Anda di halaman 1dari 85

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Cronik Kidney Disease (CKD)

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel yang

menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme,

keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia atau retensi

urine dan sampah nitrogen dalam darah. PGK terjadi akibat terminal destruksi

jaringan dan kehilangan fungsi ginjal yang berlangsung berangsur – angsur.

Keadaan ini dapat pula terjadi karena penyakit yang progresif cepat disertai

awitan mendadak yang menghancurkan nefron dan menyebabkan kerusakan

ginjal yang irreversibel (Haryono R, 2013).

Menurut World Health Organization (WHO) secara global lebih dari

500 juta orang mengalami PGK. Di Amerika Serikat setiap tahun PGK selalu

mengalami peningkatan 2,1 % dan pada tahun 2014 prevelensi PGK terus

meningkat menjadi 50% lebih (Nastiti, 2015). Di Indonesia, berdasarkan data

yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) tahun 2013, PGK

merupakan salah satu penyakit yang masuk kedalam 10 penyakit terbanyak

yang tidak menular. Prevelensi PGK berdasarkan diagnosis dokter di

Indonesia sebesar 0,2%.


2

PGK ini akan menimbulkan gejala berupa merasakan gatal yang

sangat berlebihan (pruiritis), anoreksia, mual dan muntah, nafas berbau

amonia, perubahan tingkat kesadaran, kehilangan kekuatan otot, kulit kering

dan bersisik (Padila, 2012). Menurut Indonesia Renal Registry (IRR) dalam

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2014, PGK dapat

disebabkan oleh Penyakit Ginjal Hipertensi sebanyak 37%, Nefropati

Diabetika sebanyak 27%, pada Glomerulopati Primer sebanyak 10%, setelah

itu Pielonefritis kronik, Nefropati Obstruksi dan penyakit lain – lain sebanyak

7%, penyebab penyakit yang tidak diketahui sebanyak 2%, selanjutnya

Nefropati Asam Urat, Ginjal Polikistik dan Nefropati Lupus sebanyak 1%.

Pada PGK terdapat 3 stadium dan 5 stadium dari tingkat penurunan

laju filtrasi glomerulus (LFG). Pada gagal ginjal stadium 3 ini merupakan

stadium akhir yang menyebabkan uremia, tingkat renal dari PGK yaitu sisa

nefron yang berfungsi < 10% dan LFG < 15 ml/menit yang normalnya > 90

ml/menit. Pada keadaan ini kreatinin serum dankadar BUN atau blood urea

nitrogen akan meningkat dengan menyolok sekali sebagai respon terhadap

glomelular filtration rate (GFR) yang mengalami penurunan sehingga terjadi

ketidakseimbangan kadar ureum nitrogen darah dan elektrolit, pada kondisi

ini pasien diindikasikan untuk melakukan dialisis (Wijaya, A.S & Putri, Y.M.

2013).

Terapi dialisis ini ada dua yaitu dialisis peritoneal dan hemodialisa,

sedangkan terapi lain yaitu melakukan transplantasi ginjal. Terapi yang sering

dianjurkan untuk pasien PGK adalah hemodialisa. Terapi hemodialisa cuma


3

memerlukan waktu 4 hingga 5 jam per kali terapi, dibandingkan dengan terapi

dialisis peritoneal yang membutuhkan waktu cukup lama 6 hingga 48 jam

untuk setiap kali dialisis dan terapi ini juga mengahasilkan pengeluaran cairan

yang cukup lambat. Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan

pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka

pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit

ginjal stadium terminal (ESRD : end-stage renal disease) yang membutuhkan

terapi jangka panjang atau terapi permanen. Tujuan hemodialisa adalah untuk

menghilangkan sisa toksik, kelebihan cairan dan untuk memperbaiki

ketidakseimbangan elektrolit dengan prinsip osmosi dan difusi dengan

menggunakan sistem dialisa eksternal dan internal (Wijaya, A.S & Putri,

Y.M. 2013).

Hemodialisa dapat mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa

tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu

mangimbangi hilangnya aktifitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan

ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup

pasien. Hemodialisa biasanya dilakukan 2 atau 3 kali seminggu dengan lama

waktu 4 – 5 jam per kali terapi. Lamanya waktu yang dibutuhkan dan berapa

kali dalam seminggu harus dilakukan hemodialisa sangat tergantung pada

derajat kerusakan ginjal, diet sehari – hari, penyakit lain yang menyertai dan

ukuran tubuh pasien (Price & Wilson, 2006).

Di Amerika Serikat, pasien yang menjalani hemodialisa terus

meningkat pada tahun 2013 lebih dari 430.000 pasien yang menjalani
4

hemodialisa (USRDS : United States Renal Data System dalam Panjaitan,

2014). Sedangkan menurut Indonesia Renal Registry (IRR) dalam

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2014, prevelensi pasien

yang menjalani hemodialisa di Indonesia terus meningkat. Jumlah pasien baru

yang menjalani hemodialisa meningkat dari 15.128 pasien pada tahun 2013

menjadi 17.193 pasien pada tahun 2014. Sedangkan pasien aktif berjumlah

dari 9.396 pasien pada tahun 2013 menjadi 11.689 pasien pada tahun 2014.

Di Sumatra Barat, dari data Perhimpunan Nefrologi Indonesia

(PERNEFRI) tahun 2014 jumlah pasien yang menjalani hemodialisa sebanyak

132 pasien. Dari data, tercatat bahwa diagnosa penyakit pasien hemodialisa

yang memiliki jumlah terbesar yaitu disebabkan karena penyakit ginjal

stadium terminal (ESRD : end-stage renal disease) dengan jumlah pasien

sebanyak 95 pasien.

Penatalaksanaan pasien PGK yang menjalani hemodialisa salah

satunya adalah diet. Diet merupakan faktor penting dalam penatalaksanaan

bagi pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa seperti membatasi asupan

protein, garam, kalium dan cairan. Menurut Hartono (2006) diet yang

dianjurkan bagi pasien dengan PGK yaitu diet rendah protein (DRP), diet

rendah garam (DRG) dan diet cairan. Terapi diet hanya bersifat membantu

memperlambat progresifitas penyakit ginjal kronis. Pembatasan protein

dilakukan berdasarkan berat badan, derajat insufisiensi renal dan tipe dialisis

yang akan dijalani. Pasien dengan dialisa harus menerima protein dengan

dasar sebagai berikut : hemodialisa dewasa 1,2 g/kg/hari, hemodialisa anak –


5

anak 1,5 – 2 g/kg/hari, pembatasan garam sampai 3 g garam/hari dan

pembatasan cairan sebanyak jumlah urine sehari ditambah pengeluaran cairan

melalui keringat dan pernapasan kurang lebih 500 ml (Almatsier, 2007).

Diet pada pasien PGK dengan hemodialisa sangat penting mengingat

adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan

produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan menumpuk

dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin dalam tubuh

penderita. Semakin banyak toksin yang menumpuk akan lebih berat gejala

yang muncul. Penumpukan cairan juga dapat mengakibatkan gagal jantung

kongestif serta edema paru sehingga dapat berujung pada kematian. Sangatlah

penting pasien patuh pada diet yang sudah ditetapkan, agar kebutuhan pasien

tercukupi dan dapat beraktifitas secara normal (Kimberly, B. 2012).

Diet yang bersifat membatasi akan merubah gaya hidup dan dirasakan

pasien sebagai gangguan serta diet yang dianjurkan tidak disukai oleh

kebanyakan pasien. Pasien merasa seperti “di hukum” bila bereaksi terhadap

dorongan untuk makan dan minum. Maka dalam hal ini sangat diperlukan

sekali kepatuhan pasien dalam melaksanakan dietnya, jika pembatasan ini

diabaikan maka akan terjadi komplikasi yang dapat membawa kematian

seperti hiperkalemia dan edema paru. Hal ini dapat membuat pasien menjadi

kesakitan dan tidak dapat melakukan aktifitas sehari – hari (Satyaningrum,

2011).
6

Kepatuhan dalam melaksanakan diet dapat diukur dengan

menggunakan berat badan yang didapat diantara waktu dialisis atau

Interdialityc Weight Gain (IDWG). Pada pasien hemodialisis kenaikan IDWG

tidak boleh melebihi 5% karena dapat menimbulkan masalah baru bagi pasien

diantaranya hipertensi, gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema pulmonal

dan gagal jantung (Smelter & Bare, 2009). Kenaikan IDWG dapat dikontrol

dengan pengetahuan sehingga akan menimbulkan pengaruh pada perilaku

pasien terutama kepatuhan dalam pengontrolan diet (Bots, 2006 dalam Alisa,

2014).

Hasil penelitian yang dilakukan Sumilati, 2015 mengatakan bahwa

83,3 % pasien patuh terhadap dietnya. Hal ini terjadi karena pasien memiliki

kesadaran pentingnya patuh terhadap diet agar tidak berlanjut ke stadium yang

lebih tinggi. Menurut hasil penelitian Satyanigrum, 2011 mengatakan bahwa

sebanyak 81,8 % pasien patuh terhadap dietnya disebabkan karena adanya

keyakinan yang kuat dalam diri pasien untuk sembuh.

Kepatuhan terhadap pengontrolan diet merupakan faktor yang sangat

penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan pasien.

Menurut Sackett (1976) dalam Niven (2012) mendefenisikan kepatuhan

pasien sebagai sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang

diberikan oleh profesional kesehatan. Kepatuhan juga merupakan tingkat

perilaku individu dalam melakukan minum obat, memenuhi diet atau

perubahan gaya hidup yang dianjurkan. Kepatuhan juga dapat didefenisikan

sebagai perilaku positif pasien dalam mencapai tujuan terapi (Kozier, 2011).
7

Menurut Feuerstein et al (1986) dalam Niven (2012) faktor - faktor

yang mempengaruhi kepatuhan antara lain : tingkat pendidikan, pengetahuan,

dukungan keluarga, perubahan model terapi, kualitas interaksi profesional

kesehatan dan keyakinan, sikap dan kepribadian. Tingkat pendidikan dapat

mempengaruhi kepatuhan selama pendidikan tersebut merupakan pendidikan

yang aktif. Pendidikan dapat mengembangkan potensi diri sendiri begitu juga

dengan pengetahuan yang merupakan dasar seseorang dalam pengambilan

suatu keputusan. Dukungan keluarga juga sangat mempengaruhi kepatuhan,

keluarga merupakan orang terdekat dengan pasien dan dapat memberikan

motivasi serta perhatian agar tetap patuh, kepatuhan dapat dipengaruhi oleh

perubahan model terapi dan kualitas interaksi profesional kesehatan.

Perubahan model terapi sesuai yang diingikan dapat meningkat motivasi dan

kepatuhan pasien dalam melakukan pengobatan, jika antara pasien dan tenaga

kesehatan memiliki interaksi yang baik maka dapat menghasilkan umpan

balik yang baik pula yang dapat menentukan derajat kepatuhan pasien.

Keyakinan dan kepribadian yang kuat untuk sembuh dapat meningkatkan

kualitas hidup pasien, karena pasien memiliki tekat dan keinginan yang kuat

untuk tetap hidup dan beraktifitas secara normal (Niven, 2012).

Dari beberapa faktor – faktor, objek yang diambil oleh peneliti adalah

pengetahuan dan dukungan keluarga. Pengetahuan akan mempengaruhi sikap

seseorang dan selanjutnya akan membentuk prilaku seseorang. Pengetahuan

merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan juga bisa diperoleh


8

dari pengalaman sendiri atau orang lain. Tanpa pengetahuan seseorang tidak

mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan

terhadap masalah yang dihadapi (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan menentukan prilaku seseorang terhadap masalah yang

dihadapinya. Seseorang yang memiliki pengetahuan baik akan mudah untuk

mengaplikasikan pengetahuannya menjadi perilaku yang positif dan

memungkinkan pasien dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah

yang dihadapi. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena

perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih lama bertahan dari

pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Desitasari, 2014 tentang

“hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga terhadap

kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di

RSUD. Arifin Achmad Pekanbaru” didapatkan hasil adanya hubungan antara

pengetahuan dan sikap dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisa, sedangkan tentang dukungan keluarga didapatkan

hasil tidak adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan

diet. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sumilati, 2015 tentang “hubungan

tingkat pengetahuan dengan kepatuhan diet pada pasien gagal ginjal kronik

yang dilakukan hemodialisis reguler di Rs. Darmo Surabaya” dimana

ditemukan tidak adanya hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan diet.


