Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan
rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi
rahmat bagi seluruh alam.

Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
pendidikan agama dengan judul ”Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalalm Islam”.
Disamping itu, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini.

Purbalingga, 27 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Cover …………………………………………………………………………....………..

Daftar Isi ……………………………………………………………………….........…....

Kata Pengantar ………………………………………………………….........………….

BAB I. Pendahuluan ………………………………………………………..…..........…

I.I Latar Belakang …………………………………………………........…………

I.II Rumusan Masalah ……………………………………........…………………

I.III Tujuan Pembahasan ………………………………......……………………

BAB II. Isi ………………………………………………………………………….......

II.I Sejarah Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalam Islam………...……..

II.II Perbedaan prinsip antara HAM dalam pandangan Islam dan Barat.......

II.III Pengertian Demokrasi Menurut Islam…………………..........…..…………

II.IIII Musyawarah ……………………………………………………….................

II.IV Konsensus atau Ijma................................................................................

II.V Perbedaan Pendapat para ulama tentang demokrasi dalam pandangan Islam..

BAB III. Kesimpulan ……………………………………………………...…….......…

Daftar Pustaka ………………………………………………………........……………


BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Kehadiran agama Islam yang di bawa Nabi Muhamad Saw. Diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtra lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai
petunjuk tentang bagai mana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini
secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.

Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana


terdapat di sumber ajaranya, Alquran dan hadis, tampak amat baik, Islam mengajarkan
kehidupan yang dinamis dan progresif, mehargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan matrial dan
sepiritual, senantiasa mengembangakan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap
terbuka, berakhlak mulia, dan menghargai hak asasi. Hak asasi manusia (HAM) bukanlah
suatu istilah yang baru di dalam masyarakat kontemporer. Dewasa ini masyarakat semakin
familiar dengan istilah tersebut. Baik masyarakat tingkat atas atau tingkat bawah mulai akrab
membicarakan permasalahan HAM.

Hak Asasi Manusia dikenal di berbagai agama samawi meskipun dengan istilah yang
berbeda, tidak terkecuali Islam. Islam sangat menjunjung tinggi hak asasi setiap manusia,
meskipun di dalam praktiknya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup mencolok antara
HAM menurut Islam dan HAM menurut Barat. Perbedaan itu kadangkala menjadi polemik
dan menjadi bahan untuk menyerang umat Islam. Kendati dalam kenyataannya perbedaan itu
bukanlah sebuah masalah yang besar, karena Islam di dalam kitab sucinya dengan jelas
menghormati hak asasi manusia.
I.II Rumusan Masalah

1.Bagaimana Sejarah Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalam Islam?

2. Jelaskan Perbedaan prinsip antara HAM dalam pandangan Islam dan Barat?

3. Jelaskan Pengertian demokrasi menurut Islam?

4. Apa pengertian Musyawarah?

5. Apa itu Konsensus atau Ijma?

6. Apa perbedaan pendapat para ulama tentang demokrasi dalam pandangan Islam

I.III Tujuan

1.Menjelaskan Sejarah Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalam Islam

2. Mendeskripsikan Perbedaan prinsip antara HAM dalam pandangan Islam dan Barat

3. Menjelaskan Pengertian demokrasi menurut Islam

4. Menjelaskan pengertian Musyawarah

5. Mendeskripsikan Konsensus atau Ijma

6. Menjelaskan perbedaan pendapat para ulama tentang demokrasi dalam pandangan

Islam
BAB II

ISI

II.I Sejarah Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalam Islam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak
pokok seperti hak hidup dan mendapatkan perlindungan. Hak asasi manusia adalah hak yang
dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan karean
itu bersifat suci. Sementara Jan, Materson mengartikan hak asasi manusia sebagai hak yang
melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil hidup sebagai manusia.

Asal mula konsep modern tentang HAM dikaitkan dengan filsafat stoics. Zeno, pendiri
paham filsafat ini mengajukan teori hukum alam di mana manusia sebagai makhluk hidup
dikatakan memilki beberapa hak universal di mana saja dan pada kondisi apa saja ia berada.
Bangsa Romawi, di bawah pengaruh filsafat ini juga mulai memberi tekanan pada HAM
dengan munculnya Kristen di Roma maka hak-hak ini diterjemahkan dalam konteks agama
dan sumbernya dari Tuhan.

