membentuk korteks dari lensa.5

Fisiologi Lensa
Lensa tidak memiliki pembuluh darah maupun sistem saraf. Untuk
mempertahankan kejernihannya, lensa harus menggunakan aqueous humor sebagai
penyedia nutrisi dan sebagai tempat pembuangan produknya. Namun hanya sisi
anterior lensa saja yang terkena aqueous humor. Oleh karena itu, sel-sel yang berada
di tengah lensa membangun jalur komunikasi terhadap lingkungan luar lensa
dengan membangun low-resistance gap junction antar sel.5

1. Keseimbangan Elektrolit dan Air Dalam Lensa


Lensa normal mengandung 65% air, dan jumlah ini tidak banyak berubah
seiring bertambahnya usia. Sekitar 5% dari air di dalam lensa berada di ruangan
ekstrasel. Konsentrasi sodium di dalam lensa adalah sekitar 20μM dan potasium
sekitar 120μM. Konsentrasi sodium di luar lensa lebih tinggi yaitu sekitar
150μM dan potasium sekitar 5μM. 5
Keseimbangan elektrolit antara lingkungan dalam dan luar lensa sangat
tergantung dari permeabilitas membran sel lensa dan aktivitas pompa sodium,
Na+, K+ -ATPase. Inhibisi Na+, K+ -ATPase dapat mengakibatkan hilangnya
keseimbangan elektrolit dan meningkatnya air di dalam lensa.5
Keseimbangan kalsium juga sangant penting bagi lensa. Konsentrasi
kalsium di dalam sel yang normal adalah 30μM, sedangkan di luar lensa adalah
sekitar 2μM. Perbedaan konsentrasi kalsium ini diatur sepenuhnya oleh pompa

9
kalsium Ca2+-ATPase. Hilangnya keseimbangan kalsium ini dapat
menyebabkan depresi metabolisme glukosa, pembentukan protein high-
molecular-weight dan aktivasi protease destruktif.5
Transpor membran dan permeabilitas sangat penting untuk kebutuhan
nutrisi lensa. Asam amino aktif masuk ke dalam lensa melalui pompa sodium
yang berada di sel epitel. Glukosa memasuki lensa secara difusi terfasilitasi,
tidak langsung seperti sistem transport aktif.5

2. Akomodasi Lensa
Mekanisme yang dilakukan mata untuk merubah fokus dari benda jauh ke
benda dekat disebut akomodasi. Akomodasi terjadi akibat perubahan lensa oleh
aksi badan silier terhadap serat-serat zonula. Setelah umur 30 tahun, kekakuan
yang terjadi di nukleus lensa secara klinis mengurangi daya akomodasi.5
Saat otot silier berkontraksi, serat zonular relaksasi mengakibatkan lensa
menjadi lebih cembung. Ketika otot silier berkontraksi, ketebalan axial lensa
meningkat, kekuatan dioptri meningkat, dan terjadi akomodasi. Saat otot silier
relaksasi, serat zonular menegang, lensa lebih pipih dan kekuatan dioptri
menurun.5

Terjadinya akomodasi dipersarafi oleh saraf simpatik cabang nervus III


(okulomotorius). Obat-obat parasimpatomimetik (pilokarpin) memicu akomodasi,
sedangkan obat-obat parasimpatolitik (atropine) memblok akomodasi. Obat-obatan
yang menyebabkan relaksasi otot silier disebut cycloplegic.5

10
3.2. Katarak
3.2.1. Definisi
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa ataupun akibat
keduanya.1

3.2.2. Epidemiologi
Pada tahun 2010, prevalensi katarak di Amerika Serikat adalah 17,1%.
Katarak paling banyak mengenai ras putih (80%) dan perempuan (61%).Menurut
hasil survei Riskesdas 2013, prevalensi katarak di Indonesia adalah 1,4%, dengan
responden tanpa batasan umur.8
Menurut WHO, kebutaan yaitu visus < 3/60 pada mata terbaik dengan
koreksi terbaik.8WHO memperkirakan sekitar 18 juta orang mengalami kebutaan
kedua mata akibat katarak.8 Jumlah ini hampir setengah (47,8%) dari semua
penyebab kebutaan karena penyakit mata di dunia. Penyebab kebutaan lainnya
adalah kelainan refraksi tidak terkoreksi, glaukoma, Age-Related Macular
Degeneration, retinopati DM, kebutaan pada anak, trakoma, onchocerciasis, dan
lain-lain.9 Indonesia menduduki peringkat tertinggi prevalensi kebutaan di Asia
Tenggara sebesar 1,5% dan 50% di antaranya disebabkan katarak.10Jumlah ini
diperkirakan akan meningkat karena pertambahan penduduk yang pesat dan
meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia.10