9

Dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan pada pasien yang

menjalani diet atau pengobatan, karena salah satu fungsi keluarga adalah

melakukan asuhan kesehatan terhadap anggotanya baik untuk mencegah

terjadinya penyakit maupun merawat anggota keluarga yang sakit (Padila,

2012). Dukungan keluarga merupakan suatu kenyamanan, perhatian,

penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya.

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan program

pengobatan yang dapat mereka terima (Niven, 2012).

Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penguat atau

pendorong terjadinya perilaku. Dukungan keluarga dalam hal ini dapat

memberikan motivasi, perhatian, mengingatkan untuk selalu melakukan diet

sesuai dengan anjuran profesional kesehatan. Dukungan keluarga sangat

diperlukan bagi pasien PGK, karena pasien akan mengalami banyak

perubahan pada kualitas hidup sehingga membuat pasien menjadi hilang

semangat untuk menjalani aktifitas sehari – hari. Bentuk dukungan keluarga

menurut Friedman (2010) ada 4 yaitu : dukungan instrumental, dukungan

informasi, dukungan penilaian dan dukungan emosional.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumigar, 2015 tentang

“hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diet pada pasien gagal ginjal

kronik di Irina C2 dan C4 RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado” di

dapatkan hasil yang menunjukkan adanya hubungan antara dukungan

keluarga dengan kepatuhan diet pada pasien gagal ginjal kronis. Sedangkan
10

penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmawati, 2014 tentang “hubungan

dukungan keluarga dengan kepatuhan pembatasan asupan cairan pada pasien

hemodialisa di Rs. PKU. Muhammadiyah Yogyakarta” didapatkan hasil tidak

adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan asupan cairan

pada pasien hemodialisa.

RSUP Dr. M Djamil Padang merupakan Rumah Sakit yang memiliki

fasilitas Hemodialisa dengan jumlah mesin 24 Unit. Rata – rata pasien yang

melakukan hemodialisa pada bulan Januari 2017 sampai April 2017 sebanyak

156 pasien. Rata – rata pasien yang sudah menjalani terapi hemodialisa 7 - 10

bulan beberapa pasien ada yang sudah menjalani hemodialisa lebih dari 1

tahun. Berdasarkan survei awal pada tanggal 20 Januari 2017 dengan perawat

diruang hemodialisa RSUP Dr. M Djamil Padang dengan pasien PGK yang

menjalani hemodialisa sebanyak 7 orang pasien rawat jalan didapatkan 4

pasien (57,1%) tidak patuh terhadap diet yang dianjurkan, dibuktikan dengan

hasil analisa IDWG pasien lebih dari 5%. Pasien tidak patuh terhadap diet

karena merasa bosan makan dan minumnya harus dibatasi sesuai yang

dianjurkan, mereka juga jarang menjaga asupakan makanan dan cairan setelah

melakukan hemodialisa dan 3 pasien (42,8%) patuh terhadap diet yang

dianjurkan, dibuktikan dengan hasil analisa IDWG pasien kurang dari 5%.

Pasien patuh terhadap diet karena mereka memiliki keinginan untuk sembuh

dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Berdasarkan hasil wawancara 4 pasien mengatakan kurang

mendapatkan dukungan keluarga, karena keluarga tidak mempedulikan


11

keadaan pasien seperti : tidak menyediakan makanan sesuai diet yang

dianjurkan, keluarga kurang memberikan motivasi atau perhatian agar tetap

patuh terhadap diet yang dianjurkan dan 3 pasien mengatakan mendapat

dukungan keluarga seperti : keluarga memberikan perhatian apa saja makanan

dan minuman yang diperbolehkan sesuai diet, keluarga membiayai setiap

kebutuhan pasien. 4 dari 7 pasien kurang mengetahui tentang diet yang harus

dijalaninya seperti : makanan apa saja yang harus dihindari dan makanan yang

diperbolehkan sesuai diet dan 3 dari 7 pasien memiliki pengetahuan tentang

diet yang di anjurkan seperti : manfaat menjalani diet, dampak apabila tidak

menjalani diet, jenis – jenis diet yang harus dijalani.

Berdasarkan fenomena diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti

tentang apakah ada hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan

kepatuhan melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang

menjalani Hemodialisa di RSUP DR. M Djamil Padang tahun 2017.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, peneliti

mengambil rumusan masalah “Apakah ada hubungan pengetahuan dan

dukungan keluarga dengan kepatuhan melaksanakan diet pada pasien

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani Hemodialisa di RSUP DR. M

Djamil Padang tahun 2017.


12

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Diketahui hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan

kepatuhan melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

yang menjalani Hemodialisa di RSUP DR. M Djamil Padang tahun 2017.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui distribusi frekuensi pengetahuan tentang diet pada pasien

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani Hemodialisa di RSUP

DR. M Djamil Padang tahun 2017.

b. Diketahui distribusi frekuensi dukungan keluarga dalam melaksanakan

diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani

Hemodialisa di RSUP DR. M Djamil Padang tahun 2017.

c. Diketahui distribusi frekuensi kepatuhan melaksanakan diet pada

pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani Hemodialisa

diRSUP DR. M Djamil Padang tahun 2017.

d. Diketahui hubungan pengetahuan dengan kepatuhan melaksanakan

diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani

Hemodialisa di RSUP DR. M Djamil Padang tahun 2017.

e. Diketahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan

melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang

menjalani Hemodialisa di RSUP DR. M Djamil Padang tahun 2017.


13

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan

pemikiran, memperkaya konsep – konsep teori terhadap ilmu pengetahuan

dan juga dapat dijadikan sebagai referensi atau masukan mengenai

hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kepatuhan

melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang

menjalani Hemodialisa.

2. Manfaat Praktisi

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan mengenai

kepatuhan melaksanakan diet pada pasiek PGK yang menjalani

hemodialisa dan dapat dijadikan dasar untuk pengembangan penelitian

selanjutnya.

b. Bagi STIKes Mercubaktijaya Padang

Hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan pengetahuan bagi

mahasiswa keperawatan mengenai hubungan pengetahuan dan

dukungan keluarga terhadap kepatuhan melaksanakan diet pada pasien

PGK yang menjalani Hemodialisa sehingga dapat dipelajari.

c. Bagi RSUP DR. M Djamil Padang

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan pelayanan

keperawatan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisa terhadap

kepatuhan melaksanakan dietnya.


14

d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber data

dan informasi tentang masalah diet pada pasien PGK yang menjalani

hemodialisa, sehingga dapat mengembangkan model intervensi

khususnya dalam asuhan keperawatan.


15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

1. Defenisi PGK

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Cronik Kidney Diasese (CKD)

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel yang

menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan

terjadinya uremia atau adanya retensi urine dan sampah nitrogen dalam

dar ah (Haryono R, 2013).

PGK merupakan akibat terminal destruksi jaringan dan kehilangan

fungsi ginjal yang berangsur – angsur. Keadaan ini dapat pula terjadi

karena penyakit yang progresif cepat disertai awitan mendadak yang dapat

menghancurkan nefron dan menyebabkan kerusakan ginjal yang

irreversibel (Kowalak, 2013).

PGK adalah penyakit ginjal yang tidak dapat pulih kembali ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal yang progresif yang mengarah pada

penyakit ginjal tahap akhir dan berujung pada kematian (Padila, 2012).
16

2. Klasifikasi PGK

Menurut (Wijaya, A.S & Putri, Y.M. 2013) PGK dibagi menjadi 3

stadium yaitu :

a. Stadium 1

Terjadinya penurunan cadangan ginjal ditandai dengan kehilangan

fungsi nefron 40 - 75% , pasien biasanya tidak mempunyai gejala

karena fungsi nefron yang ada masih dapat membawa fungsi – fungsi

normal ginjal.

b. Stadium 2

Terjadinya insufisiensi ginjal ditandai dengan kehilangan fungsi

nefron 75 – 90%.Pada tingkat ini terjadi kenaikan kreatinin serum dan

Blood Urea Nitrogen (BUN), dan ginjal kehilangan kemampuannya

untuk mengembangkan urine. Biasanya pada stadium ini pasien

mengeluh terjadinya poliuria (buang air kecil yang berlebihan) dan

nokturia (keinginan buang air kecil dimalam hari).

c. Stadium 3

Merupakan stadium ginjal tahap akhir, sisa nefron yang berfungsi <

10%. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN meningkat

dengan menyolok sekali sebagai respon terhadap Glomelular

Filtration rate (GFR) yang mengalami penurunan sehingga terjadi

ketidakseimbangan kadar ureum nitrogen darah dan elektrolit, pada

stadium ini pasien diindikasikan untuk melakukan dialisis.


17

Pembagian stadium PGK berdasarkan tingkat penurunan Laju Filtrasi

Glomerulus (LFG) yaitu :

1) Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten

dan LFG yang masih normal yaitu > 90 ml/menit.

2) Stadium 2 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten

dan LFG antara 60 – 89 ml/menit.

3) Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30 – 58 ml/menit.

4) Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15 – 29 ml/menit.

5) Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG antara < 15 ml/menit atau

kerusaka ginjal tahap akhir.

3. Etiologi PGK

Penyebab PGK Menurut Indonesia Renal Registry dalam

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2014 adalah

Penyakit Ginjal Hipertensi sebanyak 37%, Nefropati Diabetika sebanyak

27%, pada Glomerulopati Primer sebanyak 10%, setelah itu Pielonefritis

kronik, Nefropati Obstruksi dan penyakit lain – lain sebanyak 7% ,

penyebab penyakit yang tidak diketahui sebanyak 2%, selanjutnya

Nefropati Asam Urat, Ginjal Polikistik dan Nefropati Lupus sebanyak 1%.

Klasifikasi penyebab penyakit ginjal kronik dilihat pada tabel 2.1 :


18

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyebab Penyakit Ginjal Kronik

Klasifikasi Penyakit Penyakit

Penyakit infeksi
Pielonefritis kronik atau nefropati
tubulointerstitial

Penyakit peradangan Glomerulonefritis

Penyakit vaskuler Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis

hipertensif maligna, stenosis arteri renalis

Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis


Gangguan jaringan ikat
nodosa, sklerosis sistemik progresif

Gangguan kongenital dan Penyakit ginjal polikistik, asodosis tubulus

herediter ginjal

Diabetes melitus, gout,


Penyakit metabolik
hiperparatiroidisme, amyloidosis

Nefropati toksik Penyalahgunaan analgetik, nefropati timah

Traktus urinarius bagian atas : batu,

neoplasma, fibrosis, retroperitoneal

Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian bawah :

hipertropiprostat, striktur uretra, anomali

kongenital leher vesika urinaria dan uretra

( Price& Wilson, 2006)


19

4. Patofisiologi PGK

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses

yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan

hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surving

nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul

vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan

terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan

aliran darah glomerulus(Sudoyo, 2010).

Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses

maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini

akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,

walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan

aktifitas aksis renin – angiotensin – aldosteron intrarenal, ikut memberikan

kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas

tersebut.Aktifitas jangka panjang aksis renin – angiotensin – aldosteron,

sebagian diperantai oleh growth factor seperti transforming growth

factorβ (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap

terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,

hipertensi, hiperglikemia,dislipidemia. Pada stadium paling dini penyakit

ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve) pada

keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian

secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
20

progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum (Sudoyo, 2010).

5. Menifestasi Klinis PGK

Menisfestasi klinis yang dapat muncul pada pasien PGK dapat dilihat

di tabel 2.2 diantaranya yaitu :

Tabel 2.2 Menisfestasi Klinis Pasien PGK

Sistem Menisfestasi Klinis

Kardiovaskuler a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan

aktifitas sistem renin – angiotensin – aldosteron

b. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis,

efusi perikardial

c. Gagal jantung akibat penimbunan cairan

d. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis

dini dan gangguan elektrolit

e. Edema akibat penimbunan cairan

Pulmoner Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum

kental dan riak, suara krekels.

