Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Reivich dan Shatte (2003) mendefinisikan resiliensi adalah kemampuan

seseorang untuk mengatasi, mengendalikan, melalui dan bangkit kembali

ketika kesulitan menerpa. Sedangkan menurut Siebert (2005) memaparkan

bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi

dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di

bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi

kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi

dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan

kekerasan.

Menurut Hyslop (2007), resiliensi merupakan kemampuan individu

untuk pulih atau menolak beberapa kejutan, penghinaan, dan gangguan.

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk bisa bertahan, mengatasi, dan

bahkan berkembang di tengah kesulitan (Connor & Davidson dalam Cahyani

& Akmal, 2017). Luthar dan Cicchetti (Lerner & Steinberg, 2004) menjelaskan

resiliensi sebagai proses dinamis dimana individu menunjukkan adaptasi yang

positif meskipun dalam suatu pengalaman yang sulit ataupun trauma.

Menurut Wagnild dan Young (Fara, 2012) mengatakan bahwa resiliensi

dihasilkan dari kekuatan yang berasal dari dalam diri individu sehingga mampu

beradaptasi terhadap kondisi yang tidak menguntungkan yang menimpanya.

12
13

Resiliensi dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk pulih kembali dari suatu

keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau

diregangkan (Listyanti, 2012). Resiliensi juga merupakan kemampuan

individu untuk beradaptasi secara positif, berkembang dengan baik dan

kemampuan dalam mengatasi berbagai bentuk ancaman, tekanan dan kesulitan

dalam hidup dalam rangka memperoleh keseimbangan psikologis (Iqbal,

2011).

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan, dapat

disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk bertahan dan

beradaptasi secara positif dalam menghadapi kesulitan, kondisi yang penuh

tekanan, kemalangan yang menimpa, dan kemampuan untuk bangkit dari

keterpurukan dalam mempertahankan keseimbangan psikologis.

2. Aspek-aspek Resiliensi

Reivich dan Shatte (2003) mengungkapkan ada tujuh aspek resiliensi,

meliputi :

a. Emotion regulation

Emotion regulation (regulasi emosi) merupakan kemampuan individu

untuk tetap tenang dan terkendali di bawah tekanan, melalui kemampuan

positif untuk mengontrol emosi yang berlebihan. Individu yang resilien

dapat mengekspresikan emosi secara tepat dan sehat, baik emosi positif

maupun negatif. Individu juga dapat fokus dalam menghadapi masalah,

tidak mudah cemberut, cemas, sedih, merasa bersalah, ataupun marah.

Individu yang memiliki pengendalian emosi yang rendah, biasanya terjebak


14

dalam kemarahan, kesedihan, kecemasan pada saat mengatasi kesulitan dan

memecahkan masalah serta akan mengabaikan orang yang ada disekitarnya

pada saat tidak dapat mengontrol emosi (marah, sedih, maupun cemas).

Reivich dan Shatté (2003) mengemukakan dua hal penting yang terkait

dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing).

Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu

meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang

mengganggu dan mengurangi stres.

b. Impuls control

Impuls control (pengendalian impuls) merupakan kemampuan

individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan

yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan

pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang

pada akhirnya emosi mengendalikan pikiran dan perilaku. Hal tersebut dapat

membuat individu berperilaku mudah marah, kehilangan kesabaran,

impulsif, dan agresif. Sedangkan individu yang memiliki pengendalian

impuls yang tinggi lebih baik secara sosial dan akademis dibandingkan

individu yang memiliki pengendalian impuls yang rendah.

c. Optimisme

Optimisme (optimis) ialah keyakinan diri terkait tujuan yang ingin

dicapai. Individu yang optimis cenderung memotivasi diri untuk mencari

solusi dan terus berusaha untuk memperbaiki situasi sulit, menatap masa

depan positif, dapat mengontrol arah hidupnya. Individu yang optimis jarang
15

menderita depresi, memiliki prestasi, dan lebih produktif (Reivich & Shatte,

2003). Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat

menangani masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang

(Reivich & Shatté, 2003).

d. Causal analysis

Causal analysis (analisis penyebab masalah) yakni kemampuan

individu untuk mengidentifikasi secara akurat penyebab permasalahan yang

dihadapi. Hal tersebut berkaitan dengan gaya berpikir explanatory (Reivich

& Shatte, 2003). Seligmen (dalam Reivich & Shatte, 2003) mengidentifikasi

gaya berpikir explanatory erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis

yang dimiliki individu. Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu:

1) Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah

individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak

berjalan semestinya. Sebaliknya, individu dengan gaya berpikir ‘bukan

saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang

terjadi.

2) Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung

berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus

berlangsung. Sedangkan individu yang optimis cenderung berpikir

bahwa dirinya dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap

kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan

sementara.
16

3) Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir

‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan

ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya

berpikir ‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari

masalah yang individu hadapi. Individu yang paling resilien adalah

individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi

seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang individu

hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu. Reivich dan

Shatte (2003) individu yang resilien memiliki fleksibilitas kognitif

(tidak terpaku pada salah satu gaya berpikir explanatory) dan tidak akan

menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya demi

menjaga harga dirinya atau membebaskan individu dari rasa bersalah.

Kemudian individu yang resilien memegang kendali penuh pada

pemecahan masalah, bangkit, dan fokus untuk kehidupan yang sukses.

e. Empathy

Emphaty (empati) ialah kemampuan individu untuk membaca tanda-

tanda psikologis dan keadaan emosi orang lain. Empati mencerminkan

seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi

orang lain (Reivich & Shatté, 2003). Hal ini sering disebut sebagai bahasa

nonverbal seperti ekspresi wajah, nada suara, gestur tubuh, yang menentukan

pikiran dan perasaan orang lain. Individu yang empatik memiliki

kemampuan untuk merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain,

tanpa ikut terbawa emosi. Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996)
17

menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan

memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari

lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung

memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2003).

f. Self-efficacy

Self-efficacy (efikasi diri) adalah keyakinan untuk mengenali

kemampuan diri dalam pemecahan masalah dan sukses dalam menghadapi

rintangan. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi cenderung mampu

mengarahkan diri sendiri untuk tidak tergantung kepada orang lain, percaya

diri dan memiliki keyakinan terhadap keberhasilan maupun kemampuan

memecahkan masalah, tidak ragu-ragu dalam bertindak, dan tidak pasif

dalam menghadapi tantangan. Individu dengan efikasi diri tinggi juga

memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan

menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu

tidak berhasil. Sementara itu, individu yang memiliki efikasi diri yang

rendah sering mengatakan tidak mampu mencari solusi dan tidak siap dalam

melaksanakan tugas maupun menghadapi masalah.

g. Reaching out

Reaching out (kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan) adalah

kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek positif dari

kehidupan. Individu yang memiliki reaching out adalah individu yang berani

mengambil resiko, senang dan tidak takut mencoba hal-hal yang baru,
18

melihat segala sesuatu dapat dicapai, dapat bangkit dari ejekan dan

kegagalan.

Wolin dan Wolin (dalam Setyowati dkk, 2010) mengemukakan tujuh

aspek utama yang dimiliki oleh individu, yaitu:

a. Insight

Insight yaitu proses perkembangan individu dalam merasa,

mengetahui, dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-

perilaku yang lebih tepat. Insight juga merupakan suatu kondisi dimana

individu memiliki cara pandang baru dalam melihat sesuatu sehingga

mampu merangkai semua pengalaman hidup termasuk memahami mengapa

individu berpikir, merasakan dan bertindak seperti saat ini.

b. Independence

Independence yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara

emosional maupun fisik dari sumber masalah (lingkungan dan situasi yang

bermasalah). Kemandirian ini melibatkan kejujuran terhadap diri sendiri

dan orang lain.

c. Relationships

Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan yang jujur,

saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role model

yang baik.

d. Initiative

Initiative yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab

terhadap kehidupannya baik pada dirinya sendiri maupun pda masalah yang
19

dihadapi. Individu yang resilien akan bertanggung jawab terhadap

pemecahan masalah dan selalu berusaha memperbaiki diri dan situasi yang

dapat diubah serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal

yang tidak dapat diubah.

e. Creativity

Creativity yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan,

konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Kreativitas

mengacu pada proses mental yang mengarah pada solusi, ide, konsep,

ekspresi artistik dan respon yang unik. Kreativitas merupakan upaya

individu untuk memecahkan masalah dengan normal (Carter, 2007).

f. Humor

Humor adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup

dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien

menggunakan rasa humornya untuk memandang situasi yang berat menjadi

lebih ringan.

g. Morality

Morality adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar

hati nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu

orang yang membutuhkan. Morality terdiri dalam kebiasaan sukarela sesuai

dengan konvensi dari apapun motifnya (Wallace, 1970). Individu yang

resilien dapat mengevaluasi dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa

takut akan pendapat orang.