3.2.3.Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko katarak dapat dibedakan menjadi faktor individu,
lingkungan, dan faktor protektif. Faktor individu terdiri atas usia, jenis kelamin, ras,
serta faktor genetik. Faktor lingkungan termasuk kebiasaan merokok, paparan sinar
ultraviolet, status sosioekonomi, tingkat pendidikan, diabetes mellitus, hipertensi,
penggunaan steroid, dan obat-obat penyakit gout.12,13Faktor protektif meliputi
penggunaan aspirin dan terapi pengganti hormon pada wanita.14

11
3.2.4.Klasifikasi Berdasarkan Usia
A. Katarak Kongenital
Sepertiga kasus katarak kongenital adalah diturunkan, sepertiga
berkaitan dengan penyakit sistemik, dan sisanya idiopatik.Separuh katarak
kongenital disertai anomali mata lainnya, seperti PHPV (Primary
Hyperplastic Posterior Vitreous), aniridia, koloboma, mikroftalmos, dan
buftalmos (pada glaukoma infantil).10
B. Katarak Senilis
Seiring berjalannya usia, lensa mengalami kekeruhan, penebalan,
serta penurunan daya akomodasi, kondisi ini dinamakan katarak senilis.
Katarak senilis merupakan 90% dari semua jenis katarak. Terdapat tiga jenis
katarak senilis berdasarkan lokasi kekeruhannya10,12, yaitu :
1. Katarak Nuklearis
Katarak nuklearis ditandai dengan kekeruhan sentral dan perubahan
warna lensa menjadi kuning atau cokelat secara progresif perlahan-lahan
yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Derajat kekeruhan
lensa dapat dinilai menggunakan slitlamp. Katarak jenis ini biasanya
terjadi bilateral, namun dapat juga asimetris. Perubahan warna
mengakibatkan penderita sulit untuk membedakan corak warna. Katarak
nuklearis secara khas lebih mengganggu gangguan penglihatan jauh
daripada penglihatan dekat. Nukleus lensa mengalami pengerasan
progresif yang menyebabkan naiknya indeks refraksi, dinamai miopisasi.
Miopisasi menyebabkan penderita presbiopia dapat membaca dekat tanpa
harus mengenakan kacamata, kondisi ini disebut sebagai second sight.12
2. Katarak Kortikal
Katarak kortikal berhubungan dengan proses oksidasi dan presipitasi
protein pada sel-sel serat lensa. Katarak jenis ini biasanya bilateral,
asimetris, dan menimbulkan gejala silau jika melihat ke arah sumber
cahaya. Tahap penurunan penglihatan bervariasi dari lambat hingga
cepat. Pemeriksaan slitlamp berfungsi untuk melihat ada tidaknya
vakuola degenerasi hidropik yang merupakan degenerasi epitel posterior,

12
dan menyebabkan lensa mengalami elongasi ke anterior dengan
gambaran seperti embun.10
3. Katarak Subkapsuler
Katarak ini dapat terjadi di subkapsuler anterior dan posterior.
Pemeriksaannya menggunakan slitlamp dan dapat ditemukan kekeruhan
seperti plak di korteks subkapsuler posterior. Gejalanya adalah silau,
penglihatan buruk pada tempat terang, dan penglihatan dekat lebih
terganggu daripada penglihatan jauh.11,19

