Anda di halaman 1dari 4

BAB 25 CEDERA MEDULA SPINALIS, HAL 401

Cedera medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung yang
menyebabkan jejas pada medula spinalis sehingga dapat menimublkan gangguan
fungsi sensorik, motorik, dan otonom

Patofisiologi
1. Mekanisme kerusakan primer
Mekanisme umum dari cedera medula spinalis adalah adanya kompresi pada
struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulang, ligamen, herniasi diskus
intervertebralis, maupun proses hematom pada medula spinalis itu sendiri.
Proses kompresi akan memberikan gejala berupa defisit neurologis dan/atau
rasa sakit yang dirasakan terus menerus.
Mekanisme lain akibat gaya mekanik trauma (axial loading, fleksi, ekstensi,
rotasi, lateral bending, distraksi) dapat berupa luka tembus, peregangan,
maupun robekan pada struktur medula spinalis dan pembuluh darah.
Kerusakan langsung pada pembuluh darah menyebabkan perdarahan pada
medula spinalis yang berlangsung beberapa menit pascacedera, diikuti gangguan
aliran darah. Kejadian ini menyebabkan hipoksia dan infark iskemik lokal. Area
substansia grisea lebih rentan mengalami kerusakan yang pertama kali
kemudian menyebar ke area sekitarnya (kaudal-kranial). Sel-sel saraf pada area
ini akan mengalami kerusakan fisik, penipisan selubung mielin, edema, dan
menarik makrofag di dsekitar area sehingga mengganggu transmisi saraf.

2. Mekanisme Kerusakan Sekunder


Kerusakan sekunder pada cedera medula spinalis terbagi menjadi dua
mekanisme, yaitu efek lokal dan sistemik. Kerusakan sekunder ini terjadi akibat
defisit energi yang disebabkan oleh adanya gangguan perfusi pada tingkat sel.
Kondisi tersebut dapat diperberat, jika ditemukan keadaan renjatan neurogenik
yang menyebabkan hipoperfusi sitemik. Cedera medula spinalis yang tidak
ditatalaksana optimal dalam 3-24 jam pertama, akan mengalami perburukan
berupa perdarahan, edema, demielinsasi, pembentukan rongga pada akson,
nekrosis neuronal, peningkatan kadar glutamat, eksitotoksisitas, kerusakan
oksidatif, adanya iskemik, serta peningkatan produksi nitrit oksida dan
peroksidasi lipid pada membram sel yang akan menyababkan perubahan
patologis dan berakhir menjadi infark.

Gejala dan Tanda Klinis


Gambaran klinis ini diklasifikasikan berdasarkan:
1. Level Cedera
Level cedera medula spinalis dapat ditentukan melalui pemeriksaan sensorik
(sesuai dermatom) dan motorik (miotom) di sepanjang level medula spinalis.
Level cedera neurologis dihitung dari segmen paling kaudal yang masih baik
fungsi sensorik dan motorik, pada kedua sisi.
Perbedaan gejala paling mencolok terjadi pada level di atas dan di bawah T1.
Pada level cedera di atas T1, defisit neurologis yang muncul adalah tetraplegi
dan sering dijumpai gangguan pernapasan, akibat paresis otot interkostalis atau
diafragma serta renjatan neurogenik. Jika cedera terjadi di bawah T1, gejala
klinis yang muncul berupa paraplegi. Penentuan level ini penting karena akan
mempengaruhi strategi tatalaksana cedera.

2. Derajat Keparahan Defisit Neurologis


Derajat keparahan defisit neurologis pada cedera medula spinalis akibat
ditegakkan pada saat 72 jam hingga 7 hari pascacedera karena
mempertimbangkan adanya kemungkinan renjatan spinal (spinal shock). Secara
garis besar, derajat keparahan ini dibagi menjadi komplet dan inkomplet. Cedera
disebut komplet apabila pasien kehilangan fungsi sensorik dan motorik pada
level cedera, sedangkan inkomplet apabila pasien hanya mengalami gangguan
salah satu fungsi saja, motorik atau sensorik saja.
Cedera inkomplet memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan cedera
komplet. Ditemukan fenomena sacral sparing yang tidak ditemukan pada cedera
komplet. Sacral sparing menunjukkan fungsi yang tersisa pada cedera inkomplet,
berupa fungsi sensorik di daerah perianal dan atau kontraksi sadar sfingter anus.
Secara lebih rinci, American Spinal Injury Association (ASIA)/ International
Medical Society of Paraplegia (IMSOP) membagi derajat keparahan defisit
neurologi menjadi 5 derajat.

