Referat Bayu
Referat Bayu
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada
semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden
tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia
dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi
epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi
belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti
dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar
220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi.
Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi
dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap
sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari
epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap
janin. Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan
beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada
janin. Dalam menghadapi kehamilan resiko tinggi seperti ini maka ibu hamil dengan
epilepsi sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli kebidanan dan ahli
saraf agar dapat bebas dari serangan epileptik, serta ahli anak untuk memantau adanya
gangguan perkembangan dan kelainan kongenital.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Epilepsi adalah gangguan SSP yang ditandai dengan terjadinya bangkitan
(seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked), berkala dan kejadian
kejang yang terjadi berulang (kambuhan). Kejang merupakan manifestasi klinik dari
aktivitas neuron yang berlebihan di dalam korteks serebral. Manifestasi klinik kejang
sangat bervariasi tergantung dari daerah otak fungsional yang terlibat.
2.2. Epidemiologi
Agak sulit mengestimasi jumlah kasus epilepsy pada kondisi tanpa serangan,
pasien terlihat normal dan semua data laboratorium juga normal, selain itu ada stigma
tertentu pada penderita epilepsy yang malu atau enggan mengakui. Insiden paling
tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi
setelahnya terkait dg kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovaskular. Pada 75%
pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 th.
2.3. Faktor Resiko
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang
penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui
faktor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada
epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut
epilepsi simtomatik. Pada epilepsi idiopatik diduga adanya kelainan genetik sebagai
berikut :
- terdapat suatu gen yang menentukan sintesis dan metabolisme asam
glutamik yang menghasilkan zat Gama amino butiric acid (GABA). zat
ini merupakan penghambat (inhibitor) kegiatan neuron yang abnormal.
Penderita yang secara kurang cukup memproduksi GABA merupakan
penderita yang mempunyai kecenderungan untuk mendapat serangan
epilepsi.
3
2.5. Klasifikasi
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :
kejang umum (generalized seizure) à jika aktivasi terjadi pd kedua
hemisfere otak secara bersama-sama
kejang parsial/focal à jika dimulai dari daerah tertentu dari otak
Kejang umum terbagi atas:
Tonic-clonic convulsion = grand mal
merupakan bentuk paling banyak terjadi
pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur
bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah
terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit
kepala atau tidur
Abscense attacks = petit mal
jenis yang jarang
umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja
penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan
kepala terkulai
kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari
Myoclonic seizure
biasanya tjd pada pagi hari, setelah bangun tidur
pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba
jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal
Atonic seizure
jarang terjadi
pasien tiba-tiba kehilangan
kekuatan otot à jatuh, tapi bisa segera recovered
5
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi. Serangan epilepsi akan muncul
apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang
berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-
ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron yang terkait
di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik
dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu
badai aktivitas listrik di dalam otak.
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena
dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan
manifestasi yang sangat bervariasi. Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri
dari 3 katagori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar. Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi
7
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada
sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini
dapat terjadi :
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA ( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam
bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSP = inhibitory post synaptic potentials)
adalah lewat reseptor GABA. Aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau
kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik
utama pada otak. Perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi
tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada
sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara
serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi
yang berbeda dari serangan epileptik.
Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang
optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai
macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh
karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron,
8
2.9. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan
melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat
ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis),
meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
11
2.11. Prognosis
Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsy akan
sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat
20 - 30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis à pengobatan
semakin sulit à 5 % di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam
kehidupan sehari-hari
Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan
gangguan psikiatri dan neurologik à prognosis jelek
Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yg lebih tinggi daripada populasi
umum
Penyebab kematian pada epilepsi :
Penyakit yg mendasarinya dimana gejalanya berupa epilepsi misal : tumor
otak, stroke
Penyakit yg tidak jelas kaitannya dg epilepsi yang ada misal : pneumonia
Akibat langsung dari epilepsi : status epileptikus, kecelakaan sebagai akibat
bangkitan epilepsi dan sudden un-expected death
2.12. Status Epileptikus
Definisi :
kejang umum yang terjadi selama 5 menit atau lebih atau kejadian
kejang 2 kali atau lebih tanpa pemulihan kesadaran di antara dua
kejadian tersebut
Merupakan kondisi darurat yg memerlukan pengobatan yang tepat
untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun
kematian
Etiologi :
Tipe 1 (tidak ada lesi struktural)
Infeksi
Infeksi CNS
Gangguan metabolik
Turunnya level AED
16
Alkohol
Idiopatik
Tipe 2 ( Ada lesi struktural)
Anoksia/hipoksia
Tumor CNS
CVA
Overdose obat
Hemoragi
Trauma
Terapi :
Non-farmakologi:
Tanda-tanda vital dipantau
Pelihara ventilasi
Berikan oksigen
Cek gas darah utk memantau asidosis respiratory atau
metabolik
Kadang terjadi hipoglikemi à berikan glukosa
Farmakologi : dengan obat-obatan
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat
pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita.
Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan
usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Epilepsi adalah gangguan SSP yang ditandai dengan terjadinya bangkitan (seizure, fit,
attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked), berkala dan kejadian kejang yang
terjadi berulang (kambuhan). Kejang merupakan manifestasi klinik dari aktivitas
neuron yang berlebihan di dalam korteks serebral. Akibat langsung dari epilepsi :
status epileptikus, kecelakaan sebagai akibat bangkitan epilepsi dan sudden un-
expected death. Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsy
akan sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat. 20 - 30% mungkin
akan berkembang menjadi epilepsi kronis. Pengobatan semakin sulit jika 5 % di
antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
19
DAFTAR PUSTAKA
Martin PJ, Millac PA. Pregnancy, epilepsy, management and outcome: a 10 year
perspective. Seizure, 1993; 2: 277-80
Janz D. The teratogenic risk of antiepileptic drugs. Epilepsia, 1975; 16: 159-169
Yerby MS, Leavitt A, Erickson BS, et. al. Antiepileptics and the development of
congenital anomalies. Neurology, 1992; 42: 132-140 21
Shorvon SD. Epilepsi untuk dokter umum. PT Ciba Geigy Pharma Indonesia, 1988:
7-78