3.2.5.Maturitas Katarak
Berdasarkan maturitasnya, katarak dibagi menjadi: 6,10
A. Iminens/Insipiens
Merupakan stadium paling dini yang belum mengganggu visus. Pada
stadium ini, lensa bengkak karena termasuki air, kekeruhan lensa masih
ringan, visus biasanya > 6/60. Pada pemeriksaan dapat ditemukan iris
normal, bilik mata depan normal, sudut bilik mata normal, serta shadow test
negatif.
B. Imatur
Pada tahap berikutnya, opasitas lensa bertambah dan visus mulai
menurun menjadi 5/60 sampai 1/60. Lensa berwarna putih keabuan tetapi
masih ada korteks yang jernih sehingga didapatkan Pada pemeriksaan
shadow test positif.Cairan lensa bertambah akibatnya iris terdorong dan bilik
mata depan menjadi dangkal, sudut bilik mata sempit, dan sering terjadi
glaukoma.
C. Matur
Jika katarak dibiarkan, lensa akan menjadi keruh yang komplit dan
visus menurun drastis menjadi 1/300 atau hanya dapat melihat lambaian
tangan dalam jarak 1 meter. Oleh karena semua sinar yang melalui pupil
dipantulkan kembali kepermukaan anterior lensa sehingga tidak tampak
bayangan iris ada pemeriksaan didapatkan shadow test negatif. Warna lensa
seperti mutiara.

13
D. Hipermatur
Pada tahap akhir, korteks mencair sehingga nukleus jatuh dan lensa
jadi turun dari kapsulnya (Morgagni). Lensa terlihat keruh seluruhnya, visus
sudah sangat menurun hingga bisa mencapai 0, dan dapat terjadi komplikasi
berupa uveitis dan glaukoma. Pada pemeriksaan didapatkan iris tremulans,
bilik mata depan dalam, sudut bilik mata terbuka, serta shadow test positif
palsu.

3.2.6.Tatalaksana
Tatalaksana definitif untuk katarak saat ini adalah tindakan bedah.
Beberapa penelitian seperti penggunaan vitamin C dan E dapat
memperlambat pertumbuhan katarak, namun belum efektif untuk
menghilangkan katarak.10
Tujuan tindakan bedah katarak adalah untuk mengoptimalkan fungsi
penglihatan. Keputusan melakukan tindakan bedah tidak spesifik tergantung
dari derajat tajam penglihatan, namun lebih pada berapa besar penurunan
tersebut mengganggu aktivitas pasien.6 Indikasi lainnya adalah bila terjadi
gangguan stereopsis, hilangnya penglihatan perifer, rasa silau yang sangat
mengganggu, dan simtomatik anisometrop.10
Indikasi medis operasi katarak adalah bila terjadi komplikasi antara
lain: glaukoma fakolitik, glaukoma fakomorfik, uveitis fakoantigenik,
dislokasi lensa ke bilik depan, dan katarak sangat padat sehingga
menghalangi pandangan gambaran fundus karena dapat menghambat
diagnosis retinopati diabetika ataupun glaukoma.10
Beberapa jenis tindakan bedah katarak :

A. Intracapsular Cataract Extraction (ICCE)


ICCE adalah jenis operasi katarak dengan membuang lensa dan
kapsul secara keseluruhan. ICCE menggunakan peralatan sederhana dan
hampir dapat dikerjakan pada berbagai kondisi. Terdapat beberapa

14
kekurangan ICCE, seperti besarnya ukuran irisan yang mengakibatkan
penyembuhan luka yang lama, menginduksi astigmatisma pasca operasi,
cystoid macular edema (CME), dan ablasio retina.12 Meskipun sudah banyak
ditinggalkan, ICCE masih dipilih untuk kasus-kasus subluksasi lensa, lensa
sangat padat, dan eksfoliasi lensa.10 Kontraindikasi absolut ICCE adalah
katarak pada anak-anak, katarak pada dewasa muda, dan ruptur kapsul
traumatik, sedangkan kontraindikasi relatif meliputi miopia tinggi, sindrom
Marfan, katarak Morgagni, dan adanya vitreus di kamera okuli anterior.13

B. Extracapsular Cataract Extraction (ECCE)


ECCE adalah jenis operasi katarak dengan membuang nukleus dan
korteks lensa melalui lubang di kapsul anterior. ECCE meninggalkan
kantong kapsul (capsular bag) sebagai tempat untuk menanamkan lensa
intraokuler (IOL). Teknik ini mempunyai banyak kelebihan seperti trauma
irisan yang lebih kecil sehingga luka lebih stabil dan aman, menimbulkan
astigmatisma lebih kecil, dan penyembuhan luka lebih cepat.10 Pada ECCE,
kapsul posterior yang intak mengurangi risiko CME, ablasio retina, edema
kornea, serta mencegah penempelan vitreus ke iris, IOL, atau kornea.13