Tabel 1. Klasifikasi derajat keparahan defisit neurologis menurut ASIA/IMSOP


Derajat Tipe Keterangan
A Komplet Tidak ada fungsi sensorik maupun motorik sampat segmen S4-5
B Inkomplet Fungsi sensorik masih baik, tetapi fungsi motorik terganggu di
sensorik bawah level cedera dan meluas sampai setinggi segmen S4-5
C Inkomplet Fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik di bawah level
motorik masih ada dan lebih dari setenagh otot-otot di bawah level
memiliki kekuatan <3
D Inkomplet Fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik di bawah level
motorik masih ada dan lebih dari setengah otot-otot di bawah level
memiliki kekuatan >3
E Normal Fungsi sensorik dan motorik masih normal

Tabel 2. Klasifikasi Sindrom Medula Spinalis


Sindrom Penyebab Utama Gejala dan Tanda Klinis
Sindrom Cedera tembus, kompresi Paresis UMN (di bawah lesi) dan LMN (setinggi lesi)
Brown- ekstrinsik Gangguan sensasi propioseptif (raba dan tekan)
Sequard ipsilateral
Gamgguan sensasi eksteroseptif (nyeri dan suhu)
kontralateral
Sindrom Infark spinalis anterior Paraplegia
spinalis “watershed” (T4-T6), Gangguan sensasi eksteroseptif
anterior iskemik akut dan HNP Sensasi Propioseptif normal
Disfungsi sfingter
Sindrom Siringomielia, hipotensive Paresis anggota gerak atas lebih berat dibandingkan
spinalis spinal cord iskemik trauma anggota gerak bawah
sentral (fleksi-ekstensi) dan tumor Gangguan sensorik bervariasi
spinal (disestesia/hiperestesia) di lengan
Disosiasi sensibilitas
Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Sindrom Trauma dan infark spinalis Paresis ringan
spinalis posterior Gangguang propioseptif bilateral
posterior Gangguan eksteroseptif leher, punggung, dan bokong
Renjatan Spinal
Selain sindrom-sindrom tersebut di atas, perlu diperhatikan juga apakah defisit
neurologis yang ada benar disebabkan oleh patologis atau renjatan spinal.
Renjatan spinal adalah keadaan hilangnya fungsi sensorik, motorik, dan otonom
sementara karena sebenarnya tidak terjadi kerusakan struktur pada segmen
medula spinalis tersebut.
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa hal ini terjadi lebih kepada proses
akut hilangnya pengaruh fasilitasi supraspinal yang masih belum diketahui
secara pasti, daripada proses trauma itu sendiri.
Renjatan spinal ditandai dengan hilangnya aktivitas refleks spinal di bawah lesi
dan kelemahan ekstrimitas flaksid. Selain itu, manifestasinya dapat beruba
hilangnya tonus vesika urinaria, ileus paralitik, dan hipo/anhidrosis di bawah
lesi.
Renjatan spinal ditemukan pada fase akut pascacedera. Durasi renjatan spinal
bervariasi tergantung pada derajat keparahan dan level cedera medula spinalis.
Pada sebagian besar kasus, aktivitas refleks spinal mulai kembali normal setelah
1-6 minggu pascacedera.
Untuk meyakinkan defisit neurologis bukan akibat renjatan spinal, maka
direkomendasikan agar pemeriksa mengasumsikan bahwa defisit sensorik dan
motorik akibat dari renjatan spinal berlangsung kurang dari 1 jam pascacedera
sehingga disimpulkan bahwa defisit sensorik dan motorik yang lebih dari 1 jam
merupakan akibat perubahan patologis dan jarang karena renjatan spinal.
Adapun defisit komponen otonom dan refleks pada renjatan spinal dapat
berlangsung dalam beberapa hari hingga beberapa bulan, tergantung beratnya
cedera.

Anda mungkin juga menyukai