Gastrointestinal a. Anoreksia, nausea (mual) dan fomitus (muntah)

yang berhubungan dengan gangguan

metabolisme protein dam tubuh

b. Perdarahan pada saluran cerna

c. Nafas berbau amonia karena ureum yang


21

berlebihan pada air liur yang diubah bakteri

menjadi ammonia

Muskuloskeletal a. Relesis leg sindrom (pegal pada kaki sehingga

selalu digerakan)

b. Burning feet sindrom (rasa kesemutan dan

terbakar terutama ditelapak kaki)

c. Tremor dan miopati (kelelahan dan hipertropi

pada otot – otot ekstermitas)

Integumen Kulit bewarna pucat akibat anemia dan kekuning –

kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal

akibat toksis, kuku rapuh dan tipis.

Endokrin Gangguan seksual: libidofertilitas dan ereksi

menurun pada laki- laki akibat produksi testoteron

dan spermatogenesis yang menurun. Pada wanita

timbul gangguan menstruasi dan gangguan ovulasi

sampai amenorea.

Hematologi a. Anemia yang disebabkan karena berkurangnya

produksi eritopoetin, sehingga rangsangan

eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang.

b. Hemolisis akibat berkurangnya masa hidup

eritrosit dalam suasana uremia toksik, dan juga

terjadi ganggua fungsi thrombosis dan


22

trombositopeni.

(Wijaya, A.S & Putri, Y.M. 2013 dan Haryono R, 2013)

6. Komplikasi PGK

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien PGK dapat dilihat pada

tabel 2.3 diantaranya yaitu :

Tabel 2.3 Komplikasi PGK

LFG
Derajat Penjelasan Komplikasi
(ml/menit)
Kerusakan ginjal
1. dengan LFG ≥ 90 - Belum Ada
normal

Kerusakan ginjal
- Tekanan darah mulai
2. dengan penurunan 60 – 89
meningkat
LFG ringan

- Hiperfosfatemia (kadar
fosfat tinggi dalam
darah)
- Hipocalcemia (rendah
kalsium)
Kerusakan ginjal
- Anemia
3. dengan penurunan 30 – 59
- Hipertensi
LFG sedang
- Hiperhomosistinemia
(penyakit yang
meningkatkan risiko
arteri atau penyakit
pembuluh darah)
23

- Malnutrisi
- Asidosis metabolik
Kerusakan ginjal - Cendrung
4. dengan penurunan 15 – 29 hiperkalemia
LFG berat - Dislipidemia
(akibat kelainan
lemak dalam darah)

Kerusakan ginjal
tahap terminal - Gagal jantung
5. < 15
(ESRD: end-stage - Uremia
renal disease)

(Sudoyo, 2010)

Komplikasi lainyang dapat terjadi menurut (Haryono, 2013)adalah :

a. Hiperkalemia : terjadi akibat retensi cairan, asidosis metabolik,

katabolisme dan masukan diet yang berlebih.

b. Perikarditis, Efusi perikardial, dan Tamponade jantung : terjadi akibat

retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.

c. Hipertensi : akibat adanya retensi cairan dan natrium serta malfungsi

sistem rennin, angiotensin dan aldosteron.

d. Anemia : akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel

darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan

kehilangan darah akibat hemodialisa.

e. Penyakit tulang : akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang

rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal, dan peningkatan kadar

aluminium.
24

7. Penatalaksanaan PGK

Penatalaksanaan pada pasien PGK menurut (Sudoyo, 2010)yaitu :

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya adalah waktu yang paling

tepat untuk terapi yaitu sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga

pemburukan ginjal tidak terjadi.

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid

condition) ini penting untuk mencegah perburukan keadaan pasien.

c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal dengan dua

cara untuk mengurangi hiperfiltrasi yang merupakan faktor utama

perburukan ginjal yaitu dengan pembatasan asupan protein dan terapi

farmakologi.

d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler yaitu

pengendalian diabetes, hipertensi, dispilidemia, anemia,

hiperfosfatemia, kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan cairan.

e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.

f. Terapi penggantian ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal.

Perencanaan tatalaksana (action plan) PGK sesuai derajatnya dapat dilihat

pada tabel 2.4 yaitu :


25

Tabel 2.4 Rencana Tatalaksana PGK

LFG
Derajat Rencana tatalaksana
(ml/menit/1,73𝒎𝟐 )
Terapi penyakit dasar, kondisi

kormobid, evaluasi pemburukan


1. ≥ 90
(progression) fungsi ginjal,

memperbaiki resiko kardiovaskuler

Menghambat pemburukan
2. 60 – 89
(progression) fungsi ginjal

3. 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi

Persiapan untuk terapi penggantian


4. 15 – 29
ginjal

Terapi penggantian ginjal (dialisis


5. < 15
dan transplantasi ginjal)

(Sudoyo, 2010)

8. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada pasien PGK menurut (Doenges, E Marilynn,

2000 dalam Padila, 2012) yaitu :

a. Urine

1) Volume : biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam atau tidak ada (anuria)
26

2) Warna : secara abnormal urine keruh kemungkinan disebabkan oleh

pus, bakteri, lemak, fosfat, atau urat sedimen kotor, kecoklatan

menunjukan adanya darah, Hb, mioglobin, porfin

3) Berat jenis : kurang dari 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat

4) Osmoalitas : kurang dari 350 mOms/kg menunjukan kerusakan ginjal

tubular dan rasio urine/ serum sering : yaitu 1:1

5) Natrium : lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu

mereabsorbsi natrium

6) Protein : derajat tinggi proteinuria (3 – 4+) secara kuat menunjukan

kerusakan glomerulus bila sel darah merah dan fregmen juga ada

b. Darah

1) BUN/ kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap

akhir

2) Hematokrit : menurun karena adanya anemia, Hemoglobin biasanya

kurang dari 7- 8 gr/dl

3) Sel darah merah : menurun, defisiensi eritropoitin

4) Gas darah arteri : asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2

5) Natrium serum : rendah

6) Kalium : meningkat

7) Magnesium : meningkat

8) Kalsium : menurun

9) Prorein : menurun

10) Osmoliasis serum : lebih dari 285 mOsm/kg


27

11) Pelogram retrograd : abnormalitas pelvis ginjal dan ureter

12) Endokospi ginjal, nefroskopi : untuk menentukan pelvis ginjal, keluar

batu, hematuria, dan pengangkata tumor selektif.

13) Arteriogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi

ekstravaskuler, massa.

14) Ultrasonografi (USG) : Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan untuk

menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan

parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal,

kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari

adanya faktor yang reversibel dan menilai apakah proses sudah lanjut.

15) Foto Polos Abdomen : Foto polos abdomen dilakukan untuk menilai

bentuk dan besar ginjal serta apakah ada batu atau obstruksi lain.

Sebaiknya dilakukan tanpa puasa karena dehidrasi akan memperburuk

fungsi ginjal.

16) Renogram : Pemeriksaan renogram dilakukan untuk menilai fungsi

ginjal kiri dan kanan, lokasi gangguan (vaskuler, parenkim dan

ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.

9. Penatalaksanaan Konservatif / Diet PGK

Penatalaksanaan konservatif ditujukan untuk meredakan atau

memperlambat perburukan progresif gangguan fungsi ginjal.Prinsip dasar

penatalaksanaan konservatif sangat sederhana dan didasarkan pada

pemahaman mengenai batasan ekskresi yang dapat dicapai oleh ginjal

yang terganggu. Bila hal ini sudah diketahui maka diet dapat diatur dan
28

disesuaikan dengan batasan – batasan yang sudah ditetapkan (Price &

Wilson, 2006).

a. Diet Rendah Protein (DRP)

Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi

juga mengurangi asupan kalium, fosfat, serta mengurangi produksi ion

hidrogen yang berasal dari protein. Gejala – gejala seperti mual,

muntah dan letih mungkin dapat membaik. Pembatasan asupan protein

telah terbukti dapat menormalkan kembali kelainan ini dan

memperlambat progresifitas PGK (Price & Wilson, 2006).

Syarat diet PGK menurut Almatsier (2007) yaitu :

1) Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB. Jika energi dari makanan yang

dikonsumsi tidak cukup, tubuh cendrung menggunakan simpanan

protein dalam otot untuk menghasilkan energi.

2) Protein rendah, yaitu 0,6 – 0,75 g/kg BB. Sebagian harus memiliki

nilai biologik yang tinggi seperti telur, daging, ikan, susu dan

ayam.

3) Suplemen vitamin D3, asam fosfat dan B6 untuk pembentukan sel

darah merah. Pemberian vitamin A tidak dianjurkan pada penyakit

ginjal stadium terminal karena toksisitas. Sementara itu, suplemen

vitamin C tidak boleh lebih dari 100 mg karena penting untuk

penyerapan zat besi (mencegah anemia), pembentukan kolagen

dan antibodi.
29

b. Diet Rendah Garam (DRG)

Yang dimaksud garam dalam diet rendan garam adalah garam

natrium seperti yang terdapat didalam garam dapur (NaCl). Natrium

merupakan cairan ekstraseluler tubuh yang mempunyai fungsi

menjaga keseimbangan cairan dan asam basa tubuh. Jumlah natrium

yang biasanya diperbolehkan adalah 40 – 90 mEq/ hari (1-2 g

natrium/hari) atau 3 g garam/ hari. Asupan natrium yang berlebihan

dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan tubuh, sehingga

menyebabkan edema, asites dan hipertensi (Price & Wilson, 2006).

c. Diet Rendah Kalium

Hiperkalemia umumnya menjadi masalah dalam gagal ginjal

lanjut.Jumlah natrium yang diperbolehkan dalam diet adalah 40 – 80

mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat – obatan yang mengandung

kalium dapat menyebabkan hiperkalemia (Price & Wilson, 2006).

d. Pembatasan Asupan Cairan

Pembatasan cairan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisa

sangat perlu dilakukan, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya

edema dan komplikasi kardiovaskuler. Mengontrol asupan cairan

merupakan salah satu masalah umum bagi pasien yang menjalani

dialisis, karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat menahan

rasa haus untuk minum dibandingkan dengan makanan. Asupan cairan

yang kurang dari optimal dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan

pemburukan fungsi ginjal (Price & Wilson, 2006).


30

Apabila pasien tidak membatasi jumlah asupan cairan maka cairan

akan menumpuk di dalam tubuh yang akan menimbulkan edema di

sekitar tubuh seperti tangan, kaki dan muka dan penumpukan cairan

pada rongga perut (asites). Kondisi ini akan membuat tekanan darah

meningkat dan memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan juga

akan masuk ke paru –paru sehingga membuat pasien mengalami sesak

nafas, karena itulah perlunya pasien mengontrol dan membatasi

jumlah asupan cairan yang masuk dalam tubuh. Cairan yang

dibolehkan pada pasien hemodialisis adalah dengan menjumlahkan

urine 24 jam ditambah 500 - 750 ml. Urine 24 jam ditambah 500 - 750

ml adalah jumlah cairan yang dapat dikonsumsi pasien dan masih

dapat ditoleransi oleh ginjal pasien (O’Callaghan, 2009).

B. Hemodialisa

1. Defenisi

Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti

fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa – sisa metabolisme atau racun

tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natruim, kalium,

hidrogen, urea, kreatinin, asam urat dan zat – zat lain melalui membran

semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal

buatan dimana proses terjadi melalui difusi, osmosi, dan ultrafiltrasi

(Haryono, 2013).
31

Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien

dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek

(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit

ginjal stadium terminal (ESRD : end-stagerenal disease) yang

membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen (Haryono,

2013).

2. Tujuan

Tujuan hemodialisa adalah untuk membuang sisa produk metabolisme

seperti urea, kreatinin dan asam urat, membuang kelebihan air dengan

mempengaruhi tekanan banding antara darah dan bagian cairan,

mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh,

mempertahankan dan mengembalikan kadar elektrolit tubuh (Wijaya, A.S

& Putri, Y.M. 2013).