C. Small Incision Cataract Surgery (SICS)


Teknik ECCE telah dikembangkan menjadi suatu teknik operasi
dengan irisan sangat kecil (7-8 mm) dan hampir tidak memerlukan jahitan,
teknik ini dinamai SICS. Oleh karena irisan yang sangat kecil, penyembuhan
relative lebih cepat dan risiko astigmatisma lebih kecil dibandingkan ECCE
konvensional. SICS dapat mengeluarkan nukleus lensa secara utuh atau
dihancurkan. Teknik ini populer di negara berkembang karena tidak
membutuhkan peralatan fakoemulsifikasi yang mahal, dilakukan dengan
anestesi topikal, dan bisa dipakai pada kasus nukleus yang padat. Beberapa
indikasi SICS adalah sklerosis nucleus derajat II dan III, katarak subkapsuler
posterior, dan awal katarak kortikal.10

15
D. Fakoemulsifikasi
Teknik operasi fakoemulsifikasi menggunakan alat tip ultrasonik
untuk memecah nukleus lensa dan selanjutnya pecahan nukleus dan korteks
lensa diaspirasi melalui insisi yang sangat kecil. Dengan demikian,
fakoemulsifikasi mempunyai kelebihan seperti penyembuhan luka yang
cepat, perbaikan penglihatan lebih baik, dan tidak menimbulkan
astigmatisma pasca bedah. Teknik fakoemulsifikasi juga dapat mengontrol
kedalaman kamera okuli anterior serta mempunyai efek pelindung terhadap
tekanan positif vitreus dan perdarahan koroid. Teknik operasi katarak jenis
ini menjadi pilihan utama di negara-negara maju.6

3.2.7.Komplikasi
Komplikasi operasi katarak dapat terjadi selama operasi maupun setelah
operasi. Pemeriksaan periodik pasca operasi katarak sangat penting untuk
mendeteksi komplikasi operasi.

3.2.7.1 Komplikasi Selama Operasi


1. Pendangkalan KameraOkuli Anterior
Pada saat operasi katarak, pendangkalan kamera okuli anterior
(KOA) dapat terjadi karena cairan yang masuk ke KOA tidak cukup,
kebocoran melalui insisi yang terlalu besar, tekanan dari luar bola
mata, tekanan vitreus positif, efusi suprakoroid, atau perdarahan
suprakoroid.10 Jika saat operasi ditemukan pendangkalan KOA, hal
pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi aspirasi,
meninggikan botol cairan infus, dan mengecek insisi. Bila insisi
terlalu besar, dapat dijahit jika perlu. Tekanan dari luar bola mata
dapat dikurangi dengan mengatur ulang spekulum kelopak mata. Hal
berikutnya adalah menilai tekanan vitreus tinggi dengan melihat
apakah pasien obesitas, bull-necked, penderita PPOK, cemas, atau
melakukan manuver Valsava. Pasien obesitas sebaiknya diposisikan
anti-trendelenburg. 10

16
2. Posterior Capsule Rupture (PCR)
PCR dengan atau tanpa vitreous loss adalah komplikasi
intraoperatif yang sering terjadi.Studi di Hawaii menyatakan bahwa
0,68% pasien mengalami PCR dan vitreous loss selama prosedur
fakoemulsifikasi.Beberapa faktor risiko PCR adalah miosis, KOA
dangkal, pseudoeksfoliasi, floppy iris syndrome, dan zonulopati.
Apabila terjadi PCR, sebaiknya lakukan vitrektomi anterior untuk
mencegah komplikasi yang lebih berat.PCR berhubungan dengan
meningkatnya risiko cystoid macular edema, ablasio retina, uveitis,
glaukoma, dislokasi IOL, dan endoftalmitis postoperatif katarak.5

3. Nucleus Drop
Salah satu komplikasi teknik fakoemulsifikasi yang paling
ditakutkan adalah nucleus drop, yaitu jatuhnya seluruh atau bagian
nukleus lensa ke dalam rongga vitreus. Jika hal ini tidak ditangani
dengan baik, lensa yang tertinggal dapat menyebabkan peradangan
intraocular berat, dekompensasi endotel, glaukoma sekunder, ablasio
retina, nyeri, bahkan kebutaan. Sebuah studi di Malaysia melaporkan
insidensi nucleus drop pasca fakoemulsifikasi sebesar 1,84%. Faktor
risiko nucleus drop meliputi katarak yang keras, katarak polar
posterior, miopia tinggi, dan mata dengan riwayat vitrektomi.

