Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada
semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden
tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia
dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi
epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi
belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti
dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar
220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi.
Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi
dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap
sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari
epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap
janin. Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan
beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada
janin. Dalam menghadapi kehamilan resiko tinggi seperti ini maka ibu hamil dengan
epilepsi sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli kebidanan dan ahli
saraf agar dapat bebas dari serangan epileptik, serta ahli anak untuk memantau adanya
gangguan perkembangan dan kelainan kongenital.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Epilepsi adalah gangguan SSP yang ditandai dengan terjadinya bangkitan
(seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked), berkala dan kejadian
kejang yang terjadi berulang (kambuhan). Kejang merupakan manifestasi klinik dari
aktivitas neuron yang berlebihan di dalam korteks serebral. Manifestasi klinik kejang
sangat bervariasi tergantung dari daerah otak fungsional yang terlibat.
2.2. Epidemiologi
Agak sulit mengestimasi jumlah kasus epilepsy pada kondisi tanpa serangan,
pasien terlihat normal dan semua data laboratorium juga normal, selain itu ada stigma
tertentu pada penderita epilepsy yang malu atau enggan mengakui. Insiden paling
tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi
setelahnya terkait dg kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovaskular. Pada 75%
pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 th.
2.3. Faktor Resiko
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang
penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui
faktor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada
epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut
epilepsi simtomatik. Pada epilepsi idiopatik diduga adanya kelainan genetik sebagai
berikut :
- terdapat suatu gen yang menentukan sintesis dan metabolisme asam
glutamik yang menghasilkan zat Gama amino butiric acid (GABA). zat
ini merupakan penghambat (inhibitor) kegiatan neuron yang abnormal.
Penderita yang secara kurang cukup memproduksi GABA merupakan
penderita yang mempunyai kecenderungan untuk mendapat serangan
epilepsi.
3

- Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia


serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan
faktor ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat,
struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit
trauma kepala dan lain-lain. Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh
keadaan yang mengganggu stabilitas neuron-neuron otak yang dapat
terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun postnatal. Faktor prenatal dan
perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi
yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.
2.4. Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan
Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka
kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat
mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid
dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya
hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam
kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron),
misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini
dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.
4

2.5. Klasifikasi
 Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :
 kejang umum (generalized seizure) à jika aktivasi terjadi pd kedua
hemisfere otak secara bersama-sama
 kejang parsial/focal à jika dimulai dari daerah tertentu dari otak
Kejang umum terbagi atas:
 Tonic-clonic convulsion = grand mal
 merupakan bentuk paling banyak terjadi
 pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur
 bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah
 terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit
kepala atau tidur
 Abscense attacks = petit mal
 jenis yang jarang
 umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja
 penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan
kepala terkulai
 kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari
 Myoclonic seizure
 biasanya tjd pada pagi hari, setelah bangun tidur
 pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba
 jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal
 Atonic seizure
 jarang terjadi
 pasien tiba-tiba kehilangan
 kekuatan otot à jatuh, tapi bisa segera recovered
5

Kejang parsial terbagi menjadi :


 Simple partial seizures
 pasien tidak kehilangan kesadaran
 terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh
 Complex partial seizures
 pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan
mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran
2.6. Patogenesis
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bisa
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
6

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi. Serangan epilepsi akan muncul
apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang
berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-
ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron yang terkait
di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik
dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu
badai aktivitas listrik di dalam otak.
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena
dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan
manifestasi yang sangat bervariasi. Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri
dari 3 katagori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar. Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi
7

impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada
sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini
dapat terjadi :
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA ( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam
bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSP = inhibitory post synaptic potentials)
adalah lewat reseptor GABA. Aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau
kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik
utama pada otak. Perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi
tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada
sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara
serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi
yang berbeda dari serangan epileptik.
Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang
optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai
macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh
karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron,
8

maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan


yang lebih luas.
Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu
didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan
bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana
terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan
anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik,
gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau
glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain
damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik,
melalui mekanisme yang sama.
2.7. Gejala Klinis
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai
berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk
berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa
gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan
motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku
(psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang
epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi.
2.8. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
9

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan


abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,
epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3
spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat
dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang
ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya
belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
10