20

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

resiliensi menurut Reivich dan Shatte terdiri dari emotion regulation, impuls

control, optimisme, causal analysis, emphaty, self-eficacy, dan reaching out.

Sedangkan menurut Wolin dan Wolin mengatakan bahwa aspek-aspek

resiliensi terdiri dari insight, independence, relationship, initiative, creativity,

humor, dan morality.

Dalam penelitian ini aspek yang digunakan sebagai dasar pembuatan

alat ukur untuk mengungkapkan resiliensi pada mahasiswa aktivis dakwah

kampus, adalah aspek resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte.

Aspek-aspek tersebut lebih spesifik dari aspek-aspek yang dikemukakan oleh

Wolin dan Wolin, sehingga akan lebih mudah untuk mengungkapkan resiliensi

pada mahasiswa aktivis dakwah kampus.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Menurut Resnick, Gwyther dan Roberto (2011), terdapat empat faktor

yang mempengaruhi resiliensi pada individu, yaitu:

a. Self-Esteem

Wells dan Marwel (Mruk, 2006), self esteem sebagai respon

psikologis yang menggambarkan perasaan individu mengenai penerimaan

atau penolakan. Self esteem merupakan intropeksi dan pengamatan perilaku

orang lain dari sudut pandang diri individu sendiri (Mruk, 2006). Dua data

dari hasil penelitian yang lebih luas yang dilakukan oleh Collins dan Smyer

(2005), bertujuan untuk menggali self-esteem sepanjang rentang kehidupan

manusia yang dilakukan selama periode 3 tahun, pada individu yang


21

mengalami stres pada usia lanjut (memiliki beban finansial). Para partisipan

menyelesaikan kuisioner sebagai alat ukur self-esteem, nilai dan perasaan

kehilangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi sedikit

penurunan self-esteem pada individu meskipun mereka menghadapi rasa

kehilangan. Kemudian, ketika mereka mengalami kehilangan yang sangat

berarti, seperti ‘merasa terpukul’, tidak mengurangi self-esteem yang

dimiliki, meskipun individu tersebut teridentifikasi sebagai individu yang

sehat, begitu juga yang memiliki penyakit, tidak menghasilkan perubahan

yang berarti pada self-esteem.

b. Dukungan Sosial

Dukungan sosial sering dihubungkan dengan resiliensi (Hildon et al.

2009; Maddi et al. 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa resiliensi dan

dukungan emosional menghasilkan kualitas hidup yang lebih tinggi pada

individu usia lanjut (Netuveli & Blane, 2008). Penelitian pada orang dewasa

di New York, Poindexter dan Shippy (2008), yang dilakukan pada partisipan

yang mengalami positif HIV, menunjukkan bahwa jaringan dukungan sosial

yang baik berkonstribusi pada resiliensi. Para peneliti juga melakukan

penelitian pada lima kelompok yang memiliki jaringan dukungan sosial

informal yang terdiri atas individu-individu yang kebanyakan mengidap

positif HIV. Meskipun upaya untuk memperoleh dukungan sosial menurun

karena ketakutan dan stigma yang dialami, namun mereka mampu

merelokasi sumber daya dan mengisi dukungan melalui komunitas individu

tersebut yang mengidap positif HIV. Para partisian menunjukkan bahwa


22

kehilangan anggota kelompok karena kematian menyediakan kesempatan

bagi para anggota untuk memperkuat ikatan dukungan.

c. Spiritualitas atau keberagamaan

Faktor lain yang mempengaruhi resiliensi dalam menghadapi tekanan

dan penderitaan adalah ketabahan (hardiness) dan keberagamaan

(religiousness) serta spiritualitas (spirituality) (Maddi et al. 2006). Menurut

Glock (Subandi, 2016) mengatakan bahwa religiusitas merupakan suatu

perasaan, persepsi atau sensasi yang dialami seseorang dan kelompok yang

diartikan sebagai suatu bentuk komunikasi dengan esensi ketuhanan atau

dengan realitas yang ada atau dengan hal-hal yang bersifat transcendental.