3.2.7.2 Komplikasi setelah operasi


1. Corneal Edema
Edema stromal atau epitelial dapat terjadi segera setelah operasi
katarak. Kombinasi dari trauma mekanik, waktu operasi yang lama,
trauma kimia, radang, atau peningkatantekanan intraokular (TIO),
dapat menyebabkan edema kornea.Pada umumnya, edema akan
hilang dalam 4 sampai 6 minggu.6Jika kornea tepi masih jernih, maka

17
edema kornea akan menghilang. Edema kornea yang menetap sampai
lebih dari 3 bulan biasanya membutuhkan keratoplasti tembus.10

2. Perdarahan
Komplikasi perdarahan pasca operasi katarak antara lain
perdarahan retrobulbar, perdarahan atau efusi suprakoroid, dan
hifema.6 Pada pasien-pasien dengan terapi antikoagulan atau
antiplatelet, risiko perdarahan suprakoroid dan efusi suprakoroid
tidak meningkat.6 Sebagai tambahan, penelitian lain membuktikan
bahwa tidak terdapat perbedaan risiko perdarahan antara kelompok
yang menghentikan dan yang melanjutkan terapi antikoagulan
sebelum operasi katarak.

3. Glaukoma sekunder
Bahan viskoelastik hialuronat yang tertinggal di dalam KOA
pasca operasi katarak dapat meningkatkan tekanan intraokular (TIO),
peningkatan TIO ringan bisa terjadi 4 sampai 6 jam setelah operasi,
umumnya dapat hilang sendiri dan tidak memerlukan terapi anti
glaukoma, sebaliknya jika peningkatan TIO menetap, diperlukan
terapi antiglaukoma.6 Glaukoma sekunder dapat berupa glaukoma
sudut terbuka dan tertutup. Beberapa penyebab glaukoma sekunder
sudut terbuka adalah hifema, TASS, endoftalmitis, serta sisa masa
lensa. Penyebab glaukoma sekunder sudut tertutup adalah blok pupil,
blok siliar, glaukoma neovaskuler, dan sinekia anterior perifer.13

4. Uveitis kronik
Inflamasi normal akan menghilang setelah 3 sampai 4 minggu
operasi katarak dengan pemakaian steroid topikal.6 Inflamasi yang
menetap lebih dari 4 minggu, didukung dengan penemuan keratik
presipitat granulomatosa yang terkadang disertai hipopion, dinamai
uveitis kronik. Kondisi seperti malposisi IOL, vitreus inkarserata, dan

18
fragmen lensa yang tertinggal, menjadi penyebab uveitis kronik.6
Tatalaksana meliputi injeksi antibiotik intravitreal dan operasi
perbaikan posisi IOL, vitreus inkarserata, serta pengambilan fragmen
lensa yang tertinggal dan IOL.13

5. Edema Makula Kistoid (EMK)


EMK ditandai dengan penurunan visus setelah operasi katarak,
gambaran karakteristik makula pada pemeriksaan oftalmoskopi atau
FFA, atau gambaran penebalan retina pada pemeriksaan
OCT.Patogenesis EMK adalah peningkatan permeabilitas kapiler
perifovea dengan akumulasi cairan di lapisan inti dalam dan
pleksiformis luar.Penurunan tajam penglihatan terjadi pada 2 sampai
6 bulan pasca bedah.EMK terjadi pada 2-10% pasca ICCE, 1-2%
pasca ECCE, dan < 1% pasca fakoemulsifikasi.Angka ini meningkat
pada penderita diabetes mellitus dan uveitis. Sebagian besar EMK
akan mengalami resolusi spontan, walaupun 5% diantaranya
mengalami penurunan tajam penglihatan yang permanen.14

6. Ablasio Retina
Ablasio retina terjadi pada 2-3% pasca ICCE, 0,5-2% pasca
ECCE, dan <1% pasca fakoemulsifikasi. Biasanya terjadi dalam 6
bulan sampai 1 tahun pasca bedah katarak.13 Adanya kapsul posterior
yang utuh menurunkan insidens ablasio retina pasca bedah,
sedangkan usia muda, miopia tinggi, jenis kelamin laki-laki, riwayat
keluarga dengan ablasio retina, dan pembedahan katarak yang sulit
dengan rupturnya kapsul posterior dan hilangnya vitreus
meningkatkan kemungkinan terjadinya ablasio retinapasca bedah.