2.9. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan
melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat
ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis),
meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
11

organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal


gangguan pertumbuhan otak unilateral.
2.10. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi epilepsi:
 monoterapi lebih baik à mengurangi potensi adverse effect, meningkatkan
kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi dan
biasanya kurang efektif karena interaksi antar obat justru akan mengganggu
efektivitasnya dan akumulasi efek samping dg politerapi
 hindari atau minimalkan penggunaan antiepilepsi sedatif à toleransi, efek pada
intelegensia, memori, kemampuan motorik bisa menetap selama pengobatan
 jika mungkin, mulai terapi dgn satu antiepilepsi non-sedatif, jika gagal baru diberi
sedatif atau politerapi
 berikan terapi sesuai dgn jenis epilepsinya
 Memperhatikan risk-benefit ratio terapi
 Penggunaan obat harus sehemat mungkin dan sedapat mungkin dalam jangka
waktu pendek
 mulai dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai dg kondisi klinis pasien
à penting : kepatuhan pasien
 ada variasi individual terhadap respon obat antiepilepsi à perlu pemantauan ketat
dan penyesuaian dosis
 jika suatu obat gagal mencapai terapi yang diharapkan à pelan-pelan dihentikan
dan diganti dengan obat lain (jgn politerapi)
 lakukan monitoring kadar obat dalam darah à jika mungkin, lakukan
penyesuaian dosis dgn melihat juga kondisi klinis pasien
Tatalaksana terapi :
 Non farmakologi:
 Amati faktor pemicu
 Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, konsumsi
kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.
12

 Farmakologi : menggunakan obat-obat antiepilepsi


Obat-obat anti epilepsy :
Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+:
 Inaktivasi kanal Na à menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan
muatan listrik
 Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat
Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik:
 agonis reseptor GABA à meningkatkan transmisi inhibitori dg mengaktifkan
kerja reseptor GABA à contoh: benzodiazepin, barbiturat
 menghambat GABA transaminase à konsentrasi GABA meningkat à
contoh: Vigabatrin
 menghambat GABA transporter à memperlama aksi GABA à contoh:
Tiagabin
 meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien à
mungkin dg menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular pool à
contoh: Gabapentin
Pemilihan obat : Tergantung pada jenis epilepsinya :
13

Target aksi obat epilepsi :


14
15

2.11. Prognosis
 Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsy akan
sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat
 20 - 30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis à pengobatan
semakin sulit à 5 % di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam
kehidupan sehari-hari
 Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan
gangguan psikiatri dan neurologik à prognosis jelek
 Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yg lebih tinggi daripada populasi
umum
Penyebab kematian pada epilepsi :
 Penyakit yg mendasarinya dimana gejalanya berupa epilepsi misal : tumor
otak, stroke
 Penyakit yg tidak jelas kaitannya dg epilepsi yang ada misal : pneumonia
 Akibat langsung dari epilepsi : status epileptikus, kecelakaan sebagai akibat
bangkitan epilepsi dan sudden un-expected death
2.12. Status Epileptikus
Definisi :
 kejang umum yang terjadi selama 5 menit atau lebih atau kejadian
kejang 2 kali atau lebih tanpa pemulihan kesadaran di antara dua
kejadian tersebut
 Merupakan kondisi darurat yg memerlukan pengobatan yang tepat
untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun
kematian
Etiologi :
Tipe 1 (tidak ada lesi struktural)
 Infeksi
 Infeksi CNS
 Gangguan metabolik
 Turunnya level AED
16

 Alkohol
 Idiopatik
Tipe 2 ( Ada lesi struktural)
 Anoksia/hipoksia
 Tumor CNS
 CVA
 Overdose obat
 Hemoragi
 Trauma
Terapi :
 Non-farmakologi:
 Tanda-tanda vital dipantau
 Pelihara ventilasi
 Berikan oksigen
 Cek gas darah utk memantau asidosis respiratory atau
metabolik
 Kadang terjadi hipoglikemi à berikan glukosa
 Farmakologi : dengan obat-obatan
17

Algoritma tatalaksana pada status epileptikus :


18

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat
pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita.
Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan
usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Epilepsi adalah gangguan SSP yang ditandai dengan terjadinya bangkitan (seizure, fit,
attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked), berkala dan kejadian kejang yang
terjadi berulang (kambuhan). Kejang merupakan manifestasi klinik dari aktivitas
neuron yang berlebihan di dalam korteks serebral. Akibat langsung dari epilepsi :
status epileptikus, kecelakaan sebagai akibat bangkitan epilepsi dan sudden un-
expected death. Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsy
akan sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat. 20 - 30% mungkin
akan berkembang menjadi epilepsi kronis. Pengobatan semakin sulit jika 5 % di
antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
19

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Neurology Quality Standards Subcommittee. Practice


parameter: management issues for women with epilepsy (summary statement).
Neurology, 1998; 51: 944-8

Martin PJ, Millac PA. Pregnancy, epilepsy, management and outcome: a 10 year
perspective. Seizure, 1993; 2: 277-80

Janz D. The teratogenic risk of antiepileptic drugs. Epilepsia, 1975; 16: 159-169

Yerby MS, Devinsky O. Epilepsy and pregnancy, Neurological Complications of


pregnancy Ed. By Devinsky O. Raven Press, New York, 1994:45-63

Yerby MS, Leavitt A, Erickson BS, et. al. Antiepileptics and the development of
congenital anomalies. Neurology, 1992; 42: 132-140 21

Shorvon SD. Epilepsi untuk dokter umum. PT Ciba Geigy Pharma Indonesia, 1988:
7-78

Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok studi epilepsi Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) 2003.

Anda mungkin juga menyukai