Spiritualitas membutuhkan suatu pencarian di alam semesta, suatu

pandangan bahwa dunia lebih luas daripada diri sendiri, spiritualitas juga

berarti ketaatan pada suatu ajaran (agama) yang spesifik. Penelitian tentang

ketabahan, keberagamaan dan spiritualitas menunjukkan kualitas-kualitas

yang membantu individu dalam mengatasi kondisi stres dalam hidup dan

menyediakan perlindungan pada individu dalam menghadapi depresi dan

stres (Maddi et al. 2006). Aspek positif dari spiritualitas juga turut membantu

individu dalam memulihkan perasaan kontrol diri saat sakit, dan membantu

kemampuan adaptasi saat sakit kronis dan tidak seimbang (Crowther et al.

2002). Pada suatu hasil penelitian, spiritualitas memiliki hubungan dengan

resiliensi pada orang yang selamat dari penyakit kanker; meskipun individu

tersebut memiliki resiko lebih dalam mengembangkan depresi dan


23

kecemasan, tetapi tingkat spiritualitas dan personal mereka tumbuh lebih

baik setelah pemulihan (Costanzo et al. 2009).

d. Emosi Positif

Bereaksi dengan emosi yang positif saat mengalami krisis dapat

menjadi cara dalam menurunkan dan mengatasi respon stres secara lebih

efektif (Davis et al. 2007). Kemudian, emosi positif juga dapat menjadi

pelindung dalam menghadapi ancaman terhadap ego. Perangkat teori ini

dibangun dan dikembangkan oleh Fredrickson (1998) yang menyatakan

bahwa sebagai manusia yang berkembang, emosi positif telah membantu

individu dalam beradaptasi pada situasi-situasi stres. Secara spesifik, respon

negatif terhadap stres seperti respon melawan atau menghindar adalah sifat

yang terbatas, karena memilih respon positif selama mengalami stres

memungkinkan adanya keberagaman respon yang lebih luas.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya resiliensi individu. Menurut

Resnick, Gwyther, dan Roberto faktor resiliensi diantaranya: self-esteem,

dukungan sosial, spiritualitas atau keberagamaan, dan emosi positif. Dalam hal

ini, peneliti memilih faktor yang dikemukakan oleh Resnick, Gwyther, dan

Roberto yaitu self-esteem sebagai variabel yang mempengaruhi resiliensi pada

diri individu. Masih sedikitnya jumlah penelitian mengenai resiliensi pada

mahasiswa aktivis dakwah kampus yang ditinjau dari self-esteem menjadi alasan

peneliti untuk memilih faktor ini.


24

B. Self-esteem

1. Pengertian self-esteem

Self Esteem merupakan penilaian diri yang dilakukan oleh seorang

individu dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri, penilaian tersebut

mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa

jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil dan berharga

(Coopersmith, 1967). Menurut Matsumoto (2009) menjelaskan bahwa self

esteem adalah tingkat kecenderungan sikap, gagasan, evaluasi atas diri sendiri,

sejarah, proses-proses mental, dan perilaku yang positif. Self esteem

berhubungan dengan banyak aspek dari pemikiran, emosi dan perilaku serta

sering dipertimbangkan sebagai bagian inti dalam memahami individu.

Menurut Minchinton (dalam Iqbal, 2011) Self-esteem adalah nilai yang

dilekatkan pada diri individu. Self-esteem juga berarti penilaian atas ‘harga

diri’ individu sebagai manusia, berdasarkan pada persetujuan atau

pengingkaran atas diri dan perilaku individu. Byrne dan Robert, (2003)

mengungkapkan bahwa harga diri (self-esteem) yaitu mengevaluasi diri

sendiri, merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, mulai dari

sangat negatif sampai sangat positif. Menurut Chaplin (dalam Margareth,

2016) menyatakan bahwa self esteem adalah penilaian diri yang dipengaruhi

sikap, interaksi penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu.