7. Endoftalmitis
Endoftalmitis termasuk komplikasi pasca operasi katarak yang
jarang, namun sangat berat. Gejala endoftalmitis terdiri atas nyeri

19
ringan hingga berat, hilangnya penglihatan, floaters, fotofobia,
inflamasi vitreus, edem palpebra atau periorbita, injeksi siliar,
kemosis, reaksi bilik mata depan, hipopion, penurunan tajam
penglihatan, edema kornea, serta perdarahan retina. Gejala muncul
setelah 3 sampai 10 hari operasi katarak. Penyebab terbanyak adalah
Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus.Penanganan endoftalmitis yang cepat dan tepat mampu
mencegah infeksi yang lebih berat. Tatalaksana pengobatan meliputi
kultur bakteri, antibiotik intravitreal spektrum luas, topikal
sikloplegik, dan topikal steroid.5

8. Toxic Anterior Segment Syndrome (TASS)


TASS merupakan inflamasi pasca operasi yang akut dan non-
infeksius. Tanda dan gejala TASS dapat menyerupai endoftalmitis,
seperti fotofobia, edema kornea, penurunan penglihatan, akumulasi
leukosit di KOA, dan kadang disertai hipopion.13 TASS memiliki
onset lebih akut, yaitu dalam 24 jam pasca operasi katarak, sedangkan
endoftalmitis terjadi setelah 3 sampai 10 hari operasi. TASS juga
menimbulkan keluhan nyeri minimal atau bahkan tanpa nyeri.
Beberapa penyebab TASS adalah pembilasan alat-alat operasi yang
tidak adekuat, penggunaan pembersih enzimatik, salah konsentrasi
detergen, ultrasonic bath, antibiotik, epinefrin yang diawetkan, alat
singleuse yang digunakan berulang kali saat pembedahan. Meskipun
kebanyakan kasus TASS dapat diobati dengan steroid topikal atau
NSAIDs topikal, reaksi inflamasi terkait TASS dapat menyebabkan
kerusakan parah jaringan intraokular, yang dapat mengakibatkan
kehilangan penglihatan.12

9. Posterior Capsule Opacification (PCO)


PCO merupakan komplikasi pasca operasi katarak yang paling
sering.5 Sebuah penelitian melaporkan PCO rata-rata terjadi pada

20
28% pasien setelah lima tahun pasca operasi katarak. Insidensi PCO
lebih tinggi pada anak-anak. Mekanisme PCO adalah karena
tertinggalnya sel-sel epitel lensa di kantong kapsul anterior lensa,
yang selanjutnya berproliferasi, lalu bermigrasi ke kapsul posterior
lensa.
Berdasarkan morfologi, terdapat 2 jenis PCO, jenis fibrosis
(fibrosis type) dan jenis mutiara (pearl type). Jenis kedua lebih sering
menyebabkan kebutaan. PCO dapat efektif diterapi dengan
kapsulotomi Nd:YAG laser; beberapa komplikasi prosedur laser ini
seperti ablasio retina, merusak IOL, cystoid macular edema,
peningkatan tekanan intraokular, perdarahan iris, edema kornea,
subluksasi IOL, dan endoftalmitis.40 Pencegahan PCO lebih
ditekankan. Teknik operasi pada anak-anak menggunakan
kapsuloreksis posterior (posterior continuous curvilinear
capsulorrhexis) dan vitrektomi anterior telah terbukti menurunkan
kejadian PCO. Pemakaian IOL dengan sisi tajam (sharp-edge optic)
yang terbuat dari akrilik dan silikon, serta penggunaan agen
terapeutik seperti penghambat proteasome, juga menurunkan
kejadian PCO.