3. Indikasi dan Kontra Indikasi

Indikasi secara umum pada pasien PGK adalah bila laju filtrasi

glomerulus (LFG) sudah <15 ml/menit. Pasien- pasien tersebut dinyatakan

memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi sebagai berikut

(Wijaya, A.S & Putri, Y.M. 2013) :

a. Hiperkalemia

b. Asidosis

c. Kegagalan terapi konservatif

d. Kadar ureum / kreatinin tinggi dalam darah (ureum > 200 mg%,

kreatinin serum > 6 mEq/L


32

e. Kelebihan Cairan

f. Mual dan muntah hebat

Kontra indikasi :

a. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmhg)

b. Hipotensi (TD < 100 mmhg)

c. Adanya perdarahan hebat

d. Demam tinggi

4. Prinsip Hemodialisa

Prinsip hemodialisa ada 3 yaitu (Wijaya, A.S & Putri, Y.M. 2013) :

a. Difusi

Dihubungkan dengan pergerakan – pergerakan partikel dari daerah

konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah oleh tenaga yang ditimbulkan

oleh perbedaan konsentrasi zat – zat terlarut di kedua sisi membran

dialisis, difusi menyebabkan pergeseran urea, kreatinin dan asam urat

dari darah klien ke larutan dialisat.

b. Osmosi

Mengangkut pergeseran cairan lewat membran semi permiabel dari

daerah yang kadar partikel rendah ke daerah yang kadar artikel lebih

tinggi, osmosi bertanggung jawab atas pergeseran cairan.

c. Ultrafiltrasi

Terdiri dari pergeseran cairan lewat membran semi permiabel dampak

dari bertambahnya tekanan yang dideviasikan secara buatan.


33

5. Proses Hemodialisa

Proses hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam

suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen

yang terpisah. Darah pasien yang dipompa dan dialirkan ke kompartemen

darah yang dibatasi oleh selaput semipermiabel buatan (artifisial) dengan

kompartemen dialisat.Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang

bebas dari pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum

normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen (Sudoyo, 2010).

Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan

konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke

arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama dikedua

komparetemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari

kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara

menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat

(Sudoyo, 2010).

6. Komplikasi Selama Hemodialisa

Menurut Suharyanto, T (2013) menyatakan bahwa komplikasi yang

ditemukan selama hemodialisis adalah :

a. Hipotensi, terjadi karena ultrafiltrasi yang berlebihan dengan pengisian

vaskular yang tidak memadai, gangguan respon vasoaktif atau

autonom, pergeseran osmolar, pemberian berlebihan anti hipertensi,

dan berkurangnya cadangan jantung.


34

b. Anemia dan rasa letih dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik

dan mental, berkurangnya tenaga dan kemauan serta kehilangan

perhatian. Anemia juga dapat diperparah dengan perdarahan karena

heparinisasidengan masalah khusus perdarahan subdural,

retroperitoneal, pericardial dan intraokular.

c. Nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan

terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh.

d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir

metabolisme meninggalkan kulit.

e. Kram otot terjadi sebagai akibat dari hiponatremia atau

hipoosmolalitas dan terlalu cepatnya pengeluaran cairan.

f. Mual muntah

7. Penatalaksanaan Pasien yang Menjalani Hemodialisa

Penatalaksanaan yang dilaksanakan pada pasien PGK yang menjalani

hemodialisis ini bertujuan untuk menghindari ketidakseimbangan cairan

dan elektrolit serta menurunkan produksi sampah yang harus dieksresikan

oleh ginjal. Pada pasien yang menjalani hemodialisis sering merasakan

diet yang bersifat membatasi akan merubah gaya hidup dan banyak yang

tidak disukai. Pasien yang menjalani hemodialisis harus mendapat asupan

makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi yang kurang

merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada pasien

hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1 – 1,2 g/kgBB/hari dengan 50

% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium


35

diberikan 40 – 70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena

itu makanan tinggi kalium seperti buah – buahan dan umbi – umbian tidak

dianjurkan dikonsumsi (Sudoyo, 2010).

Asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada

ditambah dengan insensible water loss (IWL). Asupan natrium dibatasi 40

– 120 meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan

tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong

pasien untuk minum. Bila cairan berlebihan maka selama periode di antara

dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar (Sudoyo, 2010).

Pada pasien yang menjalani hemodialisa didapatkan hasil riset yang

memperlihatkan perbedaan kepatuhan pasien yang menjalani hemodialisa

kurang dari 1 tahun dan lebih dari 1 tahun. Semakin lama menjalani

hemodialisa maka resiko terjadinya penurunan kepatuhan semakin tinggi

(Kamerrer, 2007).

C. Konsep Kepatuhan

1. Defenisi

Menurut Sackett (1976) dalam Niven (2012) mendefenisikan

kepatuhan pasien sebagai sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Kepatuhan juga

merupakan tingkat perilaku individu dalam melakukan minum obat,

memenuhi diet atau perubahan gaya hidup yang dianjurkan. Kepatuhan


36

juga dapat didefenisikan sebagai perilaku positif pasien dalam mencapai

tujuan terapi (Kozier, 2011).

Derajat ketidakpatuhan memiliki variasi sesuai dengan apakah

pengobatan tersebut kuratif dan preventif, jangka pendek atau panjang.

Pengkajian yang akurat terhadap individu yang tidak patuh merupakan

suatu tugas yang sulit. Menurut Niven (2012) menemukan bahwa

profesional kesehatan seringkali tidak dapat memutuskan pasien mana

yang tidak mematuhi nasehat mereka dan cendrung untuk menafsirkan

terlalu tinggi sejauh mana pasien mereka dapat memenuhinya.

Kepatuhan dalam melaksanakan diet didefenisikan sebagai kemauan

atau keinginan pasien PGK yang menjalani hemodialisis untuk

melaksanakan program yang disarankan oleh tim kesehatan mengenai diet

yang dianjurkan. Diet pada pasien dengan PGK sangat penting diterapkan

karena bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi yang

dapat menimbulkan kematian (Alisa, 2014).

2. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Feuerstein et al (1986) dalam Niven (2012) faktor - faktor yang

mempengaruhi kepatuhan antara lain :

a. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi untuk

mengembangkan kemampuan dan kualitas pribadi seseorang, dimana

semakin tinggi pendidikan akan semakin besar kemampuan untuk

memanfaatkan pengetahuan dan keterampilanya.


37

b. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk

mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja

maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang malakukan kontak

atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Suparyanto, 2011).

c. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga

menentukan program pengobatan yang akan diterima.

d. Perubahan Model Terapi

Perubahan model terapi juga dapat mempengaruhi pasien dalam

melaksanakan kepatuhan terhadap dietnya. Program – program

pengobatan harus dibuat sesederhana mungkin, dan mengajak pasien

aktif dalam pembuatan program pengobatan tersebut.

e. Kualitas Interaksi Profesional Kesehatan

Kualitas interaksi suatu hal yang sangat penting untuk memberikan

umpan balik dan merupakan bagian yang dapat menentukan derajat

kepatuhan pasien.

f. Keyakinan, Sikap dan Kepribadian

Keyakinan pasien terhadap kesembuhannya juga dapat mempengaruhi

kepatuhan, keyakinan timbul karena adanya sikap dan kepribadiaan

pasien. Menurut Niven (2012), bahwa ada hubungan keyakinan


38

tentang kesehatan dan kepribadian seseorang dalam menentukan

respon pasien terhadap anjuran pengobatan.

3. Pengukuran Kepatuhan

Pengukuran kepatuhan dalam melakukan diet dapat diukur dengan

menimbang berat badan pasien sebelum menjalani hemodialisa kemudian

dibandingkan dengan berat badan setelah hemodialisa sebelumnya yang

disebut dengan IDWG (Interdialysis weight gain) (Desitasari, 2013).

Kenaikan IDWG melebihi 5% dapat menimbulkan efek negatif terhadap

kesehatan pasien, diantaranya hipertensi, hipotensi, kram otot, gagal

jantung, asites dan dapat mengakibatkan kematian. IDWG adalah

pertambahan berat badan pasien diantara dua waktu dialysis IDWG diukur

dengan cara menghitung berat badan pasien setelah (post) HD pada

periode hemodialisa pertama (pengukuran I). Periode hemodialisa kedua,

berat badan pasien ditimbang lagi sebelum (pre) HD (pengukuran II),

selanjutnya menghitung selisih antara pengukuran II dikurang pengukuran

I dibagi pengukuran II dikali 100%. Misalnya BB pasien post HD adalah

54 kg, BB pasien pre HD adalah 58 kg, maka presentase IDWG yaitu (58-

54) : 58 x 100% = 6,8% (Hidayati, 2012).

Rumus :

Pre hemodialis 2 − Post hemodialisa 1


X 100 %
Pre hemodialisa 2
39

Menurut (Hidayati, 2012) penilaian kepatuhan melaksanakan diet pada

pasien PGK yang menjalani hemodialisa yaitu :

Patuh : Kenaikan berat badan ≤ 5 %

Tidak patuh : Kenaikan berat badan > 5%

D. Konsep Pengetahuan

1. Defenisi

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Pengetahuan juga bisa

diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain. Tanpa pengetahuan

seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan

menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi (Notoatmodjo,

2012).

Pengetahuan menentukan prilaku seseorang terhadap masalah yang

dihadapinya. Seseorang yang memiliki pengetahuan baik akan mudah

untuk mengaplikasikan pengetahuannya menjadi perilaku yang positif dan

memungkinkan pasien dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah

yang dihadapi. Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman

dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian serta

mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, akan

dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut


40

dalam membuat keputusan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt

behavior), karena perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih

lama bertahan dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan

(Notoatmodjo, 2010).

2. Tingkat Pengetahuan

Menurut (Notoatmodjo, 2012) pengetahuan yang dicakup dalam domain

kognigtif dibagi menjadi 6 tingkat yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu

merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi secara benar.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).


41

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen – komponen, tetapi masih didalam

struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian – bagian didalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian – penilaian

itu didasarkan pada suatu kriteria yang sudah ditentukn sendiri, atau

menggunakan kriteria – kriteria yang telah ada.

3. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari objek

penelitian atau responden. Selanjutnya (Notoatmodjo, 2012) menjelaskan

tentang tingkat pengetahuan secara umum dibagi menjadi dua bagian :

a. Tinggi

Pengetahuan tinggi diartikan seseorang telah mampu mengetahui,

memahami, mengaplikasikan, menganalisa dan menghubungkan

antara suatu materi dengan materi yang lainya (sintesis) serta


42

kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu objek

(evaluasi). Pengetahuan dikatakan tinggi apabila nilai ≥ 60%.

b. Rendah

Pengetahuan rendah diartikan apabila individu kurang mampu untuk

meningkatkan, memahami, mengaplikasikan, mengevaluasi, dan

menghubungkan suatu materi dengan objek. Pengetahuan rendah

diartikan apabila nilai < 60%.

E. Dukungan Keluarga

1. Defenisi

Menurut Padila (2012), menyatakan keluarga sebagai suatus sistem

sosial. Keluarga merupakan sebuah kelompok kecil yang terdiri dari

individu – individu yang memiliki hubungan erat satu sama lain, saling

tergantung yang diorganisir dalam satu unit tunggal dalam rangka

mencapai tujuan tertentu. Dalam penyelesaian masalah kesehatan,

keluargalah yang mengambil keputusan. Keluarga pada akhirnya

menentukan apakah masalah kesehatan akan dihilangkan, dibiarkan

bahkan mendatangkan masalah kesehatan lain, sehingga dalam hal ini

penting sekali untuk mengikut sertakan keluarga dalam mengambil

keputusan yang tepat terhadap masalah kesehatan yang sedang dialami

terutama dalam menjaga kepatuhan anggota keluarga yang menjalani diet

atau terapi yang dianjurkan.


43

Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penguat atau

pendorong terjadinya perilaku. Dukungan keluarga dalam hal ini dapat

memberikan motivasi, perhatian, mengingatkan untuk selalu melakukan

diet sesuai dengan anjuran profesional kesehatan. Dukungan keluarga

sangat diperlukan bagi pasien PGK, karena pasien akan mengalami

banyak perubahan pada kualitas hidup sehingga membuat pasien menjadi

hilang semangat untuk menjalani aktifitas sehari – hari.