Menurut Rosenberg, self-esteem adalah sikap yang dimiliki tentang

dirinya sendiri, baik positif maupun negatif (dalam Mualfiah & Indrijati,

2014). Heatherton dan Polivy (dalam Sabrina, 2017) mengatakan self-esteem


25

(harga diri) adalah suatu tingkah laku evaluasi diri sendiri sebagai realisasi

kepercayaan pribadi yang mencakup keahlian, kemampuan, dan relasi sosial,

dengan komponen berupa performance, social, physical. Pendapat lain yang

dikemukakan oleh Arndt & Pelham (dalam Walgito, 2010) menyebutkan

bahwa self esteem adalah evaluasi seseorang terhadap dirinya sendri, dapat

berupa positif maupun negatif. Self-esteem dapat juga dideskripsikan sebagai

penghormatan terhadap diri sendiri atau perasaan mengenai diri yang

berdasarkan pada keyakinan mengenai apa dan siapa diri individu sebenarnya.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa self-

esteem adalah evaluasi atas diri sendiri yang dilakukan oleh individu, mulai

dari sangat positif sampai sangat negatif, yang menunjukkan seberapa jauh

individu percaya bahwa dirinya mampu, dan mencerminkan sikap penerimaan

orang lain terhadap dirinya.

2. Aspek-aspek Self-esteem

Coopersmith (1967), menyebutkan terdapat empat aspek dalam self

esteem individu. Aspek-aspek tersebut antara lain power, significance, virtue,

dan competence.

a. Power

Power atau kekuatan menunjuk pada adanya kemampuan seseorang

untuk dapat mengatur dan mengontrol tingkah laku dan mendapat

pengakuan atas tingkah laku tersebut dari orang lain. Kekuatan

dinyatakan dengan pengakuan dan penghormatan yang diterima seorang


26

individu dari orang lain dan adanya kualitas atas pendapat yang

diutarakan oleh seorang individu yang nantinya diakui oleh orang lain.

b. Significance

Significance atau keberartian menunjuk pada kepedulian, perhatian,

afeksi, dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang dari orang lain

yang menunjukkan adanya penerimaan dan popularitas individu dari

lingkungan sosial. Penerimaan dari lingkungan ditandai dengan adanya

kehangatan, respon yang baik dari lingkungan dan adanya ketertarikan

lingkungan terhadap individu dan lingkungan menyukai individu sesuai

dengan keadaan diri yang sebenarnya.

c. Virtue

Virtue atau kebajikan menunjuk pada adanya suatu ketaatan untuk

mengikuti standar moral dan etika serta agama dimana individu akan

menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku

yang diijinkan oleh moral, etika, dan agama. Seseorang yang taat terhadap

nilai moral, etika dan agama dianggap memiliki sikap yang positif dan

akhirnya membuat penilaian positif terhadap diri yang artinya seseorang

telah mengembangkan self esteem yang positif pada diri sendiri.

d. Competence

Competence atau kemampuan menunjuk pada adanya performansi

yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan mencapai prestasi (need of

achievement) dimana level dan tugas-tugas tersebut tergantung pada

variasi usia seseorang. Self esteem akan meningkat menjadi lebih tinggi
27

bila individu tahu tugas-tugas apa yang penting untuk mencapai

tujuannya, dan karena mereka telah melakukan tugas-tugasnya tersebut

atau tugas lain yang serupa.

Michinton (dalam Iqbal, 2011), memaparkan tentang dimensi-dimensi self-

esteem dalam tiga hal, sebagai berikut:

a. Perasaan tentang Diri Sendiri

1). Individu dengan self-esteem yang tinggi: adalah individu yang menerima

dirinya secara penuh tanpa syarat, ia juga mampu menghargai dirinya

sebagai seorang manusia yang memiliki nilai. Penerimaan tanpa syarat

berarti penerimaan dan penghargaan pada diri sendiri yang tidak tergantung

pada apapun, menerima secara penuh diri sendiri apa adanya, merasa

nyaman dengan apa yang dilakukan, dan tidak mempedulikan kekurangan

yang ada.