10. Surgically Induced Astigmatism (SIA)


Operasi katarak, terutama teknik ICCE dan ECCE konvensional,
mengubah topografi kornea dan akibatnya timbul astigmatisma pasca
operasi. Risiko SIA meningkat dengan besarnya insisi (>3 mm),
lokasi insisi di superior, jahitan, derajat astigmatisma tinggi sebelum
operasi, usia tua, serta kamera okuli anterior dangkal.19 AAO
menyarankan untuk membuka jahitan setelah 6-8 minggu
postoperatif untuk mengurangi astigmatisma berlebihan.15

11. Intraocular Lens Dislocation

21
Angka kejadian dislokasi IOL dilaporkan sebesar 0,19-3,00%.
Dislokasi IOL dapatterjadi di dalam kapsul (intrakapsuler) atau di luar
kapsul (ekstrakapsuler).5 Penyebab dislokasi IOL intrakapsuler
adalah satu atau kedua haptik terletak di sulkus, sedangkan beberapa
penyebab dislokasi IOL ekstrakapsuler mencakup pseudoeksfoliasi,
gangguan jaringan ikat, uveitis, retinitis pigmentosa, myopia tinggi,
dan pasien dengan riwayat operasi vitreoretina. Tatalaksana kasus ini
adalah dengan reposisi atau eksplantasi IOL.

22
BAB IV

ANALISIS KASUS

Tn.S, laki-laki, berusia 59 tahun, datang dengan penglihatan kedua mata


kabur sejak 2 tahun yang lalu.Penglihatan dirasakan kabur secara perlahan dan
menetap Pasien mengaku kedua mata kabur seperti melihat asap. Dari pemeriksaan
optalmologi, didapatkan lensa mengalami kekeruhan. Dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat ditegakkan bahwa pasien mengalami katarak senilis. Usia
pasien yang sudah lebih dari 50 tahun merupakan salah satu penentu jenis katarak.
Berdasarkan usia pada kasus ini, jenis katarak yang sesuai adalah katarak senilis
sehingga kemungkinan penyebab katarak lainnya, seperti trauma, ataupun katarak
yang diinduksi oleh obat-obatan dapat disingkirkan. Dari anamnesis, diperkuat
dengan keluhan penglihatan kedua mata kabur seperti melihat asap. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa pasien dengan katarak akan
memilki gejala penglihatan berkabut atau asap dan penurunan penglihatan secara
progresif.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan visus 2/60 ph (-) okuli dekstra sinistra,
yang menjelaskan terdapatnya penurunan penglihatan akibat lensa keruh pada
kedua mata. Dengan visus 2/60, pasien hanya dapat melihat hitungan jari dari jarak
2 meter, sedangkan orang lain dapat melihat hitungan jari dalam jarak 60 meter.
Pada pemeriksaan segmen anterior, didapatkan lensa yang keruh. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa pemeriksaan pada pasien katarak
ditemukan adanya kekeruhan lensa. Pada pemeriksaan lensa, didapatkan shadow
test positif yang artinya pada saat mata disinari dengan senter pada sudut 45◦ dari
samping, akan terlihat bayangan iris pada lensa karena masih terdapat jarak antara

23
iris dan lensa. Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami katarak senilis
immatur.

Pada pemeriksaan dengan slit lamp tampak bilik mata depan ke dua mata
dalam batas normal. Lensa mata pada okulus dekstra dan sinistra tampak keruh dan
shadow test positif. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyetakan bahwa
stadium katarak terbagi atas :

1. Stadium katarak senilis insipien, merupakan stadium paling dini yang belum
mengganggu visus. Pada stadium ini, didapatkan kekeruhan lensa masih
ringan, ditemukan iris dalam batas normal, bilik mata depan normal, serta
shadow test negatif.
2. Stadium katarak senilis imatur, pada stadium ini opasitas lensa bertambah
dan visus mulai menurun menjadi 5/60 sampai 1/60. Lensa berwarna putih
keabuan tetapi masih ada korteks yang jernih sehingga tampak bayangan iris.
Pada pemeriksaan shadow test positif.
3. Stadium katarak senilis matur, pada stadium ini kekeruhan menjadi komplit
dan visus menurun menjadi 1/300 atau hanya dapat melihat lambaian tangan
dalam jarak 1 meter. Oleh karena semua sinar yang melalui pupil dipantulkan
kembali ke permukaan anterior lensa sehingga tidak tampak bayangan iris,
dan didapatkan pemeriksaan shadow test negatif.
4. Stadium katarak hipermatur, pada stadium ini korteks lensa mencair sehingga
nukleus jatuh dan lensa turun dari kapsulnya (Morgagni). Lensa terlihat keruh
seluruhnya, visus sudah sangat menurun dan dapat terjadi komplikasi berupa
uveitis dan glaukoma. Pada pemeriksaan didapatkan iris tremulans, bilik mata
depan dalam, serta shadow test positif palsu.