2. Ciri – Ciri Keluarga

a. Keluarga diikat oleh satu perkawinan

b. Adanya hubungan darah

c. Adanya ikatan bathin

d. Adanya tanggung jawab masing – masing anggota keluarga

e. Adanya pengambilan keputusan

f. Adanya kerjasama antara anggota keluarga

g. Adanya komunikasi dan interaksi anggota keluarga

h. Tinggal dalam satu rumah

3. Fungsi Keluarga

Menurut Friedman (1998) dalam Padila (2012) mengidentifikasi lima

fungsi dasar keluarga, yaitu :

a. Fungsi afektif

Fungsi afektif berhubungan dengan fungsi internal keluarga yang

merupakan basis kekuatan dari keluarga.Fungsi afektif berguna untuk

pemenuhan fungsi psikososial. Keberhasilah melaksanakan fungsi


44

afektif ini tampak pada kebahagian keluarga dan kegembiraan dari

seluruh anggota keluarga.

b. Fungsi sosialisasi

Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dialami

individu yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan

dalam lingkungan sosial. Sosialisasi dimulai sejak individu lahir dan

berakhir setelah meninggal. Keluargalah yang merupakan tempat

pertama individu melakukan sosialisasi.

c. Fungsi reproduksi

Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan

meningkatkan sumber daya manusia. Dengan adanya program

keluarga berencana (KB) maka fungsi ini sedikit dapat terkontrol.

d. Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi

kebutuhan anggota keluarga seperti kebutuhan akan makan, minum

dan tempat tinggal.

e. Fungsi perawatan kesehatan

Fungsi perawatan kesehatan adalah kemampuan keluarga untuk

merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

Keluarga juga dapat menentukan kapan anggota keluarga yang

mengalami gangguan kesehatan memerlukan bantuan atau pertolongan

tenaga kesehatan.
45

4. Tugas Kesehatan Keluarga

Ada 5 tugas kesehatan keluarga menurut Friedman (1998) dalam

Padila (2012) adalah sebagai berikut :

a. Mengenal masalah kesehatan keluarga

Kesehatan keluarga merupakan kebutuhan yang tidak boleh diabaikan,

karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidaklah berarti. Keluarga perlu

mengenal keadaan kesehatan dan perubahan – perubahan yang dialami

oleh anggota keluarga, perubahan sekecil apapun secara tidak

langsung dapat menjadi perhatian keluarga.

b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat

Tugas ini merupakan upaya utama keluarga untuk mencari

pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga. Tindakan

kesehatan yang dilakukan keluarga diharapkan tepat agar masalah

kesehatan yang sedang terjadi dapat dikurangi atau teratasi.

c. Memberi perawatan bagi anggota keluarga yang sakit

Sering kali keluarga telah mengambil keputusan yang tepat, tetapi jika

keluarga masih mengalami keterbatasan maka angota keluarga yang

mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjut atau

perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan

kesehatan dapat di lakukan di institusi kesehatan atau dirumah apabila

keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan

pertama.
46

d. Mempertahankan suasana rumah yang sehat

Rumah merupakan tempat berteduh, berlindung dan bersosialisasi bagi

anggota keluarga. Oleh karena itu, kondisi rumah haruslah dapat

menjadi lambang ketenangan, keindahan, ketentraman, dan dapat

menunjang derajat kesehatan bagi anggota keluarga.

e. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat

Apabila mengalami gangguan atau masalah kesehatan anggota

keluarga harus dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada

disekitarnya. Keluarga dapat berkonsultasi atau meminta bantuan

tenaga keperawatan untuk memecahkan masalah yang dialami anggota

keluarga sehingga keluarga dapat bebas dari segala macam penyakit.

5. Bentuk Dukungan Keluarga

Bentuk dukungan keluarga menurut Friedman (2010) ada 4 yaitu :

a. Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit,

mencakup bantuan langsung seperti dalam bentuk uang, peralatan,

waktu, dan modifikasi lingkungan.

b. Dukungan Informasi

Keluarga berfungsi sebagai sebuah koletor dandisseminator (penyebar)

informasi tentang dunia, mencakup memberi nasehat, petunjuk -

petunjuk, saran atau umpan balik. Bentuk dukungan keluarga yang

diberikan oleh keluarga adalah dorongan semangat, pemberian nasehat

atau mengawasi tentang pola makan sehari-hari dan pengobatan.


47

c. Dukungan Penilaian

Keluarga bertindak sebagai penengah dalam pemecahan masalah dan

juga sebagai fasilitator dalam pemecahan masalah yang sedang

dihadapi. Dukungan dan perhatian dari keluarga merupakan bentuk

penghargaan positif yang diberikan kepada individu.

d. Dukungan Emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat

dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Meliputi

ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap anggota keluarga

yang sakit.

6. Pengukuran Dukungan Keluarga

Menurut Sugiyono (2012) untuk mengetahui besarnya dukungan

keluarga dapat diukur menggunakan kuesioner dukungan keluarga yang

menggunakan skala likert. Jumlah pernyataan terdiri dari 10 item yang

terbagi dalam 6 pernyataan favourable (1,2,3,5,7,10) dan 4 pernyataan

unfavourable (4,6,8,9)

Bentuk skala dukungan keluarga dalam penelitian ini berbetuk

pernyataan dengan empat alternativ jawaban yang harus dipilih. Adapun

petunjuk skoring yang digunakan berdasarkan pernyataan yang

favourable dan unfavourable adalah sebagai berikut :

a. Untuk pernyataan Favourable :

1) Skor 4 untuk jawaban Selalu (SL)

2) Skor 3 untuk jawaban Sering (SR)


48

3) Skor 2 untuk jawaban Kadang – Kadang (KD)

4) Skor 1 untuk jawaban Tidak Pernah (TP)

b. Untuk pernyataan Unfavourable :

1) Skor 1 untuk jawaban Selalu (SL)

2) Skor 2 untuk jawaban Sering (SR)

3) Skor 3 untuk jawaban Kadang – Kadang (KD)

4) Skor 4 untuk jawaban Tidak Pernah (TP)

Masing – masing score dari 10 pernyataan dukungan keluarga tersebut

dijumlahkan dan hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat

dukungan keluarga, yaitu :

Baik : Jika ≥ Mean/Median

Kurang baik : Jika < Mean/Median


49

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Cronik Kidney Disease (CKD)

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel yang

menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme,

keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia atau retensi urine

dan sampah nitrogen dalam darah. PGK terjadi akibat terminal destruksi

jaringan dan kehilangan fungsi ginjal yang berlangsung berangsur – angsur.

Keadaan ini dapat pula terjadi karena penyakit yang progresif cepat disertai

awitan mendadak yang menghancurkan nefron dan menyebabkan kerusakan

ginjal yang ireversibel (Haryono R, 2013).

Terapi dialisis ini ada dua yaitu dialisis peritoneal dan hemodialisa,

sedangkan terapi lain yaitu melakukan transplantasi ginjal. Terapi yang sering

dianjurkan untuk pasien PGK adalah hemodialisa. Hemodialisa biasanya

dilakukan 2 atau 3 kali seminggu dengan lama waktu 4 – 5 jam per kali terapi.

Lamanya waktu yang dibutuhkan dan berapa kali dalam seminggu harus

dilakukan hemodialisa sangat tergantung pada derajat kerusakan ginjal, diet

sehari – hari, penyakit lain yang menyertai dan ukuran tubuh pasien (Price &

Wilson, 2006).
50

Penatalaksanaan pasien PGK yang menjalani hemodialisa salah

satunya adalah diet. Diet pada pasien PGK dengan hemodialisa sangat penting

mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu

mengekskresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini

akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin

dalam tubuh penderita. Semakin banyak toksin yang menumpuk akan lebih

berat gejala yang muncul. Sangatlah penting pasien patuh pada diet yang

sudah ditetapkan, agar kebutuhan pasien tercukupi dan dapat beraktifitas

secara normal (Kimberly B, 2012).

Kepatuhan terhadap pengontrolan diet merupakan faktor yang sangat

penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan pasien.

Menurut Sackett (1976) dalam Niven (2012) mendefenisikan kepatuhan

pasien sebagai sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang

diberikan oleh profesional kesehatan. Kepatuhan juga merupakan tingkat

perilaku individu dalam melakukan minum obat, memenuhi diet atau

perubahan gaya hidup yang dianjurkan. Menurut Feuerstein et al (1986) dalam

Niven (2012) faktor - faktor yang mempengaruhi kepatuhan antara lain :

tingkat pendidikan, pengetahuan, dukungan keluarga, perubahan model terapi,

meningkatkan interaksi professional kesehatan pasien dan keyakinan, sikap

dan kepribadian.
51

Skema 3.1 Kerangka Teori Penelitian

PGK

Penurunan fungsi ginjal secara


progresif dan irreversibel

Tubuh gagal mempertahankan sisa


metabolisme, keseimbangan cairan
dan elektrolit

Uremia

Hemodialisa Dialisis Dialisis peritoneal

- Diet Rendah Protein (DRP)


- Diet RendahGaram (DRG)
Penatalaksanaan
- Diet Rendah Kalium
konservatif
- Pembatasan Asupan Cairan

Kepatuhan
melaksanakan diet

- Tingkat pendidikan
- Pengetahuan
- Dukungan keluarga
- Perubahan model terapi
- Kualitas interaksi professional
kesehatan
- Keyakinan, sikap dan kepribadian

Sumber : Haryono (2013), Price & Wilson (2006), Niven (2012)

(
52

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep terdiri dari variabel – variabel serta hubungan

variabel yang satu dengan yang lain sehingga kerangka konsep akan

mengarahkan peneliti untuk menganalisis hasil penelitian (Notoatmodjo,

2012). Variabel yang diamati terdiri dari variable independen atau variable

bebas dan variable dependen atau variable terikat. Pada penelitian ini yang

menjadi variable bebasnya adalah pengetahuan dan dukungan

keluarga.Variabel terikatnya adalah kepatuhan melaksanakan diet pada pasien

PGK yang menjalani hemodialisa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

skema dibawah ini :

Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

- Pengetahuan Kepatuhan melaksanakan


- Dukungan Keluarga diet pada pasien PGK yang
menjalani hemodialisa

C. Hipotesa

Ha 1 : adanya hubungan pengetahuan dengan kepatuhan melaksanakan diet

pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani

Hemodialisa di RSUP DR. M Djamil Padang tahun 2017.


53

Ha 2 : adanya hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan melaksanakan

diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani

Hemodialisa di RSUP DR. M Djamil Padang tahun 2017.


54

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan

pendekatan cross sectional study, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan

pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kepatuhan melaksanakan diet

pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani Hemodialisa di

RSUP DR. M Djamil Padang tahun 2017 (Notoatmodjo, 2012).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan diruangan Unit Hemodialisa RSUP DR. M

Djamil Padang dari bulan Mei - Juni 2017 dan pengumpulan data

dilaksanakan pada tanggal 29 Mei – 3 Juni 2017.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien

dengan penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa di

RSUP DR. M Djamil Padang. Berdasarkan data bulan April 2017 jumlah

populasi sebanyak 104 dengan pasien yang berbeda menjalani hemodialisa

2 x seminggu berdasarkan program medis.


55

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo, 2012). Menurut Hidayat, A. Aziz Alimul, 2009

dan Notoatmodjo, 2012, rumus mencari sampel ditentukan dengan

menggunakan rumus estimasi proporsi dengan populasi finit (diketahui)

yaitu :

Rumus :

𝑁 . 𝑍 2 1− 𝛼/2 . 𝑃(1−𝑃)
n = (𝑁−1)
. 𝑑2 + 𝑍 2 1−𝛼/2 . 𝑃 (1−𝑃)

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Besar Populasi

𝑍1−𝑎/2 = Nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu

P = Proposi suatu kasus tertentu terhadap populasi (bila tidak

diketahui proporsinya, ditetapkan 50% sama dengan 0,50 )

d = Tingkat kepercayaan atau ketetapan yang diinginkan 10%

atau (0,10)

Jumlah sampel dalam penelitian ini berdasarkan rumus diatas, yaitu :

𝑁 . 𝑍 2 1−𝛼/2 . 𝑃(1−𝑃)
n = (𝑁−1)
. 𝑑 2 + 𝑍 2 1−𝛼/2 . 𝑃 (1−𝑃)

104 . (1,64)2 . 0,50 (1−0,50)


n = (104−1).(0,10)2
+ (1,64)2 . 0,50 (1−0,50)
56

104 . 2,68 . 0,50 . 0,5


n=
103 . 0,01 +2,68 . 0,50 . 0,5

69,68
n=
1,03 + 0,67

69,68
n= = 41
1,7

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 41 responden.