2). Individu dengan self-esteem yang rendah: adalah individu yang percaya

bahwa penilaiannya pada diri sendiri diukur berdasarkan pada pencapaian

yang diperoleh. Ia bekerja sangat keras dan menjadi sangat kompetitif

dengan yang lain untuk memperoleh suatu pencapaian, dan untuk

membuktikan bahwa dirinya telah mencapai suatu kesuksesan. Individu

dengan self-esteem yang rendah memiliki perfeksionisme, menentukan

tujuan yang tidak realistis dan meletakkan tuntutan yang tidak rasional pada

diri sendiri. Memiliki cita-cita yang tidak realistis hanya akan lebih banyak

menghukum dan menyalahkan diri sendiri, karena ketika tujuan itu tercapai,
28

ia akan merasa kecewa, karena merasa tidak puas dan kurang, meskipun

berbagai upaya telah dilakukan. Self-esteem yang rendah membuat

seseorang takut untuk mencoba.

b. Perasaan tentang Hidup

1). Individu dengan self-esteem yang tinggi: adalah individu yang merasa

memiliki tanggungjawab atas hidup yang dijalani dan memiliki kontrol

penuh atas hidupnya. Dalam hal ini, individu merasa nyaman dengan

realitas yang ada, dan tidak menyalahkan diri sendiri atas permasalahan

yang terjadi pada hidupnya. Apa yang terjadi pada kehidupannya adalah

terutama karena pilihan dan keputusannya, bukan karena faktor eksternal.

Individu dengan self-esteem yang tinggi juga dapat memiliki pilihan untuk

mempertimbangkan pendapat orang lain tentang hidupnya, namun

individu memiliki otoritas penuh untuk menentukan mana yang benar dan

terbaik untuk hidupnya.

2). Individu dengan self-esteem yang rendah: adalah individu yang cenderung

salah menggambarkan realitas kehidupannya, dan tidak mempedulikan

apa yang terjadi pada lingkungan sekitar. Beberapa dari individu tersebut

merasa terasingkan dari realitas kehidupan, dan apa yang terjadi pada

kehidupannya seringkali tampak di luar kendali. Individu dengan self-

esteem yang rendah juga merasa dirinya tidak berdaya, lemah, dan setiap

saat mudah terserang, seperti tidak memiliki kekuatan untuk sedikitpun

mengatasi tantangan yang terjadi pada kehidupannya sehari-hari.


29

c. Persaaan tentang Orang Lain

1.) Individu dengan self-esteem yang tinggi: adalah individu yang memiliki

toleransi dan penghargaan kepada semua orang, sepanjang dirinya meyakini

bahwa memiliki hak yang sama sebagaima manusia umumnya. Ketika

seseorang merasa nyaman dengan dirinya, maka akan menghargai hak-hak

orang lain, apa yang orang lain lakukan, dan pilihan serta kehidupan yang

mereka jalani, selama orang lain juga memiliki kehendak untuk menghargai

dirinya. Sehingga individu dengan self esteem yang tinggi mampu menjalin

hubungan dengan orang lain secara bijak.

2). Individu dengan self-esteem yang rendah: adalah individu yang memiliki

dasar penghargaan yang rendah pada orang lain, tidak memiliki toleransi

dan memiliki keyakinan bahwa orang lain harus hidup berdasarkan pada

cara pandangnya terhadap mereka. Self-esteem yang rendah dalam

hubungan dengan orang lain juga ditunjukkan dengan sikap yang kaku dan

tidak fleksibel, terlalu sibuk dengan urusan sendiri dan tidak ingin

memikirkan tentang orang lain. Ketika ada sedikit waktu untuk memikirkan

orang lain, individu hanya mengkhawatirkan tentang apa yang orang lain

pikirkan tentang dirinya. Individu dengan self-esteem yang rendah

cenderung melakukan sabotase terhadap hubungannya dengan orang lain.

Individu seringkali merasa tidak aman dan tidak nyaman berada dengan

orang lain, bahkan bersikap malu dan mempermalukan atau marah serta

defensif.
30

Dari beberapa aspek yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan

bahwa aspek self-esteem menurut Coopersmith terdiri dari power,

significance, virtue, competence. Sedangkan menurut Michinton

menyebutkan dimensi-dimensi self esteem diantaranya: perasaan tentang

diri sendiri, perasaan tentang hidup, dan perasaan tentang orang lain. Dalam

penelitian ini, aspek yang akan digunakan sebagai indikator penyusunan alat

ukur adalah aspek yang dikemukakan oleh Coopersmith. Penjelasan aspek

lebih spesifik dan penggunaan bahasa yang sederhana menjadi alasan

peneliti untuk memilih aspek tersebut.