Penatalaksanaan katarak pada pasien dengan katarak adalah terapi


pembedahan. Dengan pembedahan diharapkan dapat memperbaiki visus penderita.
Terapi pembedahan pada katarak bertujuan untuk mengangkat dan mengeluarkan
lensa yang telah keruh yang mengahalangi penglihatan. Terapi pembedahan bukan
merupakan kompetensi dokter umum. Oleh karena itu, sebagai dokter umum,

24
pasien dengan katarak senilis dapat dirujuk ke dokter spesialis mata untuk
dilakukan terapi pembedahan. Terapi operatif yang dapat dilakukan berupa ICCE
(Intracapsular Cataract Extraction), ECCE (Extra Capsuler Cataract Extraction),
SICS (Small Incision Cataract Surgery), atau fakoemulsifikasi. Terapi pembedahan
yang dipilih pada pasien di laporan kasus ini adalah ECCE atau Extra Capsuler
Cataract Ekstraksi, yaitu jenis operasi katarak dengan membuang nukleus dan
korteks melalui lubang di kapsula anterior. ECCE meninggalkan kantong kapsul
sebagai tempat untuk menanamkan lensa intraokuler (IOL). Teknik bedah pada
katarak yang banyak digunakan di daerah maju adalah fakoemulsifikasi, yaitu
teknik operasi menggunakan alat tip ultrasonik untuk memecah nukleus lensa dan
selanjutnya pecahan nukleus dan korteks lensa diaspirasi melalui lensa kecil.
Teknik bedah fakoemulsifikasi mempunyai kelebihan seperti penyembuhan luka
yang cepat, perbaikan lebih baik, dan tidak menimbulkan astigmatisma pasca
bedah, atau dapat dikatakan bahwa teknik pembedahan ini minimal komplikasi.

Prognosis pada pasien dengan katarak adalah baik untuk fungsi


pemglihatannya karena katarak merupakan suatu kondisi kekeruhan lensa yang
dapat diperbaiki.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Khalilullah, Said Alvin. 2010. Patologi dan Penatalaksanaan pada Katarak
Senilis.
3. Vaughan, Daniel G; Asbury, Taylor and Eva, Paul Riordan. 2000. Oftalmologi
Umum. 14 th ed. Jakarta : Widya Medika.
4. Rotsos TG, Moschos MM. Cystoid macular edema. Clin Ophthalmol.
2008;2(4):919-30.
5. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Lens and cataract. 2014-2015 Basic and
clinical Science course. San Francisco, CA: American Academy of
Ophthalmology; 2015.
6. Suhardjo SU, Agni AN. Ilmu Kesehatan Mata. 2nd ed. Yogyakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada; 2012.
7. Cataracts statistics and data [Internet]. National Eye Institute; 2010 [22October
2019]; Available from: https://nei.nih.gov/eyedata/cataract.
8. Gilbert C, Ackland P, Resnikoff S, Gilbert S, Keeffe J, Cross C, et al. Vision
2020 global initiative for the elimination of avoidable blindness: Action plan
2006-2011. Geneva: World Health Organization, 2007.
9. Awasthi N, Guo S, Wagner BJ. Posterior capsular opacification: A Problem
reduced but not yet eradicated. Arch Ophthalmol. 2009;127(4):555-62.
10. Tajunisah I, Reddy SC. Dropped Nucleus Following Phacoemulsification
Cataract Surgery. Med J Malaysia. 2007;62(5):364-7.
11. Hamer CA, Buckhurst PJ, Buckhurst H. Surgically Induced Astigmatism.
2017.

26
12. Gimbel HV, Condon GP, Kohnen T, Olson RJ, Halkiadakis I. Late in-the-bag
intraocular lens dislocation: incidence, prevention, and management. J Cataract
Refract Surg. 2005;31(11):2193-2204.
13. Chen M, LaMattina KC, Patrianakos T, Dwarakanathan S. Complication rate
of posterior capsule rupture with vitreous loss during phacoemulsification at a
Hawaiian cataract surgical center: a clinical audit. Clin Ophthalmol.
2014;8:375-8.
14. Rotsos TG, Moschos MM. Cystoid macular edema. Clin Ophthalmol.
2008;2(4):919-30.
15. Hamer CA, Buckhurst PJ, Buckhurst H. Surgically Induced Astigmatism.
2017.

27

Anda mungkin juga menyukai