Sampel dalam penelitian ini diambil sesuai dengan kriteria sampel

yang ditentukan sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat

mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai

sampel (Notoatmodjo, 2012) yaitu :

1) Bersedia menjadi responden

2) Pasien yang kooperatif

3) Pasien bisa membaca dan menulis

4) Pasien yang menjalani hemodialisa 2 x seminggu berdasarkan

program medis

5) Pasien PGK yang menjalani hemodialisa selama ≥ 1 tahun

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat

mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel

penelitian (Notoatmodjo, 2012) yaitu :


57

1) Pasien yang terjadi penurunan kesadaran

2) Pasien mengalami komplikasi hemodialisa (pusing, kram, sakit

kepala)

Saat penelitian ada beberapa responden yang menolak untuk dijadikan

sampel dan ada yang mengalami komplikasi seperti pusing, mual, dan

gatal - gatal, maka peneliti mencari responden lain sesuai kriteria untuk

dijadikan responden sehingga jumlah sampel terpenuhi yaitu sebanyak 41

responden.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara Accidental Sampling

yaitu teknik pengambilan kasus atau responden yang kebetulan ada atau

tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian atau sesuai

dengan kriteria inklusi (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini dilakukan

selama 6 hari, data yang didapatkan dari responden setiap harinya

sebanyak 7 – 8 responden, yang terdiri dari 2 shift yaitu shift pagi dan

shift siang. Shift pagi dimulai dari jam 07.30 – 13.00 WIB dan shift siang

dimulai dari jam 14.00 – 19.00 WIB.

Rincian pengambilan sampel dalam penelitian ini selama 6 hari dapat

diuraikan sebagai berikut :

a. Tanggal 29 Mei 2017 didapatkan data sebanyak 6 responden, shift pagi

3 responden dan shift siang 3 responden.

b. Tanggal 30 Mei 2017 didapatkan data sebanyak 14 responden, shift

pagi 6 responden dan shift siang 8 responden.


58

c. Tanggal 31 Mei 2017 didapatkan data sebanyak 7 responden pada shift

siang.

d. Tanggal 1 Juni 2017 didapatkan data sebanyak 7 responden pada shift

pagi.

e. Tanggal 2 Juni 2017 didapatkan data sebanyak 4 responden pada shitf

pagi.

f. Tanggal 3 Juni 2017 didapatkan data sebanyak 3 responden pada shift

pagi.

D. Variabel dan Defenisi Opersional

1. Variabel

Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah

pengetahuan dan dukungan keluarga, sedangkan variabel dependen atau

variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepatuhan diet pada pasien

penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa.

2. Defenisi Operasional

Tabel 4.1 Defenisi Operasional

Defenisi Skala
No Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur

1. Variabel Merupakan hasil Kuesioner Wawancara Pengetahuan Ordin


Independ dari tahu pasien Terpimpin, 1. Tinggi, al
en : tetang diet yang dengan jika Skor
Pengetahu harus dijalani, memberikan ≥ 60 %
an yaitu :
59

1. Diet rendah 15 2. Rendah,


protein (DRP) pertanyaan jika Skor
2. Diet rendah jika jawaban < 60 %
garam (DRG) benar = 1,
3. Diet rendah jawaban
kalium salah = 0
4. Pembatasan
asupan cairan

2. Dukungan Merupakan Kuesioner Wawancara Dukungan Ordin


Keluarga persepsi pasien Terpimpin, keluarga : al
terhadap dengan 1. Baik, jika
dukungan yang memberikan Skor ≥
diberikan oleh 10 24
(Median)
keluarga kepada pernyataan
2. Kurang
pasien yang menggunaka Baik, jika
menjalani diet n skala Skor < 24
sesuai terapi yaitu likert. (Median)
ada 4 : Posif :
1. Dukungan Selalu = 4
instrumental Sering = 3
(waktu, Kadang –
kadang = 2
peralatan,
Tidak
uang) pernah = 1
2. Dukungan
informasi Negatif :
(nasehat, Selalu = 1
petunjuk, Sering = 2
saran) Kadang –
3. Dukungan kadang = 3
Tidak
penilaian
pernah = 4
(pernghargaan
positif,
motivasi)
60

4. Dukungan
emosional
(kepeduliaan,
perhatian)
3. Variabel Kepatuhan diet Timbangan Menilai Kepatuhan Ordin
dependen pasien PGK yang berat badan kenaikan BB 1. Patuh, al
: menjalani yang telah pre dan BB jika
Kepatuhan hemodialisa 2x terkalibrasi post Kenaikan
diet pada seminggu secara hemodialisa BB ≤ 5%
pasien berdasarkan internasion 2. Tidak
penyakit program medis al patuh,
ginjal berdasarkan hasil jika
kronik pengukuran berat Kenaikan
(PGK) badan pasien BB > 5%
yang sebelum dan
menjalani sesudah
hemodialis melakukan
a hemodialisa
dengan cara
menghitung berat
badan pasien
setelah (post) HD
pada periode
hemodialisa
pertama
(pengukuran I).
Periode
hemodialisa
kedua, berat
badan pasien
ditimbang lagi
sebelum (pre) HD
(pengukuran II),
selanjutnya
menghitung
selisih antara
pengukuran II
dikurang
pengukuran I
61

dibagi
pengukuran II
dikali 100%
(menggunakan
rumus IDWG)

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat – alat yang digunakan untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini instrumen yang

digunakan adalah kuesioner dan lembar observasi timbangan berat badan.

Kuesioner pengetahuan dan dukungan keluarga dibuat oleh peneliti

berdasarkan dengan teori yang ada. Kuesioner akan dibacakan oleh peneliti

secara terpimpin kepada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani

hemodialisa untuk diisi dan dilengkapi. Untuk penilaian kepatuhan diet dalam

penelitian ini peneliti melihat acuan pada catatan perawat atau rekam medik

untuk melihat berat badan pasien yang sudah ditimbang menggukanan

timbangan berat badan yang telat terkalibrasi secara internasional sehingga

pengukuran yang dilakukan hasilnya valid.

F. Pengumpulan Data

1. Jenis Data

a. Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari responden yaitu pasien penyakit

ginjal kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa 2x seminggu

berdasarkan program medis. Peneliti langsung mengisi kuesioner


62

pengetahuan dan kuesioner dukungan keluarga saat mewawancarai

responden secara terpimpin.

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari catatan perawat atau rekam medik pasien.

Peneliti langsung melihat acuan dari catatan perawat untuk berat badan

pasien.

2. Tahap Pengumpulan data

a. Peneliti mengajukan surat permohonan izin untuk melakukan

pengambilan data dan penelitian di STIKES MERCUBAKTIJAYA

Padang.

b. Peneliti memasukan surat ke Direktur Utama RSUP. Dr M. Djamil

Padang dan tebusan Kabag Diklat RSUP. Dr M. Djamil Padang.

Kemudian peneliti mendapatkan surat izin untuk pengambilan data di

IDT (Instalansi Diagnostik Terpadu) ruangan hemodialisa, rekam

medik dan melakukan penelitian di ruangan hemodialisa RSUP. Dr M.

Djamil Padang.

c. Setelah mendapatkan izin penelitian, peneliti memberikan penjelasan

kepada enumerator dalam proses pengumpulan data agar tidak ada

kesalahan dalam pengumpulan data.

d. Peneliti memperkenalkan diri serta meminta izin kepada kepala

ruangan untuk melakukan penelitian.

e. Setelah mendapatkan izin dari kepala ruangan di ruang hemodialisa,

Peneliti memilih pasien yang menjadi responden dalam penelitian


63

sesuai dengan kriteria inklusi, memperkenalkan diri kepada responden

lalu menjelaskan tujuan dari prosedur penelitian serta meminta

kesediaan calon responden sebagai responden.

f. Pasien yang bersedia menjadi responden maka peneliti meminta

persetujuan dengan menandatangani informed consent.

g. Setelah responden menandatangani informed consent, peneliti menulis

identitas responden di kuesioner, setelah diisi peneliti melakukan

wawancara dengan responden sesuai dengan format yang sudah

disediakan peneliti.

h. Dalam melakukan wawancara peneliti dibantu oleh enumerator untuk

melakukan wawancara terhadap responden yang lain.

i. Setelah semua kuesioner terisi lengkap dan semua data terkumpul,

peneliti melakukan tahap terminasi yaitu pengucapkan terima kasih

kepada responden yang telah bersediaan menjadi responden, kepada

kepala ruangan dan kepada perawat ruangan hemodialisa, kemudian

data yang telah didapatkan bisa untuk dilakukan pengolahan data.

G. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah data terkumpul, dianalisis, kemudian

data diolah dengan langkah – langkah sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Data (Editing)

Peneliti melakukan pengecekan kelengkapan isian formulir atau

kuesioner. Hasil penelitian semua jawaban yang ada di kuesioner terisi

secara jelas, relevan, dan konsisten, termasuk juga melakukan pengecekan


64

terhadap hasil pengukuran berat badan. Saat penelitian ada beberapa

identitas responden yang tidak terisi lengkap maka peneliti langsung

menemui responden kembali, sehingga semua data terisi dengan lengkap.

2. Pengkodean Data (Coding)

Setelah kuesioner yang telah diperiksa dan terisi lengkap, maka

peneliti memberikan kode pada setiap data yang terkumpul untuk

mempermudah peneliti saat mengolah data. Untuk jenis kelamin kode

1 : laki – laki 2 : perempuan, kode pekerjaan 1 : IRT 2 : wiraswasta

3 : PNS 4 : pensiun, pendidikan dengan kode 1 : tidak sekolah 2 : SD

3 : SMP/sederajat 4 : SMA/sederajat 5 : PT, lama hemodialisa dengan

kode 1 : 1 – 2 tahun 2 : > 2 tahun, untuk pengetahuan kode 1 : tinggi ≥

60% 2 : rendah < 60%, dukungan keluarga dengan kode 1 : baik, jika skor

≥ 24 (median) 2 : kurang baik, jika skor < 24 (median), kepatuhan diet

dengan kode 1 : patuh, jika kenaikan BB ≤ 5% 2 : tidak patuh, jika

kenaikan BB > 5%.

3. Memasukan Data (Processing)

Setelah seluruh data diperiksa kelengkapan dan diberi kode, kemudian

dimasukan ke dalam master tabel dan diolah menggunakan komputer.

4. Pembersihan Data (Cleaning)

Peneliti melakukan pengecekan kembali terhadap semua data yang

sudah terkumpul apakah ada kesalahan atau tidak, sehingga data benar –

benar siang untuk dianalisa. Pada hasil penelitian ini data yang sudah
65

dicek kembali sudah lengkap dan tidak ada terdapat kesalahan dalam data

hasil penelitian.

5. Tabulasi Data (Tabulating)

Data yang telah dimasukan ke dalam mastel tabel diolah, kemudian

data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yaitu

tabel distribusi frekuensi pengetahuan, dukungan keluarga dan kepatuhan

melaksanakan diet.

H. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisis univariat ini dilakukan untuk memperlihatkan distribusi

frekuensi semua variabel independen dan variabel dependen. Analisa

univariat ini dilakukan pada masing-masing variabel yaitu tentang variabel

pengetahuan pasien (tinggi dan rendah) dan dukungan keluarga (baik dan

kurang baik) serta variabel kepatuhan diet pasien PGK yang menjalani

hemodialisis (patuh dan tidak patuh).

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua

variabel yaitu variabel independen (pengetahuan dan dukungan keluarga)

dengan variabel dependen (kepatuhan diet pasien PGK yang menjalani

hemodialisis). Uji statistik yang akan digunakan yaitu uji statistik Chi-

square dan analisa dilakukan secara komputerisasi. Uji Chi-square

digunakan untuk menguji perbedaan proporsi/persentase antara beberapa

kelompok dan data untuk mengetahui hubungan antara variabel


66

independen dengan variabel dependen. Uji Chi-square memiliki batas

derajat kepercayaan 0,05. Apabila dari uji statistik didapatkan p value < α

= 0,05 maka dapat dikatakan adanya hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen, sedangkan apabila p value > α = 0,05 artinya

tidak adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel

dependen.

Aturan yang berlaku pada uji Chi-Square adalah sebagai berikut :

1. Bila pada tabel 2x2 dijumpai nilai E (harapan) kurang dari 5, maka uji

yang digunakan adalah Fisher Exact.

2. Bila pada tabel 2x2 dan tidak ada nilai E (harapan) kurang dari 5,

maka uji yang dipakai sebaiknya Continuity Correcrion.

3. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 3x2, 3x3 dan lain – lain, maka

gunakan uji Pearson Chi-Square.

4. Uji Likelihood Ratio dan Linear-by-Linear Association, biasanya

digunakan untuk keperluan lebih spesifik misalnya untuk analisis

stratifikasi pada bidang epidemilogi dan juga untuk mengetahui

hubungan linear antara dua variabel kategorik, sehingga kedua jenis

ini jarang digunakan.


67

BAB V

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan disajikan hasil penelitian tentang hubungan pengetahuan dan

dukungan keluarga dengan kepatuhan melaksanakan diet pada pasien penyakit ginjal

kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa di RSUP. DR. M Djamil Padang Tahun

2017. Penelitian telah dilakukan terhadap 41 responden di RSUP. DR. M Djamil

Padang pada tanggal 29 Mei – 3 Juni 2017. Analisis hasil penelitian dilakukan

dengan menggunakan sistem komputerisasi dengan diuraikan sebagai berikut :

A. Analisa Univariat

1. Pengetahuan

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahun
DI RSUP. DR. M Djamil Padang
Tahun 2017

Pengetahun f %

Tinggi 19 46.3
Rendah 22 53.7

Total 41 100

Berdasarkan tabel 5.1 menunjukan bahwa lebih dari separoh (53.7%)

pasien memiliki pengetahuan rendah tentang diet pada pasien Penyakit Ginjal

Kronik (PGK) yang m enjalani hemodialisa di RSUP. DR. M Djamil Padang

Tahun 2017.
68

2. Dukungan Keluarga

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga
Di RSUP. DR. M. Djamil Padang
Tahun 2017

Dukungan Keluarga f %

Baik 24 58.5
Kurang Baik 17 41.5

Total 41 100

Berdasarkan tabel 5.2 menunjukan bahwa lebih dari separoh (58.5%)

pasien memiliki dukungan keluarga yang baik di RSUP. DR. M Djamil

Padang Tahun 2017.

3. Kepatuhan Melaksanakan Diet

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan
Melaksanakan Diet Di RSUP. DR.M. Djamil
Padang Tahun 2017

Kepatuhan Melaksanakan Diet f %

Patuh 16 39
Tidak Patuh 25 61

Total 41 100

Berdasarkan tabel 5.3 menunjukan bahwa lebih dari separoh (61%)

pasien tidak patuh dalam melaksanakan diet di RSUP. DR. M Djamil Padang

Tahun 2017.
69

B. Analisa Bivariat

1. Hubungan Pengetahuan Dengan Kepatuhan Melaksanakan Diet Pada


Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) Yang Menjalani Hemodialisa

Tabel 5.4
Hubungan Pengetahuan Dengan Kepatuhan Melaksanakan Diet
Di RSUP DR. M. Djamil Padang
Tahun 2017

Kepatuhan
Melaksanakan Diet Total P value
Pengetahuan
Patuh Tidak Patuh
f % f % f %
Tinggi 11 57.9 8 42.1 19 100
0.048
Rendah 5 22.7 17 77.3 22 100
Total 16 39 25 61 41 100

Berdasarkan tabel 5.4 menunjukan bahwa pasien yang mempunyai

pengetahuan rendah sebanyak 77.3% pasien tidak patuh dalam melaksanakan

diet, sedangkan pengetahuan tinggi hanya sebanyak 42.1% pasien tidak patuh

dalam melaksanakan diet. Hasil uji statistic (chi square) diperoleh nilai p =

0.048 < 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat adanya hubungan

antara pengetahuan dengan kepatuhan melaksanakan diet pada pasien

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa di RSUP DR. M.

Djamil Padang tahun 2017.


70

2. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Melaksanakan Diet

Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) Yang Menjalani Hemodialisa

Tabel 5.5
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan
Melaksanakan Diet Di RSUP. DR. M. Djamil
Padang Tahun 2017

Kepatuhan Dalam
Dukungan Melaksanakan Diet Total P value
Keluarga Patuh Tidak Patuh
f % F % f %
Baik 13 54.2 11 45.8 24 100 0.042
Kurang Baik 3 17.6 14 82.4 17 100
Total 16 39 25 61 41 100

Berdasarkan tabel 5.5 menunjukan bahwa pasien mempunyai

dukungan keluarga yang kurang baik sebanyak 82.4% pasien tidak patuh

dalam melaksanakan diet, sedang dukungan keluarga baik hanya sebanyak

45.8% pasien tidak patuh dalam melaksanakan diet. Hasil uji statistic (chi

square) diperoleh nilai p = 0.042 < 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan dalam

melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani

hemodialisa di RSUP DR. M. Djamil Padang tahun 2017.


71

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan disajikan hasil pembahasan tentang hubungan pengetahuan dan

dukungan keluarga dengan kepatuhan melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal

Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa di RSUP. DR. M Djamil Padang Tahun

2017 dengan uraian sebagai berikut :

A. Analisa Univariat

1. Pengetahuan Responden Tentang Kepatuhan Melaksanakan Diet

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separoh

(53.7%) pasien memiliki pengetahuan rendah tentang diet pada pasien

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa. Hasil penelitian

ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Desitasari

(2014), tentang hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga

terhadap kepatuhan diet pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD. Arifin Achmad Pekanbaru diperoleh hasil sebanyak

(36,1%) pasien memiliki pengetahuan sedang. Hal ini dikarenakan jumlah

sampel dalam penelitian ini berbeda yaitu sebanyak 36 responden, memiliki

kategori pengetahuan tinggi dan sedang, penelitian ini menggunakan teknik

pengambilan sampel purposive sampling, sehingga menyebabkan hasil yang

didapatkan bertolak belakang.


72

Pengetahuan bisa saja dipengaruhi oleh informasi yang diterima oleh

responden tentang diet yang harus mereka patuhi dalam menjalani terapi

hemodialisa. Pengetahuan juga terbentuk dari pengalaman dan pendidikan non

formal seperti membaca dan mendapatkan penyuluhan. Semakin rendah

pengetahuan seseorang tentang kesehatan maka praktek tentang kesehatan

perilaku hidup sehat semakin rendah (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan pasien yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa

faktor salah satunya adalah pendidikan (Wawan & Dewi, 2011). Pendidikan

adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang

dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan,

proses, perbuatan dan cara mendidik (Wawan & Dewi, 2011). Pada hasil

penelitian pendidikan pasien paling banyak adalah SMA (56,1%). Hasil

penelitian ini didukung oleh teori Wawan & Dewi (2011), menjelaskan bahwa

semakin tinggi pendidikan seseorang maka pengetahuan seseorang tersebut

akan semakin tinggi. Namun, seseorang yang berpendidikan rendah belum

tentu berpengetahuan rendah.

Penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden sebagai ibu

rumah tangga yaitu sebanyak (43,9%). Hal ini disebabkan karena

ketidakmampuan untuk melakukan suatu pekerjaan karena tidak mempunyai

kesempatan sehingga mereka lebih fokus dalam menjalani terapi hemodialisa.

Pekerjaan merupakan kegiatan melakukan sesuatu kegiatan dengan maksud

memperoleh penghasilan, besarnya pendapatan yang diterima akan

mempengaruhi oleh pekerjaan yang dilakukan (Sunaryo, 2008).


73

Berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah laki-laki. Hal ini

karena sebagian besar ditemukan dilapangan yang paling banyak adalah laki-

laki. Pada dasarnya setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki

maupun perempuan, tetapi ada beberapa penyakit terdapat perbedaan

frekuensi antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada literatur yang

menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan patokan untuk menyebabkan

seseorang mengalami gagal ginjal kronik. hal ini disebabkan karena faktor

pola makan dan pola hidup responden laki-laki yang suka merokok dan

minum kopi (Nurchayati, 2012).

Dilihat dari lamanya pasien menjalani hemodialisa, mayoritas

responden menjalani hemodialisa yaitu 1 - 2 tahun sebanyak 26 pasien

(63,4%). Lamanya menjalani hemodialisa mempunyai pengaruh terhadap

pengetahuan, sikap dengan kepatuhan diet. Setiap penderita memerlukan

waktu yang berbeda-beda dalam tingkat pengetahuan dan sikapnya. Semakin

lama pasien menjalani hemodialisa maka akan banyak pengetahuan yang

diperoleh dan bisa bersikap positif terhadap kepatuhan dietnya. Hal ini

didukung oleh penelitian Sapri (2008), bahwa semakin lama pasien menjalani

hemodialisa semakin patuh karena pasien sudah mencapai tahap penerimaan.

Berdasarkan analisa peneliti terhadap hasil penelitian bahwa paling

banyak pasien memiliki pengetahuan rendah, hal tersebut disebabkan karena

pasien belum sepenuhnya mengetahui bahwa diet yang harus dilakukan oleh

penderita penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa adalah diet

rendah protein, diet rendah garam, diet rendah kalium dan pembatasan asupan
74

cairan, pasien juga belum mengetahuai tujuan dari hemodialsia dilakukan,

dampak tidak patuh terhadap diet dan juga belum mengetahui tentang

makanan yang tidak boleh dikonsumsi, sehingga mengakibatkan pasien sering

melanggar pola diet yang telah disarankan oleh petugas kesehatan, meskipun

petugas kesehatan sudah mengingatkan hal-hal apa saja yang harus dilakukan

dan dihindari, akan tetapi pasien tidak sepenuhnya mengikuti instruksi

tersebut sehingga akan mengganggu terhadap efektifitasnya proses

hemodialisa.

Analisa peneliti ditunjang dengan hasil kuesioner yang menunjukan

banyaknya pasien dengan pengetahuan rendah, hal tersebut dibuktikan dari

jawaban kuesioner sebanyak (70,7%) pasien tidak tahu bahwa asupan

makanan yang perlu dikontrol oleh penderita penyakit ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa adalah kelebihan kalium dan natrium, sebanyak

(68,3%) pasien tidak tahu bahwa nafsu makan menurun, mual dan muntah

adalah tanda dan gejala yang timbul akibat penyakit ginjal kronik, sebanyak

(68,3%) pasien jumlah protein yang dibutuhkan dalam sehari adalah protein

cukup dan sebanyak (53,7%) pasien tidak tahu bahwa dampak jika tidak patuh

terhadap diet sesuai dengan terapi adalah tekanan darah pasien bisa

meningkat.

2. Dukungan Keluarga

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separoh

(58.5%) pasien memiliki dukungan keluarga yang baik. Hasil penelitian ini

hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumigar (2015), tentang
75

hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diet pada pasien gagal ginjal

kronik di Irina C2 dan C4 RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado diperoleh

hasil sebanyak (84,6%) pasien memiliki dukungan keluarga yang baik. Hal ini

disebabkan karena penelitian ini meneliti dukungan keluarga yang diberikan

pada pasien PGK yang menjalani hemodialisa dan cara penilaian dukungan

keluarga menggunakan skala likert sehingga hasil yang didapatkan hampir

sama.

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dan

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu dan dapat juga

menentukan tentang program pengobatan yang diterima (Niven, 2012).

Menurut Niven (2012), menyatakan bahwa dukungan keluarga merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan. Keluarga dapat

membantu menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan keluarga

seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.

Menurut Sitiaga (2015), mengatakan bahwa dukungan keluarga

merupakan hal yang sangat penting mempengaruhi kesembuhan pasien.

Karena keluarga selain memberikan motivasi juga mempengaruhi kepatuhan

pasien dalam pengobatan. Motivasi sebagai sebuah kondisi yang

menggerakan perilaku dan mengarahkan aktivitas terhadap suatu pencapaian

tujuan.

Berdasarkan analisa peneliti terhadap hasil penelitian bahwa masih

terdapat dukungan keluarga yang rendah pada pasien dalam menjalankan diet,

dukungan tersebut terlihat dari keluarga yang kadang - kadang tidak


76

menyajikan makanan sesuai dengan pola diet pasien sehingga pasien

mengkonsumsi makanan yang tidak sesuai dengan pola diet, dari segi

pembiayaan terkadang keluarga juga tidak mendukung karena untuk

menjalani terapi hemodialisa memerlukan biaya yang cukup besar, sehingga

ada keluhan pasien masalah biaya dan juga keluarga hanya sesekali

menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan pasien, sehingga pasien

merasakan bahwa keluarga tidak mau mengajak mereka untuk berdiskusi lagi

karena dengan kondisi mereka yang sedang sakit.