C. Hubungan antara Self Esteem dengan Resiliensi pada Mahasiswa

Aktivis Dakwah Kampus

Reivich dan Shatte (2003) mendefinisikan resiliensi adalah

kemampuan seseorang untuk mengatasi, mengendalikan, melalui dan

bangkit kembali ketika kesulitan menerpa. Menurut Wolins (dalam Ekasari

& Andriyani, 2013) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan luar

biasa yang dimiliki individu dalam menghadapi kesulitan, untuk bangkit

dari kesulitan yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam

membangun kekuatan emosional dan psikologis sehat. Salah satu faktor

yang mempengaruhi tinggi rendahnya resiliensi adalah self-esteem

(Resnick, Gwyther, & Roberto, 2011). Menurut Coopersmith (1967) self

esteem merupakan penilaian diri yang dilakukan oleh seorang individu dan

biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri, penilaian tersebut mencerminkan


31

sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa jauh individu

percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil dan berharga.

Individu dengan self-esteem yang tinggi mampu menghargai diri

sendiri, melakukan penilaian baik terhadap diri sendiri dengan menerima

kemampuan yang dimiliknya, menerima segala kekurangan yang dimiliki,

bertanggung jawab atas hidup yang dijalaninya dengan menerima kenyataan

baik maupun buruk yang terjadi dalam kehidupannya. Individu tersebut

tidak hanya memikirkan dirinya sendiri tetapi juga mampu menghargai

orang lain dan memiliki relasi sosial atau hubungan yang baik terhadap

orang-orang disekitarnya. Hal tersebut akan membentuk individu yang

memiliki resiliensi tinggi (Hidayati, 2014). Aspek-aspek yang meliputi self-

esteem menurut Coopersmith (1967), diantaranya : 1) power (kekuatan), 2)

significance (keberartian), 3) virtue (kebajikan), dan 4) competence

(kemampuan).

Aspek pertama, power (kekuatan) aspek ini ditandai dengan

kemampuan individu untuk dapat mengatur, mengontrol tingkah laku dan

mendapat pengakuan atas tingkah lakunya dari orang lain. Mahasiswa yang

memiliki self esteem yang tinggi akan merasa adanya pengakuan dan

penghormatan yang diterima dari orang lain atas kualitas ide-ide yang

diutarakannya dan dapat mengendalikan pikiran dan perilakunya

(coopersmith, 1967).

Mahasiswa yang memiliki self esteem yang tinggi akan mampu

berperilaku positif dalam menjalankan perannya yang tidak jarang


32

dihadapkan dengan berbagai kesulitan sebagai aktivis dakwah kampus yang

memiliki banyak rutinitas dan tuntutan, akan merasa mampu bahwa dirinya

dapat mengatur dan mengontrol perilakunya dengan baik dalam

menjalankan rutinitas yang berbeda di organisasi dan perkuliahan serta

merasa adanya penerimaan dari orang-orang sekitarnya. Sedangkan,

mahasiswa yang memiliki self esteem yang rendah, cenderung menyalahkan

orang lain atas hal yang tidak berjalan baik semestinya. Hal ini berkaitan

dengan resiliensi, individu yang resilien memiliki keyakinan untuk

mengenali kemampuan dirinya dan sukses dalam menghadapi rintangan

serta mampu mengarahkan dirinya untuk tidak bergantung dengan orang

lain (Reivich & Shatte, 2003).

Aspek kedua self esteem menurut Coopersmith (1967), yaitu aspek

significance (keberartian). Aspek ini ditandai pada kepedulian, perhatian,

afeksi, dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang

menunjukkan adanya penerimaan dan popularitas individu dari lingkungan

sosial (Coopersmith, 1967). Mahasiswa yang memiliki self esteem yang

tinggi akan merasa adanya kepedulian, perhatian, afeksi, dan ekspresi cinta

dari orang di sekitarnya, merasa adanya penerimaan dengan keadaan dirinya

yang sebenarnya, dan respon dengan hangat dari lingkungan organisasi

maupun akademis. Mahasiswa yang memiliki perasaan keberartian

cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Hubungan sosial yang

positif akan menjadikan mahasiswa lebih baik secara sosial maupun

akademis karena merasa adanya penerimaan dan perhatian dari lingkungan


33

sekitarnya, menjadikan mahasiswa cenderung resilien (Reivich & Shatté,

2003).

Aspek ketiga self esteem menurut Coopersmith (1967) yaitu virtue

(kebajikan), ditunjukan dengan adanya suatu ketaatan untuk mengikuti

standar moral dan etika serta agama dimana individu akan menjauhi tingkah

laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku yang diijinkan oleh

moral, etika, dan agama. Mahasiswa yang memiliki self esteem yang tinggi

akan mampu berperilaku sesuai dengan nilai agama, menaati perintah

orangtua, menaati peraturan di perkuliahan, dan berfokus pada penilaian

positif terhadap dirinya.

Mampu berperilaku sesuai dengan penilaian positif dapat

mengarahkan mahasiswa untuk tetap tenang dan terkendali dalam

mengontrol emosi yang berlebihan, pada akhirnya mampu mengekspresikan

emosi secara tepat dan sehat. Kemampuan mengekspresikan emosi secara

sehat menjadikan mahasiswa cenderung tidak mudah terjebak dalam

kemarahan, kesedihan dan kecemasan pada saat mengatasi kesulitan

(resiliens; Reivich & Shatté, 2003). Ketenangan dan kemampuan mengatur

emosi membantu individu menghadapi keadaan yang sulit dan menjadikan

individu lebih resilien. Hal ini merujuk pada pendapat Yu dan Zhang (dalam

Putri & Uyun, 2017) bahwa individu yang resilien dapat merespon tekanan

dengan tenang dan hati-hati dalam mengambil keputusan.

Aspek keempat self esteem menurut Coopersmith (1967), yaitu

adanya performansi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan mencapai


34

prestasi (need of achievement) dimana level dan tugas-tugas tersebut

tergantung pada variasi usia seseorang. Sehingga mahasiswa yang memiliki

self esteem yang tinggi mereka merasa mampu untuk mencapai prestasi dan

mampu menyelesaikan tugas-tugas apa yang penting untuk mencapai

tujuannya. Self esteem membuat mereka percaya diri dan memampukan

mereka untuk melakukan sesuatu dengan kapasitas maksimal dirinya

(Rahmasari dkk, 2014). Mahasiswa cenderung akan mampu menghadapi

kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam mencapai tujuannya (resiliens;

Reivich & Shatté, 2003). Mahasiswa percaya bahwa dirinya dapat

menangani masalah-masalah yang akan muncul pada masa yang akan

datang (Reivich & Shatté, 2003). Hal ini dikarenakan mahasiswa yang

resilien memiliki feksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi secara

akurat penyebab permasalahan yang dihadapi. Fleksibilitas kognitif pada

mahasiswa yang resilien cenderung menjadikannya tidak mudah

menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya demi menjaga

self esteem dan membebaskannya dari rasa bersalah (Reivich & Shatté,

2003).

Menurut Sibert (Adriana, 2017) self esteem berfungsi sebagai faktor

yang mengontrol. Dalam sebuah periode yang sangat kompetitif dan

dinamis, individu dapat menghadapi peristiwa yang mungkin menyebabkan

hilangnya self esteem. Orang yang sangat tabah percaya pada diri mereka

sendiri dan memiliki kekuatan batin yang dapat diandalkan. Tingginya self

esteem individu berkontribusi terhadap kemampuan individu menghadapi


35

atau beradaptasi terhadap tantangan dan tekanan hidup. Synder & Lopez

(2007) mengatakan bahwa self-esteem merupakan faktor internal yang

mempengaruhi pembentukan resiliensi individu.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat terlihat bahwa mahasiswa

dengan self esteem yang memadai cenderung menjadi resilien.

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diajukan hipotesis yaitu terdapat

hubungan yang positif antara self esteem dengan resiliensi pada mahasiswa aktivis

dakwah kampus. Semakin tinggi self esteem mahasiswa aktivis dakwah kampus

maka semakin tinggi resiliensi pada mahasiswa aktivis dakwah kampus.

Sebaliknya, semakin rendah self esteem, maka semakin rendah pula resiliensinya.

Anda mungkin juga menyukai