Setelah Abad Kegelapan Eropa, contoh pertama konsep HAM disebutkan dari Inggris ketika
Piagam Magna Carta dikeluarkan pada tahun 1215 M. Asal mula Magna Carta adalah sebuah
perjanjian antara raja dan baron, untuk mengadakan perlindungan terhadap hak-hak istimewa
para Baron. Hak ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan hak-hak manusia yang
sesungguhnya. Hanya saja, setelah waktu yang lama Magna Carta akhirnya ditafsirkan ke
dalam konteks HAM.

Konsep hak-hak manusia yang alami muncul pada abd-ke-17 sebagai suatu kekuatan
pertahanan dari kekuasaan absolut. Hasil pergerakan yang dipengaruhi oleh Rousseau dan
lainnya ini merupakan penggabungan dari berbagai hak manusia yang tercanangkan pada
beberapa konstitusi berbagai negara dan akhirnya terwujud dalam Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) oleh PBB pada 10 Januari 1948. Deklarasi yang terdiri dari 30 pasal
ini sebenarnyA telah ditetapkan Islam jauh lebih dahulu bagi tiap-tiap insan sebagai umat
manusia. Hal ini kemudian diikuti oleh beberapa perjanjian regional dan internasional oleh
beberapa negara Eropa dan Amerika pada aspek yang penting, yaitu pembentukan pengadilan
internasional untuk menangani kasuk-kasus HAM.

Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-
undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan
yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru
yang sesuai keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan
pada hukum Allah SWT. Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan
apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam
permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang
sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-
nash syari’at dan ketaatan kepada ulil amr (pemerintah). Syura (Musyawarah) terbatas pada
permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash
namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash
yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura
hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.

II.II Mendeskripsikan Perbedaan prinsip antara HAM dalam pandangan Islam dan Barat

Untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM di dalam masyarakat,


Islam mempunyai ajaran yang disebut amar ma’ruf nahi munkar . Islam mengajarkan tiga
tahapan dalam menjalankan ajaran tersebut: (1) melalui tangan (kekuasaan), (2) melalui lisan
(nasihat), (3) melalui gerak hati nurani, yaitu membenci kemungkaran sambil mendoakan
agar pelakunya sadar. Sehingga untuk mengatasi mengatasi terjadinya pelanggaran HAM,
Islam tidak hanya melakukan tindakan represif teatapi lebih menekankan tindakan preventif.
Sebab, tindakan represif cenderung berpijak hanya pada hukum legal-formal yang
mengandalkan bukti-bukti yang bersifat material semata. Sedangkan tindakan preventif tidak
memerlukan adanya bukti secara hukum.

Perbedaan antara HAM Barat dan Islam

HAM Universal Declaration of


No. Human Rights HAM menurut Islam

Bersumber pada pemikiran Bersumber pada ajaran al-Quran


1. filosofi semata. dan Sunnah Nabi Muhammad.

2. Bersifat antrophosentris. Bersifat Theosentris.

Lebih mementingkan hak Keseimbangan antara hak dan


3. daripada kewajiban. kewajiban.

4. Lebih bersifat individualistik. Kepentingan sosial diperhatikan.

Manusia dilihat sebagai makhluk


yang dititipi hak-hak dasar oleh
Tuhan, dan oleh karena itu mereka
Manusia dilihat sebagai pemilik wajib mensyukuri dan
5. sepenuhnya hak-hak dasar. memeliharanya.
II.III Pengertian demokrasi menurut Islam

Menurut asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau goverment rule the
people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos atau kratein berarti kekuasaan atau
berkuasa). Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik didalam sistem politik dan
ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan preformansi politik diberbagai
negara sampai pada satu titik temu tentang ini. Demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan
lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal
1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satupun tanggapan yang menolak “Demokrasi” sebagai
landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern.
Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana barat dan timur itu dapat dipandang sebagai
jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.[1]

Pandangan Islam tentang Demokrasi

Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-
undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang
ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru yang sesuai
keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan
sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan pada hukum Allah SWT.
Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut
sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk
sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura
dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada ulil amr (pemerintah). Syura
(Musyawarah) terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan
yang memiliki nash namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang
memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan.
Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.

Menurut Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-
Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka sistem
politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik
dengan praktik demokrasi barat.[2]

Adapun dasar-dasar musyawarah sebagaimana yang sudah digariskan oleh Al-qur’an dapat dijumpai
dalam surah Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi sebagai berikut.

“maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjatuhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membetulkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakal kepada-Nya. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 159.

Kemudian di dalam surah Asy-Syuura ayat 38 Allah berfirman:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Tentang siapa yang berhak untuk diajak musyawarah (anggota musyawarah) Islam tidak ada
aturan pasti, oleh karenanya menjadi wewenang manusia untuk menetukannya.

Rasulullah tidak membuat kaidah-kaidah syura (kaidah musyawarah ) karena beberapa hikmat dan
sebab:[3]
Kaidah-kaidah syura bisa berlain-lainan menurut perkembangan masyarakat (bangsa), masa dan
tempat.

Seandainya Nabi telah menentukan kaidah-kaidah Syura saat itu, maka menjadilah kaidah-kaidah itu
sebagai hukum agama yang wajib ditaati dan wajib dilaksanakan di semua masa dan tempat. Kaidah-
kaidah yang ditetapkan pada masyarakat yang sistemnya masih sederhana, tentu tidak akan sesuai lagi
untuk masa-masa kemudian.

Inilah sebabnya para sahabat berkata, ketika mereka memilih Abu bakar: “Rasulullah telah
menyukainya untuk menjadi imam kita di dalam sembahyang. Apakah kita tidak menyukai dia untuk
menjadi kepala negara kita?” Berbeda dengan zaman Nabi, tindakan-tindakan pemerintahan Abasiyah
(sebagai contoh kasus) bisa menimbulkan dugaan atau anggapan bahwa kekuasaan dalam Islam
bersifat otoriter dan tidak demokratis.

II.IV Musyawarah

Definisi musyawarah , menurut Bahasa dan menurut Islam: Menurut Bahasa berasal
syawara yaitu berasal dari bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembug atau
mengatakan dan mengajukan sesuatu. Menurut Istilah, musyawarah adalah perundingan
antara dua orang atau lebih untuk memutuskan masalah secara bersama-sama sesuai dengan
yang diperintahkan Allah.
Kata ( ‫ ) شورى‬Syûrâ terambil dari kata ( ‫ إستشاورة‬-‫ مشاورة‬-‫ )شاورة‬menjadi ( ‫) شورى‬
Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan
menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti
memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (‫ )شرت العسل‬saya
mengeluarkan madu dari wadahnya.
Istilah-istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan modern tentang musyawarah
dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari” bahkan “demokrasi”.
Kewajiban musyawarah hanya untuk urusan keduniawian. Jadi musyawarah adalah
merupakan suatu upaya untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil
keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan
keduniawian.
Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah
upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun
yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah
dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan
dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain
atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan
perundingan atau tukar pikiran.
Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding
dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu
masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.

Musyawarah merupakan salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan
lain-lainnya. Islam memandang penting peranan musyawarah bagi kehidupan umat manusia,
antara lain dapat dilihat dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau
menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan
yang mereka hadapi.
II.V Konsensus atau Ijma

Ijma’ adalah salah satu dalil Syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif
setingkat di bawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits). Ia merupakan dalil pertama
setelah al-Qur’an dan hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum
Syara’.

Ijma’ merupakan sebuah prinsif yurisprudensi yang esensial dan ciri khas, yang
dijadikan landasan berbuat masyarakat muslim segera setelah mereka kehilangan sumber
yang mereka miliki dan dituntut untuk memecahkan masalah pertama dan paling penting.
Ijma’ tidak dapat dibatasi oleh waktu atau negara tertentu. Menurut Imam
Malik, Ijma’ adalah ijma’ para shahabat Nabi dan para Tabi’in yang tinggal di Madinah. Ia
mengatakan ahwa Madinah adalah rumah Nabi setelah beliau hijrah dan tempat tinggal
Shahabat yang para penduduknya lebih terpelajar daripada yang lain dan ijma’ mereka akan
diikuti, dengan mengesampingkan yang lain. Berlawanan dengan penbdapat ini ditegaskan
bahwa orang-orang yang ahli al-Qur’an hadits dan hukum, menyebar kesegala penjuru Arab,
yan gsebagian saat Nabi masih hidup dan yang lain setelah beliau wafat. Karena itu tidak
benar untuk mengatakan bahwa ijma’ madinah merupakan satu-satunya ikma’ yang diakui.
Pendapat Imam Malik tidak diterima.

Ijma’ menurut Zumhur ‘Ulama ialah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa
setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum Syara’ yang bersifat praktis (‘amali). Para
‘ulama telah bersepakat, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum
Syara’, tetapi mereka berbeda pendapat tentang menentukan siapakah ‘ulama yang berhak
menentukan mujtahidin yangberhak menetapkan ijma’.

II. VI Perbedaan pendapat para ulama tentang demokrasi dalam pandangan Islam
Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi
menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat
tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut:

1. Abul A’la Al-Maududi . Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam
tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk
menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat
terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern
(Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi
(berdasarkan hukum Tuhan).

2. Mohammad Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama,
demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang
merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan
agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan
dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat
menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu,
Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan.
Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Lalu, Iqbal
menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut: a) Tauhid sebagai landasan asasi. b)
Kepatuhan pada hukum. c) Toleransi sesama warga. d) Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e)
Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.

3. Muhammad Imarah. Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan
juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan
menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam)
kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi.
Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang
digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi,
Allah Swt. berposisi sebagai al-Syari’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqih (yang
memahami dan menjabarkan hukum-Nya).
BAB III

Kesimpulan

Hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak pokok seperti hak hidup dan
mendapatkan perlindungan. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia menurut
kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan karean itu bersifat suci.

Definisi musyawarah , menurut Bahasa dan menurut Islam: Menurut Bahasa berasal
syawara yaitu berasal dari bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembug atau
mengatakan dan mengajukan sesuatu. Menurut Istilah, musyawarah adalah perundingan
antara dua orang atau lebih untuk memutuskan masalah secara bersama-sama sesuai dengan
yang diperintahkan Allah.
Kata ( ‫ ) شورى‬Syûrâ terambil dari kata ( ‫ إستشاورة‬-‫ مشاورة‬-‫ )شاورة‬menjadi ( ‫) شورى‬
Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan
menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti
memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (‫ )شرت العسل‬saya
mengeluarkan madu dari wadahnya.
Istilah-istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan modern tentang
musyawarah dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari” bahkan
“demokrasi”. Kewajiban musyawarah hanya untuk urusan keduniawian. Jadi musyawarah
adalah merupakan suatu upaya untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna
mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang
menyangkut urusan keduniawian. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran
HAM di dalam masyarakat, Islam mempunyai ajaran yang disebut amar ma’ruf nahi
munkar . Islam mengajarkan tiga tahapan dalam menjalankan ajaran tersebut: (1) melalui
tangan (kekuasaan), (2) melalui lisan (nasihat), (3) melalui gerak hati nurani, yaitu membenci
kemungkaran sambil mendoakan agar pelakunya sadar. Sehingga untuk mengatasi mengatasi
terjadinya pelanggaran HAM, Islam tidak hanya melakukan tindakan represif teatapi lebih
menekankan tindakan preventif. Sebab, tindakan represif cenderung berpijak hanya pada
hukum legal-formal yang mengandalkan bukti-bukti yang bersifat material semata.
Sedangkan tindakan preventif tidak memerlukan adanya bukti secara hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad.2019.Pandangan Ulama.
[online]https://www.bacaanmadani.com/2018/03/pandangan-ulama-intelektual-muslim.html
(diakses pada 27 Septmber 2019)

Bacaan,Madani.2019.Pengertian Demokrasi.[online]https://www.yuksinau.id/pengertian-
demokrasi/(diakses pada 27 Septmber 2019)

Fathoni, Rofiq (online)Hak Asasi Manusia.http://wawasansejarah.com/hak-asasi-manusia-


dalam-perspektif-islam/(diakses pada 27 September 2019)

Anda mungkin juga menyukai