Analisa peneliti ditunjang dengan hasil kuesioner yang menunjukan

banyaknya pasien dengan dukungan keluarga yang rendah sebanyak (41,5%)

pasien, hal tersebut juga dibuktikan dari jawaban kueisoner sebanyak (65,9%)

pasien mengatakan bahwa hanya kadang-kadang keluarga memberikan

motivasi untuk tetap patuh terhadap diet sesuai terapi, sebanyak (68%) pasien

mengatakan bahwa keluarga sering menyajikan makanan yang banyak

mengandung garam pada anggota keluarga yang menjalani terapi, sebanyak

(65,9%) pasien mengatakan bahwa hanya kadang-kadang keluarga

memberikan pujian terhadap kepatuhan diet sesuai terapi yang dijalani oleh

anggota keluarga dan sebanyak (58,5%) pasien mengatakan bahwa hanya

kadang-kadang keluarga mengingatkan untuk melakukan kontrol kesehatan.

3. Kepatuhan Pasien Melaksanakan Diet

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separoh

(61%) pasien tidak patuh dalam melaksanakan diet. Ketidakpatuhan tersebut

terlihat dari kenaikan berat badan pasien yang lebih dari 5% . Hasil penelitian
77

ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Desitasari,

(2014) tentang hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga

terhadap kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD. Arifin Achmad Pekanbaru diperoleh hasil sebanyak

(75%) pasien patuh menjalankan diet. Hal ini disebabkan karena responden

lebih banyak memiliki pengetahuan tinggi dan dukungan keluarga yang baik

sehingga hasil yang didapatkan bertolak belakang.

Menurut Niven (2012), menyatakan bahwa kepatuhan merupakan

sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

profesional kesehatan. Kepatuhan juga merupakan tingkat perilaku individu

dalam melakukan minum obat, memenuhi diet atau perubahan gaya hidup

yang dianjurkan. Kepatuhan juga dapat didefenisikan sebagai perilaku positif

pasien dalam mencapai tujuan terapi (Kozier, 2011).

Pada penelitian ditemukan cukup banyaknya pasien yang tidak patuh

dalam melakukan diet. Padahal ini sangat penting dilakukan untuk mencegah

terjadinya komplikasi. Sebagaimana disampaikan oleh Alisa (2014), bahwa

kepatuhan dalam melaksanakan diet didefenisikan sebagai kemauan atau

keinginan pasien PGK yang menjalani hemodialisis untuk melaksanakan

program yang disarankan oleh tim kesehatan mengenai diet yang dianjurkan.

Diet pada pasien dengan PGK sangat penting diterapkan karena bertujuan

untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi yang dapat menimbulkan

kematian (Alisa, 2014).


78

Berdasarkan analisa peneliti terhadap hasil penelitian bahwa

banyaknya pasien tidak patuh dalam melaksanakan diet. Pasien mengatakan

tidak bisa mengotrol asupan makanan, tidak bisa mengotrol rasa haus

sehingga minum berlebihan dan kurangnya perhatian atau dukungan dari

anggota keluarga. Padahal ini sangat penting dilakukan untuk mencegah

terjadinya komplikasi. Hal ini terlihat dari terjadinya peningkatan berat badan

pasien melebihi 5%. Kondisi ini harus segera diatasi karena akan dapat

berdampak negatif terhadap keadaan pasien yaitu diantaranya dapat

menyebabkan hipotensi, kram otot, hipertensi, sesak nafas dan mual serta

muntah. Hal ini disebabkan karena masih banyak faktor lain yang mendukung

untuk tercapainya status kesehatan yang optimal pasien seperti faktor motivasi

yang ada dalam diri pasien untuk tetap patuh dalam melaksanakan diet yang

dianjurkan.

B. Analisa Bivariat

4. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Melaksanakan Diet

Hasil penelitian menunjukan bahwa pasien yang mempunyai

pengetahuan rendah sebanyak 77.3% pasien tidak patuh dalam melaksanakan

diet, sedangkan pengetahuan tinggi hanya sebanyak 42.1% pasien tidak patuh

dalam melaksanakan diet. Hasil uji statistic (chi square) diperoleh nilai p =

0.048 < 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat adanya hubungan

antara pengetahuan dengan kepatuhan melaksanakan diet pada pasien

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa di RSUP DR. M.

Djamil Padang tahun 2017.


79

Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan

Sustineliya (2013), juga terdapat hubungan antara pengetahuan tentang asupan

dan cairan terhadap penambahan berat badan pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa. Sedangkan penelitian yang dilakukan Ismail (2012),

menunjukkan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan

dengan kepatuhan diet.

Pengetahuan adalah faktor yang menentukan perilaku seseorang

terhadap masalah yang dialaminya. Seseorang yang memilki pengetahuan

baik akan mudah untuk mengaplikasikan pengetahuannya menjadi perilaku

yang positif dan memungkinkan pasien dapat mengontrol dirinya dalam

mengatasi masalah yang dihadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi,

berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi

kejadian serta mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas

kesehatan, akan dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu

individu tersebut dalam membuat keputusan (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang. Salah satu bentuk tindakan dari hasil pengetahuan pasien

gagal ginjal kronik adalah asupan makan. Pengetahuan tentang penyakit yang

dideritanya serta diet yang harus dijalani sangat penting untuk pasien Penyakit

Ginjal Kronik (PGK) agar tidak terjadi malnutrisi. Selain itu juga untuk

mencegah komplikasi dan tidak memperparah komplikasi yang sudah terjadi

(Desitasari, 2014).
80

Berdasarkan analisa peneliti bahwa terdapat hubungan pengetahuan

dengan kepatuhan pasien menjalani diet. Pengetahuan responden tentang PGK

dan diet bisa saja dipengaruhi oleh seberapa lama penderita menjalani terapi

hemodialisa sehingga informasi yang didapatkan juga sudah banyak dari

berbagai media maupun penyuluhan kesehatan. Seseorang yang memilki

pendidikan rendah tetapi mendapatkan informasi yang baik dari berbagai

media hal itu akan meningkatkan pengetahuannya. Kemudahan untuk

memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang

memperoleh pengetahuan yang baru. Adanya hubungan juga terlihat dari

pasien yang jika tidak mengotrol makanan yang banyak mengandung garam

akan mempengaruhi berat badan, pasien juga tidak tahu bahwa tujuan dari

kepatuhan terhadap diet sesuai terapi adalah agar tidak terjadinya kenaikan

berat badan yang berlebihan, artinya semakin rendah pengetahuan pasien

maka akan berdampak kepada ketidakpatuhan pasien dalam menjalani diet

yang dianjurkan.

5. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Pasien

Melaksanakan Diet

Hasil penelitian menunjukan bahwa pasien mempunyai dukungan

keluarga yang kurang baik sebanyak 82.4% pasien tidak patuh dalam

melaksanakan diet, sedang dukungan keluarga baik hanya sebanyak 45.8%

pasien tidak patuh dalam melaksanakan diet. Hasil uji statistic (chi square)

diperoleh nilai p = 0.042 < 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan dalam


81

melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani

hemodialisa di RSUP DR. M. Djamil Padang tahun 2017.

Hasil penelitian ini bertolak belakang oleh penelitian Desitasari

(2014), diperoleh nilai p 0,235 menunjukan tidak ada hubungan dukungan

keluarga dengan kepatuhan diet gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rini (2013), dengan judul

hubungan dukungan keluarga terhadap kepatuhan dalam pembatasan nutrisi

dan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa. Hasil

penelitian tersebut menunjukan bahwa dukungan sosial tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan prilaku kepatuhan. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Sari (2009), menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan dengan pembatasan

asupan cairan. Hal ini disebabkan karena masih banyak faktor lain yang

mendukung untuk tercapainya status kesehatan yang optimal responden.

Seperti faktor motivasi dalam diri responden untuk melakukan pembatasan

asupan diet.

Menurut penelitian Desitasari (2014), diharapkan dengan adanya

motivasi membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan

mempertahankan perilaku pembatasan asupan diet. Hal ini diperlukannya

motivasi dan penghargaan baik dalam diri seseorang ataupun praktisi

kesehatan sehingga dapat meningkatkan perilaku kesehatan khususnya

perilaku kepatuhan diet.


82

Penelitian ini didukung oleh teori menurut Niven (2012) menyatakan

bahwa dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kepatuhan. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan pada pasien yang menjalani

diet dan pengobatan, karena salah satu fungsi keluarga adalah melakukan

asuhan kesehatan terhadap anggotanya baik untuk mencegah terjadinya

penyakit maupun merawat anggota keluarga yang sakit (Padila, 2012).

Berdasarkan analisa peneliti terhadap hasil penelitian ini adalah

terbukti bahwa dukungan keluarga akan mempengaruhi kepatuhan pasien

dalam menjalankan diet. Dimana terlihat bahwa jika pasien mendapatkan

dukungan keluarga maka tingkat kepatuhan pasien dalam melaksanakan diet

akan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang kurang mendapatkan

dukungan keluarga. Pasien yang tidak patuh dalam melaksanakan diet, hal ini

disebakan karena kurangnya dukungan dari keluarga yang tidak mengingatkan

untuk mengontrol asupan makanan serta penyajian makanan dari keluarga

yang banyak mengandung garam sehingga pasien juga mengkonsumsi

makanan tersebut sehingga akhirnya pasien tidak patuh menjalankan diet.

Dukungan keluarga diperlukan karena pasien penyakit ginjal kronik (PGK)

akan mengalami sejumlah perubahan bagi hidupnya sehingga menghilangkan

semangat hidup pasien, diharapkan adanya dukungan keluarga dapat

menunjang kepatuhan pasien.


83

BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang “hubungan

pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kepatuhan melaksanakan diet pada

pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa di RSUP. DR.

M Djamil Padang Tahun 2017” maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Lebih dari separoh (53.7%) responden memiliki pengetahuan rendah tentang

diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa di

RSUP. DR. M Djamil Padang Tahun 2017.

2. Kurang dari separoh (41,5%) responden memiliki dukungan keluarga yang

kurang baik dalam melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik

(PGK) yang menjalani hemodialisa di RSUP. DR. M Djamil Padang Tahun

2017.

3. Lebih dari separoh (61%) responden tidak patuh dalam melaksanakan diet

pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisa di

RSUP. DR. M Djamil Padang Tahun 2017.

4. Terdapat adanya hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan

melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani

hemodialisa di RSUP. DR. M Djamil Padang Tahun 2017

(P value = 0.048).
84

5. Terdapat adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan

melaksanakan diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani

hemodialisa di RSUP. DR. M Djamil Padang Tahun 2017

(P value = 0.042).

B. Saran

1. Bagi Pasien PGK Yang Menjalani Hemodialisa

Dari hasil penelitian ini disarankan agar pasien dapat menjadikan hasil

ini sebagai tambahan informasi dan lebih meningkatkan pengetahuan pasien

tentang diet yang harus dijalani bagi pasien PGK yang menjalani hemodialisa,

sehingga pasien dapat melakukan pengontrolan asupan makanan dan

minuman agar tidak tejadi kenaikan berat badan yang berlebihan yang dapat

menyebabkan terjadinya komplikasi dan memperburuk keadaan pasien.

2. Bagi STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang

Dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengembangkan ASKEP

tentang cara menjaga kepatuhan diet pasien PGK yang menjalani hemodialisa

agar tidak terjadinya kenaikan berat badan yang berlebih dan dapat dijadikan

sebagai bahan tambahan informasi dibidang ilmu pengetahuan dalam

memperkaya keilmuan.

3. Bagi RSUP Dr. M. Djamil Padang

Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran tentang kepatuhan

melaksanakan diet pada pasien PGK yang menjalani hemodialisa di RSUP.

DR. Djamil Padang. Hendaknya perawat ruangan lebih sering memberikan

informasi atau pendidikan kesehatan kepada pasien PGK yang menjalani


85

hemodialisa tentang pentingnya patuh terhadap diet yang dianjurkan dan

memberikan informasi kepada keluarga pasien untuk lebih memotivasi pasien

agar tetap patuh dalam menjalankan dietnya.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk bisa melanjutkan

penelitian ini dengan melihat hubungan kepatuhan melaksanakan diet dengan

menggunakan variabel yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai